Kamis, 26 Juni 2014

Surat Untuk Mamak

Selamat sore Mamakku tersayang. 

Cuaca di Jakarta sedang mendung seharian. Siang tadi malah sempat hujan. Putra, asisten rumah tangga di kantor, siang tadi memasakkan spagehtti aglio o lio dan segelas teh hangat untukku. Segera setelah aku datang. Aku jadi rindu masakanmu.

Sore sedang di ujung waktu, saat aku menanyakan padamu siapa calon presiden yang akan kau coblos tanggal 9 Juli nanti.

"Prabowo," katamu pendek.

Aku terkesiap. Namun juga memaklumi. Aku sebenarnya sudah menduga kalau mamak akan memilih Prabowo. Bukan karena rekam jejak mantan jenderal itu bersih, ataupun deretan prestasinya. Tapi agar aku yakin, aku menanyakan lagi kenapa memilih Mamak memilih Prabowo.

"Jokowi itu orangnya planga-plongo. Bonekanya Megawati. Mamak gak suka sama Megawati, ayah juga," balasmu lewat pesan pendek.

Aku mahfum dengan alasan itu.

Banyak dari kawan-kawanku memilih, atau paling tidak menyatakan diri mendukung Prabowo, karena menganggap Jokowi tidak tegas. Jokowi adalah boneka Megawati. Beberapa lagi bahkan mengatakan dengan tegas kalau Jokowi adalah antek asing yang akan menyingkirkan Islam kalau ia terpilih jadi presiden. Entah ia dapatkan firasat itu dari mana.

Saya tentu tak bisa menyalahkan mereka. Pada masa dimana informasi berlalu lalang secepat arus sungai kala banjir, orang jadi bingung: info mana yang benar, dan mana pula yang salah. Saat itulah, seperti kata Joseph Goebells, kebohongan pun bisa jadi kebenaran. Seperti pendapat kalau Jokowi adalah presiden boneka; Jokowi tidak tegas; hingga Jokowi berasal dari keluarga Kristen. Semua kebohongan itu dianggap sebagai kebenaran.

Tapi Jokowi bukanlah boneka. Ia manusia yang berdaulat. Pun tegas bukan buatan. Kalau mamak tak percaya, tanya saja beberapa pejabat di Solo ataupun DKI Jakarta yang ia copot, atau ia mutasi, karena tak mau bekerja dalam sistem yang ia bangun. Dan sepanjang pengetahuanku, tak sekalipun Jokowi bertindak karena disuruh oleh Megawati.

Mamak tersayang.

Aku tahu kalau kau tidak suka Megawati. Ayah pun demikian. Aku tahu kalau kalian adalah orang Muhammadiyah yang sangat mengagumi Amien Rais. Ia berkibar sebagai cendekiawan muslim di masa senjakala Orde Baru, dan dianggap sebagai pahlawan reformasi pada awal zaman baru berkumandang.

Namun sekarang sudah berubah Mak. Andai saja Mamak tahu, Amien kini sudah menunjukkan watak sebenarnya. Ia adalah Sengkuni, tokoh pewayangan yang digambarkan sebagai tokoh yang licik, licin, pun culas. Ia pernah memuja Jokowi setinggi langit. Amien bahkan menabalkan Jokowi dan Hatta Rajasa --anak didiknya yang tak kalah licin dari Partai Amanat Nasional-- sebagai Soekarno Hatta baru. 

Kita tahu, Jokowi menolak Hatta menjadi wakilnya. Dan kita pun tahu kalau akhirnya Hatta menyebrang jadi wakil Prabowo. Lantas kita pun sama-sama tahu: Amien membuang jauh-jauh integritas intelektualnya; menyerang Jokowi membabibuta; dan mencoreng mukanya sendiri dengan tahi karena mengeluarkan beberapa pernyataan yang imbisil. 

Aku tahu Mamak pasti sedih kalau Amien berubah. Ah, atau memang itu wataknya sedari dulu? Ayah pun pasti misuh-misuh dalam kuburnya andai saja kabar ini ia dengar. Tapi setiap orang pasti pernah mengidolakan orang yang salah. Sama waktu dulu aku mengidolakan J.C Chase dari N Sync atau Stinky.

Sejak awal mendapatkan hak memilih dalam Pemilihan Umum, aku selalu memutuskan untuk tidak mencoblos. Golongan putih. Bukan karena apa, tapi karena tak ada pemimpin yang layak untuk aku pilih. Dalam 9 tahun terakhir--sejak aku punya hak pilih-- aku hanya mencoblos mamak saat pemilihan kepala desa beberapa tahun silam. Lain itu, tak pernah.

Namun kali ini aku memutuskan untuk memilih, Mak. Memilih Jokowi tentu saja. Aku punya alasan untuk ini. Aku tahu kita bersebrangan. Tapi sedari dulu kita sama-sama sepakat, kalau kita tak harus sejalan.

"Kenapa memilih Jokowi le?" Itu pasti pertanyaanmu.

Aduh, ada banyak sekali alasan kenapa aku harus memilih Jokowi, Mak. Akan aku tulis beberapa saja alasannya. Jadi Mamak tahu kalau aku memilih dengan pertimbangan-pertimbangan penting dalam bernegara, tak sekedar pertimbangan agama belaka.

Jokowi adalah pemimpin sekaligus pekerja Mak. Ia bukan pejabat. Ia bukan boss. Kalau boss, apalagi pejabat, tahunya hanya memberi instruksi. Tak akan pernah turun ke lapangan dan ikut bekerja. Namun Jokowi, pria krempeng yang tampak rapuh ini, ia mau bekerja. Aku tergetar Mak, waktu melihat ia berada di waduk Katulampa yang jebol hingga tengah malam. Menemani dan memberi instruksi para pekerja. Coba cari, siapa pejabat publik kita yang mau seperti itu? Mungkin hanya bisa dihitung dengan jari.

Pemimpin yang seperti itu yang kita butuhkan kan Mak? Aku masih ingat kok waktu Mamak menggerutu waktu membaca koran atau menonton berita, bagaimana anggota Dewan Perwakilan Rakyat menghamburkan uang rakyat untuk studi banding ke luar negeri. Atau bagaimana pejabat macam mantan Gubernur DKI Jakarta yang berkumis itu, dengan gaya ala Django, menerabas lalu lintas, melawan arus jalan, dengan sirene meraung-raung, hanya agar cepat sampai di rumah. No, we don't need those kind of scumbags to be our leader.

Dan yang penting, ini juga menurutku yang paling penting, adalah ia memanusiakan manusia. Nguwongke wong, kalau kata orang Jawa.

Ini adalah zaman dimana cinta dibuang, mengutip Iwan Fals. Orang kaya menindas orang miskin. Hebatnya, Jokowi berhasil memanusiakan kaum-kaum proletar. Para Pedagang Kaki Lima di Solo tentu tak akan lupa bagaimana mereka diundang makan hingga 52 kali, diberi stan gratis, dan diarak dengan upacara ala Keraton saat berpindah tempat. Para penghuni bantaran waduk Pluit juga pasti sangat senang karena dimanusiakan. Diberinya mereka rumah susun dengan harga sewa yang teramat murah. Lengkap dengan fasilitas seperti kasur, kulkas, dan kompor. Anak-anak mereka dibangunkan taman bermain, hingga tak kehilangan masa kanak-kanaknya.

Aku pernah dapat kerjaan menulis buku tentang Solo sekitar tiga tahun silam. Saat itu aku tahu betapa Solo sudah sangat berbeda ketimbang saat aku mengunjunginya bareng ayah pada tahun 2000 dulu. Sekarang pasarnya rapi. Bersih. Dan yang aku tangkap dari binar mata para pedagang, aku sadar kalau mereka sangat menghargai dan menghormati Jokowi.

Jokowi sama sekali bukan pemimpin yang ditakuti mak. Mamak tahu tidak kalau 90 persen lebih warga Solo memilih Jokowi dalam pemilihan periode kedua? Itu artinya, warga Solo merasakan kerja Jokowi. Dan rakyat kecil, macam pedagang hingga tukang becak, turut mengantarkan Jokowi untuk menjadi calon Gubernur DKI Jakarta. Mereka tak merasa ditinggalkan, apalagi dikhianati. Mereka malah bangga, bahwa pemimpinnya, putra Asli Solo, dibutuhkan oleh banyak orang. Mereka tak mau egois. 

Sekarang aku melihat banyak orang Jakarta yang juga mendukung Jokowi untuk jadi Presiden Mak. Mereka, yang aku temui, juga tak merasa ditinggalkan, ataupun dikhianati. Warga DKI Jakarta juga sama seperti warga Solo. Mereka sadar bahwa Jokowi sudah dibutuhkan oleh Indonesia. Tak sekedar daerah saja. Mereka ramai-ramai menjadi sukarelawan. Ikut urunan untuk kebutuhan dana kampanye Jokowi. Bahkan sukarela menghelat acara dukungan, seperti Rock the Vote dan gowes sepeda bareng, beberapa waktu lalu.

Mamak adalah ibu dari empat orang anak yang sudah dewasa. Tiga orang sudah lulus kuliah, dan tinggal si Bungsu yang masih kuliah. Dan aku yakin mamak pasti tak ingin bernasib seperti para ibu-ibu Kamisan.

Mamak tahu kah soal aksi Kamisan itu? Para ibu-ibu itu, dengan baju hitam segelap malam, berdiri tiap Kamis sore di depan istana. Mereka adalah ibu-ibu yang kehilangan anaknya karena diculik pada masa genting perlawanan terhadap Orde Baru. Anak dan orang-orang terkasih mereka belum kembali hingga sekarang. Kejelasan nasib tak pernah mereka dapatkan. Jangankan itu, tak ada seorang pun di dalam istana kekuasaan yang perduli dan menyambangi mereka. 

Tahukah Mamak siapakah aktor dibalik diculiknya para anak dari ibu-ibu tangguh itu? Salah satunya adalah Prabowo, orang yang akan mamak pilih pada pemilihan presiden 9 Juli mendatang. Ia mengaku sendiri telah menculik aktivis mahasiswa kala itu. Dengan inisiatif sendiri. Karena itu ia diberhentikan dengan hormat --sebenarnya ia dipecat, namun karena ia menantu dari sang raja Soeharto, maka istilah itu dihaluskan.

Tidak Mak, aku tidak jadi tim sukses Jokowi. Tak pula mendapat bayaran. Aku hanya bergabung dengan rombongan orang-orang yang ingin perubahan. Dengan Jokowi yang memimpin rombongan ini.

Kita sama-sama tahu kalau Jokowi bukanlah pemimpin yang sempurna. Ia punya banyak kekurangan, tentu saja. Dalam rombongannya pun banyak orang jahat yang ingin cari aman. Namun Jokowi adalah simbol perubahan. Pemimpin muda generasi baru. Dengan harapan itulah, kami, para relawan yang mendukung Jokowi, berharap ia akan mengubah banyak hal buruk jadi hal yang lebih baik.

Aku sudah menikah mak. Kalau tuhan mengizinkan, aku akan punya anak. Semoga dalam waktu dekat. Aku ingin anakku kelak tumbuh dalam Indonesia yang tenang, aman, damai, dan nyaman. Aku tak ingin anakku tumbuh dalam kultur prasangka dan saling menyakiti hanya karena perbedaan. Aku tak ingin anakku hidup dalam ketakutan. Apalagi membayangkan kalau kelak ia dewasa dan jadi anak yang kritis, aku tak ingin ia diciduk, diculik, dan nyawanya dihilangkan.

Aku sadar, Mamak mungkin tak akan mudah mengubah pendirian. Mamak adalah perempuan berhati teguh, kadang kepala batu. Dan itu menurun pula ke aku. Karena itu aku tak berharap apa-apa dalam tulisan ini. Aku hanya ingin berdiskusi seperti biasanya. Seperti di sore-sore dulu, dimana kita bercakap sebelum adzan Maghrib memanggil.

Salam hangat dari Jakarta

Anakmu yang paling badung.

Kamis, 12 Juni 2014

Radja

Saat 5 orang lelaki itu naik panggung, penonton bersorak. Saya pun demikian. Drum mulai ditabuh. Dan dimainkanlah intro gitar yang memorable itu. Rasanya nyaris tak ada penonton yang tak tahu lagu itu: "Radja".

Semua penonton bersorak girang. Ternyata lagu itu memang sudah jadi legenda tersendiri. Meski belasan tahun berselang, lagu itu masih saja enak dinyanyikan bareng-bareng.

Saya kemarin masih saja merinding dengar lagu itu. Dhani, kawan saya yang sekarang jadi selebritis, terheran-heran melihat saya dan nyaris seribuan penonton di acara Rock the Vote semalam masih lancar menyanyikan lagu "Radja".

"Sik akeh fans-e /Rif iki yo?"

"Iyo lah, legend iki cuuuk," kata saya.

Band asal Bandung yang konon memakai nama Badai Band pada awal karir, melepas album perdana berjudul Radja pada tahun 1997. Album itu melejitkan nama /Rif sebagai band rock papan atas. Andy, sang vokalis, juga menginspirasi banyak penyanyi baru setelahnya. Saya ingat, dalam sebuah acara pencarian bakat untuk mencari vokalis sebuah band rock, ada seorang kontestan yang meniru Andy. Dari cara berdandan hingga cara bernyanyi. Semua dibuat sama persis. Toh gagal, karena Andy hanya satu.

Album Radja mendapat pengakuan yang bagus. Laris di pasaran. Lagu "Radja" wara-wiri di radio. Hits lain adalah "Bunga" yang menunjukkan sisi kalem /Rif. Lagu ini juga laris. Video klipnya sering muncul di televisi.

Saat Radja dirilis, saya masih duduk di bangku SD. Dan itu setahun sebelum senjakala Orde Baru. Sekitar 12 bulan berselang, kita tahu, Indonesia masuk dalam bara. Reformasi mulai digelorakan. Gerakan perlawanan terhadap rezim menguat dimana-mana, terutama oleh para mahasiswa. Banyak aktivis diculik. Ada yang kembali. Ada juga yang hilang tak ujung rimbanya, sampai sekarang.

Acara Rock the Vote kemarin juga mengundang Raharja Waluya Jati, yang pernah diculik oleh Tim Mawar dan disekap selama 1,5 bulan. 

Penonton sebenarnya sedikit beruntung karena Raharja tak menceritakan semua pengalaman buruknya itu. Namun dalam sebuah tulisan, ia pernah bersaksi tentang penyiksaan sadis yang ia alami. Dari sejak ia diciduk hingga dalam ruang penyekapan. 

"...aku dibawa ke sebuah ruang yang mereka sebut ruang eksekusi. Aku dinaikkan ke atas kursi dan leherku dijerat dengan seutas tali. Pertanyaan tentang dimana Andi Arief aku jawab sama, karena aku memang tidak tahu persis dimana dia berada. Tali yang menjerat leherku ditarik ke atas sehingga aku tercekik hingga aku tidak bisa bernafas sampai beberapa detik, dan leherku terasa sakit selama beberapa hari (susah untuk menelan). Tapi hal tersebut kemudian dihentikan karena aku sempat mendengar omongan mereka agar aku diturunkan dengan alasan terlalu enak bagiku bila terlau cepat mati," tulisnya.

Penyiksaan itu membawa trauma bagi Raharja. Mungkin sampai ia meninggal kelak. Salah satu trauma yang sangat membekas adalah trauma dengan listrik.

"...penyetruman dengan tongkat yang dialiri listrik hal tersebut dilakukan berulang-ulang dibagian-bagian badanku (ujung jari kaki, kaki sampai pangkal paha, perut, dada, tangan dan leher bagian belakang)," tulis Raharja mengenai hal yang membuat ia trauma dengan listrik sampai sekarang.

Meski penyiksaan itu membuat fisiknya melorot, hal yang membuat mentalnya drop malah perlakuan yang tak seberapa sadis namun membuatnya yakin bahwa perbedaan antara manusia dan hewan liar bisa setipis kertas.

"Salah satu momen yang menghilangkan rasa kemanusiaan saya adalah saat sepatu tentara menginjak muka saya," kenang Raharja kemarin malam. Semua penonton terdiam. Seperti membayangkan kalau perlakuan yang sama menimpa mereka.

Raharja tak sendiri. Ada pula Nia Damayanti. Perempuan lulusan Unair ini juga punya pengalaman buruk saat 1997. Ia dicari oleh pihak berwajib. Setelah ketemu, ia diinterogasi selama berhari-hari. Karena stress, ia keguguran. Jahatnya lagi, media menuduh kalau Nia hamil di luar nikah. Seakan-akan ia adalah perempuan nakal.

"Padahal saat itu saya sudah menikah. Suami saya juga waktu itu dicari-cari oleh tentara," kata Nia yang bertemu suaminya di sebuah organisasi ekstra kampus.

Tapi pengorbanan mereka tak sia-sia. Gelombang perlawanan mahasiswa terus menderas. Hingga akhirnya mencapai puncak saat ribuan mahasiswa menduduki gedung DPR, yang lantas memaksa Soeharto, radja di Indonesia selama 32 tahun, tumbang dari kursi kekuasaan.

Malam tadi, 17 tahun selepas album pertama, /Rif mengaku ini pertama kalinya mereka mau tampil dalam sebuah acara bermuatan politis.

"Dulu mana pernah kami mau," kata Andy sembari tertawa.

Sudah bukan rahasia lagi, mereka adalah perwujudan rock n roll yang sesungguhnya. Sex, drugs, rock n roll. Politik bagi mereka adalah hal yang tak perlu diakrabi. Apolitis. Buat apa menceburkan diri dalam kubangan politik, sementara bersenang-senang masih bisa?

Tapi mereka sadar, sekarang Indonesia ada di dalam ambang yang menentukan. Pemimpin yang salah, tentu akan membawa negara ini kembali dalam suasana mencekam yang susah payah ditumbangkan 17 tahun silam. Karena itu, mereka, gerombolan rocker cuek ini, berusaha menggerakkan anak muda agar tak salah pilih.

"/Rif ini bahkan band yang pertama confirm kalau mereka mau main di acara ini," kata Wendi Putranto, salah seorang penggagas helatan Rock the Vote.

"Ini kemajuan, dulu mereka kan glam rock banget," lanjutnya sambil terkekeh.

Dan di atas panggung, mereka pun berorasi. Ovy, gitaris yang baru bergabung dengan /Rif pada tahun 2003 bahkan mengeluarkan pernyataan yang mengejutkan.

"Kita harus menolak lupa. Karena, kalian tahu tidak, satu dari 13 orang yang diculik dan tak kembali itu adalah kawan gue. Gue gak akan pernah lupa," teriaknya lantang.

Mereka pun kembali melanjutkan bermain. Malam semakin hangat. []