Sabtu, 30 November 2013

Menuju Banyuwangi Sebagai Kota Festival Musik

Bagaimana musik bisa menjadi suluh penyelamat sebuah kota yang sedang menuju kebangkrutan nan kelam?

Kota Liverpool bisa menjadi contoh yang bagus tentang kota yang diselamatkan musik. Pada dekade 60-an, kota yang dikenal sebagai kota industri dan pelabuhan ini mengalami krisis sebab tenaga kerja di pelabuhan dan pabrik sudah mulai diambil alih mesin.

Hal ini berlangsung hampir selama dua dekade. Pada dekade 80-an, keadaan sosial ekonomi di Liverpool makin compang camping. Pemerintah kota lantas mencari cara untuk memperluas lapangan kerja dan menggenjot pariwisata. 

Saat itu akhirnya pemerintah kota Liverpool mencanangkan fokus kepada pariwisata musik sebagai pendongkrak ekonomi kota (Cohen, 1991). Hal ini wajar, sebab Liverpool dikenal sebagai kota kelahiran Beatles, salah satu band terbesar di dunia --bahkan hingga saat ini. Karena itu kota pelabuhan ini punya banyak situs-situs bersejarah yang berkaitan dengan Beatles. Pemerintah kota mulai mempromosikan Liverpool sebagai kota musik.

Sejak kematian vokalis Beatles, John Lennon, pada tahun 1980, kunjungan wisatawa ke kota Liverpool guna mendatangi situs-situs Beatles semakin meningkat. Cohen (1997) menyebut Liverpool telah sukses mengkapitalisasi Beatles untuk jadi brand baru bagi kota Liverpool. 

Para wisatawan banyak membanjiri tempat-tempat yang jadi tempat landasan awal karir The Beatles. Mulai dari Pelabuhan Albert, The Cavern Club, hingga Mendips dan 20 Forthlin Road. Lapangan kerja pun semakin banyak tersedia. Kota tak lagi mengandalkan pabrik dan pelabuhan sebagai pemberi daya hidup utama. Kota Liverpool telah beranjak menjadi kota kreatif.

Saking suksesnya mengemas Liverpool menjadi kota pariwisata musik, kota yang terletak di barat laut Inggris ini bahkan dinobatkan sebagai World Capital of Pop (Ibu Kota Musik Pop) oleh Guinnes World Record.

Sejak saat itu Liverpool semakin mengukuhkan identitas sebagai kota pariwisata musik. Saat ini ikon baru kota Liverpool adalah Liverpool International Music Festival, sebuah festival musik tahunan yang diadakan gratis, dan merupakan festival musik gratis terbesar di Eropa. Pada tahun 2009, festival ini sukses ditonton oleh sekitar 200.000 pengunjung.

Menggeliatnya Pariwisata Musik

Kesuksesan Liverpool juga merupakan kesuksesan Britania Raya dalam mengemas musik sebagai ikon pariwisata baru.  Britania Raya (yang beranggotakan  Inggris, Irlandia Utara, Skotlandia dan Wales) bahkan punya lembaga resmi bernama UK Music yang didirikan untuk mencatat segala angka yang berkaitan dengan musik dan pariwisata.

Dari data yang dikeluarkan lembaga itu pada tahun 2011, Britania Raya dikunjungi oleh 7,7 juta orang dari konser-konser  besar yang dihelat di seluruh penjuru Britania. Jumlah wisatawan sebesar itu berasal dari wisatawan yang datang ke pertunjukan musik saja. UK Music menyebutnya sebagai turis musik, yang berasal baik dari domestik maupun mancanegara. Turis domestik mendominasi jumlah turis musik di Britania Raya, yakni sekitar 7,4 juta orang. Sisanya adalah turis mancanegara. 

Industri pariwisata musik memang sedang menggeliat sejak dua dekade terakhir. Salah satu ujung tombak pariwisata musik adalah festival musik. Hughes (2000) dalam buku Arts, Entertainment, and Tourism mengungkapkan kalau  tiap tahunnya ada sekitar 4000 festival musik di Amerika, kurang lebih 520 festival di Inggris, dan 800 festival di Perancis. Genre festival-nya pun beragam. Mulai dari rock, jazz, blues, folk, hingga musik etnis. Festival-festival itu memberi pemasukan dan perluasan lapangan kerja yang tak sedikit.

Di Britania Raya misalnya, 7,7 juta turis musik itu membelanjakan uang sebanyak 1,4 milyar poundsterling, dimana sebanyak 864 juta poundsterling masuk ke kas negara. Festival-festival musik ini juga memberikan pekerjaan penuh waktu bagi 19.700 orang. Itu baru dari festival saja.

Bagaimana dengan di Indonesia? Indonesia pun ikut serta dalam menikmati manisnya kue pariwisata musik ini. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Marie Elka Pangestu, menyebutkan bahwa ada peningkatan sebanyak 30% kunjungan wisatawan mancanegara jika ada konser ataupun festival musik di Indonesia.

Di Indonesia juga terjadi peningkatan jumlah festival musik lintas genre secara signifikan sejak satu dekade lalu. Mulai dari Java Jazz, Rock in Celebes, Bandung Berisik, Hammersonic, Jazz Gunung, hingga yang baru-baru dan sedang berkembang seperti Kutai Rock Festival dan Banyuwangi Jazz Festival.

Aneka ria festival ini juga mendatangkan penonton dalam jumlah yang banyak dan semakin meningkat tiap tahunnya. Festival Java Jazz misalnya. Pada saat pertama kali diadakan, festival ini dikunjungi oleh kurang lebih 48.000 penonton. Jumlahnya terus meningkat hingga mencapai puncaknya pada tahun 2011, yakni dikunjungi oleh 150.000 penonton. Tak heran, Java Jazz kini dianggap sebagai salah satu festival jazz terbesar di dunia.

Mengemas Banyuwangi Sebagai Kota Festival Musik

Banyuwangi sudah sejak dulu dikenal sebagai kota yang punya akar budaya yang kuat. Hal ini juga ditambah dengan indah bentang alamnya. Dari gunung, pantai, hutan, Banyuwangi punya semua. Hal ini tentu mempermudah pengemasan Banyuwangi sebagai kota wisata alam, budaya, dan kota festival musik.

Langkah itu sudah mulai diwujudkan sejak tahun 2012. Banyuwangi Jazz Festival menjadi gong penabuh dan langkah awal menuju Banyuwangi kota festival musik. Pemerintah Banyuwangi jelas sudah mengetahui pentingnya festival musik bagi sektor pariwisata di sebuah kota.

Salah satu langkah yang patut diapresiasi dari gelaran Banyuwangi Jazz Festival ini adalah adanya usaha mengkolaborasikan seni tradisional Osing dengan musik jazz. Ini adalah salah satu poin unggul dalam Banyuwangi Jazz Festival. Kolaborasi antara seniman tradisional Using dan musisi kontemporer adalah diferensiasi yang penting.

Kenapa diferensiasi ini penting? Karena saat ini ada banyak festival jazz --sekitar 50-an-- di Indonesia. Diferensiasi alias faktor pembeda tentu menjadi poin penting agar Banyuwangi Jazz Festival bisa berbeda dari festival jazz lain. 

Menampilan seniman-seniman tradisional juga sangat penting dalam kaitan akar sejarah. Meski tema utama festival adalah jazz, tak harus serta merta melupakan akar budaya Banyuwangi yang kuat. Seperti yang kita ketahui, di Indonesia ada banyak sekali seniman tradisional yang seakan terpinggirkan dan terlupakan. Dengan menampilkan seniman-seniman tradisional di panggung Banyuwangi Jazz Festival, itu artinya penyelenggara tak melupakan seniman tradisional, sekaligus mengenalkan seniman-seniman itu ke khalayak yang lebih muda.

Banyuwangi Jazz Festival juga unggul dalam kontribusi terhadap masyarakat lokal. Festival musik yang baik memang seyogyanya memberikan kontribusi terhadap masyarakat lokal. Pada banyak festival musik di luar negeri, penyelenggara memberikan keuntungan acara kepada sekolah-sekolah, panti sosial, hingga yayasan sosial. Tak hanya itu, ada diskon khusus bagi penduduk lokal yang ingin menonton festival, juga membagikan banyak tiket gratis melalui kuis interaktif.

Banyuwangi Jazz Festival juga melakukannya. Menurut penuturan bupati Banyuwangi, Azwar Anas, keuntungan dari Banyuwangi Jazz Festival pada tahun 2013 dialokasikan untuk merehab rumah miskin. Ini adalah salah satu bukti bahwa festival musik bisa membawa dampak langsung dan memberikan kontribusi terhadap masyarakat lokal.

Selain Banyuwangi Jazz Festival, pemerintah Banyuwangi seharusnya sudah mulai memikirkan festival musik lain. Seperti membuat festival musik dunia alias world music. Banyuwangi punya musik dan tari Gandrung yang sudah mendunia. Bayangkan kesenian Osing seperti Gandrung, Janger, Mocopatan Pacul Goang, Angklung Caruk, hingga orkestra kluncing, kethuk, dan kempul menyatu dalam satu panggung besar festival world music. Pasti akan sangat megah. Kesenian ini bisa dikemas dalam sebuah festival musik berkelas dunia, tentu hal ini akan semakin mengangkat nama Banyuwangi sebagai kota festival musik di Indonesia. Bahkan dunia.

Lalu Apa?

Namun puja-puji melenakan saja tentu tak akan membangun. Ibarat bayi,  Banyuwangi Jazz Festival masih perlu banyak belajar cara berjalan sebelum bisa berlari. Masih banyak yang harus dipelajari dan dibenahi. Festival musik yang baik adalah festival musik yang berkesinambungan, tak hanya sekali lalu mati. Untuk itu diperlukan kerja sama yang lebih baik antara pemerintah Banyuwangi dengan media, sponsor, festival lain, supplier, perusahaan swasta, dan komunitas lokal. Saat proses ini bisa dikerjakan dengan baik, maka festival musik bisa jadi identitas sebuah kota (Gibson dan Connel, 2003).

Pemerintah Banyuwangi juga harus memperhatikan faktor seperti aksesibilitas (bandara, terminal, akses jalan, dan kendaraan umum) dan amenitas (rumah makan, penginapan, tempat menjual merchandise), yang seringkali diabaikan. Padahal aksesibilitas dan amenitas ini merupakan faktor penting dalam pariwisata.

Selain itu perlu ditilik hal-hal kecil seperti official website yang juga masih perlu banyak dibenahi. Situs resmi ini vital karena situs ini adalah sumber informasi yang akan diakses oleh calon penonton. Seharusnya situs resmi ini bisa memberikan info terbaru dan terlengkap tentang pagelaran Banyuwangi Jazz Festival. Saat ini situs resmi Banyuwangi Jazz Festival (http://banyuwangijazz.com/) belum optimal, hanya berisi sedikit informasi, dan belum ada fitur dwi bahasa.

Yang juga wajib diperhatikan adalah kualitas lineup alias pengisi acara. Pengisi acara adalah salah satu faktor penting dalam festival musik. Dapat dikatakan bahwa sukses dari sebuah festival tergantung pada kehadiran bintang tamunya (Wallace, Seigerman, Holbrook, 1993). Diharapkan, penyelenggara Banyuwangi Jazz Festival bisa memahami pentingnya faktor pengisi acara agar acara ini bisa terus berkembang dan semakin besar. []

Post-scriptum: Tulisan ini dibuat untuk mengikuti lomba menulis yang diadakan oleh Pemkab Banyuwangi. Saya mengambil tema Potensi Wisata Banyuwangi.

Minggu, 24 November 2013

House of Broken Love

Jack Russel sedang berada di puncak ketenaran pada medio 1987. Ia adalah frontman Great White, band hard rock yang tenar pada era 80-an. Lagu-lagu mereka bersliweran di tangga lagu radio. Video klip mereka jadi heavy rotation di MTV. Ini berkat album ketiga mereka, Once Bitten... (1986) yang melejitkan single "Rock Me". Dua album Great White sebelumnya, S/T (1984) dan Shot in the Dark (1986) belum mampu mengangkat nama Great White. Namun sejak album Once Bitten..., Russel menjelma jadi idola baru banyak fans, terutama wanita.

Tak heran, ia gagah. Russel berbadan tegap dengan suara serak basah yang sangat jelas dipengaruhi oleh Robert Plant. Auranya sangat maskulin, berbeda dengan beberapa frontman hair metal yang kebanyakan beraura manis dan 'ayu'. 

Tapi Russel adalah salah satu contoh adagium terkenal: rocker juga manusia. Meski punya banyak fans wanita dan bisa tidur dengan wanita manapun, Russel bisa juga patah hati. 

Semua berawal dari perceraian pertamanya. Russel menjadi kacau. Ia limbung. Jangankan melakukan konser, menggarap album baru pun ia malas.

Saat itu tolan setianya adalah Mark Kendall. Ia adalah gitaris sekaligus pendiri Great White bersama Russel. Gitaris yang identik dengan topi koboi berwarna hitam ini juga sedang berusaha bertahan dari cintanya yang kandas dilamun badai.

Mereka sering duduk berdua dan tidak melakukan apapun.

Suatu hari, Alan Niven, manajer mereka, sedikit gemas melihat mereka Russel dan Kendal hanya duduk dan bermalas-malasan. Sedikit menyindir dan berkelakar ia berkata, "what is this, the house of broken love?"

Dari candaan itu, Kendall mendapat ilham. Akhirnya bersama Michae Lardie --gitaris sekaligus keyboardis Great White-- dan Niven, mereka menulis lagu yang kelak diberi judul "House of Broken Love".

Lagu ini masuk dalam album keempat Great White, ...Twice Shy (1987), yang sekaligus merupakan album terlaris mereka. Lagu bernuansa blues nan sendu ini berhasil menduduki peringkat 7 dalam tangga lagu Billboard Mainstream Rock Tracks.

Dalam sebuh wawancara dengan The Friday Rock Show milik BBC, Russel mengatakan bahwa lagu ini adalah, "...tentang kesendirianku saat melewati perceraian." Tak heran liriknya pun liris.

When the night falls, and she's leaving, 
Ooo the moon shines so cold and grey. 
Hear my heart beat ,yeah,yeah, hear me weeping 
Pain and sorrow's here to stay, 

But I begged you baby help me, but you turned your back on me, you didn't even listen.
You should have set me free. 
Now I'm leaving with the devil, gonna leave this search for love, 
I'm leaving with the devil, leave this house of broken love. 

***

Sejatinya, tema patah hati adalah tema yang umum dalam band hair metal. Saat itu kondisinya pas dengan permintaan industri musik yang mensyaratkan adanya --paling tidak-- satu buah single ballad dalam sebuah album. Maka ada banyak sekali band yang menuliskan lagu tentang patah hati. 

Kebanyakan dari mereka menuliskan pengalaman patah hati orang-orang terdekatnya. Entah itu kawan, roadie, atau sanak saudara. Namun tak sedikit yang menuliskan berdasarkan pengalamannya sendiri. Karena itu acapkali lagu-lagu mereka mempunyai lirik yang sangat personal sekaligus reflektif. 

Seperti misalnya lagu "I Saw Red" milik band Warrant. Lagu ini muncul dalam album mereka yang paling sukses, Cherry Pie (1991). 

See red sendiri adalah sebuah istilah dalam bahasa Inggris untuk menyatakan amarah yang teramat sangat. Jani Lane, sang vokalis sekaligus penulis lirik Warrant, memakai frasa itu kala memergoki sang pacar --yang sudah berpacaran dengan Lane selama tiga tahun-- tidur dengan karib Lane sendiri. Kejadian ini membuat Lane sangat shock.

Lane menelan kemarahan sekaligus kegetirannya itu dengan menulis lirik. Namun uniknya, Lane menulis "I Saw Red" dengan nuansa yang teramat kontras. Pada bagian sebelum reff, Lane menuliskan larik-larik indah tentang kekasihnya.

Oo it must be magic
How inside your eyes
I see my destiny
Every time we kiss
I feel you breathe your love so deep inside of me

Juga larik ini:

And if the sun should ever fail to send its light
We would burn a thousand candles
And make everything alright

Namun pada bagian reff, Lane menumpahkan rasa getirnya:

Then I saw red
When I opened up the door
I saw red
My heart just spilled onto the floor
And I didn't need to see his face
I saw yours
I saw red and then I closed the door
I don't think I'm gonna love you anymore

Ironisnya, lagu personal nan pilu ini justru sukses di pasaran. "I Saw Red" menjadi salah satu lagu Warrant yang paling sukses, menembus 10 besar dalam tangga lagu Billboard. Jadi bukti bahwa kepedihan bisa jadi dagangan yang laris manis.

Lane sendiri memilih untuk bersenang-senang selepas patah hatinya.

"Aku baru saja putus dengan pacar yang sudah menjalin hubungan denganku selama tiga tahun. Jadi sekarang aku bisa menulis lagu dengan tema seks liar --dan melakukannya!-- yang selama ini tak bisa ku lakukan sebelumnya --karena menjaga perasaan pacarku," kata Lane dalam suatu wawancara.

Lane tak sendiri. Kroninya, Bret Michaels dari band Poison juga mengalami patah hati yang sama hebat. Padahal Michaels frontman band terkenal. 

Pada tahun 1986, Poison merilis album pertama mereka Look What the Cat Dragged In. Album perdana ini melambungkan mereka dalam senarai band populer. Album ini berhasil menduduki nomer 3 dalam tangga album Billboard 200 pada tahun 1987. Album ini juga menjadi cetak biru bagaimana sebuah band hair metal bersikap, baik dalam lagu dan penampilan.

Meski sudah jadi rock star papan atas, Michaels juga bisa patah hati. Kejadiannya bermula pada suatu malam saat Michaels dan Poison usai manggung di Dallas. Michaels kala itu sedang berada di laundromat dan menunggu pakaiannya dikeringkan.

Kala menunggu itu ia menelpon Tracy Lewis, sang kekasih yang berada nun jauh di sana. Namun saat Lewis mengangkat teleponnya, tanpa sengaja terdengar suara desahan lelaki. Michael muntab sekaligus gulana. Ia langsung memutuskan Lewis saat itu juga.

Dan di laundromat bersejarah  itu pula, Michael menuliskan lagu yang kelak menjadi legendaris, "Every Rose Has Its Thorn".

"Aku menulis lagu itu hanya dengan gitar akustik. Lalu aku langsung merekamnya di studio. When I wrote it, it came from my heart and soul," kata Michaels dalam sebuah wawancara.

Lagu itu awalnya tak akan dirilis oleh label rekaman yang menaungi Poison. Mereka tak percaya kalau lagu itu bisa jadi hits. Tapi perkiraan para eksekutif label itu salah besar. 

Lagu yang lantas masuk dalam album kedua Poison, Open Up and Say... Ahh! (1988), berhasil menjadi nomer 1 dalam nyaris semua tangga lagu di Amerika. Bahkan VH1 memasukkan lagu ini dalam "100 Greatest Songs of the 80'S".

"Label kami awalnya enggan memasukkan lagu ini dalam album. Mereka tak percaya pada lagu ini. Dan lagu ini berakhir menjadi lagu nomer satu," kenang Michaels.

Michaels menuliskan lirik patah hati ini dengan sangat indah dan puitis. Ia memakai metafora yang sangat bagus. Michaels, pria kelahiran Pennsylvania, mengibaratkan patah hatinya sebagai luka akibat sayatan pisau, "...the wound heals, but the scar, that scar remains."

Lukanya sembuh, namun bekasnya akan tetap ada.

***

Namun seperti biasa, para dedengkot hair metal ini terlalu akrab dengan sex, drugs, rock n roll. Patah hati hanya mereka mampir sekejap saja. Hanya berucap halo kemudian ditendang. Dan mereka kembali larut dengan kegilaan mereka. Pesta! Pesta! Pesta!

Beda dengan Russel, Lane, dan Michaels, beberapa hair rocker lainnya menuliskan lirik patah hati dengan semangat misoginis. Mereka tak sudi menundukkan kepala, melainkan mendongakkan dagu dan mencari perempuan lain. Entah untuk sekedar ditiduri, atau untuk dicintai.

Mulai dari L.A Guns yang menuliskan ballad patah hati dengan sedikit riang berjudul "It's Over Now", hingga keoptimisan Bon Jovi pada lagu "You Give Love a Bad Name", dan kearoganan Mike Tramp dkk dari White Lion dengan lagu anthem sepanjang masa mereka, "Broken Heart".

Tadi sore saat saya sedikit lelah membaca dan revisi tesis, saya iseng mengumpulkan lagu-lagu patah hati dari banyak band hair metal. Tak ada kesulitan yang berarti, karena nyaris semua hair band punya lagu tentang patah hati. Maka saya menyusunnya dalam sebuah mixtape yang saya beri judul sesuai lagu Great White, House of Broken Love

Selain nama-nama yang disebutkan di atas, ada pula lagu dari Vinnie Vincent Invasion, Vixen, Steelheart, London Quireboys hingga band asal Jepang Loudness --yang sebenarnya kurang tepat juga bila dibilang hair metal, namun tak sepenuhnya salah juga.

Saya anggap mixtape ini adalah sebuah ode untuk para hair rocker yang menyikapi patah hati dengan sangat gagah. Mengakuinya, menghadapinya, lalu kembali menatap ke depan. Kudos![]

Post-scriptum: Lagu-lagu itu bisa didengarkan di sini.

Selasa, 19 November 2013

Menjadi Tua dan Menyedihkan

Apakah menjadi tua selalu identik dengan keburukan? Apakah waktu sedemikian kejam hingga bisa membuat berubah menjadi sangat buruk hingga tak ada lagi jejak dan sisa kejayaan masa lampaunya?

Setidaknya itu yang terjadi pada Schlomo Slaughterowitz. Orang mengenalnya dengan nama panggung Mark Slaughter.

Slaughter, pria berparas rupawan, dengan hidung mancung dan dagu yang simetris sempurna, lahir di Las Vegas, Nevada. Ia lahir dari keluarga yang menggemari musik. Tak heran kalau ia bercita-cita menjadi musisi profesional.

Salah satu band pertama Slaughter adalah Xcursion. Pemain bass band ini adalah Kelly Garni, yang merupakan pendiri Quiet Riot bersama Randy Rhoads dan Kevin DuBrow. Setelah Rhoads bergabung dengan Ozzy Osbourne, Garni pindah dari Hollywood menuju Las Vegas. Di sana Garni bertemu dengan Slaughter.

Umur Xcursion tak panjang. Meski demikian, Xcursion sempat merekam album yang pada akhirnya tak pernah dirilis. 

"Kami merekamnya di studio Automatt, San Fransisco. Itu studio tempat Journey dan Y&T merekam album," kata Slaughter.

Karir Slaughter beranjak naik saat ia pindah ke Los Angeles, pusat orbit scene hard rock dan hair metal pada era 80-an. Banyak band terbentuk dari sini. Iklan lowongan mencari rekan band banyak ditempel di tembok bar-bar seputaran Sunset Strip. Bongkar pasang personel jamak terjadi sebelum mendapat personel yang permanen.

Salah satu musisi yang mencari rekan band kala itu adalah Vinnie Vincent. Vincent, lahir dengan nama Vincent John Cusano, adalah mantan gitaris band legendaris Kiss. Ia menggantikan Ace Frehley yang didepak gara-gara berselisih paham dengan Gene Simmons.

Vincent merekam album pertamanya dengan Kiss pada tahun 1982. Album itu diberi judul Creatures of the Night. Sebenarnya album itu masih digarap bersama Frehley. Nama Vinnie disebut sebagai uncredited musicians. Baru pada album Lick it Up (1983), Vincent diperkenalkan resmi sebagai anggota Kiss.

Namun Vincent tak seberapa cocok dengan para personel Kiss. Selain masalah finansial, salah satu penyebabnya adalah kegemaran Vincent memainkan solo gitar yang panjang. Kala momen itu terjadi, para personel Kiss yang lain biasanya hanya terdiam di atas panggung, tak tahu harus berbuat apa. Pada sebuah konser Kiss medio Januari 1984, Vincent dengan berapi-api memainkan solo gitar yang panjang. Paul Stanley, vokalis Kiss, menyuruhnya untuk berhenti. Namun Vincent cuek bebek dan terus menarikan jari di atas fret berlama-lama. 

Saat konser berakhir, mereka nyaris baku hantam. 

Setelah rangkaian tur Lick It Up selesai pada bulan Maret 1984, Vincent langsung dipecat dari Kiss. Pasca keluar dari band yang identik dengan make up itu, Vincent rutin melanglang di seputaran Los Angeles untuk mencari partner band. 

Pencariannya berakhir saat ia bertemu dengan Dana Strum, seorang pencari bakat di Los Angeles. Strum , pria dengan rambut pirang yang cemerlang, adalah orang yang merekomendasikan Randy Rhoads pada Ozzy Osbourne. Awalnya Strum bahkan tak tahu siapa itu Vincent. Strum sama sekali tak pernah mendengarkan Kiss. Wajar kalau ia tak tahu siapa itu Vincent.

"Saat itu ada seseorang yang berkata pada Dana bahwa Vincent mencari anggota band, dan reaksi Dana adalah, 'siapa itu Vincent?' Saat dijelaskan kalau Vincent adalah mantan gitaris Kiss, ia hanya bilang, 'oh'," kata Mark.

Dana akhirnya bergabung dengan Vincent dalam band yang dinamakan Vinnie Vincent Invation (VVI). Rekan band lain adalah drummer Bobby Rock dan mantan vokalis Journey, Robert Fleischman yang mengisi departemen vokal.

Bongkar pasang personel pun terjadi. Hingga akhirnya Slaughter mengisi posisi Fleischman. Saat Slaughter masuk, sebenarnya VVI sudah merekam satu album bersama Fleischman. Namun ia lebih memilih untuk keluar. Karena itu beberapa video klip awal VVI menampilkan Slaughter yang lip synch suara Fleischman.

"Saat itu Robert (Fleischman) tak ingin melakukan tur. Dia hanya ingin merekam album, berfoto untuk album dan majalah, lalu selesai. Ia tak ingin melakukan hal yang lebih jauh bersama VVI," terang Slaughter.

Hidup Slaughter berubah drastis semenjak itu.

"Hidupku langsung berbeda. Aku pernah menjadi vokalis dalam band SMA, namun sama sekali tak pernah melakukannya secara profesional," kata Slaughter.

Konser pertama Slaughter bersama VVI saat mereka membuka legenda hidup shock rock, Alice Cooper.

"...Dulu aku adalah guru gitar, lalu sebulan kemudian aku menaruh gitarku, dan bernyanyi di atas panggung besar. Menjadi front man di hadapan 20.000 orang!" kata Slaughter yang pernah menekuni karir sebagai guru les gitar ini.

Nama VVI sebenarnya lebih melejit berkat album kedua mereka, All System Go (1988). Pasalnya ada lagu balada "Love Kills" yang menjadi OST A Nightmare on Elm Street 4: The Dream Master. Lagu ini juga berhasil mengangkat Slaughter sebagai vokalis yang bisa dengan mudah menyanyikan nada-nada tinggi.

Namun sama seperti band yang mulai membesar, banyak tekanan yang menerpa. Seperti bisa diduga, VII pecah. Saat itu Vincent berkonflik dengan Strum dan berujung pemecatan Strum. Saat itu Vincent sempat menawarkan pada Slaughter untuk memilih ia atau Strum.

"Saat itu aku memilih Dana (Strum). Ini sebenarnya karena murni persahabatan. Kami jadi sangat dekat satu sama lain saat berada di VVI," kata Slaughter.

Akhirnya Slaughter dan Strum membentuk band baru yang dinamakan sesuai nama belakang Mark Slaughter: Slaughter. 

Saat itu almanak menunjukkan akhir tahun 1988.

***

Mark Slaughter dan Dana Strum mencari rekan band lain. Pada tahun 1989 mereka bertemu dengan gitaris Tim Kelly dan drummer Blas Elias. 

Slaughter merilis album perdananya Stick it To Ya pada tahun 1990 di bawah bendera Chrysalis Records. Album ini terjual 2 juta kopi di seluruh dunia dan menjadi salah satu album terlaris pada tahun 1990. Album ini punya semua prasyarat agar sebuah album laris. Lagu bertempo cepat yang gampang lekat di kuping ("Up All Night" dan "Mad About You"), serta lagu balada yang diwakili oleh lagu terlaris mereka, "Fly to the Angels". Lagu ini ditulis oleh Mark Slaughter untuk mengenang kekasihnya yang sudah meninggal.

Salah satu karakter Slaughter adalah corak vokal Mark Slaughter yang serak namun mudah mencapai not tinggi. Itu tampak pada nyaris semua lagu Slaughter. Bahkan dalam salah satu pertunjukan MTV Unplugged, Mark Slaughter bernyanyi nada tinggi dengan mudah saja, macam menghancurkan kerupuk dengan kepalan tangan.

Karakter itu tetap diusung pada album kedua, The Wild Life (1992). Album ini mengandalkan single "The Wild Life" dan "Days Gone By" yang lagi-lagi memamerkan kemampuan vokal Mark Slaughter yang aduhai.

Namun sayang, karena perubahan selera pasar, band hard rock dan hair metal seperti Slaughter tak lagi laku. Album ketiga berjudul Fear No Evil baru bisa dirilis pada tahun 1995. Itupun  dianggap sebagai album yang gagal, baik secara pencapaian artistik maupun angka penjualan.

Album ini juga menjadi gong berakhirnya band bernama Slaughter. Memang Slaughter masih merilis dua album lagi, Revolution (1997) dan Back to Reality (1999). Namun selain dua album itu dianggap gagal, album Fear No Evil adalah semacam nubuat awal bahwa Slaughter sudah tamat.

Saat penggarapan album, gitaris Tim Kelly ditahan karena penjualan drugs, bassist Dana Strum mengalami patah tangan hingga tak bisa bermain bass. Yang paling parah adalah yang terjadi pada Mark Slaughter. 

Pada tahun 1992 seusai beberapa tur The Wild Life, Mark Slaughter harus menjalani operasi vocal cord nodule.

Vocal cord nodule adalah suatu kondisi dimana bertumbuhnya jaringan otot yang menumpuk pada pita suara. Penyakit ini biasanya disebabkan oleh pemaksaan suara, seperti berteriak, dalam jangka waktu yang lama. Penyakit ini bisa menyebabkan rasa sakit saat berbicara, bahkan bisa mempengaruhi kualitas suara seseorang. 

Penyakit ini berdampak sangat besar pada beberapa profesi, dan penyanyi jelas adalah salah satunya. Dalam beberapa literatur kedokteran, dijelaskan bahwa operasi vocal cord nodule ini dapat mempengaruhi kemampuan penyanyi dalam mencapai not-not tertentu, dengan kata lain: sangat berpengaruh terhadap kemampuan bernyanyi.

Mark Slaughter adalah salah satu buktinya. Ia saat muda dan berjaya sepertinya terlalu mengeksploitasi pita suaranya. Akibatnya pita suaranya menjadi rusak dan harus menjalani operasi. Akibatnya fatal: suaranya tak bisa pulih sepenuhnya. Ini untuk tak menyebut Mark Slaughter sudah tak bisa lagi bernyanyi.

Jangankan untuk mencapai nada-nada tinggi semasa muda dulu, sekadar bernyanyi sesuai nada pun ia kesusahan. Suaranya jadi mengerikan. Ia bagai menelan gumpalan kain berisi paku.

"Saya memang tak berharap mendengar suara Mark seperti ia di era 90-an. Tapi bahkan kenyataannya, ia lebih parah dari yang saya bayangkan. Ia bukan saja tak bisa mencapai nada tinggi, suaranya bahkan tak cocok dengan nada musiknya," keluh Rob Rockitt, seorang penonton yang menyaksikan Slaughter pada pagelaran M3 Music Festival tahun 2011 silam.

Namun Mark Slaughter masih terus bernyanyi walau tak lagi merdu. Banyak orang yang terkaget-kaget mengetahui betapa berubahnya suara Mark. Kekecewaan jelas muncul. Beberapa menyarankan agar Mark kembali melakukan operasi demi memulihkan pita suaranya. Yang radikal, bahkan menyuruh agar Mark pensiun dan cukup mengenang masa lalunya saja.

Pedih.

***

Mark Slaughter bukan satu-satunya vokalis yang kehilangan kemampuan bernyanyinya. Tom Keiffer dari grup hair metal 80-an Cinderella juga kehilangan suara emasnya. Penyebabnya nyaris sama: operasi pada pita suara. 

Sebelumnya, Keifer menjadi salah satu vokalis dengan karakter suara serak basah ala blues rock. Sesuatu yang sedikit langka diantara banyak corak vokal melengking ala hair metal.

Majalah Rolling Stone menyebut Keifer sebagai, "a gritty, bluesy, rocker with enough genuine swagger to draw comparisons to Mick Jagger."

Suatu hari, tiba-tiba, iya, dengan begitu saja, suara Keifer hilang. Ia tak bisa berbicara dengan jelas, apalagi bernyanyi. Dokter kala itu tak tahu apa penyebabnya. Namun akhirnya  Keifer menjalani operasi pita suara yang sama dengan yang dilakukan Mark Slaughter. Selepas itu, ia masih harus menjalani terapi agar bisa kembali bernyanyi.

Sama seperti Mark Slaughter yang masih bisa merekam album, Keifer juga masih merilis album bersama Cinderella. Ia bahkan merilis album solo bertajuk The Way Life Goes pada bulan April 2013.

Nasib Keifer lebih baik ketimbang Mark Slaughter. Ia masih bisa bernyanyi, walau tak seprima dulu. Dalam beberapa penampilan, Keifer sudah tak mampu lagi menyanyikan lagu-lagu upbeat dari Cinderella. Namun ia masih bisa menyanyikan dengan baik lagu-lagu di album The Way Life Goes yang kebanyakan bertempo sedang dan pelan. Bahkan situs Metal Forces memuji suara Keifer, "...belum pernah sebagus ini!"

Hilangnya kualitas suara Mark Slaughter dan Tom Keifer karena operasi pita suara masih lebih tinggi derajatnya ketimbang apa yang terjadi pada Vince Neil.

Sang vokalis Motley Crue ini sama sekali kesusahan bernyanyi karena badannya makin tambun. Ia yang dituntut untuk atraktif di atas panggung, susah bergerak dengan perutnya yang membuncit itu. Hal itu berdampak pada nafas dan olah vokalnya. Salah satu penampilan Motley Crue yang paling menyedihkan adalah saat mereka tampil pada sebuah acara menyanyikan "Dr. Feelgood". 

Neil bahkan tak bisa sekadar bernyanyi mengikuti nada. He's absolutely out of tune. Neil tampak seperti orang yang ditinggal berlari oleh para rekannya di Motley Crue. Saat mereka semua masih memainkan instrumen dengan baik, Neil sama sekali tak bisa mengikutinya.

Suara Neil tak lagi prima bukan karena penyakit pada pita suara. Melainkan karena gaya hidup yang tak sehat. Hal ini jelas berdampak pada kualitas fisik tubuhnya yang sangat mempengaruhi kualitas suaranya. Mungkin Neil harus mencontoh beberapa koleganya yang masih cakap untuk bernyanyi walau umur tak lagi muda.

Salah satunya adalah Kip Winger.

Kip Winger adalah bassist sekaligus vokalis dari Winger, band hair metal yang populer di era 80-an. Mereka tenar dengan lagu-lagu seperti "Seventeen", "Headed for a Heartbreak", dan balada "Miles Away".

Saat Winger vakum akibat merajanya musik alternatif, Kip Winger masih tetap aktif bernyanyi dari satu panggung ke panggung lain. Ia rajin olahraga dan menjaga bentuk tubuhnya. Hal ini tampak dari kondisi fisiknya yang tak banyak berubah. Masih tinggi semampai. Tak tampak timbunan lemak. Satu-satunya perubahan padanya adalah tak ada lagi rambut keriting gondrong yang dulu sempat jadi identitasnya.

Yang terpenting adalah suara Kip Winger juga masih dalam kondisi prima. Dalam banyak video yang diunggah di Youtube, tampak Kip bernyanyi dengan sangat baik. Ia masih bisa mencapai nada-nada tinggi, walau sesekali meleset. Pelesetan yang merdu. Tak jauh berbeda dengan masa jayanya dulu.

Kip tak sendirian dalam rombongan penyanyi hair metal yang masih bersuara prima. Kolega lainnya adalah Jon Bon Jovi dari grup band fenomenal Bon Jovi.

Jon --sekarang berumur 51 tahun-- bersama bandnya masih rutin mengadakan tur tiap tahun. Dan nyaris semua show-nya selalu sold out. Ia masih dapat  bernyanyi dengan baik. Suaranya masih bisa dalam koridor nada. Tak seperti Neil yang terkadang suaranya berada di Timur Laut sedang suara musik ada di Barat Daya.

***

Menjadi tua ternyata tak selalu identik dengan menyedihkan. Dalam kasus vokalis band hair metal, beberapa memang menjadi menyedihkan. Ada yang kehilangan rambut (cari bacaan tentang Kevin DuBrow yang konon memakai wig saat manggung), jatuh miskin, dan yang lebih menyedihkan lagi: kehilangan suara.

Mark Slaughter dan Tom Keifer adalah dua orang yang harus menelan pil pahit itu akibat penyakit pada pita suara. Namun sama seperti para gerombolan hair metal yang tangguh dan ulet, mereka masih tetap bernyanyi. Vince Neil juga begitu. 

Mungkin tidak adil jika mengharapkan mereka bisa kembali prima seperti masa muda dulu. Namun, semua fans pasti mengharapkan mereka masih bisa --setidaknya-- bernyanyi. Tak perlu mencapai nada-nada tinggi. Asal tak fals pun cukup. Kip Winger dan Jon Bon Jovi mungkin bisa jadi contoh yang bagus dari slogan hair metal yang tak pernah lekang: years gone by they still kicking ass!