Sabtu, 31 Desember 2011

Andai Saya Anggota DPD RI: Menggerakkan Literasi Di Pedesaan

Seandainya saya menjadi anggota DPD, saya akan menyadari bahwa literasi adalah hal terpenting untuk membangun suatu daerah. Membaca, menulis, dan kegiatan kreatif adalah pondasi kokoh agar suatu daerah berkembang dengan baik.

Lalu apa yang akan saya lakukan?

Pertama, saya jelas akan meniru jejak Dik Doank dan Gola Gong yang mendirikan rumah literasi di pedesaan tempat mereka tinggal. Dik Doank dengan Kandang Jurang Doank, dan Gola Gong dengan Rumah Dunia.

 Kandank Jurank: Gambar diambil dari sini
 
Rumah Dunia: Gambal diambil dari sini
Saya jelas akan membangun rumah literasi di pedesaan. Kenapa di pedesaan? Karena area ini seringkali dilupakan, padahal banyak potensi yang terdapat di desa. Dengan membangun desa, diharapkan penduduk desa tidak akan tergiur pindah ke kota demi mencari penghidupan yang lebih baik. Mereka akan tinggal dan membangun desa mereka.

Di rumah literasi itu nantinya  akan ada perpustakaan yang berisi ratusan, bahkan ribuan bahan bacaan. Baik buku anak-anak, buku ilmiah populer, novel, majalah, komik, atau kliping koran. Saya akan mengajak anak-anak kecil dan para remaja menjadi pengurus rumah literasi tersebut. Dengan menjadi pengurus, diharapkan mereka akan mempunyai rasa memiliki terhadap rumah baca tersebut.

Setiap sore sepulang sekolah akan ada pelatihan literasi yang mengundang para pemateri yang kompeten. Pelatihannya adalah pelatihan gerakan kreatif. Bisa berupa menulis cerpen, menulis artikel, menulis skenario film, atau pelatihan sinematografi. Akan ada pula pelatihan teater atau musik. Juga akan ada diskusi, mulai diskusi film, musik, filsafat, atau sastra. Tiap 2 atau 3 bulan nanti akan ada pentas kesenian yang diisi oleh anak-anak desa tersebut.

Lalu bagaimana dengan biaya untuk membangun rumah literasi ini? Mungkin untuk awal, biaya akan datang dari kantong sendiri. Anggap saja ini bakti untuk daerah kita. Kita pilih satu desa dulu, mari mulai dengan desa tempat kita tinggal, atau desa  yang sekiranya kurang tergarap dengan baik. Nanti kalau sudah mulai berkembang, baru kita melangkah ke desa yang lain.

Untuk buku, sebagai anggota DPD yang memiliki banyak koneksi, saya akan minta tolong kepada para koneksi saya untuk mengumpulkan segala buku atau majalah. yang nantinya akan menjadi koleksi awal rumah literasi. Membangun rumah literasi ini memang tak mudah dan biaya yang tak sedikit.

Tapi nanti hasil pasti akan datang. Kandang Jurang dan Rumah Dunia sekarang sudah menjadi pusat literasi di desa yang sudah tersohor hingga bisa mendatangkan sponsor, relawan, atau bahkan penyandang dana. Nantinya dana itu akan diputar kembali. Membeli tanah untuk memperluas rumah literasi, membeli buku, membangun gazebo untuk ruang diskusi, membuat kolam ikan untuk wiraswasta, atau bahkan membangun rumah literasi di desa lain.

Kandang Jurang dan Rumah Dunia juga sudah menelurkan banyak pemuda dengan kemampuan literasi yang mengagumkan. Hasil dari pelatihan literasi yang rajin mereka galakkan. Ada yang menjadi penulis novel, ada yang menjadi dosen, ada pula yang menjadi kameramen. Pemuda-pemuda seperti itulah yang dibutuhkan oleh daerah. Pemuda yang kreatif dan bisa memberdayakan diri sendiri. Pemuda yang mau membangun desa dan tak melulu ingin pergi ke kota demi penghidupan yang lebih baik.
Adalah tugas anggota DPD untuk memberdayakan desa. Salah satu caranya adalah melalui pembangunan rumah literasi. Hal ini memang "hanya" langkah kecil, namum berarti. Lagipula, perubahan besar selalu dipantik oleh perubahan kecil bukan?

Jumat, 30 Desember 2011

Kado Dari Rina


Saya tak pernah menganggap ulang tahun adalah sesuatu yang pantas dirayakan. Sejak dulu, saya nyaris tak pernah menggelar pesta ultah. Seingat saya hanya sekali ulang tahun saya dirayakan. Waktu umur 7-8 tahun dan mengundang teman-teman di perumahan saya.

Saya juga tak pernah berharap kado. Juga merasa tak perlu repot-repot mencari kado untuk siapapun yang ultah. Bahkan, saya tak pernah memberikan kado untuk keluarga saya yang sedang berulang tahun.

Tahun ini pun saya menjalani ritual yang sama. Cukup membalas dan mengamini berbagai macam ucapan ultah. Tak berharap kado. Walau saya tahu, Rina pasti akan repot-repot mencari kado untuk saya meskipun saya beritahu agar tak usah membelikan kado untuk saya.

"Coba tebak apa kado buat kamu?" tanya Rina. 

Siang itu terik, tertanggal 23 Desember 2011. Kami sedang berada di Surabaya dan sedang akan pulang menuju Jember.

Saya mengernyitkan dahi. Saya memang tak mahir dalam urusan tebak menebak.

"Petunjuknya adalah suatu yang kamu pengen" ujar Rina lagi.

Saya masih bingung. Saya menginginkan banyak hal. Dan saya harus menyebutkan satu persatu.

"Motor CB?" jawab saya setengah tidak yakin. Kalau Rina bisa membelikan motor CB buat kado, pasti ia tak akan repot-repot merengek ingin beli I-Pad. Dan benar dugaan saya, jawaban itu salah.

Lalu saya mulai menyebutkan benda yang saya inginkan. Semua salah. Hingga  akhirnya saya capai sendiri dan akhirnya menyerah.

Lalu Rina mengeluarkan satu buah bungkusan. Isinya mengejutkan saya: stempel!

Jadi begini awal mulanya. Saya sudah dari dulu ingin beli stempel yang tak perlu bantalan tinta. Itu untuk koleksi buku-buku saya. Sayang, ketika saya dan Rina menanyakan harga stempelnya di salah satu toko buku di Jember, harganya lumayan mahal. Saya urung membeli dan mulai melupakan stempel itu.

Tapi ternyata Rina ingat. Saya jadi sedikit terkejut plus terharu. Rina adalah orang yang sangat pelupa. Jangankan kejadian yang sudah lama berlalu. Kejadian 5 menit  yang  lalu, ia bisa lupa. Tapi ternyata ia bisa ingat kalau saya pengen punya stempel sejak lama. Ia bisa ingat keinginan yang bahkan saya sendiri sudah lupa.

Stempel itu bertuliskan "Nuran Wibisono Collection", juga tempat dan tanggal dibeli. Warna tintanya ada dua: merah dan biru.

Ternyata hadiah untuk saya tak cuma itu saja.

Sejak dulu Rina ingin sekali membelikan saya sebuah buku. Tapi sayang ia tak tahu buku apa yang saya suka. Jadi ia bertanya pada karib saya, mahasiswa sangat senior yang juga merangkap jadi maling buku: Arman Dhani. Pria kribo ini menyarankan Rina membeli buku "On The Road" karya Jack Kerouac di salah satu toko buku online. Sayang, stok buku itu nihil. Pilihan lantas dialihkan.

Opsi kedua dari Dhani adalah buku "The Art of Travel" karya Alain de Botton. Ketika dilihat, ternyata buku ini tersedia. Rina langsung memesan. Lalu bagaimana pengirimannya? Di kosan saya jarang sekali ada orang. Rina takut kalau paket buku itu tak sampai dan hilang. Maka ia minta tolong Dhani untuk mencarikan alamat kawan-kawan saya di Jogja. Pilihan jatuh pada Cahyo yang memang penduduk asli Jogja.

Siang tadi saya bertemu dengan Cahyo di ujian skripsi Yandri. Ia membawa buku itu.

Buku itu tebal, dengan hard cover dan sampul yang elegan. Dengan seketika saya jatuh cinta dengan buku ini. Apalagi setelah membaca isinya sekelebat. Isinya berkisar mengenai "a journey through the satisfaction and dissapointments of traveling. Dealing --among other things-- with airports, exotic carpets, holiday romance, and hotel humours". Buku ini adalah sebuah antidote dari buku-buku panduan traveling (what to do, where to stay, bla bla bla). Buku ini berusaha menjelaskan "Why we really wanted to go there in the first place, and modestly suggest how we could learn to be happier on our journey".

Dua benda ini jelas hadiah yang menyenangkan. Buku travel yang tidak biasa, dan stempel yang memberikan identitas pemilik buku. Jadi 10 atau 20 tahun lagi, ketika membuka sebuah buku dan ada meta data mengenai buku itu, kenangan mungkin akan muncul tentang bagaimana buku itu dibeli. Selain itu, stempel buku ini saya harapkan bisa melindungi koleksi buku-buku saya dari para begundal perampok buku macam Arman Dhani itu.

Hei Rina, makasih ya kadonya :)

Menengok ke Belakang Sejenak

“You can't change the past, but you can ruin the present by worrying about the future”

(Anonymous)

Tanpa terasa, waktu terbang begitu cepat, bagai Concorde yang melesat nyaris mengalahkan bouraq. 2011 akan segera berakhir dalam hitungan dua hari saja. Sekarang dan besok. Apa yang sudah saya lakukan? Apa yang sudah saya capai? Sudah jalan-jalan kemanakah saya? Sudah baca buku apa saja? Sudah dengar musik bagus apa saja? Sejuta pertanyaan itu berkecamuk. Memporak-porandakan gubuk ingatan yang seringkali rapuh.

Maka akhirnya saya berusaha keras untuk menelusuri tiap jengkal rumah reyot bernama ingatan. Berusaha mengingat lagi apa yang sudah saya perbuat, apa yang sudah saya capai, dan tentunya apa yang akan saya lakukan di tahun yang baru. Maka ini dia, hal-hal yang saya temukan tercecer di sepanjang tahun 2011.

1. Januari Yang Mengejutkan

Januari membawa kejutan yang menyenangkan dan juga mendebarkan. Saya mendapat telepon dari Jakarta, memberitahu kalau saya menang lomba menulis esai yang diadakan oleh Historia, Tempo, Goethe Institut, dan juga FES. Hanya saja saya tak tahu dapat juara berapa. Akhirnya saya pergi ke Jakarta dan menghadiri acara pemberian hadiah. Ketika nama saya disebut menjadi juara 1, saya langsung lemas. Antara senang dan tak percaya. Hadiahnya pun menggiurkan: summer course di Jerman selama 1 bulan. Lalu tanpa diketahui oleh siapapun, saya sempet mewek barang sejenak. Pasalnya adalah saya mencari bahan tulisan bareng ayah saya, beberapa hari menjelang deadline, di akhir bulan November. Beliau meninggal pada bulan Desember 2010. Beliau tak sempat tahu kemenangan saya. Tapi semoga ia melihat dari atas sana.

2. Mei: Ujian Besar

Ini semua adalah hukum sebab akibat. Sebab: saya dapat hadiah ke Jerman dan harus berangkat bulan Juni, sedang saya belum juga lulus kuliah. Akibat: Saya harus ngebut menggarap skripsi dan ujian sebelum bulan Juni. Sepanjang bulan Februari hingga Mei adalah bulan yang penuh kelokan tajam dan tanjakan serta turunan yang memompa adrenaline. Saya harus merombak ulang skripsi saya karena format skripsi yang berubah, lalu bolak balik Jember- Jakarta untuk mengurus visa, hingga menanti dosen datang di kampus.

Ketika sekarang diingat, semua rasanya menyenangkan, walaupun dulu saya sempat mengeluh. Setiap pagi, selepas jam 9, saya sudah nangkring di Kantin Sastra bareng kawan-kawan seperjuangan macam Budi, Taufik, atau Robith. Sekedar ngopi, bercengkrama, sembari menanti dosen datang. Dosen datang, saya kasih draft skripsi, revisi, lalu saya pulang ke rumah, garap skripsi lagi. Begitulah alur kehidupan saya selama Februari hingga Mei.

30 Mei adalah hari penentuan. Ujian skripsi. Saya ingat, malam sebelum ujian saya mengalami nervous yang sepertinya berlebihan. Maka saya mengajak Ade, Umbar, dan juga Dika untuk nongkrong di Alun-alun. Ngopi sambil ketawa-ketiwi. Nervous sedikit enyah. Terima kasih kawan-kawan.

Ujian lancar, walau ada beberapa pertanyaan yang  membuat saya sedikit kebingungan menjelaskan. Ketika saya dinyatakan lulus, dalam sekejap beban yang menghimpit di pundak langsung hilang. Terbang lalu lenyap dihempas angin. Kawan-kawan di kampus menyambut saya dengan suka cita. Ada Budi dan Taufik, duo yang tersisa dari Pathetic Four setelah Alfien dan saya lulus. Mereka berdua yang sering menemani saya waktu menunggu dosen, dan memarahi saya kalau malas sudah menjangkit.

Dan yang paling setia menunggu saya: Rina, sang dosen pembimbing istimewa saya. Dia yang tak pernah  lelah cerewet mengingatkan saya agar segera menyelesaikan skripsi. Ia, meskipun tak paham apa isi skripsi saya, masih mau menyempatkan baca dan bertanya-tanya, semacam simulasi menjelang ujian. Dia juga yang menemani saya ketika menunggu jadwal ujian. Ah, dalam tiap lembar skripsi ini, namamu tertulis disana.

Ketika saya pulang, mamak menangis dan memeluk saya. Saya tahu perasaannya. Antara terharu dan bangga karena anaknya sudah jadi sarjana. Juga sedih karena sang suami yang sejak Juni 2010 menanyakan kapan anaknya lulus, tak bisa menyaksikan langsung anaknya lulus. Ayah, Mamak; kelulusan ini untukmu.
3. Juni Yang Merubah Hidup

Juni adalah waktu keberangkatan saya ke Jerman, tanah Eropa yang menjadi idaman banyak orang. Termasuk saya yang sedari kecil mengidolakan Karl May, penulis Winnetou dan Old Shatterhand yang berasal dari Jerman.

Menjelang saya berangkat, Mamak lagi-lagi menangis. Rina pun menangis sesenggukan. Ada banyak doa yang terucap. Ada banyak ucapan selamat yang tersampaikan.

Perjalanan ke Eropa ini sedikit banyak mengubah saya. Saya melanglang sendirian. Menemui banyak orang baru dan teman baru. Mendapatkan kisah baru yang kelak akan saya ceritakan pada anak cucu saya. Hilang di Belanda, bertemu hippie berwajah mirip Chris Robinson yang menenteng buku Jack Kerouac, berkawan dengan duo Meksiko pecinta pesta, dianggap anak oleh seorang perempuan baya yang baik dan ramah, menyaksikan dan bersimpuh di pusara Jim Morrison, melek merem  karena mencicipi lezatnya pizza di Torino, terkagum akan indahnya Menara Eiffel, dan sederet pengalaman berharga lainnya.

Saya berjanji pada diri sendiri. Kelak saya akan kesana lagi...

4. Juli Yang Biru
Biru identik dengan kesedihan. Karena itu ada musik blues. Musik yang menggambarkan kegetiran para budak kulit hitam di Mississipi. Musik yang getir namun memikat. Dan bulan Juli adalah bulan kesedihan.

Nenek dari pihak mamak meninggal dunia pada bulan Juli. Maka saya resmi tak punya kakek atau nenek lagi, karena semua sudah dipanggil oleh yang mempunyai nyawa mereka. Yang meniupkan roh dan menurunkan mereka ke bumi. Tapi nenek meninggal dengan senyum. Karena didampingi oleh semua keluarganya, anak, cucu, dan cicit. Meninggal dengan bahagia karena sempat mencicipi sop buntut sebelum selamanya ia tak akan bisa mencicipinya lagi. Entah kalau di surga ada sop buntut.

Selamat jalan nek. Sampai ketemu lagi nanti :)

5. September, Kisah Baru Dimulai

Iya, saya mulai sekolah lagi. Dengan banyak pertimbangan. Karena kepentingan sekolah ini, saya pindah domisili di Jogja. Memulai hidup baru dari nol. Layaknya mahasiswa perantauan lain. Mencari kamar kos, membeli perabotan, menata kamar, memasak sendiri, dan banyak lagi. Saya bertemu dengan teman-teman baru. Saya menganggap ini adalah sebuah petualangan baru. Fase hidup yang harus saya lalui. Petualangan yang harus saya jalani. Karena hidup adalah petualangan yang harus dijalani dan dinikmati. Ahoy!

Bulan ini adalah bulan dimana hubungan saya dengan Rina memasuki umur yang ke 1 tahun. Bagi saya, hubungan ini terasa istimewa karena sebelumnya saya tak pernah bisa berkomitmen dalam jangka waktu yang lama. Sebelumnya, komitmen paling lama adalah 9 bulan beberapa hari.

Tapi Rina bisa tahan menghadapi saya selama 1 tahun. Itu adalah hal yang luar biasa. Tak banyak perempuan yang bisa bertahan menghadapi saya yang keras kepala, pongah, begajulan, dan egois. Untuk itu, saya memberikan salut saya yang terdalam. Hubungan ini memang tak hanya berisi tawa belaka. Ada tangis, ada marah, dan juga ada benci. Tapi itulah segala tentang hidup. Hidup harus penuh warna bukan?

Bersamanya pula, saya mulai merangkai mimpi masa depan. Seperti mengajar di universitas di kampung halaman, mempunyai pizzeria yang akan memberikan space manggung kepada band-band di kota kami, punya taman baca kecil, dan lain-lain. Ah, saya jadi melantur. Maafkan.

Semoga, ketika ia bisa bertahan 1 tahun dengan saya, ia bisa juga bertahan hingga kelak kami tua nanti. Seperti kata John Lennon dalam lagu "When I'm 64",


When I get older losing my hair,
Many years from now,
Will you still be sending me a valentine
Birthday greetings bottle of wine?

If I'd been out till quarter to three
Would you lock the door,
Will you still need me, will you still feed me,
When I'm sixty-four?

oo oo oo oo oo oo oo oooo
You'll be older too, (ah ah ah ah ah)
And if you say the word,
I could stay with you.

I could be handy mending a fuse
When your lights have gone.
You can knit a sweater by the fireside
Sunday mornings go for a ride.

Doing the garden, digging the weeds,
Who could ask for more?
Will you still need me, will you still feed me,
When I'm sixty-four?

Every summer we can rent a cottage
In the Isle of Wight, if it's not too drear
We shall scrimp and save
Grandchildren on your knee
Vera, Chuck, and Dave

Send me a postcard, drop me a line,
Stating point of view.
Indicate precisely what you mean to say
Yours sincerely, Wasting Away.

Give me your answer, fill in a form
Mine for evermore
Will you still need me, will you still feed me,
When I'm sixty-four?

6. Desember Untuk Mereka Yang Terkasih


“Time goes by so fast, people go in and out of your life. You must never miss the opportunity to tell these people how much they mean to you.”
(Anonymous)

Saya sadar, ada banyak orang yang datang dan pergi di hidup saya. Ada yang memberikan tawa, namun tak sedikit pula yang menorehkan luka. Bagi saya, mereka adalah orang-orang yang berharga. Seringkali kita abai pada orang-orang dekat kita. Kita selalu menunda untuk memberikan semacam prasasti bagi kehadiran mereka dalam hidup kita. Seolah-olah hidup adalah abadi dan kita akan bersama selamanya. Ding dong, anda salah.

Karena waktu berlalu begitu cepat, orang-orang datang dan pergi. Dan kita tidak boleh melewatkan kesempatan untuk memberitahu mereka betapa mereka sangat berharga dalam hidup kita.

Maka saya mulai menggali lagi sisi melankolia saya. Dan benar, saya menyadari banyak orang dekat saya yang bahkan tak pernah saya sebutkan namanya atau saya tulis kisahnya. Saya bukan orang kaya yang memberi penghargaan via uang atau barang. Saya hanya punya sedikit kemampuan menulis, maka saya berusaha menuliskan kisah mereka. Pun, menulis adalah bekerja untuk keabadian. Itu kata Pram. Maka, tulisan akan mengabadi.

Saya lalu jadi sadar satu hal: ketidakmampuan saya mengucap sayang secara langsung. Bagi saya, mengucap sayang secara langsung itu sedikit memalukan dan membuat canggung. Seumur hidup, saya tak pernah bilang "aku sayang ayah", atau "aku cinta mamak". Dan mereka pun sepertinya tak pernah berucap hal itu. Mereka menunjukkannya dengan perbuatan. Karena itu pula saya lebih sreg menulis daripada mengucapkan langsung.

Di penghujung tahun pula saya mengulang hari kelahiran, untuk yang ke 23. Saya beranjak semakin tua daripada saya yang sebelumnya. Saya jelas ingin merubah banyak hal yang mengganggu. Saya ingin memulai hidup sehat. Olahraga secara teratur, makan sayur, atau tidur tepat waktu. Tapi apa daya, merubah kebiasaan itu tak segampang melontarkan gombalan ultra-norak ala OVJ.

Lalu? 2012 mau apa? Masih belum tahu. Karena seperti kutipan paling atas, kita bisa merusak masa kini dengan terlalu khawatir mengenai masa depan. Maka biarlah waktu berjalan, sementara saya melakukan apa yang saya bisa. Sekolah, membaca, menulis, menggojlok kawan-kawan, nongkrong, dan mencicil mimpi-mimpi yang sedianya masih banyak...

“We all have our time machines. Some take us back, they're called memories. Some take us forward, they're called dreams.”
(Jeremy Irons)

Rabu, 28 Desember 2011

Rambut

Kalau ada hal lain selain kata, yang bisa menjadi senjata, itulah rambut. Rambut, tanpa disadari bisa menjadi suatu yang subversif. Setidaknya bagi para kaum penguasa atau kaum mapan.

Salah satu kisah legendaris mengenai rambut gondrong adalah Led Zeppelin yang dulu pernah dilarang manggung di Singapura. Alasannya? Karena rambut mereka gondrong dan ditakutkan akan membawa dampak yang buruk kepada pemuda-pemudi Singapura.

"Kami bahkan pernah ditodong pistol di Texas. Beberapa orang meneriaki kami dan bersumpah serapah tentang rambut gondrong kami dan segala macam" tandas John Bonham, drummer Led Zep mengenai rambut gondrong mereka yang dianggap melawan tatanan dan norma sosial yang berlaku saat itu.

Lalu tengok pula kisah anak-anak punk yang memaknai rambut mohawk sebagai manifestasi kebebasan dan ketertindasan. Rambut itu lantas dijadikan identitas oleh banyak anak punk. Kasus terbaru tentu masih lekat di ingatan. Bagaimana sekitar 6o-an anak punk digunduli oleh polisi syariah di Aceh. Pertanyaannya adalah: kenapa harus digunduli? Banyak variasi jawaban muncul. Tapi bagi saya, penggundulan itu adalah sebuah hinaan, pernyataan "kemenangan" dan juga kepongahan polisi syariah atas kedaulatan anak-anak punk selaku manusia bebas.

Ada lagi kisah mengenai rambut dari negeri China. Kalau kalian pernah menonton film "Shanghai Noon", diceritakan betapa Jackie Chan merasa sangat terhina karena rambutnya dipotong oleh sang musuh. Ya, bagi para pria China kala itu, rambut adalah identitas dan juga harga diri. Kalau rambut panjang nan indah itu dipotong, rontok pula harga diri mereka sebagai pria.

Saya sendiri pernah punya kisah mengenai rambut gondrong. Pernah ditulis disini.

Tapi tak ada yang lebih menghargai rambut selain perempuan. Bagi perempuan, rambut adalah nyaris segalanya. Ia ibarat mahkota. Semaniak apapun pria terhadap gaya rambut; setinggi apapun idealisme yang dibawa oleh rambut; tetap itu semua kalah terhadap penghargaan dan pemujaan perempuan terhadap rambut mereka.

"The hair is the richest ornament of women" ucap Martin Luther suatu ketika. Ia tak sedang berbual.

Kemarin sore saya dan Rina janjian makan bakso. Tapi sebelumnya dia pergi potong rambut dan saya pergi ngopi bareng Arys. Setelah selesai potong rambut, Rina menjemput saya di warung kopi. Saat bertemu, Rina memasang muka cemberut.

Ada apa gerangan, tanya saya dalam hati.

"Salonnya motong rambutku terlalu banyak. Jadinya rambutku agak pendek" katanya merajuk dengan muka yang ditekuk.

Akhirnya di perjalanan menuju warung bakso, Rina bercerita mengenai ikhwal pemotongan rambutnya yang menurutnya berlebihan.

Saya sih sebenarnya tak ambil pusing dengan apapun jenis potongan rambut Rina. Bagi saya, Rina cocok dengan potongan rambut apapun. Dan saya bukan tipikal pria yang heboh dengan apa tatanan rambut pacar saya.

"Potongannya kependekan uy, aku jadi kayak tikus kecebur got" katanya setengah menangis. Di hadapan kami, ada seporsi bakso yang uapnya mengepul. Tampaknya lezat. Tapi alih-alih tergiur terhadap harum bakso yang menguar, Rina malah terus menunjukkan rambutnya yang katanya terlalu pendek.

"Enggak dul, bagus kok" ujar saya berusaha menghibur.

"Ah, kamu kan pacarku. Wajar kalau bilang bagus" kejarnya tak percaya.

Ah, perempuan memang selalu mencari opsi kedua. Saat itu kebetulan mas penjual bakso mengantarkan sepiring lontong dan gorengan, maka saya panggil mas itu.

"Mas mas, potongannya mbak ini bagus gak?" tanya saya konyol. Rina shock, tak menyangka saya akan bertanya pada mas penjual bakso itu. Rina hanya bisa malu dan menundukkan kepala sembari mengomel pelan.

"Bagus kok mas, sip" puji mas penjual bakso tersenyum sembari mengacungkan jempol.

"Tuh kan, bagus dul" kataku sembari tersenyum.

Tapi Rina malah makin cemberut. Kali ini bukan cemberut gara-gara rambut, tapi gara-gara malu.

Ah dasar perempuan :)

Sabtu, 24 Desember 2011

Kado Dari Awe

Pasukan Awe
Saya kenal Ardi Wilda dari dunia maya. Bahkan hingga sekarang pun kami tak pernah sekalipun bertatap muka. Tapi hal itu tak menghalangi kami untuk jadi akrab satu sama lain. Kebetulan lingkaran pertemanan kami berkelindan pada orang-orang yang itu saja. Awe --panggilan akrab Ardi Wilda-- adalah sahabat karib Fakhri "Jaki Macan" Zakaria. Jaki itu kawan satu angkatan Ayos di KEM edisi pertama. Sedang Ayos adalah sahabat saya sedari SD. Jadi ya gitu deh, mbulet seperti mbako lintingan. Lalu akhirnya kami sama-sama jadi kontributor Jakartabeat.net.

Awe sempat lama bekerja sebagai reporter magang di RSI. Selepas kuliah, ia beberapa kali menuliskan di blog-nya kalau ia ingin melanjutkan ke jenjang S2. Saya pikir setelah jadi sarjana, ia akan mengambil salah satu dari dua pilihan yang ada: terus jadi reporter di RSI atau melanjutkan studi.

Tapi Awe memang jago dalam membuat kejutan. Lama tak bersua di dunia maya, ia sukses mengejutkan saya. Pria berkacamata ini ternyata diterima menjadi salah seorang pengajar muda di program Indonesia Mengajar. Ia mendapat tempat dinas di Lampung. Ia akan menjadi pendidik selama setahun disana. Mengajari anak-anak kecil dan remaja disana bahwa ada banyak genre musik di luar sana, bukan sekedar Kangen Band atau Hijau Daun.

Kemarin saya di sms oleh Awe. 

"Mas, ada ucapan buatmu dari para rocker Lampung. Liat di twitter ya, @ardiwilda." Kira-kira begitu isi pesannya. Malam ini, waktu saya sudah bersua dengan internet lagi, maka saya lihat apa yang ia maksud. 

Ternyata itu adalah sebuah gambar beberapa anak yang membawa selembar kertas karton bertuliskan "Selamat Ultah Mas Nuran, Rock On". Dan salah seorang anak membawa kaos hitam kebanggan para kontributor Jakartabeat yang berlogo JB. Ah, saya terharu.

Makasih ya Awe! Selamat menunaikan ibadah mengajar. Tolong ajari mereka musik rock, atau setidaknya beritahu mereka tentang Blur, band favoritmu itu. Tolong cuci otak mereka agar tak mengikuti langkah Kangen Band atau Hijau Daun. Tolong We. Tolong!

Kunjungi blog Awe disini, banyak kisah menarik yang tertuang disana :)

Rabu, 21 Desember 2011

Jelajah Rasa Thailand di Phuket

Tanggal 19 Desember kemarin, Heru, seorang kawan di kampus berulang tahun. Karena itu ia dengan sukarela mengajak kawan-kawan untuk makan bersama. Horeeee. Lokasi yang dipilih adalah Phuket, sebuah rumah makan yang menyajikan masakan Thailand, terutama daerah Selatan. Phuket adalah satu-satunya rumah makan Thailand di Yogya. Ada tiga lokasi Phuket di Yogya, dan kami memilih yang di dekat kampus, di daerah Pandega. Suasana resto didominasi dengan warna kuning, dengan beberapa lukisan yang menggambarkan suasana Thailand.

Suasana Restoran

 "Wah, harusnya kita makan disini sebelum presentasi soal Illuminated Boat" seloroh Ray. Illuminated Boat adalah sebuah prosesi tradisional di Thailand yang kapan hari jadi bahan presentasi kami.

Kami memesan beberapa menu untuk dimakan bersama. Yang wajib dipesan apalagi kalau bukan sup kebanggaan Thai people: Tom Yam. Kami memesan Tom Yam Thalai alias Tom Yam Seafood. Lalu kami juga memesan Ayam Goreng Bangkok. Ada juga Phat Phak Bangkok alias Cap Cay ala Bangkok. Kami juga memesan Cumi Goreng Tepung dan Kakap Goreng Tepung. Yang unik dan lezat ada pula Tahu Saus Cabe. Selain itu kami memesan Spicy Beef Coconut alias Sapi Dalam Kelapa.


Untuk minum, beberapa kawan ada yang memesan Es Teh Thailand, Es Kopi Thailand, dan saya sendiri memesan Es Lychee.

Tak perlu menunggu beberapa lama, pesanan kami datang. Kami semua mereguk lidah melihat hidangan yang menggiurkan.

Seafood  Tom Yam datang dalam sebuah kuali keramik berukuran besar. Warna kuahnya merah menggoda, tampak pedas. Isinya ada udang, cumi, bakso ikan, dan juga jamur. Satu porsi Tom Yam ini bisa dimakan untuk berlima, dibagi ke dalam mangkok-mangkok kecil. Ketika menyeruput kuahnya, alamaaak. Rasa segar, asam, dan pedas bercampur jadi satu. Belum lagi rasa gurih dari udang, tekstur kenyal dari cumi, dan potongan bakso ikan yang lezat. Ini Tom Yam juara!

Sup Tom Yam Seeafod Yang Juara

Ayam Goreng Bangkok adalah ayam goreng yang digoreng hingga garing dan disajikan dengan saus asam manis khas Bangkok. Sayang saya tidak sempat mencicipi karena kalah cepat dengan para pemangsa lain.  Persaingan itu kejam jenderal! Sial. 

Ayam Goreng Bangkok Yang Tidak Sempat Saya Cicipi.

Cap Cay Bangkok muncul dengan porsi raksasa. Sawinya hijau segar, dengan potongan wortel, baby corn, jamur, dan juga udang. Saya memutuskan untuk tak mencicipi. Alasannya jelas: saya kurang suka sayur. Tapi si Lisa, yang memang seorang herbivora, beringas dan nyaris menghabiskan setengah porsi Cap Cay berukuran besar ini. Sendirian!

Cap Cay Bangkok. Konsumsi Raksasa!

Cumi dan Kakap Goreng Tepung sama saja dengan masakan goreng tepung lainnya, digoreng garing hingga crispy dan berwarna kuning keemasan, dan disajikan dengan salad sayur dan saus sambal.

Kakap Goreng Tepung

Nah sekarang mari beranjak ke masakan unik nan spesial: Tahu Saus Cabe. Masakan ini berupa tahu sutra yang dipotong memanjang, dibalur oleh tepung, lalu digoreng hingga garing. Lapisan luarnya renyah, dan ketika digigit, barulah sadar kalau lapisan dalam tahu sutra ini begitu lembut. Dan saus cabe-nya, aduuuh, rasanya sangat memanjakan lidah. Ada campuran rasa pedas namun tidak menggigit, dengan sedikit rasa manis dan gurih yang entah muncul darimana. Satu suap rasanya tidak cukup. Saya mengambil lagi dan lagi. Tanpa sadar, tahunya sudah habis. Dan saya tidak sempat memotret. Maaf ya.

Tapi menu yang resmi membuat saya puas adalah Sapi Dalam Kelapa. Dari tampilan awal saja masakan ini sudah juara. Daging sapi yang dimasak dengan bawang bombay dan kelapa muda, disajikan dalam batok kelapa. Saus pedasnya yang berwarna coklat muda rasanya pedas, tapi berpadu imbang dengan rasa manis dari daging kelapa muda. Kontras yang menyenangkan. Lalu daging sapi yang bertekstur liat berduet dengan daging kelapa muda yang lembut dan licin. Aduh, juara!

Spicy Beef Coconut. Muantap!

Untuk minum, saya juga mengacungkan jempol pada Es Lychee ala Phuket ini. Es Lychee ini adalah jus leci yang dicampur dengan susu dan UC 1000, atau bisa juga diganti dengan Kratingdaeng. Rasanya menyegarkan. Plus ada tambahan beberapa buah lychee yang manis menyegarkan.

Es Lychee Yang Menyegarkan

Sore itu kami resmi dimanjakan oleh Phuket. Makanannya enak, pelayanannya ramah, harganya pun murah meriah. Harga makanan berkisar antara 4000- 27.500. Harga minuman berkisar antara 3000-11.000.

Sore yang menyenangkan...

Senin, 19 Desember 2011

Sop Kaki Kambing Tiga Saudara: Atas Nama Kenangan

Seperti yang sudah saya tuliskan kemarin, saya bukan seorang yang begitu menggemari makanan yang berbahan dasar kambing. Satu-satunya makanan dari kambing yang bisa saya tolerir mungkin adalah sate kambing. Tapi kalau disuruh memilih, saya lebih memilih daging lain ketimbang daging/ jerohan kambing.

Dengan pikiran seperti itu, saya tidak membawa ekspektasi apapun terhadap Sop Kaki Kambing Tiga Saudara. Warung ini terletak di depan Bethesda, tepatnya di seberang hotel Novotel. Tepatnya lagi ada di depan SMA BOPKRI 2.

Ketika saya sampai, hujan baru saja usai. Tapi dingin masih tertinggal. Suasana yang pas untuk menyantap yang berkuah dan hangat.

Baru saja saya masuk, saya sudah dihadapkan dengan tiga buah baskom stainless berukuran besar yang berisi berbagai macam organ kambing yang bisa dimakan. Mulai jerohan, tulangan, hingga kaki. Saya tak tahu apa saja yang harus saya makan. Akhirnya saya memasrahkan pada sang penjual apa saja yang akan saya makan. Suasana warung cukup ramai. Ada satu kelompok perempuan yang tampak sangat menikmati sop kaki. Ada pula sepasang kekasih yang makan pelan-pelan, tampak keinginan kental agar waktu tak segera berlalu.


Tak memerlukan waktu lama, seporsi sop kaki kambing datang dengan uap panas yang mengepul lengkap dengan sepiring nasi. Sop kaki kambing datang dengan tampilan yang menggoda. Warnanya coklat muda, dengan bundaran-bundara coklat tua dari minyak samin. Ada potongan tomat segar berwarna merah menyala. Juga ada serpihan besar emping. Selain itu ada potongan bawang daun.


 Saya coba seruputan pertama, slurrrpppp. Hmmm, rasanya agak hambar.

Perlu ditambahi cucuran jeruk nipis dan tambahan sambal. Setelah saya cucuri jeruk nipis dan diberi satu sendok sambal, barulah sopnya kerasa lebih mantap. Meski untuk itu, rasa minyak saminnya harus agak mengalah dengan rasa asam dan pedas yang datang dari jeruk nipis dan sambal.

Untuk isiannya. Gimana ya bilangnya? Karena saya kurang suka dengan kambing, maka saya merasa tak berhak menghakimi rasa maupun tekstur isian sop kaki ini. Rasanya ya standar kambing laaah. Kalau disuruh memilih, saya lebih suka sop kaki sapi. Lalu saya agak sedikit gak rela karena harga yang harus saya bayar untuk satu porsi sop kaki, satu porsi nasi putih, dan satu teh hangat adalah 19 ribu. Sebenarnya harga yang wajar. Tapi yang bikin saya agak gak rela adalah karena saya harus membayarnya untuk sesuatu yang kurang saya nikmati. Tapi tak apalah, atas nama kenangan.

Yang juga saya kenang adalah malam ketika saya, Ayah, mbak Vivi, dan mas Yoyok suaminya, makan di sop kaki ini belasan tahun silam. Kursinya mungkin kursi yang sama. Spanduk nama warung mungkin masih sama, sudah tua dan koyak disana-sini.


Saya masih samar-samar ingat betapa ayah begitu menikmati sop kaki ini. Beliau sedikit ngomel kenapa saya seperti menolak kenikmatan yang ditawarkan sop kaki ini. Juga sedikit nggerundel karena saya lebih suka burger ketimbang sop kaki :)

Malam itu ingatan saya resmi bereuni, diiringi rintik sisa hujan yang tempias di jalan...

Monalisa: Burger Pencerahan

Entah apa hubungannya dengan Da Vinci, pelukis lukisan mahsyur berjudul Monalisa, yang menggawangi gerakan rennaissance alias masa pencerahan, warung burger bernama Monalisa ini pun menggawangi masa pencerahan bagi industri makanan cepat saji di Yogyakarta.

Monalisa adalah pelopor penjual burger kaki lima pertama. Warung ini berdiri sejak tahun 1988. Menurut sejarah, sang pemilik bernama Wibowo Agung, seorang mahasiswa perminyakan di UPN Veteran. Usaha ini dijadikan kegiatan sampingan selain belajar. Ternyata laris manis. Bahkan ketika beberapa pelaku makanan cepat saji masuk Yogya, burger Monalisa masih tetap laku, tak tergerus persaingan. Sekarang pun, ketika makin banyak pesaingnya dalam usaha burger "jalanan" macam Mister Burger dan Big Burger, Monalisa masih tetap tegak berdiri. Pelanggannya tak pernah surut.

Kemarin malam saya pergi ke Monalisa. Warung ini terletak di Jl. Kaliurang, pas di sebelah bank CIMB Niaga. Ketika saya datang, sudah banyak pelanggan yang antri.

Selain burger, dijual pula berbagai makanan "ringan" lain macam roti bakar, spaghetti, pizza, hingga kentang goreng. Ada juga berbagai milkshake dan juga es teler durian.

Untuk harga makanan berkisar antara 6.500- 11.500 rupiah. Sedang untuk minuman, harga berkisar antara 3.500- 5000 rupiah. Saya memesan burger keju untuk dibawa pulang. Karena memang sepertinya warung ini tak menyediakan ruang untuk makan di tempat. Bahkan kursi pun tak ada. Sehingga pelanggan harus menunggu sambil berdiri.

Saat saya melongok, ada dua buah wadah. Satu tempat saus, satu lagi tempat mayonaisse. Setelah saya bertanya-tanya pada sang pegawai, saus dan mayo itu ternyata bikinan sendiri. Home made sauce and mayo. Berbeda dengan burger-burger lain yang memakai saus dan mayo buatan pabrik. Hmm, rasanya pasti beda. Sausnya berwarna merah tua, sedang mayonya berwarna kuning.


Daging burger Monalisa ini gemuk nan tebal. Pasti mantap, pikir saya. Selada, timun, tomat, dan juga bawang bombay tersaji segar. Lalu roti yang dipakai adalah roti bluder, bukan roti burger biasa yang sudah terbelah. Cara pembuatan dan penyajiannya adalah roti bluder ini diambil dari wadah sebelum disajikan, dibelah, digoreng sebentar dengan mentega, lalu diolesi saus dan mayo dengan takaran yang royal. Setelah itu baru diisi berbagai macam isian itu. Bagi yang memesan burger dengan keju, disediakan keju mini berbentuk persegi.

Ketika sudah sampai kos, saya buka wadah burger. Hmm, bau harum menguar di udara. Harum saus dan mayo bikinan sendiri.

Nah, ini dia kelemahan burger "jalanan". Entah kenapa, burger yang dibeli di pinggir jalan, selalu tidak ergonomis. Ketika tangan saya memegang burger, otomatis saus, mayo, dan segala isi burger jadi keluar dari roti. Sangat merepotkan. Beda dengan burger resto cepat saji yang ergonomis, jadi ketika dipegang dan ditekan, isinya tidak keluar. Mungkin ini kenapa burger "jalanan" di Indonesia masih belum bisa jadi makanan untuk dimakan ketika berjalan, ya itu, karena makannya repot dan bikin belepotan. Bayangkan kita sedang berjalan terburu-buru dan kelaparan. Satu tangan memegang berkas atau kopi, sedang satu tangan lain memegang burger yang bikin belepotan Sangat tidak nyaman kan?


Satu lagi kelemahan burger Monalisa. Roti burger monalisa ini merupakan roti bluder yang teksturnya lebih empuk dan lembut dibanding roti burger biasa. Jadi ketika dioles saus dan mayo dalam jumlah banyak, rotinya jadi seolah-olah "lumer" dan jadi lembek. Jadi ya itu tadi, siap-siap belepotan dan finger licking.

Tapi soal saus dan mayo, aduuuh enak sekali. Kentara kalau bikinan sendiri. Rasa saus pedasnya bisa sangat menyengat di lidah dan dinding mulut. Tapi rasa pedas itu seperti dinetralkan oleh rasa manis dari mayo. Berbeda dengan mayo kemasan yang rasanya cenderung asam, mayo burger Monalisa yang berwarna kuning ini memiliki rasa yang manis. Selain itu, dua olesan saus dan mayo yang generous membuat kita benar-benar merasakan kenikmatan produk rumahan ini.

Lalu bagaimana dengan daging? Seperti yang saya bilang tadi, bentuknya yang tebal dan "gemuk" seperti menjamin kepuasan penikmatnya. Rasanya memang mantap. Tekstur dan rasanya mirip rolade atau bistik gelatin. Plus, rasa manis yang muncul karena kesegaran bahan.

Bayangkan semua rasa dari saus, mayo, daging, dan sayuran segar, berpadu jadi satu, yang ditangkup oleh roti bluder yang teksturnya lembut nan empuk.

Ah Monalisa, kau memang membawa pencerahan...

Minggu, 18 Desember 2011

Tentang Makanan Sentimentil Itu

Ayah dan Saya.

 Dalam satu dan beberapa hal, saya ternyata orang yang sentimentil.

Beberapa hari lalu saya menuliskan sebuah artikel untuk lomba menulis. Kebetulan, saya mengambil cerita mengenai ayah saya. Sejak saat itu pula saya jadi kangen ayah. Hingga sekarang. Dan seperti tetes hujan di bulan Desember yang rapat dan pekat, kenangan mengenai ayah lantas terus menerus jatuh. Karena saya sedang berada di Yogyakarta, saya jadi mengingat kembali sebuah perjalanan yang kami lakukan berdua beberapa tahun silam. Tepatnya ketika saya masih duduk di kelas 2 SMP.

Saat itu ayah masih menjadi ketua pasar burung Gebang. Selain sibuk mengadakan acara lomba burung berkicau, ayah juga berdagang beberapa perlengkapan peternakan burung. Salah satunya sangkar.

Suatu hari ayah mengajak saya untuk kulakan sangkar. Salah satu sentra sangkar burung kualitas terbaik ada di Solo. Saya lupa apa nama daerahnya. Maka berangkatlah kami ke Solo dengan menggunakan kereta api.

Kepingan kenangan itu masih saya ingat hingga sekarang.

Kami naik becak mencari hotel untuk bermalam. Dan si tukang becak bertanya dengan polos pada ayah, "Pak, gak butuh selimut hidup?". Ayah menjawab tidak sambil ketawa kecil. Sedang saya masih belum paham apa itu selimut hidup. Lantas ayah menjelaskan pada saya apa itu selimut hidup. Sesampainya di hotel saya nonton sepak bola. AS Roma sedang bermain, saya lupa siapa musuhnya. Yang saya ingat, salah satu pencetak gol adalah Assuncao. Ia mencetak gol dengan tendangan bebas, spesialisasinya.

Setelah beberapa hari di Solo, kami pergi ke Yogya. Mengunjungi sepupu ayah yang biasa saya panggil Mbak Vivi. Waktu itu rumah mbak Vivi ada di sebuah pabrik es batu. Mbak Vivi juga membuat saya betah dirumahnya, karena beliau punya Playstation. Ayah dan Mamak tidak pernah membelikan video game apapun, karena mereka berdua percaya game itu tidak membawa pengaruh positif. Anak-anak mereka lebih sering disuruh bermain di alam terbuka. Akibatnya sampai sekarang saya dan saudara-saudara saya kurang suka main game. Tapi saat itu, namanya juga anak kecil, saya girang melihat seperangkat alat game.

Selain kenangan-kenangan kecil berharga seperti itu, satu hal lagi yang saya ingat: makanan.

Ketika waktu makan malam tiba, Mbak Vivi dan suaminya mengajak ayah dan saya untuk berwisata kuliner. Rencananya adalah makan sop kaki kambing. Nah, berhubung saya tidak suka kambing,maka mereka mencari alternatif lain. Pilihan jatuh pada burger.

Saat itu saya diajak ke sebuah warung tenda yang menjual berbagai makanan khas Italia, seperti burger atau spaghetti. Saat itu saya melongo. Katrok karena tak pernah lihat burger dijual di pinggir jalan. Di Jember, burger hanya bisa di dapat di warung roti tertentu, bukan di pinggir jalan. Saya girang dan memesan satu buah burger.

Setelah membungkus burger, kami pun melaju ke warung sop kaki kambing. Saat itu ayah masih belum terkena stroke. Masih muda, bugar, sehat. Karena itu beliau enteng-enteng aja ketika menyantap sop kaki kambing. Beliau malah menyayangkan saya yang lebih memilih makanan western ketimbang makanan khas Indonesia. 

Ah ayah, namanya juga selera.
***

Waktu berlalu dengan cepat. Sudah nyaris 11 tahun lalu perjalanan itu dilakukan. Banyak yang sudah berubah. Ayah terkena stroke, lalu meninggal tahun 2011. Saya lulus SMP, SMA, lalu akhirnya lulus kuliah. Mbak Vivi beberapa kali pindah domisili karena ikut pekerjaan suaminya. Dari Yogya ia ke Solo, lalu ke Bekasi, dan sekarang ke Balikpapan. Tapi ia tetap suka makan-makan. Beberapa waktu lalu ia mengiming-imingi saya kuliner khas Balikpapan.

Malam ini entah kenapa, saya tiba-tiba ingin melacak wisata kuliner yang pernah saya lakukan bersama dengan ayah dan Mbak Vivi. Karena saya lupa dimana kami berwisata kuliner, maka saya mengirim SMS pada mbak Vivi. Mencari tahu dimana sop kaki kambing dan burger yang pernah kami makan beberapa tahun silam.

"Itu Sop Kaki Kambing Tiga Saudara. Nang sebelah kiri, ngarep Bethesda, seberange Novotel" ujar Mbak Vivi dengan ingatan yang tajam.


Lalu bagaimana dengan burger? Burger yang saya makan itu kan burger di warung tenda. Sekarang pasti sudah tidak ada. Tergerus persaingan. Apalagi banyak burger franchise khas Yogya macam Mister Burger dan Big Burger yang bertebaran dimana-mana. Ternyata warung burger itu masih ada!

"Iku burger Monalisa, ngarepe BNI UGM, sebelahe Mandiri. Mak Nyus tenan" ujar Mbak Vivi yakin.


Maka saya bergegas mandi, menghilangkan gerah. Lalu menyandang kamera, dan berangkat mencari kuliner sentimentil itu. Kuliner kenangan yang pernah saya santap dengan orang-orang terkasih saya. Saya akan menuliskan mengenai kuliner sentimentil ini pada dua postingan yang terpisah nanti.

Ayah, disana ada Sop Kaki Kambing gak? :)

Apakah Saya Berada di Italia Atau Nanamia Pizzeria?


Kalau sedang berkunjung ke Yogyakarta dan ingin makan pizza khas Italia, silahkan berkunjung ke Nanamia Pizzeria. Restoran pizza ini sudah terkenal seantero Yogya. Pizza-nya tipis, crunchy, berbeda dengan pizza khas Amerika yang "gemuk" dan mengenyangkan. Ciri khas lain pizza Italia adalah dibakar dalam tungku berbahanbakar kayu pohon buah. Sehingga rasanya pun berbeda, ada harum yang khas yang menyeruak samar-samar. Tapi efek samping dari proses memasak tradisional ini adalah kita harus menunggu lebih lama. Terlebih lagi, Nanamia hanya punya satu tungku saja. Tungku ini diletakkan di depan restoran. Penerapan konsep open kitchen ini termasuk jarang di Yogya.

Arsitektur Nanamia yang khas arsitektur Mediterania membuat saya betah berlama-lama di tempat ini. Walau begitu, tempatnya terlalu sempit. Kalau makan berdua saja sih gak papa, tapi agak kurang nyaman kalau makan rame-rame. Untuk menanggapi keluhan itu, beberapa saat lalu pizzeria ini diperluas. Bagus deh.
 
Oh ya, bagaimana menunya? Ada banyak. Mari kita dedah satu-persatu.

Untuk antipasti (makanan pembuka), ada "Pane Aglio" yang merupakan 4 potong roti baguette dengan topping saus bawang putih. Ada juga "Bruschetta" yang merupakan 4 potong roti baguette dengan topping tomat, basil, dan minyak zaitun. Harganya antipasti berkisar antara 10-18 ribu.

Pada pasta, ada "Sphagetti Napoletana" yang merupakan spaghetti dengan campuran tomat, bawang bombay, zaitun hitan, dan juga basil segar. Coba juga "Spaghetti Marinara" yang merupakan spaghetti dengan saus tomat yang bercampur dengan aneka hasil laut. Untuk yang agak pedas, silahkan coba "Penne al Arrabbiata" yang merupakan penne (sejenis pasta berbentuk silinder) yang berpadu dengan saus tomat bercampur bawang bombay, cabai, dan basil segar. Lalu ada pula  "Lasagne Classica" yang merupakan lasagna home-made yang bercampur dengan daging cincang, saus tomat, basil, mozarella, dan juga krim keju. Untuk harga pasta, kisarannya antara 25-29 ribu.

Untuk pizza, ada banyak sekali pilihannya. Mulai "Mexicana" (pizza dengan topping saus tomat, mozarella, cabai jalapeno, bawang bombay, parika, jagung, dan kacang merah), "Quattro Stagioni" (pizza dengan toping saus tomat, mozarella, jamur, paprika, peperono, dan daging cincang) hingga "Nanamia Speciale" (pizza dengan topping saus tomat, mozarella, bawang bombay, nanas, cabai, dan ayam pedas). Semua tersedia dalam ukuran sedang dan besar. Harganya berkisar antara 35-59 ribu.

Untuk dolci (makanan penutup), ada "Gelato Con Cioccolato" (es krim dengan topping lelehan coklat), "Piatto Di Fruta" (seporsi potongan berbagai buah), hingga "Tiramisu". Banderolnya berkisar antara 15-17 ribu.

Siang itu saya ingin memesan "Diavola", pizza dengan rating 3 cabai yang berarti pedas, yakni pizza dengan topping saus tomat, mozarella, daging asap, paprika, cabai, dan juga jalapeno. Sayang, hari itu stok jalapeno di Nanamia sedang kosong. Akhirnya saya mengalihkan pesanan ke "Capriciossa." Pizza ini merupaan pizza dengan topping saus tomat, keju mozarella, jamur, daging asap, dan capers (pucuk bunga dari Capparis Spinosa, tanaman yang sering dijumpai di daerah Mediterania. Rasanya sedikit asam dan pahit. Buahnya kecil berwarna hijau, mirip cersen kalau di Indonesia).

Selain itu, saya memesan "Spaghetti al Tonno Picante", sphagetti saus pedas dengan campuran paprika, bawang bombay, dan juga tuna.

Kami memang menunggu agak lama untuk pesanan kami. Seperti yang saya bilang tadi, itu efek dari proses masak khas Italia yang memasak pizza dengan tungku, bukan oven listrik.

Spaghetti datang dulu. Tanpa banyak babibu, kami bertiga langsung menyantap. Satu porsi dibagi bertiga. Sphagetti licin tandas dalam waktu singkat. Walaupun memiliki dua tanda cabai, rasanya tak begitu pedas. Rasanya? Ya standar spaghetti lah :) Sausnya enak, ada campuran rasa pedas dari paprika dan rasa agak manis dari bawang bombay.


Setelah menunggu selama nyaris 30 menit, pizza pesanan akhirnya datang. Ukurannya besar. Tampilannya menggiurkan. Lelehan keju mozarella nyaris menutupi permukaan pizza. Diatas lelehan keju itu bertaburan potongan daging asap. Selain itu beberapa buah capers menyembul dari lelehan keju itu. Dan sama seperti spaghetti, nasib pizza ini tak jauh beda. Ludes dalam waktu singkat dimakan oleh 3 orang barbar yang kelaparan.


Pizzanya sendiri bercita rasa unik. Pinggiran pizzanya crispy. Selain itu buah capers memberikan aksen asam pahit yang unik, mengimbangi rasa asin dari keju dan gurih dari daging asap.

Oh ya, pizza ini memang harusnya dimakan pakai tangan. Di Italia, orang memakan pizza dengan tangan, bukan dengan pisau dan garpu. Dan finger licking seusai makan itu memang nikmat tiada tara :)


p.s Selain Nanamia, ada lagi sebuah pizzeria di daerah Gejayan. Namanya Mondo. Saya juga pernah mencobanya beberapa waktu lalu. Nanti akan saya tulis reviewnya.

Tikungan: Tak Harus Lurus

Menggerakkan kegiatan literasi di suatu daerah itu jelas bukan pekerjaan yang mudah. Hanya orang-orang dengan semangat tinggi dan pengabdian penuh seluruh lah yang bisa menggerakkan kegiatatan literasi. Dan beruntunglah saya punya kawan-kawan keren yang punya semangat tinggi untuk menggerakkan literasi di Jember. 

Iya, semenjak beberapa hari lalu, berdirilah sebuah kelompok literasi yang disebut dengan Kelompok Belajar Tikungan. Mengenai deskripsi, ini saya paste dari laman facebook mereka:

"Kelompok Belajar Tikungan: Tak Harus Lurus adalah kelompok yang memiliki cita ingin mempopulerkan budaya literasi di Kabupaten Jember.

Kelompok Belajar Tikungan memiliki 5 koordinator (1 koordinator utama dan 4 koordinator fitur) dan 1 kementerian yang bergerak beriringan dalam rangka menggapai cita tersebut:
- Koordinator Utama: M Irsyad Zaki
- Koordinator Rumah Baca: Nody Arizona
- Koordinator Diskusi dan Pelatihan: Arys Aditya.
- Koordinator Galeri: Halim Bahriz
- Koordinator Riset dan Penelitian: Fandy Ahmad.
- Menteri Keuangan: Como Bacomboy

Selain itu, Kelompok Belajar Tikungan juga memiliki kelompok studi yang dipilah-pilah sesuai minat dan pelukan dari para awaknya. Yaitu:

1. Studi Sastra dan Teologi, oleh M Irsyad Zaki.
2. Studi Seni dan Pertunjukan, oleh Halim Bahriz dan Rizky Yanuar Hidayat.
3. Studi Filsafat Politik, oleh Arys Aditya dan Igok Botonov.
4. Studi Kedaulatan Ekonomi, oleh Fandy Ahmad dan Nody Arizona.
5. Studi Linguistik dan Bahasa, oleh Syihabul Irfan.
6. Studi Perubahan Sosial, oleh Marlutfi Yoandinas dan Didik Saputra.
7. Studi Lingkungan Hidup, oleh Como Bacomboy dan Rizky Akbari Savitri.
"

Kelompok belajar Tikungan ini juga mempunyai sebuah rumah baca yang disebut dengan Rumah Baca Tikungan. Rumah baca ini diharapkan bisa menjadi sumbu bagi gerakan literasi di Jember. Mengenai rumah baca Tikungan, saya paste juga dari web mereka:

"Bermula dari percakapan-percakapan di warung kopi; saling berbagi informasi buku, saling pinjam buku dan lain-lain, muncul niatan untuk membuat sebuah rumah baca sederhana yang dapat diakses dengan mekanisme lebih terbuka dan leluasa. Niatan itu bertambah mantab ketika di sela-sela rehat Konsolidasi Nasional PPMI di Universitas Sunan Ampel, Surabaya, pada Junuari 2009, Eri Irawan, yang juga alumni Pers Mahasiswa Jember memberikan sejumlah masukan dan tawaran terkait pendirian rumah baca.

 Saat itu kebanyakan personal yang terlibat memang pengurus PPMI, sebagian jadi kuli di struktur nasional, sebagian lagi ada di struktur kota, ada pula yang merangkap keduanya. Karena itu niatan mendirikan rumah baca akhirnya dimasukkan ke dalam salah satu program PPMI Jember. Kebetulan pula, isu yang sedang digulirkan PPMI ialah soal pendidikan. Di Jember, selain turut mengawal BHP, juga ada usaha pembacaan ulang terhadap budaya literasi di Jember. Jadi pas. Rumah baca jadi semakin penting.

Koleksi buku pertama dikirim sendiri oleh Eri Irawan (dan masih berlajut hingga kini). Sejumlah buku yang ia kirim tampak merupakan koleksi pribadinya. Jumlahnya memang tak terlampau banyak, tetapi sudah lebih dari cukup untuk memulai. Sebuah rak sederhana lalu dibuat. Buku-buku mulai didata.

Seiring dengan bertambahnya koleksi buku, satu-satunya rak berukuran 4x2 meter itu mulai tidak kuat lagi menampung buku. Bagi mereka yang pernah berkunjung ke Rumah Baca Tikungan, yang sekaligus jadi sekretariat PPMI Jember  saat masih berada di Jln. Jawa VII No.36 B akan melihat pemandangan ini; buku-buku yang berserakan di mana-mana (semirip dengan baju-celana yang juga berserakan di mana-mana), koran dan majalah yang menumpuk tak karuan. Pada intinya: sama sekali tak terawat. Selain itu koleksi buku bukannya bertambah, namun malah berkurang.

Program-program rumah baca juga belum berjalan, hampir sepenuhnya. Beberapa program, seperti bedah buku bulanan baru bisa diselenggarakan pada tahun 2011. Sedangkan kondisi buku yang memperihatinkan itu baru bisa diatasi pada September 2011, setelah pindah ke tempat yang baru di Jln. Mangga V No.01. Ada 4 rak tambahan yang sudah memadai.

Pada proses sebelumnya, ada kesepahaman untuk memisah lebih tegas antara program PPMI Jember dan Rumah Baca Tikungan; antara PPMI dan Kelompok Tikungan. Tadinya memang sukar dipisah karena mereka yang bergiat di kedua lembaga tersebut merupakan orang-orang yang sama. Setelah sebagian besar personal rampung di PPMI, PPMI dan Kelompok Tikungan dipisah tegas. Tikungan menyusun ulang bangunan epistemik dan program-programnya sendiri, meskipun beberapa orang masih terlibat pada kedua lembaga tersebut.

Salah satu implikasi pemisahan ini segera terlihat ketika Halim Bahriz, yang bukan alumni Persma, melainkan alumni UKM Kesenian bergabung dengan Tikungan. Sebuah langkah maju, tentu saja, mengingat Tikungan mulai dikondisikan untuk dapat menyerap sumberdaya di luar Persma dan alumni Persma. Kehadiran Halim memberikan pengaruh bagus bagi keberlangsungan Tikungan dan rumah baca. Pada aspek intern, Tikungan mulai menyusun kerangka organis yang lebih luas dan solid, misalnya dengan membuat beberapa kelompok studi. Halim dipercayakan menjadi koordinator Kelompok Studi Seni Pertujukan. Pada aspek esktern, jejaring yang dimiliki Halim, terutama para penggiat kesenian di Jember juga segera menjadi jejaring Tikungan. Inilah yang membuat Tikungan kemudian dekat dengan pengiat kesenian.

Setelah Halim, lalu disusul Rizky Yanuar Hidayat, yang berasal dari lembaga kesenian yang sama dengan Halim. Selepas tunai tugasnya di UKMK Universitas Jember, Rizky juga bergabung dengan Tikungan. Arga Brahmanthya yang pernah jadi bagian dari Pencinta Alam di kampusnya juga turut bergabung.

Tak mudah mendirikan sebuah rumah baca yang memberikan garansi bahwa di dalamnya ada proses pertukaran gagasan, ada pencarian bersama dan sebagainya, yang tidak sekedar proses meminjam dan mengembalikan buku. Kiranya itulah yang membedakan rumah baca dengan, katakanlah perpustakaan universitas atau tempat penyewaaan komik dan novel. Buku-buku dicari bersama, dibaca bersama, diulas bersama, juga dirawat bersama: ke sanalah Rumah Baca Tikungan akan menuju, meski mungkin tak cepat. Dalam soal itu, pepatah klasik “sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit” menemukan kembali maknanya.

***

Karena rumah baca ini masih baru, koleksi bukunya jelas masih terbatas. Karena itu jika ada yang berbaik hati menyumbangkan buku, majalah, atau apapun itu yang sekiranya akan bermanfaat bagi gerakan literasi, ditunggu bantuannya :) Untuk laman facebook Tikungan, silahkan klik link ini. Untuk website Rumah Baca Tikungan, silahkan klik link ini.

Sabtu, 17 Desember 2011

Sehari-hari

Pagi menjelang. Kau menggeliat, seperti melepas semua remah kantuk dan lelah sisa semalam. Kau duduk sebentar, mengacak-ngacak rambut, lalu diam termenung sejenak. Setelah semua jiwa kembali pada raga, kau bangkit, menghidupkan dispenser, mengambil sesendok kecil kopi, lalu dua sendok kecil gula, menaruhnya dalam cangkir kecil berwarna merah. Kau suka kopi yang agak manis, sedikit berbeda dengan favorit kawan-kawanmu yang pahit. Hidup itu sudah pahit, tak perlu kita tambah pahit dengan kopi tanpa gula. Itu ujarmu suatu ketika.

Setelah air di dispenser panas, kau menyeduh kopi. Meniup-niup sebentar. Bukan karena keburu-buru, tetapi kau suka melakukannya. Hanya suka, tanpa alasan. Iya, tak semua hal perlu alasan. Seperti meniup kopi, lalu menghirup aroma wanginya yang menguar.

Setelah agak hangat, kau akan menghirupnya perlahan, dengan nikmat. Lalu mulai menghidupkan netbook. Setelah itu kau mencari daftar lagu yang nikmat untuk di dengar di pagi hari. Deep Purple, Motley Crue, Guns N Roses, Poison, Black Sabbath, The S.I.G.I.T, atau GRIBS. Kau berdendang kecil sembari membaca novel atau paper kuliah.

Kamarmu memang sedikit berantakan. Baju baru sekali pakai tergantung di tembok. Ada dua saus, tomat dan sambal, yang kau taruh di dekat tempat piring. Lalu ada setoples kopi hitam, setoples gula, setoples suwar-suwir, juga ada setoples keripik tempe khas Malang. Buah tangan dari kawan yang berkunjung ke Jogja. Lalu ada juga rice cooker yang tak kau gunakan sejak beberapa hari ini. Malas, ujarmu. Lalu ada satu kotak Energen, satu kotak Coffe Mix, juga mie instan. Ada juga sajadah dan sarung kiriman mamakmu, yang sedihnya jarang sekali kau gunakan. Walau sesekali ketika kau butuh "sesuatu" untuk bercengkrama, kau menggunakannya.

Pagi semakin menua. Kau sadar ini waktunya untuk mandi. Tapi buang air besar dulu. Kau tinggalkan kamar dengan lagu menyalak kencang. Kau buang air besar, mandi, sikat gigi. Setelah mengeringkan diri dengan handuk besar berwarna coklat, kau mengoleskan deodoran, kau lalu bersiap. Memakai celana jeans, kaos dengan ham, lalu memakai kaos kaki. Kau memanaskan motor, mematikan laptop, lalu memakai sepatu boots Dr. Marten hitam pemberian seorang teman ketika bersua di Bonn beberapa waktu lalu.

Matahari bersinar terang. Udara segar. Kau memakai helm coklat pemberian kekasihmu ketika ia berkunjung ke Bali. Katanya helm itu cocok untuk dipakai dengan motor Honda CB. Sedang saat ini kau masih dipinjami motor Kawasaki Blitz oleh kawan yang sedang kerja di Kalimantan. Kau sendiri sedang menabung untuk membeli motor impian itu. Pelan tapi pasti. Walau kadang tabungan itu kau ambil sedikit demi sedikit untuk biaya hidup di Jogja.

Kau lantas berangkat sekolah. Hanya butuh waktu 10 menit menuju sekolahmu. Di kelas, para kawanmu sudah menunggu. Ada 11 orang. Semua baik, semua menyenangkan. Diskusi kecil, sembari disela oleh guyonan dan berbagi makanan. Dosen datang, kau menyimak dengan takzim. Lalu sekolah pun selesai.

Kau pulang ke kos, tapi di jalan mampir dulu beli makan siang di Burjo. Biasanya nasi telur, menu termurah yang mengenyangkan. Sampai kos kau baca beberapa paper atau bermain facebook. Menuliskan beberapa catatan di blog, untuk penanda bahwa kau pernah hidup dan melakukan sesuatu di dunia. Tidak sekedar tidur, makan, minum, berak, dan menunggu ajal menjemput.

Kau memutar lagu yang pas di dengarkan di siang hari. Shakatak, The Black Crowes, Eddie Vedder, Eric Clapton, beberapa ballad dari band hair metal macam Slaughter, Ratt, atau L.A Guns, juga beberapa komposisi blues dari Stevie Ray Vaughan, dan juga John Lee Hooker. Kau membaca dengan diiringi angin sepoi yang masuk lewat jendela kamar yang kau buka lebar. Hingga kau ketiduran.

Sore datang. Matahari sedang bersiap purna. Kau bangun, menyeduh coffe mix, lalu mematikan laptop yang sedari tadi memutar daftar lagu yang sama karena kau ketiduran. Kau beranjak dari kasur, mandi, lalu kembali membaca. Apa saja. Kalau baju kotor sudah menumpuk, kau menaruhnya di kantong plastik hitam, lalu berjalan sebentar menuju laundry. Menimbang, lalu membayar. Lalu kau kembali ke kamar, ngobrol dengan pacarmu sembari bercerita mengenai hari yang hampir usai.

Matahari lelap, kau kembali menghidupkan komputer. Memutar lagu yang cocok di dengarkan pada malam hari. The Doors sepertinya mantap. Juga Janis Joplin, Rolling Stones, The Eagles, atau The Beatles. Kau berasa kembali ke era flower generation.

Waktu makan malam tiba. Kau biasanya berjalan sebentar ke terminal depan kos. Disana ada banyak warung yang menjual berbagai jenis makanan. Dari yang halal hingga haram. Dari yang enak hingga yang rasanya biasa saja. Tapi kalau kau bosan disana, kau biasanya naik motor, pergi ke warung soto dan pecek lele langgananmu di depan Toga Mas Gejayan. Pemiliknya orang Jawa Timur, karena itu rasa soto maupun sambalnya cocok dengan lidahmu. Harganya pun murah meriah.

Kau pulang ke kos dengan perut kenyang. Puji syukur kehadirat sang pemberi rejeki. Lalu kau kembali membaca. Apa saja. Sembari sesekali diselingi bermain solitaire di netbook, atau menuliskan catatan pendek. Yang menjadi penanda kalau kau pernah hidup dan melakukan sesuatu di dunia ini. Bukan sekedar manusia menyedihkan yang tinggal menunggu jemputan sang malaikat maut sembari mengeluh dan mengaduh.

Dini hari tiba. Kau memutar lagu yang cocok di dengar pada dini hari.  Duffy, Dialog Dini Hari, Jammie Cullum, John Mayer, atau Franky Sahilatua. Kau lalu menelpon kekasihmu. Menanyakan kabar dan mengucap rindu yang tersebar dan tercecer pada jarak yang berdepa-depa.

Percakapan selesai, lalu kau bersiap tidur. Menunggu kantuk datang sembari membaca-baca sebentar, atau bermain solitaire. Malam sudah menua dan hari sudah berganti. Maka kau membunuh netbookmu, mematikan lampu kamar, lalu tidur.

Sembari berdoa bahwa besok akan jadi hari yang menyenangkan seperti hari ini.

Oh ya, pada tiap hari pasti ada hal yang tidak menyenangkan. Hal yang membuat kita memaki dan berkeluh. Hal yang membuat kita merasa bahwa hidup ini tidak menyenangkan. Tapi untuk apa kau sebutkan. Karena hidup itu indah, tergantung dari sudut pandang mana kau berdiri.

Kau harus selalu bersyukur akan apa yang kau dapat.

Kau bersyukur kau masih bisa makan, sedang di belahan dunia lain, mungkin ada ribuan orang yang kelaparan dan menanti ajal.

Kau bersyukur masih bisa sekolah, sedang di belahan dunia lain masih ada orang yang buta huruf atau orang yang ingin sekolah tapi tak punya kesempatan.

Kau masih bersyukur masih punya keluarga, kawan-kawan yang baik dan menyenangkan, juga pacar yang baik dan menerima kau apa adanya, sementara di belahan dunia lain mungkin ada orang yang kesepian dan berkawan derita.

Ketika melihat semua itu, tidak ada alasan untuk tidak bersyukur dan tidak menikmati hidup.

Shalom...

Perpisahan di Stasiun

"Saya jadi kepikiran perkataan seorang teman. Kalau stasiun kini membatasi romansa para pencinta yang berpisah di stasiun. Dari beberapa literatur klasik, perpisahan yang megah sekaligus melankoli adalah ketika sang lelaki pergi dengan kereta dan sang gadis melambaikan sapu tangan sembari mengusap air mata. Kini sepertinya hal itu tak mungkin, karena orang tanpa tiket tak boleh masuk ke dalam stasiun. Dan berakhir di sini pula fragmen kisah kasih klasik macam itu..."

(Status saya beberapa waktu lalu)
***

Stasiun Rambipuji Kala Mendung Menggelayut Manja


PT. KAI memang berbenah. Perubahan positifnya makin kentara. Kereta jadi moda transportasi yang jauh lebih nyaman. Tapi perubahan apapun, itu pasti akan melibas hal-hal lama.

Sekarang orang yang tidak punya tiket kereta tidak boleh masuk ke dalam stasiun. Tiket peron pun ditiadakan. Hal ini menyebabkan pengantar tak boleh masuk ke dalam stasiun, cukup menunggu di luar saja. Akibatnya ya itu tadi, hilangnya kisah romantik klasik.

Ingat film "Pearl Harbour"? Ada satu fragmen dimana penerbang Rafe yang dimainkan oleh Ben Affleck harus pergi ke Inggris untuk melawan pasukan Jerman. Malam sebelum keberangkatannya, Rafe berpesan pada kekasihnya, suster Evelyn (Kate Beckinsale) untuk tidak usah mengantarnya. Tapi itu adalah kedok belaka untuk menguji apakah Evelyn cinta Rave atau tidak. Kalau Eve mencintai Rafe, ia pasti akan menyusulnya ke stasiun.

Benar rupanya.

Menjelang keberangkatan kereta, Rafe menyaksikan Eve berlari tergopoh sembari menangis. Saat itu Rafe sadar kalau Eve mencintainya.

Saya sendiri punya kisah tersendiri dengan stasiun dan kereta api. Saat itu saya masih dalam masa pendekatan dengan pacar saya sekarang. Entah kenapa, tempat kencan pertama yang terpikirkan adalah sebuah stasiun kecil bernama Rambipuji. Saat itu bulan Ramadhan, sebelumnya kami pergi ke pabrik gula Semboro (Kenapa saya kencan di pabrik gula? Entahlah, kadang cinta memang membuat orang jadi sedikit gila). Setelah itu, kami menghabiskan sore di Stasiun Rambipuji. Bercengkrama sembari menanti adzan maghrib tiba.

Suasana stasiun saat itu riuh rendah oleh celoteh anak-anak kecil yang juga menghabiskan sore bersama keluarganya. Mendung bergelayut di langit. Ketika adzan maghrib berkumandang, kami berbuka puasa di sebuah warung lalapan di dekat stasiun Rambipuji. Lalu pulang sambil hujan-hujanan. 

Ah, kencan pertama yang hingga sekarang masih sering kami kenang :)

Sekarang kami sering berpisah via stasiun. Sebelum ada peraturan baru, biasanya Rina ikut mengantar hingga masuk ke dalam kereta. Tapi semenjak ada peraturan baru itu, Rina jadi agak terhalang untuk bisa mengantar saya hingga  ke kereta.

Tapi itu toh bisa diakali. Cukup membeli tiket komuter seharga 2.000 rupiah yang jam keberangkatannya mendekati jam keberangkatan kereta saya. Voila, bisa masuk! Tapi itu hanya di Surabaya. Karena di Jember tak ada komuter, maka Rina tetap tak bisa masuk.

Ah, tiba-tiba saya jadi ingat lagu "Gubeng Rendezvous" milik Greats

Suatu senja di stasiun kota/ di remang mentari yang tua
di tengah deru kereta/ dia datang tiba-tiba.

tersenyum dia dibalik jendela
melambai-lambai bercahaya dan seluruh suara senja
meredup seketika.

Aku patung tanpa kata-kata
dibius bisu Gubeng senja
di tengah deru kereta, selepas peluit pertama

perlahan, diam-diam
kereta bergerak
rindu pun muram...

kau kan menemukanku
hancur di ujung lagu
lenyap di rimba raya masa lalu

Hei/ 
berhenti kereta
berhenti disini saja bukan di Jogjakarta, Bandung, atau Jakarta
kekasih menanti di Surabaya

Sabtu, 10 Desember 2011

Lekker Je!


Sabtu malam datang. Saya baru saja selesai membaca beberapa jurnal antropologi yang berkaitan dengan pariwisata. Penat sebenarnya. Saya menengok ke luar kamar. Sepi. Semua penghuni kontrakan sudah keluar. Maklum, saatnya wakuncar.

Maka saya segera mandi, membereskan laptop, membawa kamera, lalu pergi keluar. Kemana? Awalnya tanpa rencana. Dasar manusia tanpa perencanaan. Maunya sih cari kafe yang ada wifi, lalu nongkrong sambil nulis sampai hari berganti.

Tapi di tengah perjalanan, saya tahu kemana tempat yang saya tuju: Kafe Lekker Je.

Saya tahu kafe ini dari seorang teman pecinta musik era flower generation. Ia merekomendasikan kafe yang sangat rock n roll ini. Oke, saya resmi penasaran. Dan malam ini, rasa penasaran itu tiba-tiba menyeruak diantara ramai jalanan dan bunyi berisik klakson.

Maka saya resmi menjalankan motor menuju arah Bulaksumur, lalu ke Jl. Cik Ditiro.

Disanalah kafe Lekker Je berada. Di depan kafe, ada sebuah motor tua terpasang. Antik.


Begitu saya memarkir motor, langsung terdengar Jim Morrison bersama The Doors berdendang lagu dangdut ciptaan mereka, "Break on Through". Entah kenapa, pas banget dengan pikiran saya yang akan menuliskan sesuatu tentang Jim Morrison. Mungkin sang penjaga kafe sadar kalau sekarang masih dalam rangka memperingati hari lahir sang raja kadal. Jadi ia memutarkan lagu The Doors.

Kafe ini dimiliki oleh  mas Priambodo Budiwasisto, seorang pecinta musik rock, terutama dari era baby-boomers. Kafe ini mulai ia rintis pada tahun 2005. Ia mendesain kafenya dengan sangat keren.  Banyak lampu temaram. Suasanya tenang dan syahdu. Meskipun bertajuk kafe rock n roll, suasanya jauh dari kegaduhan. Lalu ada drum di sudut kafe. Ada pula berbagai gambar band yang dipigura dengan rapi. Ada pula berbagai senjata api, kumpulan buku dan majalah yang ditumpuk seperti di banyak kamar anak laki-laki, jam antik, miniatur sepeda, dan ini yang paling sedap: ratusan piringan hitam lengkap beserta playernya.


 


Koleksi piringan hitam ini mulai dikumpulkan Mas Priambodo semenjak ia kuliah di Amerika Serikat. Ada The Doors, Rolling Stones, Beatles, CCR, Bob Marley, hingga Pink Floyd. Kalau anda mau, anda bisa memilih satu piringan hitam, lalu memutarnya pada player yang tersedia.

Ketika saya masuk, saya disodori daftar menu yang bergaya ala Pink Floyd, lengkap dengan segitiga pelanginya. Ada apa saja? Untuk menu makanan dan minuman, kafe yang dulunya berfungsi sebagai garasi ini tidak menyediakan begitu banyak menu. Dari minuman, ada Es Jelly, Es Terong Belanda, Es Markisa, Es MarTeBe (Markisa Terong Belanda), hingga berbagai bir. Harga minuman berkisar 5.000- 40.000 rupiah. Lalu makanan ada French Fries, Mie Goreng, Pisang Goreng, Ramen, Nuggets, hingga sushi . Harga makanan berkisar 10.000 - 22.000 saja.


 

Untuk mencari info mengenai kafe keren ini, silahkan pergi ke sini.

Kafe ini juga bersampingan dengan hotel Mentana, penginapan yang cocok untuk para pengelana. Harga kamarnya murah, hanya 82.500 rupiah untuk kamar single. Sedang untuk double harganya 200.000 rupiah. Ada juga kamar untuk keluarga seharga 250.000 rupiah. Info mengenai hotel ini, silahkan kunjungi situs mereka.

Maka malam ini saya memesan Es MarTeBe yang rasanya asam manis menyegarkan. Juga sepiring French Fries, lalu mulai berselancar di internet, membaca berita mengenai Sondang dan gagalnya Manchester United melaju lebih jauh di Liga Champion, sembari mendengarkan Bob Marley berkotbah mengenai pembebasan, juga cinta.

Malam minggu yang menyenangkan...