Selasa, 23 Juli 2013

Kabar Dari Potlot

"Grogi gak mas?" tanya saya pada mas Puthut EA.

"Enggak, biasa aja tuh. Kowe grogi po?" katanya sembari memasang muka mengejek saya. 

Malam baru saja dimulai. Hujan baru saja usai. Kami sedang berada di Gang Potlot, gang legendaris di bilangan Duren Tiga, Jakarta Selatan, markas grup band rock Slank. Beberapa minggu lalu, Puthut ditawari kerjaan prestisius: menulis buku biografi 30 tahun Slank. Tanpa pikir dua kali, Puthut langsung mengiyakan tawaran itu. Menuliskan band idola sepanjang masa tentu tawaran yang sangat menggiurkan. Saya diajaknya untuk membantu mencari data dan melakukan beberapa wawancara. Saya pun langsung menganggukkan kepala, tanpa perlu pikir panjang. Ini tentu akan jadi pengalaman belajar yang sangat berharga. Malam ini, kami sedang menanti untuk bertemu dengan Slank dan pihak yang menghubungkan kami.

Puthut adalah pecinta Slank sejak dulu. Saat album perdana Suit Suit He He dirilis tahun 1990, Puthut masih duduk di bangku SMP. Sejak saat itu ia menggemari Slank. Pun jatuh cinta pada musik. Ia belajar main gitar dan membentuk band. Pergi kemana-mana ia membawa bendera Slank.

Pada tahun 2000, ia yang sudah jadi mahasiswa di jurusan Filsafat Universitas Gadjah Mada, mengadakan konser Slank bersama beberapa orang kawan. Dihelat di stadion Kridosono, acara itu ramai penonton, tapi ricuh.

"Aku salah strategi, harusnya buka dua pintu, tapi cuma satu pintu yang dibuka. Akhirnya penonton menjebol pintu dan semua penonton di luar pun masuk, gak bisa dibendung," kenangnya.

Akibat salah strategi itu, ia dan seluruh panitia lain merugi hingga 40 juta. Semua pontang-panting mencari biaya penutup. Tabungan dikuras. Puthut sampai menjual komputer kesayangannya. Juga meminta sedikit dana tambahan dari orang tua.

"Sejak itu, aku dan temen-temenku berjanji kalau kita sudah kaya nanti, kita akan nyewa Slank buat ditonton sendiri," katanya sembari terkekeh.

Bimbim, Kaka, Saya, Puthut

Dan malam itu, saat Bimbim keluar dari studio tempat mereka merekam album baru, saya --dan mungkin juga Puthut-- terkesiap. Kami akhirnya melihat dan ngobrol langsung dengan sosok yang dielu-elukan ribuan Slankers setiap kali manggung. Seperti di panggung, drummer pengidola Rolling Stones ini begitu tenang. Tak banyak cakap, lebih banyak mendengarkan. Sesekali bertanya.

Bimbim juga memperhatikan detail kecil. Saat melihat kaos Puthut yang bertuliskan "Save Kretek Save Indonesia", ia bertanya, "kenapa kretek save Indonesia? Kretek lagi diserang ya?"

Puthut mengangguk dengan tegas. Ia langsung dengan lugas menjelaskan tentang serangan beberapa pihak terhadap kretek. Bimbim menyimak dengan takzim. Cukup tergugah sepertinya, karena Bimbim memang dikenal sebagai orang yang nasionalis. Saat Puthut menceritakan tentang usaha-usaha menyelamatkan kretek, Bimbim menyemangatinya, "udah hajar aja!"

Selepas berbicara santai mengenai kretek dan rokok, Bimbim kembali bertanya mengenai konsep penulisan buku biografinya.

"Jadi begini..." Puthut menjelaskan secara rinci tentang konsep penulisan buku ini. Bimbim terlihat menyimak dengan serius dan sesekali menganggukkan kepala dan tersenyum.

"Bagus deh, mendingan gitu aja konsepnya, soalnya gue agak susah diwawancara, gue agak susah terbuka," katanya sembari tersenyum. Konsepnya akan seperti apa? Masih rahasia, tunggu tanggal mainnya. Hehehe.

Di sela-sela obrolan itu, Abdee dan Ivan juga keluar. Abdee juga sama seperti bayangan saya: cool as fuck. Rambutnya sekarang lebih sering dikuncir. Ia jadi mirip orang Jepang. Ivan lebih banyak tertawa. Mereka dan Puthut kembali ngobrol tentang tembakau dan kretek sebelum akhirnya mereka masuk studio untuk take gitar dan bass.

Saat itulah Kaka keluar dengan bertelanjang dada dan memakai topi fedora. Ia menenteng gitar akustik. Ngobrol dengan Bimbim soal lagu barunya. Dan sang vokalis flamboyan ini memainkan lagu barunya di depan kami. Saya dan Puthut cuma bisa mesam-mesem, hehehe. Mimpi Puthut untuk melihat Slank sendirian pun kesampaian, walau hanya Kaka yang tampil memainkan satu lagu.

Akhirnya malam itu Puthut EA resmi menjadi penulis biografi 30 tahun Slank. Di sela obrolan santai kami dengan Bimbim dan Kaka, saya mencuri pandang ke wajah mas Puthut. Pucat, begitu pula bibirnya. Sedikit grogi mungkin.

Puthut memang punya sejarah panjang dalam mewawancarai orang. Ia sudah melakukan depth interview ratusan kali dengan aneka ria narasumber. Dari orang biasa hingga orang terkenal. Tapi mewawancarai Slank adalah sesuatu yang berbeda. Mereka adalah idola Puthut semenjak remaja. Baginya, Slank bersinonim dengan masa remaja yang penuh cerita. Meski ia mengaku tak grogi, saya tak percaya.

"Tadi kok pucat mas? Grogi?" tanya saya sembari meledek Puthut saat sudah di taksi.

"Enggak kok, cuma pusing aja kurang minum air putih," elaknya sembari membuang pandang ke luar jendela.

Saya hanya tersenyum kecil. Taksi kami membelah Duren Tiga dengan lancar. Jakarta sedang tidak macet malam ini. []

Selasa, 09 Juli 2013

Ozz!

Dari dulu saya selalu ingin memelihara anjing. Pasalnya beberapa tokoh idola saya memelihara anjing, dan hewan itu jadi sahabat yang sangat cerdas sekaligus setia. Mulai Tintin dengan Snowy, dan Roy yang akrab dengan Joe.

Masalah saya hanya satu: saya takut anjing.

Watu kecil, saya pernah digigit anjing saat berlibur di Bali. Sejak saat itu, jangankan memelihara anjing, memegang pun saya bergidik. Mari sejenak menepikan tentang najis atau haram saat memelihara anjing. Akan sangat panjang perdebatan tentang itu.

Keinginan saya untuk memelihara anjing akhirnya kesampaian saat beberapa hari lalu, seorang kawan dengan sukarela memberikan anjingnya pada anak-anak kontrakan 316C (itu nomer kontrakan saya dan beberapa orang kawan). Sang pemberi rupanya tak boleh memelihara anjing di kosnya. Jadinya anjing itu dihibahkan pada kami.

Saat melihatnya pertama kali, saya langsung jatuh cinta. Mukanya polos sekali. Tatapan matanya melenakan. Umurnya baru 2,5 bulan. Warnanya putih gading, dari ras Kintamani.







Setelah anjing sudah ada, maka munculah permasalahan lain: nama. Entah kenapa, saya selalu bisa spontan saat memberikan nama hewan peliharaan. Dulu saya memberikan nama Axl untuk kucing saya. Sekarang saya dengan spontan menyebut nama Ozzy untuk anjing balita ini. Kawan-kawan saya langsung setuju. Kami memanggilnya Ozz. Karena Ozz masih kecil sekaligus berwajah menggemaskan, saya sama sekali tak takut dengannya. Saya berani memegangnya, bahkan menggendongnya. 

Beberapa menit setelah Ozz resmi jadi penguni 316 C, kami sadar kalau sudah tertipu dengan mukanya yang menggemaskan itu. Ozz ternyata sangat pecicilan. Ia enggan duduk anteng. Ia selalu mengitari kaki saya, mengendus, dan sesekali menggigit. Kalau ditali, ia selalu menguik, memasang tampang polos dan mengibakan. Seakan meminta dilepas agar bisa main. Dasar bandit kecil. Selain sukar diatur, Ozz juga suka menggigit sandal, plastik, dan daun. Mungkin karena dia masih kecil dan gusinya gatal, jadi suka menggigit. Mirip bayi manusia bukan?

Sejak ada Ozz, kontrakan kami selalu heboh. Ada saja tingkah polahnya yang membuat kami gemas, tertawa, dan kadang geram. Ia manja dan tak suka ditali. Tapi kalau dilepas ia suka buang air sembarangan. Ini yang merepotkan. Saat dilatih, ia malah memporakporandakan pasir di bak. Haduh! Memang sepertinya kami kurang sabar melatihnya. Kalau sudah subuh, ia sudah menguik, minta dilepas dan bermain. Biasanya Real yang bangun dan sembari menggerutu melepas dan mengajaknya bermain. Saya dan yang lainnya? Ya tetap tidur.

Sekarang kegiatan saya kalau sore adalah mengajaknya jalan-jalan. Ada banyak orang yang bertanya mengenai Ozz. Jenis apa, umur berapa, dsb. Fans Ozz beraneka ragam, mulai dari bapak-bapak penggemar anjing, adik-adik kecil yang histeris melihat bongkahan bulu berwarna putih yang bisa berjalan, hingga mbak-mbak unyu yang gemas dengan Ozz sekaligus naksir dengan yang punya. Hihihi.

Ozz selalu suka saat saya mengajaknya main. Matanya berbinar. Lidahnya menjulur. Dan ekornya bergerak-gerak. Ayo main Ozz!