Jumat, 28 Oktober 2011

Lasagna Under the Rain

Lasagna Dibawah Hujan

Dari dulu saya bercita-cita punya kafe kecil. Sederhana saja, tak perlu besar. Asal hommy dan hangat. Tapi saya tak punya bayangan kafe seperti apa. Tapi setelah membaca komik Bambino, menyaksikan filmnya, juga menikmati suasana yang hangat di salah satu pizzeria di Jogja, bayangan samar itu barulah jelas. Saya akan membuka pizzeria.

Salah satu jalan pertama yang harus saya tempuh adalah belajar memasak makanan Italia. Kebetulan juga sudah sejak lama saya dan Rina punya keinginan untuk buat lasagna. Tapi selalu gagal karena satu dan beberapa hal. Tapi akhirnya sore tadi keinginan itu terwujudkan.

Sekitar jam 3 sore kami pergi ke salah satu pusat perbelanjaan. Kami mulai belanja bahan masakan. Sebelumnya kami patungan untuk uang belanja. Berdasar resep yang saya punya, maka kami pun mulai berbelanja.

Daftar belanjaannya adalah: lasagna kering, susu tawar, oregano, basil, lada, pala, kaldu, daging cincang, bawang bombay, keju mozarella, keju cheddar, dan saus tomat. Rina sebetulnya merengek ingin beli minyak zaitun, tapi saya enggan karena harganya mahal. Toh minyak zaitun bisa diganti dengan minyak goreng biasa. Dan rasanya tak akan berbeda.

Ketika kami mau keluar dari pusat perbelanjaan, barulah kami sadar kalau diluar sedang hujan. Alamak. Dilema. Mau nunggu hujan reda, takut lama. Ya sudah, akhirnya kami memutuskan untuk menerobos hujan saja. Kebetulan kami berdua sama-sama rindu bermain hujan. Juga mengingat nostalgia kencan pertama ketika saya masih pdkt dan mengajaknya bermain hujan di bulan Ramadhan, hehehe.

Setelah sampai rumah Rina dan ganti baju, maka kami pun mulai bersiap memasak.

Langkah pertama adalah merebus 12 lembar lasagna kering selama kurang lebih 10 menit. Sayang, ketika meniriskannya saya tak memisah satu persatu kulit lasagna. Jadi ketika sudah agak dingin, lasagna itu jadi lengket. Padahal sudah saya kasih minyak ketika merebus. Jadi ketika memisah lasagna, ada beberapa bagian yang robek. Gak papa lah, itung-itung pengalaman pertama.

Setelah itu saya mulai membuat saus putih yang terdiri dari susu tawar, tepung terigu, parutan keju cheddar, oregano, dan daun basil. Sedang Rina mencincang daging. 

Setelah saus putih selesai, saya pun memulai memasak saus daging. Saus ini terdiri dari campuran bawang putih, bawang bombay, tomat, daging sapi cincang, air kaldu, saus tomat, oregano, basil, pala, lada, garam dan gula secukupnya. Setelah saus selesai, saya mulai menata lasagna dalam pinggan tahan panas. Saya susun tiga lembar lasagna terlebih dahulu, lalu menuanginya dengan saus daging, lalu saya tutup lagi dengan tiga lembar kulit lasagna, saya tuang saus daging, begitu seterusnya hingga kulit lasagna habis. Lalu diatas kulit lasagna terakhir itu saya menuangkan saus putih, lalu menaburinya dengan keju mozarella, keju cheddar, serta taburan oregano dan basil. Done! Tinggal dipanggang selama 30 menit.

Tiiinggg!

Alarm microwave berbunyi. Lasagna pun telah matang. Ketika saya membuka microwave, tersembur wangi gurih dari lasagna yang matang. Dan aduh, coba tengok itu, warnanya cantik sekali. Berwarna keemasan, dengan aksen putih dari saus putih, dan hijau gelap dari taburan oregano serta basil. Menerbitkan air liur.

Lalu saya pun kebagian memotong serta mendistribusikan lasagna itu. Semua kebagian. Dari orang tua Rina, kakaknya, Mita sang kawan, dua orang keponakan kecilnya, tiga orang PRT, dan tentu saya serta Rina. 

Karena ada banyak sisa saus daging dan saus putih serta beberapa lembar lasagna, maka saya memasak satu pinggan lasagna lagi untuk mamak dan Orin untuk saya bawa pulang ke rumah.

Memasak memang menyenangkan. Ya prosesnya, ya hasilnya. Apalagi ketika makanan itu dimakan bersama oleh orang-orang terkasih, dan mereka senang dengan hasil masakannya. Lelah dan peluh jadi tak terasa. Dan keinginan saya membuka pizzeria jadi semakin bergejolak. Semoga bisa jadi dalam waktu 4-5 tahun lagi :)

Selasa, 25 Oktober 2011

Lost in Torino! (2)

Saya berdiri di depan papan jadwal kereta dengan tatapan nanar. Kereta menuju Paris masih sekitar 7-8 jam lagi. Dengan perasaan kesal saya bergegas keluar dari stasiun, mencari pusat informasi untuk menanyakan jadwal kereta ke Paris. Saya lantas menemukan dua orang petugas yang sama sekali tidak bisa berbahasa Inggris. Dengan bahasa tarzan, maka komunikasi pun terjalin. Dan benar, kereta menuju Paris baru ada sekitar 7 jam lagi. 

Akhirnya saya memutuskan untuk berkeliling Torino. Kemana? Entahlah. Karena perjalanan di kota ini benar-benar kecelakaan, tak ada dalam rencana. Berdasar insting, saya menuju arah utara. Dengan menggendong backpack ukuran 75 liter, saya berjalan terseok. 

Torino rupanya kota tua yang cantik. Banyak bangunan dengan ragam jenis arstitektur, mulai baroque, rococo, neo-classical, sampai art nouveau yang membuat mata jadi manja. Di persimpangan jalan, saya melihat banyak pengendara skuter, baik skuter klasik maupun skuter modern. Lalu di pojokan kios koran, orang-orang Italia yang terkenal ekspresif mengobrol. Aduh, saya suka sekali aksen mereka yang seksi dengan intonasi yang naik turun dan ekspresif. 

Saya tak tahu berapa lama berjalan mengikuti insting, tiba-tiba saja saya sampai di ruas jalan yang sangat lapang. Daerah lapang dengan lantai dari batu itu tepat terletak di tengah persimpangan 4 jalan. Karena itu daerah ini sangat ramai. Saya tak tahu apa nama daerah itu sampai saya googling beberapa hari kemudian.

Nama daerah itu Piazza Castello. Di daerah pusat kota ini terdapat banyak bangunan klasik nan megah. Sebut saja Palazzo Reale alias The Royal Palace yang jadi salah satu bangunan yang masuk dalam daftar UNESCO World Heritage Site. Nah, dihalaman istana itu lah saya menghabiskan sekitar 1-2 jam. Hanya untuk duduk menikmati hawa Turin yang saat itu sedang dingin karena mendung. Melihat anak-anak bermain di halaman istana yang luas dan sudah menjadi public area. Atau melihat merpati yang memamah biji-bijian dengan santai, tak takut pada orang yang melintas.

Stasiun Teramai Kedua di Turin


Salah Satu Ruas Jalan

Bahkan Langit-langit Pun Berukiran




Setelah puas menikmati Piazza Castello, saya beranjak lagi. Kembali mengikuti insting. Dan insting itu menuntun saya pada tempat yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya. Saya menelusuri lorong-lorong kecil yang banyak berisi kafe serta bar. Melihat lantai yang terbuat dari batu, saya seperti terlempar ke masa lalu. Dan lantai jalanan dari batu ini adalah saksi bisu yang dingin.

Saya masih terus berjalan ketika tiba-tiba saya berhenti. Saya sampai di ujung jalan yang panjang. Panjang sekali. Sampai ujung jalan satunya tak terlihat. Saya terbengong. Saya berada dimana? Di kanan kiri ada banyak toko baju, toko olahraga, pizzeria, kafe, bar, juga toko musik. Orang lalu lalang dengan tergesa, entah mau kemana. Ada juga beberapa kelompok orang yang ngopi di pinggir jalan, menikmati matahari yang baru saja menyembul. Saya terpatung, berdiri tepat di perempatan jalan yang ramai itu. Takjub.

Rasa penasaran saya terobati. Ternyata ruas panjang itu bernama Via Garibaldi. Konon ruas jalan ini adalah jalur pedestrian terpanjang di Eropa. Seperti jalannya yang panjang, sejarah jalan ini juga panjang. Ruas jalan ini dibangun pada tahun 1775 oleh arsitek bernama Gian Giancomo Plantery. Dulu ruas jalan ini bernama Via Dora Grossa. Baru pada tahun 1978 ruas ini dijadikan area pedestrian yang panjangnya mencapai 1.046 meter. Penyair De Amicis pernah melukiskan gambaran yang indah tentang ruas jalan ini,

 As one walks along via Dora Grossa from Piazza Castello in fine weather,
 one’s gaze is drawn to the white curtain of the Alps
 which borders the street on the west and not to the sequence of facades
 which cut out a long rectangle of sky between the two rows of uniform houses.

Tak terasa matahari semakin naik. Gegana menerang. Saya kelaparan. Tak susah untuk mencari makanan murah disini. Meski terkenal sebagai pusat belanja para Turinese, banyak kafe yang menawarkan paket makanan murah meriah. Mumpung di Italia, tak afdol rasanya kalau gak makan pizza atau pasta.

Akhirnya sembari berjalan kaki, saya mencari-cari pizzeria yang menarik. Aha, ketemu! Ada sebuah pizzeria mungil dengan papan nama berwarna hijau tua bertuliskan "Da Genova La Focacceria Pizza Al Taglio". Ada paket seharga 6 euro yang isinya seiris pizza, kentang goreng, dan juga segelas coke. Saya pun memesan dan menunggu pesanan di luar, sembari menyaksikan arus pejalan kaki yang deras.

Pizza di pizzeria ini ditaruh dalam loyang berbentuk persegi, dan dipanggang dalam oven. Lalu pizza akan diiris persegi panjang, dan disajikan di sebuah piring kertas. Sederhana. Ada banyak pilihan pizza. Mulai pizza bertopping plain keju mozzarella, lalu ada topping buah zaitun dan daun basil, hingga pizza salami pilihan saya.

Pizza salami kadang disebut juga dengan pizza capricciosa. Pizza ini toppingnya terdiri dari keju mozzarella, tomat, jamur, salami, dan juga olive oil. Ada juga taburan daun basil kering.

Setelah dihangatkan, saya membawa pizza itu ke meja makan di depan pizzeria. Pas di pinggir arus pejalan kaki yang deras di Via Garibaldi. Jadi saya bisa menikmati Turin dari dekat dan intim. Juga melihat betapa ekspresifnya orang Italia jika berbicara.

Pizza ini sungguh begitu enak. Dough-nya tipis, tak tebal seperti dough ala American pizza. Beberapa bagian yang over-cooked malah memberikan aksen renyah yang unik. Lalu olive oil memberi aksen basah dan lengket yang menyenangkan. Keju mozzarella yang leleh begitu lumer di lidah dan dinding tenggorokan. Rasa asinnya begitu pas. Daging salaminya juga renyah dan gurih. Superb! Walau sebenarnya saya agak ragu apakah daging ini halal atau tidak, hahaha.

Saya lalu percaya satu hal. Carilah pizzeria manapun di Italia. Pizza yang mereka jual pasti sama enaknya. Tak ada pizza tak enak di Italia. Saya telah membuktikannya siang itu. Oh ya, tulisan saya tentang pizza Italia ini bisa dibaca disini.

Pizzeria Itu


Via Garibaldi




Tak terasa, beberapa jam sudah berlalu. Saya kembali berjalan kembali menuju Torino Porta Susa. Hari kembali mendung. Menebar aroma galau. Saya galau karena dua hal. Yang pertama adalah ketinggalan kereta menuju Paris dan menghabiskan waktu saya untuk menunggu. Yang kedua adalah galau karena ternyata Torino sangat indah dan waktu 7 jam itu berlalu begitu cepat. Tapi ya sudahlah, mungkin lain kali saya bisa kesini lagi. Saya ingin belajar memasak makanan Italia, untuk bekal mendirikan restoran Italia di Jember, hehehe.

Saya cepat melangkahkan kaki sebelum hujan turun. Secepatnya saya turun ke ruangan bawah tanah, menanti kereta di jalur 3. Ketika berjalan, saya mendapati dua orang perempuan berkerudung yang membawa banyak koper berukuran besar. Saya pikir mereka dua orang Melayu yang entah mau pergi kemana. Tapi saya memutuskan untuk menunda rasa penasaran dan keramahan saya, melalui mereka, mencari tempat duduk yang kosong, lantas larut membaca.

Tak berapa lama kemudian, salah seorang dari mereka menghampiri saya sembari menyeret koper besar berwarna merahnya.

"Excuse me, can you speak English" tanyanya.

"Ibu orang Indonesia?" saya malah balik bertanya.

"Lhooo, mas orang Indonesia? Syukur deeehhh!" teriak ibu itu girang. 

Tuhan telah membuka bab perjalanan yang baru untuk saya. Dan dua orang ibu-ibu paruh baya berkebangsaan Indonesia ini akan menjadi teman perjalanan baru saya nantinya...

Torino's Little Girl

Ketika membunuh waktu di Torino, saya pergi ke pusat kota. Melongok bangunan klasik nan megah Palazzo Della Legione. Juga pergi ke Palazzo Reale, sebuah bangunan yang dulunya adalah tempat tinggal raja. Saya banyak menghabiskan waktu dengan duduk di bangku halaman Palazzo Reale. Kebetulan pagi itu satu rombongan anak-anak SD yang sedang kunjungan wisata. Saya begitu senang melihat tingkah polah anak-anak polos itu. Selain itu juga ada beberapa balita yang menggemaskan, tak takut bermain dengan burung merpati, atau naik otopet.

Murung

Tetap Murung

Akhirnya Senyum!

Dengan Mario

Gadis Kecil Berotopet

Namanya Marta

Rabu, 19 Oktober 2011

... Lovesick Pause

Saat itu sudah lepas tanggal 13 Januari 1952. Ernesto Guevara baru saja meninggalkan rumah kekasihnya, Chichina, di Miramar. Selanjutnya ia akan menempuh perjalanan yang bahkan ia sendiri tak tahu kapan akan berakhir. 

Ernesto sedang merasa gundah gulana. Hatinya terbelah antara perempuan yang dicintainya dan jalanan serta petualangan yang menggodanya. Saat itu Alberto sang kawan seperjalanannya sudah bersiap akan menempuh perjalanannya sendirian. Diantara bahaya yang entah kenapa terasa sangat romantis. 

Lalu pada lembar buku hariannya yang kelak akan dibukukan dengan judul "The Motorcycle Diaries", Ernesto menuliskan sebuah puisi milik Otero Silva, seorang penulis puisi dan novelis kiri asal Venezuela.

I heard splashing on the boat
her bare feet
And sensed in our faces
the hungry dusk
My heart swaying between her
and the street, the road
I don't know where I found the strength
to free myself from her eyes
to slip from her arms
She stayed, crying through rain and glass
clouded with grief and tears
She stayed, unable to cry
Wait! I will come
walking with you.

Pada akhirnya kita semua sama-sama tahu kalau Ernesto lebih memilih petualangannya barang sejenak. Ia berhasil menempuh perjalanan yang berat, yang kelak merubahnya menjadi seorang Che Guevara. Ernesto benar-benar menjadi seorang lelaki yang sesungguhnya melalui perjalanan itu. Mungkin Kuba, dunia, atau bahkan anak gaul MTV, tak akan tahu siapa itu Che Guevara kalau perjalanan ini tak pernah terwujud.

Tapi Ernesto toh tak pergi selamanya. Karena Ernesto tahu, jika Chichina benar-benar mencintainya, ia akan menunggunya...


Yogyakarta, 19 Oktober 2011
Sembari membaca The Motorcycle Diaries (lagi)

Lost in Torino! (1)

Saya terbangun tiba-tiba keesokan harinya. Sudah pagi. Kawan satu kompartemen saya sudah bangun. Oh ya, saya punya 3 orang kawan kompartemen. Satu orang pria paruh baya yang tak banyak cakap, satu orang pemuda backpacker asal Kanada bernama Mike, dan satu orang pria berambut necis yang tengah malam kabur karena paspornya hilang. Jadi ketika saya bangun, kawan kompartemen saya tinggal 2 orang saja.

Mike
Stasiun Milan ramai hari itu. Mungkin seperti ini keadaan tiap hari. Sebenarnya, lagi-lagi, kalau tak dikejar waktu, saya begitu ingin menghabiskan waktu keliling kota Milan. Mengunjungi San Siro atau Giussepe Meazza, sekedar untuk berfoto dan mengimingi Panjul, Yandri, atau Dafi yang fans A.C Milan, atau Didik dan kak Rizal yang fans dari Inter Milan. Tapi apa lacur, waktu begitu pendek dan sangat berharga. Jadilah saya hanya menumpang kentut di kota fashion Italia ini.

Milan Central Yang Selalu Riuh
Menurut itenerary yang sudah saya buat, jam 7 pagi saya harus naik kereta menuju Torino. Lama perjalanan sekitar 1 jam. Nanti saya akan lanjut naik kereta dari Torino Porto Susa menuju Paris Gare de Lyon pada pukul 8 lewat 10 menit.

Tepat jam 7 kereta datang. Saya meloncat ke dalam kereta, menaruh tas, lalu bersender pada kursi yang empuk. Membaca buku selama perjalanan, tertidur ayam, menikmati pemandangan, lalu tertidur ayam lagi, begitu seterusnya. Entah karena apa, saya tak sadar kalau 1 jam sudah lewat. Ketika saya menengok jam di handphone, sudah jam 7 lewat 30 menit. Walah, rupanya kereta ini terlambat. Benar saja. Saya baru sampai jam 9 pagi. Terlambat 1 jam dari jadwal. Kalau begini apa bedanya dengan kereta Logawa atau Sri Tanjung?

Saya jelas kelimpungan. Begini ini tak enaknya jalan-jalan dengan menggunakan itenerary. Selama ini saya tak pernah menggunakan itenerary ketika melakukan sebuah perjalanan. Saya berusaha untuk menikmati setiap kejutan yang terjadi, yang nantinya ia akan melahirkan yang namanya improvisasi. Dan improvisasi itulah hal yang paling menyenangkan, juga menegangkan, dalam sebuah perjalanan.

Tapi karena waktu yang pendek, juga skala prioritas harus disusun, maka mau tak mau saya memakai itenerary. Menyusun jadwal kereta, memutuskan naik kereta apa, lalu biayanya berapa. Perencanaan yang lantas menurut saya menghilangkan kejutan dalam perjalanan. Jadi benar saja, ketika satu rencana gagal, maka saya seperti kehilangan daya untuk berimprovisasi. Saya cek jadwal kereta di Torino Porto Susa. Ternyata kereta menuju Paris hanya ada dua kali dalam sehari. Jam 8 pagi, dan jam setengah 5 sore.

Alamak!

Lalu saya berusaha memeras otak. Melupakan semua jadwal dan rencana, berusaha melakukan improvisasi seperti biasa. Ada dua ide yang terlintas. Pertama adalah rencana kebut waktu. Rencana ini berupa naik bis dari Torino hingga Paris. Lalu rencana kedua adalah membunuh waktu. Rencana ini berupa berjalan-jalan keliling kota Torino untuk menghabiskan waktu menunggu yang lumayan lama.

Ah, pilihan yang mudah. Dan pilihannya jelas sudah.

Bersambung...

Selasa, 18 Oktober 2011

Sri Minggat ke Gejayan

Penyanyi Didi Kempot dari dulu selalu mencari Sri yang minggat entah kemana. Karena itu seniman gaul ini sampai membuat lagu berjudul "Sri Minggat" yang selarik liriknya berbunyi seperti ini: Sri/ kapan kowe bali//kowe lungo ora pamit aku/jarene neng pasar tuku trasi/nganti saiki kowe ora bali//, yang artinya kurang lebih: Sri, kapan kau pulang? Kamu pergi tanpa pamit padaku, katamu ke pasar beli terasi, sampai sekarang tidak balik.

Tragis.

Yang Didi tidak tahu adalah Sri minggat demi mencari nafkah. Ia membuka warung di perempatan lampu merah ring road Gejayan, pas di seberang Toga Mas. Warung yang menjual soto, pecek lele, dan nasi goreng ini laris manis. Soalnya murah dan sangat enak.


Saya tahu keberadaan warung ini dari si Yandri. Ia bilang kalau pecek lele di warung ini sangat enak, dengan sambal yang begitu nikmat. Pria kribo bermuka mengenaskan ini juga mengatakan kalau semua makanan di warung itu sama enaknya. Karena penasaran, beberapa hari lalu saya mencoba makan di warung itu.

Saya memesan soto ayam, pas untuk malam yang dingin. Dan Yandri tidak berdusta. Ketika soto ayam hadir dalam mangkok ajinomoto,wangi soto yang gurih langsung menguar berbarengan dengan asap yang mengepul. Kuahnya kental dan gurih, tidak seperti soto ayam ala Jawa Tengah yang kuahnya bening. Usut punya usut, ternyata sang penjual adalah orang Madura. Pantas saja. Suwiran ayamnya banyak, dan bihun serta bawang goreng memperkaya rasa dan tekstur soto itu. Selain enak, harganya memang murah. Seporsi soto ayam, nasi putih, dan es teh, hanya dibanderol 7500. Meriah!

Pengalaman merasakan kenikmatan tiada tara itu ingin saya ulangi lagi malam ini. Selepas gagal mendapatkan sebiji pun makanan di acara 200 Angkringan Gratis, perut kami memberontak. Maka kami pun memutuskan untuk makan di warung soto Pak Sri ini.

Karena sudah pernah mencoba soto ayam, maka kali ini saya ingin mencoba sop kikilnya. Panjul yang minder karena harus bareng dengan orang ganteng, jadi tak berani memilih yang macam-macam. Ia memilih makanan yang sama dengan saya. Padahal sudah saya suruh dia untuk berani memilih, tetapi dia tetap minder sembari bersembunyi di balik punggung saya. Ya sudahlah.

Akhirnya sop kikil pun datang tak lama kemudian. Sop kikil ini kuahnya pekat dan berwarna keruh. Rasanya pun gurih. Setiap menyeruput, yang terasa hanyalah kegurihan yang menelusup sampai arteri (opo waeee?). Potongan kikilnya royal. Ia begitu empuk dan kenyal sekaligus. Tak tampak bulu-bulu halus yang biasanya muncul malu-malu pada kikil. Ditambahi jeruk nipis dan sambal, alamak, kenikmatan itu berlipat tiga.


Tak perlu waktu lama bagi kami untuk menandaskan seporsi soto, nasi putih, dan segelas es teh. Tanpa dinyana Panjul nyeletuk, "Ini kalau makanannya masih ada, gue mau nambah lagi. Sayang nasinya habis". Iya, nasi di warung itu sudah tandas, jadi Panjul enggan untuk nambah. Selain nasi yang sudah habis, Panjul mengaku minder karena melihat bentuk badan saya yang atletis. Jadi Panjul ingin menahan nafsu makannya agar memiliki badan yang atletis seperti saya. Aduh Panjul, jangan terlalu menyanjung gitu ah. Gak baik didengar orang.

Oh ya, buat Didi Kempot, silahkan cari Sri di perempatan ring road Gejayan. Siapa tahu ia adalah Sri yang anda cari. Semoga beruntung.

Senin, 17 Oktober 2011

Tora-Tora!

Ketika Miyamoto Musashi berduel dengan Sasaki Kojiro, Musashi sengaja datang terlambat. Di pulau Garnyu, Kojiro menunggu dengan geram. Ketika Musashi tiba, Kojiro sudah dalam keadaan  tak bisa mengendalikan emosi.Entah benar atau tidak, emosi itulah yang menjadi andil terbesar kekalahan Kojiro. Jadi pelajaran dari duel di pulau Garnyu itu adalah kesabaran adalah kunci dari segalanya.

Kesabaran itulah yang sedang saya pakai di warung Tora-tora. Warung ini adalah warung tenda yang menyajikan masakan khas Jepang. Sang chef, Mas Andri (tadi saya baru berkenalan dengannya) pernah menjadi koki di sebuah rumah makan Jepang selama 4 tahun sebelum ia memutuskan membuka warung sendiri pada tahun 2006 di daerah Kaliurang. Warung ini terletak beberapa meter dari lampu merah gedung MM UGM, tepatnya disamping Fakultas Peternakan UGM.





Saya datang malam itu dengan perut yang lapar dan rasa penasaran. Panjul bilang warung ini enak dan harganya terjangkau. Akhirnya demi memuaskan rasa penasaran saya, maka berangkatlah saya menuju Tora-tora, kata Jepang yang berarti harimau. Tora-tora sendiri merupakan sandi pasukan Jepang ketika PD II terjadi.

Oke, kembali ke masalah makanan. Panjul benar, harga makanan disini relatif murah. Karena itu banyak banget yang makan disini. Menunya pun beragam. Dari daging sapi, ada varian Yakiniku yang dibandrol 11.000, lalu Teriyaki yang harganya sama, Katsu yang harganya 12.000, dan Wafuyaki yang seharga 12.500. Varian ayam pun sama dengan varian sapi, hanya harganya lebih murah 1000 rupiah. Selain itu ada menu Cumi Ikayaki, Cumi Tempura, Udang Tempura, Nasi Goreng Yakimeshi, Mie Goreng, juga sayur seperti Tauge Goreng. Semua harganya terjangkau.

Saya sendiri memesan Beef Wafuyaki yang terdengar asing sama sekali, dengan seporsi nasi putih dan segelas es teh.

Seperti yang saya tulis diatas, saya harus sabar menunggu agak lama sebelum pesenan saya datang. Selain pembeli sedang ramai, hanya ada dua kompor yang digunakan. Jadi masaknya pun harus bergantian.

Setelah menunggu sekitar 15 menit, akhirnya pesenan saya datang. Beef Wafuyaki ini adalah potongan daging sapi panggang yang disajikan bersama tumis tauge yang dimasak dengan bawang putih, bawang bombay dan shoyu (kecap asin Jepang), lalu juga ada cacahan kol dan wortel yang diberi mayonaise. Sebagai pelengkap dan penambah rasa, disertakan satu mangkuk kecil berisikan shoyu.


Karena kelaparan dan menunggu lama, ketika pesanan datang saya langsung menyantapnya. Sampai saya lupa memotret. Saya baru ingat untuk memotret ketika sudah tiga kali menyuap. Jadi maaf kalau tatanan hidangan Wafuyaki ini tak lagi indah, hehehe.

Tekstur daging sapi yang dipotong dadu ini kenyal, memberikan perlawanan khas daging sapi yang tak terlalu empuk. Saya suka tekstur daging yang seperti ini walau kadang menyisakan kerat daging di sela gigi. Lalu oseng taugenya juga guring dengan rasa khas tauge yang menguar kuat. Guyuran shoyu yang saya siramkan pada nasi membuat nasi bertambah gurih dan sedap.

Oishii! Kapan-kapan saya akan mencoba menu lain yang tampaknya tak kalah enaknya.

Setelah selesai menyantap seporsi Beef Wafuyaki, saya baru sadar petuah Miyamoto Musashi bahwa sabar akan membawa kita kepada hasil yang baik. Yeah.

Jumat, 07 Oktober 2011

Banyak Jalan Menuju Roma (6)

Ternyata gelap itu berasal dari tidur. Iya, saya ketiduran. Sesekali bangun, lalu tidur lagi. Begitu seterusnya sampai Roma sudah dekat dan saya siap-siap turun. Perut saya keroncongan karena belum diisi apapun sejak kemarin malam. Rencananya saya akan mencari sarapan sebelum keliling kota Roma.

Beberapa menit kemudian, Roma nampak di depan mata. Saat itu sudah sore, tapi panas masih menyengat. Saya turun di stasiun Roma Termini. Stasiun yang beroperasi sejak tahun 1862 tampak begitu riuh. Sesuai saran dari Viera, saya mencari penitipan tas terlebih dahulu. Ketemu. Setelah menitipkan carrier yang berat minta ampun itu, saya mencari sarapan (atau makan siang?).

Tanpa banyak pikir, saya mencari tempat makan yang paling murah: Mc Donald. Oke, buat kalian yang berkoar anti kapitalisme. Saya tak pernah memikirkan apa-apa bahaya makanan kapitalis itu. Yang saya tahu adalah, McD adalah makanan yang paling murah disini. Dan sudah takdir alam kalau para pejalan dengan budjet cekak selalu berusaha mencari apa yang termurah. Jadi disinilah saya, mengantri, lalu berusaha ngobrol dengan pelayan yang tak bisa bahasa Inggris. Saya memesan paket murah untuk anak kecil, Happy Meal. Karena dengan 4 euro lebih sedikit, saya bisa dapat burger keju, kentang goreng, apel, juga mainan, hehehe. Itu paket lengkap bukan? Murah pula.

Ketika masih di Hamburg beberapa waktu lalu, saya banyak bertanya pada Viera mengenai cara paling asyik (dan tentu murah) untuk keliling Roma. Ia bilang mending keliling Roma menggunakan tour bus. Saya sebenarnya mencoret bis tur itu dari moda transportasi pilihan saya. Apalagi saya harus membayangkan kemana-kemana diantar dan ditentukan oleh pihak tour. Tapi setelah menimbang kondisi badan yang kurang mengenakkan untuk berjalan kaki, juga efisiensi waktu (karena saya hanya punya waktu kurang dari 8 jam di Roma), maka saya memutuskan untuk keliling Roma dengan bis tur.

Akhirnya dengan menenteng sebungkus Happy Meal, saya keluar stasiun Roma Termini. Di luar tak ada bedanya dengan stasiun Gambir atau Senen. Ramai. Banyak orang menawarkan suvenir, juga paket tur. Saya mencari bis tur yang sepertinya milik pemda Roma. Biaya untuk tur keliling Roma sekitar 20 euro.

Oh ya, saya mau cerita. Jadi saya punya waktu hanya kurang dari 8 jam di Roma. Karena saya sampai sekitar jam 3 sore, dan harus pergi dari Roma menuju Milan pada pukul 11 malam. Nanti saya akan beristirahat di kereta. Karena waktu yang singkat itu, maka saya memprioritaskan Colloseum sebagai tujuan utama. Walau sebenarnya saya ingin melihat stadion sepak bola Roma dan Lazio. Sebagai penggemar bola, rasanya saya merugi kalau tak bisa menuju kesana. Tapi ya sudahlah, anggap saja itu hutang yang harus dibayar suatu saat nanti.

Dengan naik bis double deck berwarna merah, saya pun memulai keliling Roma. Saya memilih duduk di atas supaya leluasa melihat Roma. Sesuai perkiraan saya, bis ini penuh dengan turis-turis yang berisik. Saya hanya sesekali memotret sembari melongok-longok.

Roma memang cantik dengan banyak arstitektur klasik. Banyak patung dengan ukiran yang membutuhkan presisi tinggi. Juga gedung-gedung megah yang desainnya sempat booming di Indonesia sebelum desain minimalis datang. Juga banyak pohon jeruk dengan buahnya yang menyembul riang diantara dedaunan yang berwarna kelam. Banyak pula vespa, baik yang lalu-lalang di jalan atau diparkir di pinggir jalan. Maklum, Italia dikenal sebagai produsen vespa terbesar di dunia. Saya jadi ingat Alfien, sobat saya saya begitu menggemari vespa.



 
 



15 menit dari Roma Termini, saya pun sampai di Colloseum. Saya turun dan bis pun melaju lagi. Nanti saya akan kembali ke stasiun dengan naik bis yang sama, di halte yang sama.

Colloseum memang megah seperti banyak kisah dan legenda yang tertutur. Bangunan ini adalah bangunan terbesar yang pernah dibangun di Roma. Gedung yang dibangun sejak tahun 72 Masehi ini terkenal sebagai arena pertarungan para gladiator. Kisah mengenai gladiator ini pernah difilmkan dengan judul yang sama, dibintangi oleh Russel Crowe sebagai Maximus, sang komandan tentara kaisar yang lantas beralih menjadi gladiator.


      

Ketika berdiri di depan bangunan tua ini, saya terdiam sejenak. Memejamkan mata, lalu menghirup nafas panjang. Saya berusaha merasakan getaran magis dari bangunan ini, yang lantas menarik saya ke dalam pusaran waktu. Saya merasa berdiri di tengah ribuan penonton yang berbondong antri masuk ke dalam Colloseum. Berduyun ingin menonton pertarungan hidup mati para gladiator. Saya pun merinding dibuatnya. Roma memang digdaya pada saat itu.

Tapi lantas saya tersenyum simpul ketika sadar kebesaran Roma tidak ada apa-apanya dibanding penduduk Galia rekaan Rene Gosciny dan Albert Uderzo. Asterix dan Obelix dengan mudahnya mengkocar-kacirkan para tentara Romawi yang selalu digambarkan dengan muka bloon dan bertubuh mungil.

Setelah berusaha merasakan kemagisan Colloseum, saya berkeliling lagi. Banyak wisatawan sore itu. Musim panas ini rupanya begitu dinikmati oleh para wisatawan yang sepertinya kurang asupan sinar matahari. Melimpahnya wisatawan ini dimanfaatkan oleh para pelaku pariwisata. Ada orang-orang yang berdandan seperti pasukan Romawi, lengkap dengan pedang dan zirahnya. Mereka menawarkan jasa berfoto bareng. Mereka laris manis. Juga ada pedagang suvenir dan kartu pos. Mereka juga menangguk banyak uang. Saya hanya membeli beberapa magnet kulkas dan kartu pos. Sekedar untuk kenang-kenangan.


 

Setelah berkeliling, saya duduk sebentar. Tiba-tiba kepala pusing, badan kembali meriang. Sialan. Maka setelah mengambil beberapa foto diri, maka saya pun kembali ke halte. Setelah bis datang, saya langsung melompat ke dalamnya. Ketika leyeh-leyeh itulah saya ketiduran lagi.

ROMA termini masih saja ramai. Senja sudah menguning di luar sana. Matahari mulai ingin rebah. Saya antri untuk bertanya mengenai tarif kereta dari Roma menuju Milan. Kereta yang akan saya naiki adalah kereta malam. Biasanya kereta malam mengharuskan penumpang untuk membayar tarif tambahan. Saya melonjak kaget ketika tahu tarif tambahannya sebesar 33 euro. Ini diluar perhitungan saya. Harga segitu sebenarnya cukup untuk makan 4 atau 5 hari. Atau bahkan bisa 7 hari.

Tapi saya tak jadi bayar. Maunya bayar di kereta, siapa tahu harga tiket di kereta ternyata lebih murah. Dasar mental  Indonesia, hehehe.

Jarum jam terus berdetak. Jam 11 pun tiba. Kereta datang. Saya berbicang dengan kondektur. Bla bla bla. Ternyata memang tak bisa menawar. Harga 33 euro itu harga mati. Yah mau gimana lagi. Mau menunggu besok pagi, sayang waktu yang terbuang. Akhirnya dengan berat hati saya naik kereta tidur itu. Setelah membayar, saya diantar ke kompartemen. Ada 4 buah kasur. Dua di kanan, dua di kiri. Kasur tingkat. Ada selimut dan bantal, serta tiap kasur dapat satu botol air soda.

Badan masih sedikit meriang. Tanpa banyak omong saya langsung menaruh tas, merebahkan badan, menarik selimut, lalu tidur. Milan masih jauh. Saya mau menyimpan tenaga buat besok, karena besok saya sudah menuju Paris. Yihaaa!

Kamis, 06 Oktober 2011

Banyak Jalan Menuju Roma (5)


Kereta bergerak perlahan. Meninggalkan kota Venezia di belakang saya. Ketika duduk di kursi, saya sudah merasa tak nyaman. Ada hawa aneh yang menjalar. Merambat dari kaki, lalu naik ke lutut, ke pinggang, ke punggung, lalu hingga ke kepala. Alamak, saya tahu perasaan ini. Ini adalah kondisi yang disebut dengan: meriang.

Badan tiba-tiba sedikit menggigil. Meski hawa panas, tapi tubuh saya merasa kedinginan. Saya jadi ingat pesan mas Andy via telpon beberapa waktu lalu. Ketika tahu saya menghabiskan malam di jalan, ia berkata agar saya mencari hostel saja, biar bisa beristirahat dengan tenang di kasur. Karena keliling negara itu beda dengan keliling kota. Ternyata benar. Saya merasa tidak enak badan sekarang. Entah karena apa. Bisa jadi karena terlalu lelah menempuh perjalanan maraton ini. Masih ditambah hawa yang berbeda-beda di tiap negara.

Tak berapa lama kemudian ada sepasang adik kakak masuk ke kompartemen saya. Dua-duanya sepertinya atlit. Sama seperti para Italiano yang ketinggalan kereta itu (baca: Banyak Jalan Menuju Roma edisi sebelumnya). Mereka memancing senyum simpul saya dengan tingkah polah yang lucu. Saling berebutan buku, kadang saling mengusili. Sang kakak rupanya jahil juga. Melihat mereka, saya jadi kangen menjahili dua adik perempuan saya.

Karena ingin fit ketika sampai Roma, maka saya memutuskan untuk tidur. Sebenarnya sayang sekali jika waktu traveling langka ini dipakai untuk tidur. Jalan masih panjang terbentang, jadi saya tak ingin seluruh agenda traveling ini terganggu karena sakit. . Maka saya paksakan dan relakan tubuh agar beristirahat. Walau begitu, sesekali saya masih membuka mata, melongok keluar jendela. Sekedar melihat pemandangan, atau sudah sampai mana.

Entah berapa lama saya tertidur. Saya terbangun ketika pengeras suara melaporkan kalau kereta sudah sampai stasiun Firenze Rifedi. 

Firenze adalah kota yang indah. Ibu kota Tuscany ini dibelah oleh sungai Arno, sungai yang dianggap terpenting di Italia setelah sungai Tiber. Saya sih kenal kota ini dari klub sepak bola Fiorentina, pada masa saya begitu menggemari Gabriel Omar Batistuta. 

Pada tahun 1982, pusat kota Firenze dideklarasikan sebagai World Heritage Site oleh Unesco. Dari beberapa literatur yang saya baca, Firenze punya beberapa tempat yang indah nun bersejarah. Sebut saja Ponte Vecchio yang klasik, Santa Croce yang megah, hingga kapel Medici yang suci. Andai saja saya punya waktu banyak, tentu saya tak akan berpikir dua kali untuk singgah dan berkeliling kota ini. Lain kali, semoga!

Ketika terbangun, saya membuka peta Eurail. Disana terpampang selected scenic routes, yakni rute-rute pilihan yang menyajikan pemandangan elok. Italia memiliki satu rute pilihan. Rute itu terhampar dari Firenze hingga Assisi. Saya jadi penasaran. Penasaran itu akan terpuaskan karena kereta akan melewati rute ini.

Diantara tubuh yang melemah, mata yang ingin menutup lama, saya berusaha memaksakan diri untuk terjaga. Kali ini saya ingin menikmati pemandangan saja, tak ingin memotretnya. Saya yakin, kalau saya memotret pemandangan, maka saya tak bisa benar-benar menikmati pemandangan itu. Karena saya berada dalam objek yang bergerak, lain halnya kalau saya diam di tempat.

Dan benar. Jalur Firenze- Assisi memang indah. Ia merupakan lekuk-lekuk pegunungan yang hijau. Kadang pemandangan itu diselingi dengan hutan pohon cemara (atau pinus?). Pemandangan itu kadang diselingi oleh sungai kecil yang berbatu. Lalu ada rumah-rumah kayu khas pedesaan. Pemandangan cantik itu membelai mata saya. Menyadarkan bahwa dunia benar indah adanya. Saya memang harus melihat dunia lebih banyak lagi.

Dari pemandangan cantik yang hijau, muncul perlahan bayangan yang kabur. Blur. Tampak garis-garis menggurat di depan pelupuk mata. Lalu tiba-tiba semua berganti warna hitam.

Bersambung...

Sebelah Mata

Saya tak akan lupa hari Senin, minggu pertama saya kuliah. Saya datang dengan langkah yang mantap. Maklum mahasiswa baru. Masih semangat-semangatnya. Di jadwal, tertulis kuliah pertama adalah Writing 01. Seingat saya, kuliah dimulai jam 08.35. Saya sepertinya telat beberapa menit.

Benar dugaan saya. Kelas sepertinya sudah dimulai. Wajah-wajah asing tampak duduk dengan anteng di kursi masing-masih. Seorang dosen berkacamata dengan rambut putih keperakan duduk di kursi depan. Saya membuka pintu ruang 02 itu dengan perlahan. Ia berderit. Lalu saya menutupnya, membalikkan badan dan berusaha mencari bangku kosong.

"Mas, siapa yang nyuruh masuk?" tanya bapak dosen itu. Saya bingung dengan pertanyaan itu. Lah, ini kan kuliah saya?

"Anda telat, silahkan keluar" ujarnya dingin dengan pandangan yang menusuk, sembari tangannya menunjuk ke arah pintu.

Saya bingung. Tapi mendengar titahnya yang sedingin pualam di kala malam, saya pun mengikuti perintahnya. Saya keluar kelas. Di hari pertama, kuliah pertama, dan jam pertama, saya diusir dari kelas. Karena alasan yang sangat sepele: telat tak sampai 5 menit.

***

Setelah akrab dengan beberapa orang kawan baru dan kakak angkatan, tahulah saya nama dosen yang mengusir saya itu. Namanya pak Noersamsudin. Beliau dosen senior, bahkan sangat senior. "Orangnya memang menyebalkan" ujar seorang kakak kelas. Lalu mengalirlah cerita mengenai sifatnya yang menyebalkan dan membuat gemuruh kemarahan, juga dendam, pada beberapa kakak kelas.

Dan cerita itu ternyata diwariskan. Kebetulan pewaris sahnya adalah saya dan beberapa orang kawan seangkatan. Kami dianggap tipikal mahasiswa yang hanya bisa haha-hihi, atau ketawa-ketiwi, tapi otak kosong melompong. Plus dengan dandanan kami yang brutal, imej kami sebagai mahasiswa tak berbudi luhur lengkap sudah.

Writing 01, saya lolos dengan nilai C. Pas-pasan. Tapi beberapa kali pula saya bersinggungan dengan Pak Noer. Lalu pada semester 2, MK Writing 02 masih diampu oleh beliau. Kali ini saya tak lolos. Dapat E.

Nilai itu saya tertawakan dengan getir. Kebetulan, di semester 2, saya mendapat satu lagi nilai E. Kali ini untuk MK Grammar 02. Kebetulan pula, MK tersebut diampu oleh istri Pak Noer, Bu Mei. Tapi berkebalikan dengan Pak Noer, Bu Mei sangat sabar dan bijak. Cara ngajarnya pun menyenangkan. Kalaupun saya dapat E, itu karena memang saya yang terlampau tolol. Dan saya ikhlas menerima nilai E tersebut. Berbeda dengan nilai E yang diberikan oleh Pak Noer, saya tak pernah ikhlas menerimanya.

***

Tahun berlalu dengan cepat. Saya sudah menginjak semester "tua". Lagi-lagi saya bertemu dengan Pak Noer. Kali ini untuk MK Prose 02. Agar dapat nilai yang tak jelek-jelek amat, saya rajin masuk. Plus rajin mengerjakan tugas. Ketika ada presentasi pun, saya termasuk rajin berinteraksi. Saya pikir setidaknya saya mendapat nilai B. Sejelek-jeleknya ya C.

Tapi Pak Noer berkehendak lain. Saya dapat D. Saya tak tahu apa dasar beliau memberikan nilai seburuk itu. Dan saya sudah terlalu malas untuk berurusan dengan orang bebal dan tak punya perasaan macam beliau. Maka sampai saya lulus, saya biarkan nilai D itu mengendap di transkrip. Biar ia membatu, menjadi gumpalan kemarahan yang tak pernah tersalurkan. 

Dan itu adalah satu-satunya nilai D di transkrip saya.

***

"Pak Noer sudah pensiun mengajar. Beliau sakit mata. Jadi pensiun dini" ujar seorang teman melalui pesan pendek.

Saya terhenyak. Entah saya harus senang atau sedih. Karena ternyata saya tak pernah bisa menjadi seorang pendendam. Kenangan pahit diusir di kuliah pertama itu, sekarang malah jadi bahan lelucon yang tak pernah habis-habisnya dibahas. Lalu nilai D di transkrip? Saya anggap itu sebagai variasi. Bukankah hidup yang tak bervariasi itu tak bagus? Maka biarlah saya mengoleksi berbagai nilai, dari A, B,C, hingga D. Variatif bukan? Kalau saja nilai E diperbolehkan masuk dalam transkrip, niscaya akan ada satu atau dua nilai E disana.

***

Kemarin kebetulan saya ada di kampus untuk mengurus wisuda. Ketika nongkrong di gazebo, saya melihat sesosok tua yang berjalan. Ia tampak ringkih. Rambutnya tak lagi perak, melainkan memutih. Jalannya perlahan. Ia masih saja sering memakai baju ham kotak berwarna hijau, dengan celana bahan berwarna coklat. Itu Pak Noer.

Saya kaget. Bukannya Pak Noer sudah pensiun?

Tapi saya tak begitu terkejut. Dosen-dosen di fakultas saya terkenal dengan dedikasinya yang tinggi. Masih lekat pada ingatan, bagaimana Pak Busjairi, dosen tertua di fakultas saya, masih mengajar walau ia harus berjalan dengan tongkat dan dipapah. Juga Pak Hendri, yang masih dengan semangat membara, terus mengajar walau ia harus duduk di kursi roda. Saya kira Pak Noer juga sama...

***

Tadi siang saya ketemu dengan Bu Mei untuk minta tanda tangan di bendelan skripsi. Beliau adalah salah satu anggota tim penguji skripsi saya. Setelah semua bendelan selesai ditandatangani, saya bertanya mengenai pak Noer. Bukan untuk basa-basi, melainkan benar ingin tahu.

"Pak Noer itu terkenal Glaukoma, jadi matanya terancam buta. Sekarang penglihatannya tinggal 10% saja" kata Bu Mei dengan tegar.

"Tapi satunya masih bisa berfungsi kan bu?"

"Kalau mata yang satunya itu sudah buta" jawabnya. "Tinggal 18 bulan lagi menuju masa pensiunnya Pak Noer. Ya Pak Noer mau menghabiskan masa pensiunnya itu" lanjutnya. Perempuan baya ini masih tegar, masih tetap tersenyum.

Saya terdiam. Kaki saya seperti terpaku diatas lantai. Saya tak bisa mengeluarkan sepatah kata pun. Lalu dengan berusaha keras, saya mengucap "semoga Pak Noer baik-baik saja bu". Itu tulus, bukan basa-basi.

Satu jam kemudian saya duduk di Kansas. Saya melihat Pak Noer berjalan dengan dituntun seorang mahasiswanya. Ia memang ringkih. Tapi masih bisa tertawa-tawa dengan mukanya yang jenaka itu. Dalam hati saya mendoakan yang terbaik untuk beliau.

Saat itu saya tahu, kemarahan saya sudah menguap. Seperti embun yang tertiup angin pada pagi yang lindap, hingga ia hilang bercampur dengan udara. Juga seperti daun jati yang meranggaskan sisa daun-daun kemarahan di musim kemarau, hingga ia berjatuhan di atas tanah, lalu  membusuk dan menjadi humus...

Rabu, 05 Oktober 2011

Axl Rose vs Vince Neil

Suatu malam di tahun 1989, ada sebuah perkelahian terjadi di backstage MTV Video Music Award. Saat itu Izzy Stradlin, gitaris supergrup Guns N Roses, dihantam oleh vokalis Motley Crue, Vince Neil. Perkaranya ada pada beberapa hari sebelumnya. Ketika Izzy menggoda perempuan di sebuah bar yang ternyata adalah istri dari Vince.

Tapi perkelahian Izzy dan Vince tak berlanjut. 

Yang terjadi malah peperangan antara dua vokalis band hair metal terbesar: Axl Rose dari Guns N Roses dan Vince Neil dari Motley Crue. Axl berang melihat sahabat sejak kecilnya dipukul oleh Vince, yang notabene vokalis dari band seteru mereka. Beberapa hari setelah insiden pemukulan Izzy oleh Vince, Axl muncul di televisi dan menantang Vince untuk duel di lapangan parkir. Tapi entah kenapa, perkelahian yang kalau benar terjadi bakal jadi momen legendaris itu tidak terlaksana. Axl dan Vince hanya saling bertukar makian, saling mengutuk, dan menantang.

"Anytime you want it, anywhere, Atlantic City, I don't care" tantang Axl.

"Axl, if you watching this, I wanna challenge you to fight" balas Vince.


Ternyata perseteruan ini mengundang banyak respon. Bahkan sebuah rumah judi melemparkan taruhan siapa yang bakal menang, Axl atau Vince? Dan yang lebih gila lagi, banyak yang ikut di taruhan tersebut. Sayang, tak ada yang menang dan yang kalah. Karena sampai sekarang perkelahian itu tak pernah terjadi secara fisik. Hanya adu mulut, yang merupakan hal biasa di antara para hair rocker yang bermulut pedas seperti Maichi level 10.

Tahun 1992, Vince Neil dipecat dari Motley Crue dan digantikan oleh John Corabi. Pada tahun 1997, Vince kembali ke Motley Crue, merilis Generation Swine, dan gagal di pasaran. Tahun 2004, 15 tahun semenjak insiden adu mulut antara Vince dan Axl, Motley kembali mengadakan tur. Tahun 2011, diisukan Motley Crue akan pentas di Jakarta. Kabar sudah mengudara, masuk di beberapa media, dan tiket pre-sale pun sudah dijual. Sayang konser ini batal, dan berbuntut pelaporan para penonton yang merasa ditipu karena uang pre-sale tak jua dikembalikan oleh promotor.

Lalu apa kabar Guns N Roses?  Pada bulan November 2008, Guns N Roses merilis album yang sudah terlalu lama mereka peram: Chinese Democracy. Album dengan anggota baru selain Axl dan Dizzy Reed ini mendapat sambutan baik dari para kritikus, juga oleh pasar. Album ini sempat mencapai posisi tiga di Billboard 200. Guns pun rutin mengadakan tur kembali.

Lalu apa kabar sang frontman? 

Ini dia yang akan saya bahas. Vince dan Axl nampaknya sudah tidak begitu mengurusi masalah pertikaian masa lampau. Mereka sudah sibuk dengan urusan mempertahankan hidup masing-masing. 

Tapi ada satu kesamaan mereka (dan nyaris terjadi pada semua eksponen hair metal): tubuh membesar. Vince dan Axl yang dulu sama-sama berbadan berotot, sekarang harus menerima kenyataan bahwa tubuh mereka sudah gembrot. Tapi mari lupakan penampilan, karena suara adalah hal terpenting dari seorang vokalis. 

Ini dia masalahnya. Vince sepertinya sudah harus gantung mikrofon. Ia sungguh-sungguh tak mampu untuk bernyanyi lagi. Silahkan simak video konser Motley Crue tahun 2009. Di lagu "Dr. Feelgood", sudah tampak betapa Vince menua dan membusuk. Oke, ini terdengar kejam, tapi sayangnya hal itu benar. Di saat semua anggota Motley Crue bermain dengan energi, gairah, dan stamina yang sama seperti puluhan tahun lalu, Vince hanya sanggup bernyanyi tanpa fals di bagian "uhh yeaaaaaah". Ia ketinggalan tempo, tak sanggup mencapai pitch tinggi, kehabisan nafas. Selebihnya? Saya lebih memilih Charlie van Houten yang jadi vokalis Motley Crue.


Sedang Axl? Silahkan simak penampilan live Guns N Roses di Rock in Rio. Mereka memainkan lagu monumental nyaris sepanjang 10 menit, "Estranged". Axl memang sedikit kedodoran, tapi ia bernyanyi dengan prima. Suaranya masih mampu menjangkau nada-nada tinggi, masih mampu mengatur nafas, juga yang terpenting: tidak fals.


Apapun itu, saya tak bisa menentukan siapa yang menang dan siapa yang kalah diantara mereka. Apalagi kalau mengenai perkelahian puluhan tahun silam. Tapi kalau diadu suara mereka pada masa kini, sepertinya Axl menang jauh.

Kalau saja Axl membaca postingan ini, dia pasti bakal mengulang seruannya pada lagu "Garden of Eden", "Vince, suck on that!"

Minggu, 02 Oktober 2011

Banyak Jalan Menuju Roma (4)


Stasiun Venezia Santa Lucia ramai pagi itu. Walau stasiun ini bukan stasiun central di Venezia, tapi stasiun yang terletak di daerah Cannaregio ini cukup ramai. Stasiun pusat Venezia ada di Metre. Bagi turis yang ingin menikmati kanal Venezia yang tersohor itu, biasanya turun di stasiun Venezia Metre.

Setelah turun dari kereta, saya langsung mencari pusat informasi. Saya ditemui oleh seorang bapak baya yang ketus. Beliau lantas menunjukkan line kereta menuju Roma. 

Perjalan dari Venezia menuju Roma ditempuh dalam waktu sekitar 3,5 jam. Kalau telat, biasanya bisa molor hingga 4 jam. Nanti saya akan turun di stasiun pusat Roma, Roma Termini. Dalam mengumpulkan info mengenai Italia, saya banyak dibantu oleh Viera si ratu boker. Gadis asal Cibinong ini sekarang sedang menempuh S2 di Italia. Oh ya, kalau kalian masih asing dengan gadis kembaran Nikita Willy Dozan ini, dia adalah gadis kecil yang tampil di iklan Indomie, yang menceritakan pengalamannya pergi ke Belanda hanya untuk beli Indomie. Gelo.

Sembari menunggu kereta menuju Roma yang berangkat pukul 10.27, saya membaca peta Eropa lagi. Perjalanan saya masih panjang, dengan Paris sebagai tujuan utama saya. Di depan saya tampak seorang gadis seumuran saya sedang mondar mandir sembari menelpon seseorang. Dari tampilannya, ia sepertinya seorang atlit. Ia membawa travel bag merk Nike berukuran besar. Ia mengenakan training berwarna biru gelap dengan jaket bertuliskan "Italy" di bagian belakang. Ia tampak kebingungan. 

Tak lama kemudian sebuah kereta datang. Entah menuju kemana. Perempuan itu gamang. Lalu kemudian memutuskan naik kereta itu. Sebentar saja lalu kereta itu bergerak pelan, berangkat menuju entah kemana.

"Hoooyyyy!!!" tiba-tiba terdengar teriakan dua orang pemuda. Mereka berlari menaiki tangga, mengejar kereta yang masih bergerak lambat. Dilihat dari pakaian yang seragam, sepertinya mereka teman sang gadis yang sedari tadi kebingungan itu. 

Seperti kisah yang dituturkan oleh beberapa teks, Italiano memang ekspresif. Ketika tahu ketinggalan kereta, mereka berlagak seperti pemain opera. Menengadahkan tangan ke depan dada, menggoyangkannya ke depan berkali-kali, sembari berucap kata Italia yang saya tak paham artinya. Mimik mukanya tampak sedih dan kecewa betul, lagaknya seperti pria yang baru diputus ceweknya dengan sangat sadis. Pria yang berambut klimis sedikit menekuk lututnya, sembari tangannya tetap menengadah ke depan dada, mengomel dengan bahasa Italia. Yang satunya lagi, pria brewok, menelpon, dengan suara marah-marah ia lantas menendang kereta yang belum usai berlalu itu. Setelah kereta melaju penuh, mereka masih berlagak seperti pemain opera. Mengacungkan tangan ke udara.

Saya terhibur dengan adegan opera dadakan itu. Walau saya tahu kalau terhibur diatas penderitaan orang lain itu adalah kurang ajar, tapi saya begitu menikmati ekspresi dua orang pria Italia itu. Mereka sadar kalau kereta sudah berangkat. Jadi walaupun mereka berakting salto; kayang; lompat harimau; berdiri dengan satu kaki; atau malah berdiri dengan kepala; kereta tak akan berhenti. Walau sudah tahu hal itu, toh mereka tetap saja berakting, sendu, seakan ketinggalan kereta adalah kiamat. Impressionante! Grande!

Setelah adegan opera yang ditanggapi biasa saja oleh orang lain dan ditanggapi dengan takjub oleh saya, pemuda itu berlalu dengan kepala terkulai. Lemas. Sepertinya mereka akan mencari kereta lain. Sementara itu saya nyaris mengalami hal yang sama dengan dua pemuda itu.

Kereta menuju Roma yang harusnya ada di line 4, tiba-tiba saja berubah menuju line 3. Tak ada pemberitahuan dalam bahasa Inggris. Mereka pikir semua orang di Venezia itu orang Italia? Mereka pikir semua turis bisa bahasa Italia? Untung saya membaca papan pengumuman. Disitu terpampang kalau kereta menuju Roma Termini pindah ke jalur 3. Langsung saja saya tergopoh-gopoh pindah jalur, turun menuju ruang bawah tanah, lalu naik lagi ke atas, menuju line 3. 

Setelah menunggu sekitar 15 menit, kereta menuju Roma datang. Saya masuk menuju kereta, mencari kompartemen yang kosong, menaruh tas, lalu duduk tenang. Kemudian dengan mendadak, ada hawa aneh menjalar dalam tubuh saya. Entah apa. Yang jelas saya merasa tak nyaman.

Bersambung...

Banyak Jalan Menuju Roma (3)



Dingin masih saja menggigit ketika kereta menuju Venezia datang. Setelah memastikan kereta itu benar menuju Venezia, saya pun melompat ke dalamnya. Huupp. Kereta ini merupakan kereta kompartemen. Hal ini lazim untuk kereta malam. 

Ketika saya masuk dan melihat-lihat, semua kompartemen sudah terisi. Penuh. Para penumpang sudah bergelimpangan. Menyelonjorkan kaki. Mirip dengan suasana di kereta Gaya Baru Malam Selatan atau Kahuripan, minus homo homini lupus. Meski penuh, suasana kereta masih nyaman. Tak tampak raut ketidaknyamanan pada muka mereka, raut yang selalu saya lihat ketika naik kereta ekonomi di Indonesia. Terutama mereka yang dengan terpaksa tidur di lantai atau duduk di toilet.

Tak berapa lama kemudian kereta bergerak. Pergi menuju Italia. Selamat tinggal Wina, semoga kita bisa berjumpa lagi kapan-kapan.

Karena kompartemen yang penuh, maka saya menggelar badan di lantai dekat pintu. Menjadikan tas sebagai bantal. Saya rebah, lalu tertidur. Sampai saya mendengar suara omelan beberapa orang.

Ternyata mereka penumpang yang tak kebagian kursi. Mereka mengomel. Memaki kerja perusahaan kereta yang mereka anggap tak becus. Alamak, belum pernah datang ke Indonesia atau India rupanya.

Saya cuek aja, berusaha memejamkan mata. Berhasil, walau cuma sekejap. Karena seorang kondetur datang untuk memeriksa tiket saya. Saya keluarkan tiket sakti bernama Eurail. Dia lantas memeriksanya. Saya pikir semua akan beres. Tapi saya salah.

"Karena ini kereta malam, anda harus menambah biaya. 7 euro." ujarnya pendek. Saya kebingungan. Masih belum tahu kalau naik kereta malam harus menambah biaya. 

"Maaf pak, kalau misalnya saya duduk di lantai saja, tapi gak usah bayar, boleh gak?" tanya saya. Kondektur itu memandang saya dengan pandangan aneh. 

Sepertinya kebiasaan saya duduk di lantai kereta terbawa hingga kesini.

Setelah ngobrol barang sejenak, saya masih tak dibolehkan duduk di lantai dan harus bayar. Saya pikir itu pungli, tapi saya salah. Cerita lengkap mengenai "pungli" ini nanti akan berujung panjang ketika saya naik kereta menuju Paris. Kondektur bilang 7 euro itu memang biaya tambahan untuk kereta malam dengan kompartemen. Karena saya membayar biaya 7 euro itu, saya akan dapat kursi. Oke, saya setuju.

Sebelum saya sempat mengeluarkan dompet, petugas mengajak saya ke sebuah kompartemen. Kompartemen itu gelap. Ketika pintu dibuka, lampu menyala. Hanya ada 5 orang disana, seharusnya isinya 6 orang. Satu orang tidur selonjor, membuat kompartemen itu penuh. Setelah kondektur membangunkan satu orang penumpang, ia lantas menyilahkan saya duduk. Saya lega, bisa mengistirahatkan badan dengan tenang.

Saya terbangun ketika terdengar suara tirai dibuka. Sinar matahari langsung menerobos. Silau euy. Tampak tebing-tebing menjulang. Sepertinya saya sudah memasuki Italia. Kalau melihat di peta, sepertinya sudah memasuki Udine. Venezia sudah tinggal sepenanakan nasi.

Mata sudah tidak mengantuk. Saya lantas menikmati daerah pegunungan Udine yang sesekali dilukis dengan jejeran pohon cemara. Aih, indah sekali. Mengingatkan saya pada lekuk Gumitir, daerah pegunungan perbatasan Jember- Banyuwangi yang berkelok dan banyak pohon cemara. Membuat saya kangen rumah.

Tak lama kemudian, pemandangan berganti jadi daerah pedesaan. Lengkap dengan rumah-rumah mungil yang sering saya baca di dongeng-dongeng. Ada sapi memamah rumput. Ada pula kuda. 

Lamunan saya terhenti. Suara dari speaker meneriakkan lantang kalau kereta sudah sampai di Venezia Santa Lucia. Saya harus turun, lalu berganti kereta untuk pergi menuju Roma. Sampai saya turun, kondektur itu tak mendatangi saya. Syukurlah, 7 euro tak jadi keluar.

Matahari bersinar terik. Saya menggendong ransel saya, membuka pintu kereta, lalu melompat keluar...

Bersambung...


Post-scriptum: Saya selalu suka dengan adegan pria beransel meloncat turun dari kereta. Kegemaran saya itu dibentuk oleh sosok Roy yang suka avonturir dengan menggunakan moda kereta. Ketika ia meloncat keluar dari kereta, itu tak berarti petualangan berakhir. Justru awal dari petualangan baru. Karena itu saya banyak menggunakan fragmen meloncat keluar dari kereta. Biar berasa jadi sosok Roy, hahaha.