Selasa, 28 Januari 2014

Gempa

Dua hari lalu Yogyakarta kena gempa. 6,5 SR. Cukup besar, hingga membuat banyak orang keluar dari rumah. 

Saat itu matahari sedang berada pas di atas kepala. Titik gempa itu berpusat di 104 kilometer barat daya Kebumen. Gempa itu tak hanya dirasakan di Kebumen dan Yogya. Solo, Semarang, bahkan Wonosobo pun merasakan gempa itu. Konon getaran gempa terasa sampai Malang.

Saya sedang di depan laptop waktu itu. Wisnu, kawan saya,  juga sedang mengerjakan pekerjaannya. Kami berbagi meja panjang yang sama. Di tengah ruangan kantor. Sedang Nody sedang asyik tiduran sembari mendengarkan musik Gandrung Banyuwangi. Pekerja rumah tangga di kantor kami, Mbah Pah, sedang menyapu di halaman depan.

Waktu gempa baru berjalan dua detik, saya dan Wisnu baru sekedar berpandangan. Ah, palingan bentar doang, pikir kami dalam hati. Tapi kami mulai panik saat gempa masih menggoyang 5 detik kemudian.

"Gempa yo?" kami sama-sama saling bertanya. Kami akhirnya berlari keluar rumah karena gempa berlangsung cukup lama.

Saya masih sadar dan berusaha tidak panik. Saya masih sempat berpikir untuk membawa laptop turut serta. Meski itu laptop murah, tapi ia satu-satunya harga berhargaku. Semua data ada di sini. Sedang Wisnu meninggalkan laptopnya di meja. Ia mungkin lupa. Hehe.

Beberapa orang tetangga sudah keluar dari rumah sembari sedikit panik. Gempa tak berlangsung lama. Getaran besar hanya berlangsung sekitar 15-20 detik, tapi getaran kecil terasa hingga 2 menit. Setelah meyakinkan diri kalau gempa tak akan datang lagi, barulah kami masuk ke dalam rumah.

Saat itulah Nody baru keluar rumah. Ia sadar ada goyangan, tapi ia mengira Mbak Pah yang menggoyang jendela.

"Tapi kok goyangane tambah kenceng, tibake gempa," kata Nody sembari cengengesan.

Setelah keadaan tenang, saya membuka twitter. Benar saja. Ada banyak cuitan tentang gempa. Kawan-kawan saya di Bantul banyak yang panik. Takut ada tsunami. Untung tak kejadian.

Dari banyaknya twit tentang gempa, benang merahnya adalah tentang trauma gempa tahun 2006. Saat itu gempanya berskala 6,2 SR. Namun getaran keras berlangsung hingga nyaris satu menit. 

Efeknya benar-benar dahsyat dan mengerikan. Semakin mengerikan karena episentrum gempa berada di 25 km selatan-barat daya Yogyakarta. Gempa yang pertama terjadi pada jam 5 lebih 30 menit, dan disusul oleh tiga kali gempa berikutnya: mulai dari jam 6 pagi, 8, hingga jam 11 siang. Akibat bencana ini, korban tewas tercatat 5.700 orang, puluhan ribu orang luka, dan menyebabkan ribuan bangunan lantak.

Dengan efek yang semengerikan itu, pantas kalau penduduk Yogyakarta trauma dengan gempa. Bahkan saya sempat mencuri pandang: tetangga depan rumah mukanya tempias dengan istighfar yang tak kunjung berhenti dari bibirnya.

***

Tadi malam saya keluar dengan Panjul. Sehabis mengambil buku, kami makan malam dan ngobrol ngalur ngidul seperti biasa. Salah satu topiknya adalah gempa kemarin.

"Lu bisa bayangin gak kalau kena gempa pas lagi tidur?" tanya Panjul sembari setengah bergidik.

Saya menggelengkan kepala sembari melihat tembok penyangga besar nan kokoh yang berada tepat di atas kami berdua. Meski ia kelihatan kokoh, tapi ia tak ada apa-apanya dibandingkan gempa. Saya mendegut ludah. Membayangkan kalau tiba-tiba saat itu ada gempa dan tembok penyangga itu jatuh menimpa kepala saya.

Saya merinding.

Ndilalah, sekitar pukul 11 malam, saat saya sedang asyik menonton serial The Newsroom, kasur tempat saya rebahan tiba-tiba bergoyang keras. Sial, gempa lagi! Saya terbangun dari posisi tidur. Duduk sembari mengambil ancang-ancang untuk lari sembari membawa laptop. Untunglah gempa hanya berlangsung sekitar 5-6 detik.

Meski hanya berlangsung singkat, efeknya tetap bikin saya tak bisa tidur. Apalagi sehabis obrolan dengan Panjul soal gempa tadi. Saya menengok asbes di atap kamar. Lalu tembok kamar yang sepertinya juga kokoh. 

Saya tersenyum pahit. 

Itu kelakuan bodoh tentu saja. Karena saya seperti orang yang takut mati. Kalau memang saya harus mengalami kecelakaan, tentu tak harus menunggu gempa. Dulu, sewaktu saya masih tergila-gila dengan mitos rockstar-mati-mulia-di umur-27-, saya pernah punya keinginan mati muda. Di umur 27 tepatnya. Biar seperti Jim Morrison atau Brian Jones. Tapi sekarang saat umur saya merambat ke angka 27, keinginan mati muda itu memudar. Terkalahkan oleh betapa menyenangkannya hidup.

Ternyata saya tak cukup siap mati muda. Apalagi mati karena kejatuhan tembok saat gempa. Sungguh sebuah kematian yang tak elok. Tapi hei, siapa yang bisa memilih cara terlepasnya sukma?

Semoga semua arwah yang meninggal saat gempa diberikan tempat yang tenang dan indah di sisiNya. Amin.

Ngomong-ngomong soal meninggal saat gempa, ada sebuah kejadian yang membuat saya menyunggingkan senyum.

Saat itu malam hari, di tahun 2009. Ada gempa kecil yang terasa di rumah kami. Orang Jawa Timur menyebutnya lindhu. Beberapa menit sebelum gempa terjadi, ayah dan mamak saya sedang tidur-tidur ayam.

Waktu gempa terjadi, mamak, yang dasarnya memang gampang panik, tentu saja panik sembari berteriak gempa. Ia sudah mau meloncat dari kasur, saat tangan ayah memegangnya lembut.

"Laopo mlayu, lek wis wayae mati yo pasti mati kok." Buat apa lari, kalau sudah waktunya mati ya pasti mati kok, kata ayah saya kalem. 

Ayah sudah kena stroke waktu itu. Ayah sudah pasrah. Ia tahu, meski mamak menariknya untuk berlari, ayah akan kesusahan untuk sekedar bergerak. Mungkin, kala itu, kematian hanya berjarak sejengkal dari ubun-ubun kepala.

Untung lindhu itu hanya berlangsung beberapa detik. Tapi setelahnya mamak sewot.

"Dadi wong kok pasrah tenan," omelnya.

Ayah hanya tertawa kecil.

Saya tentu tak sesiap dan setenang ayah saya dalam menghadapi segala macam bahaya. Apalagi kematian.

Setelah gempa pukul 11 malam tadi, hingga jam 5 pagi ini saya tak bisa memejamkan mata. Selain karena kebiasaan, saya berusaha bersikap waspada. Teringat pertanyaan Panjul tentang gempa yang terjadi saat tidur. Apalagi gempa Yogyakarta terjadi sewaktu orang sedang asyik terlelap. Maka saya memutuskan untuk tak tidur hingga matahari naik nanti.

Rani sudah mewanti-wanti agar menyiapkan barang dalam tas. Berjaga kalau harus evakuasi. Saya sudah menaruh beberapa barang dalam tas, seperti pakaian dan celana. Tapi itu barang yang memang belum saya keluarkan dari tas semenjak datang dari Jakarta beberapa waktu lalu. Hehehe.

Mengingat bencana, tiba-tiba saja saya teringat doa yang diajarkan saat SD dulu. Doa menjauhkan diri dari bencana. Iya, seringkali saya hanya ingat tuhan sewaktu sedang susah saja.

Bismillahil lazi la yadurru ma’asmihi syai’un fil ardi wa la fis sama’i wa huwas sami’ul ‘alimu.

Dengan menyebut nama Allah, sesuatu itu tidak berbahaya di bumi dan di langit. Dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

Amin. []

Minggu, 26 Januari 2014

Laki-Laki Pemalu

Saya selalu menganggap "Laki-Laki Pemalu" dari band Efek Rumah Kaca adalah sebuah ode untuk Nody Arizona. Nody, pria berambut andan dengan senyum yang terkulum sering, adalah lelaki pemalu dalam lagu itu.

nanti malam kan ia jerat rembulan
disimpan dalam sunyi hingga esok hari

Nody jarang berbicara banyak. Kalaupun berbicara, kata-kata seakan tersedak dalam tenggorokan. Ia susah mengutarakan sesuatu dengan baik dan lancar. Puthut EA, sang mentor Nody dalam pekerjaan, seringkali meledek Nody.

"Kalau mau jelasin sesuatu, jangan Nody yang ngerjain."

Nody, sang lelaki yang sering tersipu itu hanya bisa tertawa kecil jika diledek demikian.

Sudah sekitar satu bulan saya tinggal bareng Nody. Obrolan kami pun tak terbilang banyak. Hanya sesekali saja. Selebihnya ledek-ledekan. Tapi saya sering mengamati tingkahnya.

Ia biasanya baru berangkat tidur saat matahari pas diatas kepala. Ia bisa tidur 6 jam. Kadang 9 jam. Tapi sering pula tidurnya terganggu. Nody betah sekali berada di depan laptop. Dengan headset menempel, ia betah menulis atau mengedit kerjaan. Kadang ia ke dapur. Menjerang air, membuat kopi. Ia suka kopi dengan sedikit gula. 

Kadang kalau tak bisa tidur dan bingung melakukan apa, ia tiba-tiba datang ke kamar. Lalu duduk di sebelah saya. Tapi tak bicara apa-apa. Semacam minta ditanya, "kenapa Nod?"

Biasanya kalau saya melakukan itu, ia hanya akan bilang "gak kenapa-kenapa" sembari bangkit dari kasur dan pergi lagi. Dasar aneh.

Kadang ia hanya melongok saya di kamar sembari meledek, "galau Can?" Lengkap dengan cengengesnya yang seringkali membuat saya tertawa. Ia memanggil saya Can, singkatan dari Macan. Saya juga memanggil Nody dengan sebutan yang sama.

Macan adalah julukan kami, anak-anak Jember, untuk pria yang punya banyak sejarah dengan perempuan. Itu mengacu pada Sandi Macan, bocah kecil yang dengan bangga menasbihkan dirinya sebagai macan kimpet, alias women conquistador. Sang penakluk perempuan.

Tapi Nody tak demikian. Ia tak punya banyak sejarah dengan perempuan. Setidaknya, tak banyak yang diketahui oleh kawan-kawannya.

Arys Aditya, karib Nody, pernah berkata pada saya suatu ketika. "Nody gak pernah pacaran seumur hidupnya." Saya terkekeh.

Entah ada hubungannya atau tidak dengan sifat pemalu Nody. Saya rasa ada. Perempuan Indonesia, terutama mereka yang besar dengan kultur konservatif, akan selalu bersikap menunggu. Bergerak lebih dulu dalam hal cinta, bagi mereka, adalah hal yang tabu.

Kebiasaan macam ini lah yang menyulitkan Nody dalam mencari kekasih. Nody, sepertinya, bukan tipikal pria yang akan lancar mengucap kata cinta. Menjelaskan letak rumah seorang kawan saja ia kesusahan, bagaimana mungkin ia bisa mengucap kata cinta dengan lancar.

Kelu pasti akan terkumpul di ujung lidah. Dari titik ini pula saya semakin yakin kalau "Lelaki Pemalu" adalah lagu untuk Nody.

berharap gadis mengerti hatinya
tetes keringat mengalir mencoba melawan ragu

Nody sedikit mengingatkan saya dengan Cholil Mahmud, sang penulis lirik lagu itu sekaligus yang menyanyikannya. Saya tak kenal Cholil. Hanya pernah bertemu dan ngobrol satu kali selepas Efek Rumah Kaca manggung di depan perpustakaan Universitas Indonesia.

Bagi saya, Cholil juga sama pemalunya dengan Nody. Ia kalem, tenang, irit bicara, namun punya stok senyum yang melimpah. Namun Cholil, pria dengan tatanan rambut belah pinggir 80-an itu, punya kata-kata dan musik sebagai senjata.

Para perempuan tak perlu mendengar kalimat cinta dari Cholil. Ia menuliskannya. Dan para perempuan akan berebutan untuk berusaha memahami Cholil.

Sedangkan Nody sebaliknya. Ia tak pandai menulis kata cinta. Pria berkulit putih ini jauh sekali tertinggal dengan para kawan-kawan baiknya di Jember, semisal Halim Bahriz atau Arys, yang fasih merangkai kata-kata romantis nan lembut.

Nody terlampau sibuk dengan tulisan ekonomi, sepertinya

Tapi di beberapa kesempatan, Nody seperti melempar sinyal kalau ia menyimpan jiwa harimau dalam dirinya. Pemburu yang ulung.

Saya tahu ada beberapa perempuan yang dekat dengannya. Tapi Nody tak kunjung juga punya pacar. Mungkin karena ia pemalu. Mungkin juga ia sedikit takut menjalani hari dengan perempuan yang mengikatnya.

Sebenarnya tak punya pacar itu adalah hal biasa yang tak perlu dibesar-besarkan. Tapi entah kenapa, kami, para kawan-kawan Nody, suka sekali meledeknya perkara remeh macam itu. Senjata terbaru kami adalah: bahkan adik Nody sudah menikah.

Nody punya satu orang adik. Perempuan. Beberapa waktu lalu sang adik menikah. Nody yang jadi walinya, karena sang ayah sudah lama tiada. Biasanya kami meledek Nody, "adiknya saja sudah nikah, kakaknya belum pernah pacaran sama sekali." Nody biasanya hanya bisa mesem-mesem malu kalau diledek demikian. 

Sebenarnya tak terhitung berapa kali Nody dijodohkan. Pernah mas Puthut dengan sengaja menyuruh Nody untuk mengambil sebuah undangan. Sebenarnya bisa saja undangan itu dititipkan. Tapi mas Puthut sengaja menyuruh Nody yang mengambil. Ternyata undangan dipegang oleh seorang perempuan. Nody sadar akan usaha penjodohan itu. Tapi sayang, perjodohan tak lancar.

"Opone, wong mbake lemu," kata Nody bersungut-sungut. Kami tertawa. Nody rupanya tak suka perempuan yang sentosa.

Belakangan ini, Markaban Anwar, senior kami di kantor, turut serta meledek Nody. Mas Anwar sedang berusaha menjodohkan Nody dengan perempuan kenalannya. Tapi Nody, lelaki yang selalu menunduk kalau sedang berbicara dengan orang lain, hanya bisa tersenyum malu. Sepertinya perjodohan kali ini akan menemui kuldesak lagi.

Sebentar lagi bulan Februari. Beberapa orang menyebutnya sebagai bulan kasih sayang. Mas Puthut, setengah meledek setengah serius, seperti mengultimatum Nody agar segera punya pacar.

"Duh, marine Februari. Kudu nduwe pacar iki," kata Nody sembari tertawa-tawa kalau mengingat perkara itu.

Carilah perempuan yang tak pemalu juga Nod, saran saya suatu ketika. Entah ia ingat atau tidak. Repot kalau Nody jatuh cinta dengan perempuan pemalu, yang bahkan sekedar melempar tanda-tanda pun segan. Kalau begitu, bisa-bisa mereka hanya bersandiwara dan menunggu.

lelah berpura pura bersandiwara
esok pagi kan seperti hari ini
menyisakan duri, menyisakan perih
menyisakan sunyi... []

Post scriptum: Lha pas saya unggah tulisan ini, Efek Rumah Kaca gaya baru (baca: Pandai Besi), mengeluarkan official video clip "Laki-Laki Pemalu", lihat di sini.

Jumat, 24 Januari 2014

Dari Batu Hingga Semen

Dalam sebuah acara masak, seorang chef menekankan sesuatu. Dengan sorot mata yang serius, ia menatap kamera sembari mengatakan suatu hal.

"Gunakanlah cobek untuk hasil ulekan yang lebih baik. Blender memang bekerja lebih cepat, tapi hasilnya tak akan sebagus cobek."

Ia tak sedang membual. Nasihat macam itu sudah merupakan nasihat biasa dalam dunia memasak. Bumbu yang dihaluskan dengan menggunakan cobek, pasti rasanya akan berbeda dengan bumbu yang diolah dengan blender. Konon, jika bumbu dihaluskan dengan cobek, akan ada aroma dan rasa tersembunyi yang bisa menguar. Aroma dan rasa macam itu tak akan bisa keluar dengan blender.

Sejarah cobek sudah terbentang panjang selama ribuan tahun. Nyaris semua peradaban mempunyai cobek batu, meski bentuk, fungsi, dan ukuran bisa sangat berbeda. Ada yang berbentuk lonjong, bundar, hingga pipih. Bisa digunakan untuk membuat obat, juga untuk masakan.

Dalam khazanah masakan Amerika Latin, cobek digunakan untuk membuat saus tradisional nan lezat macam guacamole, juga menghaluskan bumbu-bumbu untuk masakan seperti gaspacho. Di Jepang, mochi ditumbuk menggunakan lesung batu. Meski ada mesin modern yang bisa membuat mochi dengan efisien dan cepat, namun pembuatan mochi dengan lesung batu ini masih dipakai. Dan rasanya pun --menurut penuturan beberapa orang-- sangat berbeda.

Di Indonesia sendiri, ada banyak sekali masakan yang menggunakan cobek sebagai penghalus bumbu. Mulai dari bumbu-bumbu halus, pecel, gado-gado, rujak, hingga kondimen yang tak bisa dilepaskan dari babad kuliner Indonesia: sambal.

Nah, ngomong-ngomong soal cobek, yang paling banyak dipakai adalah cobek batu. Sayang, sekarang cobek batu jadi langka. Terutama di kota-kota besar macam Jakarta. Di pasar, yang banyak beredar adalah cobek yang terbuat dari semen. 

Cobek dari semen ini tentu kualitasnya jauh tertinggal jika dibandingkan dengan cobek batu. Dari segi ketahanan, misalkan. Di rumah saya, cobek batu yang digunakan sudah berumur belasan, atau mungkin malah puluhan tahun. 

Cobek batu juga unggul dari segi keamanan. Jika kamu memberi air pada cobek semen, lalu menggosoknya, maka semen itu akan turut larut. Sedikit banyak, tentu mempengaruhi rasa makanan. Lagipula, coba bayangkan masakan kamu mengandung semen. Jancuk tenan kan?

Masalahnya, bagi orang yang kurang pengalaman, membedakan cobek batu dan cobek semen akan sangat susah. Rawan tertipu. 

Itu yang terjadi pada saya.

Awal bulan ini, saya sedang ada di Jakarta. Saya dan beberapa kawan ingin rujakan. Sayang, di tempat Rani tak ada cobek. Maka saya dan Budi pun pergi ke pasar untuk beli cobek.

"Inget ya, beli yang cobek batu, jangan yang semen," kata Rani mewanti-wanti saya dan Budi.

Kami cuma tertawa-tawa saja. Dalam hati saya, apa sih susahnya membedakan cobek batu dan cobek semen.

Tapi memang benar susah!

Saat di penjual cobek, saya sebenarnya agak ragu. Warnan cobek yang ia jual tak segelap cobek batu. Dari segi berat pun, tak seberat cobek batu. Tapi saat ada gopal sedikit, gopal itu macam gopalnya batu. Kalau semen gopal, saya pasti bisa tahu. Saya bingung.

"Mas, ini dari semen ya?" tanya saya bodoh.

Masnya, yang tentu saja adalah penjual berpengalaman yang bisa dengan mudah menipu lelaki bodoh-nirpengalaman macam saya, langsung membual.

"Ini batu mas, kalo semen gak akan cuil, pasti pecah," katanya sambil menunjuk gopal tadi.

Saya mengangguk pelan sembari menyerahkan 40 ribu rupiah untuk satu set cobek dan ulekannya.

Sampai di rumah Rani, ia langsung menghela nafas.

"Itu cobek semen, Nuraaaan!"

Saya yang berusaha membela diri, tentu saja bersikeras kalau itu adalah cobek batu. Lalu Budi menaruh beberapa tetes air dalam cobek.

"Kalau semen, pas digosok pasti luntur," katanya sembari mengosok-gosok cobek. Benar saja: semennya luntur.

Saya cengengesan. Hehehe.

Tapi dasar kami terlalu cuek, cobek itu masih kami pakai. Sayang, 40 ribu euy. Mengulek sambel. Juga gula merah dan cabai untuk rujakan. Jangan ditiru ya. Hihihi.

***

Selain Romeo dan Yuliet, sandal, atau sepatu, barang yang harus sepasang untuk bisa digunakan adalah cobek dan ulekan. Mereka adalah sepaket lengkap. Saling melengkapi.

Tapi ada pepatah bukan, tak ada ulekan, batu pun jadi.

Oke, itu pepatah buatan saya sendiri.

Pagi ini saya sudah niat benar untuk masak. Sayur asam, tempe dan tahu goreng, plus sambal terasi. Ah, membayangkannya saja saya sudah ngiler. Maka saya ke pasar Colombo yang hanya berjarak sepelemparan ketapel dari kontrakan saya.

Saya beli semuanya. Kacang panjang, tempe, tahu, asam, cabai, tomat, terasi, hingga beras. Bahkan karena tergiur dengan jamur kancing yang berukuran besar dan berwarna putih menggoda --plus murah, 8000 rupiah dapat satu kantong besar--, maka saya sikat pula jamur kancing itu. Itu mungkin buat dimasak besok, dimasak dengan saus tomat dan lada hitam. Pasti lezat.

Saat semua sudah matang dan tinggal membuat sambal, saya baru sadar: tak ada ulekan! Hanya cobek yang tergolek tenang di rak piring. Sonder ulekan.

"Nggawe watu ae gak popo. Sikat wis," kata Nody mempersilahkan saya memakai batu untuk ulekan.

Saya ketawa. Maka saya mengambil batu di halaman belakang. Mencucinya bersih dengan sabun. Lalu mengulek. Cukup berhasil. Hingga kemudian saya lihat ada sedikit serpihan batu. Mungkin saya kurang bersih menyikat batunya. Tapi cuma sedikit, tak mengganggu kok. Apalagi melihat Nody lahap sekali makan masakan saya.  

Sori Nod!

Yogyakarta, 24 Januari 2014
Sambil mendengarkan album 
Blak and Blu dari Gary Clark Jr yang baru saya unduh tadi

Rabu, 22 Januari 2014

Antara Bowie, Heroes, dan Tembok Berlin

Kalau heavy metal mengenal triumviraat Led Zeppelin, Black Sabbath, dan Deep Purple; glam rock juga punya trinitas agung: T-Rex, The New York Dolls, dan David Bowie.

Ketiga nama itu, menurut saya, adalah peletak dasar, cetak biru para glam rocker era berikutnya. KISS bahkan berhutang banyak pada Bowie dan T-Rex. Para gerombolan hair metal seperti Motley Crue, bahkan Guns n Roses juga sangat dipengaruhi oleh The New York Dolls.

Tapi sekarang saya tidak akan membahas T-Rex atau The New York Dolls. Saya ingin ngobrol soal David Bowie, sang biduan yang punya alter ego bernama Ziggy Stardust itu.

Saya sebenarnya tidak terlalu intens menyimak Bowie. Iya, saya bersalah. Tapi saya tetap punya beberapa album sang legenda ini di laptop saya. 

Dari The Man Who Sold the World (1970), Hunky Dory (1971), The Rise and Fall of Ziggy Stardust (1972), hingga Aladdin Sane (1973), dan yang terakhir baru saya unduh beberapa minggu lalu: Heroes (1977).

Saya hanya sesekali saja mendengarkan album-album itu. Pasalnya, beberapa lagu pria yang bernama asli David Robert Jones ini terlalu "kalem" dan terkesan lambat. Cenderung membosankan malahan. Telinga saya terlalu dimanjakan oleh sound dan tempo hair metal yang fast pace, yang membuat adrenaline terpompa. Sedangkan Bowie, capo di tutti capi dari klan glam rock itu, kadang terlalu lambat. Tapi saya tak heran. Bowie, konon, sangat terpengaruh oleh art rock.

Tapi tak bisa dipungkiri, banyak sekali lagu Bowie yang asyik didengarkan. Lagu kesukaan saya tentu adalah "Ziggy Stardust" dan "Rebel Rebel". Iya, selera saya pasaran sekali. Oh ya, sampai kelupaan mencantumkan "The Man Who Sold the World" dari album ketiga berjudul sama. Iya, itu lagu yang dikover oleh Nirvana, band yang dikomandoi oleh lelaki yang konon benci lelaki bermake-up. What an irony, huh? Hihihi.

Tapi selain ketiga lagu itu, saya sangat suka "Heroes" dari album berjudul sama.


"Heroes" pula yang belakangan jadi high rotation saya. Entah kenapa, lagu ini bisa menghadirkan nuansa yang penggah. Memang susah menggambarkan nuansa lagu ini secara utuh via kata-kata. Tapi jika ingin pengandaian, coba tonton film "The Perks of Being a Wallflower". Di film itu, lagu "Heroes" menjadi lagu puncak, lagu pamungkas --dijuluki sebagai the tunnel song-- yang dihadirkan dengan sangat menggugah. Lengkap dengan Emma Watson yang berdiri di bak pick up sembari merentangkan tangan dan menentang angin malam. Epik.

Kalau mendengar lagu ini, rasa-rasanya ingin sekali naik motor, pergi ke dataran tinggi. Lalu minum kopi --tidak rocker sekali saya ini-- sembari menatap kerlip lampu kota di kejauhan. 

Lagu ini nuansanya sedikit berbeda dengan lagu-lagu Bowie di album sebelum-sebelumnya. Sound gitarnya aneh. Lengkap dengan bebunyian yang aneh nan eksektrik. Setelah saya googling, saya baru tahu kalau album Heroes memang salah satu pencapaian artistik terbaik Bowie.

Heroes direkam di studio Hansa Tonstudio, Berlin Barat. Waktu album ini direkam, dunia sedang dicekam oleh perang dingin. Jerman masih terbagi menjadi dua: timur dan barat. Studio tempat merekam album ini pun hanya berjarak 500 meter dari tembok Berlin. Konon, saat sedang melakukan proses perekaman, para Volkspolizei, polisi keamanan di Jerman Timur, seringkali mengintai Bowie dan kawan-kawan dengan binokuler canggih mereka.

Album yang juga merupakan kolaborasi Bowie dengan Brian Eno (mereka berkolaborasi menggarap tiga album di Berlin, album-album itu dikenal sebagai Berlin Trilogy) juga punya cerita unik. Gitaris utama Bowie di album ini adalah Robert Fripp, gitaris band prog rock King Crimson. Saat Fripp diajak menggarap Heroes, ia sedikit sangsi. Pasalnya, gitaris berkebangsaan Inggris ini sudah berhenti bermain gitar selama tiga tahun.

"...tapi kalau kalian mau mengambil resiko, ya ayo saja," papar Fripp kala itu. 

Bowie dan Eno pun mengambil resiko itu. 

Nicholas Pegg, penulis buku The Complete David Bowie, menceritakan kalau Fripp dengan gagah bisa menyelesaikan bagiannya dalam album ini hanya dalam satu hari. Fripp sebagai gitaris utama juga diberi keleluasaan dalam mengurusi perkara teknis gitar dan sound yang ia inginkan. 

Hasilnya adalah sound yang unik, dengan layer gitar berlapis, yang cantik berkombinasi dengan bebunyian synth mengawang ala Eno. Saya sih kurang pandai kalau disuruh mendeskripsikan jenis musik macam itu. Sila unduh saja albumnya, tersebar bebas di dunia maya, dan dengar sendiri.

Album ini berhasil mendapatkan penghargaan Album of the Year dari majalah Melody Maker dan NME. Para kritikus ramai-ramai menasbihkan Heroes adalah pencapaian terbaik Bowie. Saya sih setuju-setuju saja. Karena seperti yang saya bilang tadi, saya bukan pengamat takzim David Bowie. 

Kembali lagi ke lagu "Heroes". Ini adalah lagu romantis yang asyik sekali. Bowie terinspirasi oleh kisah dua sejoli dari Jerman Timur dan Jerman Barat. Cinta yang terisolasi oleh batas negara dan batas ideologi. 

I can remember 
Standing, by the wall 
And the guns shot above our heads
And we kissed, as though nothing could fall
Oh we can beat them, for ever and ever
Then we could be Heroes, 
just for one day

Semalam, beberapa orang kawan sedang ingin minum botol gepeng. Saya menemani mereka mengobrol perkara remeh temeh, sembari makan kacang, dan memutar lagu ini hingga adzan subuh mengumandang.

Puitik.

Sabtu, 18 Januari 2014

Sudah 4 Tahun, Bung?

Sejak dulu, saya selalu berkeinginan mempunyai tempat bekerja yang santai. Tak ada tenggat waktu. Bisa jalan-jalan. Mengobrol santai dengan beberapa kolega. Soal berat. Juga soal personal, dan juga sesekali remeh temeh.

Saya mendapatkan itu di Jakartabeat.

Saya mulai menulis di situs itu sejak tahun 2009. Perkenalan awal bermula saat seorang bernama Philips Vermonte meninggalkan jejak komentar di blog lama saya. Itu tulisan tentang konser The Brandals.

Itu sebenarnya review biasa aja. Cenderung menyampah. 

Philips meninggalkan jejak link dalam komentarnya. Menuju blognya: berburuvinyl.wordpress.com. 

Lalu saya baru tahu kalau itu adalah situs para pemburu piringan hitam. Para mahasiswa yang stress dengan kegiatan kampus, lalu berusaha membunuh penat dengan mencari pirang hitam. Ada beberapa nama penulis di sana. Selain Philips, ada juga Taufiq Rahman. Lalu Ari Perdana. Juga Rizal Shidiq. 

Cita rasa tulisan mereka sama: personal dan hangat. Mereka tidak sekedar bercerita. Mereka seakan mengajak ngobrol pembaca. Tentang hal-hal yang mereka suka: musik. Tulisan macam itu yang membuat saya betah berlama-lama nongkrong di berburuvinyl.

Tak lama berselang, saya mendapatkan email dari Philips. Isinya adalah ajakan untuk menulis di Jakartabeat, situs yang baru ia buat bareng Taufiq. Saya tengok situsnya. Wah cakep. Isinya tulisan-tulisan keren. Ada banyak penulis-penulis handal di sana.

Kebanyakan penulisnya kala itu adalah kawan-kawan lama Philip sendiri. Selain nama-nama yang menulis di berburuvinyl, ada pula nama-nama yang baru saya kenal, yang kualitas tulisannya jempolan dan bercitarasa personal yang sama. Ada Ciptadi Sukono yang tulisannya selalu gurih. Juga tulisan-tulisan Yus Arianto yang selalu menakjubkan. Ada pula Gde Dwitya yang waktu itu masih belum putus cinta dan tercatat sebagai mahasiswa jurusan Sastra Inggris UGM.

Tanpa pikir panjang, saya iyakan ajakan Philips.


Saya sedang patah hati waktu itu. Gara-gara itu, saya hobi sekali mendengarkan album Continuum, album Mayer yang sangat bernuansa patah hati. Kelak saya baru tahu kalau elegi patah hati macam saya ini juga dialami oleh beberapa penulis Jakartabeat lainnya. Saya curiga bahwa Jakartabeat menghadirkan kutukan patah hati bagi para penulisnya yang masih bujang. 

Tak kurang Gde Dwitya dan Ardi Wilda mengalami hal yang serupa. Dan yang kurang ajarnya, mas Philips (saya memanggilnya mas karena belakangan saya tahu kalau umurnya jauuuuuh di atas saya. Karena panggilan Paman atau Om terlalu tidak sopan rasanya) malah mengejek kami, para legiun patah hati itu. Saya masih ingat ejekan mas Philip pada saya.

"Hari gini masih patah hati? Lagian masa rocker patah hati."

Sialan benar. Hahahaha.

***

Jakartabeat sudah saya anggap sebagai rumah saya sendiri. Ia menghadirkan kehangatan dan kebebasan bagi saya. Saya dipersilahkan menulis tentang apapun. Juga dengan gaya menulis yang seperti apapun.

Saya suka sekali musik hair metal. Saya pun dibebaskan menulis apapun tentang hair metal. Saya jelas terkesima. Zaman sekarang, dimana musik hair metal dianggap sebagai artefak masa lalu dari era 80-an, menulis hair metal di sebuah media jelas akan menimbulkan tanda tanya.

Tapi Jakartabeat membebaskan saya. Meski kadang mas Taufiq sering cela-celaan --konteks bercanda tentunya-- dengan saya perihal hair metal ini. Bahkan, dalam suatu kesempatan mengobrol, mas Taufiq seperti membesarkan hati saya dengan berkata, "dulu gue juga suka hair metal. Gue suka Warrant, tapi kurang suka Motley Crue."

Hahahaha.

Bahkan saat saya iseng melemparkan ide untuk menulis liputan panjang tentang hair metal, mas Philips dan mas Taufiq setuju. Bahkan mereka langsung menggelontorkan dana untuk peliputan. Wah, saya bersorak sorai gembira kala itu. Berkat hibah dana peliputan itu, saya bisa ke Yogyakarta dan Jakarta (sempat mampir ke Bandung dan ditraktir bir sama kontributor Jakartabeat lain, Idhar Resmadi). Bertemu dengan orang-orang yang masih dengan gagah dan setia mengibarkan panji hair metal. Hehehe.

Jakartabeat juga tidak seperti media kebanyakan. Ia dibangun berdasarkan kerelaan. Itu artinya, Jakartabeat juga tak menetapkan deadline. Semua tulisan bergantung pada kesiapan sang penulis. Tak ada paksaan. Kalau memang belum bisa mengirim tulisan, ya tidak apa-apa.

Bahkan Awe, pria selo berkacamata itu, pernah mengelabuhi salah satu narasumbernya: Risky Sasono, frontman Risky Summerbee and the Honeythief. Awe bilang kalau ia sedang tidak enak badan. Padahal aslinya ya patah hati habis-habisan. Hahaha.

Selain itu, yang saya suka dari Jakarbeat adalah antar kolega bisa berbincang dengan santai. Saya bahkan pernah menginap di rumah mas Taufiq, lalu keesokan harinya pergi jalan-jalan bareng Mbak Nia dan Amee, istri dan anaknya. Lalu menjelang pulang, saya diberi hadiah CD Tika and The Dissident. Padahal itu adalah pertama kali saya bertemu mas Taufiq.

Kedekatan personal seperti ini juga turut menimbulkan rasa memiliki di Jakartabeat. Saya ingat, sewaktu pulang ke Indonesia, mas Philips sempat menelpon saya hanya untuk menanyakan kabar dan perihal asmara. Hahaha. Mas Rizal Shidiq, kontributor Jakartabeat yang masih nyantol di Amerika, juga seringkali rela menjadi tempat bertanya saya. Kami sering ngobrol via chat dan beliau mengajarkan saya banyak hal.

Konsep relasi hangat macam ini yang membuat saya betah berada di Jakartabeat. Di sisi yang lain, Mas Philips dan Mas Taufiq selalu menekankan pentingnya rasa personal dalam tulisan. Rasa personal macam itu bisa dibaca di banyak tulisan Jakartabeat.

Ada yang bercerita menonton konser dengan istri. Atau berbincang dengan clerk di toko piringan hitam. Juga musik-musik yang menemani bersantai bersama keluarga, atau saat menidurkan anak. Cita rasa seperti itu yang mungkin tak akan anda temukan di media-media kebanyakan.

Sekarang Jakartabeat sudah 4 tahun. Sudah dianggap sebagai media yang besar. Penulisnya makin banyak. Tulisan-tulisannya pun semakin yahud. Bahkan situs ini juga menjadi beberapa sumber polemik yang bikin hangat. Hehehe.

Tapi kadang ada beberapa rasa kehilangan. Salah satunya adalah cita rasa personal dalam tulisan yang kurang saya dapati belakangan ini. Seiring berkembangnya Jakartabeat, situs ini jelas tidak bisa lagi memuat tulisan main-main. Saya memahami itu. Tapi saya yakin, sebenarnya masih ada ruang lapang untuk tulisan-tulisan personal macam itu (belakangan mas Philips menulis esai yang seperti itu, tentang Halloween yang menemaninya tumbuh dewasa). Hanya mungkin banyak dari kami yang sudah bertambah tua dan semakin serius.

Kemarin mas Philips ngomong, "kayaknya Jakartabeat butuh penulis yang masih mahasiswa. Yang dulu masih mahasiswa, sekarang udah pada tua." Kami ngakak.

Tapi apapun itu, semoga Jakartabeat akan semakin berkembang. Semoga kelak, entah kapan, Jakartabeat bisa menjadi majalah cetak yang disegani --seperti kata mas Philips, pertengahan 2009 silam. Mungkin mas Philips perlu menghubungi Anies Baswedan biar beliau bisa turun tangan mewujudkan mimpi itu? Hehe.

Selamat ulang tahun ke 4 Jakartabeat, terima kasih karena selalu menjadi rumah bagi saya :)

post scriptum: Untuk membaca tulisan Gde Dwitya soal Jakartabeat, klik ini. Lalu untuk membaca tulisan Awe, klik ini.

Kamis, 16 Januari 2014

Tak Kie: Kedai Kopi Tanpa Tanding



Jakarta pagi itu sedang terik. Namun saya masih bisa tersenyum. Sebab ini akhir pekan, Jakarta sedikit lengang. Saya sedang membelah ruas Harmoni, menuju Glodok. Di daerah Glodok itu ada sebuah gang legendaris yang dikenal sebagai pusat kuliner klasik. Salah satunya adalah kedai kopi Tak Kie.

Dari berbagai kisah, diceritakan bahwa kedai kopi ini sudah berdiri sejak 1927 silam. Dan dari aneka ria cerita yang berseliweran itu mengatakan kalau interior dan tata ruang kedai kopi ini tak banyak berubah.

Gang Gloria sendiri sudah menjadi legenda khusus. Gang ini kecil saja. Cenderung sangat padat dengan penjual beraneka ria makanan dan camilan di kanan kirinya. Di masa kini, peta resmi DKI Jakarta menyebutnya dengan Jalan Pintu Besar Selatan III. Namun Gloria masih nama yang terlalu seksi dan eksotis untuk diganti dan dilupakan. Jadilah hingga sekarang gang ini masih lebih dikenal dengan nama lamanya.

Meski sempit, gang ini sudah menjadi landmark bagi para pecinta kuliner, terutama kuliner klasik peranakan Cina. Saat masuk kesana, saya merasa ditarik kembali ke masa lalu.

Di bibir gang, saya disambut oleh jejeran penjual beraneka ria makanan dan camilan. Mereka tanggap sekali merayu para pembeli untuk mampir ke lapaknya. Yang dijual beragam. Dari yang halal sampai non halal. Dari nasi campur hingga bakmi. Tinggal pilih apa yang kamu suka saja.

“Mau apa? Nasi campur? Nasi tim?”

“Berapa? Dua porsi ya?”

“Mie pangsit? Langsung dibuatin?”

“Ayo makan di sini saja kak”

Semua pekerja warung-warung kecil di kiri kanan gang itu begitu cekatan. Bahkan ada yang saking cekatannya, begitu saya dan seorang teman sejenak menatap papan menu yang ditempel di kaca, sang penjual langsung menyiapkan dua piring sembari berujar, “makan di sini dua kan?”

Namun saya sedikit menepikan keinginan untuk makan. Tujuan saya masih tetap dan terfokus pada kedai kopi Tak Kie. Kedai kopi ini hanya terletak beberapa meter saja dari bibir gang. Tempatnya tak terlalu besar. Tak ada papan nama yang megah. Bagian depannya malah tertutupi oleh gerobak penjual Sekba dan Bektim (makanan dari jerohan babi). Sangat sederhana untuk sebuah kedai kopi yang sudah berdiri sejak tahun 1927.

Ketika saya masuk ke dalam kedai, saya terkesiap. Rupanya benar, tata ruang dan interior tak banyak berubah. Di dinding ada beberapa foto lawas kedai ini. Selain itu ada beberapa poster film yang mengambil kedai ini sebagai setting adegan. Poster itu dipigura dan juga dipajang di dinding. Tak ada pendingin ruangan. Apalagi sofa empuk dan wifi. Hanya ada kursi kayu dan kipas angin uzur yang bergantung di bagian atas dinding. Di bagian atas dapur tergantung satu papan berukuran besar bertuliskan “Kopi Es Tak Kie” dengan tambahan huruf China yang saya tak tahu artinya. Namun suasana seperti ini yang susah sekali dicari padanannya. Saya tersenyum senang.



Setelah puas memandangi tata ruang yang mengagumkan dan apa adanya, saya melempar pandangan ke arah dapur. Hanya ada satu “barista” yang bertugas membuat kopi.

Tak ada menu kopi yang macam-macam di kedai ini. Hanya ada dua pilihan: kopi hitam atau kopi susu. Dengan es atau tanpa es. Kopi hitam dihargai ceban, (10.000). Kalau ditambah susu cukup menambah seceng (1.000) saja. Sangat murah untuk ukuran kedai kopi tanpa tanding. Sebagai pembuka, saya memesan kopi susu es. Barista itu langsung menuang susu kental manis ke dalam gelas panjang, lalu mengguyurnya dengan kopi hitam dari dalam teko aluminium. Diaduk sedikit hingga warnanya jadi kecoklatan.



“Kopi untuk kopi es ini dibuat pagi hari mas, jam 4 sudah dibuat,” kata sang barista yang malu-malu tak mau menjawab saat saya tanyakan siapa namanya. Kopi yang dibuat jam 4 pagi ini ditampung di dalam panci berukuran sedang. Nanti saat kedai siap beroperasi pada pukul 7 pagi, kopi sudah dingin. Nah, kalau kopi yang sudah mendingin itu diberi es, rasa tak akan terpengaruh. Rasa kopi masih akan tetap sama.

Seringkali yang sama temukan, kopi es selalu disajikan seperti begini: kopi yang baru diseduh, lalu diberi es batu. Akibatnya panas dari kopi itu langsung melumerkan es dan membuat cita rasa kopi tak terlalu nampak, terkalahkan oleh air tambahan dari es yang mencair itu.

Tak perlu menunggu lama, saya langsung menenggak kopi es itu. Glek, glek, glek. Tiga tegukan sekaligus melewati kerongkongan yang sedari tadi kering dipanggang srengenge. Segar! Rasa asam kopi sedikit samar oleh legitnya susu kental manis. Tak perlu lidah ala coffee aficionado untuk mengetahui kalau ini adalah kopi susu pilihan.

Selain rasanya yang boleh dipujikan, suasana minum kopi di Tak Kie ini memang sukar dicari tandingannya. Bayangkan adegan ini: di meja sebelah, ada seorang opa yang rambutnya sudah putih keperakan. Ia sungguh rapi jali. Rambutnya disisir kebelakang. Ia sedikit mengomel dalam bahasa Mandarin karena ia tak diberi sumpit, melainkan sendok.

“Mana enak makan mie pake sendok!” ujarnya bersungut-sungut.

Sedang di meja yang lain, ada sepasang suami istri berusia lanjut yang dengan tenang menyeruput kopi dari cangkir sembari makan bakcang. Sedang di pojokan yang lain, ada 4 orang anak muda yang riang gembira meminum es kopi, yang aduhai cocok sekali diminum kala panas seperti ini. Sementara itu penjual asongan bersliweran. Yang dijual beragam. Mulai alat kerok hingga kaos singlet.

Selain kopi, Tak Kie juga menyediakan beberapa kudapan dan makanan berat. Mulai pangsit kuah, pangsit goreng, nasi campur, bakso, hingga bakcang. Ada yang halal dan ada yang tidak halal. Jadi bagi yang muslim, ada baiknya bertanya terlebih dulu.

Saya mencari pengelola Tak Kie untuk mengobrol. Namun sang kasir —yang ternyata juga salah satu pengelola— membuat saya jadi agak segan. Ia tampak sibuk dengan lembaran uang dan tamu yang datang membayar. “Nanti saja sama kakak saya ngobrolnya” ujarnya pendek. Saya menurut.

Sang kakak yang dimaksud adalah A Yauw alias Latif Yunus. Saat itu ia sedang keluar. “Kalau mau ngobrol sebenarnya enak hari biasa aja, jangan akhir pekan,” kata sang kasir. Menurutnya, tamu jadi berlipat ketika akhir pekan. Agak susah mencari waktu santai buat ngobrol.

Selagi menunggu Latif datang, saya berkeliling sejenak di seputar Gang Gloria. Mencoba Kari Lam, kari gagrak Medan yang juga tak kalah legendaris itu. Pembeli bisa memilih mau kari ayam kampung atau kari sapi. Saya memilih kari ayam kampung. Dagingnya dipotong-potong dengan menggunakan gunting klasik —sekujur bagian gunting terbuat dari besi. Sesekali gunting memotong angin, menimbulkan suara denting besi beradu yang merdu sekaligus sangat puitis.

Setelah Kari Lam tandas, petualangan saya belum usai. Saatnya mencari nasi tim A Ngo. Bondan Winarno, penulis terkenal sekaligus penyuka kuliner kelas wahid pernah merekomendasikan nasi tim itu dengan pujian, “…nasi tim-nya harum dan sangat lembut. Mungkin yang terbaik di seluruh Indonesia.”

Sayang sekali warung nasi tim A Ngo ini sudah tutup. A Ngo memang sudah berusia lanjut. Bondan mengatakan kalau sang maestro nasi tim itu hanya berjualan pada akhir pekan saja, dan dengan durasi yang tak terlampau panjang. Saya menengok jam. Sudah lebih dari jam 1. A Ngo mungkin sekarang sudah beristirahat di kamarnya sembari mengibaskan kertas koran di depan wajahnya untuk mengusir peluh akibat terik yang kurang ajar.

Selepas perut kenyang, maka saya kembali lagi ke kedai kopi Tak Kie. Kali ini saya ingin mencoba kopi hitamnya. Tetap dengan es, karena terik semakin tak sopan. Maka ketika kopi tersaji, langsung saya tenggak. Kali ini rasa asam yang dominan ala Arabika menyerbu lidah dan dinding mulut. Nuansanya sangat berbeda dengan kopi susu yang manis itu.

Ketika kopi tinggal separuh gelas, akhirnya Latif datang dan duduk di meja kasir. Saya menghampirinya, mengajaknya sedikit berbincang.

Latif adalah pria keturunan Cina berusia akhir 6 dekade. Rambutnya sudah banyak yang putih. Namun bicaranya masih lantang. Ia masih tegas. Latif masih yahud meladeni obrolan bahasa Mandarin para konsumennya. Daya ingatnya masih kuat. Ia selalu menyiapkan kertas untuk catatan pesanan tiap meja. Walau senyumnya sedikit pelit, ternyata ia ramah dan bersedia menjawab apapun pertanyaan saya.

“Usaha ini dimulai dari kakek saya. Namanya Kwie Tjong, asli dari Kanton,” kata Latif. Sang kakek memulai usaha kedai kopi dalam bentuk kaki lima. Tempat berdagang pertamanya tak jauh dari seputaran Glodok. Pada tahun 1930, barulah Kwie membeli sepetak bangunan di Gang Gloria yang sampai sekarang dikenal sebagai kedai kopi Tak Kie.

Latif yang anak ketiga dari 9 orang bersaudara mewarisi kedai kopi ini dari sang bapak. Ia bersama 7 orang saudaranya mulai meneruskan bisnis keluarga ini pada tahun 1973. Hingga sekarang mereka masih kompak. Mereka sudah punya bagian masing-masing. Ada yang bagian memasak kudapan, menyajikan ke pengunjung, manajemen, hingga mengurus pembelian biji kopi.

 A Yauw alias Latif

“Biji kopinya adalah Arabika dari Lampung. Tapi kami ngambilnya di Jakarta, dari 5 pemasok,” terang Latif. Biji-biji yang sudah di roast itu lantas diproses sendiri dengan mesin pemroses kopi tradisional yang sudah ada semenjak puluhan tahun lalu. Kedai kopi Tak Kie bisa menghabiskan 10 kg kopi bubuk dalam 10 hari. Kalau sedang ramai, bisa habis dalam waktu 7 hari saja.

Memegang tampuk usaha kedai kopi legendaris tentu membawa banyak cerita. Salah satunya adalah keterkejutannya ketika tahu bahwa masih ada banyak anak muda yang mau minum kopi di tempatnya. Ia sempat merasa kalau anak-anak muda sekarang lebih suka minum kopi di kedai kopi modern, dengan pendingin udara dan sambungan internet nirkabel. Namun pandangannya berubah karena acap menemui gerombolan anak muda yang minum kopi di Tak Kie.

“Bahkan ada yang dari Depok, dari Bekasi, jauh-jauh datang ke sini buat minum kopi. Itu saya kaget,” tuturnya sembari memberi satu senyum. Senyum pertama hari ini yang saya lihat dari beliau.

Salah satu kebanggaan lainnya adalah saat calon Gubernur DKI Jakarta Jokowi —sekarang sudah resmi jadi Gubernur— mampir ke kedainya. “Pak Jokowi datang dan minum kopi di sini, ini fotonya,” ujarnya sembari mengeluarkan beberapa lembar foto berukuran 4R dari lacinya. Di foto itu tampak Jokowi yang memakai baju kebesarannya, kotak-kotak merah putih, minum kopi dengan tenang. Juga foto bareng dengan Latif dan keluarganya.

Meski masih banyak pengunjung yang rela datang demi nostalgia dan rasa kopi yang enak, Latif sadar kalau kedai kopi ini akan menghadapi ancaman laten yang besar. Yakni mengenai penerus.

Latif dan saudara-saudaranya memang sudah tak muda lagi. Tak mungkin mereka akan mengurus kedai kopi Tak Kie hingga 10 atau 20 tahun mendatang. Sedang generasi penerus mereka sepertinya tak tertarik untuk menjadi pemegang tampuk bisnis keluarga.

“Anak-anak pada kerja masing-masing. Kalau ada yang mau nerusin ya lanjut. Kalau gak ada ya bubar,” kata Latif sembari terkekeh. Ia menghadapi masalah ini dengan santai belaka. Padahal saya sedikit waswas kalau kedai kopi ini akan hilang ditelan zaman yang semakin kencang berlari. Namun semoga ini hanya ketakutan saya saja.

Saya menyeruput sisa setengah kopi es saya. Segarnya masih melenakan. Di luar sepertinya panas sudah hampir minggat. Sedang beberapa pegawai Tak Kie sudah mulai membersihkan meja. Beberapa menit lagi menuju jam 2 siang, kedai ini akan tutup. Setelah gelas tinggal berisi udara, saya mengangkat pantat dari kursi, beranjak keluar. Keluar dari Gang Gloria, saya mendecak kesal. Macet. []

post-scriptum: Tulisan ini awalnya dimuat untuk situs minumkopi.com

Senin, 13 Januari 2014

Ayah Yang Kehilangan Anak Perempuannya

Hubungan ayah dan anak perempuan itu hubungan yang rumit. Tak kalah dengan kerumitan hubungan ayah dan anak lelakinya. Kalimat 'men from Mars, women from Venus' yang seringkali melambangkan kondisi centang perenang, rupanya tak hanya terjadi di hubungan romantis lelaki dan perempuan. Tapi juga antara ayah dan anak perempuannya.

***

Sampai sekarang saya belum pernah jadi ayah. Apalagi jadi ayah bagi anak perempuan. Tapi beberapa kali saya menyaksikan kejadian bagaimana rumitnya hubungan antara ayah dan anak perempuannya. Selain beberapa kejadian di dunia nyata, pengalaman menyaksikan hubungan ayah dan anak perempuannya saya dapat di beberapa film. 

Salah satunya saat saya menonton film besutan Ang Lee, Eat Drink Man Woman (1994). Ini sebenarnya film tentang makanan. Namun drama dalam film ini juga menjadi daya tarik kuat, selain teknik-teknik memasak makanan Cina yang diperlihatkan dengan sangat baik.

Kisah film ini berpusat pada hubungan Mr. Chu, seorang kepala koki yang disegani, dengan tiga orang anak perempuannya: Jia-Jen, Jia-Chien, dan Jia-Ning.

Mr. Chu yang sudah lama menjadi duda adalah tipikal ayah yang keras dan sedikit otoriter. Salah satu bentuk kuasanya adalah melarang anak perempuannya untuk hidup mandiri dan keluar dari rumah. Karena sikapnya yang keras dan mau menang sendiri itu, para anak perempuannya sudah merasa tak betah di rumah. Mereka ingin keluar.

Setiap hari Minggu, Mr. Chu, sang koki yang sudah mulai menua dan kehilangan indera perasanya itu, selalu memasak besar buat tiga anak gadisnya. Malam harinya, ada ritual makan malam bersama. Namun jangan membayangkan suasana yang hangat dan meriah. Hanya ada kekakuan dan keheningan di atas meja makan.

Kisah selanjutnya berlari kencang menuju arah yang sudah bisa ditebak: anak-anaknya mulai meninggalkan rumah dengan alasan yang beraneka ragam. Meski hingga 2/3 isi film bisa ditebak, namun ending film ini begitu mengejutkan. Dilengkapi dengan kisah pingsannya seorang janda cerewet yang naksir Mr. Chu, yang membuat saya tersenyum tiada henti.

Gara-gara menonton film berjudul asli Yin Shi Nan Nu ini, saya jadi berpikir beberapa hal. 

Anak gadis, sama seperti anak lelaki, saat sayap sudah mulai bisa mengembang dan mengepak, akan pergi dari rumah. Mereka akan meninggalkan sang ayah yang mungkin akan menua dalam kesepian. 

Namun entah kenapa, dalam beberapa kejadian yang saya lihat sendiri, perginya anak perempuan dari keluarga --entah itu untuk hidup mandiri, atau dibawa sang suami-- lebih sentimentil ketimbang kepergian anak lelaki.

Begitu pula Mr. Chu yang sebenarnya begitu ketakutan dan dirundung melankolia ditinggal anak perempuannya. Namun sebagai lelaki berkepala batu, ia enggan menunjukkan kerisauan macam itu. Gantinya, ia bersikap keras dan seakan ingin anak-anaknya agar keluar dari rumah sehingga ia bisa hidup dengan tenang.

Sang kawan karibnya, Wen, berulang kali menasihati Chu agar tak perlu ketakutan berlebihan saat sang anak perempuan pergi dari rumah. Itu semacam kepastian yang tak akan bisa dihindari.

"Jangan terlalu khawatir dan marah. Para anak gadis tentu akan keluar dari rumah pada saatnya. Itu pasti akan terjadi."

Si tua Chu sebenarnya sadar betul akan hal itu. Sebagai koki, ia lantas mengibaratkan mengasuh anak perempuan sebagai memasak.

"Membesarkan anak perempuan itu seperti memasak makanan. Kamu akan kehilangan selera saat pekerjaan itu selesai." Chu mengatakan itu dengan raut muka yang tertekuk. Sorot matanya memancarkan satu hal.

Kesepian yang akan menjelang.

***

Saat ayah saya meninggal, selain mamak, yang paling kelihatan terpukul adalah dua orang adik perempuan saya. Mereka menangis. Orin, anak ketiga di keluarga kami, bahkan sempat pingsan. 

Orin dan Shasa, si bungsu, adalah daddy's little girl. Anak gadis kesayangan ayah. Tak perduli seberapa banyak deret umurmu, seberapa mandiri kamu, seberapa tangguh kamu, bagi seorang ayah, anak perempuan akan selalu jadi anak perempuan kecil kesayangannya. Yang patut dilindungi. Yang wajib dijaga.

Kehilangan ayah tentu sangat menyakitkan bagi Orin dan Shasa. Namun saya belum pernah --dan tak akan pernah bisa-- menanyakan kepada ayah: bagaimana perasaannya jika suatu saat Orin dan Shasa pergi dari keluarga karena diboyong oleh suami mereka.

Mungkin ayah akan bangga. Bisa membesarkan anak-anak perempuannya hingga mereka menikah. Tapi  di satu sisi, jelas ayah akan sedih. Tak ada ayah yang tak sedih ditinggal anak perempuannya. Saya sih yakin begitu. 

Melihat anak perempuannya tumbuh dewasa bisa jadi hal yang sedikit mengkhawatirkan bagi semua ayah manapun. Anak perempuannya akan mengalami masa puber. Jatuh cinta. Dan tinggallah sang ayah menghitung mundur: anaknya akan dipinang orang dan pergi dari rumah.

***

Hubungan ayah dan anak perempuan adalah hubungan yang rumit. 

Namun hubungan rumit macam itu juga mengajarkan tentang kerelaan yang luar biasa. Seorang ayah tentu harus rela berpisah dengan anak perempuannya --yang sudah ia rawat dengan kasih sayang berpuluh tahun-- saat ia menikah kelak. Seorang ayah tentu harus berbesar hati saat anak perempuannya dipinang, dan menemukan tempat bersandar baru: lelaki baru yang akan menggantikan tugasnya untuk menjaga sang anak perempuan kesayangan.

Saat saya melihat sorot mata kesepian dari pak tua Chu, saya jadi memikirkan sesuatu. Ini tentu iseng, dan mungkin sedikit kurang ajar. Tapi bisa jadi, para ayah yang meninggal sebelum menyaksikan anak perempuannya menikah adalah ayah yang berbahagia. 

Mereka tak perlu menyaksikan sang anak yang dirawat berpuluh tahun melambaikan tangan isyarat perpisahan. Mereka tak perlu merasakan kesepian yang datang merambat perlahan. 

Bisa jadi, ayah saya mungkin berbahagia sebab tak perlu menyaksikan Orin dan Shasa pergi dari rumah membentuk keluarga baru. Tak perlu ada kesepian itu.

Mungkin saja.[]

post-scriptum: Tulisan ini saya buat sudah sekitar sebulan lalu. Tapi baru sekarang bisa saya selesaikan. Awalnya tulisan ini saya tulis dengan angle anak perempuan yang kehilangan sang ayah. Namun lantas saya ubah sudut pandangnya. Sekedar untuk memberikan pemahaman yang sedikit berbeda. Tulisan pendek ini saya dedikasikan untuk Elya, adik perempuan saya di Tegalboto, yang dirundung duka karena ayahnya meninggal beberapa waktu lalu. Juga untuk Artitik Dyah Ikhsanti, senior saya di Tegalboto, yang juga sudah ditinggalkan sang ayah. Tentu juga buat dua adik perempuan saya: Orin dan Shasa. 

Kamis, 09 Januari 2014

Dari Jogja, Jakarta, dan Jember

Anjing itu selalu punya aura yang mengintimidasi.

Itu adalah pengalaman bawah sadar saya yang dulu pernah dikejar dan digigit anjing sewaktu kecil. Pengalaman tak elok itu membekas hingga saya dewasa. Sampai umur seperempat abad, saya selalu bergidik ngeri kalau melihat anjing. Jika ada anjing duduk di tengah jalan, saya memilih untuk mencari jalan memutar. Intinya, sebisa mungkin saya menghindari rendezvouz dengan anjing.

Sampai saya bertemu dengan sebongkah bulu berwarna putih gading itu.

Ia anjing. Umur 2 bulan. Belum bisa menggonggong. Hanya bisa menguik. Tatapan matanya sayu. Pantatnya berisi. Ekornya suka goyang-goyang.





Ia datang di suatu pagi, saat semua penghuni kontrakan saya belum terlalu sadar benar dari tidur. Seorang kawan dari Real --salah satu penghuni kontrakan-- menghibahkan anjing ini pada kami.

"Gelem gak ngingu asu?" tanya Real. 

Saya yang setengah sadar, menjawab cepat: mau!

Saat itu tak ada yang saya pikirkan. Meski saya takut anjing, saya selalu ingin punya anjing. Pasalnya? Tak jelas. Itu mungkin juga pengaruh bawah sadar, lagi. Beberapa tokoh fiksi idola saya berteman akrab dengan anjing. Membuat saya jadi ingin punya anjing suatu ketika.

Lalu datanglah si gundukan bulu berwarna putih gading itu. Saya spontan menamainya Ozzy. Kenapa Ozzy? Entahlah, dalam masa setengah bangun-setengah tidur, tiba-tiba saja nama itu muncul tak tahu dari mana.

Itu dari Ozzy Osbourne? Entahlah. Saya tak terlalu dekat dengan sang pangeran kegelapan itu. Tak terlalu menyimak takzim musik-musiknya di Black Sabbath. Bukan pula penggemar proyek solonya --kecuali saat ia bareng Randy Rhoads. Tapi nama itu muncul tiba-tiba, macam ilham bagi para pemikir.

Jadilah anjing yang berumur 2 bulan itu dipanggil Ozzy. Setelah terlanjur akrab memanggilnya sebagai Ozzy, kami lantas tahu kalau ia betina. Tak apalah. Ozzy juga nama unisex, sonder gender.

Maka mulailah hari-hari penghuni kontrakan 316 C bertambah ramai. Entah dengan uikan. Entah dengan dengus kesal Real atau Sawir karena Ozzy buang air di sembarang tempat. Kami mengajarinya untuk buang air di tempat yang disediakan, tentu. Tapi ia terlalu bandel. Pasir tempatnya buang air diacak-acak. Berhamburan. Hingga membuat Real kesal. 

Tiap sore, biasanya kami ramai-ramai mengajaknya bermain. Biasanya di depan rumah. Kami suka melempar sandal, lalu Ozzy dengan girang dan riang mengejarnya. Lalu menggigitnya, dan dengan susah payah --sandalnya lebih berat ketimbang berat badannya-- membawanya kembali pada kami.

Kami juga pernah membawanya di waduk besar dekat kontrakan kami. Jalan-jalan sore. Ozzy banyak digemari para perempuan yang gemas dengan parasnya. Ia pun diuwel-uwel sedemikian rupa.

Paras Ozzy memang menggemaskan. Tak heran banyak penggemarnya. Di sekitar hunian kami, ada beberapa balita dan pengasuhnya yang rutin memanggil Ozzy tiap kali kami jalan-jalan sore. Biasanya, para pengasuh itu mencatut nama Ozzy agar sang balita mau makan.

"Hayoo, kalo gak mau makan, nanti nasinya dimakan Ozzy lho." Dan dengan cepat, beberapa bayi itu melahap makanannya.

Ozzy mungkin bukan anjing kebanyakan. Ia jarang sekali menggonggong. Ia takut kucing. Ia gemar mengejar kupu-kupu dan ayam. Pernah ada ayam tetangga sampai jatuh ke selokan yang dalam gara-gara ketakutan dikejar Ozzy.

Namun saat menginjak 6 bulan, ia sudah mulai menggonggong. Gonggongannya keras. Kadangkala terlampau sering. Sampai membuat beberapa dari kami terganggu. Bagaimana tidak, Ozzy mulai rutin menggonggong jam 7 pagi. Saat sebagian besar penghuni kontrakan baru mulai tidur.

Biasanya kalau begitu, saya memindah Ozzy di dekat jendela kamar saya. Saya mengelus kepalanya pelan sembari memberitahunya, "aku belum tidur Ozz, jangan gonggong dulu ya."

Ajaib, dia diam seribu gonggongan.

Di bulan-bulan penghabisan 2013, Ozzy mungkin merasa tersiksa. Pasalnya, hujan turun nyaris tiap hari. Sepanjang siang hingga petang. Membuat jadwal rutin larinya jadi terganggu. Ia tampak stress. Walau tak lama. Saya memindahkan jam larinya pagi hari, menjelang saya berangkat tidur.

Namun itu belum puncak stress Ozzy.

Titik kulminasinya terjadi waktu kontrakan kami habis masa sewanya. Negosiasi dilancarkan, agar sang pemilik mau mengontrakkan rumahnya setengah tahun saja. Sebab beberapa dari kami sudah, dan akan, lulus dalam waktu dekat. Mengontrak satu tahun merupakan kemubaziran. Tapi sayang, pemilik rumah menggeleng.

Jadilah kami berpencar. Menghuni kosan baru, masing-masing. 

Saya membawa Ozzy turut serta. Dengan senang hati tentu saja. Tempat penampungan saya yang baru punya taman yang lumayan luas di belakang. Ozzy tampaknya senang. Ia berlarian dengan riang. Sayang, Ozzy masih suka menggonggong tengah malam dan subuh. Sedikit mengganggu para tetangga.

Dan hari yang menghancurkan hati saya itu tiba juga.

Suatu pagi, seorang ibu mengetuk pintu rumah. Saya membuka pintu, dan langsung ditanya: siapa yang melihara anjing? Saya menjawab singkat: saya.

"Di sini gak boleh melihara anjing mas. Mengganggu. Di sini juga orang Islam semua, gak suka sama anjing," kata sang ibu sedikit ketus.

Saya cuma menganggukkan kepala sembari minta maaf, dan berjanji akan memindah Ozzy siang itu juga. Sedih, tentu. Selepas ibu itu minggat, saya ke belakang. Mengelus kepala Ozzy. Terus berkhayal andai saja Ozzy bisa paham kalau ia tak disambut dengan baik di sini.

Lalu saya mulai mencari siapa yang bisa menampungnya. Barang dua-tiga bulan. Panjul, kawan baik saya yang hobi nangis itu, bersedia. Tapi ternyata sang pemilik kontrakannya sedikit keberatan dengan anjing di rumahnya. Saya pun bingung. Kembali mencari siapa yang bersedia menampung Ozzy.

Akhirnya  ide terakhir muncul di kepala: Rani.

Ia sudah lama ingin melihat Ozzy. Perempuan saya ini tentu dengan senang hati memelihara Ozzy. Setelah dihubungi, Rani setuju. Berbunga-bunga ia, karena tak lama lagi bisa bertemu dengan Ozzy. Tapi masalahnya: Rani ada di Jakarta. Itu artinya Ozzy harus dikirim ke ibu kota yang kejam itu.

Maka sore itu, saya tak akan lupa, Panjul membonceng saya yang membawa Ozzy dalam kandang besi. Berat. Panjul pun sedikit tak nyaman posisi duduknya. Ia juga memaki saya yang membual kalau bisa membawa Ozzy dan kandangnya dengan satu tangan saja.

"Matamu. Berat gini mau lu bawa pake satu tangan. Satu tangan biji lu," maki Panjul sembari ketawa-tawa.

Tapi akhirnya Ozzy sampai juga  di pengiriman barang. Saya mengirimnya via perusahaan ekspedisi Herona. Di hari yang sama, selisih satu jam, saya juga akan pergi ke Jakarta. 

Ozzy berwajah sedih sore itu, seperti tahu bahwa ia akan mengucap pisah dengan Yogyakarta, kampung halamannya. Tempat ia berlarian dengan puas di sepetak tanah kosong di samping kontrakan. Tanah kosong itu, andai Ozzy tahu, akan dijadikan perumahan cluster sebentar lagi.

Tak sampai setengah tahun Ozz, kolam ikan tempat kau melongok-longok hingga pernah tercebur itu, akan diganti pasak beton. Lalu tanah tempat kau menginjakkan kaki dengan riang, akan diganti plester keramik. Tak ada lagi rumput yang bisa kau sesap airnya Ozz. Jadi tak usahlah terlampau sedih.

Jakarta menunggumu...

***

Maka hari pun berjalan dengan lebih ramai bagi Rani. Ia dengan cepat lengket dengan Ozzy. Sang anjing yang sekarang berusia 8 bulan ini pun seperti senang mendapat perhatian dobel, dari saya dan Rani.

Rani seringsekali memanjakan Ozzy. Dibelikan tulang-tulangan hingga dua kali. Juga tempat makan baru berukuran besar. Hingga shampoo. Tiap malam sepulang kerja, Rani mengelus punggung Ozzy hingga  anjing manja itu tertidur. 

Saat malam tahun baru misalnya, Rani dengan selo mengelus punggung Ozzy yang ketakutan karena bunyi ledakan kembang api di udara. Rani melakukannya hingga jam 1 pagi, hingga Ozzy capai dan akhirnya jatuh tertidur.

Gara-gara perhatian macam itu, Ozzy jadi sedikit lebih manja ketimbang biasanya. Ia tak mau ditinggal. Setiap ditinggal, ia menguik, semacam gestur minta perhatian.

Sayang, setelah berhasil mengelabuhi pengelola hunian Rani, akhirnya Ozzy ketahuan. Tempat tinggal Rani memang tak membolehkan penghuni memelihara anjing. Maka Ozzy pun diusir. Rani menangis sore itu. Sesenggukan.

"Kasihan kamu nak, kok diusir lagi," katanya sembari terisak. Drama sekali. Sedang Ozzy dengan tenang menggigit-gigit tulang mainannya.

Kami berdua pun kembali pontang panting mencari orang tua asuh sementara bagi Ozzy. Saya minta saran kak Pito yang menggemari dan akrab dengan dunia anjing. Perempuan manis-tapi-single-dan-sedang-mencari-teman hidup ini menyarankan saya menghubungi Doni Iblis (@doniiblis).

Om Doni yang memang terkenal sebagai animal defender, menyarankan saya untuk menitipkan Ozzy di Rumah Terraria, sebuah rumah penampungan anjing. Sayang, rumah penitipan itu tutup hingga tanggal 10 Januari. Sedang Ozzy sudah diusir.

1 Januari 2014, kami tak akan lupa malam itu. Kami bertiga --saya, Rani, Ozzy-- duduk di pos ronda depan tempat tinggal Rani. Menunggu Mico membawa motor pinjaman. Rencananya kami akan berkeliling mencari tempat penitipan anjing. Rani nangis lagi malam itu. Saya sedih, cuma tak ingin menunjukkan dengan cara dramatis macam itu.

Sayang, saat itu tahun baru. Semua tempat penitipan anjing sedang libur. Untung kami bisa melobi pemilik hunian Rani, jadi Ozzy bisa menginap semalam di taman. Esoknya, 2 Januari, Ozzy menghuni sebuah kandang di pet shop seputaran Tebet. Sementara itu, kami masih sibuk mencari orang tua asuh sementara.

Ternyata tak gampang mencari orang tua asuh bagi anjing. Ada banyak pertimbangan. Seperti, apakah mereka terbiasa memelihara anjing? Apakah mereka mau repot? Atau apakah tetangga mereka tak keberatan? Ya pertimbangan-pertimbangan macam itu juga perlu kami pikirkan agar kedua belah pihak sama-sama tak rugi.

Akhirnya, di hari ke 5 Ozzy dititipkan, Orin, adik saya, memberitahu kalau kawannya bersedia menampung Ozzy barang 2-3 bulan. Sampai saya dan Rani tinggal bersama di Jakarta.

Rumah sang kawan ada di Jember. Kota itu pula yang mendasari kami setuju Ozzy pindah ke sana. Jember kampung halaman saya. Jadi saat saya pulang, saya bisa menengoknya. Lagipula, kawan adik saya itu tinggal di rumahnya sendiri. Tak ada yang berkeberatan ia memelihara anjing. Bagus lah.

Akhirnya kami membawa Ozzy ke stasiun untuk dibawa ke Jember. Ke timur. Nyaris 1000 km. Membawa Ozzy ke stasiun Jakarta Kota pun penuh pengorbanan. Tak ada taksi ataupun bajaj yang mau membawa anjing. Kami maklum. Bulunya rawan mengganggu kenyamanan penumpang berikutnya.

Akhirnya satu ojek mau membonceng Rani dan Ozzy. Sedang saya membawa kandang besinya naik kereta api. 

Kami menghabiskan sore itu di stasiun Jakarta Kota. Di gudang milik Herona, sebuah ekspedisi pengiriman yang tak berkeberatan mengirim anjing.




Gegana memerah. Mata Ozzy juga merah. Ya, ia menangis. Sukar dipercaya memang. Tapi saya melihatnya sendiri, bagaimana matanya memerah, lalu basah. Tak ayal, Rani, lagi-lagi, turut menangis.

"Duh anakku, yang sabar yaaa," kata Rani sembari mengelus Ozzy dan sesekali memeluk. Drama.

Kami di stasiun sekitar 2 jam. Saat jarum pendek jam bergerak ke arah angka 5, kami pun berpisah dengan Ozzy. Ia menuju timur. Tanpa kami yang akan menjemputnya di sana.

So long Ozzy!

***

Kemarin sore Orin mengabari kalau Ozzy sudah sampai. 24 jam perjalanan Jakarta-Jember. Ozzy insyaallah tak kelaparan atau kehausan. Sebab saya menitipkan Ozzy pada seorang petugas penjaga di kereta. Dengan imbalan salam tempel tentu saja. Tak ada yang gratis di dunia ini bung.

Orin mengirimi saya foto Ozzy. Ia tampak lelah dalam kandang besinya. Orin tetap setia mengirimi kabar ke saya yang sangat cerewet menanyakan setiap perkembangan Ozzy.

Ozzy dirawat teman adik saya. Namanya Demi Nugraha. Teman SMA sekaligus teman kuliah adik saya. Saya dikirimi gambar terbaru Ozzy tadi pagi. Ia tampak tenang bersantai di depan rumah Demi. Saya senang, tampaknya rumah Demi nyaman.



"Nanti sore mau diajak jogging," kata Orin.

Mungkin Ozzy akan ada di Jember 2 hingga 3 bulan. Hingga nanti bulan April atau Mei, saat saya sudah menetap di Jakarta --kemungkinan besar. Saya dan Rani sekarang sedang mencari kontrakan, yang ada halaman, walau tak terlalu luas. Supaya bisa menampung Ozzy. 

Sekarang sabar dulu ya Ozz. Puas-puasin bermain di Jember. Semoga kelak, kita bisa pindah ke kota itu lagi.

Salam peluk dari jauh.

Teman baikmu.

Tebet Raya, 9 Januari 2014.

Rabu, 08 Januari 2014

Di Balik Anyer 10 Maret

Ada beberapa lagu yang sangat multi interpretasi. Karena itu, seringkali para pendengar salah sangka terhadap maksud lagu, arti lirik, dan sebagainya. Tapi wajar, sebab lirik memang ada supaya (seharusnya) diinterpretasikan berbeda. 

Salah satu lagu yang demikian itu adalah "Anyer 10 Maret" milik Slank. Lagu ini masuk dalam album ketiga Slank, Piss, yang dirilis tahun 1993. Bahkan tak hanya lirik yang menimbulkan aneka ria dugaan dan terkaan, bahkan sejarah pembuatannya pun sedikit misterius.

Bimbim, dalam suatu wawancara dengan majalah HAI, pernah mengatakan kalau lagu itu dibuatnya bersama Kaka. Saat itu mereka baru saja putus cinta. Untuk melampiaskan kekesalannya, mereka berdua pergi ke Anyer. Mabuk-mabukan sampai pagi.

"Trus botolnya gue buang ke tengah laut," kata Bimbim saat itu.  

Jika mencermati liriknya, sekilas memang tampak bahwa itu lagu tentang putus cinta. Kehilangan kekasih. Ya semacam itu lah. Saya pikir saya tak sendirian dalam mengartikan lagu itu sebagai lagu cinta.

Namun saya mendapat cerita yang berbeda dari Iffet Sidharta, sang ibunda Bimbim, sekaligus manajer Slank. 

Siang itu, 24 September 2013, Jakarta sedang panas. Saya datang ke Potlot untuk melakukan wawancara dengan Bunda --panggilan Iffet. Obrolan itu berlangsung lebih dari 1 jam. Sangat menyenangkan. Bunda orangnya sabar, suka sekali bercerita, dan ramah. Sama seperti apa yang saya bayangkan sebelumnya.

Dari obrolan itu pula saya mendapat versi berbeda mengenai proses penciptaan lagu "Anyer 10 Maret" yang sekarang jadi lagu legendaris.

Bunda mengatakan bahwa lagu itu adalah ciptaan Kaka. Itu bukan lagu cinta biasa. Itu adalah lagu cinta Kaka kepada sang ibunda, Hiruna.

Hiruna, yang merupakan adik dari Bunda Iffet, meninggal pada tahun 1980. Saat itu Kaka masih berumur 6 tahun. Kaka lantas diasuh oleh Bunda Iffet.

Kehilangan sang ibu di umur yang masih terlampau muda, membuat Kaka merindukan kasih sayang seorang ibu. Rasa rindu itu semacam abadi, membekas hingga Kaka beranjak dewasa.

Maka saya membayangkan, Kaka remaja (ia baru berumur 19 tahun saat album Piss dirilis), di antara sadar dan mabuk "... bergelas-gelas arak", menuliskan lirik lirih untuk sang ibunda.

Malam ini
Kembali sadari aku sendiri
Gelap ini
Kembali sadari engkau telah pergi

[...]

Tanpa dirimu dekat dimataku
Aku bagai ikan tanpa air
Tanpa dirimu ada disisiku
Aku bagai hiu tanpa taring
Tanpa dirimu dekap dipelukku
Aku bagai pantai tanpa lautan

Rasa-rasanya saya tak perlu lagi menceritakan betapa magisnya aura lagu ini. Setiap lagu ini dimainkan di konser-konser Slank, rasanya tak ada penonton yang menjerit histeris. 

Di pagelaran Soundrenaline 2013 di Yogyakarta, Slank tampil dengan formasi reuni. Saat Indra Q, mantan keyboardis mereka, menekan tuts dan memainkan intro "Anyer 10 Maret", semua penonton berteriak. Para penonton yang berusia 30-an pasti tersergap haru akan nostalgia. Saya pun demikian. 

Merinding bukan buatan.[]

Post scriptum: Ngomong-ngomong, selain menciptakan lagu "Anyer 10 Maret", Kaka juga menuliskan lagu berjudul "Bisikan Mama" yang muncul di album 999 + 09. Berbeda dengan lagu "Anyer 10 Maret", lagu "Bisikan Mama" ini dengan jelas menceritakan tentang kehilangan Kaka akan sosok sang ibunda.