Rabu, 13 Februari 2013

Catatan Kecil Dari Lombok I: Baling-baling


Pada akhir 90-an, ayah dan mamak saya dapat kabar mengejutkan. Adik ayah yang nomer 4 mengabarkan kalau ia akan menikah. Mengejutkannya adalah kabar itu datang mendadak. Namun yang lebih mengejutkan lagi, om saya itu akan menikahi gadis dari Kupang. Dan si om yang sudah memasuki penghujung kepala 2 ingin pernikahan buru-buru dilangsungkan. 

Dengan tergopoh-gopoh akhirnya ayah, mamak, dan beberapa anggota keluarga lain bersiap-siap menuju Kupang. Setelah menimbang efisiensi waktu dan biaya, pilihan transportasi dijatuhkan pada pesawat.

Saat itu, jarang sekali ada pesawat dari maskapai besar yang terbang menuju Kupang. Yang ada hanyalah beberapa pesawat baling-baling. Kalau gak salah istilahnya adalah pesawat perintis. Yakni pesawat berukuran kecil yang rute-nya menuju daerah-daerah terpencil. Akhirnya dengan pesawat itulah rombongan keluarga berangkat.

Seru sekali mendengarkan cerita dari mamak. Pada dasarnya, mamak adalah orang yang gampang panik dan histeris. Dibonceng motor sedikit ngebut saja beliau bisa histeris. Bisa dibayangkan kalau orang seperti mamak naik pesawat baling-baling. Saya bisa pastikan, mamak merapal istighfar lebih banyak ketimbang biasanya, hihihi.

Saya jarang sekali naik pesawat. Apalagi naik pesawat perintis. Dari dulu saya ingin sekali merasakan pengalaman menegangkan itu. Tapi belakangan saya meralat keinginan itu. Cukup dengan menonton adegan pesawat terbang di film Almost Famous, saya bisa membayangkan bagaimana menegangkannya diguncang-guncang dalam pesawat kecil  Menakutkan. Saya merutuk kenapa saya dulu pernah punya keinginan bodoh macam itu.

Tapi toh keinginan lama itu akhirnya terpenuhi juga. Ketika berangkat ke Lombok beberapa hari lalu, saya akhirnya naik pesawat baling-baling dari maskapai berlogo singa. Dua kali pula, karena saya harus transit di Surabaya.

Pesawat ini memang berukuran kecil. Hanya ada sekitar 50 penumpang saja. Formasi kursinya 2-2. Itupun tak penuh terisi. Jarak antar deret pun sempit.

Tapi setelah pesawat mengudara, saya jadi agak heran. Saya tidak merasakan guncangan yang berarti di udara. Hanya sesekali saja. Itu pun sering saya alami di pesawat-pesawat besar. Dan yang bikin saya kembali heran, pesawat itu mendarat dengan sangat mulus. Namun di penerbangan dari Surabaya- Lombok, cara mendaratnya lumayan kasar dan mengguncang. Mungkin pilotnya baru saja bertengkar dengan sang istri. 

Teknologi pesawat zaman sekarang memang jauh lebih canggih ketimbang akhir 90-an dulu. Mungkin karena itu pula, pesawat berukuran ramping pun bisa meminimalisir guncangan ketika berada di udara. Dan saya bersyukur karena hal itu. Jadi tak perlu merasakan jantung melompat karena terlonjak-lonjak di udara. 

Mataram, 13 Februari 2013 
22. 25 WITA

Senin, 11 Februari 2013

Balada Karper


Pernah makan ikan Karper? Saya belum pernah. Malahan baru malam ini dengar jenis ikan itu.

Ceritanya malam ini Pak Sunardi mengajak saya dan mas Iqbal makan malam. Pak Nardi ini merupakan salah satu pegawai perusahaan yang sedang kami tulis. Beliau suka sekali jalan-jalan dan makan-makan. Nah, karena kami pantang sekali menolak tawaran makan gratis, jadi kami iyakan saja.

Rumah makan yang kami tuju berada agak jauh di luar kota Mataram. Sekitar 6-8 km dari pusat kota. Kenapa jauh sekali pak?

"Rumah makan ini terkenal ikan karper bakar saus madunya, enak" kata beliau singkat. 

Saya tak pernah dengar nama ikan karper. Apalagi memakannya. Karena itu saya penasaran.

"Dagingnya lembut dan manis mas. Durinya sedikit. Enak lah pokoknya" ujar pak Nardi berpromosi.

Singkat kata, sampailah kami di rumah makan itu. Tipikal rumah makan lesehan yang asri. Banyak pohon rindang. Namun sedikit sekali penerangan. Jadi kalau malam terkesan agak terlalu gelap.

Selain itu ada beberapa kolam besar, rumah bagi banyak jenis ikan air tawar. Ada nila. Mujair. Patin. Dan tak ketinggalan: karper. Tanpa banyak berpikir, pak Nardi langsung memesan 3 porsi ikan karper bakar saus madu untuk kami bertiga.

Selagi menunggu, kami mengobrol ngalor ngidul. Tik tok tik tok. Waktu berdetik. Pak Nardi kembali memuji rumah makan ini. Katanya, ikan di rumah makan ini selalu segar. Saat ada tamu yang pesan, baru ikan ditangkap.

Sekitar 15 menit setelah kami memesan, seorang pelayan menghampiri. Dengan muka polos, ia berkata.

"Maaf pak, ikan karpernya cuma bisa ditangkap satu porsi saja."

Serentak kami tertawa. Hahaha. Eh mas pelayannya juga ikut ketawa.

Saya lalu bersimpati pada pelayan itu. Bayangkan, di malam yang gulita, dengan sedikit sekali suluh, mereka harus menangkap ikan di kolam yang besar. Ikan adalah raja ketika di air. Mereka akan berkelit gesit, meliuk-liuk untuk menghindari ditangkap. Tentu mereka tak ingin mudah ditangkap untuk kemudian digoreng.

Akhirnya dua porsi diganti dengan ikan nila bakar saus madu. Pikir saya, gagal lah menuntaskan rasa penasaran saya terhadap ikan karper.

Namun rasa penasaran itu tumpas juga. Ternyata satu porsi ikan bakar di rumah makan itu terdiri dari dua ekor ikan. Jadilah saya bertukar dengan mas Iqbal.  Jadi masing-masing dari kami dapat 1 ekor nila dan 1 ekor karper. 

Dan benar, ikan karper itu rasanya lebih manis ketimbang ikan tawar lainnya, tentu dengan sedikit duri. Yumm!

Sabtu, 09 Februari 2013

Selamat Menikah Put!


Seperti pohon... Di pokok kita masih satu, lantas kita berpisah di cabang. Ada yang ke kiri, ada yang ke kanan, ada yang terus ke atas, ada yang ke depan, ada yang ke belakang.

Atau bilapun masih satu di cabang, kita nanti akan berpisah juga di ranting. Ke atas, ke kiri, ke kanan, ke depan, ke belakang...

Saat kita kecil dulu, kita masih satu, masih anak kecil. Lantas sedikit demi sedikit waktu kita bikin kita beda. Waktunya makin banyak, beda kita tambah banyak. 

Itulah kita

(Bubin Lantang, Anak-anak Mama Alin, dalam buku terakhir berjudul Jejak-jejak)

***

Put, inget gak ini dimana?

Rasa-rasanya baru kemarin saya mengenal Dwi Putri Ratnasari. Kami satu sekolah di taman kanak-kanak. Dimana kami para bocah lelaki, adalah monster yang seperti baru lepas dari kurungan. Lari kesana kesini, teriak ini itu. Sedang Putri, layaknya bocah perempuan, sibuk bermain boneka di pojokan dengan kawan-kawan sekaumnya.

Tak banyak yang saya ingat tentang Putri di TK. Hanya ada satu fragmen: gadis berpipi penuh, dengan poni diatas alis, dan pita berwarna cerah anggun bertengger di kepala bagian kiri. Itu saja yang bisa saya ingat, lain tidak.

Lalu kami masuk SD yang sama. Saya jelas lupa kalau Putri adalah kawan TK saya. Atau lebih tepatnya, ingatan saya tergerus oleh kartun-kartun dan komik yang mulai menyita rongga-rongga ingatan. Sehingga tak ada lagi sisa ingatan untuk Putri, kawan saya semasa TK dulu.

Di SD pun, kami tak banyak bercakap. Kalau tak mau dibilang tidak pernah sama sekali. SD kami sudah mengenal pembagian kelas. Satu angkatan ada 4 kelas, dengan tiap kelas berisi sekitar 40 anak. Jelas jumlah yang cukup banyak untuk bisa lupa akan Putri. Apalagi saya terlalu sibuk menaruh perhatian saya kepada  perempuan-perempuan cinta monyet saya: Indari, Resti, dan siapa lagi ya?

Kami bertemu lagi ketika sudah kuliah. 

Ada banyak yang berubah. Putri sudah berkerudung, tapi pipinya masih sama: bulat dan penuh. Ia juga masih suka tertawa terkikik. Kalau sedang melakukan itu, matanya yang sipit jadi bertambah sipit. Kelak saya tahu kalau sipitnya Putri adalah karena ia ada garis keturunan Tionghoa. Walau warna kulitnya jelas mengingkari.

Entah apa yang bikin kami akrab. Kami yang sedari TK jarang sekali bertegur sapa, mendadak akrab. Menjalin komunikasi melalui dunia virtual. Friendster, YM, blog. Melalui jejaring itu pula, saya kembali ditemukan dengan Ayos, kawan semasa SD juga. Ia kuliah di Surabaya, satu kota dengan Putri.

Maka hidup berjalan sebagaimana mestinya. Kami sering nongkrong bareng, ngobrol ngalor ngidul, menemukan banyak kesamaan dan kesenangan.

Saya dan Ayos selalu menganggap Putri sebagai adik perempuan kami. Songong memang, karena sepertinya Putri tak akan sudi punya kakak-kakak nista macam kami. Tapi selayaknya kakak, saya dan Ayos selalu protektif kepada Putri.

"Mana cowok yang kamu taksir, kenalin ke kita. Nanti kita bikin fit and proper test" ujar kami songong.

Putri memang tak pernah punya sejarah romansa dengan pria. Setidaknya, saya tak pernah tahu. Yang saya tahu, dulu sekali ia pernah menjadi pemuja rahasia seorang mas-alim-yang-tinggal-di-depan-kosannya. Tapi sama seperti banyak pemuja rahasia lainnya, perasaan mereka cukup jadi rahasia antara mereka dan tuhan. Mas itu akhirnya pergi entah kemana.

***

Saya, Ayos, dan Putri suka sekali traveling. Meski begitu, hanya sesekali kami traveling bareng. Salah satunya terjadi tahun 2010, kami pergi ke Madura dan Pulau Sapudi dengan naik motor. Perjalanan singkat itu sangat berkesan. Dari situ saya sedikit banyak paham karakter Putri.

Sebagai gadis bungsu, ia biasa dituruti segala kemauannya. Kalau tak dituruti, ia akan merajuk, memasang muka masam. Kalau begitu, saya dan Ayos akan menjahilinya. Meski begitu, ia bukanlah perempuan manja. Sebaliknya ia tangguh. Setidaknya saya sudah membuktikan ketika kami naik kapal kayu menuju Pulau Sapudi. Ombak sedang ganas. Saya mabuk laut, ia tidak. Saya muntah, ia hanya merapal doa. Saya tidur karena lemas, ia makin keras merapal doa karena perahu semakin doyong terkena ombak. Setidaknya, Putri bukan orang yang gampang mabuk laut.

Dalam perjalanan itu pula, saya melihat Putri sebagai perempuan yang gampang membawa diri. Ia mudah sekali akrab dengan orang baru. Di rumah Pak Harto --penduduk lokal yang memberi kami tumpangan menginap-- Putri tanpa canggung bermain dengan Pak Harto. Eh maksud saya, dengan anak-anak Pak Harto. Saya melihat sifat itu sebagai bawaan, bakat lahir, given. Karena itu pula, ia mendapat banyak kemudahan ketika traveling.

***

Meski saya dan Putri dekat, tapi pernah satu kali hubungan kami memburuk. Bahkan dalam tahap yang kronis. Ihwalnya adalah saat saya berusaha mendekati seorang sahabat Putri. Putri sudah berusaha melarang saya. 

Saya paham kalau Putri adalah orang yang protektif terhadap sahabatnya. Ia tak ingin saya --yang dalam pikiran Putri adalah pria begajulan dan punya hubungan dengan banyak perempuan-- mendekati sahabatnya. Padahal, saya juga sahabatnya bukan? Tapi mana bisa Cupid dilawan. Akhirnya saya jadian dengan sahabat Putri itu. Putri marah. Kami sempat bersitegang melalui sms. Kondisi kami saat itu layaknya tali yang ditarik sama kuat kedua ujungnya. Tegang.

Akhirnya kondisi marah itu mencapai puncaknya: diam. Tak ada yang lebih mengerikan dari bentuk kemarahan selain diam. Putri diam dan enggan menyapa saya. Saya pun tak enak menyapanya. Keadaan itu berlangsung cukup lama hingga akhirnya kami --entah bagaimana caranya-- kembali berbaikan. Beberapa kali saya dan --sekarang mantan-- pacar itu keluar bareng Putri dan Ayos.

Dari situ saya mengambil kesimpulan: Putri adalah orang yang sangat protektif. Mungkin dalam beberapa sisi, ia terkesan posesif. Tapi itu ia lakukan untuk menunjukkan rasa sayang. Agar orang yang ia sayang tidak terluka --dalam hal ini, sang sahabat perempuannya. Tapi ketika ia tahu orang yang ia sayang akan baik-baik saja, Putri akan merelakannya.

***

Saya ingat, awal-awal kuliah Putri adalah mahasiwa KP alias kuliah pulang. Sehabis kuliah, ia pulang. Rajin sekali belajar. IPK tak kurang dari 3. Lulus tepat waktu. Kerjaan dengan gaji besar menanti. Alih-alih bekerja di bidang Farmasi yang ia tekuni, Putri malah mengambil jalan sunyi: penulis perjalanan. Tapi kesunyian itu hanya ada di masa lampau. Sekarang semua orang sudah menasbihkan diri sebagai penulis perjalanan, tak peduli tulisan beberapa dari mereka buruk sekali. Biarlah.

Saya selalu suka tulisan Putri. Gaya bertuturnya renyah. Bahkan ketika belum banyak membaca referensi penulis perjalanan "serius," gaya menulis Putri sangatlah kocak. Saya dan juga Ayos seringkali terbahak ketika membaca tulisannya. Di blog Hifatlobrain milik Ayos, Putri berproses dan menjelma sebagai penulis perjalanan yang ciamik. 

Berkat menjadi penulis perjalanan pula, Putri sudah melanglang ke pelosok Indonesia. Ke Kalimantan, bermain jeram dengan suku Dayak? Sudah. Ke Sumba melihat Pasola? Sudah. Ke Ternate menyaksikan sejarah rempah? Sudah. Hanya menuju KUA yang ia belum.

Iya, Putri lama sekali tak punya pacar. Saya dan Ayos --yang mengaku sebagai kakak laki-lakinya-- sempat khawatir kalau-kalau Putri tidak laku. Apalagi ia tipikal perempuan pemalu yang tak akan berani mengungkapkan rasa terlebih dahulu. Boooo.

Putri memang jarang sekali bercerita mengenai kisah romansanya. Ia tahu kalau saya dan Ayos akan menggojlokinya tiada ampun kalau sampai tahu kisah kasihnya. 

Tapi suatu siang itu, Putri mengirimi saya sms dengan nada nelangsa. Apa itu, sidang pembaca tak perlu tahu. Cukup saya dan Putri saja yang tahu. Kami bertukar cerita banyak sekali via pesan pendek. 

Hingga suatu sore, di halaman depan Radio Buku Yogyakarta, di angkringan buku, kami bertukar kisah. Panjang dan lama sekali kami berbicara. Kami seakan melampiaskan rasa rindu berkisah yang sempat terhalang dengan amarah kami dulu.

Dari situ, saya tahu Putri sudah menambatkan hati. Pria yang sial itu, eh maksud saya: sangat beruntung, adalah Dian Prasetyo. Pria asli Semarang. Kurus, berkacamata, dan tinggi menjulang. Agak menyedihkan melihat Putri terbenam di bawah Pras jika mereka berdiri bersisian. Tapi tak apalah, perbaikan keturunan.

Pras alumnus Fakultas Kehutanan UGM. Sekarang bekerja sebagai Jagawana di TN Waingapu, Sumba. Putri berkisah dengan mata berbinar. Ia sepertinya benar-benar jatuh cinta. Saya lega. Dari obrolan menjelang matahari terbenam itu, entah bagaimana, saya merasa Putri akan menikah dengan Pras.

Dan firasat saya benar...

***

Bubin Lantang menuliskan Jejak-jejak yang merupaan kisah terakhir serial Anak-anak Mama Alin dengan penuh melankolia. Maka di halaman depan, tepat setelah kover, ia menuliskan kalimat yang saya kutip di atas.

Saya, Ayos, Putri dulu satu pohon. Dari SD hingga kuliah. Kami traveling bareng, ngopi bareng, makan bareng, hingga tidur bareng. Kami satu.

Tapi, selayaknya analogi pohon ala Bubin, kami tumbuh menjadi dahan dan ranting. Kami melanting ke arah kami masing-masing. Ada yang ke kiri, ada yang ke kanan, ke belakang, ke depan. Ke delapan mata angin kami berpencar.

Selayaknya manusia, kelak ada jalan yang harus kami tempuh sendirian. Jalan itu sekarang terhampar di depan Putri. Ia akan menikah. Lalu menjalani hidupnya sendiri, berpisah dengan saya dan Ayos. Dan kelak kami juga akan menyusulnya. Menikah, punya anak, dan sekali lagi, menempuh jalan masing-masing.

Saya sedih sekali tak bisa datang ke pernikahan Putri karena pekerjaan yang tak bisa ditinggal. Untunglah saya sempat bertemu Putri beberapa hari sebelum saya melakoni kerjaan ini. Kami mengobrol panjang di gerbong kereta menuju Surabaya. Sedikit mengenang masa-masa bodoh dulu. Hahahihi.

Dari sini, kita akan menempuh masing-masih hidup kita Put. Sampai jumpa di cabang yang lain. Aku turut berbahagia. Meski tak bisa langsung datang, tapi doa selalu terpanjat. Selamat menempuh hidup baru ya. 

Ah, kalimat penutup saya ini standar dan jelek sekali...

Mataram, 09 Februari 2013

21.20 WITA

Minggu, 03 Februari 2013

Dream Ranger




Ada sebuah video yang saya tonton beberapa hari lalu. Keren banget. Video itu adalah iklan bank. Saya sendiri sedikit tidak percaya kalau bisa terpukau gara-gara iklan bank. Cerita di iklan ini berdasar kisah nyata di Taiwan.

Ceritanya, 5 orang tua yang ingin melakukan touring sepeda motor gara-gara satu kawannya sudah meninggal dunia. 5 orang yang tersisa itu sudah sakit-sakitan. Ada yang menderita kanker, ada yang pendengarannya berkurang, dan semua dari mereka mengalami tulang yang rapuh. Ibaratnya, tinggal menunggu nyawa dicabut saja. Di acara berkabung sang kawan, akhirnya satu orang dari mereka mencetuskan untuk melakukan touring. Akhirnya 5 orang yang rata-rata berumur 80 tahun ini kembali mengeluarkan motor dari garasi. Mereka melakukan touring sekali lagi.

Video ini begitu mengharukan. Saya tak bisa menahan diri untuk tidak berkaca-kaca ketika melihatnya. Melihat betapa orang-orang lanjut usia masih teguh duduk di sadel dan menghadapi angin. Wuih, keren sekali. Hal ini ditunjang oleh musik pengiring yang juga menggugah. Untuk menonton kekerenan video ini, silahkan kalian lihat sendiri.

Tanggapan Lagi Untuk Dhani


Dhani kembali mengoceh pedas. Kali ini melalui tulisan "Setelah Pelancong Tak Ada Lagi." Kali ini bahasannya makin melebar tak tentu arah. Dan tokoh yang ia kutip pun semakin gawat. Dari Roland Barthes hingga Michel Foucault. Ngeri.

Sama seperti esainya yang pertama, Dhani masih tidak mempunyai patron yang jelas tentang apa yang akan ia bahas. Ia, seperti yang saya tulis di paragraf pertama, suka sekali berjalan terlalu melebar. Untuk menjelaskan tentang pelancong saja ia harus membawa-bawa Aceh, DOM, hingga Tibet. Nah, karena melebar itu, mungkin bahasan saya juga mungkin sedikit melebar juga.

Bagi Dhani, saya kurang mendapatkan intisari tulisan pertamanya. Maafkan saya yang sedikit bebal ini, monsieur. Lantas Dhani mengulang tiga bahasan --yang semaksudnya disampaikan pada tulisan pertamanya. Namun ia menekankan pada bahasan ketiga, yakni riset.

Dhani menuliskan, "... yang ketiga adalah pentingnya riset bagi seorang travel writer." Ia menekankan bahwa penting bagi seorang travel writer untuk melakukan riset sebelum menulis. Dari sini saja jelas Dhani melakukan kebebalan lagi. Atau mungkin Dhani yang kurang riset? Sepertinya begitu.

Dhani haris tahu bahwa riset memang penting, tapi harus sesuai kebutuhan tulisan. Sekarang ambil contoh begini. Ada seorang penulis perjalanan akan menulis tentang Aceh untuk sebuah majalah wisata, apakah ia perlu mencari riset tentang sejarah Gerakan Aceh Merdeka secara detail? Atau riset tentang perlawanan Aceh terhadap penjajah? Saya pikir tidak perlu. Ia cukup melakukan riset tentang detail-detail kecil yang diperlukan. Ini dalam konteks travel writing lho ya.

Dan seperti yang sudah saya bahas dalam tulisan pertama, travel writing tak harus mendetail hingga mirip seperti, katakanlah, jurnalisme investigasi. 

Mari bicara contoh. Bondan Winarno menuliskan "Bre X: Sebungkah Emas di Kaki Pelangi" dengan riset yang teramat dalam. Ia melakukan perjalanan ke banyak negara. Dari Indonesia, Filipina, hingga ke Kanada.  Bukunya itu bisa saja dimasukkan ke dalam genre travel writing, karena Bondan melakukan perjalanan. Tapi buku itu dianggap sebagai karya jurnalisme investigatif. Tentu karena investigasinya yang detail dan rumit, analisa yang tajam, dan --ini yang penting-- tidak menceritakan perjalanan Bondan.

Mungkin, sekali lagi, itu yang membedakan antara penulis perjalanan dengan jurnalis investigasi. Saya merasa Dhani berharap terlalu besar kepada penulis perjalanan. Dhani menuliskan "...Artikel semacam Ganja di Pulau Weh misalnya perlu dilihat pada lokus yang lebih luas." Lokus lebih luas yang bagaimana? 

Apakah Dhani berharap penulis perjalanan membedah jaringan investigasi ganja? Atau membongkar peredaran ganja? Dari sini Dhani kembali melakukan kesalahan fatal. Dhani sebagai orang yang melek media tentu tahu, riset itu tak mudah. Butuh waktu yang lama. Apalagi jika itu adalah riset lapangan. Bondan membutuhkan waktu lebih dari 6 minggu untuk melakukan investigasi. Sekali lagi saya tegaskan, penulis perjalanan itu adalah turis. Mereka punya masa tinggal yang terbatas. Dengan masa tinggal yang terbatas, mengharapkan riset yang mendalam itu rasanya terlalu muluk.

Dhani kembali melebar pada sub-bagian Masyarakat dan Pelancong

Ia menuliskan "... Marco Polo dan Columbus? Seriously? Dua pioner traveler dalam melahirkan peradaban berdarah bernama kolonialisme?" Kenapa saya bilang Dhani melebar? Karena bahasan awal adalah tentang traveling, bukan tentang kolonialisme. Saya yakin, baik Marcopolo atau Colombus menuliskan catatan perjalanannya tanpa berpikir tentang efek ke depan. Mereka menulis karena ingin mengabadikan perjalanan. Perihal mereka kelak melahirkan apa yang disebut kolonialisme, itu adalah hal yang berbeda lagi.

Dhani kembali tidak konsisten dalam bait selanjutnya. Kalau tadinya ia melebar, sekarang ia menyempitkan pikiran. Terlalu sempit malahan, hingga rawan melahirkan kesesatan berpikir.

Dhani bilang traveling berjasa melahirkan kolonialisme berdarah. Itu adalah bentuk kesempitan pola pikir. Kalau begitu, saya boleh dong bilang agama juga melahirkan peradaban penuh darah. Sejarah mencatat, orang yang mati gara-gara perang agama jumlahnya lebih banyak ketimbang orang yang mati karena kolonialisme Spanyol. Sejak era perang salib hingga era twitter, perang dan pembunuhan atas nama agama masih berlangsung. Tapi apa lantas kita berhak menyalahkan tuhan, agama beserta nabi dan rasulnya atas darah yang tertumpah? Tentu tidak. 

Pola pikir yang terlalu mentah dan terbakar amarah seperti Dhani ini justru berandil membunuh banyak impian penulis-penulis perjalanan baru. Mereka yang ingin belajar, lalu dihempaskan oleh pola pikir Dhani yang sedikit sesat: penulis perjalanan itu melahirkan kolonialisme. Para penulis baru itu bisa gentar, lalu meletakkan pena. Mereka tentu tak ingin dituding sebagai penyebab kolonialisme, eksploitasi, atau segala hal yang berbau buruk akibat perjalanan dan penulisan perjalanan.

Yang kemudian ironis, Dhani seperti termakan omongannya sendiri. Ia jelas kembali kurang riset. Dalam kalimat, "...Pernyataan bahwa 'Orang lokal senang pelancong datang untuk mendorong pertumbuhan ekonomi', adalah logika sesat khas kolonialis," ia menunjukkan itu. Berapa banyak kasus ala kolonialisme yang Dhani tahu?

Saya pernah menyaksikan sendiri, sebuah desa di lereng Merapi yang maju akibat menerapkan konsep pariwisata berbasis masyarakat. Dulunya desa itu termasuk desa tertinggal. Perlahan desa itu ditata. Penyuluhan dan pendidikan diberikan. Rumah penduduk diperbaiki atas hasil swakarsa masyarakat. Hasilnya? Desa itu sekarang maju. Penduduk desa mendapat penghasilan tambahan dari hasil menyewakan kamar, memasakkan makanan lokal, hingga menjadi pemandu. Desa itu bahkan kerap menjadi langganan pemenang dalam lomba desa wisata nasional.

Dampak buruk? Jelas ada. Seperti yang sudah saya tulis di tulisan pertama, pariwisata itu punya dua sisi. Mustahil rasanya menghilangkan dampak negatif. Untuk itulah diperlukan kerja sama dari para pemangku kepentingan. Pemerintah, penduduk lokal, juga wisatawan. Tanpa kerjasama yang baik, industri pariwisata tidak akan berjalan dengan baik.

Saya sebenarnya sedikit lelah membaca tulisan Dhani. Ia tidak konsisten dalam membahas topik awal. Atau saya yang tidak paham apa yang ia tulis? Entahlah. Seperti misalnya, ia menulis dengan berbusa-busa tentang tolok ukur kemakmuran di suku Anak Dalam dan Mentawai. Padahal bahasan awalnya adalah traveling dan menjadi pelancong yang bertanggung jawab. Dhani malahan dengan semena-mena menembakkan justifikasi "Siapa anda merasa berhak melabeli bahwa dengan pariwisata dan masuknya uang masyarakat ini akan lebih makmur?" 

Tak pernah ada yang ngoceh kalau pariwisata adalah satu-satunya jalan memberikan kemakmuran. Tapi tak ada yang berani membantah kalau pariwisata memang memberikan kemakmuran bagi banyak orang. Dhani mau membantah tentang hal ini? Silahkan. Tapi saya rasa ia sudah cukup cerdas untuk bisa mencari tahu berapa uang yang dihasilkan dari pariwisata.Tentu ini bisa menimbulkan perdebatan baru: uang itu masuk ke mana? Dan semakin lama kita berputar di labirin ini, bertukar wacana, dan tidak berbuat apa-apa.

Dhani pun tak lelah untuk berputar-putar. Ia kembali melebar tentang komodifikasi di daerah Sumba. Saya tak akan membahas. Akan terlalu panjang dan melebar jika akan dibahas.

Ah Sudahlah...

Tapi Dhani menuliskan sedikit kebenaran yang bagus. Bahwa travel writer bisa berperan sebagai voluntary community services. Jauh sebelum Dhani menuliskan kritik tentang travel writer, sudah ada banyak penulis perjalanan yang melakukan itu kok. Mungkin Dhani saja yang kurang riset. Hihihi.

Saya tak punya maksud khusus menuliskan tulisan ini. Hanya bersenang-senang menanggapi Dhani. Memindahkan perdebatan yang dulu di ruang nyata, menuju ke dunia maya. Saya sama sekali tidak tersentil oleh tulisan Dhani. Apalagi tersinggung. Sama sekali tidak. Saya malah senang melihat Dhani jika menulis pedas. Saya bisa menggojlokinya seperti ini. Hihihi.

Oh ya, ada satu hal yang saya juga setuju. Bagian dimana Dhani menuliskan, "...Ketika melancong adalah sebuah keseharian dan bukan lagi proses untuk mencari jati diri maka yang tersisa dari manusia adalah kedegilan." Itu yang saya katakan ke Dhani melalui sms, sebelum Dhani menuliskan artikel "Setelah Pelancong Tak Ada Lagi." Bahwa kuantitas perjalanan tak menjamin kualitas seseorang.

Banyak orang bilang, seseorang akan semakin dewasa dan rendah hati ketika sering melakukan perjalanan. Saya tidak setuju. Itu menekankan kuantitas, ketimbang kualitas.

Bagi saya, kualitas perjalanan adalah yang penting. Bagaimana seseorang bisa belajar banyak dari perjalanannya. Sebanyak apapun kamu melakukan perjalanan, jika kamu tidak belajar sesuatu darinya, then you'll get nothing. 

Tabik. []

Jumat, 01 Februari 2013

Jam Tidur


Jam berapa biasanya kamu tidur?

Sudah sejak lama saya menderita insomnia. Biasanya saya baru bisa tidur selepas pukul 3 pagi. Paling parah terjadi setahun belakangan. Saya baru bisa tidur jam 8 atau jam 9 pagi. Bangunnya menjelang matahari terbenam. Ngeri ya? Eh tapi itu khusus hari libur kok. Kalau sedang hari aktif, biasanya saya bangun jam 1 atau 2 siang.

Nah, belakangan ini jam tidur saya berantakan lagi. Tapi saya pikir ini lebih baik. Jadi saya biasa bangun jam 10-11 pagi. Lalu beraktivitas seperti biasa. Baca, nulis, makan. Kalau ada janji bimbingan, ya ke kampus. Atau kalau lagi pengen, ya sambang perpus. Nah, biasanya saya didatangi kantuk selepas pukul 7 malam. Lucu ya?

Ini terjadi sejak beberapa bulan terakhir. Selepas Isya, saya pasti ngantuk. Biasanya saya langsung tidur. Tapi jam 1 atau jam 2 pagi saya bangun dan gak bisa tidur lagi. Itu terjadi sampe jam 4 atau 5 pagi. Lalu saya tidur lagi. Jam 10-11 pagi saya baru bangun lagi. Begitu terus. Agak sedikit menyiksa sebenarnya.

Nah belakangan saya sedikit mengakali. Kalau jam 7 sudah ngantuk, saya akan menahan diri sedikit. Jam 10  atau jam 11 baru saya tidur. Nanti bangun bisa jam 3 atau jam 4 pagi. Nah, saat itu saya baru bikin kopi sembari baca atau nulis ringan macam begini. 

Menjelang subuh begini saya selalu lapar. Untung saya selalu sedia beberapa bungkus mie instan siap seduh. Jadi saya bisa ganjel lapar pake mie itu. Namun terkadang saya menahan lapar barang sejenak. Selepas jam 7 pagi, selepas kopi tandas, saya berjalan kaki sebentar ke terminal Condong Catur.

Kalau pagi, terminal Condong Catur jadi macam etalase makanan. Ada pecel Madiun, ada gudeg, ada bubur ayam, hingga soto.

Langganan saya adalah soto Surabaya Cak Dul. Saya sering sekali makan disana. Saking seringnya, saya sampai kenal akrab dengan mereka. Penjualnya orang Madura. Kadang saya ngobrol pakai bahasa Madura walau saya terbata.

Soto ala Cak Dul berbeda dengan soto ala Jawa Tengah. Kuah sotonya lebih keruh. Ayamnya tetap pakai ayam kampung. Juga ditambahi irisan kulit. Wuih gurih sekali. Kalau itu masih kurang, saya kadang mencomot sate jerohan. Satu tusuk sate biasanya berisi potongan-potongan kecil jerohan ayam: ati, ampela, dan favorit saya: uritan, alias telur muda.

Selain beda dari faktor kuah, soto ala Surabaya ini memakai koya dalam campuran kuahnya. Jadi terasa lebih sedap. Oh ya, bagi yang belum tahu koya, itu adalah serbuk yang biasanya ada di soto daerah Jawa Timur.

Kalau di daerah Lamongan dan sekitarnya, biasanya koyanya dibuat dari kerupuk udang yang dihancurkan, dicampur dengan tumbukan bawang putih, lalu disangrai hingga berwarna coklat pucat.

Nah, kalau di daerah Surabaya atau Madura, biasanya koya dibuat dari parutan kelapa yang disangrai, lalu ditumbuk hingga jadi serbuk. 

Tunggu... Ini kenapa saya jadi melantur ke makanan? Blegug.

Oh ya, kamu biasanya tidur jam berapa?