And who's to care if I grow my hair to the sky?
I'll take a wish and a prayer
Cross my fingers 'cause I always get by
(Tom Keiffer dalam Gypsy Road )
Salah satu alasan utama saya keluar rumah selama beberapa tahun adalah: ingin gondrong.
Terdengar konyol dan tidak masuk akal. Tapi menjadi gondrong adalah salah satu impian saya selain menjadi rocker --yang saat ini sudah saya pendam dalam-dalam.
Obsesi saya untuk gondrong dimulai ketika mengenal hair metal. Bagi saya, para hair rocker itu adalah tipikal manusia terkeren sejagat raya. Keinginan saya untuk gondrong semakin bertambah kuat ketika mendapatkan sebuah poster lama Sebastian Bach, vokalis Skid Row yang mukanya mirip saya. Keinginan untuk gondrong makin menguat ketika membuka album foto lama milik ayah saya. Beliau tampak gagah dengan rambut gondrongnya. Kalau beliau bisa gagah dengan rambut gondrongnya, kenapa saya tidak bisa?
Ini poster lama Sebastian Bach yang udah nempel di lemari saya semenjak SMP. Mukanya mirip saya kan?
Tapi sayang, keinginan untuk gondrong terbentur oleh norma dan himbauan. Pas saya sekolah, mana boleh ada murid gondrong. Saya yang mencoba sok jadi pemberontak, berakhir dengan rambut dipitak beberapa kali.
Pas duduk di bangku kuliah, keinginan saya untuk gondrong mendapat lampu hijau, karena mahasiswa boleh gondrong. Asal tetep bayar SPP dan sumbangan, rektornya mana perduli mahasiswanya gondrong atau gundul. Tapi sayang, lampu hijau terlalu cepat berganti ke lampu merah lagi.
Kali ini lampu merahnya berwujud perempuan paling penting dalam hidup saya: mamak. Ibu saya yang konservatif ini begitu tidak suka anaknya gondrong. Baginya, pria berambut gondrong adalah preman, buseeet.
"Kalau kamu sudah berani keluar rumah dan cari uang sendiri, kamu baru boleh ngapain aja" kata mamak suatu ketika.
Cihuy! Mamak menantang orang yang salah. Saya yang mendapat lampu kuning untuk memanjangkan rambut begitu bersemangat. Akhirnya setelah memikirkan segala sesuatunya dengan matang, saya memutuskan keluar dari rumah. Tinggal di rumah om di daerah kampus, tapi lebih sering tinggal di sekretariat Tegalboto.
Saya resmi memanjangkan rambut mulai tahun 2008. Masa paling menyusahkan adalah periode 2009, dimana rambut saya mencapai tahapan nanggung. Sudah tidak pendek, tapi belum bisa disebut gondrong. Itulah masa yang bisa membuat muka ganteng jadi jelek. Dan muka saya yang sudah jelek, terpaksa harus menerima label lebih jelek.
Akhirnya, menjelang awal 2010, rambut saya sudah bisa dibilang gondrong. Mencapai bahu, dan terus memanjang. Mamak saya selalu menjambak gemas rambut saya setiap saya mampir ke rumah. Tapi dia tak bisa berbuat apa-apa, dia sudah termakan omongan yang dibuatnya.
Saya begitu menikmati kegondrongan saya. Berasa jadi hair rocker. Berasa keren dan berbeda. Apalagi setiap saya mandi, rambut saya yang berombak jadi lurus karena basah. Kalau sedang lurus, rambut saya sudah mencapai punggung. Saya betah berlama-lama di cermin, memandang rambut gondrong hasil perjuangan keras semenjak dahulu kala. Puas rasanya.
Tapi rambut gondrong ini membawa banyak efek samping yang menurut saya sangat mengerikan: anak kecil jadi takut sama saya. Ugh, ini siksaan yang berat, karena saya sangat suka bermain dengan anak kecil.
Micha, anak tetangga sebelah, selalu menangis ketika melihat saya. Iya, hanya melihat. Kalau saya dekatin, dia semakin keras menangis. Dia bilang saya seperti "auo", alias Baim yang saat itu memainkan peran tarzan cilik di salah satu sinetron. Kaila, keponakan Rina yang masih kecil, juga selalu menangis kalau melihat saya. Biasanya kalau saya mau menggendong, dia selalu bilang "gendong mama Ria", atau "Mau denger mucik", supaya dia dibawa masuk dan jauh dari saya.
Dan benar kata pepatah, memang selalu ada akhir untuk segalanya. Dan akhir itu adalah tanggal 25 Desember 2010. Saat itu ayah tercinta saya meninggal. Entah kenapa, saat itu saya begitu ingin memotong rambut saya. Ayah selalu membela saya kalau mamak marah dan ngomel karena saya gondrong. Ayah selalu membesarkan hati saya agar tetap teguh memelihara mimpi untuk jadi gondrong. Ketika beliau berpulang, tiba-tiba saja saya merasa bosan berambut gondrong.
Diiringi helaan nafas, maka saya meneguhkan hati untuk memotong rambut. Ketika ambulans yang membawa jenazah ayah saya sampai dirumah, saya berhenti di depan perumahan tempat saya tinggal, lalu pergi ke tukang potong rambut langganan ayah saya.
Cekrik. Suara gunting besi itu terdengar memilukan, lebih dari yang sudah-sudah. Helai demi helai rambut saya berjatuhan, dan hari itu, di akhir bulan Desember yang mendung, saya berambut pendek lagi. Seperti yang sudah-sudah.
Tadi sore kebetulan saya pergi ngopi di kampus. Ketika mampir ke sekretnya IDEAS (Lembaga Pers Mahasiswa Fakultas Sastra), saya bertemu Ajeng dan Ayun. Dua kakak tingkat saya itu histeris melihat saya yang berambut pendek.
"Ahhhhhh, Nuran gak keren lagi" kata mereka. Dan muncullah sederet ungkapan kekecewaan karena melihat saya jadi rapi --dan makin ganteng, uhuuk uhuuk...
Tapi setidaknya nanti saya bisa bercerita pada anak cucu saya, kalau saya pernah punya mimpi untuk berambut gondrong.
Dan saya berhasil gondrong
***
- Beberapa waktu lalu, Rezanov, teman saya yang rocker itu datang dan menginap beberapa hari di rumah saya. Reza yang rambutnya jauh lebih gondrong itu malah dipuji oleh mamak. "Kalau Reza pantes gondrong, karena dia ganteng. Kalo kamu jelek, makanya gak pantes rambut gondrong" kata mamak saya, hahaha. Sial. Jadi alasan saya gak boleh gondrong selama ini adalah karena muka saya yang jelek dan tidak pantes gondrong, hahaha.
- Saya punya mimpi, ingin menggondrongkan rambut saya lagi ketika saya berumur 40 tahun dan sudah beruban. Sepertinya bakalan keren. Dan anak saya akan bangga bahwa bapaknya bukan bapak biasa, hehehe.
masa rambut nanggung itu memang ujian yang menyebalkan....gimbal ga mbentuk, mencuat kemana-mana....
BalasHapustampaknya gondrong pun ada hukum alamnya, setelah ujian tersebut, terbitlah keindahan ragawi : gondrong!
hahahahahaha...
nek aku seneng cepak ma, ben ketok rampung munggah kaji, haha
BalasHapus