Rabu, 25 Januari 2012

MOBS 2: Kix - Don't Close Your Eyes



Selalu ada anomali dalam segala hal. Bahkan untuk hair metal yang selalu dianggap homogen dan identik. Kix adalah salah satu contohnya. Di saat band hair metal lain menuliskan tema cinta untuk lagu ballad mereka, Kix lebih memilih tema lain yang sangat jarang diangkat oleh band segenerasi mereka: bunuh diri.

Bahkan hingga sekarang, bunuh diri masih menjadi momok bagi para remaja yang labil. Pada tahun 1980, tercatat ribuan kasus bunuh diri remaja. Emile Durkheim sendiri menjelaskan ada tiga tipe bunuh diri: Tipe pertama adalah altruistic suicide, dimana sang pelaku bunuh diri menganggap bunuh dirinya akan menguntungkan bagi kelompok atau masyarakat. Contoh terbaik adalah para pilot kamikaze Jepang di Perang Dunia II. 

Tipe kedua adalah egoistic suicide: dimana bunuh diri lahir dari lemahnya sebuah kelompok dalam memberi rasa nyaman dan aman bagi para anggotanya. Sedang yang ketiga adalah anomic suicide, dimana bunuh diri ini dipicu oleh rasa kesepian, isolasi, kesendirian, dan penyakit kejiwaan lainnya. Bunuh diri jenis ini juga bisa dipicu oleh rasa kehilangan, seperti kehilangan orang tua baik dalam arti meninggal atau broken home, atau kehilangan teman.

Kix menganggap isu bunuh diri remaja sebagai isu yang serius. Karena itu ditulislah lagu berjudul "Don't Close Your Eyes". Lagu ini terdapat pada album keempat band asal Maryland ini; Blow My Fuse. Di luar dugaan banyak pengamat musik, lagu ini sukses keras, menapak ke posisi 11 dalam jajaran Billboard Hot 100 pada tahun 1988. Mengejutkan karena rata-rata band hair metal menuliskan lagu ballad dengan tema cinta.

Lagu ini juga menjadi bukti betapa soulful-nya Steve Whiteman dan solidnya barisan pendukungnya. Steve bernyanyi dengan sangat baik, ia terpejam, bersimpuh, dan juga berteriak, seakan yang akan melakukan bunuh diri adalah orang terkasihnya.

Lagu ini juga menceritakan penyebab keinginan bunuh diri: rasa kehilangan orang tua. Perasaan kesepian dan ditinggalkan ini tercermin dari lirik

Whatcha doin out in the night time?
Why'd ya callin me on the phone?
Your mama can't solve the problems
When's daddy, ever get home?

So you did your little move and cried
In the middle of a suicide.

Saya sendiri menemukan lagu ini dari sebuah kaset tanpa kover, kaset telanjang dari kardus kaset warisan om saya. Kaset ini bertajuk "Best of Rock Ballad". Selain Kix, ada Tesla, Skid Row, hingga White Lion. Hingga sekarang kaset itu masih ada. Sama seperti Kix yang juga masih aktif hingga sekarang. Kix masih aktif bermain di gigs kecil hingga yang berskala besar seperti Rocklahoma.

Oh ya, Kix juga menjadi nama merk sebuah sereal dengan tagline terkenal (yang mungkin bisa jadi alasan kenapa mereka bisa aktif hingga sekarang): Kid tested; mother approved.

Yeah! :D

Marah dan Diam

Apa yang sedang anda lakukan ketika marah besar?

Dave Buznik adalah seorang pekerja kelas menengah yang sebenarnya tidak begitu pemarah. Ia bisa menghadapi dan mengatasi kemarahan, sama seperti orang biasa. Tapi sebenarnya, zona tempat dia hidup sangat rentan untuk menghasilkan kemarahan. Bosnya licik, pacarnya ditaksir banyak orang, dan lain-lain.

Akhirnya pada suatu kejadian di pesawat, ia lepas kontrol. Ia marah sejadi-jadinya. Dan karena itu, ia diperintahkan oleh hakim untuk mengikuti terapi kemarahan, atau lazim disebut anger management. Akhirnya Dave diserahkan ke ahli kejiwaan bernama Dr. Buddy Rydell. Tapi ternyata sang dokter bukanlah dokter biasa. Ia malah cenderung tidak dapat ditebak dan lebih psycho ketimbang Dave. Ia bahkan sering melampiaskan kemarahan dengan cara yang tak biasa.

Lalu bagaimana kisah Dave? Silahkan tonton sendiri di film yang berjudul Anger Management. Film komedi ini dibintangi oleh Adam Sandler dan Jack Nicholson. Filmnya sendiri lumayan menghibur.

Apa yang coba saya ungkapkan disini adalah: bagaimana cara saya, kamu, kalian, kita, dalam melampiaskan kemarahan?

Saya sebenarnya orang yang jarang marah. Lingkungan tempat saya hidup penuh dengan orang humoris yang nyaris tak pernah mengumbar kemarahan. Mulai teman SMA, teman kuliah, teman organisasi, hingga teman main, nyaris semua tumbuh dengan kultur sering bercanda. Malah bagi banyak orang di luar lingkup kami, cara bercanda kami sedikit keterlaluan. Meskipun begitu, jarang dari kami yang bermarahan gara-gara guyonan. Mungkin itu sebabnya saya jarang marah.

Tapi pasti ada satu atau beberapa momen dimana saya merasakan marah. Saat itu jelas saya butuh pelampiasan. Saya tak pernah punya kiat khusus atau agenda khusus dalam melepas kemarahan. Kadang saya dengar musik, kadang saya lihat film komedi, kadang saya nongkrong, kadang saya tidur. Tidak tentu dan random.

Tapi kalau kemarahan saya sudah mencapai ubun-ubun, sudah mencapai puncak, saya lakukan hal yang menurut saya adalah puncak dari segala rantai kemarahan: diam.

Diam, bagi saya adalah puncak dari kemarahan. Mamak saya seringkali ngomel ketika marah pada saya. Segala macam hal ia omelin. Itu sudah saya anggap biasa. Tapi kalau beliau diam, saya kelimpungan. Berarti ia marah besar. Saya ngomong, ia mengacuhkan. That's how I know that I'm fucked up.

Sama ketika saya ditipu oleh sahabat saya semasa SMP. Dia datang ke rumah untuk menginap. Ternyata dia mencuri hp saya. Saya marah besar. Kalau saja ia bilang butuh uang, mungkin saya bisa bantu walau tak banyak. Tapi mencuri hp itu bukan cara yang pantas. Apalagi dilakukan kepada teman akrab. Ketika ketemu nyaris 5 bulan kemudian, saya hanya menghampirinya, menunjuk wajahnya, tak mengucap sepatah kata pun, saya berlalu. Ia jelas tahu kalau saya marah besar. 

Diam juga adalah cara yang paling aman. Setidaknya untuk menjaga mulut kita agar tak mengaum sembarangan dan mengeluarkan kata-kata yang nantinya akan kita sesali.

Dr. Laurence J. Peter, seorang guru yang juga penulis, pernah mengatakan hal yang sama, "Ketika kau berbicara saat marah, kamu akan mengeluarkan kata-kata yang kelak akan kau sesali". Dia benar. Bisa jadi karena itu saya lebih memilih diam ketika marah besar.

Siddharta Gautama juga pernah menjabarkan analogi yang keren. Ia menggambarkan bahwa kemarahan itu seperti memegang aspal panas dengan maksud melemparkan aspal panas itu ke orang lain. Tapi alih-alih bisa melemparkan, tangan kita dulu yang akan terbakar. Okay, I get the point master.

Tapi saya bukan Buddha yang sukses melepas segala kesenangan duniawi dan bisa menuju nirwana. Saya dan banyak orang lain adalah manusia biasa yang seringkali berurusan dengan marah. Marah karena jalan macet; marah karena anggota DPR kayak jancuk; marah karena berita di TV isinya mencret semua; marah karena musik di Indonesia belakangan kayak ghornea; marah karena ada tawuran antar suporter bola; marah karena ada orang-orang megalomaniak; marah karena cemburu; dan banyak hal yang membuat kita sadar bahwa marah adalah hal yang membuat kita hidup. Setidaknya di Indonesia.

Tapi ketimbang marah lalu melakukan tindakan destruktif, percayalah, diam itu lebih ampuh. Orang yang biasa bergaul dengan kita, ketika melihat kita diam, pasti mereka tahu kalau ada yang tidak beres. Tapi itu hanya dalam kasus tertentu.

Kalau dalam kasus anggota DPR minta 2 milyar untuk perbaikan toilet, sedangkan masih banyak anak yang tidak bisa sekolah, marahmu harus disalurkan dengan meninju muka anggota DPR  itu satu persatu. Atau mementungi kepala mereka dengan botol bir. Biar mereka tahu kalau kita tidak hanya bisa diam ketika marah!

Minggu, 22 Januari 2012

Sang Binatang Jalang Diantara Perjalanan


Salah satu petuah yang selalu saya ingat adalah: kalau mau jadi penulis yang baik, berkelanalah ke tempat yang jauh, dan tulislah pengalamanmu. Sepertinya petuah itu benar. Banyak penulis hebat adalah pengelana. Sebut saja Mark Twain, Karl May, hingga Jack Kerouac. Semua adalah penulis dan pengelana.

Tapi entah bagaimana dengan penulis puisi. Karena saya tak tahu banyak mengenai latar belakang para penulis puisi, saya tak tahu siapa saja penulis puisi yang suka berkelana dan menulis puisi dari hasil kelananya.

Saya hanya tahu satu: Chairil Anwar.

Bulan Juli tahun 2011, sebuah perusahaan penerbitan besar menerbitkan antologi puisi sang maestro. Judulnya adalah "Aku Ini Binatang Jalang". Buku puisi ini memuat kumpulan puisi Chairil mulai tahun 1942 hingga saat kematiannya, 1949.

Ketika saya menekuri baris demi baris sajaknya, saya merasakan beberapa hal. Yang pertama adalah Chairil rupanya seorang yang seringkali galau. Ia sering meracau mengenai cinta, tuhan, kematian, hingga mengenai wanita malam. Yang kedua adalah Chairil seringkali merasa kalah, terutama dalam hal cinta. Banyak sajaknya yang menggambarkan kekalahan (dalam cinta) dan kesepian. Yang ketiga, adalah hal yang paling menarik bagi saya: tentang kegemaran Chairil melanglang buana. Ia menuliskan tentang laut, tentang pegunungan, dan juga pelabuhan.

Contoh pertama adalah sajak berjudul "Perhitungan". Saya tak tahu sebenarnya sajak ini tentang apa. Tapi karena memahami puisi adalah mengenai interpretasi, maka saya berikan interpretasi saya. Di sajak yang ditulis pada 16 Maret 1963, Chairil menulis:

Banyak gores belum terputus saja.
Satu rumah kecil putih dengan lampu merah muda caya.

Langit bersih-cerah dan purnama raya...
Sudah itu tempatku tak tentu dimana.
...
Sudah itu berlepasan dengan sedikit heran
Hembus kau aku tak perduli, ke Bandung, ke Sukabumi...!?

Kini aku meringkih dalam malam sunyi.


Awal mula sajak ini seperti menggambarkan rumah yang kecil dengan cat berwarna putih dan lampu merah muda. Tapi Chairil memutuskan untuk meninggalkan rumah. Lantas ia berhadapan dengan langit yang cerah dan bulan purnama. Selepas melangkahkan kaki ke luar rumah, maka sejak itulah ia seperti tak punya rumah, mengembara kemana kaki menapak. Ia kadang di Bandung, kadang pula di Sukabumi. Dan pada tiap malam, ia sering merasa kesepian, ringkih di malam yang sunyi. Bagi banyak traveler, pasti pernah merasakan rasa "meringkih dalam malam sunyi" itu. Dimana kita berada jauh dari rumah, malam begitu sepi, dan kita merasa rindu akan rumah.

Puisi kedua yang bertemakan perjalanan atau pengembaraan, atau malah menggelandang, adalah sajak berjudul "Rumahku". Sajak yang ditulis pada 27 April 1943 ini bertema nyaris sama dengan puisi pertama, rumah yang ditinggalkan untuk petualangan. Charil menuliskannya begini:

Rumahku dari unggun-timbun sajak
Kaca jernih dari luar segala nampak

Kulari dari gedong lebar halaman
Aku tersesat tak dapat jalan

Kemah kudirikan ketika senjakala
Di pagi terbang entah kemana


Di sajak ini, Chairil melukiskan rumahnya yang berkaca jernih. Rumah ini memiliki halaman yang besar lagi lebar. Tapi ia memilih untuk keluar dan meninggalkan rumah. Ia pergi kemana saja, hingga tesesat tak dapat jalan. Ketika senja datang, ia mendirikan kemah sebagai "rumah", dan ketika pagi datang, ia kembali melanglang. Entah kemana. Dari sini saya merasa, Chairil bukanlah sekedar pejalan biasa. Ia adalah pejalan jauh, yang tak memiliki titik akhir dari perjalanan. Ia berkelana kemana ia suka.

Sajak ketiga yang bertema perjalanan saya temui di "Kawaku dan Aku". Puisi ini memiliki dua versi, dari buku "Deru Campur Debu" dan "Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus", tapi inti puisinya masih sama, hanya berbeda sedikit diksi dan peletakan kata. Pada sajak yang dibuat pada 5 Juni 1943 ini, Chairil menuliskan:

Kami sama-sama pejalan larut
Menembus kabut
Hujan mengucur badan
Berkakuan kapal-kapal di pelabuhan.
...
Dia bertanya jam berapa?

Sudah lart sekali
Hingga tenggelam segala makna
Dan gerak tak punya arti


Sajak ini sepertinya dibuat Chairil ketika ia sedang berada di pelabuhan. Ia bersama kawannya masih terjaga hingga tengah malam. Ketika sang kawan bertanya mengenai waktu, baru Chairil sadar kalau waktu sudah sangat larut. Pelabuhan yang biasanya hiruk pikuk, jadi sepi. Semua orang tertidur dan digambarkan dengan "dan gerak tak punya arti". Saya pernah berada dalam posisi itu. Ketika berada di pelabuhan Sape. Hingga tengah malam saya tak bisa tidur, sedang di masjid tempat saya tidur, hampir semua musafir sudah terlelap pulas. Di luar, kapal dan truk berkakuan.

Sajak berikutnya adalah "Dalam Kereta". Pada puisi yang ditulis pada 15 Maret 1944, Chairil sepertinya sedang menuju entah kemana, di tengah hujan yang deras, di dalam kereta. Ia menuliskan:

Dalam kereta.
Hujan menebal jendela.

Semarang, Solo..., makin dekat saja
Menangkup senja.

Menguak purnama.
Caya menyayat mulut dan mata.
Menjengking kereta. Menjengking jiwa

Sayatan terus ke dada.


Dari sajak itu, saya merasa Chairil sedang kesepian. Ia di dalam kereta, sendirian, di luar sedang hujan. Percayalah, kombinasi antara di kereta sendirian+hujan itu adalah kombinasi terampuh untuk merasakan kesepian dan kegalauan yang teramat sangat. Saya beberapa kali merasakan perasaan yang sama. Yang paling parah, saya ingat, adalah ketika saya berada sangat jauh dari rumah. Saya di kereta, sendirian, orang-orang bicara dengan bahasa asing, sedang di luar hujan. Plus pemutar musik memutarkan "Melankolia" Efek Rumah Kaca. Lengkaplah sudah.

Chairil juga lihai dalam membuat puisi yang menuliskan sebab-akibat dari perjalanan. Sebab-akibat ini bisa diartikan mengembara-kesepian, atau mengembara-ditinggal cinta. Ya semacam itulah. Kadang kala, memang konsekuensi terberat dari perjalanan (apalagi yang tanpa batas waktu) adalah ditinggal orang-orang terkasih. Dan Chairil bisa menuliskannya dengan gemilang. Coba simak puisi berjudul "Lagu Siul". Dalam puisi yang dibuat pada 25 November 1945, Chairil menuliskan begini:

Aku kira
Beginilah nanti jadinya:
Kau kawin, beranak dan berbahagia
Sedang aku mengembara serupa Ahasveros.
...
Jadi baik kita padami
Unggunan api ini
Karena kau tidak 'kan apa-apa
Aku terpanggang tinggal rangka


Dari puisi ini, saya bisa melihat betapa syahdu dan melankolia-nya Chairil dalam memandang cinta. Chairil bisa dibilang sedikit enggan untuk menjalin hubungan dengan ikatan. Bukan karena apa, tapi ia takut sang wanita akan meninggalkannya ketika ia sedang berkelana. Karena Chairil tahu, tak banyak wanita yang sanggup bertahan dengan pria bohemian sepertinya. Ia seperti bisa meramalkan kehidupan romansanya, dimana ketika semua menjelang akhir, sang perempuan akan meninggalkannya, beranak dan berbahagia. Sementara Chairil? Ia akan terus mengembara serupa Ahasveros, sang raja Persia yang mengembara mencari makna kehidupan dan berakhir dengan menjadi gila.

Lalu ada pula sajak "Kabar Dari Laut", dimana Chairil menuliskan

Aku memang benar tolol ketika it
mau pula membikin hubungan dengan kau;
lupa kelasi tiba-tiba bisa sendiri di laut pilu
berujuk kembali dengan tujuan biru
...
Hidup berlangsung antara buritan dan kemudi
Pembatasan cuma tambah menyatukan kenang.


Sajak ini seperti mengibaratkan Chairil dengan seorang pelaut. Seperti kita tahu, pelaut pada jaman dulu tak pernah bisa memberikan kepastian kapan ia akan pulang. Bisa jadi pula ia mati di tengah laut dan tak ada yang memberi kabar. Chairil mengibaratkan diri sebagai kelasi yang "Tiba-tiba bisa sendiri di laut pilu, yang berujuk kembali dengan tujuan biru." Chairil juga enggan untuk memulai sebuah hubungan, karena baginya hidup hanya "berlangsung antara buritan dan kemudi", yang menggambarkan hidupnya selalu mengembara tanpa tujuan. Sedang kisah romansa itu ibarat pembatasan, yang hanya akan memberikan kenangan. Dan jelas itu menyakitkan.

Karena itu, meski ia menuliskan sajak untuk banyak perempuan: Ida, Tuti, ataupun Mirat, ia tak pernah mau terikat, tak mau menikah hingga ajal memanggil. Meski pula ia jatuh cinta setengah mati dan tak sempat terungkapkan pada Sri Ajati, ia tetap teguh tak mau menikah. Karena ia sepertinya tahu mengenai pedihnya terikat kenangan.

Untuk Sri, ia juga menuliskan banyak sajak. Termasuk sajak terkenal berjudul "Senja di Pelabuhan Kecil". Pada puisi yang ditulis pada tahun 1946, ia menggoreskan:

Ini kali tiada yang mencari cinta
Diantara gudang, rumah tua, pada cerita
Tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
Menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut

Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
Menyinggung muram, desir hari lari berenang
Menemu bujuk pangkal akanan.Tidak bergerak
Dan kini tanah dan airtidur hilang ombak

Tiada lagi. Aku sendiri.berjalan
Menyisir semenanjung, masih pengap harap
Sekali tiba diujung dan sekalian selamat jalan
Dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap


Pada puisi yang sendu ini, kita bisa merasakan Chairil yang sedang menatap senja di pelabuhan kecil. Ia bercerita mengenai gudang, rumah tua, tiang serta temali, kapal, juga perahu. Sore itu sedang gerimis. Hari sedang muram. Dan Chairil masih saja sendiri. Tapi ia terus berjalan, mencari pantai keempat, berharap sedu bisa terdekap dan lindap. Oh Chairil, betapa kau kesepian bung.

Salah satu puisi Chairil yang paling panjang sekaligus paling menggetarkan, bisa jadi adalah "Kepada Kawan". Sebuah sajak yang dibuat dengan maksud mengobarkan semangat untuk berkelana. Sebelum ajal mendekat dan mengkhianat. Pada sajak yang lahir pada 30 November 1946 ini, sang pria kesepian ini menuliskan:

... Jadi
Isi gelas sepenuhnya, lantas kosongkan,
Tembus jelajah dunia ini dan balikkan.
Peluk kucup perempuan, tinggalkan kalau merayu,
Pilih kuda yang paling liar, pacu laju,
Jangan tambatkan pada siang dan malam.

Chairil mengajak untuk menenggak pengalaman sebanyak mungkin. Mengibaratkan diri sebagai gelas yang harus diisi oleh pengalaman, setelah penuh lantas kosongkan, lalu pergilah lagi. Jangan terperdaya oleh bujuk rayu, karena itu tinggalkan perempuan yang merayu. Pada benak Chairil, perempuan bisa jadi adalah penghalang untuk terus berkelana. Ah.

Selain sajak yang saya tulis diatas, masih banyak lagi sajak dengan tema perjalanan. Sebut saja "Sajak Buat Basuk Resobowo", "Malam di Pegunungan", hingga "Aku Berada Kembali".

Pada akhirnya, Chairil memanglah seorang penulis puisi yang legendaris. Sangat legendaris bahkan. Tapi banyak pula yang alpha, lupa kalau Chairil adalah juga seorang pejalan jauh, pengembara, atau pengelana. Sebut saja lah. Karena, bagi Chairil, para pejalan adalah apa yang ia sebut dan ia suka dalam sajak "Prajurit Jaga Malam",

Aku suka pada mereka yang berani hidup
AKu suka pada mereka yang masuk menemu malam
Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu...
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu.

Sabtu, 21 Januari 2012

Gimme Salt and Pepper, Please!


Anda tahu Gordon Ramsay?

Gordon Ramsay adalah seorang chef asal Skotlandia yang juga membintangi beberapa acara masak di televisi. Ia punya selera humor yang baik. Ia juga juru masak yang baik. Karena itu ia mendapatkan 13 Michellin Stars dan program masaknya laku keras. Salah satu acaranya yang mendapat rating tinggi adalah "Gordon Ramsay Cookalong Live". Ini adalah sebuah acara masak gaya baru. Dimana Gordon yang berada di studio akan memandu masak beberapa orang yang berlainan tempat via teleconfrence.

Yang paling saya suka dari acara ini adalah ada video-video tambahan yang disebut dengan Gordon's Training Video. Ini adalah semacam video how-to yang sangat praktis dan berguna bagi para penghobi masak amatir macam saya.

Nah, salah satu tips yang selalu  ia berikan adalah: tambahkan garam dan lada. Yup, now give salt and pepper. Itu kata-kata saktinya (dengan aksen British yang kental ) kalau menaburkan garam dan lada di nyaris setiap masakan yang ia buat. Daging, ayam, pasta, kentang, nyaris semua. Tips itu ia berikan agar masakan yang ia masak tak hambar.

Nah, sepertinya ada seseorang yang perlu melihat Gordon's Training Video. Ia adalah chef pasta di Il Mondo.

Il Mondo adalah sebuah pizzeria yang terletak di Jogja. Ia menyajikan pizza, pasta, dan masakan Italia lainnya. Interior-nya sederhana, bagus, dan nyaman. Lampu yang temaram menambah suasana kafe menjadi lebih hangat.

Pizza-nya lumayan enak. Harganya pun lumayan bersahabat. Tapi beberapa kali saya makan disana, saya tak pernah mencicipi pasta-nya. Karena itu saya penasaran akan rasa pastanya.

Beberapa waktu lalu saya dan sejumlah teman bersantap di Il Mondo. Miko, salah seorang kawan, memesan pasta, Spaghetti Il Podomori. Pasta datang dengan tampilan menggoda. Ada irisan tomat merah yang tampak segar, potongan buah zaitun hitam, cacahan bawang bombay, dan juga saus tomat. Ada pula taburan keju (parmesan?) di atas spaghetti.

Saya menelan ludah. Secara tampilan, spaghetti ini dijamin akan menerbitkan liur siapapun yang melihat. Tapi ketika saya mencicipi, taraaaa. Coba tebak? Rasanya hambar!

Spaghetti-nya berasa hambar, itu wajar. Tapi kalau saus tomat-nya hambar, itu tidak bisa dimaafkan. Saus, saya pikir, adalah komponen penting bagi masakan Italia. Spaghetti pasti pakai saus. Lasagna? Juga pakai saus.

Karena itu, kalau masakan Italia sausnya hambar, aduh, akan sangat mengecewakan. Tidak hanya saya yang merasa kecewa. Miko juga kecewa. Untuk menutupi rasa hambar itu, maka ia memberi saus sambal. Dalam jumlah yang banyak tentu saja.

Ah, Il Mondo, kenapa kau mengecewakanku?

Ah, Sudah Tiga Tahun


Saya ingat, di suatu malam yang menebarkan udara galau, saya membuka email dari seorang bernama Philips Vermonte.

Ah, saya ingat si pengirim email ini. Ia pernah meninggalkan komentar mengenai konser The Brandals di blog lama saya.

Philips Vermonte adalah founder dari blog berburuvinyl, sebuah blog yang berisi kisah tentang perburuan piringan hitam oleh beberapa orang mahasiswa asal Indonesia yang kuliah di Amerika. Piringan hitam yang diburu adalah album yang masuk daftar 500 Greatest Album versi Rolling Stone Amerika. Blog ini ia rintis bersama kawan baiknya, Taufiq Rahman, wartawan sekaligus kritikus musik dari The Jakarta Post.

Saya suka blog itu. Membuat angan saya melanglang ke Amerika, tanah suci bagi para pecinta musik. Membuat saya memimpikan asyiknya berburu piringan hitam di sela-sela tugas kuliah yang membuat rambut rontok perlahan. Karena itu, ketika melihat foto mas Philip yang ternyata tidak botak, saya menduga itu karena dia masih sempat bersenang-senang dengan cara berburu vinyl.

Isi emailnya adalah meminta saya untuk menulis di website yang baru ia rintis. Web ini merupakan tindak lanjut dari blog berburuvinyl. Isinya beragam. Mulai musik hingga politik. Dari review buku hingga review film. Tentu saja saya tak menolak. Apalagi disana banyak penulis dengan reputasi yang tidak main-main.

Saya ingat, tulisan pertama saya di Jakartabeat adalah tentang album Continuum, album milik John Mayer yang kala itu setia menemani saya yang sedang patah hati berat. Judul tulisannya pun terdengar sangat annoying, "Obat Patah Hati Bernama Continuum" . Hahaha.

Ketika tulisan saya di upload, saya girang bukan kepalang. Saya pamer ke banyak kawan kalau tulisan saya dimuat di Jakartabeat. Tapi kala itu tak banyak yang tahu mengenai web yang baru berumur beberapa bulan itu.

Hingga sekarang, Jakartabeat telah membuat beberapa gebrakan, yang sebenarnya juga merupakan perpanjangan mimpi mas Philips.

Pada ulang tahun kedua, ada Jakartabeat Music Writing Contest, kontes menulis tentang musik yang baru pertama kali diadakan di Indonesia. Responnya meriah. Dan ketika pemenangnya diumumkan, tanggapannya jauh lebih meriah. Hehehe.

Jakartabeat juga sudah menerbitkan buku berjudul "Like This" yang merupakan kumpulan tulisan terbaik di situs ini selama periode 2009-2010. Buku ini dicetak terbatas, hanya 300 eksemplar, dan sudah licin tandas. Buku ini juga direview dengan baik oleh banyak media.

Jakartabeat juga mengadakan acara --yang diharapkan-- bisa berjalan rutin, yakni The Vinyl Countdown, plesetan dari The Final Countdown. Ternyata, meski founder dan co-founder adalah hipster, baliknya tetap ke istilah yang diciptakan oleh hair rocker. Hehehe. Acara ini adalah pemutaran piringan hitam dan diskusi. Partnernya adalah Ruang Rupa, sebuah komunitas kesenian yang sudah menjelma menjadi komunitas besar. Beberapa hari lalu, baru saja diadakan The Vinyl Countdown yang ke 2 dengan tema Punk, Logika Kekuasaan dan Perlawanan.

Dengan penuh seluruh, saya sadari kalau situs ini begitu berharga untuk saya. Ia mengenalkan saya dengan beberapa orang hebat. Ia mengenalkan saya dengan musik-musik aneh yang coba saya dengarkan (and yet, hair metal is still the best). Ia juga memberi saya kesempatan menulis di sebuah situs yang sekarang menjadi web favorit bagi banyak orang.

Tanggal 18 Januari 2012 adalah hari kelahiran ke 3 situs ini. Tanpa disangka --bahkan oleh sang founder sendiri-- web ini perlahan menjelma jadi sesuatu yang besar. Dan saya yakin ia akan semakin besar.

Kalau boleh mengutip salah satu band terkeren sepanjang masa, Poison, berada  dan menulis di Jakartabeat itu seperti doin nothing but a good time, how can I resist?

Rock on!

Jumat, 20 Januari 2012

Engkel dan Engkol

Salah satu kelemahan dan juga ketololan saya adalah: saya tak pernah bisa paham soal mesin motor. 

Ini sesuatu yang dari dulu pengen saya rubah. Apalagi saya punya keinginan buat keliling Sulawesi pakai CB. Kalau suatu saat saya beneran keliling pakai CB, trus motor itu mogok di tengah jalan, lalu saya gak paham mesin, mampus kan?

Nah, hari ini saya kembali digetok sama tuhan. Disuruh beneran belajar mesin.

Panjul, kawan saya yang tampan dan punya semilyar grupis itu, beberapa hari lalu pulang kampung ke Betawi. Motor kesayangannya dititipkan ke saya.

Tanpa saya tahu kalau motor itu sering mogok.

Kejadian mogok pertama adalah kemarin ketika saya mau beli sandal. Pas di lampu merah, tiba-tiba motor menyendat. Det det det, kayak kehabisan bensin. Padahal jarum indikator bensin ada pada huruf F yang artinya full. Saya panik. Kalau mogok di lampu merah, saya pasti akan diberondong dengan bunyi klakson orang-orang yang merasa paling sibuk sedunia itu.

Untungnya motor masih bisa jalan. Tapi setelah melewati lampu merah, ia beneran mati. Sialan.

Motor Panjul ini masih baru. Honda tipe racing. Makanya saya heran kok bisa mogok. Di pinggir jalan saya coba starter motor. Pakai jempol gak bisa, pake kaki juga gak bisa. Saya berulang kali nyoba. Sampai dengkul kaki saya gemetaran. Sial, ini pasti akibat "guilty pleasure" semasa muda dulu. Hehehe.

Dan yang kurang ajarnya, setelah kurang lebih 30 menit mencoba menghidupi motor, ketika saya iseng menekan tombol electric starter, eh si Honda tiba-tiba hidup begitu saja. Tanpa perlu usaha. Asu.

Hari ini si Honda kembali berulah.

Selepas dari kampus, saya dan beberapa kawan berniat makan. Dan nyaris sama seperti kejadian pertama, motor ini kembali menyendat di lampu merah. Saya tarik tuas choke untuk memperlancar aliran bensin. Lumayan, tidak menyendat lagi.

Tapi beberapa meter selepas lampu merah, si Honda tiba-tiba mati total. Jiampuuuut.

Sama seperti kejadian pertama, saya berusaha menghidupkan motor dengan segala cara. Digelitik, digodek, dielus, dan segala macam usaha lainnya. Motor masih tetap tak mau jalan.

Mana dari tadi pagi saya belum makan. Tubuh saya langsung gemeteran. Sialan. Nah, karena motor tak kunjung hidup, akhirnya saya dan motor didorong oleh kawan. Pas di depan tempat makan, saya coba starter motor ini. Hidup. Jancuk!

Nah saya pikir motor ini tidak akan mogok lagi.

Tapi malam ini, ketika saya ada beberapa keperluan dan sekalian cari makan, motor kembali tak bisa dihidupin.

Maka saya sms Panjul.

"Njul, motormu kenapa sih? Emang sering mogok ya?"

Tak berapa lama kemudian, dia membalas.

"Oh itu karbunya kotor."

Ya tuhan, bahkan saya tidak tahu dimana letak karburator itu. Dan apa perbedaan antara karburator dan busi? Itu saya benar-benar tak tahu.

Karena si pria penuh lemak ini cuma ngomong begitu singkat tanpa ada solusi, maka saya pun nanya biasanya diapain biar gak mogok.

"Apa ya. Coba di engkel"

Apa pula itu engkel. Maka saya bertanya lagi pada Panjul.

"Engkol tau?" ia malah balik bertanya.

Sial, seharusnya selepas SMP saya masuk SMK mengambil jurusan mesin. Atau selepas SMA saya harusnya masuk jurusan Tekhnik Mesin, bukannya Sastra. Ah, tapi saya ingat. Engkol itu adalah salah satu alat bengkel, bareng sama obeng, kunci inggris, tang, dll.

"Tau laaah, itu kan alat bengkel" jawab saya yakin.

"Bukaaan, di engkol itu kayak ngidupin vespa."

Sial. Bagaimana pula cara ngidupin vespa itu? Di starter pakai kaki gitu kan? Saya betul-betul merasa tolol.

Karena capai, maka saya menaruh motor, ngidupin komputer, lalu berselancar di internet. Pasrah. Siapa tau nanti motor hidup sendiri seperti kejadian-kejadian sebelumnya.

Eh, ada Panjul di internet...

Selasa, 17 Januari 2012

MOBS 1: Motley Crue - Without You



Motley Crue pernah dijuluki sebagai band paling brutal. Gaya hidup mereka sangat tidak masuk akal. Kalau saja gaya hidup adalah ukuran kemanusiaan, maka mereka lebih tepat dipanggil binatang. Mereka pernah melakukan semua kebangsatan yang nyaris tak dapat dinalar. Tapi siapa sangka, mereka bisa menulis sebuah lagu ballad romantis dengan baik. Sangat baik malah. "Without You" adalah contoh sahihnya.

"Without You" menurut saya adalah salah satu lagu rock paling romantis, meskipun video klipnya sangatlah buruk dan tidak jelas (Nikki Sixx menyebutnya sebagai surealis). "Untukku, 'Without You' adalah lagu yang bagus. Aku ingat kami merekam video klipnya di Texas. Yap, videonya sangat jelek, tapi lagu ini tetap lagu yang bagus" kata Vince Neil.

Saya punya kenangan yang entah kenapa bisa saya ingat dengan baik. Kejadiannya pada saat saya SD. Saat itu sebuah stasiun TV (seingat saya adalah ANTV) mempunya program yang kalau tidak salah bertajuk SOS alias kependekan dari Story of Song. Jadi ada beberapa orang yang meminta sebuah video klip diputar, dan orang itu akan menceritakan testimoni mengenai kenangannya dengan lagu itu.

Nah, saya ingat dua lagu yang diputar malam itu: Miracle-nya Bon Jovi dan Without You-nya Motley Crue. Waktu itu saya tidak begitu kenal Motley Crue dan Bon Jovi. Jadi saya tidak begitu menyimak dua video klip itu. Eh, kecuali betapa gagahnya rombongan Jon Bon Jovi yang mengendarai Harley Davidson di tengah jalan Amerika yang gersang.

Lagu ini ditulis oleh Nikki Sixx untuk Tommy Lee yang ketika itu menjalani masa indah bersama istrinya, Heather Locklear. "Ide lagu itu sederhana, mengenai Heather dan Tommy. Mereka sering datang ke tempatku dan aku pikir lagu ini merupakan perspektif Tommy yang mengatakan kalau tidak ada Heather, maka hidupnya tidak akan sama lagi" ujar Nikki pada sebuah wawancara dengan Rolling Stone.

Single dari album Dr. Feelgood ini sudah saya masukkan sebagai lagu yang harus dimainkan ketika saya menikah kelak. Isinya romantis, tapi tidak kacangan. Kalaupun ia kacang, ia adalah kacang dua kelinci, bukan kacang seribu dapet seiket yang biasanya isinya kopong.

Liriknya yang paling menyentuh tentu bagian ini:

I can face the mountain, but i could never climb alone
I can start another day, but how many just don't know
You're the reason sun shines down, and the nights they dont grow cold
Only you I hold when I am young, only you as we grow old...

Dan slide solo guitar dari Mick pun menyayat. Sejak itu pula tak ada wanita yang tak tersentuh ketika dinyanyikan lagu ini...

Monsters of Ballad Strike!


Kalau berbicara mengenai hair metal, tak lengkap kalau tidak menyertakan ballad rock. Ballad disini mengacu pada lagu hair metal yang cenderung slow rock dan easy listening. Ya, meskipun bertampang sangar, ternyata banyak dari para rocker itu berhati lembut dan romantis. Formulanya standar, suara gitar yang renyah, sedikit taburan solo gitar, dan tentu lirik yang romantis. Karena background mereka sebagai rocker, lirik yang mereka tulis pun tidak cheesy, masih menyisakan sedikit sisi maskulinitas.

Program MOBS ini saya dedikasikan untuk para pecinta musik, terutama pecinta hair metal. Apalagi yang mengalami masa remaja pada era 80-an dan tumbuh besar dengan lagu-lagu rock ballad dari band hair metal. Mereka pasti punya banyak memori dengan lagu-lagu slow rock itu. Tiap hari terhitung dari sekarang (entah hingga kapan) saya akan memilih satu lagu ballad dari band hair metal, menuliskan beberapa fakta tentang lagu itu, dan kenangan saya terhadap lagu itu.

Jadi hati-hati, Monster of Ballads Strike!

Senin, 16 Januari 2012

Hamburg Part 3: Die Sündige Meile?

Jika di siang hari aktivitas bisnis dan perdagangan mendominasi kesibukan di pusat kota dan pelabuhan, maka di malam hari geliat itu berpindah ke Red Light District. Kawasan khusus dewasa ini disebut-sebut banyak turis sebagai yang terbesar di Eropa, mengalahkan pesaingnya di Amsterdam.

Kemunculan Red Light District terkait erat dengan suburnya bisnis distribusi barang di pelabuhan. Para pelaut, yang terus merangsek bak lebah di musim semi, rupanya tak cukup terpuaskan oleh hiburan dari The Beatles. Peluang inilah yang diambil rumah-rumah bordil. Kawasan prostitusi paling kondang di St. Pauli saat ini adalah Reeperbahn. Publik menjuluki jalan ini “die sündige meile” atau kurang lebih berarti “ jalan penuh dosa”. Saya bisa menemukan barisan bar, kasino, bioskop gay, hingga klub penari.

Neon-neon mereka berpendar tiap malam untuk menggoda serangga serangga yang lapar. Seksi, liar, dan sangat berbahaya bagi mereka yang lemah iman tentunya. Tapi St. Pauli dan Reeperbahn tak melulu soal seks. Masih ada ruang untuk jiwa-jiwa yang damai. Kita bisa menemukan St. Pauli Theater yang rutin mementaskan drama musikal. Berjalan beberapa menit ke arah barat, terdapat Gereja St. Michaelis, landmark berusia ratusan tahun yang didesain bergaya Baroque. Gereja ini pernah menjadi saksi gerakan reformasi gereja yang dilancarkan kaum penganut Protestan di Jerman pada periode 1500-an. Tak heran, Martin Luther begitu dipuja hingga dibuatkan patung di depan gereja.

St. Pauli dengan segala warnanya adalah tempat yang aman bagi wisatawan. Angka kejahatan terbilang minim. Lain waktu saya melihat seorang gelandangan tua yang menuntun anjing Rottweiler berbadan tambun; anak-anak punk yang bergerombol sembari berdiskusi soal pasar bebas dan ide-ide Chomsky; serta wanita mabuk bertatanan rambut sangat buruk yang menyeret bebek karet mainan berwarna kuning menyala. Pelaut haus hiburan, musisi asal Inggris, penggemar teater, hingga anak punk yang membenci pialang saham. Semua orang punya tempat di rumah besar bernama St. Pauli.


 


“Coba kamu susuri kanal di Hamburg.Kamu akan jatuh cinta,” ujar Marianne Bruchert, perempuan paruh baya yang mengizinkan saya tinggal di apartemennya di bilangan Issestr. “Saya percaya kanal-kanal di Hamburg lebih indah ketimbang di Venesia" ujarnya sembari tersenyum simpul. Tangannya memegang gelas yang berisi red wine. Fortin Plaisance, Saint- Emilion tahun 1995.

Saya kini hendak membuktikan ucapannya. Marianne meminjamkan perahu berwarna merah miliknya. Perahunya lumayan besar, cukup untuk mengangkut empat penumpang. Sebelum berangkat, Marianne menyodorkan peta dan merekomendasikan rute terbaik, lalu memberikan wejangan: “Hati-hati, angin sedang keras. Kalau angin menghantam, jangan melawan, biarkan saja angin membawa perahumu. Kalau sudah tenang, baru kamu bisa mendayung lagi.”

Prediksinya akurat. Sore ini, angin berembus kencang. Saya menjejakkankaki ke perahu dan mulai mendayung. Rencananya saya akan menelusuri kanal kecil yang membelah Klosterstern dan Eppendorfer Baum, lalu ke pelabuhan wisata Streekbrucke, terus ke pelabuhan wisata Krugkoppelbrucke, hingga akhirnya mencapai Danau Ausenalster. Tapi agenda ini sepertinya sulit diwujudkan. Angin terus melabrak
perahu. Saya harus berjuang keras seorang diri mendayung perahu berkapasitas empat orang. Tak lama, stamina tubuh terkuras. Untungnya, perjalanan ini tak sepenuhnya berakhir bencana.



Pemandangan kota Hamburg terlihat menawan dari kanal. Mungkin ini sebabnya banyak Hamburger (sebutan untuk penduduk Hamburg, bukan nama makanan) gemar menghabiskan senja di atas air—berperahu, berkano, atau menaiki kapal feri. Saya melewati Streekbrucke, lalu Krugkoppelbrucke. Jika merujuk pada peta, maka sebentar lagi perahu akan memasuki tepian Danau Ausenalster. Tapi berhubung energi sudah habis, saya membelokkan perahu ke kanal kecil Bellevuebrucke. Kanal ini teduh dan tenang.

Pohon-pohon memayungi jalan, angsa mengapung di samping perahu, dan anak-anak di taman melambaikan tangan dengan wajah sumringah. Suasananya seperti gambar di kartu-kartu pos wisata. Saya menaruh dayung dan membiarkan angin mendorong perahu. Tak jelas sudah berapa lama saya melaju. Di tempat sedamai ini, lupa waktu adalah tindakan yang bisa dimaafkan.

***
Getting there:
Penerbangan Jakarta- Hamburg dilayani antara lain oleh KLM ($1.324), Emirates ($1.292), dan Cathay Pacific ($1.329)—semua harga pp di Januari. Dari Bandara Internasional Hamburg, Anda bisa naik kereta bawah tanah S-Bahn dan U-Bahn yang melayani rute ke pusat kota (€1-3). Transportasi lain di dalam kota adalah bus, kapal feri, dan taksi.

When to go  :
Arus turis terbanyak di Hamburg berlangsung di periode Mei hingga Oktober, yakni saat cuaca cerah dan warga menggelar banyak festival, mulai dari Kathleen Mass hingga Full Moon Festival. Hamburg International Short Film Festival juga lazim digelar di pertengahan tahun. Musim dingin di akhir tahun bukanlah waktu berkunjung yang ideal, karena tubuh Anda akan tersiksa saat harus menyusuri jalan dan kanal.

Where to stay:
Berdiri di kawasan Bugenhagenstrasse, Hotel bintang lima ParkHyatt Hamburg menawarkan panorama taman hijau dan Danau Alster [Bugenhagenstrasse 8, T.49 40 3332 1234, hamburg.park.hyatt.com, mulai  dari $312]. Radisson Blu Hotel, yang berada cukup dekat dari pusat perbelanjaan, menaungi 556 kamar dengan tiga konsep desain berbeda [Marseiller Strasse 2, T.49 40 35020, www.radissonblu.com, mulai dari $171]. Hotel bintang empat Lindner Park- Hotel Hagenbeck terletak di dekat pusat olahraga [Hagenbeckstrasse 150, T.4940 800808, www.lindner.de/en, mulai dari $104].

What to do:
Naik perahu adalah salah satu cara alternatif menikmati keindahan Hamburg. Kota ini memiliki lebih banyak jembatan dibandingkan gabungan jumlah jembatan di Amsterdam, Venezia, dan London. Kanal-kanalnya pun tak kalah menarik dibandingkan di Venezia atau Amsterdam. Layak dicoba adalah tur Alsterrundfaht yang mengarungi Danau Alster (www.alstertouristik.de, tarif €15). Untuk belanja, ada dua pilihan: pasar ikan tradisional di Pelabuhan Landungsbrucken yang beroperasi tiap Minggu pagi, atau kawasan Mönckebergstraße yang dikenal sebagai distrik belanja tertua di Hamburg.





 Tapi jika Anda tidak suka pasar atau butik modern, kunjungi saja Flohmarkt (pasar loak). Berbagai penganan tradisional Jerman dan barang antik dijajakan, mulai dari gelas, cangkir, buku, kamera, hingga sepatu bot. Penting diingat, pasar loak ini selalu berpindahpindah (cek jadwal di www.hamburg.de/flohmarkt).

Minggu, 15 Januari 2012

Hamburg Part 2: Dari Pelabuhan Hingga Sepak Bola

Kota terbesar kedua di Jerman ini memiliki pelabuhan terbesar kedua di Eropa. Eratnya hubungan Hamburg dan air tecermin dari nama resmi kota ini, Freie und Hansestadt Hamburg, yang dalam bahasa Inggris berarti: Free and Hanseatic City of Hamburg. Selain perdagangan, pariwisata adalah sektor ekonomi andalan Hamburg.

Di 2008, kota ini berhasil memikat 7,7 juta wisatawan, lebih banyak dari jumlah turis Indonesia di 2010. Tapi sejarah kota ini tak selalu menampilkan kisah manis. Sejumlah babad mengenai tanah Eropa menuturkan, pada 845, 600 kapal Viking menginvasi Jerman melalui Sungai Elbe dan meluluhlantakkan Hamburg. Di masa Perang Dunia II, kota ini kembali rata dengan tanah akibat hujan bom. Peran Hamburg sebagai kota pelabuhan internasional dimulai pada 1189 saat Raja Jerman kala itu, Frederick Barbarossa, menerbitkan aturan bebas pajak.

Menaiki kereta bawah tanah U-Bahn, dengan menenteng sebotol bir dingin saya meluncur ke Landungsbrucken,  kawasan di pelabuhan yang tersohor sejak 300 tahun silam. Kawanan camar berkicau di bawah langit cerah musim panas yang baru saja dimulai. Klakson kapal bersahutan memenuhi udara. Di sudut yang lain, orang-orang bersantai di tangga pelabuhan, menenggak bir dingin, atau mengudap baguette ikan. Landungsbrucken lebih terlihat sebagai sarana tetirah ketimbang area pelabuhan yang sibuk. 




Saya kembali ke daerah St. Pauliuntuk menyatroni pasar ikan. Beroperasi sejak 1703, pasar ini merupakan salah satu yang tertua di dunia. Yang dijual bukan cuma ikan, tapi juga sayur dan buah. Suasananya sangat riuh. Tak jauh berbeda dari pasar ikan di Jepang. Para pedagang berteriak-teriak mempromosikan dagangannya. Mereka dijuluki “Marktschreier vom Hamburger Fischmarkt” alias “Penjual Tukang Teriak dari Pasar Ikan Hamburg”. Butuh usaha ekstra untuk menyambangi pasar ini, sebab pasar ini hanya buka di Minggu pagi, mulai pukul lima hingga pukul sepuluh pagi.


Balai Pelelangan Ikan di Landungsbrucken


St. Pauli juga memiliki tim sepakbola: FC St. Pauli. Jarang ada yang mengenalnya di tingkat internasional, tapi di kalangan warga lokal, klub ini sangatlah legendaris. Dengan lambang tontenkopf (tengkorak plus dua tulang femur yang melintang), klub yang berdiri pada 1910 ini menyandang julukan “The Pirates of the League”. Terdengar ganas memang, tapi sayang prestasinya melempem. Ia justru lebih terkenal berkat basis penggemarnya yang fanatik, yakni kelompok sayap kiri yang antirasis, antifasis, dan antiseksis. Tak jarang, mereka berseteru dengan kaum Neo Nazi. Yang juga unik, klub FC St. Pauli memiliki pendukung perempuan terbanyak di seantero Jerman. 

Hamburg sendiri memiliki dua buah klub sepak bola profesional. Yang pertama adalah Hamburg FC, klub yang prestasinya lebih mentereng ketimbang FC St. Pauli. Banyak pemain top yang bercokol disana, sebut saja Ruud Van Nistelrooy, mantan penyerang Manchester United dan tim nasional Belanda. Tapi bagi para penduduk Hamburg, terutama daerah pelabuhan, FC St. Pauli adalah klub yang lebih pantas dibanggakan. Saya melihat banyak anak muda dengan jumawa memakai jersey atau jumper dengan lambang tontenkopf yang sangar itu.

(Bersambung)

Sabtu, 14 Januari 2012

Hamburg Part 1: The Beatles Were Here!

Kanal, pasar loak, distrik merah, dan kisah-kisah grup musik legendaris asal Inggris. 
Hamburg menawarkan sensasi city tour yang sulit ditemukan tandingannya di Jerman.
Inilah pesona kota pelabuhan di utara Jerman.

***

Baru saja saya keluar dari stasiun bawah tanah St.Pauli, seorang pemuda setengah mabuk menghampiri. “The Beatles masih hidup Bung!” katanya sambil melenggang pergi. Saya tak mengerti apa maksudnya, sebab grup musik kondang itu sudah bubar sejak 1970. Seolah bisa membaca pertanyaan saya, si pemuda tadi menoleh, lalu mengatakan: “Di Hamburg Bung.”

Ia setengah mabuk, tapi tidak setengah gila. Kata-katanya ada benarnya. The Beatles, band legendaris asal Liverpool, sempat berlabuh di Hamburg sebelum kemudian merajai dunia. John Lennon dan kawan-kawan eksodus ke Hamburg pada 1960, saat kota pelabuhan di utara Jerman ini sedang giat berbenah selepas Perang Dunia II. Banyak pengamat musik bahkan mengklaim justru Hamburg, dan bukan Liverpool, yang berperan dalam membentuk karakter musik The Beatles. Dan di kota ini pula John, Paul McCartney, serta George Harrison, pertama kalinya bertemu Ringo Starr sang penabuh drum.

Pangsa pasar utama The Beatles adalah kaum pelaut yang haus hiburan usai menjelajahi samudra. Mereka biasa manggung di distrik St. Pauli yang mengoleksi beragam klub malam, diskotek, juga kasino. Layaknya grup perantauan yang sedang membangun reputasi, The Beatles rajin tampil di banyak tempat, mulai dari yang terkenal seperti Kaiserkeller, Top Ten, dan Mambo, hingga klub kecil semacam Indra, Chugs, dan Sacha’s.

The Beatles memang sudah bubar, tapi Hamburg belum merelakannya pergi. Di St. Pauli, persisnya di persimpangan Reeperbahn dan Große Freiheit, terdapat tempat wisatapopuler bernama Beatles-Platz. Daya tarik utamanya adalah patung-patung para personel The Beatles. Tak jauh dari Beatles-Platz ada Beatlemania Hamburg Museum (www.beatlemania-hamburg.com) yang dibangun pada 2009 dan menyimpan memorabilia seputar The Beatles, terutama dari masa-masa awalnya meretas karir di Hamburg. Beatlemania Museum mematok tarif masuk 12 Euro (setara Rp145 ribu). Usai membeli tiket, saya menerima“The Beatles Passport” berwarna cokelat yang memuat data pribadi saya.


Tur dimulai di lantai paling atas yang diberi nama “Port of Entry”. Area ini seolah menarik saya setengah abad ke belakang. Koleksinya mencakup data pribadi para personel The Beatles, artefak klub-klub di Hamburg yang pernah menampilkannya, hingga koleksi video yang dapat diputar menggunakan kartu khusus. Lantai empat yang tak kalah atraktif memajang beragam instrumen musik, amplifier, kostum, hingga ruang karaoke kecil. Dindingnya dihiasi foto-foto keseharian The Beatles yang sebagian diambil oleh fotografer Klaus Voorman. Lantai tiga menampilkan replika interior kapal selam yang diberi tajuk“Yellow Submarine” (judul album yang dirilis pada 1969), sementara lantai dua cenderung mengeksplorasi sisi musikalitas The Beatles.

Port Entry

Replika Jejeran Klub Malam

Tembok Coretan


Replika Drum dan Gitar The Beatles

 


The Beatles Ketika Masih Berlima




Yellow Submarine
 

Semua kenangan itu tak cuma bisa dilihat, tapi juga dibawa pulang dalam bentuk cenderamata. Di lantai dasar terdapat toko suvenir yang menjajakan pernak-pernik bertema The Beatles, mulai dari kaus, syal, cangkir, piring, poster, kalender, hingga cakram digital. Tur ziarah menggali memori The Beatles di museum telah memikat banyak orang dari penjuru bumi. Bersama saya, hadir pengunjung dari kota-kota di Jerman seperti Munich dan Bremen, serta dari luar negeri seperti Belgia dan Swiss. Wajah-wajah mereka umumnya terlihat antusias. Ucapan si pemuda mabuk di gerbang stasiun kian terasa kebenarannya.

Di Hamburg, The Beatles memang masih hidup...

(Bersambung)

Nostalgia Sederhana di Pojokan Gubeng Lama

Saya tak tahu sejak kapan warung yang ada di pojokan stasiun Gubeng lama ini berdiri. Seingat saya, semenjak saya masih SD dan rutin pergi ke Surabaya bareng ayah, kami selalu menyempatkan diri makan di tempat ini. Nama Sederhana rupanya berwujud pada desain warung yang juga sederhana. Hanya ada  jejeran meja dan kursi plastik merah. Tapi pengunjung tak pernah sepi. Selalu ada yang datang ketika ada yang pergi. Saya malah merasa, suasana ini yang menyenangkan. Menghadirkan suasana nostalgia di pojokan Gubeng Lama yang makin lama makin sepi.



Depot yang juga pernah dikunjungi oleh Surya Saputra (di tembok kasir, ada foto besar sang pemilik warung dengan mantan presenter kuliner dengan sponsor kecap) itu menyajikan beraneka menu. Menu andalannya adalah pecek ayam, pecek lele, rawon, dan juga nasi campur. Harganya terjangkau. Yang paling mahal adalah pecek ayam, hanya 10.000 rupiah saja. Harga itu termasuk murah karena ayam yang disajikan adalah ayam kampung, bukan ayam broiler.

Pecek lele-nya pun spesial. Dua ekor lele berukuran sedang digoreng hingga garing. Jadi lelenya bisa dimakan hingga tandas, tak tersisa kepala dan duri yang biasanya memang tersisa. Sambal tomatnya pun mantap, plus segar karena dikucuri perasan jeruk nipis. Menu ini bertambah lengkap dengan adanya timun dan kacang panjang mentah.


 

Beberapa waktu lalu saya pulang kampung ke Jember dan mampir di Surabaya. Tak lupa saya mampir ke warung Sederhana. Memesan seporsi rawon yang susah ditemukan di Jogja. Plus segelas es jeruk nipis yang segar dan tak pernah mengecewakan dahaga di siang yang terik dan berpeluh-peluh.

Rawonnya pun lumayan enak. Rasa kluweknya tak telalu kentara, dagingnya empuk, plus kecambahnya segar. Tambah enak ketika disantap dengan tambahan sambal bajak. Rasanya menuntaskan rindu terhadap masakan Jawa Timur.

Saking terkenalnya warung ini, banyak yang berseloroh "belum ke Surabaya kalau belum makan di tempat ini." Jadi, sudahkah anda makan di Warung Sederhana?

Jumat, 13 Januari 2012

Hamburg di JalanJalan Januari 2012

Rejeki awal tahun datang dalam bentuk dimuatnya artikel saya tentang Hamburg di  rubrik Globe Trotting majalah JalanJalan. Hamburg juga dijadikan cover untuk edisi ini, mengambil tema Hamburg Hypnosis. Oh ya, menulis disini merupakan salah satu impian lama saya yang dulu pernah saya obrolin dengan mas Romdhi di sela-sela jam curhat. Akhirnya kesampaian juga sekarang. Yak, satu mimpi telah tercentang.

Saya menuliskan beberapa sisi soal Hamburg. Mengenai The Beatles yang begitu di dewakan disana, dunia malam di St. Pauli dan Reeperbahn, soal suporter bola St. Pauli yang begitu legendaris, hingga naik perahu menyusuri kanal-kanal di Hamburg. Nanti saya akan tuliskan versi panjangnya di blog ini.







 Oh ya, beberapa saat lalu ketika pergi mencari film, saya menemukan sebuah film yang membuat saya senang. Judulnya "Soul Kitchen", sama dengan judul lagu The Doors. Tapi ini bukan film soal The Doors. Ini adalah sebuah film komedi mengenai perjuangan seorang imigran Yunani untuk mempertahankan restoran kesayangannya. Ceritanya bagus dan terikat dengan baik. Yang membuat saya makin menyenangi film ini adalah setting-nya yang diambil di Hamburg. Pemandangan pelabuhan ketika malam, dan kanal-kanal yang cantik membuat saya sejenak merindukan Hamburg.

Tapi Jacob, teman saya di Jerman, malah ngece kerinduan saya. Dia bilang "screw Hamburg, go for Berlin" sambil ketawa di chat beberapa hari lalu. Ia memang pecinta pesta, karena itu dia tidak betah di Hamburg dan lebih suka tinggal di Berlin.

Ya sudahlah, besok atau dua hari lagi saya akan aplot tulisan mengenai Hamburg secara berseri, sambil sesekali diselingi oleh tulisan mengenai kuliner dan juga musik. Tapi sekarang saya harus mengerjakan 3 paper untuk pengganti ujian akhir. Damn.

See you!

Sabtu, 07 Januari 2012

Jim Yang Nyaris Terlupakan


Saya sudah nyaris melupakan siapa itu Jim Morrison. Sampai saya melihat folder "When You're Strange". Itu adalah judul film dokumenter mengenai The Doors. Entah roh Indian mana yang menggelitik saya untuk membuka folder itu. Seakan ada yang membimbing tangan untuk menggerakkan tetikus, menekan dua kali file When You're Strange.

Semua seperti kebetulan. Ketika berada di Jember beberapa waktu lalu, saya menemukan kaos bergambar Jim Morrison yang sempat hilang beberapa saat. Kaos putih ini adalah pemberian Maya Wuysang, seorang karib. Saya memakainya nyaris setiap saat. Setelah dicuci, saya pakai lagi, cuci lagi, begitu seterusnya. Hingga warna putihnya memudar dan berganti dengan warna putih kelam. Atau bisa disebut kelabu.

Selepas menemukan kembali kaos kesayangan saya itu, saya membawanya ke Jogja, dan kembali melakukan ritual suci: menggunakan kaos putih itu setiap saat, selepas dicuci.
***

Seorang pria brewok keluar dari mobil yang ringsek, dengan kaca yang pecah. Ia terhuyung. Rambut panjang berombaknya melambai-lambai. Ia memakai jaket kulit lengkap dengan bulu. Pakaian yang tak lazim digunakan di padang pasir. Ia memakai kaos tye-dye berwarna biru tua dengan beberapa lingkaran putih. Celana kulit ketat berwarna hitam membungkus kakinya yang jenjang dan pantatnya yang padat.

Ia berdiri di tepi jalan. Menggoyangkan jempolnya, isyarat untuk menumpang. Tapi tak ada yang perduli dengan pria kumal ini, kecuali sebuah mobil sedan hitam.

Layar berganti.

Pria gondrong tadi sudah mengendarai mobil American muscle itu. Terdengar suara radio di mobil, memberitakan kabar buruk bagi penggemar musik rock: kematian Jim Morrison, vokalis flamboyan dari The Doors.

Matahari tenggelam dari kejauhan.
***

Saya selalu merinding dan juga penasaran.  Bagaimana caranya lelaki gondrong di awal film "When You're Strange" itu --Ia adalah Jim Morrison-- bisa mendengarkan berita tentang kematiannya sendiri? Ataukah saya yang tak tahu apapun soal Jim? Jangan-jangan itu memang potongan film yang dibuat oleh Jim sendiri? Tapi bagaimana mungkin ada manusia yang begitu sakti hingga ia bisa meramalkan sendiri kematiannya dengan cara yang --terlalu-- tepat?

Film "When You're Strange" adalah antitesis dari "The Doors", film fiksi mengenai The Doors, garapan Oliver Stone yang membuat saya jatuh cinta pada band asal California ini untuk pertama kalinya.

Dalam "The Doors", Jim digambarkan sebagai seorang yang destruktif. Ia suka menyakiti dirinya sendiri, berbuat kekacauan yang sepertinya tak mungkin dilakukan seorang manusia.

Ray Manzarek, sang keyboardist The Doors, menganggap Oliver melupakan sisi manusiawi Jim Morrison yang kocak, cerdas, dan juga pemalu. Karena itu Ray begitu mendukung fim "When You're Strange" yang dianggap  sebuah representasi tepat mengenai sosok Jim Morrison. Film ini bertambah tinggi "derajat-nya" karena menyertakan beberapa footage montage mengenai The Doors yang selama ini belum pernah di pubikasikan.

Perhatian saya teralih pada suara pintu dibuka. Itu Arys, kawan saya. Ia datang membawa tas plastik berwarna putih. Isinya rokok, camilan, dan sekaleng bir.

"Kan gak enak curhat-curhatan lek gak ono bir-e" ujarnya dengan senyum nakal.

Saya tersenyum balik. Ini berarti akan ada sesi curhat semalam suntuk. Dan ya, bir paling enak diminum dengan musik The Doors sebagai pengiring. Sebelum saya mengganti "When You're Strange" dengan lagu The Doors, saya biarkan kata-kata terakhir di film garapan Tom DiCillio itu berkumandang pelan.

To some, Jim was a poet, his soul trapped between heaven and hell.
 To others, he was just another rock star who crashed and burned.
 But this much is true - you can't burn out if you're not on fire.

Jumat, 06 Januari 2012

Puisi Tentang Hujan

Apakah saya sudah bercerita kalau saya punya kawan-kawan yang menyenangkan juga lucu?

Siang tadi, seorang kawan yang sudah legendaris dengan kisah cintanya yang selalu tak berjalan dengan baik, mengirim sebuah pesan pendek. Isinya singkat "Tolong gawekno aku puisi tentang hujan".

Saya bilang kalau saya sedang ikut seminar dan tak bisa membuatnya sekarang. Dia memaklumi. Saya tahu maksud kawan saya itu. Ia jelas ingin mengirim puisi pada cewek yang ditaksirnya. Gelagatnya ketika mengejar cinta selalu tampak jelas.

Kawan saya ini memang seorang pemburu cinta yang tangguh. Ia bahkan pernah rela pergi ke Malang dengan mengendari motor, menemui sang gadis pujaan hati sembari membawa oleh-oleh prol tape khas Jember. Sayangnya, prol tape itu malah dicuil oleh saya (yang kebetulan sedang ada di Malang) dan kawan seperjalanannya. Itu masih dibumbui dengan balada sang gadis yang tak mau menemuinya.

Sesampai di kos menjelang maghrib, saya sudah berniat kirim sms berisi puisi pendek. Tiba-tiba saya punya ide iseng. Saya bilang ke dia kalau saya akan kirim puisi via message facebook karena malas mengetik puisi panjang.

Tapi dia menolak. Dia ingin via sms saja. Brengsek benar kawan saya itu. Sudah minta dibuatin puisi ,masih saja malas mengetik. Ia bersikeras agar puisi itu dikirim via sms. Tapi saya menolak. Lalu ia menelpon.

"Ran, kirimen lewat sms wae. Ben iso langsung tak kirim nang areke" ujarnya penuh harap.

"Kesel aku cuk ngetik dowo" ujar saya.

"Wah, puisine dowo to? Iyo wis, engko tak cek fb" ujarnya senang. Ia jelas berharap mendapatkan puisi  romantis panjang mengenai hujan.

Maka saya bergegas googling, dan mendapatkan sebuah puisi legendaris tentang hujan.
Tik tik tik bunyi hujan di atas genting
Airnya turun tidak terkira
Cobalah tengok dahan dan ranting
Pohon dan kebun basah semua

Tik tik tik bunyi hujan bagai bernyanyi
Saya dengarkan tidaklah jemu
Kebun dan jalan semua sunyi
Tidak seorang berani lalu

Tik tik tik hujan turun dalam selokan
Tempatnya itik berenang-renang
Bersenda gurau meyelam-nyelam
Karena hujan berenang-renang

(Hujan, Karya Ibu Sud)

Kawan saya itu tadi bercerita kalau dia tak bisa koneksi internet dengan hp, jadi ia harus ke warnet. Ya, ia bela-belain pergi ke warnet hanya untuk melihat "puisi" tentang hujan itu. Dan kalian tahu apa balasannya ketika melihat "puisi" tentang hujan yang saya kirim?

"T*MP*K !!!"

Hahahahaha :)) Betapa saya cinta kawan-kawan saya yang menyenangkan dan juga lucu. Itu sebabnya saya tak butuh OVJ atau lawakan TV lainnya untuk membuat saya ketawa :D

post-scriptum: karena saya tak tega, nanti saya berniat membuatkan puisi pendek tentang hujan untuk kawan saya itu :)

Kuliah dan Perjamuan (Yang Semoga Bukan) Terakhir

"Kuliah terakhir gimana kalau kita sambil makan es krim" tanya dosen kami, Phil Janianton Damanik di suatu siang yang mendung seminggu yang lalu. Hari itu kami sedang kuliah Kebijakan Sosial Politik Pariwisata. Minggu depan adalah kuliah terakhir kami bersama beliau.

Tak ada dari kami yang menolak.

Tapi rencana kami berubah. Yang awalnya kuliah sembari makan es krim di sebuah kafe, berubah menjadi ngopi sembari makan siang di Kopitiam Oey. Bagi yang belum tahu, Kopitiam Oey, warung kopi milik  sang pakar kuliner Bondan Winarno ini sudah membuka cabang di Jogja. Letaknya ada di ruas jalan Walter Monginsidi.



Kuliah terakhir itu seharusnya dimulai pukul 10 pagi. Tapi saya datang terlambat karena harus menyelesaikan penggantian kartu ATM saya yang hilang beberapa waktu lalu. Saya datang nyaris pukul 11 siang.

Hari ini terik, tak seperti Jogja biasanya belakangan ini. Di ruangan non-smoking, Pak Anton --begitu kami memanggil beliau-- sudah ngobrol dengan 9 orang kawan. 2 orang absen. Suasana Kopitiam Oey cukup menyenangkan. Warna temboknya putih dengan dihiasi ornamen-ornamen khas China seperti lampion dan kaligrafi. Juga ada poster-poster klasik yang dipajang agar ruangan tak berkesan kosong. Tempatnya lebih luas ketimbang Kopitiam Oey di Jl. Sabang, Jakarta sana.

Untuk siang yang gerah, es kopi rasanya akan menuntaskan dahaga. Maka saya memesan segelas es kopi ala Vietnam.

Kuliah terakhir semester ini berlangsung dengan gayeng. Pak Anton meminta kami untuk melontarkan pendapat atau bahkan kritik mengenai kuliah yang beliau ampu. Pria asal Medan ini juga menceritakan pengalamannya ketika menuntut ilmu ke Jerman, pengalamannya menulis di media masa, dan anjuran untuk membiasakan diri menulis.



 

"Kalau kalian tak membiasakan menulis, kalian bisa menghabiskan satu semester sendiri hanya untuk menyusun proposal tesis" ujar beliau serius. Kami hanya bisa sedikit tegang, hehehe.

Es kopi saya datang dalam gelas kaca kecil. Ada susu kental di bawah, dan kopi yang menetes dari saringan stainless steel. Melihat saya hanya memesan minum, Pak Anton menyuruh saya untuk memesan makanan. Berhubung saya sudah makan nasi pecel, maka saya hanya memesan kudapan: roti bakar kornet keju yang rasanya sama dengan roti bakar lain.



 

Oh ya, kopi di Kopitiam Oey ini andalan sekali. Rasa kopi kental yang pahit, bercampur dengan susu kental yang manis. Memberikan rasa yang, aduh susah dijelaskan. Siang tadi, saya meminum dua gelas kopi yang sama --karena Tika yang memesan kopi Vietnam itu tak menyangka kalau rasanya pahit, maka ia berikan minumnya pada saya.

Waktu memang berjalan cepat kalau segala sesuatunya menyenangkan. Maka berakhir pula kuliah terakhir kami. Nanti kami akan bertemu dengan Pak Anton di semester berikut, dengan mata kuliah yang berbeda.



Siang masih saja terik ketika kami semua berhamburan, berpencar. Terima kasih untuk kuliah dan siang yang menyenangkan pak :)