Kamis, 27 Maret 2014

Karena Pembajakan Untuk Pendidikan itu Dibolehkan

Suatu sore yang tenang, saya sedang asyik membaca majalah Tegalboto. Kebetulan tema majalah yang saya baca waktu itu adalah tentang Pendidikan. Satu tulisan menarik yang saya baca adalah tulisan Widi Widahyono, senior saya di Tegalboto.

Widi orangnya periang. Humoris. Suka sekali bercanda dan main gitar sore-sore di depan sekretariat. Selain itu, Widi juga dikenal sebagai pakar tata letak dan juga desain. Ia ahli mengoperasikan Adobe Photoshop, juga Corel Draw. Karena itu, Widi sering sekali diundang Lembaga Pers Mahasiswa lain untuk memberi pelatihan tentang tata letak dan desain.

Di tulisannya, Widi dengan cerdas mengatakan bahwa pembajakan untuk pendidikan itu boleh. Lha kok? Ini seluruh dunia sedang ribut menggiatkan kampanye anti pembajakan, kok Widi malah menyuruh membajak untuk pendidikan.

Tapi dasar orang cerdas yang optimal menggunakan otak kanan, Widi punya argumen yang sama sekali di luar bayangan. Ia lantas menyebutkan program-program Microsoft dan peranti lunak yang sering ia pakai. Mulai dari Microsoft Office, Adobe Photoshop, hingga Corel Draw. Harga perangkat lunak aslinya sangatlah mahal.

Saya beri contoh harga perangkat lunak dasar: Microsoft Windows. Di salah satu situs penjualan perangkat lunak asli, harga untuk Windows 7 Home Basic Edition dibandrol sebesar 1 juta 30 ribu rupiah. Sepengetahuan saya, satu perangkat lunak hanya boleh dan legal dipakai di satu komputer saja. Itu artinya, jika satu rumah punya tiga komputer, maka sang empunya rumah harus mengeluarkan 3 juta rupiah lebih untuk membeli perangkat lunak Microsoft Windows.

Begitu pula untuk Microsoft Office. Harga perangkat lunak Office Home and Student 2013 yang asli mencapai 999 ribu rupiah. Untuk kantoran, lain lagi harganya. Harus memakai Office Home and Business yang harganya mencapai 2,5 juta. Sekarang bayangkan kalau seorang wirausahawan kecil yang ingin membuka warnet dengan 10 komputer. Ia harus menyediakan paling tidak 25 juta rupiah untuk membeli perangkat lunak.

Lalu bagaimana dengan perangkat lunak yang penggunaannya lebih eksklusif, seperti Adobe Photoshop? Harganya lebih gila lagi. Saya tadi iseng-iseng menengok harga jual Adobe Photoshop CS6. Harganya mencapai 10 juta 832 ribu rupiah. Gila bener.

Repotnya adalah: Microsoft sudah terlalu mendarahdaging di Indonesia, alias memonopoli sistem operasi dan perangkat lunak.

Padahal ada tandingan sistem operasi Linux yang berbasis open source, yakni sistem yang membolehkan pemakai untuk mengunduh perangkat lunak secara legal. Juga bebas untuk mengembangkan peranti lunak sendiri, untuk kemudian disebar. Tapi seberapa banyak yang memakai Linux? Tentu jauh lebih sedikit dibandingkan pengguna Windows.

Dulu di Jember pernah ada satu warnet yang berbasis Linux. Saya beberapa kali berselancar di sana. Beberapa kali ngobrol juga dengan pemiliknya, seorang pria ramah dengan kacamata tebal.

"Sampai sekarang, orang terlalu tergantung pada Microsoft Windows, padahal ada Linux yang software-nya gratis, dan sebenarnya penggunaannya mudah. Hanya perlu dibiasakan saja," kata mas itu, yang saya lupa namanya.

Sayang, karena faktor tak biasa, warnet Linux itu pun bangkrut.

Kebiasaan tergantung pada Windows juga mengakar di kalangan birokrat sekalipun. Tahun 2011 misalkan, Kementrian Pendidikan Indonesia bekerja sama dengan Microsoft untuk "...memperkuat pengetahuan teknologi informasi, meningkatkan inovasi, dan kreativitas di dunia pendidikan di Indonesia."

Sekilas itu seperti pakta perjanjian biasa saja. Namun akibatnya apa? Seluruh sekolah di Indonesia 'dipaksa' menggunakan Windows asli, yang harus membayar dalam jumlah besar. Hmmm, saya mencium aroma komisi di sini. Selain masalah itu, konsekuensinya adalah para murid juga 'dipaksa' tergantung dengan Windows, alias menghasilkan murid dengan Windows minded.

Padahal dulu pemerintah Indonesia pernah membuat program keren: Indonesia Goes Open Source. Namun kemana program itu? Entahlah. Hehehe.

Gara-gara tak biasa menggunakan sistem open source, dan tak mampu membeli perangkat lunak asli, maka akhirnya para pengguna komputer larinya ke perangkat lunak bajakan. Indonesia, kalau saya tak salah ingat, menempati peringkat ke 7 dalam negara pengguna perangkat lunak bajakan. Tapi apa itu salah? Kalau menurut saya, tentu tidak. Asalkan kembali lagi ke percakapan di atas: pembajakan untuk pendidikan.

Sekarang gini...

Kalau anda mahasiswa, bukan anak Aburizal Bakrie atau Harry Tanoe, yang artinya masih menggantungkan hidup dari kiriman orang tua dengan jumlahnya pas-pasan, atau cuma mampu makan dua kali sehari, apa mampu membeli perangkat-perangkat lunak itu semua? Padahal Microsoft Windows, Microsoft Office, adalah dua perangkat yang harus ada di tiap komputer dan komputer  jinjing mahasiswa.

Kalau tidak mampu, apa artinya para mahasiswa tidak boleh belajar dan menggarap tugas? Karena tidak mampu membeli perangkat lunak, maka banyak orang Indonesia dipaksa tetap jadi bodoh dan tak boleh belajar komputer. Mengerikan bukan?

Itulah inti dari tulisan Widi dan saya ceritakan ulang di sini.

Gerakan anti pembajakan ala Microsoft memang sedang digiatkan semenjak beberapa tahun terakhir. Microsoft bisa dibilang merupakan pihak yang memonopoli sistem operasional dan perangkat lunak di negara-negara berkembang.

Di Guatemala misalnya, pernah ada kasus yang cukup menghebohkan.

Suatu hari, pihak Microsoft bersama aparat keamanan Guatemala yang bersenjata lengkap, merazia Seguros Universales, sebuah perusahaan asuransi di Guatemala. Padahal perusahaan itu sudah menggunakan 98% perangkat lunak asli. Pihak Microsoft memaksa  Seguros Universales untuk membayar 70 ribu dollar Amerika di tempat, atau pihak Microsoft menghapus semua server yang menyimpan semua data di kantor itu.

Kasus ini menjadi perhatian dunia karena ternyata Microsoft dan aparat keamanan Guatemala tidak membawa surat perintah dan surat izin razia.

Seguros Universales yang merasa diperas dan dipermalukan, akhirnya balik menuntut Microsoft dan aparat keamanan Guatemala. Perusahaan ini juga menuduh Microsoft menjalankan pemerasan macam ini di banyak negara, kebanyakan karena sembarangan menarget perusahaan. Hal ini juga terjadi di Belgia.

Suatu hari Microsoft merazia perusahaan bernama Deckers-Snoeck, dibantu dengan aparat lokal. Perusahaan itu lantas diwajibkan membayar denda sebesar 40.000 dollar Amerika, atau pihak Microsoft mengambil semua komputer perusahaan itu.

"Itu lebih merupakan perampokan ketimbang razia," kata CEO Deckers-Snoeck, Joris Decker.

Karena terancam tutup kalau tidak membayar, maka pihak perusahaan percetakan itu pun membayar. Tapi toh ujungnya tak enak: tak semua perangkat lunak yang dipasang adalah perangkat lunak asli. Nggapleki cuk!

Akhirnya perusahaan Deckers menuntut Bussiness Software Alliance selaku organisasi yang memayungi Microsoft, ke pengadilan. Deckers memenangkan gugatan dan menghilangkan kewajiban membayar sepeser pun kepada Microsoft dan BSA.

Hal yang sama juga terjadi di Indonesia. Dalam skala yang lebih lokal, terjadi di Jember, kota tempat saya menuntut ilmu.

Sekitar pertengahan tahun 2009, ada razia besar-besaran di warung internet seputaran kampus Universitas Jember. Nyaris semua, malah sepertinya semua, warnet kena razia. Alasannya? Bukan soal menyimpan film porno, atau dijadikan tempat mesum mahasiswa horny. Melainkan karena menggunakan software bajakan.

Beberapa warnet dengan dana besar, akhirnya membayar sejumlah uang --saya tak tahu berapa-- agar tetap bisa beroperasi. Mereka juga memasang stiker besar: "Warnet Ini Menggunakan Software Windows Asli". Warnet kecil yang tak sanggup membayar? Ya terpaksa gulung tikar. Dan itu jumlahnya jauh lebih banyak ketimbang warnet bermodal besar.

Tapi tunggu dulu, razia yang menimpa warnet itu belum cerita keseluruhan. Saya sih dengan iseng membayangkan: bagaimana kalau operasi macam itu dilakukan pada komputer para mahasiswa?

Saya yakin, seyakin-yakinnya, nyaris semua mahasiswa --bahkan mungkin dosen juga-- di Indonesia memakai perangkat lunak bajakan. Yang mau dan mampu membeli perangkat lunak asli pasti hanya beberapa gelintir mahasiswa yang tak pernah merasakan kelaparan di akhir bulan.

Bisa membayangkan kalau Microsoft bersikeras dan 'memaksa' aparat di Indonesia untuk meluncurkan razia besar-besaran kepada komputer atau komputer jinjing para mahasiswa? Para mahasiswa yang tertangkap menggunakan perangkat lunak bajakan lantas diwajibkan membayar ratusan ribu, atau malah jutaan, agar bisa menggunakan program-program Microsoft. Gila kan?

Yang tak bisa membayar? Ya selamat tinggal belajar komputer. Ya selamat tinggal menggarap tugas. Ya selamat tinggal kuliah. Ya selamat datang kebodohan.

Itu kenapa saya setuju sekali pendapat Widi, bahwa pembajakan untuk pendidikan adalah halal dan dibolehkan. Apa jadinya kalau kita dilarang belajar komputer hanya gara-gara kita tak mampu beli perangkat lunak?

Jadi pilihannya cuma dua: mulai membiasakan diri memakai sistem open source, atau menggunakan perangkat lunak bajakan? Sementara ini, saya memilih opsi nomer dua. Hehehe.

Long live piracy for education!

Rabu, 19 Maret 2014

Java Jazz Dalam Perbincangan

Indra Lesmana feat Maurice Brown
Foto: Andrey Gromico

26 Februari 2014. Hujan baru saja berhenti. Peter Gontha sedang sumringah sore itu. Dengan baju batik berwarna putih gading, ia dengan gagah berdiri di atas podium. Sang impresario media itu ingin menyampaikan satu dua patah kalimat menyambut pagelaran ke sepuluh Java Jazz Festival, festival musik yang ia inisiasi pada tahun 2005.

"Pada tahun ini, untuk pertama kalinya kami berganti sponsor," kata Gontha menyampaikan hal pahit dengan tersenyum.

Java Jazz Festival merupakan salah satu ajang yang terkena imbas dari Peraturan Pemerintah No.109 Tahun 2012,  tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan. Salah satu pasalnya adalah melarang produk rokok menjadi sponsor untuk semua acara. Acara-acara musik menjadi salah satu yang terkena dampak paling besar dari aturan ini.

"40% kebutuhan dana penyelenggaraan acara tersebut (Java Jazz), didapat dari industri rokok, selebihnya ditutup oleh industri lain," kata Dewi Gontha, Direktur Utama PT Java Festival Production, penyelenggara Java Jazz, dalam sebuah diskusi di Rolling Stone Cafe, satu tahun silam.

Industri rokok memang sudah menjadi sponsor utama sejak pagelaran Java Jazz pertama pada tahun 2005. Pihak Java Production selaku event organizer Java Jazz, tentu kelimpungan mencari sponsor pengganti yang mau menjadi sponsor utama dalam pagelaran kelas dunia itu. Karena hal itu tidak mudah, tentu saja.

"Pada tahun ini kita banyak mengalami kendala, karena sponsor-sponsor yang besar sudah tidak diperkenankan lagi menjadi sponsor. Tapi pada saat terakhir kami dibantu oleh grup M dan satu advertising agency yang sangat besar," kata Peter sembari tersenyum tanpa menyebutkan nama perusahaan yang membantu Java Jazz itu.

Lalu pada menit-menit terakhir, sebuah produk shampo dari perusahaan besar dunia, mengajukan diri jadi sponsor. Tercapai kesepakatan, hingga nama produk shampo itu menjadi title sponsor Java Jazz.

Di atas podium itu, Peter sempat menerawang. Ia mengingat kembali masa-masa awal ia menggelar Java Jazz pada tahun 2005. Saat itu, pria berkepala plontos ini, geram sekaligus sedih karena Indonesia dikenai travel warning dari banyak negara. Penyebabnya karena ada bom di Kedutaan Besar Australia pada 9 September 2004. Ledakan ini menewaskan 5 orang dan ratusan korban luka. Hal itu masih ditambah dengan akumulasi ketakutan karena rangkaian bom banyak menimpa Indonesia sejak tahun 2000. Sejak itu, citra Indonesia tercoreng di mata dunia. Indonesia dianggap sebagai negara teroris. Dunia pariwisata mendapat pukulan yang sangat telak.

"Saat itu, okupansi hotel itu cuma 2-3% saja. Jadi itu merupakan hal yang sangat menyedihkan," kata Peter.

Akhirnya Peter memiliki ide untuk menggelar Java Jazz Festival dengan motto yang sangat menggugah: bringing the world to Indonesia. "Kita katakan, not what the country can do for us, but what we can do for the country."

Peter bukan tanpa sebab menggelar festival jazz. Pendiri Rajawali Citra Televisi Indonesia ini memang dikenal sebagai penggila jazz. Ayah Peter adalah Willem Gontha, pemain trumpet yang mendirikan band jazz yang juga beranggotakan Bubi Chen dan Jack Lesmana. Big band ini menjadi band perusahaan minyak terkemuka di Surabaya. Saat sang ayah dan kawan-kawannya menjalani tur, Peter seringkali ikut serta dalam rombongan. Menaiki kereta, singgah dari satu kota ke kota lain.

Karena besar dalam lingkungan yang mencintai jazz, Peter pun turut jatuh cinta dengan musik yang identik dengan kebebasan berekspresi ini. Peter juga punya Kafe Jams, kafe yang sering dijadikan tempat bermain para musisi jazz internasional, seperti Lee Ritenour, Chick Corea, dan George Duke.

Peter sebenarnya sudah mulai membuat festival jazz bernama Jak Jazz pada tahun 1987. Ia membuat Jak Jazz karena terkesan dengan pengalaman menonton North Sea Jazz, sebuah festival jazz di Belanda. Jak Jazz ini berlangsung rutin hingga berhenti di tahun 1997 karena Indonesia terhantam krisis moneter.

Tapi cinta Peter pada musik jazz tak lantas berhenti. Pada tahun 2005, dengan panji PT Java Festival Production, akhirnya Peter pun menggelar Java Jazz untuk pertama kalinya. Peter tak sendirian dalam mengerjakan even kelas dunia ini. Ia banyak dibantu oleh Dewi Gontha Sulisto, putrinya yang kala itu menjabat sebagai production and marketing director. Sekarang, Dewi sudah menjabat sebagai direktur utama PT Java Festival Production.

"Terus terang saja, saya mohon dengan hormat, bukan saya (yang mengerjakan Java Jazz). Wartawan selalu mengutip saya, padahal saya sudah tidak ngapa-ngapain lagi. Tahun lalu saya sudah menyampaikan mundur (dari Java Festival Production)," kata Peter sembari melirik ke Dewi, sang anak yang sore itu juga hadir di konfrensi pers. Dewi tersenyum.

Pagelaran perdana Java Jazz mengundang the king of soul, James Brown, sebagai penampil utama. Orang-orang terhenyak, sang legenda itu mau datang dan tampil di festival jazz debutan, yang diadakan di negara yang kala itu dihantam isu terorisme dan flu burung.

"James Brown has really made Java Jazz. Begitu banyak artis datang karena James Brown. Mereka lupa bahwa James Brown adalah preman. Berani dia," kata Peter dalam sebuah wawancara eksklusif dengan majalah Rolling Stone Indonesia. Setelah kedatangan James Brown, keran kedatangan musisi luar negeri pun terbuka. Banyak musisi terkenal luar negeri mau tampil. Mulai dari Santana, Brian McKnight, Sergio Mendes, Ron King Big Band, Chaka Kan, The Manhattan Transfer, Tony Braxton, Sondre Lerche, John Scofield, Stevie Wonder, Jamie Cullum, hingga India Arie.

Dulu, agak susah membayangkan Java Jazz bisa menjadi festival jazz terbesar di dunia dengan jejeran line up yang megah. Karena para orang asing sempat takut datang ke Indonesia karena citranya yang menyeramkan. “Banyak yang takut: nyamuk, demam berdarah, dengue fever, flu burung, tsunami, gempa, terorisme,” kata Peter dalam wawancaranya dengan Rolling Stone Indonesia.

Tapi sekarang Java Jazz sekarang sudah menjadi festival yang berskala gigantis. Pada tahun 2010 misalnya. Java Jazz menampilkan lebih dari 1500 musisi asing dan Indonesia. Mereka bermain di 21 panggung, selama 3 hari penyelenggaraan. Tahun itu, Java Jazz dikunjungi oleh 105.000 penonton, baik dalam maupun luar negeri. Hal ini membuat Java Jazz menjadi festival jazz terbesar di dunia dalam hal jumlah musisi dan jumlah panggung.

"Dan tentunya tahun ini banyak pengunjung yang banyak dan bintang jazz dan artis terkenal yang bisa hadir, mengharumkan nama Indonesia," kata Marie Elka Pangestu, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif pada jumpa pers Java Jazz 2014.

Saat ini memang industri musik dimasukkan dalam agenda ekonomi kreatif. Pasalnya jelas, industri musik menghasilkan perputaran uang yang sangat besar. Industri musik dalam bentuk pariwisata, seperti konser dan festival musik, juga memberikan pemasukan yang besar bagi negara. Marie pernah mengatakan bahwa terjadi peningkatan wisman sebanyak 30 persen jika ada konser ataupun festival musik di Indonesia. Jumlah wisman ini kebanyakan datang dari negara tetangga, seperti Singapura, Malaysia, dan Hongkong.

"Sebagai salah satu industri kreatif di Indonesia, (industri musik) sumbangannya 5,2 trilyun di 2013," tutur Marie.

"Tadi saya bertanya pada Dewi, ekspektasi penonton tahun ini 120.000, lima persennya dari luar negeri. 20 persen penonton dari luar Jakarta," sambung Marie sembari sumringah.

***
Agus Setiawan Basuni duduk di ruang kerjanya yang penuh buku, tumpukan kertas, dan cakram padat. Ia dengan takzim menghadap komputer jinjingnya. “Saya lagi ngurus persiapan ke Korea nih,” katanya sembari tersenyum dan memandangi lembar kertas yang ada di tangannya dan mengetikkan sesuatu.

Agus pada tahun 2000 mendirikan Wartajazz, sebuah komunitas yang ia sebut sebagai "ekosistem untuk musik jazz di Indonesia." Pengalamannya di dunia jazz Indonesia sangat panjang. Ia pernah mengadakan Bali Jazz Festival, Ramadhan Jazz Festival, hingga menginisiasi Ngayogjazz Festival di Yogyakarta bersama Djaduk Ferianto dan Komunitas Jazz Yogyakarta. Pria kelahiran 22 Agustus 1975 ini juga pernah meliput berbagai festival jazz di seluruh dunia. Mulai dari Montreux Jazz Festival, North Sea Jazz Festival, Vancouver Jazz Festival, hingga Chicago Blues Festival.

Wartajazz juga rutin menjadi media partner Java Jazz, dan Agus tak pernah sekalipun absen meliputnya selama 10 tahun penyelengaraan. Dalam pandangan Agus, Java Jazz hadir di saat yang tepat.

"Sepuluh tahun lalu, kita sudah mulai mendekati situasi dimana sebagian masyarakat kita, terutama yang di perkotaan, adalah masyarakat yang terdidik. Dalam artian, mereka bisa dapat informasi sendiri tanpa harus tergantung pada media massa konvensional," kata Agus.

Menurutnya, generasi melek media yang haus informasi, ditambah dengan anak-anak muda yang melek musik, adalah kombinasi yang jumlahnya relatif cukup banyak. Mereka adalah faktor yang membuat Java Jazz menjadi berkembang.

"Selain itu, juga ada kerinduan terhadap even berskala besar, Java Jazz waktu itu ada 12 panggung," lanjutnya.

Java Jazz termasuk festival yang berkembang dengan cepat dan pesat. Menurut Agus, hal itu bisa terjadi karena Java Jazz pandai menyisipkan gimmick di setiap penyelenggaraannya. "Dalam hal ini, selalu ada bintang," sembari menyebutkan nama James Brown yang hadir pada tahun 2005, "regardless dia jazz atau bukan, saya mesti lihat sebelum meninggal, itu analoginya."

Java Jazz bukan satu dua kali saja dikritik karena menampilkan bintang tamu di luar pakem musik jazz. Tahun ini kontroversi besar merebak seiring diundangnya Agnez Mo (dulu dikenal dengan nama Agnes Monica), dan girlband JKT48. Kritiknya adalah: dimana letak jazz-nya mereka? Hal ini sebenarnya bukan hal baru. Tiap festival, apapun jenis musiknya, pasti menghadirkan bintang tamu yang keluar pakem.

Montreux Jazz Festival, misalnya. Salah satu festival jazz terbesar dan terpopuler di dunia ini pada tahun 2013 mengundang band rock Black Rebel Motorcycle Club, juga band punk  rock Green Day, hingga Brian May dan Deep Purple. Apakah mereka musisi jazz? Tentu bukan.

Yang patut diingat: festival musik adalah sebuah industri. Dan industri harus menghasilkan laba untuk bisa terus berputar. Dalam industri festival musik macam Java Jazz, mengundang hanya musisi jazz saja tentu bukan keputusan bijak. Pasti ada beberapa pertimbangan. Dari obrolan singkat dengan Eq Puradiredja yang menjabat sebagai  Program and Artist Relation Java Jazz, ada beberapa pertimbangan untuk mengundang bintang tamu. 

"Ada jazz name, legend name, popular name, dan lain sebagainya," katanya dalam konfrensi pers Java Jazz 2014. Agnez Mo dan JKT48 adalah nama yang mewakili popular name

Memang sudah sejak lama, ada dikotomi mengenai jazz. Agus menekankan bahwa kebanyakan orang heran kenapa musik jazz bisa berkembang. Padahal sebenarnya tak usah heran kalau jazz bisa berkembang di Indonesia. Sejak dulu, menurut Agus, media sudah terlanjur menyebarkan stigma bahwa musik jazz adalah musik kelas atas, musik yang susah dimengerti. Sehingga orang-orang berpikiran kalau jazz akan susah berkembang jadi besar dan jadi musik yang digemari khalayak ramai.

"Padahal, jangan lupa, jazz pernah jadi musik yang sangat populer. Itu era 30-40an. Semua lantai dansa ya musik swing. Musik pop, dalam artian musik populer, ya jazz, swing," kata Agus.

Karena semua kombinasi di atas itulah, Java Jazz, menurut Agus, bisa berkembang. Meski begitu, Agus tak serta merta terus memuji. Menurut Agus, "mereka (Java Jazz) lebih banyak menampilkan para musisi yang 'hits di zamannya'," sembari menuturkan musisi-musisi yang tenar di era 80-an seperti George Benson tapi masih bermain di Java Jazz.

"Band yang diundang Java Jazz harusnya juga aktual. Jangan sampai ada pikiran, 'band ini karya terakhirnya kapan, karya terakhirnya sepuluh tahun lalu'" ujarnya.

"Tapi jangan lupa, penonton mau membayar itu," sambungnya cepat sembari menyebut penonton yang menunggu George Benson menyanyikan "Nothing Gonna Change My Love For You"; juga Lee Ritenour memainkan "Captain Finger"; hingga Bob James dengan lagu "Restoration"; dimana itu lagu-lagu yang hits tiga dekade lalu.

Meski begitu, Agus tetap berbangga bahwa Java Jazz, jika merujuk pada jumlah penonton, adalah festival jazz terbesar nomer dua di Asia, setelah Jarasum International Jazz Festival di Korea. "Namun kalau soal jumlah panggung, Java Jazz nomer satu di Asia," kata Agus.

Memperingati satu dekade Java Jazz, Agus dengan semangat mengatakan kalau Java Jazz tak boleh berhenti. "Jadi hakikatnya bukan soal sepuluh tahunnya. Tapi bahwa soal jazz itu harus terus menerus. Jazz itu, seperti musiknya, tak pernah berhenti," katanya sembari memandang layar monitor komputer jinjingnya.

"Jadi festivalnya tak boleh berhenti, apapun kendala yang mereka hadapi, harus tetap ada. Entah nanti misalnya karena kesulitan sponsor, lalu panggungnya dikurangi, ya gak masalah. Tapi harus tetap ada," lanjutnya.

Sore semakin tua. Agus membereskan beberapa barang. Ia ada janji dengan seorang kawan selepas pukul 5 sore. Sebelum pergi, ia berkata lagi.

"Kata kuncinya cuma dua: konsisten dan kontinyu. Konsisten untuk kontinyu, dan kontinyu untuk konsisten." []

Post-scriptum: Terima kasih buat mbak Wening Gitomaryo yang memberikan file wawancara eksklusif RSI dengan Peter Gontha. Makasih mb, hhe...

Jumat, 14 Maret 2014

Balada Sarah dan Zaenab

Duh tante...


"Aku terima lamaranmu dengan syarat... gak usah banyak tamu yang diundang, termasuk Zaenab!"

(Sarah, dalam salah satu adegan di sinetron Si Doel Anak Sekolahan)

***

Salah satu kisah cinta segitiga terdahsyat di dunia ada pada kisah Doel-Sarah-Zaenab dalam sinetron Si Doel Anak Sekolahan. Dua perempuan dengan dua karakter yang berbeda, dunia yang berbeda pula, saling bersaing merebutkan cinta sang anak Betawi. Menariknya, Sarah dan Zaenab, dua perempuan yang sama-sama mencintai Doel, tak bermusuhan layaknya rival. Mereka malah saling perhatian. Seringkali jadi kawan curhat. Walau sesekali mereka saling merasa kesal. Wajar kalau Doel bingung memilih satu diantara mereka. Sarah dan Zaenab punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Bahkan harus menanti 7 musim untuk tahu kisah akhir (((jalinan cinta))) mereka.

Tadi malam saya tak sengaja melihat foto yang diunggah oleh Maudy Koesnaedy di twitter. Itu foto selepas Maudy menonton Cornelia Agatha tampil bersama teater Koma. Melihat foto Maudy (pemeran Zaenab) dan Cornelia (pemeran Sarah) di atas, saya jadi bisa mengerti kebingungan Doel dalam memilih satu diantara mereka. Sama-sama pulen! 

Ya walaupun seharusnya Doel nurutin saran Mandra: sikat aja dua-duanye![]

post-scriptum: saya sendiri dengan tegas menjadi #TeamSarah

Kamis, 13 Maret 2014

"Istana Ilusi" dan "Please Don't Leave Me"

Apa kabar blog? Lama tak menulis di sini. Belakangan ini saya sedang banyak kerjaan. Lumayan menguras tenaga dan pikiran. Menulis blog jadi sedikit terpinggirkan.

Apa yang mau saya tulis kali ini? Mungkin soal musik aja dulu lah ya.

Belakangan ini saya sedang asyik mendengarkan lagu baru dari GRIBS. Bagi yang belum tahu siapa itu GRIBS, mereka adalah band yang dengan gagah berani mengusung glam rock dan hair metal. Sudahsejak 2009 mereka tak mengeluarkan album lagi. Seminggu silam, mereka meluncurkan single "Istana Ilusi", pemanasan untuk album baru mereka yang diberi judul Thunder. Konon, bulan Maret 2014 album ini akan dirilis. Saya tak sabar!

Pasalnya, "Istana Ilusi" menunjukkan perkembangan GRIBS yang semakin matang. Gitar Eben terdengar tebal. Juga melodius. Ditambah lagi adanya keyboard di lagu ini. Menguarkan nuansa rock 80-an yang kental. Jujur, saya lebih suka lagu ini ketimbang lagu baru GRIBS yang dirilis lebih dulu, "Gir dan Belati".


Selain lagu "Istana Ilusi", saya juga sedang asyik mendengarkan album Loveland, album milik John Sykes, mantan gitaris Thin Lizzy, yang dirilis tahun 1997. Saya gemar mendengarkan album ini gara-gara Rezanov, vokalis GRIBS, dan Eben, mengkover lagu "Please Don't Leave Me", single mahsyur dari album Loveland. Aslinya, lagu ini dimainkan oleh John Sykes dan dinyanyikan bareng rekannya di Thin Lizzy, Phil Lynot. Lagu ini asyik bener didengar. Apalagi Rezanov dan Eben memainkannya dengan versi akustik. Nuansanya lain dengan lagu aslinya.


Lost lovers of summer 
As you go your separate way 
Remember memories you owe 
Won't bring back those special days

Lagu ini membuat saya semakin yakin, kalau para rocker, segarang apapun mereka, pasti termehek juga kalau kena godam cinta. Hihihi.