Jumat, 10 September 2010

Happy Rocking Ied Everyone!

30 hari puasa sudah berlalu. Saatnya Idul Fitri yang selalu penuh tawa, canda, dan juga bahagia. Apa kalian bahagia dengan lebaran kali ini? Saya harap begitu.

Mudik kemana anda tahun ini? Bagi yang tidak mudik tak apa-apa. Tekhnologi sudah membuat jarak semakin tak berarti. Ucapkan selamat lebaran melalui sms atau telepon ke keluarga tercinta nun jauh disana. Mengutip sang diva jazz Indonesia, Syaharani, tak perlu dekat jika hati bisa rasakan hadirnya. Iya, tak perlu bertatap muka untuk bisa melepas kangen.

Bagi saya, mudik tahun ini sama saja dengan mudik tahun lalu, dan tahun-tahun sebelumnya. Mudik menggunakan motor, membonceng adik bungsu saya, abang saya juga naik motor membonceng adik saya yang nomer 3. Orang tua kami sudah mudik H-2 bareng beberapa keluarga lain.

Saya mudik ke kota Lumajang, sekitar 70 km dari Jember. Di kota kecil nun menyenangkan ini, masih ada nenek saya dari pihak ibu. Tak heran, semua keluarga besar ibu saya berkumpul di kota pisang ini.

Yang paling saya nantikan di pagi Idul Fitri adalah makanan, tentu saja. Sudah tradisi keluarga besar saya untuk memasak Soto Banjar setiap lebaran. Setelah sholat ied dan bermaaf-maafan, maka kami semua berhamburan mengambil jatah soto yang sudah disiapkan. Selain makanan, saya juga menanti angpau, hahaha. Di keluarga saya, setua apapun, kalau belum nikah, masih dikasih angpau. Jadi biar saya sudah semester 11, saya masih mendapat angpau, hahaha.

Well, saya sudah dipanggil oleh mamak saya untuk menuntaskan Soto Banjar yang sudah tinggal beberapa suap. Itu berarti saya harus pergi dulu.

Selamat lebaran semua, minal aidizin wal faidizin, mohon maaf lahir dan batin. Dosa itu tak akan pernah ada habisnya, sama seperti rock n roll yang tak pernah ada matinya. Maka dari itu, saya mengucapkan happy rocking ied everone :)

Jumat, 03 September 2010

Menghilangkan Penat Dengan Ode Buat Kota

Semua bermula dari dirilisnya album Bangkutaman yang terbaru, Ode Buat Kota. Beberapa waktu setelah rilisan itu, Idhar Resmadi menulis sebuah resensi yang ciamik mengenai album terbaru dari band britpop asal Yogyakarta ini. Gara-gara resensi itulah, saya jadi tertarik untuk membeli album yang diberi rating 4 bintang oleh Soleh Solihun.

Jujur, saya tak begitu menggemari musik britpop. Musik kegemaran saya adalah tipikal hard rock, yang jelas kental unsur guitar hero. Dan musik britpop tak pernah mengenal yang namanya guitar hero, correct me if I’m wrong sir. Tapi kali ini, saya merasa terpanggil untuk mendengarkan Ode Buat Kota secara utuh dan menyeluruh. Akhirnya ketika pergi ke Yogya beberapa hari lalu, saya menyempatkan untuk pergi ke sebuah music store di bilangan Mataraman. Voila, satu buah album ini sudah ada di tangan saya.

Beberapa hari sebelum saya membeli CD Ode, saya berbincang dengan mas Philips mengenai album yang jadi favoritnya belakangan ini. Saya bertanya bagaimana kalau ternyata saya tak menggemari album ini? Jangan-jangan album ini diulas bagus hanya karena nama besar mereka, kevakuman, dan sekarang aktif kembali. Mas Philips hanya menyarankan saya mendengarkan dulu album ini. Ia bilang kalau album ini “kaya.”

Ketika sudah sampai di Jember, saya tidak memasukkan mandi sebagai kegiatan pertama yang saya lakukan. Saya malah pergi ke depan komputer, memasukkan CD ini, dan memainkannya. Saya mencoba mendengarkan perlahan-lahan, mencoba untuk khusyuk.

Dibuka oleh Ode Buat Kota, lagu ini jelas mengundang sing along jika dibawakan dalam konser. Belum lagi ada koor suara backing vokal yang riuh berdendang. Sebenarnya saya malas membanding-bandingkan suatu band dengan influence-nya, tapi mau tak mau saya menggumam bahwa cara bernyanyi Acum di bagian “Ku bernyanyi untuk dia yang kesepian…” itu mengingatkan saya pada cara menyanyi ala Dylan. Seperti pembacaan puisi yang diiringi oleh bebunyian. Semacam musikalisasi puisi? Lagu ini seperti menjadi signature 9 lagu berikutnya: kaya akan bebunyian.

Berbicara mengenai kekayaan bunyi, saya menemukannya di lagu “Penat.” Maafkan kalau saya melantur, tapi ketika mendengarkan lagu ini, saya merasa seperti berada di delta sungai Mississippi sembari minum kopi pahit di suatu sore yang indah. Saya terkejut akan bunyi slide gitar akustik –yang identik dengan Delta Blues—serta suara harmonica yang memberikan suasana southern rock. Mungkin saya lagi memang lagi mabuk. Tak pernah saya temukan perpaduan antara delta blues dan southern rock dalam sebuah band yang lebih terinspirasi oleh The Stone Roses dan The Smiths, bukan Robert Johnson atau Jhonny Winter. Ketika mendengarkan lagu ini, pikiran saya menjadi liar. Lagu ini sepertinya akan lebih keren kalau menampilkan Adrian Adioetomo sebagai gitaris tamu.

Suara harmonica sepertinya menjadi signature yang rawan dianggap sebagai repetisi. Saya menemukan suara alat musik ini di beberapa lagu, selain di Ode Buat Kota, Train Song, dan Penat, saya juga menemukan bebunyian ala cowboy ini di lagu Coffee People. Di lagu yang mengingatkan saya pada gaya bernyanyi Lou Reed yang seperti orang mabuk ini, terdengar pula suara backsound penyiar yang membacakan berita.

Rupa-rupanya Dwi Retno Sundari –sosok dibalik suara penyiar itu—merasa benar kalau suaranya empuk dan enak untuk di dengarkan. Sehingga ia menghabiskan hampir dua menit untuk berbicara mengenai profesi jurnalis diantara gemerisik gelombang radio yang tak jernih. Gara-gara suara siaran yang saya anggap terlalu panjang itu, lagu Coffee People yang seharusnya efektif dengan durasi 4-5 menit saja, terdengar seperti Velvet Underground yang suka berlama-lama dengan durasi. Untunglah, lagu ini tak segelap dan semembosankan lagu-lagu Velvet Undeground. Jadi saya masih bisa memaafkan durasi lagu yang mencapai 7 menit 10 detik ini.

Coffee People cukup menghentak. Dari awal yang berjalan pelan –maaf Lou Reed, saya kutip namamu sekali lagi—lantas lagu ini berisik dengan suara solo gitar yang cukup eksplosif untuk ukuran sebuah band britpop yang biasanya terkenal kalem kalau berbicara mengenai solo gitar. Saya membayangkan J.Irwin memainkan solo gitar sembari bersimpuh di lantai dan mengibaskan rambutnya –yang sayang sekali terlalu pendek untuk dikibas-kibaskan.

Tapi kalau berbicara mengenai solo gitar yang ciamik, saya mengacungkan jempol pada lagu “Hilangkan”. Lagu yang memasukkan unsur psychedelic ini dengan leluasa memberikan ruang lapang untuk solo gitar. Sebelum solo gitar, ada permainan solo singkat keyboard. Setelah solo keyboard muncullah permainan solo gitar, yang meskipun singkat, cukup bisa membuat saya kembali membayangkan adegan permainan solo gitar di lagu “I’ve Got A Feeling” versi Mongolian Chop Squad yang megah dan memorable itu.

***
Pagi menjelang subuh tadi, saya berdiskusi seru dengan Ayos. Dia bilang album Ode Buat Kota ini overrated. Saya yang baru bangun tidur langsung melek, dan meladeni diskusi musik pagi hari itu. Ayos berkata ada banyak pengulangan di album ini. Saya menduga pengulangan ini termasuk banyaknya bebunyian harmonika (Ode Buat Kota, Train Song, Penat, dan Catch Me When I Fall).

“Masa si Soleh ngasih 4 bintang buat album ini? Aku sih cukup ngasih 2 bintang saja” kata pria berkacamata ini.
“Lah, kamu udah denger album ini belum?” tanya saya. 2 bintang? Bahkan Kerispatih dan Warteg Boyz mendapatkan 3 bintang dari Rolling Stone Indonesia.

“Udah. Dan karena pengulangan itu, tak ada yang begitu bagus. Suara Acum juga beberapa kali meleset. Lantas alasan apalagi yang membuat aku agar tak menghapus file album ini?” jawab dia songong. Oh, saya begitu ingin menampol pantatnya kalau ia mencoba untuk sinis seperti Hasief Ardiansyah.

Berbicara mengenai suara vokalis yang fals, saya selalu berpendapat bahwa band yang bagus tak melulu harus mempunyai suara vokalis yang merdu. Lalu saya mengalihkan topik pembicaraan, agar tak berbicara mengenai tekhnis. Tapi Ayos mengejar saya.

“Gak bisa ran! Ini album musik, karena itu harus berbicara mengenai tekhnis” kata Ayos. Hehehe, sialan bener bocah ini, dia tahu kalau saya tak suka membahas hal-hal tekhnis.

“Lah, kau pikir suaranya Risky itu merdu? Suara dia malah lebih fals ketimbang Acum” balas saya mengacu pada Risky sang vokalis band progressive rock dari Yogya favorit si Ayos, Risky Summerbee and the Honey Thief.

“Yo jangan dibandingin sama Risky Summerbee, mereka beda aliran” jawabnya. Eits, mulai mengelak nihhh.

“Lha, kamu bandingin Bangkutaman sama siapa?” tanya saya lagi, berusaha mengejar Ayos yang sudah terpojok.

Lantas pria penuh lemak ini mengetikkan suatu nama di layar YM kami: STONE ROSES.

UASUUUU! Jangkrik! Si Ayos kurang ajar bener. Membandingkan Bangkutaman dengan Stone Roses?! Bukannya Bangkutaman tidak bagus. Tapi membandingkan Bangkutaman dengan sang idola mereka sendiri adalah perbuatan pamali, dan tidak sopan. Rawan difatwa haram oleh MUI (Majelis mUsik Indonesia). Saya pikir akan lebih adil kalau membandingkan Bangkutaman dengan Pure Saturday.

Lantas saya mengeluarkan jurus pamungkas saya.

“Asu koen. Yo wis, gelem gak Risky Summerbee tak bandingno karo Pink Floyd? (Anjing. Ya sudah, mau gak kalau Risky Summerbee aku bandingkan dengan Pink Floyd?)” kata saya jumawa. Saya tahu Ayos tak akan bisa menjawab apa-apa lagi.

“Hehehehe” itulah kata-kata penyerahan dirinya.

Kalau terpaksa memberikan rating, saya memberikan 3,5 bintang dari 5 bintang. Mengenai bintang yang kebanyakan itu saya sepakat dengan Ayos. 4 bintang seperti yang diberikan oleh Soleh sepertinya terlalu banyak. Selain faktor repetisi, untuk sebuah band yang berusaha memasukkan unsur psychedelic dan blues, Bangkutaman kurang mengeksplor bebunyian ala psychedelic dan blues.

Tapi tetap, Bangkutaman telah dengan semena-mena membuat saya jatuh cinta. Bahkan Pure Saturday tak bisa membuat saya jatuh cinta. Bangkutaman dengan cerdas dan bijaksana memasukkan banyak unsur baru dalam musik mereka. Mulai dari harmonika, slide guitar ala Delta Blues, synth ala psychedelic hingga harmonisasi vokal ala the Beatles. Karena album ini, saya percaya bahwa pendewasaan itu bisa terjadi pada sebuah grup musik.

Bangkutaman telah membuktikannya pada saya melalui Ode Buat Kota []


Jember, 3 September 2010

Kepala pening karena gak bisa tidur

Hidung tersumbat karena pilek

Tapi telinga terhibur karena Ode Buat Kota


Ke Jogja Ku Kan Kembali (Part 1)


Tanggal 29/8, saya merencanakan untuk pergi ke Yogya. Tanggal 30/8, Ekspresi, UKM Pers Universitas Negeri Yogyakarta akan mengadakan launching majalah mereka yang terbaru dengan tema besar Bias Pandang Parkir

Pagi itu saya berangkat dari Surabaya. Sejak tanggal 27/8 saya sudah berada di kota Dolly ini. Dari kota ini saya berangkat menuju Yogya dengan menggunakan Logawa, kereta api kelas ekonomi kebanggaan kaum proletar, hehehe. Saya sendiri ditemani Arman Dhani, salah satu dari sedikit populasi badak bercula kriting yang super langka.

Sampai di Yogya sore hari, saya dan Dhani dijemput oleh 2 orang perempuan Ekspresi, Prima dan Nisrina. Beberapa menit kemudian saya sudah sampai di sekretariat Ekspresi yang terletak di Student Center UNY. Setelah basa-basi sejenak dengan seluruh penghuninya, saya dan badak bercula kribo pergi ke kontrakan Yandri, salah seorang alumni Ekspresi.

Di kontrakan yang seperti kapal terkena badai ini lah, saya dan Dhani akan meneguhkan hati untuk menginap disini. Semoga kami kuat.

Malam harinya, Cahyo, alumni Ekspresi yang berbibir lebar dan berbacot besar, datang ke kontrakan. Turut bersamannya adalah si Panjul, pria yang sekarang doyan meniru ucapan "Rupamu cuk!" yang sering saya lontarkan.

Kami menghabiskan malam dengan nongkrong di depan Monumen Perjuangan di Malioboro. Sekedar berfoto ala boysband dan menggoda para perempuan yang menghentikan motor karena lampu merah. Setelah puas menggoda para perempuan (dan tak ada satupun dari mereka yang tertarik pada kami) maka kami langsung meluncur ke angkringan Kopi Jos Lek Man yang sudah tersohor dimana-mana.


Saya seperti biasa, memesan Es Tape. Es Tape ini adalah campuran dari tape ketan, gula, air, dan juga es batu. Rasanya pun sederhana namun lezat. Perpaduan antara asam dari tape ketan dan manisnya gula serta segarnya air es.



Kopi Jos sendiri adalah minuman yang paling populer disini. Kopi Jos ini adalah kopi panas yang dicemplungi arang yang masih menyala. Ketika arang membara dicemplungkan, terdengar bunyi "jossss" yang mendesis. Karena itulah kopi ini disebut dengan kopi jos. Selain kopi jos, cicipi juga Es Susu Kopi yang menyegarkan itu. Kenapa saya menyebut Es Susu Kopi, bukan Es Kopi Susu? Karena Es Susu Kopi ini lebih dominan unsur susu ketimbang kopinya.


Kalau mampir disini, jangan lupa rasakan juga berbagai penganan kecil seperti nasi kucing, sate kulit, sate kikil, sate usus, sate telur puyuh, ceker dan kepala ayam, sate rempelo hati, hingga jaddah (penganan yang terbuat dari ketan). Kalau ingin penganan itu dihangatkan lagi, silahkan bilang saja pada penjualnya. Ia akan membakar lagi penganan yang anda pilih.

Di trotoar sebelah utara Stasiun Tugu ini ada beberapa angkringan yang menjual makanan dan minuman yang sama. Rasa dan harganya juga sama. Harganya dijamin tak akan mencekik anda.

Segelas kopi jos cuma Rp. 2000. Begitu pula Es Tape. Makanannya berkisar antara Rp. 500 - Rp. 2000 saja.

Setelah puas nongkrong di Lek Man, kami pun pulang dengan riang gembira. Ketika hampir sampai di kontrakan, ada 2 ekor kucing kecil yang entah datang dari mana, mengikuti motor kami dengan berlari kecil. Karena kami semua adalah pecinta binatang, maka 2 ekor kucing itu kami bawa. Kucing yang berwarna coklat kami namai Robi. Sedang satunya masih dalam perdebatan, antara Anto, Lisa, Emma Goldman, hingga saya yang memilih memberinya nama Joan.

Belum 1 hari kucing itu ada di kontrakan, mereka sudah dijadikan objek eksploitasi.

Rusli, pria asli Situbondo yang berbadan tambun, selalu tidur dengan sarung dan tanpa memakai baju. Ia juga sering mengigau. Gara-gara itulah, kami sepakat mengerjai Rusli.

Panjul dengan gila menyibak sarung yang dipakai Rusli, lalu memasukkan Robi ke dalamnya, lantas sarung ditutup lagi, sehingga Robi tak bisa keluar. Robi yang kebingungan karena tak ada jalan keluar, lantas melihat "teri" yang menggantung. Jadilah naluri Robi bermain. Kucing kelaparan ini lantas menggigit "teri" yang ternyata milik Rusli. Jadilah Rusli terlonjak kaget dan memaki-maki.

"Jancuk! opo iki cuk! kok nyokot manukku?! (Jancuk! apa ini cuk! kok menggigit burungku?!" teriak Rusli yang belum sepenuhnya sadar dari tidurnya. Ternyata Rusli tak memakai celana dalam malam itu, hahaha. Kami semua dengan sadisnya tertawa begitu bahagia, hahahaha.

Robi oh Robi, betapa mengenaskannya nasibmu dipungut oleh manusia-manusia keji macam kami.

***

Sore harinya, saya mendapat sms kejutan dari Arys, adik angkatan saya di Tegalboto yang sekarang apes karena menjabat sebagai Pemimpin Redaksi kami. Ia datang tiba-tiba di Jogja, meminta saya untuk menjemputnya di stasiun Lempuyangan. Saya sempat mengira ia akan memberikan kejutan kepada seorang teman perempuannya di Ekspresi. Ternyata saya salah. Ia datang karena membuat janji dengan Puthut EA, sang penulis favoritnya yang berdomisili di Yogya.

acara launching majalah Ekspresi dimulai tepat jam 19.30 malam. Acara yang diadakan di Kedai Kopi Nusantara ini begitu meriah. Yang hadir pun beragam. Ada beberapa teman dari berbagai UKM Pers dari luar kota datang. Lalu ada beberapa tamu dari UKM lain. Saya sendiri bertemu banyak teman lama dari luar kota. Saya juga berkenalan dengan beberapa teman baru. Acara ini juga menghadirkan banyak hiburan, dari musik akustik, teater, hingga pantomim. Sayang acara ini terganggu dengan turunnya hujan --yang entah kenapa langsung membuat saya jadi melankolis, hahaha.

Acara berakhir dengan bahagia sekitar jam 11 malam. Setelah beres-beres, saya dan beberapa orang teman pergi ke burjo di dekat Universitas Sanata Dharma. Kami menghabiskan malam dengan bercanda seperti manusia barbar dan tidak mengenal peradaban, hahaha. Setelah sahur, kami pun kembali ke kontrakan dengan hati tentram.

Sesampainya di kontrakan, kami tak bisa terlelap. Maka kami membacot mengenai apa saja. Mulai dari musik, film, seks, teks, perempuan, Rusli yang sering mengigau, dan apapun yang terlontar dari mulut kami yang seperti tak akan pernah berbusa kalau membacot.

Satu persatu dari kami berguguran dan pergi menghadap mimpi. Tinggal saya yang masih terjaga hingga jam 8. Ketika ingin tidur, Rusli yang baru bangun tiba-tiba mendatangi saya dan mengajak ngobrol. Ya sudah, kami ngobrol. Beberapa menit kemudian, Rusli berangkat kerja, saya pun berusaha tidur.

Sukses, saya tertidur. Saya terbangun ketika ada sesuatu yang panas menerpa muka saya. Sial, apa saya sudah mati dan dibakar di neraka? Ternyata itu adalah sinar matahari yang melewati jendela dan menyinari muka saya. Ah, pasti sudah siang pikir saya.

Ternyata baru pukul 9.17 pagi. Jancuk! Saya memaki keras. Saya hanya berhasil tidur 47 menit saja.

Karena tak bisa tidur, saya mengambil handphone Dhani, lantas menuju menu phonebook, memencet huruf L, kemudian I, S, I, maka muncul sebuah nama. Saya mencatat nomer itu, dan saya mengiriminya sms.

Antar aku jalan-jalan.

Kurang lebih itu sms yang saya kirim pada nomer yang aku ambil dari handphone Dhani ketika ia tertidur.

Beberapa menit kemudian muncul balasan.

Oke, hayuk jalan-jalan.

Maka saya mandi, mengemasi kamera, dompet, STNK, mengambil helm, lantas berangkat menuju tempat teman baru saya...

Bersambung...


Jember, 3 September 2010
Sembari mendengarkan Adzan subuh

September Ceria


Tanpa terasa, bulan September sudah datang, beriringan dengan hujan yang seakan tak tahu bahwa ia membawa melankolia. Apa yang akan anda lakukan di bulan September? Apa yang ada di agenda bulan September? Kegiatan apa yang sepertinya akan menyita banyak waktu anda?

Saya sih sepertinya harus memulai skripsi yang tersendat cukup lama karena alasan klasik: malas. Kalau memang saya mengejar lulus bulan November, maka saya harus mulai menyelesaikan skripsi itu. Bab 1 dan bab 4 sih sudah selesai dari beberapa semester lalu, saya hanya tinggal berkeras hati untuk menyelesaikan sisanya. Doakan saya!

Lalu album musik apa yang sekiranya akan menjadi yang terbaik tahun 2010? Akhir tahun memang masih cukup lama, tapi saya sudah mengira-ngira beberapa calon album terbaik tahun ini. Salah satunya adalah Ode Buat Kota dari band veteran Bangkutaman. Meskipun saya kurang menggemari musik britpop, tapi Ode Buat Kota ini bukan sekedar album musik yang terpengaruh brit. Musik di album ini begitu kaya –mengutip istilah yang diberikan mas Philips. Setelah mendengar Ode, saya resmi menisbatkan diri sebagai fans baru Bangkutaman. Anyway, Acum, syal yang kamu pakai itu beli di Lombok ya? Saya juga punya syal yang sama, hehehe.

Selain itu saya juga dengan sabar menanti LP dari band pop Surabaya, Greats. Kabarnya album ini akan selesai di akhir tahun. Lalu ada juga EP dari Silampukau, duo folk yang juga berasal dari Surabaya. Kalau dua album itu berhasil diluncurkan tahun ini, saya kira itu adalah gong bahwa musik Surabaya berhasil kembali menggeliat setelah era Vox berlalu. Kita tunggu saja 

Saya juga masih tetap menyimpan sebuah mimpi lama. Sampai sekarang saya menabung rupiah demi rupiah buat bisa mengelilingi Sulawesi dengan motor CB. Salahkan Ernesto Guevara dan Alberto Granado yang membuat saya terobsesi melakukan perjalan dengan menggunakan motor :p Tapi saldo saya rupanya masih saja seperti kura-kura yang jalannya lambat. Jadi pembelian motor CB dan budget buat meransel itu harus diusahakan pelan-pelan.

Ngomong-ngomong, anda setuju kalau kita perang dengan Malaysia? Kapan hari saya membaca status facebook milik seorang teman. Ia berkata “Lebih baik mati ketika perang dengan Malaysia,ketimbang jadi mahasiswa angkatan luama.” Saya tahu konteks status itu hanyalah becandaan, dan saya tidak ngeri dengan itu, malah tertawa kecil.

Tapi saya ngeri melihat orang-orang yang demo meminta pemerintah agar kita berperang dengan Malaysia. Mana mereka pakai kata-kata nasionalis(me) segala buat melambangkan sikap mereka yang agresif (atau barbar?). Saya ngeri karena nasionalisme dijadikan alasan buat melakukan hal yang teramat bodoh (atau idiot?). Meskipun perang adalah salah satu bentuk diplomasi, saya tak pernah setuju dengan perang. Tegas sih wajib, tapi perang itu adalah opsi terakhir. Dan buat saya, perang melawan Malaysia bukanlah suatu tolak ukur untuk nasionalisme. Daripada perang untuk menunjukkan nasionalisme (atau barbarisme?), lebih baik kita jalan-jalan keliling Indonesia, lalu mengabarkan pada dunia bahwa Indonesia lebih indah daripada Malaysia. Itu adalah bentuk nasionalisme yang lebih baik

Beberapa hari lalu, saya pergi ke Jogja. Di kota itu saya berkenalan dengan seorang teman baru. Ternyata, teman perempuan baru saya itu suka jalan-jalan. Ia baru saja pulang ke Indonesia setelah menjadi “TKW” di Belanda selama 1 tahun. Selama rentang waktu itu ia sempat berkeliling ke beberapa negara. Mulai dari menyaksikan eksotisnya Polandia, keindahan Ceko, hingga magisnya rumah Franz Kafka. Setelah saya rayu, ia setuju untuk me-repost tulisannya buat blog ini. Tentu saja hal ini adalah suatu kehormatan. Mari tunggu saja cerita dari perempuan penggemar Janis Joplin ini.

Akhir pekan nanti (5/9), saya dan beberapa orang teman punya gawe besar. Kami akan mengadakan buka puasa bersama teman-teman SMA seangkatan. Awalnya, buka bersama ini hanya untuk teman-teman dekat saja. Namun ide kecil ini berkembang jadi ide yang lebih besar. Ada banyak teman yang usul agar kami mengadakan buka bersama sekaligus reuni. Kebetulan, sudah 5 tahun berlalu semenjak kami lulus SMA. Kami kangen juga dengan teman-teman lain. Akhirnya diputuskan bahwa buka bersama ini sekalian ajang reuni 5 tahun para murid SMA 1 Arjasa angkatan 2005. Jadi tidak sabar menunggu tanggal 5 September 

Berbicara mengenai pekerjaan, saya masih punya utang pada Ayos Purwoaji, sang bos hifatlobrain yang termahsyur itu. Saya rupa-rupanya punya hutang 3 tulisan pada pria penuh lemak itu. Yang pertama adalah tulisan tentang kopi luwak. Saya masih belum selesai merevisi tulisan saya yang busuknya minta ampun itu. Ayos berkali-kali menagih, dan berkali-kali pula saya lupa. Lalu tulisan kedua, saya diminta untuk menulis tentang ecotourism buat hifatlobrain yang penuh lemak tak jenuh itu. Tapi saya masih belum mulai menulisnya. Ide pun tak ada. Lalu tulisan ketiga adalah tulisan mengenai mall untuk proyek e-book terbarunya. Beberapa orang yang ikut proyek ini sudah mengumpulkan tulisannya sejak beberapa waktu lalu. Hanya saya (dan Putri?) yang belum menyelesaikannya. Sepertinya besok saya harus mulai rajin ke mall untuk observasi, sekalian adu otot dengan ibu-ibu yang kalap belanja menjelang lebaran.

Oh ya, ngomong-ngomong tentang lebaran, apa anda sudah bersiap untuk mudik? Anda mudik kemana tahun ini? Apa moda transportasi favorit anda? Lagu apa yang menurut anda enak untuk didengarkan dalam perjalanan? Apa buku yang enak menjadi teman mudik?

Berbicara tentang mudik atau pulang, Jakartabeat.net akan menampilkan tulisan-tulisan dari para kontributor mengenai segala hal tentang bulan ramadan, lebaran, mudik, atau pulang. Hal itu bisa berupa 5 lagu yang mengingatkan kampung halaman, atau 5 lagu yang mengingatkan rumah, bisa juga 5 buku yang enak dibaca ketika mudik, atau bahkan 5 lagu rohani terbaik. Silahkan pantau saja situs www.jakartabeat.net untuk mengetahui segala pernak-pernik baru mengenai lebaran.

Lebaran sekarang tidak lagi melulu soal pakaian baru 

Selain tulisan pembuka ini, bulan September akan saya tandai dengan tulisan pendek mengenai perjalanan saya ke Yogya beberapa hari lalu. Untuk kali ini, saya terpaksa memotong tulisan jadi beberapa bagian. Karena kemarin beberapa bagian dari tulisan ini hilang karena virus, dan saya sedang tidak mood untuk menuliskannya kembali. Jadi bagian yang tidak terhapus akan saya upload dulu, baru nanti saya akan mengunggah bagian kedua, alias bagian yang kehapus itu. Sebelumnya semoga saya masih mood untuk menuliskan kembali bagian yang hilang itu, hehehe.

Akhirul kalam, mari kita sambut bulan September dengan ceria. Jangan lupa selalu bersyukur bahwa kita masih hidup. Jangan lupa bersenang-senang untuk merayakan hidup, karena hidup adalah perayaan. Dan jangan lupa bersyukur karena kita masih bisa hidup dan bersenang-senang…