Rabu, 30 November 2011

Walking on Sunshine

Ouch! Apakah mereka berasal dari zaman Pre-historic?


Anda penggemar film "High Fidelity" ? Kalau iya, pasti anda ingat adegan memorable di awal film. Saat itu Rob, sang pemilik toko vinyl yang diperankan oleh John Cussack, baru saja membuka tokonya seperti biasa. Lalu pegawainya yang bernama Dick, yang diperankan oleh Todd Luiso, menyetel sebuah lagu yang depresif: lagu dari Belle and Sebastian. Sungguh lagu yang brengsek, sama sekali tak cocok didengarkan di pagi hari.

Lalu sekonyong-konyong masuklah  pegawai Rob yang lain, yakni Barry, penggemar musik up-beat yang diperankan sangat cemerlang oleh Jack Black. Ketika masuk toko dan mendengar lantunan Belle and Sebastian, ia melihat ke udara, memasang wajah bingung, dan dengan sinisnya ia memaki, "holy shit! what the fuck is that?"

Lantas adegan lucu dimulai. Barry berjalan menuju tape deck, menghentikan lagu Belle Sebastian, membuang kasetnya, lalu menggantinya dengan mixtape bikinannya sendiri. Lalu mengalunlah lagu yang bikin semangat. Adegan itu makin keren dengan pertunjukan monolog ala Jack Black yang menirukan orang bersetubuh.

Nah, pertanyaannya, apakah kalian tahu lagu yang diputar oleh Jack Black itu? Mungkin ada yang tahu, mungkin tidak. Bagi yang tidak tahu, lagu itu berjudul "Walking on Sunshine" yang dinyanyikan oleh Katrina and The Waves. Band dari Inggris ini sebenarnya tak begitu terkenal. Nama mereka melambung berkat lagu "Walking on Sunshine" ini. Meski lagu ini begitu populer pada zamannya, lagu ini sempat menjadi kontroversi karena banyak orang menganggap sunshine adalah kata samaran untuk drugs. 

Terlepas dari segala kontroversi yang melingkupinya, lagu ini memang tipikal lagu up-beat yang bikin semangat. Barry sendiri memberi nama mixtape-nya dengan judul "My special Monday morning tape", kumpulan lagu yang cocok di dengarkan di hari Senin yang dibenci oleh banyak orang. Membuat pendengarnya menjadi semangat.

Nah, saya menulis tulisan ini dengan mata setengah terpejam. Ah, betapa menyedihkannya saya, baru bangun tidur langsung online. Seperti internet geek saja. Segera setelah saya membuka notepad, mengetik, saya juga membuka folder musik, mencari file "Walking on Sunshine", dan mata saya langsung melek. Lagu ini memang bikin semangat.

Dan sekarang saya sedang sakit perut. Saya akan melaksanakan ritual pagi hari: buang air besar sambil baca buku. Nikmat.

Selamat pagi semua!

Selasa, 29 November 2011

Bratwurst Altona



Selain sepak bola dan bir, orang Jerman mengimani satu hal lagi: bratwurst. Bratwurst adalah sosis khas Jerman. Ada ratusan jenisnya. Setiap wilayah punya bratwurst khas masing-masing. Bratwurst tak lagi sekedar hasil olahan daging berbentuk panjang, melainkan sudah menjelma menjadi pride, kebanggaan. Kalau anda pergi ke wilayah Coburg, tapi kemudian memesan Fränkische Bratwurst, bisa-bisa anda didamprat. Karena hal itu menyinggung perasaan orang-orang Fränkische.

Siang yang terik itu, pertengahan bulan Juni, saya pergi mencari barang loak di Altona. Tak seperti pasar loak di Indonesia, pasar loak di Hamburg selalu dibarengi dengan bazar penjual makanan. Saya penasaran ingin mencoba bratwurst. 

Akhirnya saya menemukan stall penjual bratwurst di sudut center park Altona. Stall ini besar, berbentuk tenda. Sang penjual berdiri di tengah tenda, menghadap satu buah pemanggang dengan bahan bakar arang. Diatas pemanggang itu dijejer bratwurst berwarna menggoda. Ada yang berwarna pink, coklat, merah, hingga coklat pucat. Semua menggiurkan, dengan beberapa lintang garis bekas panggangan. Bau wangi menguar di udara.

Saya memesan satu, entah bratwurst apa, saya lupa. Bratwurst ini disajikan dengan satu buah roti bertekstur keras. Bratwurst ini bisa disantap dengan menggunakan saus atau mustard. Menurut lidah saya, sosis ini lebih mantap disantap dengan saus sambal ala Indonesia yang pedas, bukan dengan saus sambal ala Jerman yang rasanya masam, lebih mirip saus tomat. Dan teman sejati sosis panggang ini tentu bir dingin. Aduh, rasanya hari saya akan jadi sempurna ketika melahap bratwurst dan bir dingin. Tapi saya celingukan, kemana para penjual bir ini? Nihil. Hari saya tak jadi sempurna.

Oh ya, saya masih tak tahu apakah bratwurst yang saya makan ini halal atau tidak. Soalnya saya cenderung cuek dan ceroboh mengenai halal dan haram ini. Tapi berdasarkan info dari acara TV Food Safari, bratwurst kebanyakan dibuat dari daging babi, hehehe. Ya sudahlah, kalau itu memang benar babi, semoga tuhan mengampuni dosa saya *nyengir*

GRIBS With Eben Andreas

Foto oleh Ryan AR, diambil dari facebook GRIBS


25 Oktober lalu. Malam masih saja sama seperti biasanya. Saya online facebook dengan fasilitas chat on. Tiba-tiba ada chat masuk. Dari Rezanov GRIBS. Bagi yang belum tahu siapa itu GRIBS, mereka adalah band pengusung glam rock yang sekarang sedang merintis jalan untuk jadi band rock papan atas di Indonesia. Mereka mengeluarkan album perdana bertajuk Gondrong Kribo Bersaudara (Ya, mereka terdiri dari 2 orang gondrong dan 2 orang kribo, dan mereka bersaudara) pada tahun 2009 dan masuk dalam 10 Album Terbaik Indonesia 2009 versi Rolling Stone Indonesia. Rezanov adalah nama vokalisnya.

Perkenalan saya dengan Reza terjadi pada setahun lalu. Saat itu saya dapat assignment dari Jakartabeat untuk menuliskan skena hair metal di Indonesia. Saat itu kami bertemu di daerah Bulungan. Kami menjalani sesi obrolan yang menyenangkan. Selain Reza orangnya menyenangkan dan lepas dari segala macam kesengakan ala rock star, dia juga berasal dari Jawa Timur. Jadi kami bertambah akrab dan sesekali mengobrol dengan bahasa Jawa Timur-an.

Malam itu Reza sekedar bertanya kabar. Awalnya sekedar small talk biasa. Ngobrolin soal kesehatan, kabar keluarga, dan lain-lain. Lalu obrolan semakin hangat, padahal di luar sedang dingin. Obrolan beralih ke masalah yang lebih serius: band.

Reza beberapa kali bercerita beratnya perjuangan GRIBS. Sudah bukan rahasia kalau musik glam rock bukan musik yang laku dijual. Intensitas gigs GRIBS tergolong rendah. Hanya sesekali saja. Padahal Reza sudah keluar dari pekerjaannya dan bertekad untuk berjuang di GRIBS. Selain itu masih ada masalah manajemen yang amburadul.

Dan malam itu, saya mendapat kabar yang mengejutkan. Dion Blues, sang gitaris, mengundurkan diri dari band. Saya sempat shock. Bagi saya, Reza dan Dion itu ibarat Vince Neil dengan Mick Mars. Anda bisa membayangkan Motley Crue tanpa Mick Mars? 

Inti masalahnya tak perlu diceritakan disini. Karena percakapan mengenai kenapa Dion keluar sudah saya janjikan untuk  off the record. Saya hanya ingat Reza berkeluh satu hal.

"Yo wis ngene iki ran ibukota. Membuat tak kenal sanak saudara". 

Saat itu Reza memberi tahu dua alternatif nama untuk jadi pengganti sementara Dion. Eben Andreas, dan satu gitaris yang sempat saya wawancarai untuk proyek hair metal dari Jakartabeat itu. Saya tak tahu mana yang akan dipilih GRIBS.

***
Beberapa hari lalu, saya ditandai dalam sebuah foto milik GRIBS. Foto itu ada di album berjudul GRIBS with Eben Andreas. Ah, akhirnya Eben terpilih menjadi gitaris sementara GRIBS. Mungkin saja akan berlanjut dalam jangka waktu yang lama, melihat betapa cocoknya Eben dengan GRIBS. Mungkin ini hanya insting saya saja. Tapi ketika melihat GRIBS dengan Eben, rasanya seperti melihat band yang sudah lama bergabung. Eben terasa cocok dengan aura glam rock GRIBS. Ia gondrong, kurus tapi gagah, dengan attitude dan looks yang oleh Motley Crue disebut dengan "looks that kill".

Eben Andreas sendiri bukan nama yang asing dalam skena rock/ metal di Indonesia. Ia dikenal sebagai gitaris yang pernah aktif lama dalam skena penggemar Japanesse Rock. Ia sempat memperkuat Black Lavender yang memainkan repertoar dari Laruku, Gazzette, maupun X-Japan. Ia juga sempat bergabung dalam Mama Rocker, sebuah band glam rock yang cukup populer di Jakarta. Dan berdasar dari desas-desus di Friendster (iya, saya tahu dia dan Mama Rocker sejak jaman Friendster masih berjaya), band itu bermasalah dengan masalah kepemimpinan, yang membuat Eben keluar dari Mama Rocker.

Saya masih belum pernah melihat penampilan live GRIBS sekalipun. Baik ketika Dion masih bergabung, maupun ketika Eben menjadi gitaris baru mereka. Tapi dari album foto di facebook GRIBS, tampaknya live performance GRIBS menjadi semakin liar. Memang benar: sebuah foto bisa bercerita ribuan kata. Simak saja album foto di facebook GRIB. Rasakan keliaran band dan penonton, dan kau akan merasakan panasnya performa GRIBS.

Tapi saya pikir perjalanan masih panjang. Butuh waktu yang tidak sebentar untuk menciptakan chemistry dalam band. GRIBS yang sudah berdiri sejak tahun 2006, harus beradaptasi dengan Eben yang baru masuk pada 2011. Untuk memainkan lagu-lagu lama GRIBS, saya pikir Eben pasti bisa melakukannya dengan baik. Tinggal menanti lagu-lagu baru GRIBS. Apakah Eben bisa memberi karakter kuat pada lagu-lagu baru GRIBS? Mari menunggu. Merupakan tugas yang berat untuk menciptakan lagu-lagu berkarakter kuat macam "Lawan" maupun "Serangga Kecil". Selain itu, saya pikir Reza juga perlu memperluas spektrum penulisan liriknya. Reza juga harus memperkaya diksi dan kekuatan merangkai katanya agar liriknya tak melulu monoton.

Itu pekerjaan rumah mereka. Semoga berhasil dengan tuntas dan baik.

***

Baru saja saya mengirim pesan pendek kepada Reza. Bertanya apakah boleh menulis soal GRIBS dan Dion. Karena meskipun sudah mengeluarkan pengumuman via jejaring sosial, masih banyak orang yang tak tahu kemana perginya Dion. Reza tak keberatan saya menulis soal bandnya. Ia juga bercerita kalau kembali tancap gas merekam lagu setelah beberapa waktu lalu proses rekaman sempat tertunda oleh masalah keluarnya Dion.

Ah, tak sabar menunggu!

Senin, 28 November 2011

Melankolia Kala Hujan



Saat itu hujan sedang turun. Di luar pasti dingin. Meskipun musim panas, tapi hujan masih sering turun. Saya terduduk di bangku urutan nomer dua dari belakang. Sendirian. Tak banyak penumpang di kereta menuju Belanda itu. Saya tak tahu ada di daerah mana waktu itu. Hanya tampak sawah dan areal peternakan. Setahu saya, waktu itu baru menjelang sore tapi awan gelap sudah menutup langit. Membuat hari tampak seperti petang.

Saat itu pemutar musik saya setel mode shuffle. Jadi lagu yang dimainkan acak. Tepat ketika saya memandang keluar, hujan rintik, mengalunlah lagu Efek Rumah Kaca, "Melankolia". Dan tiba-tiba saya jadi melankolis. Suara gitar yang mengawang, vokal Cholil yang sendu, membuat siapapun yang mendengarkan lagu itu akan menjadi sendu dan melankolis. Kalau kata anak gaul jaman sekarang, perasaan seperti itu disebut "galau".

Sontak, saya jadi rindu banyak hal. Rindu tanah air. Rindu panasnya. Rindu keluarga. Rindu kawan-kawan. Biasanya ketika hujan, kami menghabiskan waktu di warung kopi. Ngopi sembari saling menggojlok. Saya ingat, terakhir kali ngopi bareng ketika hujan, waktu itu bareng Nova, Fahmi, dan juga Dika. Kami tak bisa pergi kemana-mana karena hujannya sangat deras. Kami hanya duduk berempat di bangku panjang, menghabiskan kopi sembari ketawa-ketiwi.

Saya juga rindu Rina. Kalau Rina sedang ada di Jember, dan kebetulan hujan, kami pasti akan melihat hujan di beranda depan  rumahnya. Biasanya ada Kaila, keponakan Rina yang masih berumur 2 tahun, datang untuk ikut melihat hujan. Kadang kalau Rina berkunjung ke rumah saya, saya akan membuat teh hangat untuk kami berdua. Tak lupa dicucuri sedikit jeruk nipis. Lalu kami akan melihat hujan sembari bercengkrama ringan di beranda atas rumah. Tentang apa saja. Tentang musik, tentang film, tentang fashion, tentang sepatu, tentang buku, tentang kuliah. Apa saja.

Hari ini saya berada di kamar kosan saya di Condong Catur. Di luar sedang hujan. Pemutar lagu di notebook memainkan mode shuffle lagi. Cuma kali ini saya sengaja menaruh daftar lagu-lagu yang enak di dengar kala hujan. Tapi saya sengaja tak menaruh "Melankolia" dalam daftar itu. Takut beneran jadi melankolis lagi.

Oh ya, apa lagu favorit kalian di kala hujan?

Brongkos Handayani



Brongkos adalah salah satu makanan khas Jogja, yang sayangnya kurang begitu terkenal. Apalagi jika dibandingkan dengan kemahsyuran gudeg. Brongkos sendiri adalah jenis makanan yang seringkali disamakan dengan rawon, karena memakai bahan dasar yang sama: kluwek.

Yang membedakan brongkos dengan rawon adalah brongkos direbus dengan menggunakan santan. Karena itu kuahnya bertekstur lebih pekat, dan rasanya lebih gurih. Selain itu, jenis isian brongkos pun lebih bervariasi. Biasanya brongkos diisi dengan daging, kikil, kacang tolo, maupun tahu. Sekarang ada pula yang ditambah dengan telur.

Ada beberapa warung brongkos terkenal di Jogja. Salah satunya adalah brongkos Warung Ijo. Warung yang dimiliki oleh Bu Padmo ini sudah melegenda, beberapa kali diliput oleh awak media. Tapi sayang, letaknya agak jauh dari kota. Warung ini terletak di perbatasan Jogja-Magelang, tepatnya di bawah jembatan Krasak. Sampai sekarang saya belum berkesempatan pergi kesana dan mencicipi lezatnya brongkos Warung Ijo.

Salah satu warung brongkos legendaris lainnya adalah warung brongkos Handayani. Kalau yang ini letaknya ada di tengah kota, tepatnya di samping Alun-alun Kidul. Warung brongkos ini sendiri sudah mulai beroperasi sejak 1961. Saya kesana mengajak serta Budi dan Rere, kawan dari Jember yang kebetulan waktu itu sedang plesir ke Jogja. Saat itu saya memesan satu brongkos telur, dua kawan saya itu memesan brongkos daging dan brongkos ayam.

Brongkos telur muncul dengan tampilan yang menggugah selera. Telurnya merupakan telur pindang. Sedang kuahnya berwarna hitam pekat, dengan rasa yang lebih "tebal" ketimbang rawon. Kuahnya juga berasa lebih gurih berkat tambahan santan. Lalu ada kacang tolo dengan jumlah yang generous, juga tahu yang menjadi pelengkap brongkos. Sedang brongkos daging berupa brongkos yang ditambahi suwiran daging yang ditaruh di piring terpisah. Sedang brongkos ayam berupa brongkos dengan ayam goreng biasa. Ketika diseruput, rasanya agak manis, berbeda dengan rawon. Tapi bagi yang tak biasa dengan masakan berasa manis, disediakan sambal dan garam.

Makanan ini pas jika dimakan dengan minuman es degan atau es kopyor. Apalagi jika dimakan siang hari. Aduh, betapa nikmatnya. Es kopyor berwarna merah muda itu tandas dengan cepat, bahkan sebelum brongkos disajikan. 

Untuk harga, makanan ini termasuk terjangkau. Satu porsi nasi brongkos telur dibanderol Rp. 7.000 saja. Lalu untuk es kopyor harganya Rp. 3.00o. Untuk kategori makanan legendaris, harga itu termasuk murah.

Minggu, 27 November 2011

Malam di Condong Catur


Kudengar angin lamat berbisik di dingin Condong Catur
Masih saja ia menyitir Soe
: Kita begitu berbeda, kecuali dalam cinta
Lalu ia kembali meringkuk
Menabur cinta pada angin, awan, juga semak belukar

Masih saja cemara mendoyong genit di Condong Catur
Seakan setuju bahwa malam tiada bertuan
Kembali kita merenung, memikirkan apa dan siapa
Lalu perlahan kita semua meringkuk
Menagih rindu pada bentang jarak, panas, dan juga debu

Dan masih saja kutengok bulan di atas Condong Catur
Yang menebar benih kerinduan pada seribu depa
Lalu kita bersikukuh bahwa segala keras bisa melembut
Tapi acap kita tak mau melembut. Mengeras.
Dan kita kembali memungut serpihan cinta pada angin, awan, juga semak belukar

Juga menyapih rindu pada bentang jarak, panas,
...dan juga debu.

Jumat, 04 November 2011

Once Upon A Time in Paris (1)

Dua perempuan paruh baya itu adalah dosen di jurusan kehutanan. Ibu Zuraida yang berperawakan lebih kecil namun ceriwis itu mengajar di Institut Pertanian Bogor. Sedang Ibu Rahma yang kalem itu mengajar di Universitas Sumatera Utara. Keduanya baru saja mengikuti simposium di Alba, Italia. Lalu mereka melangkahkan kaki menuju Paris. Jalan-jalan sekalian pulang, karena pesawat yang akan membawa mereka pulang berangkat dari Paris.

Ibu Zuraida (kiri) dan Ibu Rahma

Kami akan menaiki kereta yang sama menuju Paris. Kami banyak ngobrol sore itu sembari menanti kereta datang. Dua orang ibu ini bercerita bagaimana susahnya pergi berdua dengan membawa sekitar 6 koper berukuran raksasa.

"Tadi itu mau ke toilet sampai gak bisa, karena bu Rahma takut ditinggal" kata Bu Zuraida kocak. Yang dituding hanya bisa mesem-mesem. 

Tak berapa lama kereta pun datang. Kereta TGV kayaknya. Yang konon merupakan salah satu kereta tercepat di Eropa. Tapi saya juga ragu, jangan-jangan ini kereta EC 9248, salah satu varian kereta antar negara di Eropa.

Meski dunia sudah mengakui emansipasi, namun tetap saja kalau berurusan dengan barang berat, perempuan selalu menyuruh lelaki untuk mengangkatnya. Kalau tak mau, bisa-bisa dituding tak gentle. Oke, jadi saya berusaha mengangkat beberapa koper yang berat itu. Dua orang ibu itu menyemangati saya terus-terusan. Saya ngos-ngosan. Mengangkat koper ini sungguh berat dan tak praktis. Karena itu saya lebih suka traveling menggunakan ransel. Efektif dan efisien.

Setelah nyaris separuh nyawa tercerabut, semua koper pun berhasil diusung ke dalam kereta. Suasana kereta menyenangkan. Meski tak seberapa lapang, suasananya nyaman sekali. Dengan air conditioner yang bertugas sebagaimana mestinya, mengatur sirkulasi udara, bukan untuk mengeluarkan udara dingin. Jadi ingat kereta eksekutif di Indonesia yang kadang menyetel suhu ac terlalu rendah sehingga penumpang kedinginan. Di dalam kereta, kami duduk dengan tenang, berusaha menikmati pemandangan sepanjang Torino menuju Paris. Di perbatasan Italia-Perancis pemandangannya begitu indah.

Ada jejeran pohon cemara di lereng gunung yang berbatu. Lalu di sebelahnya ada sungai yang alirannya deras. Di pinggir sungai itu ada beberapa rumah dari kayu. Sangat cantik. Mata jadi malas untuk terpejam walau ngantuk sudah memanggil.


Tak berapa lama, datang seorang kondektur berkebangsaan Italia. Kelihatan dari namanya. Dia memeriksa tiket semua penumpang. Lalu ketika tiba giliran saya, saya menyodorkan tiket eurail. Ia melihatnya sejenak, lalu bercetus "so, the payment should be 17 euro". Saya pun bingung. Selain bahasa Inggris-nya tak jelas, saya bingung kenapa saya harus membayar lagi.

Saya pun ngotot tak mau bayar. Walaupun sebenarnya sia-sia, karena saya yakin sengotot apapun saya berargumen, saya pasti harus membayar. Tapi lebih baik gagal, daripada tak mencoba sama sekali. Ya itung-itung mengasah skill debat dalam bahasa Inggris, hahaha.

Si kondektur tampak bingung karena saya merepet cepat dalam bahasa Inggris. Si Italiano ini memang tak begitu menguasai bahasa Inggris. Lalu ia mencari penumpang yang bisa berbahasa Inggris, lalu menerjemahkan perkataan saya ke dalam bahasa Italia, lalu menerjemahkan perkataannya ke dalam bahasa Inggris.

Jadi intinya kereta yang saya naiki ini bukan kereta biasa. Intinya: tetap harus membayar 17 euro. Karena saya sudah puas mendamprat pak kondektur itu (walaupun ia tak salah, saya yang salah dan sok tau), akhirnya saya memutuskan untuk membayar.

Perjalananan kami isi dengan ngobrol. Sesekali tidur ayam. Kadang ngemil kentang dari Torino. Dari jadwal, diperkirakan kereta sampai pukul 23.34. Lama perjalanan sekitar 6 jam. 

Setelah berapa lama, kereta tampak berjalan melambat. Dari kejauhan tampak lampu berpendar-pendar riang. 

Paris!

Gare de Lyon

Hal Yang Harus Masuk Keranjang


"Ada beberapa hal yang harus dimasukkan keranjang, lalu dibuang jauh-jauh."
(Curhat seorang kawan kemarin malam, sembari ditemani secangkir jeruk nipis hangat)

Kawan saya itu memangkas rambutnya yang kribo itu. Ia tampak seperti kepala penis berjalan. Penis yang sangat besar. Ia lesu, capai sepertinya. Baru pulang dari kantor. Berjalannya lunglai, matanya merah. 

Saya agak heran bocah yang satu ini datang tengah malam, meminta tumpangan menginap. Pakai sms sok penting segala. Saya kira ada apa, mungkin mau curhat soal predikatnya sebagai  mahasiswa nyaris D.O. Itu dugaan saya. Tapi dugaan saya salah. Ia sepertinya sedang merasakan sakit. Entah sakit yang seperti apa. Tak terperi sepertinya. Tapi ia tetap saja seperti Korea Utara. Misterius, best kept secret in the world. Saya lalu berusaha memancing Lalu pangkal masalahnya menjadi jelas: tak jauh dari masalah hati.

"Sudah, gak usah dibahas" katanya pendek setiap kali saya melempar umpan. Begitu respon si kepala penis ini setiap kali saya bertanya. Setelah beberapa kali mencoba dan mendapat jawaban yang sama, saya pun menyerah. 

Ia tengkurap. Sepertinya lelah betul. Lalu ia berceracau mengenai masalah di kantornya, salah satu media terbesar di Indonesia yang punya cabang dimana-mana. Macam Kebab Baba Rafi saja. Saya hanya mendengarkan saja sembari menyeruput secangkir jeruk nipis hangat yang baru saja saya buat. Cangkir punya kawan saya masih tak ia sentuh. Uap hangatnya mengepul. Bau segar jeruk tersamar di udara. Segar. Tapi tidak dengan muka kawan saya yang kusut itu. Lalu pas ketika saya mau beranjak dari lantai dan membiarkan ia beristirahat, ia berucap sesuatu.

"Ada beberapa hal yang harus dimasukkan keranjang, lalu dibuang jauh-jauh" katanya sambil tetap tengkurap. Saya hanya tersenyum simpul.

Siapa sih yang tak pernah terluka hatinya? Bahkan Roy dan Ali Topan yang gagah, macho, plus digemari banyak perempuan pun pernah sakit hati, bahkan pecah berkeping-keping. Apalagi saya dan juga kawan ini, yang notabene adalah pria-pria biasa, dengan timbunan lemak, dengan catatan hutang, otak yang tak pintar, dan wajah yang untung saja tidak termasuk kategori mengenaskan atau mengerikan. 

Tapi saya jelas setuju dengan sang kawan. Beberapa memang harus dimasukkan ke dalam peti, kunci peti itu, kubur dalam-dalam, lalu buang kuncinya ke palung terdalam. Selesai. 

Lalu saya mematikan lampu kamar, membiarkan kawan saya itu tertidur dengan tenang. Mendengkur dan membiarkan bajunya tersingkap, memperlihatkan timbunan lemak yang membuatnya tak ada beda dengan ibu hamil. Uap hangat dari jeruk nipis hangat itu mulai menipis.

Sebentar lagi ia pasti sudah dingin...