Kamis, 29 Januari 2015

Rumah di Jalan Kapuas



Ingatan saya tentang rumah ini lamat-lamat.

Diseruduk bebek. Ayam dengan leher terpotong, menggelepar. Pohon kedondong berukuran raksasa, dengan ratusan buah yang menjuntai. Sebuah mobil tua yang ditumbuhi semak belukar, teronggok di pojokan. Sendirian. Kesepian. Lalu dari dapur, harum masakan selalu menguar. Meski tak selalu hangat, masakan itu selalu enak.

Saya nyaris tak bisa menahan rententan kenangan saat melihat dua buah rumah di sepetak tanah, di Jalan Kapuas, Lumajang. Itu rumah kakek-nenek dari pihak ayah, yang sudah ditinggalkan belasan tahun lalu.

Rumah ini bukan sekedar rumah. Ia adalah tapak kenangan yang panjang. Sudah ada sejak ayah baru lahir, hingga akhirnya harus ditinggalkan karena Mbah Co tertipu oleh partner bisnis.

Ada dua rumah di lahan ini. Satu rumah panjang yang digunakan sebagai rumah induk, satu lagi rumah yang selalu dikontrakkan. 

Saya lupa ada berapa kamar di rumah induk. Sebentar, coba saya ingat-ingat dulu. Kalau tak salah empat kamar, dengan tiga tempat tidur tambahan: di samping ruang tamu, dekat perpustakaan, dan di depan televisi.

Ruangan yang paling menyenangkan waktu saya masih kecil tentu adalah perpustakaan. Mbah Co mantan guru Bahasa Inggris. Koleksi bukunya banyak. Mulai novel, hingga pelajaran Bahasa Inggris. Anak-anaknya suka membaca apa saja. Mulai buku sejarah, roman, hingga komik.


Mbah Co-Ayah-Mbah Ti-Om Asang-Om Momon-Om Subur


Saya coba mengingat apa saja komik yang saya baca dengan mata berbinar. Ini komik lama. Bentuknya persegi panjang. Mbah Co dengan rajin selalu membundel kumpulan komik ini agar tak tercecer. Yang paling melekat di ingatan adalah komik Barbarossa, Si Janggut Merah terbitan Indira.

Setelahnya, saya ingat betul komik Storm dan Trigan. Dari dua komik yang digambar oleh seniman yang sama, Storm yang paling lebih berkesan. Grafisnya yang menampilkan mahluk luar angkasa yang kejam dan bermuka buruk, kota futuristik, gadis seksi berpakaian minim, hingga tokoh jagoan berbadan kekar dan liat, begitu melekat di benak saya waktu kecil.

Edisi Storm yang paling saya ingat adalah edisi dengan sampul muka Storm yang menggendong teman perempuannya, dengan mata dibalut kain. Apa sebab? Soalnya ia berjalan melewati gurun, yang saking panasnya, bisa membuat mata buta. Wuih, terdengar sangat apokaliptik dan keren sekali ya?

Saya suka membaca komik-komik itu di beranda depan rumah. Asri. Banyak pohon. Ada bougenvile dan beberapa tanaman rambat lain. Lalu ada papan dart yang dijadikan sarana terapi bagi Mbah Co yang terkena stroke.

Di kamar mandi, Mbah Co memelihara sepasang ikan mas. Katanya buat makan jentik nyamuk. Mbah Ti pandai memasak. Menu andalannya adalah ayam bakar. Bumbunya resep turun temurun. Diwariskan ke menantunya, mamak saya.

Sampai sekarang, sepertinya belum ada bumbu ayam bakar seenak warisan Mbah Ti ini.

Tempat kesukaan Mbah Ti adalah di bawah pohon anggur, di depan pintu samping rumah induk. Biasanya ia duduk di sana sembari membakar ayam.

Mbah Co dan Mbah Ti tidak tinggal berdua saja. Ada adik Mbah Ti yang lantas jadi salah satu orang yang paling berkesan di hidup saya: Mbah Dam.

***


Yang pegang gitar itu om Momon. Di depannya, melambaikan tangan, itu Om Ammar.
Di belakang yang sedang makan itu Om Subur.
Di depannya, dia lah Mbah Adam. 

Namanya Adam. Saya tak pernah menanyakan nama lengkapnya. Namun beberapa orang keponakannya memanggilnya Johnny Adam.

Sewaktu kecil, saya menganggapnya sebagai orang tua yang aneh. Ia tak ceriwis. Lebih suka bicara seperlunya. Ia kerap mendesis, "aaahhhh", dengan mimik muka yang lucu. Namun kalau sedang bercerita, ia macam Gabriel Garcia Marquez yang mendongengkan dongeng-dongeng dari antah berantah.

Ajaib. Mencengangkan. Nyaris sukar dipercaya. Beberapa kisah daur ulang yang ia ceritakan pun bertambah tingkat keajaibannya. Saya ceritakan kapan-kapan saja.

Mbah Dam punya pekerjaan yang menuntut komitmen, daya tahan tinggi, dan kecepatan tangan yang tak terperi: tukang jagal ayam. Namanya sudah masyhur seantero Lumajang. Wajar, Ia sudah melakukan pekerjaan itu selama puluhan tahun. Pisau jagal sudah seperti tangan kanannya sendiri. 

Saya selalu penasaran melihat caranya menyembelih ayam. Pernah saya melihatnya sekali. Ia mengambil satu ayam dengan santai. Lalu menoleh ke saya yang mengintip dari belakang.

"Jangan dekat-dekat, nanti kamu kecipratan darah ayam," ujarnya setiap saya mendekat padanya karena penasaran caranya menggorok leher ayam.

Beberapa detik kemudian, Mbah Dam membetot leher ayam dengan dingin, lalu sreetttt. Dengan kecepatan nyaris tak terkejar oleh mata, pisau melayang. Tahu-tahu ayam naas tadi sudah menggelepar dengan leher tersayat. Darah muncrat dengan liar.

Gore!

Tapi belakangan saya tahu kalau ia adalah adik kandung Mbah Ti. Sejak saat itu, saya tak lagi memandangnya dengan aneh. Ia sedarah dengan saya. Apalagi Mbah Dam punya beberapa sifat dan perilaku yang saya sukai.

Yang pertama, ia tak pernah menikah sampai akhir hayat. Ini sedikit aneh, tapi sekaligus keren, bagi saya yang mengenalnya sedari kecil. Ia tahan kesepian. Misalkan butuh pelampiasan biologis, ia masih punya tangan kanan yang bisa bergerak secepat peluru itu. Sayang, saya dulu belum punya keinginan untuk berdiskusi soal esek-esek dengannya. Pasti seru kalau itu terjadi.

Menjelang akhir hidupnya, ia --yang tinggal di rumah ayah dan mamak-- meminta menikah. Perempuan yang ingin ia nikahi adalah Yus, asisten rumah tangga di rumah saya. Yus janda beranak satu. Mamak tak keberatan dengan ide Mbah Adam. Tapi Yus sepertinya agak bingung menyikapinya. Akhirnya, mereka tak jadi menikah.

Kedua, Mbah Adam jago sekali main dam-daman, catur Jawa. Saya tak pernah menang melawannya. Bahkan saya yakin, kalau dam-daman dijadikan cabang olahraga seperti catur, hanya beberapa orang saja yang bisa menandinginya.

Gerakannya taktis. Lincah. Ia seperti bisa menerka ke mana saya akan menggerakkan bidak. Kala menyerang, wah seperti air bah. Nyaris tak bisa dibendung.

"Mbah Dam kok jago maen dam-daman? Ojo-ojo jenenge Mbah Dam iki polae jago maen dam-daman?"

Tapi ia tak menjawab. Hanya menggumam pelan. "Hmmmmm."

Dengan ketenangan setingkat pertapa dan perhitungan matang laiknya Gary Kasparov, ia mengambil bidaknya. Lalu, sret, sret, sret, sret, empat bidak saya dimakannya dalam satu gerakan.

Bajingan.

"Aaahhhhh," ia mengeluarkan desahan yang menggelikan melihat saya bermuka heran melihat biduk-biduk saya disantap dengan mudah. 

Ketiga, Mbah Dam suka sekali membagi permen. Cara memberinya unik: dilempar ke pangkuan. Ia selalu punya sekantong persediaan permen beraneka ragam. Mulai rasa susu, strawberry, hingga yang pedas. Karena itu, Mbah Dam selalu jadi favorit para keponakan dan cucunya. Ia juga punya sifat sama dengan Mbah Ti: tak pernah marah. Senakal apapun keponakan dan cucunya.


Mbah Adam dan Ryo, Ryan, Edo, cucu Mbah Adam dari Tante Arie

Keempat, Mbah Dam jago meramal angka toto gelap, alias togel. Saya tak sedang membual. Entah dari mana ia mendapatkan bakatnya itu. Kalau sedang menghitung angka togel, ia serupa dengan Raymond, pria autis yang bisa menghitung kartu dalam film Rain Man.

Ia pernah menghitungkan angka togel untuk beberapa handai taulan. Dan dengan bangga, mereka bilang menang. Hasilnya dibelikan televisi maupun perabotan rumah tangga lain. Mbah Dam dapat persenan lumayan.

Kemahirannya ini ditaklimatkan pada keponakan tersayangnya, sekaligus anak bungsu Mbah Co: Om Ammar. Ini sekaligus ironis, karena bakat yang menghidupi ini hanya bertahan pada Om Ammar saja, tidak kepada keponakan atau cucunya yang lain.

Suatu malam, saat sedang menginap di kamar Om Ammar, yang dipenuhi dengan poster Skid Row dan The Outsider, saya menyaksikan Om Ammar dengan khusyuk menjejer deretan angka. Lalu ia mencorat-coretnya. Saya tak paham ia sedang apa.

"Opo iku om?"

"Koen wis tahu ndelok film The Outsider? Wah iku apik, bla bla bla."

Om Ammar selalu mengalihkan pembicaraan setiap saya bertanya apa yang ia lakukan. Di kasur sebelah, Mbah Dam bertelanjang dada, mengipaskan lembaran karton yang menguarkan aroma asap hasil panggangan ayam. Ia tampak seperti guru yang sedang menanti muridnya belajar.

Kudus sekali.

***




Di samping rumah induk, ada satu rumah yang khusus disewakan. Saya tak ingat siapa saja pengontraknya. Saya beberapa kali difoto di sana. Bareng ayah, lain kali digendong Mbah Co.

Beranda depan rumah kontrakan ini adalah tempat saya mengadu kemampuan dam-daman melawan GM Adam. Dan saya selalu kalah, telak.

"Di sana itu Ikranegara pernah numpang tidur," kata Om Asang, anak kedua Mbah Co.

Dulu sewaktu SMP saya tak tahu siapa itu Ikranegara. Belakangan saya tahu beliau adalah pemain teater kelas Paus, pun aktor terkenal. Saya belum pernah bertemu dengannya. Kalau kapan-kapan kesempatan itu datang, saya ingin bertanya benarkah ia pernah menumpang di rumah Mbah Co.

Rumah yang disewakan ini pula yang masih tegak berdiri, masih tampak terawat. Bersih. Gedung di sampingnya kontras: sudah tinggal puing.

***

Mbah Co punya kebiasaan buruk: terlalu gampang percaya dengan orang.

Levelnya sudah tak tertolong. Bayangkan, ia dengan mudah meminjamkan sertifikat rumah ke seorang sahabatnya. Iya, sertifikat rumah Lumajang itu. Si sahabat brengsek ini lantas menjaminkan sertifikat tanah dan rumah ini ke bank untuk pinjaman. Seperti bisa ditebak, ia tak pernah membayar cicilannya.

Rumah Mbah Co akhirnya harus dilelang karena Mbah Co tak bisa membayar hutang bank. Sebelum dilelang, bank menawarkan terlebih dulu pada Mbah Co untuk menebus rumah itu.

"Waktu itu tahun 1987, rumah dan tanah itu harganya 6 juta. Itu banyak banget. Mamak dan ayah baru nikah, tak punya uang. Ya mana bisa nebus," kata Mamak suatu ketika.

Seorang pengusaha akhirnya membeli tanah itu. Ia berjanji akan memberikan pesangon sebesar Rp 10 juta sewaktu Mbah Co meninggalkan rumah. Tapi hingga pindah, dan meninggal, pesangon itu tak pernah datang.

Mbah Co dan Mbah Ti terusir dari rumah yang ditinggalinya sejak tahun 50-an.

Selanjutnya Mbah Co dan Mbah Ti dikontrakan rumah di Jember. Mbah Adam tak mau ikut. Ia masih berkarir sebagai tukang jagal ayam di beberapa kenalannya. Sesekali ia datang ke Jember menengok Mbah Co dan Mbah Ti.

Saya lupa tahun berapa, akhirnya Mbah Co dan Mbah Ti mau pindah ke rumah ayah dan mamak. Akhirnya, Mbah Adam pun mau menyusul tinggal di rumah. Rumah kami semakin ramai dan menyenangkan tiap harinya.

Mengingat masa itu, saya sedikit menyesal. Kala itu, saya sedang remaja yang sedang gemar bermain di luar rumah. Saya merasa kurang menghabiskan waktu dengan Mbah Co, Mbah Ti, atau Mbah Dam.

Saya merasa hubungan kami sudah tak seakrab sewaktu saya masih kecil dan takjub dengan segala cerita ajaib Mbah Co atau Mbah Adam, dan nyaman dengan kasih sayang Mbah Ti.

Tapi di satu sisi, saya merasa beruntung karena tiadanya jarak antara saya dan kakek nenek itu. Kami bertemu setiap hari, makan masakan yang sama tiap hari, kadang kala berseteru gara-gara hal kecil tiap hari.

Satu hal yang paling saya ingat dari masa tinggal Mbah Co, Mbah Ti, dan Mbah Adam di rumah ayah dan mamak, adalah betapa besar keinginan belajar Mbah Co. Ia masih rajin membaca atau mengisi teka-teki silang di harian Kompas atau Jawa Pos.

Senjatanya adalah buku-buku tebal. Mulai Kamus Besar Bahasa Indonesia, kamus Inggris terbitan Oxford, hingga Ensiklopedia lengkap.

Ia berkali-kali menang. Hadiahnya mulai Rp 150 ribu hingga yang lumayan besar di edisi ulang tahun. Kalau menang, saya dikasih persenan. Ini karena saya yang rutin mengirimkan kartu pos.

Kebiasaan Mbah Co untuk mengisi teka teki silang juga menurun pada ayah. Saat ayah juga terkena stroke, ia semakin rajin membuka kamus atau ensiklopedi untuk mendapat jawaban. Bedanya dengan Mbah Co, ayah selalu meminta tolong saya atau Orin untuk menuliskan jawaban di selembar kartu pos.

Mbah Co juga semakin rajin belajar bahasa. Suatu hari datang seorang bapak, dengan dandanan rapi, mencari Mbah Co. Mamak sempat pikir ia adalah sales. Ternyata bapak itu adalah guru Bahasa Arab yang dihubungi Mbah Co.

Hari itu, saya melihat Mbah Co belajar Bahasa Arab dengan tekun. Sang guru menulis di sabak, Mbah Co menyalin di buku. Tangan kanannya menulis dengan perlahan, sesekali berkedut. Stroke yang ia derita tak pernah benar-benar sembuh.

***


Atas, Kiri-kanan: Om Momon-Ayah-Om Subur-Om Asang
Bawah: Om Ammar
Di depan kandang ayam di belakang rumah.

Beberapa hari lalu saya dan Rani pulang ke Lumajang. Pakde saya meninggal dunia. Beliau sudah saya anggap sebagai ayah saya sendiri. Bahkan menjadi wali saat saya menikah tahun lalu.

Saya menyempatkan diri untuk mampir ke rumah Mbah Co dan Mbah Ti. Jalan Kapuas nyaris tak ada yang berubah. Gapura yang kokoh. Cat yang sudah mengelupas. Plang Jl. Kapuas sudah jadi plang modern yang berwarna hijau. Dulu warnanya kuning, dengan warna huruf hitam.

Saya tercekat melihat lahan kosong yang terhampar itu. Ada pagar seng yang menutupi bagian depan lahan ini. Rumah induk sudah tinggal puing, dengan lumut memamah tembok. Beranda depan tempat saya membaca buku dengan takzim juga sudah jadi sarang nyamuk.




Di sebelahnya, rumah kontrakan masih berdiri dengan gagah. Bersih. Tak ada yang berubah. Tidak pula atap. Tak pula tiang. Atau pun lantai tempat saya dengan petentang petenteng mengatur batu sebagai pion catur, lalu tersungkur kalah oleh Mbah Adam yang tampak nggelendam-nggelendem tapi jago sekali.

Bedanya dengan dulu: sekarang tak ada lagi tanda kehidupan di rumah ini.

Saya merentangkan leher. Melongok ke bagian belakang rumah. Pohon kedondong raksasa yang dipasangi tali dan kayu untuk ayunan itu sepertinya masih berdiri.

Tempat Mbah Adam menjagal ayam pasti sudah dirambati perdu dan belukar. Di dekat sana pula, akhirnya saya terciprat darah ayam, dan muncul benjolan berwarna putih. Di sana pula saya pernah nangis karena diseruduk bebek peliharaan Mbah Co, lalu ditenangkan oleh Mbah Ti.

Aduh, perempuan anggun itu...

Saya mendegut ludah. Ini kedatangan saya pertama kali ke rumah ini setelah belasan tahun Mbah Co dan Mbah Ti terusir. Pantas Om Momon, anak ketiga Mbah Co dan Mbah Ti, tak pernah mau melihat rumah ini lagi, selamanya. Pahitnya bakal mencekik.

Saya meminta tolong Rani memotretkan rumah dan lahan yang dulu pernah dihuni oleh sepasang suami istri, lima orang anak lelaki badung, dan satu lelaki tua sonder istri yang lihai menghitung angka togel dan mengatur bidak catur Jawa.

"Buat apa?"

"Aku mau nulis tentang rumah ini." []

Jumat, 23 Januari 2015

Pelindung Datuk-Datuk Terakhir



"Namanya Mul," kata Rahmad Wahyudi memulai ceritanya.

Berdasarkan cerita masyarakat di sekitar Taman Nasional Bukit Tiga Puluh, Mul berasal dari Palembang. Kerjanya masuk dan keluar hutan mencari burung langka. Terutama Murai. Sekali masuk, ia bisa berminggu-minggu tinggal dalam hutan. Kalau perbekalan habis, atau butuh sesuatu, Mul akan turun di desa terdekat untuk belanja.

Menurut Rahmad, Mul dikenal sebagai pemburu Murai hutan. Tiap ekor yang ditangkap, Mul mendapat Rp 1 juta. Biasanya, saat keluar hutan, Mul membawa hingga 10 ekor murai hutan. Dulu, banyak penangkap murai tak mau menangkap murai betina. Alasannya: murai betina akan bertelur dan menghasilkan murai baru. Sekarang, karena semakin banyaknya permintaan, murai betina pun turut ditangkap.

"Gara-gara itu, sekarang tiap saya masuk hutan, sudah jarang ada suara Murai. Dulu kan nyaring banget," kata Rahmad gemas.

Suatu hari, Rahmad mendapat laporan dari warga sebuah desa. Mul sedang singgah di desanya. Rahmad pun buru-buru pergi ke desa yang dimaksud. " Tapi pas saya sampai, dia sudah hilang," kata Rahmad yang merupakan pimpinan Yayasan Penyelamatan dan Konservasi Harimau Sumatera (PKHS).

Mul menghilang dengan cepat. Namun Mul selalu meninggalkan jejak yang macam ejekan kepada para awak PKHS maupun polisi hutan: coretan namanya di pohon. Mul sudah lama dianggap sebagai residivis rimba.

Kelicinan Mul dan hilangnya berbagai satwa di Taman Nasional Bukit Tiga Puluh hanya beberapa cerita saja yang dialami oleh para anggota PKHS. Ia adalah lembaga nirlaba yang berfokus pada perlindungan dan konservasi harimau Sumatera. Lembaga ini resmi dibentuk pada tahun 2007. Sebenarnya lembaga ini adalah terusan dari lembaga Sumateran Tiger Project yang lantas berubah nama.

Penyandang dananya adalah Sumateran Tiger Trust yang bermarkas di Inggris. Namun sejak tahun 2012, PKHS mendapat hibah dari Tropical Forest Conservation Action Sumatera (TFCA Sumatera). Ini adalah skema pengalihan hutang untuk lingkungan antara Pemerintah Amerika Serikat dan Indonesia. Hibah ini adalah mekanisme untuk mengurangi hutang luar negeri bagi negara-negara yang punya kekayaan hutan tropis, termasuk Indonesia. PKHS dianggap sebagai salah satu lembaga yang secara konsisten melakukan restorasi dan perlindungan spesies.

Sejak mendapat tambahan dana hibah dari TFCA Sumatera, PKHS pun berlari semakin kencang. Salah satu kegiatan rutin mereka adalah pemantauan harimau sumatera dalam jangka panjang. Cara yang selama ini dipakai adalah memasang camera trap, alias kamera jebakan, di pohon untuk memantau harimau Sumatera. Kamera ini tersebar di berbagai titik.

Memasang kamera ini bukan pekerjaan mudah. Para awak PKHS harus mengetahui lebih dulu jalur yang dilewati oleh harimau.

"Tahunya ya dari tanda sekunder. Mulai jejak kaki, sampai kotoran. Lalu menentukan kordinat. Dari sana kita bisa memperkirakan jalur yang dilewati harimau," kata Rahmad.

Setelah kamera dipasang, bukan berarti masalah selesai. Kamera yang dipasang oleh PKHS adalah kamera dengan tingkat sensitivitas gerak yang tinggi. Bahkan daun yang bergerak kena angin pun bisa otomatis terekam. Karena dianggap benda aneh, banyak orang lokal yang memandangi kamera ini lama-lama.

"Mereka merokok di depan kamera. Seharian. Dan itu kamera terus merekam," kata Rachmad sembari terbahak.

"Yang paling lucu ya anak-anak dari Talang Mamak atau Anak Dalam. Mereka joget-joget di depan kamera. Tapi mereka gak pernah merusak kamera. Mereka hanya penasaran. Yang berusaha merusak itu biasanya pemburu ilegal."

Masalah klise lain adalah beratnya medan yang harus dilalui. Punggungan buki di Taman Nasional Bukit Tigapuluh memang kejam luar biasa. Ada yang menanjak nyaris 90 derajat. Lalu turun dengan tajam. Medan berat seperti ini rawan bikin rontok fisik maupun mental.

Burhan Lahai adalah salah satu awak PKHS yang pernah jalan dengan 'empat kaki'. Alias merangkak, saking tak kuat menahan lelah.

"Dulu pas awal tes, saya sangat percaya diri," kata Burhan.

Lelaki berusia 24 tahun ini memang atletis. Maklum, pemain futsal antar kecamatan. Betisnya keras dan penuh otot. Fisiknya jelas bisa diandalkan. Apalagi waktu tes fisik untuk masuk PKHS, Burhan berhasil lolos dengan gemilang. Rasa percaya diri itu bertahan. Hingga akhirnya tiba misi pertama Burhan melakukan pemeriksaan kamera.

"Aduuuh, ampun mak. Gak mau lagi mak," kata Burhan menirukan erangannya waktu pertama kali naik bukit.

"Rasanya mau berhenti langsung waktu itu."

Tapi akhirnya Burhan bisa bertahan. Sekarang mantan supir truk pengangkut sawit ini sudah terbiasa dengan medan yang kejam. Ibaratnya, jalan dua-tiga bukit belum membuatnya berkeringat.

Selain memasang, pemeriksaan kamera juga merupakan kegiatan rutin awak PKHS. Dalam pemeriksaan itu, mereka mengganti memori kamera, hingga mengecek pelindung kamera yang terbuat dari besi. 



Sekali tim PKHS masuk hutan, mereka bisa bertahan seminggu, atau lebih. Mereka membawa perbekalan sendiri. Memasak sendiri. Digigit lintah sudah biasa.

Yang membuat mereka tersiksa adalah kehabisan air. Kalau masa sulit itu datang dan sungai tak kunjung ditemukan, mereka memotong akar pohon yang mengandung air. Kalau lebih apes tak dapat akar pohon, mereka terpaksa minum air dari kubangan.

"Air itu sebenarnya bersih di permukaannya. Makanya harus pelan-pelan ngambilnya. Kalau buru-buru, wah lumpurnya kecampur sama air," kata Burhan.

Yang paling ditunggu oleh tim patroli ini adalah penghujung hari. Waktunya mereka beristirahat. Memasak, makan, lalu tidur. Tempat tidur mereka beralas tanah dan beratap terpal. Mereka memang membuat tenda sederhana berbahan terpal. Tenda ini terbuka. Kalau kena hujan air bisa tempias.

"Yang paling gak enak ya kalau hujan ditambah angin. Enak-enak tidur, hujan. Eh dikasih angin kencang. Bubar semua," kata Burhan cengar-cengir.

***

Harimau menempati posisi paling atas dalam rantai makanan di hutan. Juga, menempati posisi terhormat dalam kultur masyarakat Melayu. Suku Talang Mamak, suku asli yang masih banyak mendiami Taman Nasional Bukit Tigapuluh, menyebut harimau dengan sebutan Datuk (kakek). Mereka bahkan mengajari anak-anak dan cucu mereka: tak boleh menyebut kata "harimau". Harus "datuk".

"Kami percaya kalau harimau itu tak akan mengganggu kalau tidak diganggu," kata Ahmadsyah, Kepala Dusun Sadan.

Dusun Sadan bisa dibilang dusun terpencil. Masih dikelilingi hutan hujan yang lebat, habitat utama harimau Sumatera. Dusun ini punya 6 sub-dusun yang semuanya dipimpin oleh Ahmadsyah. Di Sadan, mayoritas penghuninya adalah suku Talang Mamak. Sisanya adalah suku Melayu Tua.

Menuju ke Sadan memerlukan usaha yang berat. Kalau dari Pekanbaru, masih harus naik kendaraan darat ke kelurahan Pematang Reba selama 5 jam. Dari sana, perjalanan berlanjut dengan kendaraan berpenggerak 4 roda (4WD) menuju desa Tolangsat. Dari sana, masih harus naik perahu kayu selama 5 jam.



"Tapi kalau orang sini ya jalan kaki mas," kata Ahmadsyah sembari tersenyum.

Jalan kaki dari Tolangsat menuju Sadan memang lebih cepat. Hanya sekitar 2 jam saja. Tapi medannya, alamak. Bisa bikin betis bengkak. Ahmadsyah sudah terbiasa jalan kaki melintasi bukit sejak kecil. Otot kakinya liat. Betisnya kekar. Jalan Ahmadsyah pun cepat dan lincah.

Karena itu, penduduk yang ia pimpin memanggilnya dengan nama Pak Kijang. Tapi Ahmadsyah buru-buru menambahkan, 2 jam itu waktu yang ditempuh oleh penduduk lokal.

"Kalau bukan orang sini, ya bisa seharian dan nginap di jalan," kata pria berkepala empat ini sembari tertawa iseng.

Suatu malam, saat sedang masuk hutan, Ahmadsyah pernah berpapasan dengan harimau dewasa. Ukurannya besar. Mata sang datuk nyalang. Namun Ahmadsyah berusaha tak gentar. Ia hanya membalikkan badan dan berjalan kembali ke arah desa. Saat menengok ke belakang, harimaunya sudah hilang.

"Ya itu tadi, asal kita gak ganggu, ya gak akan diganggu sama Datuk," kata Ahmadsyah.

Tapi pernah, satu dua kali dalam jangka waktu yang lama, harimau memangsa manusia. Itu pun, masyarakat tak mau menyalahkan harimau. Manusia yang dianggap bersalah karena memasuki habitat harimau. Atau dianggap punya dosa besar.

Ahmadsyah menceritakan soal pedagang kemenyan yang menipu penduduk desa. Pulangnya, pedagang menyan itu dimakan harimau. Atau juga kisah tentang remaja perempuan yang dimangsa harimau. Usut punya usut, selain ia melanggar aturan jam mencari kayu --yang artinya harimau sedang turun dari hutan untuk mencari mangsa--, ayah anak itu ternyata poligami sedarah, yakni mengawini dua orang perempuan sedarah. Ini adalah aib bagi masyarakat lokal.

Suatu hari di dekat dusun Sadan, ada seorang yang dimangsa harimau lalu diseret menuju bagian dalam hutan. Para penduduk desa yang berjumlah sekitar 50 orang bermaksud mengevakuasi jenasah korban. Evakuasi ini harus menempuh jarak yang normalnya ditempuh selama 8 jam. Tapi kali ini hanya ditempuh dalam 2 jam saja!

"Soalnya pada lari semua, gak ada yang mau di belakang," kata Ahmadsyah sembari tertawa lantang.

***

Suku Talang Mamak dan Melayu Tua memegang teguh prinsip bahwa harimau adalah datuk, dan hutan adalah rumah mereka bersama. Tak seharusnya saling mengganggu. Andai keyakinan serupa juga dipegang oleh para perambah hutan, pasti habitat harimau tak akan menghilang.

Saat ini laju deforestasi Indonesia semakin kencang. Berdasarkan riset dari Universitas Maryland, laju deforestasi di Indonesia merupakan yang tertinggi di dunia. Antara tahun 2000 hingga 2012, Indonesia sudah kehilangan hampir 16 juta hektar hutan. 

Di Sumatera, rusaknya hutan turut andil dalam mengurangi populasi Harimau Sumatera. Berdasarkan data yang dirilis oleh Center for International Forestry Research, populasi Harimau Sumatera turun drastis. Dari awalnya 500 ekor pada 1997, jadi 400 ekor saja pada 2007.

"Kebanyakan harimau Sumatera ada di Aceh, Riau, Jambi, dan Lampung," kata Rahmad.

Menurut penuturannya, di Taman Nasional Bukit Tigapuluh sendiri, diperkirakan ada sekitar 54 ekor harimau Sumatera yang tersisa.  Tiga ekor diantaranya masih anak-anak.

Hilangnya hutan ini membuat banyak binatang turun ke pemukiman warga untuk mencari makan. Hewan-hewan itu lantas dianggap hama. Seperti nangui, sebutan penduduk lokal untuk babi hutan berjanggut yang biasanya hidup berkelompok. Dulu, dimana ada koloni nangui, bisa dipastikan ada harimau di sekitarnya. Sekarang nangui dan spesies babi hutan lain sudah semakin sedikit karena ditumpas oleh manusia. Padahal babi hutan adalah mangsa utama harimau Sumatera.

"Di beberapa tempat yang sudah dirambah, harimau sudah kehilangan makanan. Harimau di daerah itu kurus- kurus. Saya sedih kalau melihat mereka," kata Rahmad.

Saat ini, berdasarkan pantauan dari camera trap, ada sekitar 8 ekor harimau yang menempati hutan sekunder. Alias hutan yang dekat dengan hunian manusia.

"Ini artinya, habitat mereka rusak. Sampai harus mencari makan di sekitar tempat tinggal manusia," kata Rahmad.

Karena itu, visi utama PKHS adalah konservasi harimau dengan melindungi habitat harimau. "Ya kalau melindungi suatu spesies, ya harus lindungi juga habitatnya. Wajib itu," kata Rahmad.

Menurut Rahmad, masyarakat dari suku lokal, seperti Talang Mamak atau Melayu Tua tak pernah merusak hutan. "Mereka punya tanah ulayat yang masih sangat luas."

Masyarakat adat ini sebenarnya sudah sadar konservasi sejak dulu tanpa perlu diberi penyuluhan. Menurut Rahmad, hanya para pendatang yang suka merambah hutan untuk membuat hunian atau menebang pohon secara ilegal. Dan sedikit merepotkan berbicara soal konservasi dengan para pendatang itu. Mereka biasanya tak perduli dengan konservasi.

Masalah semakin bertambah kala tak ada tapal batas yang jelas. Mana daerah konservasi, mana daerah desa. Padahal tapal batas ini sangat penting agar tak terjadi lagi konflik antara penduduk di sekitar taman nasional dengan orang balai Taman Nasional Bukit Tigapuluh.

"Ini mungkin karena taman nasional ini masih muda. Butuh bantuan. Karena itu kami jadi mitra mereka," kata Rahmad.

Selama PKHS berdiri, usaha konservasi ini termasuk lumayan berhasil. Mereka tak sekedar melindungi harimau dan habitatnya saja. Tapi terus menerus memberikan penyuluhan kepada penduduk di sekitar Taman Nasional mengenai pentingnya konservasi dan melindungi alam. PKHS juga berkali-kali melakukan penanganan konflik antar manusia dan harimau Sumatera. Tapi tentu usaha itu belum cukup.

"Konservasi harimau Sumatera sudah lumayan berhasil. Walau sebenarnya tak signifikan jika dibandingkan dengan laju perambahan," kata Rahmad gamang. []

Kamis, 22 Januari 2015

Cerita dari Carita

Ceritanya awal pekan ini, kantor saya mengadakan outing ke Pantai Carita. Iya, awal pekan. Bukan akhir pekan seperti lazimnya orang berwisata. Orang-orang kantor kami memang semacam alien, jadinya suka menghindari keramaian. Kami berangkat hari Minggu malam, dan menginap di Carita hingga Selasa. Di wisma tempat kami menginap, suasana sepi. Banyak pohon kelapa menjulang tinggi. Pohon-pohon besar yang usianya saya taksir puluhan, bahkan mungkin ratusan tahun, juga berdiri dengan gagah. 

Suasana makin terasa sepi karena ini hari kerja. Sama sekali tak ada tamu lain selain dari kantor saya. Sayang, musim hujan tak kenal orang plesiran. Hari Senin pagi, dimana kami seharusnya bermain tarik tambang, hujan turun dengan deras. Akhirnya kami lebih memilih meringkuk dalam selimut. Hari Selasa, kami merencanakan main futsal siang hari sebelum pulang. Ndilalah hujan juga. 

Laut juga sedang tidak bersahabat. Ombaknya besar. Para penjaja jasa banana boat tak tampak sama sekali. Padahal beberapa dari kami merencanakan naik kapal untuk melihat Krakatau, gunung legendaris yang pernah meletus pada 1883 dan menewaskan lebih dari 36 ribu orang. Tapi ya terpaksa batal karena cuaca sedang tak bersahabat.

Ah, sebenarnya bukan suasana outing dan wisma tinggal kami yang akan saya ceritakan. Melainkan... musik.

Sewaktu kami berangkat, suasanya syahdu. Malam hari, Jakarta memang tampak indah. Semisal macet tak dihitung, lampu kota Jakarta memang tampak romantis. Saya sudah merapatkan jaket dan bersiap untuk tidur.

Hingga... 

"Musik dong! Karaoke!"

Saya tak tahu siapa yang teriak dari bangku belakang. Tapi teriakan itu membuat supir senang. Ia seakan mendapat persetujuan untuk membongkar tumpukan CD dan langsung memasang CD karaoke. Saya menduga ini bakal jadi Dangdut Koplo Nite, atau Dangdut Erotic Nite. Benar saja. Ia memasang CD karaoke Cita Citata, dengan volume hampir maksimal.

Dan dari perempuan semok itu lah saya tahu istilah gegana: gelisah, galau, merana. Kampret bener istilahnya. Semula saya pikir Cita akan menemani hingga kami tiba di Carita. Saya sih lumayan menikmati lagu-lagunya. Tak buruk-buruk amat. Pun, ia cukup enak dilihat.

Namun saya salah. Supir rupanya cepat bosan. Setelah beberapa kali lagu "Sakitnya tuh di Sini" mengalun, ia menggantinya dengan CD karaoke lain. Sialnya, itu Betharia Fukking Sonatha! Mendadak Cita tampak seperti persilangan Aretha Franklin dan Debbie Harry jika dibandingkan dengan Betharia.

Fakk! Saya pikir semua CD Betharia ikut dimusnahkan kala Harmoko melarang musik cengeng di zaman Orde Baru. Ternyata sisa-sisa artefak zaman kegelapan itu masih ada dan bersiap menguasai jagat bis malam lagi. Ini berbahaya, bung!

Dan melantunlah lagu-lagu Betharia, yang bintang video klipnya adalah Willy Dozan, suaminya sendiri. Sekarang sih mereka sudah cerai karena konon Willy melakukan kekerasan dalam rumah tangga. Cuk, dadine malah nggosip.

Tapi ada yang patut diapresiasi dari Betharia. Ia luar biasa visioner. Lagu Betharia nuansanya memang doom, apokaliptik, nan depresif. Sudah ada jauh sebelum emo eksis. Sepertinya ia juga sadar kalau di masa depan, akan semakin banyak orang yang merasa gegana. Nubuatnya benar. Buktinya lagu-lagunya masih eksis hingga sekarang.

Kedahsyatannya hanya bisa ditandingi oleh Nafa Urbach belaka. Belakangan, seorang teman merekomendasikan nama Nia Daniati untuk masuk dalam Trio Penghancur Gendang Telinga ini. Saya sih belum pernah dengar lagunya. Tapi melihat ia pernah menghabiskan belasan tahun masa hidupnya menjadi istri Farhat Abbas, saya pikir ia cukup layak.

Untung perjalanan ke Carita cuma 3,5 jam saja. Jadi siksaan Betharia tak terlampau lama.

Pulangnya, saya dihadapkan dalam kondisi yang sama. Cita Citata kembali hadir dan goyang di monitor televisi di samping pak supir. 

Namun entah kenapa, sang kenek tiba-tiba menghentikan Cita, lalu memasukkan sebuah CD lain. Dari awalannya, saya seperti tahu ini video apa. Lalu muncul logo Geffen Records, saya jadi semakin yakin ini video apa.

Guns N Roses, Welcome to the Videos. Saya bersorak girang. Langsung membangunkan Mico yang sedang tidur-tidur ayam. Ia memang suka Guns N Roses. Sering bernyanyi dengan gaya Axl Rose.

Aduh kumpulan video ini. CD dengan logo Guns N Roses di sampul depannya ini merupakan pintu gerbang saya mengenal kesakralan Guns N Roses. Saya masih berseragam putih biru waktu itu. Masih ingusan. Tapi setelah mendengar dan melihat video Guns N Roses, saya yakin, hidup saya tak akan pernah sama lagi. Ya ya ya, klise memang. 

CD itu saya dapatkan dari kak Rani, sepupu saya. Mungkin ia sudah lupa pernah memberi saya CD itu. Tapi saya tak lupa. Setiap hari saya memutarnya sepulang sekolah. Terus diulang-ulang hingga saya hafal luar kepala urutan lagunya.

Pertama, "Welcome to the Jungle". Kedua, "Sweet Child O' Mine", ketiga itu "Paradise City". Lalu disusul dengan "Patience", "Don't Cry", "Live and Let Die", "November Rain", bla bla bla, hingga akhirnya ditutup dengan "Since I Don't Have You".

Saya cetak lirik lagu mereka, yang saya cari sewaktu  berselancar di warung internet. Berselingan dengan mencari gambar artis-artis telanjang --yang belakangan saya tahu itu editan. Saya nyanyikan hingga saya hafal benar setiap paragraf, coda, reff.

Dan kemarin saat melihat lagi video Guns N Roses, saya jadi yakin. Ada beberapa band yang akan selalu dicintai, dan membuat kita berhenti di umur belasan tahun setiap mendengar mereka.

Guns N Roses adalah salah satunya. []

Selasa, 06 Januari 2015

Kado Ulang Tahun Untuk Rani

Istri saya berulang tahun hari ini. Umurnya berapa, tak usah disebutkan. Toh umur hanyalah angka. Tak lebih, tak kurang.

Kebalikan dari saya, istri saya menganggap ulang tahun adalah hal penting. Ia selalu rajin membelikan kado tiap saya ulang tahun. Dan selalu beragam jenisnya.

Lha, saya sendiri suka kesusahan kalau beli kado buat orang lain. Saya ingat, saat isteri ulang tahun di tahun pertama kami berpacaran, saya belikan ia buku biografi Janis Joplin, penyanyi favoritnya. Di tahun kedua pacaran, saya tak memberi kado apa-apa selain doa. Pancen aku pacar sing asu banget.

Nah, di tahun ini, saya kembali bingung mau beli kado apa. Rencananya mau beli kaos Janis Joplin. Lha ndilalah saya lupa. Akhirnya saya kemarin semburat, nyari kado apa yang pas buat istri saya.

Akhirnya saya pergi ke pusat perbelanjaan terdekat. Baru 20 menit keliling saya sudah tak kuat. Kepala pusing. Kaki gempor. Makanya saya selalu salut sama perempuan yang betah cuci mata berjam-jam.

Akhirnya saya memutuskan masuk ke toko serba ada, toko yang sering dimasuki istri saya untuk cuci mata. Barang di toko itu memang luar biasa banyak. Tapi harganya kadang ngajak berantem.

Saya keliling. Bingung mau beli apa. Piring? Ah, kurang penting jeh. Pot dan bibit tanaman? Ah, itu di rumah ada tiga pot dan satu sak tanah yang tidak terawat. Alat masak? Itu mah cocoknya buat saya.

Hingga saya ingat kalau istri saya pernah mengeluh tangannya perih sewaktu mencuci piring. Akhirnya dengan langkah mantap, saya pergi ke bagian kebersihan.

Saya beli... dua pasang sarung tangan karet untuk cuci piring. Hehehe. Warnanya ungu dan kuning.

Iya, awalnya saya mau ngasih kado itu saja. Sampai akhirnya, saat mau bayar, ada tumpukan lampu tidur bergambar lambang tim sepak bola. Saya ingat kalau istri saya suka AC Milan. Akhirnya saya beli satu untuk dia.

Waktu saya kasih kadonya, saya sok-sok misterius gitu. Waktu kado dibuka, istri saya ngakak gak ketulungan.

"Ya emang sih, aku nyari sarung tangan plastik. Tapi ya gak buat kado ulang tahun juga kalik."

"Terus kenapa kamu beliin lampu Milan? Kan aku sudah gak ngikuti sepak bola lagi?"

"Anu, itu lagi diskonan 50 persen. Lumayan jeh," kata saya.

Istri saya tambah ngakak.

"Ah, untung ada kartunya. Ucapannya manis. Kamu tertolong, karena kamu pintar merangkai kata," kata isteri saya.

Lalu saya jadi mikir, jangan-jangan kalau saya gak bisa nulis, saya gak akan punya isteri? Bisa jadi sih.

Ah sudahlah, selamat ulang tahun Rani. Semoga terus sehat. Dan mari kita buat kebahagiaan kita sendiri.