Selasa, 10 Maret 2015

Pindah Jilid 2



Kalau di postingan sebelumnya saya berkisah tentang pindah kontrakan, kali ini saya pindah untuk kedua kalinya. Kali ini pindah rumah dunia maya.

Laman ini sudah aktif sejak 2010. Sebentar lagi bakal menginjak umur 5 tahun. Setengah dekade. Sebenarnya ini waktu yang relatif pendek untuk umur sebuah blog. Tapi saya merasa laman ini menyimpan banyak sekali tapal hidup saya. Begitu banyak kenangan di sini.

Tapi di umur kelima ini, saya memutuskan untuk pindah rumah.

Rumah baru itu jelas lebih enak. Banyak kemungkinan yang bisa dilakukan di sana. Saya bisa mendekor sesuka hati. Bisa mengatur ini dan itu dengan lebih mudah. Dan yang pasti lebih nyaman.

Tak ada alasan jelas kenapa saya pindah rumah. Hanya merasa sedikit jenuh dengan rumah lama. Ingin memiliki rumah baru yang segar untuk tulisan-tulisan saya. Tulisan lama tentu masih ada di web baru itu. Namun mohon maaf kalau ada beberapa --atau bahkan banyak-- tulisan yang susunan paragrafnya agak kacau. Mungkin imbas dari perpindahan dari Blogger ke Wordpress. Masalah ini sedang dicari solusinya oleh Mas Pry, IT Magician yang banyak membantu proses pindahan ini.

Jadi mari mampir ke rumah baru saya. Masih berantakan. Belum selesai sepenuhnya. Ada renovasi di sana sini. Ini semua demi tercapainya rumah ideal yang nyaman untuk saya, pun untuk anda sebagai tamu. Silahkan masuk dan lihat-lihat. Kudapan dan minuman masih seadanya. Maklum, masih repot beres-beres.

Dengan ini, rumah baru saya sekarang beralamat di:


Kamis, 19 Februari 2015

Pindah

The Yellow House, oleh Vincent Van Gogh

Setelah setahun tinggal di Rumah Susun Berlian Tebet, saya dan Rani akhirnya memutuskan pindah. Ada banyak alasan kenapa kami harus pindah dari tempat yang menyenangkan ini.

Rusun kami tak bisa dibayar bulanan. Ini cukup memberatkan bagi pasangan yang baru menikah seperti kami. Kami mencari kontrakan yang bisa bulanan, atau setidaknya dibayar per 6 bulan. Sayang, di Tebet sangat susah cari kontrakan yang bisa dibayar bulanan, maupun setengah tahunan.

Lalu unit yang kami tempati sudah banyak kerusakan. Sadarnya sih waktu musim hujan datang. Kalau sudah deras, maka tembok akan dirembesi air hujan. Karena rembesan itu, kami seringkali tak sadar. Tahu-tahu lantai sudah banjir.

Lalu perihal rayap yang menggerogoti kusen jendela. Sewaktu tidur, tahu-tahu saja kusen kami lepas dan kaca jatuh. Pecah berantakan. Ternyata ini tak menimpa unit kami saja. Beberapa hari setelah kusen kami lepas, tetangga paling atas juga mengalami hal yang sama. Suara kacah jatuh menarik perhatian banyak orang. Akhirnya dengan berbagai pertimbangan itu, kami memutuskan untuk pindah. Mulai lah saya dan Rani mencari kontrakan. Tak mudah, memang.

Di Jakarta, ada dua pilihan kontrakan. Tinggal pilih yang mana.

1. Lokasi strategis dan hunian nyaman? Harganya pasti mahal.

2. Murah. Lokasi jauh, dan seringkali tak manusiawi.

Karena tak mungkin membayar mahal untuk kontrakan, akhirnya kami memilih opsi nomer dua. Sebelumnya kami sempat keliling Tebet. Kenapa harus lokasi ini? Karena Tebet lokasinya pas sekali. Dekat ke kantor Rani atau pun saya. Karenanya, lokasi ini jadi pilihan pertama kami.

Sayang, kami tak dapat kontrakan yang kami cari. Ada beberapa kontrakan yang bisa bulanan, murah, tapi masuk gang sempit hanya cukup satu motor, dan tak mendapat sinar matahari.

Daerah Mampang, Kalibata, Jalan Bangka, hingga Cilandak sempat kami lirik. Tapi akhirnya pilihan kami jatuh pada sebuah kontrakan di Jalan Mujair, di TB Simatupang.

Rani yang menemukan lokasi ini. Waktu itu saya sedang ada di luar kota. Rani yang melihat kontrakan ini dan langsung jatuh cinta pada pandangan pertama. Setelah saya sampai di Jakarta lalu melihat kontrakannya, saya juga setuju. Enaknya lagi, kontrakan ini bisa dibayar bulanan. Bahkan, memang sistemnya bayar bulanan.

Setelah menemukan lokasi ini, kerja berikutnya adalah yang paling berat dan akan saya benci seumur hidup: pindahan.

Saya tak sangka kalau barang kami berdua lumayan banyak. Buku, baju, lemari, peralatan dapur, gitar, mesin cuci, kulkas, hingga rak buku. Plus, unit kami di Rumah Susun ada di lantai 3. Ini artinya tiga kali kerja keras.

Untung ada Arif Budiarto, kawan karib saya sejak SMP yang tinggal dekat kami. Ia banyak membantu mengangkat dan menurunkan barang. Kalau tak ada Budi, mungkin saya sudah mati kelelahan duluan. Akibat pindahan ini, tangan saya seperti kram selama 4 hari. Luar biasa.

Rumah kontrakan baru kami cukup luas. Modelnya seperti kosan. Ada 8 unit kontrakan di satu area. Tiap unit ukurannya sama. Satu kamar tidur, ruang tamu, dapur, dan kamar mandi.

Tak seperti di Tebet yang selalu ramai, daerah kontrakan kami cukup tenang. Tak banyak penjual makanan. Tak banyak lalu lintas. Kalah jauh kalau dibandingkan dengan di Tebet yang nyaris tak pernah sepi. Namun ini artinya hidup jadi lebih tenang. Karena banyak pohon besar, kalau pagi, ada banyak burung gereja yang mampir dekat rumah. Nikmat sekali bung.

Namun setelah beberapa hari naik motor ke kantor, kami baru sadar satu hal: TB Simatupang itu jauh!

Biasanya, dari Tebet ke kantor Rani hanya makan waktu 10-15 menit saja. Kalau tak macet malah bisa cuma 5 menit. Ke kantor saya pun cuma 15 menit. Sekarang, kami butuh 40-50 menit ke kantor Rani.

Kerak inti neraka dunianya ada di Mampang Prapatan. Dulu sewaktu saya belum jadi Homo Jakartaensis, Andrey Gromico, kawan baik saya, pernah ngomong sesuatu saat terjebak kemacetan di Mampang.

"Mampang iki ncen neroko. Asu tenan."

Beberapa tahun kemudian, saya merasakan kemacetan yang sama. Juga memaki hal yang sama. Tapi mau gimana lagi, ya harus dinikmati. Ini adalah konsekuensi tinggal di rumah yang jauh dari tempat kerja. Di Jakarta pula.

Tapi penderitaan saya menghadapi pindahan dan konsekuensinya ini tentu tak ada apa-apanya dibandingkan dengan masalah pindahan Pak Natahendra.

Beliau adalah penduduk Desa Cipaku, Sumedang, yang saya temui sewaktu tugas liputan ke Sumedang beberapa waktu lalu. Bagi yang belum tahu, Cipaku adalah salah satu desa yang akan ditenggelamkan untuk proyek waduk Jatigede. Selain Pak Hendra, ada 700 lebih kepala keluarga yang akan dipindah dari desa itu.

Proyek ini sebenarnya sudah dimulai sejak 1963. Kala itu Soekarno yang punya ide. Sempat mangkrak selama belasan tahun, Soeharto akhirnya memulai pembebasan lahan di Desa Cipaku pada tahun 1982. Tahun 1983, lahan mulai diukur. Setahun setelahnya, pembayaran dimulai.

Masalahnya, pengukuran dan pemberian harga sama sekali tak melibatkan warga. Waktu itu, tahun 1984, pemerintah membeli sawah warga seharga Rp 8 ribu per tumbak (14 meter persegi). Alias cuma Rp 500 rupiah lebih sedikit untuk tiap meter persegi sawah produktif. Padahal waktu itu harga pasaran sawah mencapai Rp 20 ribu, hingga Rp 30 ribu per tumbak.

Belum lagi salah kelas. Sawah produktif, yang harusnya harganya lebih mahal, acap dimasukkan ke kelas tanah darat, yang jauh lebih murah karena berupa lahan tak produktif atau hutan belantara.

Penduduk yang melawan atau protes, langsung saja digelandang ke markas Komando Distrik Militer. Bukan disuruh makan combro, tapi dihajar habis-habisan.

"Ada Pak Rahmad, dihajar sampai tangan dan kakinya patah. Ia lumpuh seumur hidup. Beberapa ada yang tuli karena telinganya dipukuli," kata Pak Hendra.

Toh proyek pembangunan waduk Jatigede ini mangkrak lagi hingga puluhan tahun kemudian. Beberapa penduduk yang sudah terlanjur pindah, kembali lagi ke Cipaku. Namun, tahun itu juga, Bupati Sumedang memerintahkan tak boleh ada pembangunan apapun di Desa Cipaku. Tidak jalan beraspal, tidak pula listrik. Desa yang seperti lukisan mooi indie ini baru dialiri listrik pada tahun 2000.

Pembangunan waduk ini dilanjutkan lagi di era Susilo. Lalu Presiden Jokowi baru saja menandatangani Peraturan Presiden soal waduk Jatigede ini.

Menteri Pekerjaan Umum bilang waduk Jatigede yang menelan biaya hampir Rp 6 triliun ini sudah siap 99 persen. Sisa 1 persennya? Ya persoalan sosial warga yang enggan pindah. Kenapa harus pindah, kalau mereka merasa dirampok oleh pemerintah sendiri?

Selain persoalan ganti rugi yang belum menemui titik temu, para penduduk Cipaku juga menuntut pemerintah merelokasi mereka dan memberikan konsep pengembangan ekonomi. Mayoritas penduduk Desa Cipaku bekerja sebagai petani. Kalau pindah, mereka akan kerja apa? Nah, penduduk Cipaku inginnya pemerintah punya kejelasan soal ini.

Sayang, Peraturan Presiden yang diteken Jokowi sama sekali tak mengatur pengembangan ekonomi masyarakat setelah dipindah nanti.

Pun, rumah yang disiapkan untuk penduduk Cipaku ini jauh dari kata layak. Kata Hendra, selain sempit, bahan bangunannya juga berkualitas buruk. Kusen jendelanya, misalkan, dibuat dari kayu mangga yang masih basah. Sama sekali tak pantas.

"Orang desa ini, bahkan kalau mindah sapi pun selalu disiapkan dengan baik. Nanti kandangnya di mana, sumber makanan dari mana, bagaimana membuang kotorannya. Setelah semua siap, baru sapi dipindah. Lha, ini pemerintah mau mindah manusia lho. Kok kesannya serampangan," kata Hendra kesal.

Saya jadi ingat adegan di film Better Call Saul. Ketika  Michael "Mike" Ehrmantraut berkata pada James Mc Gill. "It's human nature to want to stay close to home. Nobody wants to leave home." Sudah naluri manusia untuk ingin berada dekat rumah. Tak ada seorang pun yang ingin meninggalkan rumah.

Menyaksikan polemik relokasi warga ini, pindahan kontrakan saya jadi terasa begitu sepele. []

Rabu, 18 Februari 2015

Kunci

Rainy Day Cafe Oleh Sue Birkenshaw

Hujan baru saja usai, di sebuah malam nan dingin di kota yang tak perlu disebut namanya. Tokoh Kita punya janji dengan kekasihnya. Sebuah kafe disepakati sebagai tempat bertemu. Mereka tidak bareng. Sang Tokoh Kita yang punya senyum cemerlang, mengingatkan khalayak pada Rizal Ramli muda, membawa motor sendiri dari bilik kosnya. Begitu pula kekasihnya yang membawa motor dari tempat tinggalnya.

Hubungan mereka sedang memburuk belakangan ini. Frekuensi pertengkaran meningkat. Sang Tokoh Kesayangan Kita berharap pertemuan ini bisa menjadi titik penting untuk memperbaiki hubungan dengan sang kekasih.

Sayangnya begitu berserobok, dengan beberapa argumen yang bisa dianggap sebagai omong kosong tingkat tinggi, si kekasih malah minta putus. Sang tokoh terhenyak. Bingung mau bereaksi apa. Ia impulsif. Dengan cepat bangkit dari tempat duduk. Menyambar kunci motor, meninggalkan selembar uang biru di meja.

"Untuk kopi dan hidangan yang kita pesan."

Meski kalut, ia sama sekali tidak membuang sikap gentleman-nya. Sang gadis cuma bisa terdiam sembari menatap nanar selembar uang di meja. Kurang mas, begitu batinnya.

Tokoh kita yang berkacamata, menandakan hobi baca, keluar kafe. Langkahnya gontai. Saat ia menghidupkan motor, hujan kembali turun. Sang tokoh kita menyetir motor dengan masygul. Baru beberapa ratus meter meninggalkan kafe, suara dering telepon seluler menerabas dari saku celananya. Semula ia biarkan saja. Tapi panggilan itu terus berulang. Membuatnya tak tenang. Tapi sekaligus membikinnya senang.

Pasti ada yang minta balikan. Harga dirinya membuncah. Hidungnya kembang kempis. Insting pejantannya melarang untuk mengangkat panggilan itu. Biarlah ia yang memohon dan merasa kehilangan, pikirnya.

Maka ia biarkan telepon mati. Berdering lagi. Lalu mati lagi. Hingga akhirnya ia tak tahan juga. Detik itu, ia membuat keputusan: kalau si kekasih ingin minta balikan, ia akan menyanggupi. Lagipula ia masih sangat mencintainya. Ia meminggirkan motor dan mengangkat panggilan itu.

"Ada apa, Dek?" sapanya, tenang dan hangat. Seperti angin musim panas di Hokkaido yang turun perlahan dari lereng gunung Fuji.

"Anu mas, kunci motorku kebawa sampean."

Sang tokoh kesayangan kita, dengan muka masam menutup panggilan sialan itu, lantas memutar motor. Kalian sudah tahu kemana ia pergi. []


Post-scriptum: Cerita yang sekilas tak bisa dipercaya ini saya ceritakan ulang dari legenda pemuda penyayang, yang awalnya diceritakan secara oral oleh Pamanda Yusi Avianto Pareanom.

Selasa, 17 Februari 2015

Bahagia

Gambar dari situs Dezeen

Percaya atau tidak, hewan ternak yang bahagia cenderung punya rasa daging yang lebih enak. Sapi Kobe dikenal sebagai salah satu daging terbaik di dunia. Pakannya rumput kelas tinggi. Mereka bahkan rutin dipijat. Kalau itu belum cukup, mereka juga diberi minum bir kualitas yahud. Hasilnya? Daging yang lembut dan konon lumer di lidah.

Tentu hal ini bisa dijadikan perdebatan, apakah mereka benar-benar bahagia? Bagaimana mereka bisa bahagia kalau tak lama lagi akan disembelih dan menjadi pengisi perut para karnivora? Tapi biarkan saja perdebatan itu, dan anggap saja mereka bahagia.

Tahun 2003, para peneliti dari Penn State University, punya gawean selo. Mereka meneliti para ayam dengan kandang yang nyaman, juga ayam yang dibiarkan bebas berkeliaran di pekarangan. Hasil penelitiannya: telur ayam yang dihasilkan mengandung zat Omega 3 lebih tinggi. Juga lebih kaya vitamin A dan E.

Mungkin berangkat dari penelitian-yang-sekilas-tampak-selo-tapi-penting ini, para arsitek mulai dilibatkan untuk membangun kandang hewan ternak. Kenapa kandang? Karena rumah yang nyaman adalah salah satu pemasok kebahagiaan. Makanya ada istilah sandang, pangan, papan sebagai kebutuhan utama kita.

Proyek kandang tidak main-main. Riset dilakukan dengan serius. Bentuknya pun tak kalah dengan proyek arsitektur yang dibuat untuk manusia.

Arsitek asal Swedia, Torsten Ottesjö, misalkan. Membuat kandang ayam berbentuk sayap ayam. Ini penuh makna filosofis. Diharapkan, kandang ini bisa berlaku sebagai sayap induk yang selalu melindungi.

Tak kurang, Torsten membuat desain kandang ayam ini dengan sangat detail. Ia mengatur jarak antar kayu, supaya ayam tetap mendapat pasokan cahaya alami yang cukup. Kalau masih merasa kurang atas keseriusannya, bayangkan: kandang ini dibangun di atas bebatuan pantai barat Swedia. Langsung menghadap ke laut.

Bahkan mungkin seumur hidup, saya tak akan mampu membangun rumah di daerah itu. Mahal jeh.

Proyek kandang ayam juga dikerjakan oleh arsitek asal Belanda, Frederik Roije. Ia membuat desain kandang yang diberi nama Breed and Retreat.

Desain ini ia pamerkan dengan bangga di Galeri Ventura Lambrate di pagelaran Milan Design Week 2010. Kala banyak arsitek memamerkan desain rumah mewah, atau gedung dengan desain yang rumit, meneer Belanda ini dengan bangga memamerkan kandang ayam.

Tak sekedar bangunan biasa, kandang ayam buatannya mengandung makna filosofis. Ia mengharapkan kandang ayam ini bisa mengingatkan kita untuk 'menghormati' ayam yang sudah berjasa memasok protein bagi umat manusia.

"Kandang ini untuk menghilangkan keasingan dari asal usul kita. Menghormati alam itu sangat perlu. Dengan mendesain tempat yang istimewa, ini artinya memberi ruang bagi alam, bahkan di masyarakat urban sekalipun," katanya. Filosofis bukan?

Baru-baru ini, biro arsitek terkenal asal New York, Architecture Research Office (ARO) membuat kandang ayam yang memadukan lempengan logam dan kayu. Lagi-lagi, desain dan detailnya pun dibuat dengan serius.

Lantainya saja, selain dilapisi jerami, tanah, dan serbuk kayu, juga diberi penghangat di lapisan terbawahnya. Ini untuk menjaga ayam tetap hangat.

Sebelum mendesain kandang yang cukup bagi 8 ekor ayam indukan untuk berkejaran ini, ARO sampai merasa perlu melakukan riset dan kebiasaan ayam. Ini dilakukan untuk mendapatkan data semisal berapa luas ideal ruang yang diperlukan ayam, bagaimana panas yang baik, atau seperti apa ventilasi yang dibutuhkan ayam agar bisa berkembang dan bereproduksi dengan baik.

"Kami mengawasi segalanya, dari ukuran kandang yang cocok untuk ukuran ayam, lokasi kotak untuk telur ayam, dan akses untuk memanen telurnya," kata Stephen Cassell, arsitek kandang ini sekaligus salah satu pendiri ARO.

Kandang ayam ini dibuat dari papan kayu, yang membentuk cembungan seperti busur. Penutup dinding dibuat dari kayu cedar. Sirapnya terbuat dari alumunium, dengan ujung yang ditekuk. Selain memberi ruang untuk masuknya cahaya, tekukan ini menghasilkan bayangan yang indah saat kandang diterpa sinar matahari.

Kandang ini punya dua pintu di ujung. Satu untuk ayam, dan satu lagi untuk manusia. Di dalam kandang, tiap sisi dinding diisi oleh delapan kotak tempat ayam bertelur dan mengeram. Selain itu, ada beberapa tiang untuk tempat menclok si ayam.

Selama masa pembuatan dan riset, tim ARO juga mengindentifikasi enam jenis predator yang bisa membahayakan ayam dan juga telurnya. Mulai dari musang, hingga burung pemangsa. Tim ARO lantas membuat pondasi dari beton, supaya pemangsa tidak bisa menggali tanah untuk masuk dalam kandang.

Segitu perhatiannya. Mengharukan sekali.

Kandang ayam ternak seperti ini seolah menyindir dan memukul telak peternakan ayam industrial yang mengorbankan kenyamanan ayam demi untung yang lebih besar.

Dalam film dokumenter Food, Inc. kita bisa menyaksikan betapa kejam peternakan ayam industrial itu. Kandang besar, namun menampung ayam dalam jumlah yang berlebihan. Ayam berdesakan, banyak yang mati karena kekurangan nafas. Para peternak yang menjual ayam mereka untuk restoran waralaba ini juga menutup celah untuk masuknya cahaya. Konon, ini cara cepat untuk menggemukkan ayam.

Namun hasilnya bisa kita rasakan sama-sama. Daging ayam yang kita makan di restoran waralaba internasional itu memang tebal. Namun sonder rasa, meskipun konon sudah dibumbui dengan "resep rahasia turun temurun".

Bisa jadi ini karena hidup ayam itu sama sekali tak bahagia.

Kandang yang dibuat oleh beberapa arsitek di atas itu seharusnya membuat kita sadar, hewan ternak tak jauh beda dengan manusia: sama-sama membutuhkan rumah yang nyaman. []

Senin, 16 Februari 2015

Kereta Menuju Antah Berantah di Siberia


Stasiun Kereta Severobaikalsk (Getty Images)

Dibangun di sebuah daratan-tak-bersahabat dengan musim dingin yang ekstrim, jalur Baikal-Amur Mainline sepanjang 3.140 kilometer dengan hebat membuka jalan di beberapa daerah Rusia yang kurang diakses.

Oleh: Anna Kaminski

Aku terbangun saat kereta yang bergerak lambat dan membuat ngantuk, tiba-tiba tersendat dengan kasar. Aku sedang berada di sebuah daerah entah apa namanya, di Baikal-Amur Mainline (BAM), jalur kereta api sepanjang 3.140 kilometer yang berada di Siberia bagian utara. Aku sedang menuju barat, pulang menuju rumah.

Jam masih menunjukkan pukul 8 pagi, dan para penumpang lain di platzkartny, alias kereta kelas tiga, juga mulai bangun. Ada dua penumpang baru di kompartemen tidur, yang naik di tengah malam, dari sebuah tempat di barat Komsomolsk-on-Amur. Andrei, yang mirip George Clooney ala Rusia, baru tuntas menenggak sekaleng bir Baltica ukuran satu liter, dan ia sedang menuju utara, di luar kota Neryungri, untuk bekerja di sebuah tambang.

Yura kembali ke Tynda, kampung halamannya, karena bekas tempat kerjanya --sebuah tambang di dekat Khabarovsk menunggak gajinya selama empat bulan. "Beberapa orang teman menghubungiku, katanya ada pekerjaan di kampung," katanya.

BAM berawal pada dekade 1930-an, sebagai proyek  besar nan ambisius, yang akan membuka jalan di areal-areal Rusia yang kurang terjamah, memudahkan akses ke tambang-tambang mineral di Siberia, sekaligus mendukung migrasi ke daerah itu.

Berada sejajar dengan jalur rel Trans Siberian --dari persimpangan Tayshet di barat, hingga Sovetskaya Gavan di pantai Pasifik-- salah satu tujuan BAM adalah mengalihkan lalu lintas kereta Trans Siberian yang terlampau sibuk. Tapi meskipun menelan biaya miliaran rubel --dan konstruksinya belum jua rampung hingga 1991-- jalur Baikal-Amur Mainline masih kurang terpakai.

Tidak seperti kota-kota sibuk di jalur Trans-Siberian, yang mengalami perubahan drastis selama beberapa tahun terakhir karena meningkatnya lalu lintas kereta dan datangnya para pelancong asing, kota-kota di sepanjang jalur BAM masih merupakan bagian dari daerah yang terlupakan. Arsitektur warisan era Soviet pun masih tak berubah.

Jalur BAM hanya berjarak 400 kilometer di utara jalur Trans-Siberian, tapi perbedaannya begitu mencolok: penumpang BAM cenderung didominasi oleh orang lokal dan miskin --dan dengan pengecualian di daerah Severobaikalsk (tempat naiknya penumpang dari Danau Baikal), sangat sedikit orang asing yang menaiki kereta BAM.

"Kamu sudah pernah coba makan kaviar?" tanya Valera, seorang pria blonde dengan bekas luka di pipi. Dia sedang menuju tempat kerjanya, tambang emas di utara Tynda, dan saudara perempuannya membekalinya satu kaleng kaviar. Kami memakan kaviar itu dengan sendok besar, lalu membanjurnya dengan teh hitam yang panas dan legit.

Tanya, seorang perempuan berumur 21 tahun dari desa Fevralskoye, yang terletak di antara Komsomolsk-on-Amur dan Tynda, menolak halus Andrei yang sedang mabuk dan sibuk menggodanya.

Semua orang ingin tahu bagaimana kehidupan di kampung halamanku, Britania Raya. Berapa biaya sewa apartemen satu kamar? Berapa harga sekerat roti? Bagaimana cuacanya? Mereka tertawa sewaktu aku bilang kalau, selama berpuluh tahun, cuaca paling dingin di Britania Raya adalah -12 celcius. Yura bilang kalau sedang musim dingin, suhu di Tynda mencapai -47 celcius.

Saat Yura sekeluarga pindah ke Khabarvosk, di mana cuacanya tak pernah lebih dari minum -30 celcius, anak lelakinya bertanya, "Ayah, kapan musim dingin datang?"

Di luar, pemandangan hutan yang rapat seperti tidak akan berakhir. Kami berhenti di kampung kecil bernama Etryken, salah satu perkampungan yang dibangun untuk melayani lalu lalang kereta barang. Tapi keinginan itu tak pernah terwujud, meski jalur ini begitu kaya akan potensi tambang. Sejumlah proyek pertambangan yang direncanakan pada masa senjakala Uni Soviet, tak pernah terwujud. Hal itu mengubah perkampungan menjadi kota hantu, karena generasi muda di sana bermigrasi ke kota-kota lain untuk mencari kerja.

Menjelang malam, Aku ngobrol dengan Nikita, yang berasal dari Khabarovsk. Meski berhasil lulus kuliah, dia tetap mencari kerja di tambang guna menghidupi keluarganya. "Keinginanku cuma ingin hidup dan kerja dengan bermartabat, menghasilkan uang yang cukup untuk membesarkan anakku, sesekali pergi berlibur, dan hidup tenang karena pekerjaanku stabil," ujarnya. Dia menambahkan kalau dia lelah melihat korupsi, birokrasi, ketidaksopanan, dan kurangnya patriotisme. "Semua orang mengambil untuk diri mereka sendiri. Rusia terbagi menjadi 'golongan-golongan', dan jika kamu bukan bagian dari mereka, maka sulit untuk mendapat apapun."

Keesokan paginya, kami turun di Tynda, ibukota tidak resmi BAM, sekitar 7.000 kilometer di timur Moskow. Stasiunnya diselimuti banyak poster tua nan pudar berukuran besar, yang merayakan ulang tahun ke 35 stasiun itu, pada tahun 2009 silam: "Jalan ini dibangun dengan cinta." Jalur kereta ini adalah kejayaan umat manusia atas alam, dibangun di daratan yang tak bersahabat, dingin bukan kepalang kala musim dingin datang, dan langit musim panas selalu dipenuhi komplotan nyamuk.

Tapi para anggota idealis Komsomol (Liga Komunis Muda) yang dianggap berjasa menyelesaikan BAM, sebenarnya hanya tinggal menyelesaikan bagian akhir saja; sebelumnya, di antara tahun 1930-an hingga 1950-an, jalur kereta api ini dibangun dengan darah dan air mata setidaknya setengah juta orang, termasuk para tahanan di gulag dan tahanan perang dari Jepang.

Meski telah berusaha keras, aku tak bisa menemukan daya tarik utama di Tynda: patung pekerja BAM, digambarkan sebagai seorang lelaki berotot yang memegang godam. Ini adalah monumen yang paling terkenal di BAM, sebagai simbol usaha keras membangun jalur kereta api dan seharusnya juga menjadi contoh spektakuler tentang gagrak realisme sosial. Aku berjalan di sepanjang jalan utama, melewati patung palu arit, Hotel Yunost –tempat tinggal penulis perjalanan Dervla Murphy saat menyelesaikan buku Through Siberia By Accident-- beberapa blok apartemen identikit, dan beberapa gerai shashlik (daging tusuk, mirip kebab). Malah, secara tak sengaja aku mendapati Museum Sejarah BAM, yang terletak di samping replika barak para pekerja BAM di masa pembangunan jalur kereta api.

Anna Nikolayevna, seorang kurator paruh baya, dengan bangga mengajakku berkeliling dan menunjukkan koleksi kebanggaan museum, termasuk artefak Evenki (sebutan untuk penggembala rusa kutub yang berpakaian mirip shaman, dan mengenakan sepatu berbulu); telepon era 1980-an yang digunakan sebagai alat komunikasi antar kota BAM; dan foto para pekerja rel yang sudah mulai buram. Dengan was-was, ia berbisik, memberi tahu kalau patung pekerja BAM sudah dipindah di tengah malam, beberapa tahun lalu. Tidak ada yang tahu patung itu dipindah ke mana.

Saat kembali naik kereta menuju Severobaikalsk, kontur bumi menjelma pegunungan, dan kami melewati hutan lebat yang dialiri  sungai-sungai lebar dan gletser. Halimun turun perlahan menutupi lereng pegunungan yang terjal. Tetanggaku kali ini adalah Galya, pensiunan induk semang yang pindah dari Pegunungan Urals ke Siberia di 1970-an untuk bekerja sebagai relawan liga komunis muda di BAM, tergoda oleh bayaran tiga kali lipat; lalu ada Valera dan Nastya, pasangan pramuwisma kereta api yang sedang cuti. Galya memberitahuku kalau kehidupan di era komunis "seperti di surga", dan dia bisa menabung guna membeli apartemen untuk dia dan anak-anaknya. Dia memberiku sosis dan tomat yang ditanam di lahannya sendiri, menolak menerima apapun sebagai timbal baliknya.

Valera balik dari tongkrongannya di gerbong lain, mabuk dan bersimbah darah. Dia minum terlalu banyak vodka, kehilangan telepon selulernya dan menuduh teman minumnya mencuri ponselnya. "Kasian Nastya, dia pasti menderita punya suami seperti itu," kataku. Galya tak setuju: "Mereka cocok satu sama lain; Nastya meninggalkan suaminya untuk bersama dengannya." Lalu, dengan gaya orang tua Rusia yang sok akrab berlebihan, Galya menceramahiku kalau perempuan seumurku seharusnya sudah punya anak. Aku lega saat sampai di Severobaikalsk dan berpisah dengannya.

Jika Galya menjadi perlambang keteraturan dan kekakuan ala Soviet kuno, lantas Anya, yang juga turun di Severobaikalsk, adalah yang terbaik dari generasi baru Rusia. Mengabdikan diri pada konservasi, dia adalah anggota Great Baikal Trail, sebuah lembaga nirlaba yang punya visi mengenalkan ekowisata di area Baikal. Setiap musim panas, relawan lokal dan luar negeri berkumpul di Danau Baikal, danau tertua, terdalam, dan terbesar di dunia, untuk membuat dan meletakkan papan penunjuk arah, juga memperbaiki jalur pendakian yang menyusuri danau. Jennifer dan Joy, sukarelawan Amerika yang menemani Anya, berasal dari area dekat Danau Tahoe di California, merupakan bagian dari pertukaran pelajar antara Rusia dan Amerika Serikat, yang belajar tentang konservasi dan ekologi.

Sebelum kembali ke BAM dan menuju Rusia Barat, aku mengucapkan salam perpisahan ke Danau Baikal. Malam itu dingin dan hujan sedang turun, dan kami berempat berendam di pemandian air panas Goudzhekit --firdaus bagi para pelancong yang belum mandi selama berbulan-bulan. Aku mengapung dengan ringisan bodoh di wajahku. "Di musim dingin, saat suhu mencapai minus 40 celcius, rasanya bahkan jauh lebih baik," kata Anya sembari tersenyum. []

Post-scriptum: diterjemahkan dengan kasual dari artikel "A Train to Nowhere in Siberia" oleh Anna Kaminski. Artikel aslinya dimuat di situs BBC, bisa dibaca di: http://www.bbc.com/travel/story/20140113-russias-rails-less-travelled

Kamis, 05 Februari 2015

Tentang Bagaimana Merusak Hari dan Membuatnya Indah Lagi

Rusaknya hari yang indah bisa terjadi dengan mudah dan tiba-tiba.

Pagi tadi cuaca mendung, tapi tidak hujan. Menyenangkan. Terik tidak, hujan pun tidak. Suasana sepoi.

Menjelang siang, seperti biasa, perut keroncongan. Niatnya mau pergi ke warung langganan di Cikini IV. Bagi yang belum tahu, di sana ada warung pinggir langganan saya. Saya sebut warung pinggir, bukan warteg, karena memang ini warung di pinggir jalan. Bukan bangunan permanen. Hanya ada terpal berwarna biru tua, beberapa meja yang sudah dilapisi alas, serta tiga kursi panjang.

Meski warungnya tampak sederhana, masakan empunya begitu dahsyat. Pertama kali dikasih tahu Putra tentang warung ini, saya sudah jatuh cinta dengan masakannya.

Pemiliknya, sekaligus juru masak, adalah seorang ibu paruh baya asal Jawa Timur. Masakannya pun tak lepas dari gagrak Jawa Timuran. Nasi pecelnya pedas, namun tak galak-galak amat. Bisa diterima oleh orang-orang Jakarta yang sepertinya lebih suka pecel yang sedikit manis.

Rawonnya, hitam pekat seperti malam tanpa cahaya. Dengan potongan daging dan kecambah yang generous. Rawon dan pecelnya selalu jadi rekomendasi saya kalau ada orang yang bertanya mana rawon dan pecel yang Jawa Timuran.

Di luar menu andalan itu, si Ibu jual banyak makanan ala rumahan. Mulai rempela ati masak kecap, tongkol bumbu merah, tempe orek, telur dadar, sampai oseng usus. Nah, makanan yang disebut terakhir ini yang bikin saya penasaran. Terakhir saya makan di warung tanpa nama ini, seorang pengendara motor datang.

"Ususnya masih ada? Bungkus dong, gak usah pake nasi."

Bagi saya, lauk yang membuat orang rela membungkus tanpa nasi, berarti lauk itu spesial. Titik.

Karena itu, menjelang berangkat ke warung siang tadi, bayangan nasi putih yang hangat mengepul, oseng usus, dan telur dadar penuh cacahan bawang daun, membayang di pikiran. Maka berangkatlah saya dengan semangat.

Sampai di sana, saya kaget. Bangunan semi permanen itu sudah tak ada. Di kursi panjang, saya lihat si Ibu duduk-duduk santai. Ada mendung di wajahnya. Melihat saya datang, ia senyum. Pahit.

"Libur dulu mas. Lagi ada pembersihan."

"Waduh, sudah mulai kapan Bu?

"Ya sudah semingguan lah."

Katanya mereka berjualan lagi menunggu suasana aman dulu. Ini membuat suasana semakin terasa menyedihkan. "Menunggu suasana aman" ini seperti menunggu Godot. Bisa besok. Bisa lusa. Bisa seminggu lagi. Bisa setahun lagi. Siapa yang tahu?

Saya memutar haluan dengan perasaan kecewa. Juga sedih. Seminggu mereka libur jualan, mereka makan apa? Sepertinya terpaksa membongkar tabungan. Uang simpanan mereka cukup untuk berapa hari? Membayangkan peristiwa ini, membuat hari yang sebelumnya menyenangkan, jadi rusak berantakan.

Iya, sesederhana itu cara merusak sebuah hari yang indah.

Di tengah jalan, saya ingat ada sebuah warung Tegal yang lokasinya di pengkolan Jalan Probolinggo. Warungnya berada di bangunan yang semi permanen, cuma kondisinya lebih baik. Lantainya disemen.

Saya memutuskan untuk mampir ke sana.

Laiknya warung Tegal kebanyakan, lauknya beragam. Sejenak melongok, saya melihat opor ayam, telur dadar, telur balado, rempela hati masak kecap, tempe dan tahu goreng, juga beraneka sayuran. Mulai sayur toge, urap, bayam, oseng kacang panjang, hingga sayur labu

 Tapi satu yang membuat saya tertarik. Ikan dalam genangan kuah berwarna kuning pucat, bersantan, dengan lingkaran minyak, plus irisan cabai yang mengambang. Lengkap dengan potongan petai yang hijau menggoda. 

"Ini apa bu?" tanya saya.

"Ikan asap."

Dengan kompulsif, saya menunjuk lauk itu. Untuk teman baiknya, saya pilih sayur labu. Suapan pertama, jreng! Saya terkejut. Rasa ikan asap yang dibanjur kuah bersantan ini melampaui ekspektasi saya.

Ini ikan asap --saya menduga ini ikan pe-- dengan kuah mangut ala Pantura. Pedasnya tegas. Bisa bikin berkeringat, tapi juga menambah nafsu makan. Tak perlu waktu lama bagi saya untuk menandaskan sepiring nasi dengan ikan asap dan sayur labu itu. Saat membayar, saya tersenyum senang. Total kerusakan cuma Rp 10 ribu. Sepertinya saya akan sering ke sini.

Dan, sesederhana ini pula, cara mengembalikan hari yang terlampau rusak, menjadi hari yang kembali menyenangkan. []

Selasa, 03 Februari 2015

Gang Pinggir


(Esai oleh Bondan Winarno)

Minggu kemarin, Ibu tercinta telah meninggalkan kami semua --anak-anak dan cucu-cucu yang menyayanginya. Saya punya banyak alasan untuk bersedih. Tetapi, saya memutuskan untuk tidak larut dalam duka. Terlalu banyak hal-hal tentang ibu yang dapat saya kenang dengan manis. Ibu adalah orang yang memperkenalkan saya kepada dapur. Dari Ibu, saya menaruh apresiasi yang tinggi terhadap makanan. Seperti jamaknya orang Jawa Timur, Ibu sangat piawai dalam hal masak-memasak.

Ketika saya ditelpon Mbakyu yang mengatakan bahwa Ibu mulai enggan makan, reaksi saya sangat sederhana dan polos. Saya segera terbang ke Semarang. Dari bandara, saya langsung naik taksi ke Gang Pinggir. Masih terlalu pagi, dan restoran-restoran masih tutup. Tetapi, pemiliknya bersedia memasakkan sup asparagus kepiting dan mi goreng.

Ternyata makanan kegemaran itu tidak sempat disentuh Ibu. Ia pergi hanya beberapa saat setelah saya tiba di rumah. Malam harinya, setelah kami mengantar ibu ke peristirahatan terakhir, makanan itu kami panaskan dan kami makan ramai-ramai sambil mengenang Ibu.

Ketika Ayah dulu masih hidup, Ayah dan Ibu punya restoran favorit di Gang Pinggir, Semarang. Nama restoran itu Ki Twan Kie. Seingat saya, dulu hanya ada tiga restoran terkenal di sana, yaitu Ki Twan Kie, Bien Lok, dan Phien Tjwan Hiang. Ki Twan Kie sudah lama tutup gerai. Bien Lok sempat berganti nama menjadi Boga Loka, sebelum kemudian juga menutup gerai. Tinggal Phien Tjwan Hiang yang kini masih bertahan --hampir seratus tahun usianya-- dengan nama baru Permata Merah. Restoran itu kini diteruskan oleh generasi ketiga.

(Sebelum saya teruskan tulisan ini, saya mohon maaf. Tulisan ini akan banyak mengandung makanan yang tidak halal. Saya sepenuhnya memahami bila Anda memilih untuk tidak terus membaca).

Ketiga restoran yang saya sebut di atas adalah tipikal gerai makanan Tionghoa masa lalu. Artinya restoran-restoran itu berfokus pada masakan, bukan pada interior serta pelayanan. Di masa kecil saya dulu, oleh-oleh mie goreng dan burung dara goreng atau kodok goreng dari Gang Pinggir merupakan kemewahan yang sangat jarang kami nikmati, dan karena itu sangat kami syukuri.

Gang Pinggir adalah salah satu jalan utama di kawasan "Chinatown" Semarang. Lucunya, jalan masuk ke kawasan ini bernama jalan Pekojan yang berarti kawasan orang Arab. Nama-nama jalan di "Chinatown" ini antara lain adalah Jagalan, Beteng, Wotgandul, Plampitan, Kranggan, Gang Lombok, Gang Besen, Gang Tengah, dan lain-lain.

Makan berkelas warungan yang banyak dijumpai di sini adalah swiekee (katak atau kodok) dan pimbak (bulus, kura-kura sungai). Dagangan ini sudah buka sejak pagi untuk sarapan. Keduanya disajikan dengan kuah tauco yang sama. Ditaburi bawang putih goreng dalam porsi yang sangat generous. Pokoknya akan segera ketahuan apakah Anda baru makan swiekee dan pimbak Semarang dari napas Anda yang bau bawang putih. Karena bulusnya sering sulit didapat, para pedagang biasanya menempatkan papan pengumuman di depan warung: "Ada Pimbak".

Jangan kaget bila ketika nongkrong di warung swiekee itu Anda mendengar orang memesan "tito". Tito sebetulnya berarti babat atau jerohan babi. Padahal sebetulnya yang dimaksud adalah "to" saja, berarti perut. Yaitu bagian perut katak yang memang punya penggemar tersendiri. Di Semarang juga terkenal mi titee. Titee artinya kaki babi. Ini adalah mi rebus yang di atasnya ditumpangi semur kaki babi.

Kalau ingin pimbak dalam sajian lain, terpaksa harus menunggu malam hari. Di Jalan Kranggan ada tenda swiekee dan pimbak yang terkenal. Cobalah pimbak yang dimasak dengan saus Inggris (Worschestershire sauce). Coba juga swiekee "masak Pekalongan" yang sungguh lezat. Kalau tidak enak, akan saya ganti uang jajan Anda!

Gang Pinggir juga terkenal dengan jajanan khas Semarang, yaitu bolang-baling, untir-untir, dan cakwe (kaum Tionghoa di Semarang melafazkannya sebagai jakwe). Ketiga jenis makanan ini intinya sama, yaitu terigu dan air. Yang satu lebih banyak terigunya daripada yang lain. Cakwe yang paling ringan, tentu saja lebih banyak terigu daripada airnya. Untir-untir lebih keras dan padat --kepadatannya mirip bagel. Anda bayangkan saja cakwe yang lebih padat, lalu diuntir sebelum digoreng. Sedangkan bolang-baling --jajan murah yang paling populer di masa kecil dulu-- buatan Gang Pinggir tampak lebih sexy karena besar dan melepuh. Tandingan satu-satunya --sepengetahuan saya-- hanya bolang-baling dari Maospati, di dekat Lanuma Iswahyudi, Madiun, Jawa Timur. Sekarang sudah tidak banyak lagi penjual bolang-baling, untir-untir, dan jakwe di sekitar Gang Pinggir. Mungkin sudah tergusur oleh Dunkin Donuts yang lebih populer.

Kawasan "Chinatown" Semarang ini juga terkenal karena hidangan non Chinese. Anda mungkin pernah dengar Sate Kapuran, tidak jauh dari kantor Jamu Cap Jago. Satenya terkenal empuk, dengan saus kacang yang sungguh gurih. Di situ kita juga bisa makan gule tulang sumsum. Nasi goreng babat yang khas Semarang juga dapat kita jumpai di berbagai sudut Gang Pinggir.

Di antara gang-gang Chinatown itu juga sering kita jumpai pedagang gule pikulan. Daging untuk gulenya ditata bertumpuk-tumpuk di salah satu pikulan. Ada usus kambing yang "dikepang", babat, dan unsur-unsur jerohan lain. Ada juga bagian tulang seperti kaki dan rahang --mirip sajian thengkleng Solo. Di pikulan lain terdapat satu kuali (sekarang kaleng) tempat kuah gulai itu terus menerus dipanaskan. Berdasar pesanan pelanggan, pedagang akan meracik unsur-unsur daging ke dalam mangkuk, baru kemudian disiriam dengan kuah. Kuahnya sangat berlemak, sehingga mereka yang sudah bermasalah dengan kolesterol dijamin tidak akan berani menyantapnya.

Khususnya di daerah Wotgandul, banyak dijumpai ibu-ibu yang keluar masuk rumah menggendong nasi ayam (sego ayam) dan nasi sayur (sego jangan). Ini sebetulnya lebih mirip nasi liwet Solo, tetapi dijajakan dari rumah ke rumah dengan gendongan. Opor ayamnya lebih berterasi, mengingat pelanggannya kebanyakan adalah kaum Tionghoa. Sekarang, nasi ayam a la Wotgandul ini banyak disajikan oleh para pedagang di sekitar Simpang Lima.

Makanan gentile lain dari kawasan ini adalah tahu pong --mungkin sekali dari kata tahu kopong, tahu yang berkantung udara di dalamnya. Tahu goreng, telur rebus digoreng, dan gimbal udang, semuanya dipotong-potong dan disiram dengan saus kecap campur kacang. Sayangnya, hidangan khas Semarang ini sedang menghadapi kepunahan. Yang paling terkenal dulu berlokasi di Jalan Seteran. Sayang, putra tunggal pedagang tahu pong Seteran ini lebih suka menggeluti bisnis lain di bidang hiburan. Sekarang, hanya ada satu pedagang tahu pong di Jalan Gajah Mada (buka pagi), dan yang lain di Jalan Karangsaru (buka malam).

Ada juga pedagang pikulan yang tidak boleh dilewatkan di kawasan Gang Pinggir ini, yaitu pedagang kembang tahu. Kembang tahu yang lembut ditempatkan di sebuah kaleng besar, dan di kaleng besar lainnya tersedia seduhan air jahe. Kembang tahu disendok ke dalam mangkuk, lalu disiram dengan wedang jahe dan gula cair. Satu kombinasi yang sungguh cocok untuk dessert yang merakyat.

Sebagai penutup, saya ingin berbagi masakan Ibu yang paling saya sukai. Yang pertama adalah pecel Madiun, dengan sayur yang terdiri atas kembang turi, selada air, boros kunci, jantung pisang, kecipir, dan lain-lain. Pecel Ibu memang serius, terlihat dari variasi sayuran yang dipakai. Yang kedua adalah mangut (semacam gulai) dari ikan pari yang diasap. Sekalipun Ibu telah tiada, kami masih punya Mbakyu yang telah meng-akuisisi keahlian ini dari Ibu. Artinya, Ibu masih "ada" di antara kami.


P.S Sekaligus selamat jalan bagi Mas Umar Kayam, Anton Hilman, dan Ali Sugiharjanto --semuanya meninggal dalam minggu yang sama. Ali adalah "tukang makan" yang sangat akrab dengan Sate Kapuran dan Gang Pinggir. []

Tulisan Bondan soal makanan selalu menjadi tetenger tinggi tentang bagaimana food writing itu dituliskan. Esai menyentuh ini saya ketik ulang dari buku Jalansutra, bunga rampai tulisan Bondan Winarno tentang jalan-jalan dan makan-makan yang dikumpulkan dari Suara Pembaruan Minggu dan Kompas Cyber Media. "Gang Pinggir" dapat dibaca di halaman 263-266. 

Senin, 02 Februari 2015

Dua Toko Kaset Terakhir di Kota Jember

Beberapa hari lalu, saat pulang ke Jember, saya menyempatkan mampir ke toko kaset Melody dan Metal.

Itu adalah dua toko kaset yang tersisa di Jember. Saat masa jaya kaset, ada banyak sekali toko kaset di Jember. Tapi yang paling terkenal ada tiga: Pinokio, Metal, dan Melody. Uniknya, ketiga toko kaset ini berada dalam ruas jalan yang sama.

Saya pertama mampir ke Melody. Toko ini pernah jadi toko kaset terbesar di Jember. Berdiri sejak 1986, toko ini berdiri dengan modal yang besar. Karena itu bisa sangat ekspansif. Semasa masih laris, Melody sampai punya tiga cabang. Salah satunya ada di Johar Plaza Jember, atau orang Jember menyebutnya sebagai Matahari.

Saya membayangkan koleksi kaset Melody masih banyak. Sewaktu terakhir berkunjung ke sini tahun 2010-an, koleksi kasetnya masih banyak. Sayang, harganya masih tetap normal. Saya sebagai mahasiswa tak bisa belanja sesuka hati.

Sebelum datang ke Melody, saya sudah membayangkan kaset-kaset yang akan saya borong. Warrant. Bon Jovi. Cinderella. Steelheart. The Black Crowes. Wah, saya gembira.

Tapi kecewa segera datang karena ternyata Melody sudah tak jual kaset lagi.

Melody Kini: Nyaris nihil kaset

"Itu tinggal yang ada di sana," ujar Cik Linda, pemilik Melody, sembari menunjuk rak di ujung toko.

Buyar semua bayangan kaset yang akan saya beli. Dengan langkah gontai saya berjalan ke pojokan. Melewati beberapa tape deck dan headsetnya. Dulu, ada banyak orang duduk di kursi dan mencoba kaset sembari mengangguk-anggukkan kepala.

Koleksi kaset Melody tinggal beberapa ratus. Jauh menurun ketimbang dulu yang mencapai ribuan kaset. "Dulu karena saya distributor Billboard, saya setiap tahun diundang ke acara penghargaan musik di Jakarta," kata Cik Linda.

Saya melongok kaset yang tersisa. Ada Mike Tramp, albumnya Remembering White Lion. Sama sekali tak menarik. Ada pula kaset Greatest Hits Blondie, saya sudah punya, mengambil dari koleksi kaset Mas Taufiq beberapa tahun silam.

Sempat mau mengambil kaset Tracy Chapman, mata saya terbentur oleh kaset berwarna biru pucat, dengan garis kuning di pinggir kiri.

To Records Only Water for Ten Days by John Frusciante.

Saya akhirnya mengambil kaset ini. Saya suka John Frusciante, tentu karena karya-karyanya bersama Red Hot Chili Peppers. Beberapa kali saya mendengarkan proyek solonya. Cukup menyenangkan didengar, walau tak sampai meninggalkan kesan mendalam.

Di kasir, saya sempat ngobrol dengan Cik Linda yang turun tangan langsung. Cik Linda, yang merupakan generasi kedua pemilik toko, adalah orang yang ramah. Ia selalu menyiapkan air mineral gelas dan sekantung permen untuk para pembeli.

"Sekarang omzet jauh menurun. Sekarang tinggal 25 persen saja," kata Cik Linda.

Saya membayangkan di masa kejayaan Melody. Andai toko ini beromzet Rp 10 juta per bulan, sekarang hanya mendapat Rp 2,5 juta per bulan. Berat sekali memang. Ini berpengaruh besar pada jumlah karyawan yang ia punya.

"Dulu ada lima karyawanku, sekarang cuma dua," katanya.

Sekarang Melody banyak menjual CD dan VCD original. Walau koleksinya juga tak terlalu mengagumkan. Pembelinya adalah orang-orang bermobil yang masih setia memutar cakram di dalam mobil. Selain itu, kaset-kaset pengajian dan burung berkicau juga masih lumayan laris. Malah menempati rak paling depan di dalam toko.

"Sudah lama mau ganti bisnis, tapi masih terkendala modal," kata Cik Linda.

Saya sempat menanyakan apakah ia menjual Walkman, ternyata ia sudah tak ada. Dulu Walkman adalah salah satu barang yang laris manis di Melody.

"Coba kamu ke Metal, siapa tahu ada," ujar Cik Linda.

Saya menyebrang jalan. Iya, Melody dan Metal memang cuma dipisah seruas jalan saja. Benar-benar berhadapan. Tapi setahu saya mereka tak pernah saling sikut.

Metal dimiliki oleh satu keluarga besar Tionghoa. Selain kaset, mereka juga membuka usaha fotografi dengan nama yang sama. Usaha fotografinya cenderung tahan lama. Sampai sekarang masih ada dan tetap besar. Tokonya pas di samping Melody.



Metal sudah banyak berubah. Dulu toko ini mentereng dengan cat warna putih yang cemerlang, dan papan nama besar berlampu neon. Sekarang, cat pudar dan lampu neon sudah lama mati. Temboknya pun dimamah lumut.

Om Willy, pemiliknya, adalah satu-satunya karyawan yang tersisa. Ia menyilahkan saya melihat kaset-kaset yang tersisa.

"Masuk ae, lihat-lihat," ajaknya sembari membuka pintu.

Koleksi kaset Metal sekarang jauh lebih sedikit ketimbang Melody. Dulu, Metal sempat berjaya. Maklum, toko kaset ini pecahan dari toko kaset yang lebih lama, Pinokio.  Toko kaset itu sudah ada sejak tahun 70-an. Bisa dibilang toko kaset pertama di Jember. Nama awalnya adalah Maranz. Entah kenapa diubah jadi Pinokio.

Pinokio merupakan tempat bersejarah bagi saya. Masih lekat dalam ingatan, sepulang dari Johar Plaza, kami sekeluarga berjalan kaki. Saya melihat poster promo album Pandawa Lima milik Dewa 19. Beberapa malam sebelumnya, saya melihat video klip "Kirana" yang tampak aneh, sekaligus mengagumkan. Musiknya enak.

Saya meminta kaset itu, dan ayah dengan senang hati mengabulkannya. Jadilah Pandawa Lima sebagai kaset pertama yang saya punya.

Tapi Pinokio lantas pecah kongsi. Om Willy akhirnya mendirikan toko kaset baru, Metal pada tahun 1983. Pinokio sendiri lebih dulu menemui ajal. Ia bangkrut sekitar 3-4 tahun lalu.

Saya menengok koleksi kaset di rak Metal. Tak ada yang istimewa. Ada beberapa album Blur, Muse, Radiohead, tapi tak saya ambil karena bukan favorit saya. Plus, saya sudah punya beberapa album mereka. Hasil merampok mas Taufiq. Hehe.

Lalu ada pula kaset-kaset Senam Kesehatan Jasmani. Saya sempat tergoda membelinya karena pernah membaca tulisan mas Budi Warsito soal kaset senam ini. Dalam tulisan itu, seakan-akan lagu senam zaman Orde Baru ini begitu menghipnotis dan membuat kita otomatis bersemangat.

Tapi saya ternyata tak sehipster mas Budi, jadinya batal membeli kaset ajaib ini.

Pilihan akhirnya diputuskan sewaktu melihat kaset Native Tongue milik Poison. Ini album keren. Kebetulan saya belum punya kaset ini. Langsung saja saya sambar.

Saat mau membayar, lha kok ndilalah saya lihat album Permission to Land-nya The Darkness. Ini album yang menyelamatkan rock n roll di awal tahun 2000. Iya, album ini. Bukan album Is This It milik The Strokes yang biasa saja itu.

Akhirnya saya beli dua album itu. Harganya masih harga lama. Native Tongue dihargai Rp 19 ribu, Permission to Land Rp 23 ribu. Lebih murah ketimbang harga kaset di Melody.

Selepas membayar, saya sempat menengok bagian dalam Metal. Bagian kanan toko, yang dulu dipenuhi kaset lintas genre, kini dipenuhi oleh pigura foto dan kardus-kardus berisi pigura dan album foto.

"Ya sekarang lebih banyak bantu-bantu kakak di studio foto sih," kata Om Willy.

Saya tak pernah membayangkan bisa menjadi saksi surutnya sebuah kebudayaan, sebuah cara menikmati musik. Iya surut, bukan mati total. Di Jakarta, kini sedang demam mendengarkan kaset kembali. Tata niaga kaset bekas kembali menggeliat. Beberapa band bawah tanah juga mulai kembali merilis album dalam bentuk kaset. Walau dalam skala kecil.

Tapi di Jember, kota kecil berjarak ratusan kilometer dari Jakarta, mendengarkan musik melalui kaset sepertinya sudah akan menemui ujungnya. Gaung bangkitnya kaset di Jakarta, seperti tak terdengar di sini.

Melody dan Metal kini seperti sedang menghela satu-dua napas terakhir. Sebelum akhirnya menunduk kalah dan menutup tirai. []