Senin, 03 Mei 2010

Bertemu Soleh Solihun

Soundrenaline tahun 2009 kemarin mungkin adalah salah satu konser yang paling berkesan dalam hidup saya. Alasan pertama adalah karena akhirnya saya bisa melihat 4 band favorit yang selama ini ingin saya tonton secara live: The S.I.G.I.T, Seringai, The Upstairs, dan Koil. Alasan kedua adalah saya menonton konser di Bali ini rame-rame bareng dengan beberapa teman begundalan saya di bangku kuliah. Tidak lupa kan kalau Bali itu surga?

Alasan lain adalah alasan yang absurd: bertemu Soleh Solihun. Siapa Soleh itu? Bukan, dia bukan calo tiket bis di Kampung Rambutan. Dan bukan, Soleh bukan anak pondok pesantren yang suka mengaji satu juz tiap malam. Tapi Soleh Solihun adalah salah satu jurnalis musik idola saya.

Saya hanya punya 3 orang jurnalis musik di Indonesia yang saya idolakan. Baik dari gaya penulisannya, sampai attitudenya. Wendi Putranto alias Wenz Rawk adalah jurnalis musik yang pertama saya idolakan. Tulisannya tentang Ari Lasso dan School of Rock IKJ sungguh membuat saya yakin kalau jurnalis musik itu adalah manusia setengah dewa. Sikapnya yang ramah juga membuat saya makin mengidolakannya.

Lalu jurnalis kedua yang saya idolakan adalah M.Taufiqqurahman. Dia adalah penulis musik di harian berbahasa inggris, Jakarta Post dan juga situs Jakartabeat. Gaya tulisannya yang sinis mengingatkan saya pada Lester Bang. Selera musiknya yang gelap membuat saya bertanya, kok ada manusia dengan selera musik aneh seperti ini? Tapi ya itu, tulisannya selalu brilian, runut, dan logis. Gaya penulisan seperti itulah yang membuat subjektivitasnya – kalau tidak mau disebut arogansi - tersamarkan. Salah satu omongannya yang paling saya ingat adalah “Rasuk is terrible. A John Mayer knock-off. I want my 40.000 back”. Dia mencela album perdana milik The Trees and The Wild yang begitu disanjung oleh banyak orang. Satu lagi yang saya salut dari Taufiq, dia adalah seorang family man. Hal itu tampak ketika saya menginap semalam di rumahnya. Kehangatan keluarganya membuat pikiran saya bahwa menikah itu mengerikan, sejenak hilang.

Jurnalis musik ketiga yang saya idolakan adalah si Soleh Solihun ini. Saya adalah pengunjung setia blog si Soleh (solehsolihun.multiply.com). Saya begitu mengaguminya semenjak dia belum masuk Rolling Stone Indonesia. Tulisan-tulisan di blognya begitu cerdas, terutama yang soal musik. Penggemar Ramones ini punya sisi liar yang menari-nari dalam tulisannya. Yang bikin saya geleng-geleng kepala adalah dia bisa melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang kadang keluar dari pakem dan tak pernah terpikirkan sebelumnya. Setelah dia masuk RSI, dia menjadi warna baru dalam majalah itu. Saya pikir hanya ada 2 jurnalis RSI yang punya gaya liar dan nyeleneh, yakni Wenz Rawk dan si Soleh ini.

Oke, balik ke topik semula: bertemu dengan Soleh Solihun.

Kejadiannya berlangsung setelah The S.I.G.I.T manggung di stage 2 yang berada di Festival Area. Saya berlari ke arah stage 1, tempat Seringai bermain. Saya jelas tak mau ketinggalan unit metal terbaik di Indonesia ini. Ketika saya sudah berada di depan panggung, tiba-tiba Soleh lewat di depan saya sambil menenteng kamera. Saya terperanjat, dan langsung berteriak “Soleh! Soleh!!”, namun ternyata dia tidak mendengar teriakan saya. Suara saya jelas terbanting oleh raungan gitar milik Ricky Siahaan, sang gitaris Seringai.

Setelah Seringai selesai membakar GWK, saya langsung mencari teman-teman yang bersantai tak jauh dari stage 1. Ketika itulah salah seorang teman saya, Iben, berbisik.

“Ada Rekti!” bisiknya pelan.

“Mana? Jangan becanda!” kataku sambil tertawa.

Dan ternyata benar. Rekti sang vokalis merangkap gitaris The S.I.G.I.T ini sedang berdiri pas di belakang teman-teman saya yang sedang duduk lesehan! Saya langsung berteriak ke teman-teman saya yang bodoh itu sambil menunjuk ke arah Rekti.

“Rekti cuuukkk!” teriakku.

Mereka langsung menoleh ke belakang, dan spontan berteriak, “Rektttiiiii!!!”. Mirip para remaja cewek puber yang bertemu dengan Justin Bieber. Rekti yang sedang menelpon pun kaget dan terbengong-bengong karena ada segerombolan anak-anak kusut yang tiba-tiba menyerbu. Hebatnya, si Rekti langsung menutup teleponnya untuk meladeni permintaan tanda tangan teman-teman saya itu. Tak ketinggalan saya juga. Ah, sayang kami dibatasi oleh pagar besi setinggi leher. Setelah meminta tanda tangan, kami pun ngobrol dengan Rekti. Dan benar, suaranya sungguh macho nan seksi. Sial, pantas saya selalu fals kalau menyanyikan Clove Doper.

Setelah Rekti masuk ke dalam, teman-teman saya duduk lagi. Sekitar 5 menit kemudian ada seorang yang keluar dari tenda. Ternyata orang itu adalah Soleh! Reflek, saya berteriak.

“Soleeeehh!!” saya berteriak sepenuh tenaga.

Soleh yang baru keluar dari tenda pun terkaget-kaget. Gerombolan teman saya juga kaget lantas menoleh kebelakang. Saya pun berlari menghampiri Soleh.

“Soleh, saya suka tulisan anda!” kataku bersemangat sembari menyalaminya. Soleh yang masih kaget lalu tersenyum “Iya, makasih” katanya.

“Boleh foto gak?” kataku norak.

“Hehehe, boleh lah” jawab si Soleh.

Dan ya, si Alfien yang saya suruh memotret. Setelah itu Soleh pun pergi entah kemana. Tinggal Alfien yang bengong.

“Dia siapa? kamu aneh, kok foto bareng fotografer” tanya Alfien.

“Hehehe, dia jurnalis musik idolaku” jawabku. Mungkin Alfien tak tahu. Saya mengidolakan Soleh, sama seperti Alfien mengidolakan Bim Bim.

Foto bersejarah itu lantas saya pajang di Facebook. Ayos yang juga mengidolakan Soleh hanya bisa memaki karena saya bisa berfoto dengan Soleh. Si Putri malah kurang ajar. Dia berkomentar kalau wajah si Soleh itu mirip dengan vokalisnya Wali. Ya memang benar sih, hehehe.

Coba tebak, yang mana yang vokalisnya Wali?

Suatu saat, entah kapan, saya akan menyusul anda bung Soleh, dan menjadi jurnalis musik di Rolling Stone!

nb: Terimakasih buat Budi, Alfien, Taufik, Iben, Udin, dan Nala untuk kenangan rock n roll ini. Mari kita ceritakan ke anak cucu kita kelak...

Jember, 02 Mei 2010, 00.53 WIB
Sedang khusyuk mendengarkan album Flowers, 17 Tahun Keatas
Oh ya, saya lagi sangat menggandrungi Mars Penyembah Berhala