Jumat, 29 Oktober 2010

Meycha: Gadis Cilik Penggemar Blind Melon

Sore ini, sembari melihat hujan, saya dengan khusyuk mendengarkan lagu-lagu Blind Melon dari album s/t mereka. Supaya lebih khusyuk, saya mendengarkan dengan headset buluk kesayangan saya. Karena itu pula, saya tak mendengar ada orang naik ke atas.

Ternyata yang naik adalah Meycha, anak tetangga sebelah yang masih berumur 3,5 tahun.

Meycha ini sampai beberapa minggu lalu, masih takut dengan saya. Jangankan ngobrol, melihat saya pun dia langsung nangis dan sekonyong-konyong minta dipeluk oleh neneknya. Apalagi dulu pas saya masih gondrong-gondrongnya, saya adalah mimpi buruk bagi bocah kecil ini.

Entah kenapa, sekarang dia sudah tak takut lagi dengan saya. Malah sekarang dia cenderung mencari saya kalau dia main kerumah. Seperti sore ini.

Ketika melihat saya mendengarkan musik dari headset, dia tiba-tiba mencolek saya dan berkata, "Echa mau denger." Ya sudah saya oper headset itu.

Tak dinyana, ternyata balita chubby ini suka Blind Melon. Buktinya, dia menolak ketika headsetnya mau saya ambil kembali.

"Jangan, lagunya enak!" kata dia semena-mena.

Akhirnya saya foto sekalian. Jadilah dia bergaya macam-macam. Awalnya gayanya adalah gaya standar anak kecil, jari telunjuk di tempelkan ke pipi. Tapi langsung saja saya ajari gaya baru. Ini dia beberapa foto Meycha dengan pose barunya.



Fuck You Marzuki Ali!

Oh ya, di album Blind Melon ini, track yang paling dia suka adalah Paper Scratcher, Holyman, Seed to A Tree, dan Time. Anehnya, dia paling tidak suka No Rain, track paling populer dan melambungkan nama Blind Melon. Dia mendeskripsikan No Rain sebagai "Suaranya tidak enak." Oh Shannon Hoon, maafkan dia, dia hanya anak kecil yang belum tahu apa-apa :)

Dasar Meycha... *menyimpan ambisi mengenalkan The Doors pada gadis kecil ini suatu saat nanti*


Rumah Arjasa, sore hari 29 Oktober 2010
Sembari mengunduh album Soup
Oh ya, yang ada di layar komputer itu gambar Blind Melon yang memainkan lagu California

Kamis, 28 Oktober 2010

Majalah Tegalboto dan Nazar Yang Menyertai

Puji Jim Morrison, dan semua tuhan dalam bentuk manusia yang disembah pun dipuja oleh para manusia barbar dari UKPKM Tegalboto

Akhirnya penggarapan majalah sudah masuk dalam tahap akhir: cetak. Rencananya majalah edisi XV yang bertema Abnormalitas ini akan dicetak lusa di Surabaya. Semoga hasilnya bagus dan tidak mengecewakan.


Layaknya orang yang yang tak pernah mengingkari nikmat, kami semua pun bersyukur beban terberat kami sebagai pengurus sudah usai. Tinggal LPJ dan menikmati masa pensiun dengan tenang (khusus untuk saya dan Dhani saja :p)

Untuk itu, kami semua menuliskan nazar-nazar yang akan kami lakukan setelah majalah selesai dicetak. Beberapa ada yang lucu, ada yang mengharukan, dan ada yang bikin gregetan. Beberapa ada yang merupakan nazar jangka pendek, dan sebagian adalah nazar jangka panjang.

Ini dia nazar kami:

Dhani (Pemimpin Umum yang merangkap sebagai pencari duit ke rektorat).

Dhani yang selalu pontang panting masuk keluar gedung rektorat adalah orang yang berjasa dalam mencari uang. Karena majalah kami tak pernah memasang iklan, maka duit dari rektorat adalah krusial. Si Badak Bercula Kribo ini diujung kepengurusannya berhasil melaksanakan tugas itu dengan baik. Untuk merayakannya, Dhani ingin membeli sebuah komputer canggih untuk Tegalboto, yang bisa dibuat main game Assasin Creed. Karena selama ini, game yang sanggup dimainkan di komputer kami adalah Plant VS Zombie, hiks.

Yang lucu adalah keinginannya pergi ke Bandung untuk menemui "Dyah Pitaloka", gadis dari Cileunyi yang berkuliah di Hubungan Internasional Unpad. Bukan rahasia lagi kalau si Dhani sedang berusaha melelehkan hati perempuan itu. Butuh perjuangan keras kawan. Pantang menyerah sampe ditolak 10 x !


Arys (Pemimpin Redaksi merangkap penjaga Tegalboto)

Pria keriting berkacamata ini yang paling berjasa dalam merampungkan masalah-masalah keredaksionalan. Ia adalah penjaga gawang sekaligus goal getter yang baik. Nazarnya tak muluk-muluk: memilih satu dari tujuh wanita yang sekarang sedang dekat dengan dia (uppps, ini rahasia ya? :p). Lalu layaknya kutu buku lain, dia ingin mencetak buku-buku PDF yang sudah mencapai belasan giga besarnya.


Didik (Redaktur Pelaksana merangkap penjaga Tegalboto)

Selain Arys, Didik adalah orang yang berjasa besar untuk membereskan masalah-masalah mengenai proses majalah terbaru ini. Gara-gara terlalu sering tidur di sekretariat bareng saya dan Arys, dia sekarang jadi kena cacar (apa hubungannya coba?). Karena itu dia masih belum sempat nulis nazar. Tapi palingan nazarnya adalah beli viagra.

Widi (Dewan Pertimbangan Organisasi merangkap tempat curhat)

Sebagai orang yang dituakan, baik di Tegalboto maupun di kampus Sastra, beliau hanya punya satu keinginan: LULUS. Amin!


Ma'ruf alias Yop (Layouter merangkap tukang utang buat ngopi)

Pria kurus yang baru saja putus dengan pacarnya ini adalah orang yang paling sibuk belakangan ini, dikejar-kejar Arys dan Didik buat nyelesein layout. Tanggung jawab visual majalah ada di tangannya. Untunglah semuanya sudah selesai, dan hasilnya membanggakan. Well done boy! Nazarnya cenderung konyol dan lucu, seperti berjalan kaki ke alun-alun dan memotong rambut biar kelihatan tambah tampan. Tapi nazar tetaplah nazar, mari bersenang-senang :)


Devi (Statusnya gak jelas, dan kerjaannya pun gak jelas. Tapi satu yang jelas: dia adalah rubah berbulu rubah)

Perempuan licik ini adalah satu-satunya perempuan di kepengurusan Tegalboto yang patriarkis. Dia termasuk hebat karena bisa tahan dengan mulut-mulut barbar kami. Tak banyak perempuan yang bisa bertahan dengan kehidupan neraka ala Tegalboto. Nazarnya yang paling keren adalah cari pacar lagi, karena "perkakas" milik Remet (nama pacarnya, dan ya, itu adalah nama yang aneh sekali) terlalu kecil. Ouch! Semoga kesampaian dapat pacar baru dengan perkakas dan onderdil yang genuine parts :p


Nuran (Kepustakaan yang tidak suka nongkrong di perpustakaan, merangkap foto model, penjaga Tegalboto, tempat curhat, traveler, dan juga pemasok stok lagu-lagu terkeren di seluruh jagat raya buat Tegalboto :p )

Saya dan Dhani sudah seharusnya pensiun dari kepengurusan. Tapi karena kami baik hati, maka kami rela jadi pengurus lagi :p Sebenarnya kalo dipikir-pikir, saya gak punya kontribusi apapun di majalah ini. Tulisan saya hanya berupa wawancara di Jogja dengan Toni Blank. Itupun sebenarnya acara utamanya adalah bersenang-senang berkedok wawancara :p Tapi karena tak mau kalah, saya pun punya nazar doooonggg.

Nazar jangka pendek saya adalah tahun baruan di Lombok dan kemping di Sempu atau Karimun Jawa. Sedang nazar jangka panjang saya adalah ke Mentawai untuk menemui suku Mentawai yang diujung kepunahan. Semoga semua bisa tercapai.


Udah, segitu saja yang membuat nazar? Janganlah kaget, karena anggota kami memang cuma segitu, hehehe...

Nazar sudah terucap, mari berikrar melaksanakannya. Mari bersenang-senang kamerad!

***

Buat Ulul Hudha dan Erwin Uelek Rupane, kalian adalah desertir yang terhormat. Terimakasih telah memberi warna di Tegalboto walau cuma sejenak. Cheers!


Jember, 24 Oktober 2010
Sembari mendengarkan Blind Melon

Ceker Lapindo: Kena Mata Bisa Buta

Jujur, saya terprovokasi oleh tulisan Fajar Ndud soal ceker super pedas yang dimuat di blog Suket-teki milik Nurul. Saya penasaran seperti apa rasa pedasnya. Karena itulah, bareng Rina, saya bersepeda motor ke Sidoarjo. Rina ini mengklaim dirinya sebagai pecinta makanan pedas. Are you tough enough girl? Kita lihat saja nanti.

Warung Ceker yang bernama Ceker Lapindo ini terletak di depan alun-alun Sidoarjo, tepatnya disamping Lapas Sidoarjo. Tak Susah menemukannya.

Setelah sampai, saya segera memesan 1 porsi ceker Lapindo, dan Rina memesan 1 porsi ceker Mentega. Plus 2 porsi nasi, 2 buah sate usus, 2 buah sate telur puyuh, dan 2 gelas es jeruk. Ya, kami memang dua manusia omnivora yang kelaparan siang itu :D


Tak beberapa lama, pesenan kami datang.

Uh, kuah ceker Lapindonya berwarna merah tua. Keruh. Dan terlihat banyak potongan cabe rawit. Sial, ini pasti pedas sekali. Kalau kecipratan ke mata, bisa-bisa saya buta permanen, pikir saya.


Sedang kuah ceker mentega teksturnya bening, namun berminyak. Rasanya enak, hampir mirip sop, namun lebih kental rasa serainya. Rasa menteganya juga berhasil membuat kuah ceker mentega ini terasa gurih.


Tak perlu menunggu lama, saya segera menyendok kuah ceker lapindo saya. Sluurrrp. Cesss! Rasa pedasnya langsung menyengat. Terasa panas, terutama di tenggorokan.

Namun pedasnya rupanya masih bisa saya tolerir. Pedas dari masakan ini masih belum sanggup membuat saya kelabakan. Hanya sekedar membuat saya mandi keringat. Kadar pedas masakan yang ditulis di menu dengan huruf merah menyala ini masih kalah ketimbang nasi Tempong ala Banyuwangi.

Yang lebih edan justru Rina. Dia dengan tenang terus mengambil potongan ceker dari mangkok saya. Sepertinya ia memang penggemar masakan pedas. Dan sepertinya ia lupa kalau ia memesan ceker mentega :p

"Gak pedes ah. Masih pedes ikan sili-nya Nasi Buranan" katanya tenang sembari menyeruput kuah ceker lapindo yang keruh dan pedas itu.

Nasi Buranan ini adalah masakan khas Lamongan. Rina terus-terusan merengek minta diantar ke Lamongan buat makan nasi ini. Suatu hari nanti kami akan mencobanya.

Siang itu Rina sama sekali tidak kepedasan, tidak meneteskan keringat sedikit pun, dan tidak minum es jeruknya sebelum makanan habis. Sedang di belakang saya tampak seorang anak muda yang bahkan sampai nambah es teh untuk menetralkan rasa pedas dari ceker lapindo itu. Sial, saya kalah telak :D

"Ikan sili jauh lebih pedas. Mungkin sili itu plesetan dari chilli ya? Hehehe" kata dia sotoy.

Ah, enakan ikan kudu kok :D *ini joke internal, hanya akan membuat terbahak saya, ayos, putri, dan rina saja :D*

Oke boss, makanan berikutnya: Nasi Buranan :)


Jember, 2.41 wib
Sembari mendengarkan Van Halen dan Europe

Rabu, 27 Oktober 2010

The Mentawai: Behind the Scenes Documentary on Vimeo

The traditional ways of the Mentawai are extremely endangered. However, there still remains a handful of scattered clans in the rainforest who choose to live in isolation, away from the assimilation of government villages.

these few people still live the legend of their ancestor.






***

Saya dikasih video ini oleh karib saya, Ayos Purwoaji yang imut kayak semut. Film ini dibuat oleh fotografer bernama Joey L. Sebuah behind the scene dari film berjudul The Mentawai.

Film ini dibuka dengan adegan di kapal cargo yang menuju Siberut. Ditunjukkanlah kondisi kapalnya, dimana penumpang tidur keleleran seperti ikan tuna yang akan dikirim ke Jepang. Lantas ada sunset yang indah setelah tersiksa selama 10 jam penyebrangan. Setelah itu mereka masih harus trekking selama beberapa jam di medan yang sangat berat.




Semua berawal dari 2007, ketika seorang bernama Willem Isbrucker, yang saat itu sedang berada di Tabek, sebuah kota kecil yang terletak 2 jam dari Padang, menerima sebuah kartu pos bergambar suku Mentawai.

Lantas Will menghubungi Joey, temannya semasa SMA yang berprofesi sebagai fotografer. Joey kaget mengetahui masih ada suku seperti ini di Indonesia. Setelah beberapa riset, maka mereka memutuskan berangkat ke Siberut untuk memotret sekaligus memfilmkan kehidupan suku Mentawai.

Sebelum Joey dkk memfilmkan suku yang diyakini sebagai pencipta seni tatto tertua di dunia, mereka mengakrabkan diri terlebih dahulu.






Gempa Bumi dan Mentawai

Pada tanggal 16 Agustus 2009, Joey yang sedang berkumpul di uma --sebutan untuk rumah dalam bahasa Mentawai-- merasakan bumi bergetar. Tau Jia Jia, orangMentawai sang pemilik uma segera menggendong anaknya dan segera berlari keluar rumah. Rupanya gempa itu hal biasa. Secara ilmiah, dapat diterangkan bahwa gugus kepulauan Mentawai berada di antara lempengan tektonik yang rawan gempa.

Namun para anggota suku Mentawai punya cerita legenda mengenai gempa itu.

“Long ago, there was a boy who had a beautiful house. It was so well made that the other Mentawai were jealous of him. Since they did not possess his craftsmanship and skill, they tricked him into building their own houses for them. While he was digging a large deep hole for the center support beam, they beat and killed him with clubs. After the houses completion, it remained haunted and cursed. A feast was held inside by the murderers. The sister of the dead boy was invited, but upon arrival heard her brothers voice asking not to go inside. She listened to his spirit and sat outside as the dead boy rolled his his grave and shook the uma, causing a large earthquake. The people inside the house were all killed but those outside remained safe. That is why to this day, we the Mentawai feel uncomfortable going into our houses when earthquakes are rolling. It represents a breach in taboo.” Kata Aman Tarason, salah seorang tetua suku Mentawai. (terjemahin sendiri ya, saya lagi males nerjemahin, hehehe)

Sedihnya, meski di Mentawai sering terjadi gempa, tak ada tindakan apapun dari pemerintah (yeah, siapa lagi yang paling enak dikambinghitamkan selain pemerintah? Dan mereka memang seharusnya bertanggung jawab) untuk setidaknya mengajari bagaimana hidup berdampingan dengan bencana alam. Ketika gempa dan tsunami terjadi di kepulauan Mentawai beberapa hari lalu, hingga malam ini sudah 282 orang tewas --menurut data Badan Pengendalian Bencana Daerah Sumbar.

Padahal semua sudah tahu kalau kepulauan Mentawai itu rawan bencana alam. Dan sudah terjadi gempa beratus-ratus kali sejak tahunan lalu. Tapi kok masih saja menelan banyak korban? Ini bukti bahwa pemerintah tidak pernah belajar dari masa lalu.

Malah Si Bodoh Marzuki Ali, anggota DPR yang katanya terhormat itu (cuih!) malah menyalahkan suku Mentawai dengan bilang "Ngapain tinggal di laut." Kalo dia beneran serius ngomong itu, berarti dia memang jancuk se jancuk jancuknya, dan semoga ia dilaknat di neraka! Jancuk!

Suku Mentawai, Bagaimana Kabarmu Sekarang?

Saya masih belum tahu bagaimana kabar suku Mentawai sekarang. Apakah mereka baik-baik saja, atau malah sudah punah terhantam gempa. Tapi feeling saya mengatakan, mereka baik-baik saja. Mereka sudah hidup ribuan tahun dan melewati puluhan ribu gempa bumi, toh mereka masih ada hingga sekarang. Jadi saya yakin, mereka masih ada dan menanti saya untuk datang melihat mereka dengan mata kepala saya sendiri.

Selain bencana alam dan regenerasi, ancaman kepunahan Suku Mentawai justru datang dari pemerintah sendiri.

Bajak Tolkot, seorang Sikeri alias Shaman alias dukun dari Mentawai bercerita dengan nelangsa.

"Ketika aku muda, hampir setiap orang --Mentawai-- hidup di hutan. Sekarang, hampir sebagian besar dari mereka hidup di desa pemerintah. Tapi aku memilih untuk hidup dalam cara tradisional" kata Sikeri dari Klan Atabai ini.

"Aku menjadi shaman untuk menyembuhkan orang. Bukan paksaan. Tapi terutama untuk melindungi budaya Mentawai. Aku tidak ingin kehilangan identitas kita. Budaya kita adalah budaya makanan! Kepercayaan kita! babi-babi kita! Tari tradisional kita! Pemerintah dan misionaris membuat sekolah untuk merubah kita! Mereka menyuruhku agar tidak menjadi sikeri. Tapi aku, aku tidak akan berubah sampai akhir hayat!" ujar seorang sikeri lain bernama Bajak Lala dengan berapi-api.

Joey dkk tinggal di uma Klan Atabai ini sekitar 3 minggu. Ia juga bercerita bahwa ritme kehidupan disana memang berjalan dengan sangat lambat. Joey tak tahu apa yang terjadi diluar sana, termasuk pekerjaan, atau apapun yang bisa membuatnya stres. Di satu sisi, hal itu baik, namun di satu sisi lain, ia merasa kehidupannya bukan disana.

Cara komunikasi tim Joey ini memang cukup ribet. Komunikasi harus dilakukan dengan dua kali penterjemahan. Ketika suku Mentawai berbicara, guide mereka menterjemahkan ke Bahasa Indonesia. Will yang bisa berbahasa Indonesia lantas menterjemahkan ke bahasa Inggris.

Selama 3 minggu itu, Joey dkk belajar banyak hal dari klan Atabai itu. Mulai dari memanah, pengobatan, shamanisme, hingga seni tatto yang tersohor itu. Tak heran jika mereka lantas menjadi sahabat bagi suku yang terancam punah itu.







Salah satu adegan yang lucu adalah ketika Cale Glendening, sang kameramen, merasakan tekhnik tattoo Mentawai. Ia meringis kesakitan karena ditato tanpa dibius terlebih dahulu. Bahkan ia sepertinya menangis kesakitan.


Mengenai tatto itu, Bajak Tarason, salah seorang shaman itu bercerita

"tatto ini adalah sebuah simbol bahwa aku adalah seorang Mentawai. Dan beberapa adalah simbol bahwa aku adalah sikeri. Kamu mengenakan baju, Mentawai mengenakan tatto."

Bagian yang paling membuat saya merinding ada di penghujung film. Ketika Bajak Tarason berkeluh kesah mengenai ia dan masa depan suku Mentawai.

"Ketika generasiku mati, tidak akan ada lagi pengikut dari arat sabulungan. Aku rasa tidak akan ada lagi budaya asli Mentawai. Genrasi muda kita terlalu berbeda." kata Tarason dengan lemah, seperti menerima nasib bahwa Mentawai diambang kepunahan.


Dan klimaksnya adalah ketika Bajak Lala dengan ekspresif berseru,

"Halo orang dari seluruh dunia! Datanglah ke kepulauan Mentawai, segera! Sekarang suku Mentawai masih ada, aku masih hidup. Tapi ketika aku mati, kalian tidak akan pernah bisa melihat kebudayaan kami lagi."

***

Semua foto diambil dari situs www.joeyl.com

Simak cerita mengenai perjalanan ke Suku Mentawai disini dan disini

Lalu lihat video ini disini


Tulisan ini dipersembahkan buat Suku Mentawai yang masih sekarang tak diketahui kabarnya. Semoga kalian baik-baik saja. Spirit bersama kalian.

Terimakasih buat Angga Nyen yang tadi sudah men-tag saya di foto seorang anggota suku Mentawai, sekaligus menyemangati saya untuk segera pergi kesana :)


Antara Logawa, Armada, Merapi, dan Wali

Sebuah tulisan lama ketika saya dan beberapa orang sahabat pergi mendaki Gunung Merapi pada medio Februari silam. Siapa sangka, beberapa bulan kemudian, tepatnya bulan Oktober ini, Merapi marah dan hingga saat ini sudah membunuh 10 orang --salah satunya wartawan.

Saya upload kembali untuk mengenang masa pendakian yang menyenangkan itu, dan juga sebagai ode buat para penduduk di lereng Merapi. Semoga tuhan bersama kalian para pemberani!

Buat para korban meninggal, semoga amal kalian diterima, dan tak ada tempat yang lebih menyenangkan untuk mati ketimbang di alam bebas. Buat keluarga yang ditinggalkan, buang air mata dan panjatkanlah doa...

***

Semua berawal dari kenyataan bahwa aku tak akan bisa backpacking pada bulan Juli. Hal itu dikarenakan aku harus menempuh semester pendek agar targetku untuk lulus bulan November tercapai. Menghadapi kenyataan itu, aku sedikit kecewa. Tapi itu tak berlangsung lama.
Bermula dari cangkrukan rutin di warung Bulek, aku melemparkan ajakan iseng pada Fahmi, teman SMAku yang hitam tapi tidak manis itu.

“Mi, munggah gunung yuk. Merapi koyoke enak (Mi, naik gunung yuk. Merapi sepertinya enak)” kataku.

Dan siapa yang menyangka ajakan iseng itu terealisasi.

***

Aku dan Fahmi mulai mengatur itenerary kami, termasuk budget perjalanan hingga dana untuk konsumsi. Kami ingin semua lancar. Maklum, kami sudah lama tak naik gunung. Aku terakhir naik gunung “beneran” adalah waktu aku mendaki ke Semeru pada tahun 2004. Fahmi sendiri terakhir naik gunung ketika dia masih menjabat sebagai ketua umum organisasi pecinta alam di kampusnya, pada medio 2007. Makanya aku menyematkan julukan pensiunan pendaki gunung pada kami berdua.

Ajakan iseng itu ternyata memakan korban. Beberapa hari menjelang hari H, ada 4 orang yang merelakan diri untuk ikut mendaki bersama kami.

Ada Zainul, pria 20 tahun banyak omong yang sering menjadi objek sarkasmeku yang sadis. Lalu ada pula Ruffo, pria tinggi besar yang berwajah sangar tapi berhati hello kitty. Ada Yoga, yang kapan hari pacarnya sempat aku maki-maki karena melarang Yoga beraktivitas di alam bebas. Terakhir ada Agus, pria bertubuh kecil, pendiam, dan selalu dijadikan objek kambing hitam oleh Zainul. Selain Agus, kami semua sudah berstatus mahasiswa.

Kami memutuskan tema untuk pendakian kali ini adalah “happy hiking.” Kami semua sudah lama tak mendaki gunung, jadi sebaiknya tak usah terlalu ngotot untuk mencapai puncak. Budget yang ditetapkan adalah IDR 150.000 per orang. Itu semua mencakup biaya perjalanan dan biaya logistik. Hari yang sudah ditentukan adalah Kamis, 25 Februari 2010.

***

Kamis, 25 Februari 2010. Kami semua sudah stand by di stasiun Jember. Kami akan menaiki Logawa, kereta api sejuta umat. Tujuan kami adalah stasiun Purwosari, stasiun kecil di Solo. Aku mendapatkan itenerary kasar dari seorang teman yang sudah mengenal Solo luar dalam. Dion Bandenk namanya, sang pria absurd pemuja Joy Division.

Harga tiket Logawa untuk menuju Solo dibandrol IDR 28.000. Murah bukan? Tapi kami jadi seperti tumbal dari petuah para kapitalis: ada harga ada mutu. Maka kami harus rela menempuh perjalanan selama 11 jam. Masih pula ditambah dengan aroma keringat para penumpang yang semerbak baunya. Tapi tak apalah, toh itu bumbu kehidupan. Dan lagi aku bisa puas menghina Zainul, sebuah kesenangan yang tiada taranya.

Satu hal yang aku perhatikan sejak dulu adalah para pengamen di dalam kereta. Semasa awal aku mulai backpacking di jaman SMP dulu, aku sering menemukan para pengamen dengan formasi big band. Para pengamen itu terdiri dari 2 gitaris, satu pemegang perkusi, satu biola, satu bass betot, dua vokalis, dan ditambah dengan satu orang yang bertugas meminta bayaran. Tak jarang lagu yang mereka bawakan adalah lagu suci. Aku pernah mendengarkan sebuah big band pengamen ini menyanyikan Jhonny B. Goode milik Chuck Berry. Mereka adalah para pengamen yang berdedikasi. Mereka bernyanyi dengan sepenuh hati. Mereka menganggap mengamen adalah pekerjaan, karena itu mereka serius. Karena itu pula aku selalu bisa menikmati lagu-lagu yang mereka nyanyikan. Dan aku tak sayang melempar uang seribu rupiah ke dalam kantong plastik tempat uang mereka.

Tapi entah kenapa, beberapa tahun belakangan, tak ada lagi para pengamen seperti itu. Yang ada hanya pengamen yang tak ramah, yang menyanyi asal, dan kerap mengancam penumpang yang tak memberi uang. Satu hal lagi, jenis pengamen seperti ini biasanya menyanyikan lagu yang sedang booming, tak perduli lagu itu buruk sekali.

Kasus itu terjadi lagi padaku hari ini.

Siang sekitar jam 12.15 WIB, ada 3 orang pengamen yang mulai beraksi. Aku tak tahu siapa penyanyi lagu ini. Sampai aku diberitahu oleh seorang teman bahwa yang menyanyikan lagu ini adalah band bernama Armada (yeah, stupid name i know...). Liriknya kira-kira seperti ini:

Bukalah hatimu, bukalah sedikit untukku
Sehingga diriku uu uu, bisa memilikimu


Entah apa yang membuat lagu itu jadi terkenal. Setiap kali aku mendengar 3 orang itu bernyanyi, hawa panas di Logawa semakin menjadi-jadi. Zainul malah beberapa kali mengikuti nyanyian para pengamen itu. Jadilah aku memukul kepalanya berkali-kali dengan botol minuman.

Siksaan mental tak berhenti sampai disitu. Ternyata ada sekitar 5 orang kelompok pengamen setelah kelompok yang pertama tadi. Dan percaya atau tidak, 5 kelompok itu semua menyanyikan lagu dari Armada.

Sekarang aku tahu mengapa orang rela membayar mahal untuk naik kereta eksekutif...

***

Kereta sampai di Purwosari pada pukul 16.10 WIB. Tepat waktu. Sedikit aneh rasanya, mengingat terlambat adalah sinonim dari Logawa. Dari Purwosari, kami harus berjalan ke pertigaan Kerten (e pertama dibaca dengan lafal e dalam kata edan, dan e kedua dibaca dengan lafal e dalam kata elang). Tapi sebelum itu, kami menunggu Yudi, seorang teman dari Riau yang ikut bergabung dalam happy hiking kali ini. Yudi ini adalah seorang traveler cum fotografer yang baru pertama kali datang ke Jawa. Minggu lalu, Aku dan Ayos mengantar dia ke Ijen. Kali ini dia ingin ikut ke Merapi.

30 menit kemudian, Yudi datang, dan kami semua berjalan menuju pertigaan Kerten. Pertigaan ini terletak sekitar 500 meter dari Stasiun Purwosari. Tempat ini adalah sebuah persimpangan tempat orang menunggu tujuan Jogja, Semarang, hingga ke Surabaya. Tapi bis yang akan kami naiki adalah bis menuju Boyolali.


Disaat menunggu ini pula, ada sedikit kepanikan karena ibuku menelpon.

“Ran, mamak bikin nasi kuning. Ini mau dianter ke kosan atau ke Tegalboto?” tanya ibuku.

“Duh mak, Nuran lagi ada di luar kota” kataku sedikit panik.

“Ha? Lagi dimana emang?” tanya ibuku lagi.

“Uhm... Nganjuk” jawabku ngawur. Entah kenapa aku menjawab Ngajuk. Sempat terpikir jawaban Paris, tapi ibuku tak mungkin percaya.

Untunglah ibuku bersikap biasa. Aku memang tak pamit pada orang rumah tentang pendakian ini. Bukannya apa, setiap kali mendengar aku backpacking, ibuku langsung melotot sambil melontarkan pertanyaan klasik bagi para mahasiswa semester X, “Kapan skripsimu digarap? Mau lulus kapan?.”

***

Dari pertigaan Kerten, kami naik mini bus yang melayani trayek antar kota. Tarifnya hanya IDR 4000. Bagi yang ingin ke Merapi, bilang saja pada kondekturnya kalau kalian ingin turun di arah Selo. Nanti kalian akan diturunkan di pertigaan Surowedanan. Dari pertigaan inilah kalian bisa naik bis, pick up, atau colt untuk menuju desa Selo, desa terakhir di kaki gunung Merapi.

Malam itu kami naik di sebuah pick up milik seorang penduduk Selo. Dia kebetulan baru saja pergi ke Boyolali, dan ingin balik ke desa Selo. Ketimbang pulang dengan bak kosong, sang supir memilih untuk mengajak kami, dengan tarif diskon tentunya. Tarif normal untuk pergi ke Selo berkisar antara IDR 6000 – IDR 8000. Tapi malam itu kami cukup membayar IDR 5000 per orang.

Perjalanan dari Surowedanan menuju Selo memakan waktu sekitar 20 menit. Malam itu aku tenggelam dalam pikiranku sendiri. Entahlah, berada di tengah pepohonan yang lebat, dengan suasana jalan yang sepi, selalu berhasil membuatku berkontemplasi dengan sendirinya. Aku mulai berpikir mengenai tujuan hidup, masa depan, cita-cita, dan segala macam pernik kehidupan. Ah sial, aku jadi meracau.

Setelah kami sampai di desa Selo, kami lantas membayar retribusi. Nominalnya IDR 2500 saja. Dari posko pendakian itu, kami lalu pergi menuju pos pendaki. Jaraknya hanya sekitar 100 meter saja. Sang pemilik rumah bernama Pak Min.

Perlu aku terangkan, jalur pendakian menuju Merapi ada 2. Bisa lewat Jogja atau lewat Boyolali. Kalau kalian lewat Jogja, maka anda bisa menemui Mbah Maridjan yang kesohor itu. Tapi kalau anda lewat jalur Boyolali, maka anda akan menemui Pak Min ini.

Sampai di rumah Pak Min, kami sejenak merebahkan badan. Rumah Pak Min ini khas rumah pedesaan yang dijadikan pos pendaki. Tempat menampung para pendaki adalah ruangan depan yang luas, dengan satu dipan panjang tempat untuk beristirahat. Kalau dipan penuh, maka kalian bisa membeber matras untuk tidur di lantai yang terbuat dari semen itu.

Di depan rumah Pak Min, ada sebuah kios yang menjual souvenir ala Merapi. Mulai kaos, pin, stiker, hingga bandana. Yang bikin aku sedikit geleng-geleng kepala adalah sang penjaga dan teman-temannya menyetel lagu dari Wali dengan sound system besar yang biasa dipakai untuk pengajian. Tak ada lagi suasana syahdu ala pegunungan. Dan lagi, kenapa harus Wali?

Ketika kami sampai, terlihat ada sekitar 9 orang pendaki yang sudah bersiap untuk mendaki. Mereka sudah memanggul tas. Aku sempat berpikir, kok aneh ada orang yang mendaki pada malam hari. Tapi sepertinya hal itu sudah biasa di Merapi.

Sebelum kami tidur, kami sempat memasak. Menu malam itu adalah tempe bacem yang dibawa dari Jember, nasi, mie goreng, sambal bajak, dan chicken nugget. Karena tema pendakian ini adalah happy hiking, maka kami membawa nugget. Aku sempat menertawakan hal ini. Karena ketika aku dan Fahmi masih suka naik gunung, nugget tak pernah ada dalam daftar logistik. Menu makanan kami yang paling mewah saat itu adalah sarden kaleng, hahaha.




Setelah memasak, kami bersiap untuk beristirahat. Jam 4 pagi adalah waktu pendakian.

***

Alarm di ponselku menyalak garang pada jam 4 pagi. Aku terbangun, menikmati sejenak lagu Rock N Roll dari Led Zeppelin yang aku jadikan alarm signal, lalu tertidur lagi. Setengah jam kemudian baru kami bangun. Kami memasak mie goreng untuk makan dini hari, sekedar mengganjal perut. Tepat pukul 5 pagi, kami berangkat.

Sial, di depan jalan sudah terlihat menanjak.

5 menit kemudian aku terengah-engah. Begitu juga Zainul dan Agus.

7 menit kemudian, Zainul muntah. Agus hampir pingsan. Dan aku sekarat.

10 menit kemudian... Mamak tolooooonggggg!!

Kami memang para pendaki yang payah. Baru saja dihantam trek curam, kami langsung sekarat. Hanya Fahmi, Yudi dan Ruffo yang terlihat lelah tapi tetap tegar. Pada menit ke 30, kami berhenti sejenak untuk menikmati sunrise yang indah. Pemandangan terlihat begitu indah, di depan kami nampak gunung Merbabu. Yudi pun langsung kalap memotret. Lumayan, jeda memotret itu kami gunakan untuk istirahat.




Lalu kami berjalan lagi. Semua tampak sendu tersiksa lelah. Aku dan Yudi selalu berjalan belakangan. Yudi sibuk memotret, sedang aku sibuk menarik nafas. Dan memang Yudi senang sekali dengan pemandangan Merapi yang indah tiada banding. Berkali-kali dia berucap “tak rugi aku ikut ke Merapi mas. Jancook, bagus pemandangannya.” Beberapa hari berkumpul denganku sudah membuat Yudi mahir mengucapkan Jancuk, makian ala Jawa Timur yang aku ajarkan padanya. Memang aku guru yang teladan bukan?

Pendakian memakan waktu 4 jam. Kami semua terseok-seok seperti ikan meminum limbah pabrik. Pendakian ini sedikit banyak memberikan gambaran kebiasaan dari anggota tim.

Zainul suka sekali mengoceh tiada juntrungannya. Dia ngoceh apa saja, mulai politik, musik, sampai wanita. Sayang, otaknya tak sebesar mulutnya. Seringkali dia aku skak mat, dan lantas aku jadikan objek sarkasme yang aduhai.

Yoga suka sekali tidur dan mengentut. Kalau istirahat lebih dari 5 menit, sudah dipastikan ia akan tertidur. Kalau dibangunkan, suara yang pertama keluar adalah suara “duuut” dari pantatnya. Dan baunya, busuk tiada terkira.

Fahmi suka sekali istirahat sambil berdiri. Menurutnya, istirahat dengan duduk akan membuat orang tambah capek. Dan dia seringkali tertawa mendengar celoteh sadisku saat menanggapi ocehan Zainul.

Ruffo sukanya diam. Ada kentut dia diam. Ada ocehan Zainul dia diam. Dia hanya sesekali berbicara. Entah kenapa, aku merasa ia tak cocok masuk Fakultas Hukum.

Yudi sudah jelas, hobinya adalah memotret, sambil sesekali mengucapkan kata Jancuk.

Agus? Sudah takdirnya untuk selalu jadi pihak yang disalahkan. Hobinya adalah sesekali merepet tak jelas kalau dia dijadikan objek kambing hitam.

***

Kami mencapai Pasar Bubrah alias Pasar Setan sekitar jam 10.43 WIB. Disebut pasar setan karena tempat ini seringkali menyesatkan orang. Orang seringkali berhalusinasi melihat ada pendaki yang berjalan, dan dia mengikutinya, lalu dia bisa tersesat. Banyak orang mengira pendaki-pendaki itu adalah setan. Namun bisa jadi, semua itu disebabkan oleh kelelahan, yang lantas menimbulkan halusinasi.

Kami semua sudah merasakan apa yang disebut sebagai exhausted. Kelelahan tiada tara. Saat itu pula, aku memutuskan untuk tidak berjalan menuju puncak. Niat ini muncul karena melihat puncak Garuda (nama puncak gunung Merapi) masih jauh menanjak. Aku yang berangkat dengan tema Happy Hiking, jelas sudah tidak happy lagi saat itu.







Zainul dengan perut menggelambirnya juga sejenak mengamini keputusanku. Ia sudah terengah-engah, merengek seperti wanita yang dicolek pantatnya. Tapi karena makianku, dan motivasi dari Fahmi, maka ia memaksakan diri untuk mendaki. Puncak Merapi masih sekitar 1 jam lagi.

Maka jadilah aku berteduh di balik batu, menjaga tas-tas dan barang bawaan anggota tim. Aku membeber matras sambil membaca The Motorcycle Diaries, sebuah buku yang tak pernah bosan aku baca meski sudah selesai berulang-ulang. Sesekali aku mengantuk, lalu tertidur. Tak jarang pula aku bangun karena sengatan matahari begitu panas terasa.

Tak terasa, sudah hampir 2 jam para gerombolan begundal itu naik menuju puncak. Lantas terdengar makian jancuk yang tidak biasa. Makian jancuk itu diucapkan dengan logat Melayu. Aha, itu pasti suara si Yudi. Tak lama berselang, terdengar pula ocehan dengan suara yang tak merdu. Brengsek itu pastilah si Zainul. Mereka sudah dekat. Lalu 15 menit kemudian, kesemua anggota tim datang sambil memegangi kaki mereka. Lutut mereka bergetar hebat. Tak lupa repetan dilayangkan pada medan Merapi yang super berat.



“Wah, Raung sih tak ada apa-apanya” kata si Fahmi.

10 menit setelah packing, maka kami pun bersiap untuk turun. Tapi sial, 15 menit kemudian hujan turun dengan derasnya sambil membawa kabut yang tebal. Kami berhenti sejenak, pasrah dihantam hujan. Kabut membuat kami tak berani melangkah lebih jauh. Saat berhenti itulah, para anggota tim memulai kebiasaan mereka. Zainul mulai mengoceh lagi, Yoga tidur, Fahmi tetap berdiri sambil sesekali mengoleskan counterpain pada betisnya. Yudi dan lainnya hanya terdiam sambil sesekali tertawa mendengar ejekanku pada Zainul.

Turun gunung adalah satu siksaan baru. Kami melawan semua teori gravitasi yang pernah diungkapkan Newton ratusan tahun yang lalu. Kami harus berjalan perlahan atau jatuh terjerembab. Kaki kami menahan berat badan yang menyebabkan lutut kami gemetar, dan seaakan tak kuat menopang. Perjalanan turun memakan waktu sekitar 3 jam. Mungkin itulah 3 jam terlama dalam hidup kami.

Sesampai di pos pendaki, lagi-lagi lagu Wali menyambut kami. Suasana di kamp ramai, berbeda dengan kemarin. Ada beberapa orang bule yang ditemani oleh beberapa guide dengan logat ala Jakarta dengan kata-kata lo-gue yang tak sedap didengar kupingku.

Kami semua merebahkan diri. Lelah. Haus. Lapar.

1 jam kemudian, beberapa kelompok pendaki yang ada di pos pendaki, mulai menghilang. Semua memulai pendakian. Hanya ada satu kelompok pendaki dari Purbalingga yang berisik. Mereka memutar lagu dari handphone keras-keras. Padahal di depannya ada 2 orang yang sedang sholat. Brengsek, tak kenal toleransi rupanya. Aku juga jadi rindu suasana tenang di pegunungan. Aih, tekhnologi memang menakutkan.

Kami tak ambil pusing dengan itu semua. Kami masak, kami makan, kami bercanda, aku memaki Zainul, Yoga mengentut, Fahmi merokok, dan yang lainnya mulai tidur. Malam tinggal sejumput lagi. Kami ingin melewatkannya dengan istirahat.



Karena besok pagi aku akan ke Solo... []

Selasa, 26 Oktober 2010

Jakartabeat Music Writing Contest I - 2010 “Wajah Musik Indonesia”

Sejak era Bing Slamet yang membius para penggemar hingga era kelompok-kelompok indie yang menggebrak, musik Indonesia senantiasa menyajikan serpihan-serpihan fenomena yang memikat untuk dicatat.

Jakartabeat.net mengundang rekan-rekan mahasiswa di seluruh Indonesia untuk mengikuti kompetisi menulis musik yang baru pertama kali diadakan ini, untuk turut memberi kontribusi pada peningkatan keragaman jurnalisme musik di Tanah Air, pun pada perkembangan musik Indonesia itu sendiri.

Apa yang bisa ditulis? Bisa tentang musisi, kelompok musik, perusahaan rekaman, album musik, produser, lirik lagu, radio yang mendedikasikan diri pada musik tertentu, komunitas fans genre tertentu, tentang toko musik/kaset/CD/piringan hitam legendaris di tempat Anda tinggal, komunitas indie di kota masing-masing, konser musik, hubungan politik dengan musik, dan lain-lain. Apa saja, sejauh terkait dengan musik Indonesia, dari seluruh ragam genre dan lintas waktu.


Jakartabeat Music Writing Contest I juga bertujuan mengembangkan jurnalisme musik Indonesia pada teritori baru, melampaui pemahaman dan praktik jurnalisme musik yang hanya menyampaikan facts dan who’s who.


Tulisan sedapat mungkin mengikuti gaya tulisan Jakartabeat.net yang menekankan penulisan esai/feature, mengekspresikan pengalaman dan kecintaan pada musik, serta segala aspeknya. Peserta dipersilakan mengeksplorasi tulisan-tulisan, tidak terbatas di rubrik musik, di http://www.jakartabeat.net


KETENTUAN LOMBA

Peserta akan mengirimkan dua file: file pertama adalah tulisan yang hendak diikutkan dalam lomba dan file kedua adalah curriculum vitae (CV).


Ketentuan Peserta

Mahasiswa program Strata 1 atau Diploma di kampus mana pun di Indonesia.


Ketentuan Penulisan Naskah

Tulisan diketik rapi, 1,5 spasi pada halaman kwarto, dengan font Times New Roman berukuran 11. Panjang tulisan minimal 5 halaman dan maksimal 8 halaman. Di pojok kiri atas, tuliskan nama dan nama kampus Anda. Setiap peserta hanya bisa mengirimkan satu naskah.


Ketentuan Penulisan CV

Maksimum panjang CV adalah 1 halaman kwarto. Tiga informasi utama yang harus dicantumkan adalah nama lengkap, data kelahiran, dan alamat lengkap. Sertakan informasi pengalaman organisasi mahasiswa dan pengalaman menulis di media apapun (bila sudah pernah, namun ini bukan syarat utama untuk ikut serta dalam Jakartabeat Music Writing Contest). Di bagian bawah CV, tuliskan komentar pendek satu atau dua paragraf yang memuat pandangan Anda tentang perkembangan jurnalisme musik di Indonesia. Cantumkan pula alamat blog pribadi Anda, bila ada.


Ketentuan Penamaan dan Pengiriman File

Kedua file diketik dengan program Microsoft Word Document dan disimpan dalam format rtf.


Nama file ditentukan sebagai berikut: nama Anda-“judul naskah” dan nama Anda-CV.

Contoh: Agus Lirboyo-“Iwan Fals: Kelahiran Baru Setelah Kematian Sang Anak” dan Agus Lirboyo-CV.


File dikirimkan via email, paling lambat diterima pada 5 Januari 2011, pukul 17.00 WIB.


Pada kolom subject email Anda, tuliskan "Jakartabeat Music Writing Contest I". File dikirimkan ke alamat email: nuran@jakartabeat.net, dengan cc ke fakhri@jakartabeat.net


Informasi lebih jauh bisa diperoleh melalui dua email di atas. Setelah pemenang diumumkan, tidak diadakan surat menyurat. Update lain mengenai kontes menulis ini selain melalui website juga bisa diikuti melalui twitter id: jakartabeat


Penghargaan


Tiga pemenang terbaik akan diumumkan di Jakartabeat.net pada 31 Januari 2011.

* Pemenang I memperoleh Rp 3 juta.
* pemenang II memperoleh Rp 2 juta.
* Pemenang III memperoleh Rp 1 juta.

Tiga pemenang juga akan bergabung menjadi kontributor Jakartabeat.net.


Seluruh naskah yang masuk menjadi milik redaksi Jakartabeat.net dan memiliki kemungkinan dimuat di Jakartabeat.net. Peserta yang naskahnya dimuat di Jakartabeat.net setelah lomba usai akan diberi tahu via e-mail.


Keputusan dewan juri adalah final dan tidak dapat diganggu-gugat.


Tentang Jakartabeat Music Writing Contest I

Jakartabeat Music Writing Contest I ini diselenggarakan untuk merayakan ulang tahun kedua Jakartabeat.net, online magazine tentang musik, buku, film dan ide-ide humaniora, yang jatuh pada 18 Januari 2011. Music Writing Contest direncanakan akan menjadi kegiatan rutin tahunan Jakartabeat.net.

Kompetisi ini diselenggarakan berkat kerja sama Jakartabeat.net dengan Yayasan Interseksi. Hingga hari ini, Jakartabeat.net adalah media online volunteer, di mana para kontributor menulis sukarela tanpa imbalan. Kecintaan pada musik dan music writing, minat pada ide-ide humaniora, dan dorongan berbagi adalah motivasi para kontributor Jakartabeat.net dalam menulis.

Yayasan Interseksi adalah yayasan non-profit yang memfokuskan diri pada kajian kultural dan hak minoritas di Indonesia. Di antara kegiatan Yayasan Interseksi adalah penelitian, penulisan buku, dan pembuatan film dokumenter bertema budaya. Lebih jauh mengenai Yayasan Interseksi: http://www.interseksi.org


Tentang Dewan Juri


Dewan juri Jakartabeat Music Writing Contest I terdiri dari empat orang,yang merupakan representasi empat wilayah: praktisi musik, jurnalis, akademisi, dan penulis lepas. Seluruh anggota dewan juri adalah kontributor Jakartabeat.net sendiri.


Anwar Holid adalah penulis beberapa buku, di antaranya Keep Your Hand Moving: Panduan Menulis, Mengedit dan Memolesnya yang diterbitkan Gramedia Pustaka Utama (2010). Ia bisa dijangkau di http://halamanganjil.blogspot.com/


Harlan Boer adalah mantan personel The Upstairs. Ia sekarang aktif sebagai produser Jangan Marah Records yang menaungi band-band indie seperti Bangkutaman. Ia juga manajer band Efek Rumah Kaca.


M. Taufiqurrahman adalah wartawan harian berbahasa Inggris The Jakarta Post dan rutin menulis tentang musik di sana. Taufiq ikut serta mendirikan Jakartabeat.net. Belum lama berlalu ia menyelesaikan studi pascasarjana di Department of Political Science, Northern Illinois University, Amerika Serikat.


Roby Muhamad adalah staf pengajar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Semasa SMA, menekuni musik blues. Ia menyelesaikan studi doktoral di Columbia University di New York pada 2010. Bidang keahliannya adalah social network. Roby pernah ikut serta sebagai anggota tim penelitian bertaraf global, The Small World Project, yang berpusat di Columbia University. Sila lihat Roby menjelaskan riset ini di CNN: (http://www.youtube.com/watch?v=V2biPHBGm3c)


Kamis, 21 Oktober 2010

Gribs Jadi Cover Sight and Sound




Senangnya ketika tahu GRIBS jadi cover Sight and Sound di The Jakartapost 10 Oktober 2010. Well, semoga band ini akan semakin terkenal dan menjaring banyak penggemar. Baca juga tulisan mengenai hair metal yang mengaum kembali di halaman 4. Ada tulisan mengenai Sangkakala juga.

Baca tulisannya disini

Hair fucking metal rules!

Putu Dahlok: Legendaris Sejak Tahun 1956

Beberapa jam yang lalu, saya sedang berada di jalan Dahlok. Keperluan utama saya adalah mengambil kamera di rumah om saya. Keluar dari Dahlok menuju jalan Sultan Agung, saya memutuskan untuk berhenti sejenak.

Saya tiba-tiba kangen makan putu.

Putu? Planet apa itu? Siapanya Putu Mayo? Oke anak-anak yang lebih akrab dengan Baba Rafi ato Pizza Hut, sini om ceritakan apa putu itu.

Putu itu kue tradisional. Terbuat dari campuran kelapa, beras ketan, dan santan. Kue ini berisi potongan gula merah, yang meleleh ketika kue putu matang.

Lihat lelehan gula merah yang sexy dan yummy itu! :D

Di Jember, penjual putu yang paling terkenal adalah Pak Suparno. Beliau sudah mulai menjual kue putu di gang Dahlok semenjak tahun 1956, dan hingga sekarang masih setia berjualan dengan istrinya. Lapaknya berjualan berada tepat di mulut gang Dahlok yang menghadap jalan Sultan Agung. Pas di depan Warung Soto Dahlok yang juga legendaris itu.


Harga sebiji putu cuman Rp. 600 saja. Selain putu, Pak Parno juga menjual Serabi Jawa. Serabi sederhana yang cuman bertopping gula pasir. Tapi ada juga yang topping-nya nangka, pisang, kismis, dan keju. Serabinya dijual Rp. 1000 per biji.


Rasanya menyenangkan melihat makanan tradisional yang mempertahankan kesederhanaan seperti ini masih bisa bertahan diantara gempuran makanan modern, atau makanan tradisional yang didandani dengan atribut modern.

Saya suka sekali melihat cara Pak Parno mengaduk adonan kue putu, memasukkan adonan ke potongan bambu sepanjang 5 cm, mengisinya hingga setengah, lantas memasukkan potongan gula merah, lantas diisi adonan lagi hingga tabung itu penuh terisi.

Setelah itu, beliau menata potongan bambu itu ke atas panci yang atasnya berbentuk datar. Ada 1o lubang kecil disana. Setiap potongan ditaruh di satu lubang yang mengeluarkan uap air itu. Beberapa menit kemudian, kue putu itu sudah matang, siap untuk disantap.



Putu tak langsung dimakan begitu saja. Masih ditaburi parutan kelapa dan gula pasir. Bagi yang memesan buat dibawa pulang, kue putu akan dibungkus dengan daun pisang dan kertas koran. Klasik! :)

Kue putu paling enak dimakan hangat-hangat di udara yang dingin sehabis hujan, ya kayak malam ini. Oh ya, bagian yang paling menyenangkan dari memakan kue putu ini adalah lelehan gula merah cair itu. Teksturnya kental dengan rasa legit yang bikin ketagihan. Tak kalah dari lelehan coklat cheese cake manapun.

Ah, saya suka kue putu!


Rumah Arjasa, 21 Oktober 2010
Sembari mendengarkan L.A Guns dengan khusyuk