Selasa, 27 November 2012

Robbin Crosby: I've Lived the Life of Ten Men

Masih ingat film D'Bijis?

Saya ingat samar-samar. Kisahnya cukup menarik. Tentang band rock yang tenar di era 90-an, The Bandits. Band itu bubar saat sang vokalis kecanduan narkoba. Anggotanya berpencar entah kemana. Sang vokalis yang diperankan singkat oleh Darius Sinathrya akhirnya meninggal. Beberapa tahun setelahnya, adik sang vokalis berusaha menyatukan kembali The Bandits.

Mulailah sang adik mencari para mantan anggota The Bandits. Titimangsa ternyata sudah merubah para anggota band sedemikian rupa. Sang gitaris kerja di bar dangdut, sang bassist jadi waria, sang drummer jadi suami yang takut istri. Ketika semua terkumpul, ternyata ada 1 orang yang belum ditemukan. Sang keyboardist.

Setelah usaha pencarian, akhirnya ditemukanlah sang keyboardist. Ia yang dulu gagah dan jagoan dibalik tuts keyboard, sekarang jadi couch potato. Badannya  jadi sangat gemuk. Ia seakan tak punya gairah hidup. Apalagi gairah untuk membangkitkan lagi band yang sudah lama bubar. Tapi ia masih menyimpan api dalam hati. Ia masih hafal nama-nama keyboardist idolanya. Akhirnya sang keyboardist kembali dalam band. Band sukses. Happy ending.

***
Bagi yang tumbuh besar di era kejayaan glam rock/ hair metal 80-an, pasti tak akan asing dengan nama Ratt. Band ini merajai Sunset Strip. Band yang formasi solidnya adalah Stephen Pearcy (vokalis); Warren DeMartini (gitar); Robbin Crosby (gitar); Juan Croucier (bass) dan Bobby Blotzer (drum) ini merilis album s/t pertama mereka pada tahun 1983. Nama mereka makin menjulang ketika album kedua, Out of the Cellar (1984) dirilis. Album itu melejitkan lagu rock yang dengan segera menjadi klasik, seperti "Round and Round" dan "Back for More".

Selain itu, album ini juga mempertunjukkan kombinasi DeMartini dan Robbin yang azmat. Permainan gitar mereka begitu padu. Mereka saling mengisi. Tapi kalau sedang binal, mereka seringkali duel solo gitar. Robbin juga turut menjadi penulis lirik dalam banyak lagi Ratt, termasuk "Round and Round" hingga "Lay It Down".

Robbin Crosby

Robbin lantas menjadi salah satu idola baru di industri rock kala itu. Badannya yang tegap dan gagah, sorot matanya yang tajam, rambut pirang yang cemerlang, serta permainan gitar yang dahsyat, membuatnya dengan cepat menjadi pujaan.

Selepas album keenam mereka, Detonator (1990), pada tahun 1991 Robbin keluar dari band. Ada banyak versi alasan kenapa ia keluar. Yang paling dianggap benar adalah ketergantungan Robbin terhadap narkoba yang sudah mencapai taraf akut. Rehabilitasi tak banyak membantu. Pada tur Jepang pada bulan Februari 1991, Robbin tampil kacau di panggung. Ia seringkali tiba-tiba tidak sadar dan lupa chord gitar.

Setelah tur itu selesai, Robbin tak lagi bermain bersama Ratt. Penggantinya adalah Michael Schenker, mantan gitaris Scorpions. Ratt akhirnya bubar pada tahun 1995.

***

Lama tak terdengar kabarnya, Robbin muncul pada sebuah wawancara dengan VH1 pada tahun 1999. Ia mengakui kalau ia positif HIV. Tapi pernyataan itu baru ia sebarkan pada khalayak umum pada tahun 2001. Ia menyatakan kalau sudah positif HIV sejak tahun 1994. 

Gaya hidupnya yang ugal-ugalan pada masa mudanya dipastikan menjadi penyebab. Tapi ia tidak menunggu kematian datang menjemput. Ia masih sibuk di beberapa proyek musik, hingga menjadi pelatih tim baseball anak-anak.

***

Saya melihat beberapa kemiripan antara Robbin dengan keyboardis di film D'Bijis itu. Mereka sama-sama anak band. Band mereka juga sama-sama gulung tikar. Hidup mereka jadi berubah drastis ketika berhenti bermain band. Dan: tubuh mereka sama-sama jadi gemuk.

Robbin meninggal di umurnya yang ke 41 pada 6 Juni 2002. Bukan karena HIV yang menggerogoti, melainkan karena overdosis heroin. Ketika meninggal, bobot tubuhnya mencapai 180 kg!  Konon badan yang sedemikian berat itu disebabkan adanya kerusakan pada pankreasnya. Banyak orang terperanjat dengan perubahan fisik Robbin. Apalagi para fans yang dulu memuja tubuh atletis dan gagah milik Robbin.

Beberapa malam ini saya kembali rajin mendengarkan kembali Ratt. Sebenarnya, dulu saya tak begitu tertarik dengan band ini. Tapi entah kenapa perlahan-lahan saya mulai menyukai mereka. Idola saya di band ini bukan Stephen Pearcy, melainkan duo gitaris DeMartini dan Robbin. Mereka gitaris yang punya identitas dan karakter diantara banyak gitaris lain pada era hair metal.

Kebetulan pula, ketika iseng mengetikkan nama Robbin Crosby beberapa waktu lalu, ada sebuah video yang menunjukkan permainan gitar Robbin yang terakhir kali. 


Pada video yang diambil pada akhir tahun 1999 tersebut, tampak badan Robbin yang sudah sangat gemuk. Video itu diunggah pada tanggal 15 Desember 2009. Meski bentuk fisiknya berubah drastis, ia tak kehilangan ketrampilannya. Walau jari-jarinya sudah menjadi lebih besar, mereka masih lincah menari diatas fret.

Banyak orang yang sedih ketika Robbin meninggal. Tapi semoga mereka juga ingat pesannya pada sebuah wawancara.

"When I die, nobody cry at my funeral, in fact let's all have a party; I've lived the life of ten men. I lived all my dreams and more."

Sabtu, 24 November 2012

Satchel!

Belakangan ini saya rutin sekali menyimak video-video Steel Panther. Bagi yang belum tahu tentang band ini, segeralah cari tahu. Mereka adalah band dari Los Angeles. Sebelum bernama Steel Panther, mereka bernama Metal Skool. Michael Starr (vokal), Satchel (gitar), Lexxi Foxx (bass), dan Stix Zadinia (drum) rutin manggung sebagai cover band bagi musik-musik 80's hair metal. Mereka sudah mengeluarkan tiga album sejauh ini. Album Hole Patrol dikeluarkan pada tahun 2003 ketika mereka masih bernama Metal Skool. Lalu ketika sudah bernama Steel Panther, mereka mengeluarkan Feel the Steel (2009) dan Balls Out (2011).

Mereka menjadi band heavy metal yang sedang ramai diperbincangkan sekarang. Selain lagu-lagu mereka yang memang keren, juga tingkah polah mereka yang sangat binal, skill mereka begitu mumpuni. Punya pengalaman bertahun-tahun sebagai band cover yang sudah tampil ribuan kali, membuat mereka begitu matang. Baik secara materi lagu maupun aksi panggung.

Tapi saya tidak akan membicarakan tentang Steel Panther secara keseluruhan. Saya akan berbicara mengenai Satchel sang gitaris. Begitu banyak gitaris hebat di jagat rock n roll. Dari jaman Jimi Hendrix sampai Van Halen. Dari Ian Antono hingga Mus Mujiono.


Nama Satchel tentu masih dianggap bau kencur. Padahal dia sudah sangat lama berkecimpung di dunia gitar. Pada awal dekade 90-an, gitaris bernama asli Russ Parrish ini adalah instruktur gitar di The Guitar Institute of Technology pada Hollywood's Musician Institute. Setelah sempat membuat band dengan Jeff Pilson (dari Dokken), Satchel sempat bergabung dengan frontman Judas Priest, Rob Halford, dalam band Fight. Sejak tahun 1993 hingga 2008, Fight sudah mengeluarkan 6 album. Nama Satchel semakin berkibar ketika bergabung dengan Metal Skool yang lantas bermetamorfosa menjadi Steel Panther.

Yang membuat saya geleng-geleng kepala dengan permainan Satchel adalah daya konsentrasinya yang tinggi. Steel Panther dikenal sebagai band dengan aneka ria gimmick. Seringkali Satchel bermain gitar seraya menirukan gaya orang bersetubuh. Salah satu yang bikin saya sedikit melongo adalah ketika, pada satu panggung, Satchel memainkan "Crazy Train"-nya Ozzy Osbourne tanpa kesalahan apapun. Padahal kala itu ia dikerubuti oleh banyak perempuan, dan Satchel ikut joget bareng mereka.

Tapi dari semuanya, coba simak ketika Steel Panther memainkan lagu "Party All Day (Sex All Night)" di Playboy Mansion. Tempat ini adalah tempat tinggal Hugh Hefner, sang bos Playboy yang tersohor. Di tempat itu, Satchel memainkan lagunya dengan tenang dan tanpa kesalahan sedikit pun. Padahal, ia di panggung dengan banyak sekali perempuan telanjang dada. Ia juga dengan muka tengilnya, mengusap-usapkan wajahnya pada belahan dada seorang perempuan. Tak lupa ia juga menirukan gerakan orang bersetubuh. Gila! Daya konsentrasinya ibarat pedang samurai yang sudah ditempa selama bertahun-tahun. Tajam dan tanpa cela.

Coba simak video Satchel dan Steel Panther ketika bermain di Playboy Mansion ini. Ssst, segeralah menonton sebelum Youtube menghapus video vulgar dan tanpa sensor ini :p


I play Kramer guitars, which are bitchin'. And they're totally heavy metal. Their guitars have six strings. I know a lot of kids these days are playing seven-string guitars and shit. But if you can't get the tone you need out of six strings then you need to fucking put the guitar away and pick up like a harp or a fuckin' bassoon or something, because the guitar is a fucking six-string beast. You should be able to make a guitar sound bitchin' with six strings.
(Satchel)

Jumat, 23 November 2012

Rumah Yang Hilang


Where we love is home - home that our feet may leave, but not our hearts
(Oliver Wendell Holmes)

Seberapa penting rumah bagi anda? Ada beberapa orang yang bahkan tak perduli dengan rumah. Bagi mereka, pergi dari rumah adalah bentuk kebebasan yang memabukkan. Tapi ada pula orang yang menganggap rumah adalah tempat ia kembali setelah lelah menempa diri di luar sana.

Roy Boy Harris, sang petualang itu, selalu merindukan rumah kala ia berpergian. Setelah lelah di jalan, maka ia kembali menyeret kakinya. Menuju rumah. Di rumah, segala kasih untuknya tercurah.

Saya punya kenangan pahit dengan rumah yang hilang. Bukan rumah saya, melainkan rumah almarhum kakek dari pihak ayah. 

Rumah Mbah Co --begitu saya memanggil beliau-- ada di Lumajang. Sebuah rumah khas pedesaan dengan halaman depan dan belakang yang luas. Mbah Co punya usaha ayam potong. Di bagian belakang rumah, biasanya saya selalu mengintip dengan sedikit takut, bagaimana Mbah Adam --saudara Mbah Co-- memotong ayam dan membersihkan bulunya. Di halaman belakang pula, banyak angsa peliharaan Mbah Co. Lalu ada pohon kedondong berukuran gigantis. Saya selalu suka menaiki pohon itu. Mbah Ti --istri Mbah Co-- selalu khawatir dan meneriaki saya untuk segera turun. Waktu panen, maka tak ada alasan untuk tidak mabuk kedondong. Untuk memakannya, ada cara mudah. Yakni menjepitkannya ke pintu. Kedondong itu akan remuk, dan kita tinggal memakannya dengan cara menggerogotinya dengan gigi bagian atas.

Tapi sayang, di saat Mbah Co menikmati hari tua, ia ditipu oleh rekan bisnisnya. Rumah itu akhirnya harus dijual. Rumah tempat tinggal Mbah Co dari tahun 40-an. Tempat ayah saya tumbuh besar. Tempat dimana Mbah Adam mengajari saya maen dam-daman --catur ala Jawa--. Tempat dimana suatu malam saya melihat Om Ammar menghitung angka dalam tabel-tabel, yang kelak saya tahu kalau itu adalah salah satu pedoman meramal angka togel.

Begitu banyak kenangan di rumah itu. Dan waktu Mbah Co resmi meninggalkan rumahnya, saya masih terlalu kanak untuk memahami sorot matanya yang penuh kepiluan.

Kenangan pahit itu kembali terulang siang ini.

Baru saja saya selesai menanak nasi, ada pemberitahuan di grup facebook "Keluarga Besar H. Nawawi". Itu adalah grup tempat keluarga besar ayah saya berkumpul. Dari mulai kakek, nenek, paman, bibi, hingga sepupu, semua berkumpul disana. 

Lantas saya melihat sesuatu yang mengejutkan. Tante Arie, adik sepupu ayah, memposting foto rumah masa kecilnya yang rata dengan tanah. Rumah masa kecil tentu begitu sarat arti. 





Dulu, keluarga besar ayah saya tinggal di daerah Kampong Kebon, sebuah daerah di tengah kota Jember. Ayah sempat pula tinggal lama di daerah itu. Rumah kakek ayah sekarang menjadi apotik Bima. Di sebelahnya, adalah rumah Mbah Pat --nama aslinya Fatimah, tapi lebih akrab dipanggil Mbah Pat. Mbah Pat punya 4 orang anak: Om Hadi, Tante Arie, Tante Vivi, dan Om Totok. Mereka tumbuh besar disana. Dengan segala kenakalan masa kecil yang kelak kalau diceritakan kembali, akan mengundang tawa penuh seluruh.

Beranjak dewasa, satu persatu dari mereka mulai meninggalkan Jember dan rumahnya. Om Hadi bekerja di Surabaya, Tante Arie ikut suaminya dinas di Jambi. Tinggal Tante Vivi (saya lebih suka memanggilnya dengan sebutan 'mbak') dan Om Totok. 

Rumah Kampong Kebon dan Sikin

Berbicara tentang rumah Kampong Kebon, ingatan saya melayang pada Sikin.

Saya ingat, waktu masih kecil, saya sering main ke rumah Mbak Vivi. Waktu itu Mbak Vivi masih bekerja di Matahari Department Store. Ayah yang sering mengajak saya kesana. Saya sering bercengkrama dengan Sikin. Orang ini lucu. Kepalanya botak. Umurnya sudah 60-an. Kalau ngomong sering aneh-aneh. Orang menganggapnya gila karena omongannya yang acap melantur. Tapi ayah lantas bercerita kalau Sikin dulu adalah satu diantara 3 orang Jember pertama yang bisa berkuliah di UGM. Kala UGM masih baru berdiri, seluruh pelajar di Indonesia berebutan untuk bisa jadi mahasiswa disana. Hanya sedikit yang terpilih. Sikin adalah salah satunya.

Tapi memasuki pertengahan studi, Sikin dirundung kemalangan. Semua berawal dari meninggalnya sang ibu. Lalu disusul oleh --kalau tidak salah-- sang istri yang ikut meninggal. Sikin goncang. Studinya tak selesai, dan ia pulang ke Jember membawa sisa-sisa kebesarannya yang lantas jadi legenda. Tapi orang tak menaruh peduli pada Sikin. 

Rumah Sikin ada di belakang rumah Mbah Pat. Dulu sewaktu masih 'normal', Sikin adalah orang berpunya. Rumahnya besar. Tapi ketika menjadi 'abnormal', Sikin pun ditendang oleh saudara-saudaranya. Ia hanya diberikan satu ruangan kecil di samping rumah. Saya pernah diajak masuk ke dalamnya.

"Jangan ikut Sikin, nanti kamu dimakan", ujar seorang tetangga Mbah Pat menakuti saya. Tapi saya cuek.

Rumah Sikin --lebih tepat disebut kamar-- adalah sebuah ruangan kecil yang penuh sesak dengan barang-barang. Segala macam barang ada di situ. Dari kulkas mati, yang isinya adalah tumpukan buku-buku, mulai Fisika hingga Kimia; biola; buku catur; gitar; keris; buku SDSB; hingga poster perempuan telanjang yang penuh menempel di tembok. Kasurnya lapuk, dipannya reot. Tapi Sikin bercerita penuh semangat  tentang semua barang-barangnya, yang menurutnya punya sejarah masing-masing.

Karena masih kecil dan terlampau polos, saya pernah bertanya ke Mamak kenapa saudara-saudara kandung Sikin tega membuang Sikin dari rumahnya sendiri. Saya lalu meminta mamak untuk menghubungi kawan-kawan pengacaranya untuk membela Sikin. Mamak hanya tertawa menimpali kepolosan saya.

Sikin seringkali membuat orang tertawa. Ia hobi menggoda Mbak Vivi.

"Vi, koen kok ayu sih? Ayo tak embung (Vi, kamu kok cantik sih? Sini aku cium)" 

Mbak Vivi selalu terbahak kalau Sikin menggodanya seperti itu. 

"Sikin iku pinter nggambar, lek ono tugas nggambar, aku mesti njaluk gambarno Sikin (Sikin itu pinter menggambar, kalau ada tugas menggambar, aku selalu minta dibuatin Sikin" ujar mbak Vivi. Sebagai gantinya, Sikin selalu minta kecup. Tapi Mbak Vivi hanya tertawa dan memberinya uang.

Ada banyak kenangan tentang Sikin dan rumah Kampong Kebon itu. Sekarang rumah itu sudah rata dengan tanah.

***

Mbak Vivi menikah setelah beberapa saat kerja di Matahari. Ia ikut dengan suaminya, tinggal nomaden di luar kota. Mulai dari Jogja, Solo, Bekasi, hingga sekarang di Balikpapan. Mas Totok pun lantas merantau ke Jambi, dan sekarang menetap di Solo.

Rumah Kampong Kebon tidak ada yang menempati. Ketimbang nirfungsi, akhirnya diputuskan rumah itu dijual. Saya lupa tahun berapa rumah penuh kenangan itu dijual. Dan siang ini, saya mendapati rumah itu sudah jadi puing. 

Om Hadi dan Tante Arie mengharu biru siang ini. Meski sudah lama meninggalkan rumah itu, tetap: disana ada banyak kenangan. Saya menyimak beberapa komentar Om Hadi dan Tante Arie yang sedang bernostalgia dengan kenangan-kenangan mereka. Saya sendiri memilih untuk bersirobok dengan kenangan tentang Sikin.

Mendengar rumah masa kecilnya dirobohkan, Om Totok yang ada di Solo, mendadak sakit. Ia harus opname.

"Jare Totok, semua ruh leleuhur podo ngumpul ke dirinya membuat badanya lemes... Seumur hidup baru ini dia opname. Be'e gara-gara rumah kampung kebon di bongkar yho...yho mbuuhlah" ujar Tante Arie.

Pada akhirnya, meski lama meninggalkan rumah, meski rumah sudah roboh, kenangan tak akan bisa rata dengan tanah. For house shall be collapse, but not the home

Rabu, 21 November 2012

Dulur-dulur Masdar

Malam ini saya senang. Pasalnya saya bertemu saudara-saudara saya dari klan Masdar. Saya dan para sepupu jarang sekali bertemu. Biasanya setahun sekali. Itu pun jarang-jarang karena tempat tinggal yang teramat jauh dan kesibukan yang sedikit intoleran.


Meski saya hanya bertemu lewat twitter, tak apa lah. Sedikit bisa mengobati kangen. Awalnya, Hendri yang menyapa. Hendri adalah anak dari Om Zaman dan Tante Heni. Ia anak kedua dari tiga bersaudara. Kakaknya, Hendra, seumuran dengan saya. Sudah sejak lama ia bekerja di Jawa Pos. Sedang Hendri, setahun lebih muda dibanding saya, bekerja di sebuah bank milik pemerintah. Adiknya, Hendar, sudah SMA kelas 2. Lama sekali saya tak bertemu mereka, setahun lebih sepertinya.

Klan Masdar
Saya riang sekali ketika Hendri menyapa di twitter sembari memanggil para sepupu yang lain. Ada kak Lia dan kak Rani, anak dari Pakde Ajad. Kak Lia sekarang tinggal di Surabaya, bekerja sebagai pegawai pemerintah. Sedang kak Rani tinggal di Australia, menjalankan bisnis restoran disana. Biasanya kami bercengkrama lewat fasilitas chat facebook. Itupun sangat jarang, karena jam online yang berbeda. Sering pula kami tanding SongPop di facebook. Tapi entah kenapa, bertemu di twitter rasanya lebih menyenangkan. Bisa jadi karena intensitas menggunakan twitter lebih sering ketimbang facebook. Jadi berasa lebih intim.

"Wah, ini Nuran yang tersohor 80's Hair Band" goda kak Lia di twitter tadi. Saya sering mengalahkannya main Song Pop di kategori 80's Hair Band. Hehe.

Kak Rani masih menjalankan hobi travelingnya. Ia beberapa kali traveling bareng istri dan kedua orang anaknya. Ia juga jago masak. Blognya sangat keren. Sila kunjungi blognya yang ciamik disini: http://keluargapetualang.tumblr.com/

Ah dulur dulurku, aku kangen kalian! Kapan ketemu maneh iki?

Selasa, 20 November 2012

Mimpi Ayah

Ayah dan saya: dua pria yang sama-sama gagal jadi rocker


Seringkali, anak menjadi 'pelampiasan' obsesi orang tua di kala muda yang tak kesampaian. Ayah saya adalah salah satunya. Almarhum kakek dari pihak ayah adalah seorang penyanyi jazz di kala mudanya. Sering melihat sang ayah bernyanyi jazz, ayah saya tertarik untuk jadi anak band. Tapi sesuai masa ia tumbuh, ia ingin jadi rockstar. Deep Purple adalah idolanya. Maka ia memancangkan mimpi: jadi anak band. Tapi tak kesampaian. Ia hanya bisa nyanyi lagu "Widuri" untuk merayu mamak. Itupun sumbang. Rambutnya gondrong kribo, macam Ahmad Albar, tapi tak kunjung ia jadi rocker macam Albar.

Mimpi muda ayah kandas.

Maka ayah mengalihkan mimpi masa mudanya itu pada saya. Ayah saya lantas mengenalkan Beatles, Deep Purple, hingga God Bless. Ketika akhirnya saya lebih condong pada Guns N Roses, Bon Jovi, atau Skid Row, ayah saya tak ambil pusing. Ia tetap mendukung saya untuk jadi anak band. Ayah membelikan saya gitar. Menemani saya latihan gitar, genjrang genjreng gak jelas di depan rumah. Dan saya pun berambut gondrong atas dukungan ayah. Ia yang mendukung saya ketika mamak ngomel-ngomel melihat rambut saya. Hehehe.

Tapi mimpi muda saya kandas  juga.

Saya berambut gondrong macam hair rocker, tapi ngeband pun tak becus. Walau begitu, setidaknya saya pernah manggung dan bikin lagu Yah. Aku masih lebih mending ketimbang ayah. Hehe. Kelak, mimpimu dan mimpiku akan aku teruskan pada anak lelakiku. 

Tapi inti tulisan ini bukan cerita diatas. Intinya adalah tadi malam saya mimpi ayah. Ia meninggalkan keluarga pada bulan Desember 2010. Pada hari libur yang masih pagi. Sudah nyaris 2 tahun ia berpulang.

Mimpi saya sedikit absurd. Tapi membuat saya bahagia.

Dalam mimpi itu, ayah jadi vokalis band. Ia berambut gondrong. Memainkan lagu-lagu rock di sebuah bar di Gili Trawangan. He's quite popular. Ia rajin mengirimi surat dan kartu pos ke rumah. Dalam mimpi itu, saya melihat ayah yang tertawa-tawa ketika bernyanyi. Dia tampak menikmati benar hidupnya.

Itu membuat saya senang. Setidaknya saya percaya, itu adalah pertanda bahwa tuhan menjaga ayah dengan baik. Tuhan tak membiarkan ayah kesepian. Maka tuhan mungkin memberikan beberapa teman band dan memberikan ayah skill menyanyi yang mumpuni. Ayah tak sendirian disana. Ayah bahagia disana.

Yang membuat saya senyum-senyum, di mimpi itu dikisahkan mamak didekatin oleh seorang pengusaha kaya. Si pengusaha tahu kalau ayah sedang ada di luar kota. Mamak sedikit terpengaruh. Ketika tahu itu, ayah pulang dari Lombok membawa gitar. Lalu ayah menyanyikan lagu "Widuri" untuk mamak. Mamak lantas luluh. Dad, you're a badass motherfucker :D

Ayah, apa kabar disana? Semoga bahagia selalu. Makasih sudah berkunjung ke mimpiku semalam :)

Minggu, 18 November 2012

Bagian 1: The Motley Crue


Bab 1

Vince:

Tentang rumah pertama Motley Crue, dimana Tommy pernah terpergok dengan celana melorot dan penisnya masuk dalam sebuah lubang. Nikki membakar karpetnya. Vince mencuri narkotik dari kru band David Lee Roth. Dan Mick terus menjaga jarak dari ketiga orang itu.

***

Nama perempuan itu adalah Bullwinkle. Kami memanggilnya seperti itu karena dia punya wajah seperti rusa. Tapi Tommy begitu mencintainya, meskipun dia bisa mendapatkan perempuan manapun di Sunset Strip. Tommy mencintainya dan ingin menikahinya karena --Tommy terus menceritakan hal ini-- Bullwinkle bisa memuncratkan cairan orgasmenya ke seluruh penjuru ruangan.

Tapi sayangnya, tidak hanya cairan orgasmenya yang ia lontarkan ke seluruh rumah. Tapi juga semuanya: piring, baju, kursi, tinju --pada dasarnya semua yang bisa ia lempar. Dari dulu hingga sekarang, aku bahkan tak pernah melihat perempuan yang sekasar dia. Satu kata atau pandangan yang salah akan membuat dia meledak dalam kemarahan. Suatu malam, Tommy mencoba mencegahnya masuk dengan cara membuat kenop pintu macet --kunci pintunya sendiri sudah sejak lama rusak saat polisi menendang pintu itu beberapa waktu lalu--, Bullwinkle mengambil alat pemadam kebakaran dan melemparnya ke jendela agar bisa masuk. Polisi akhirnya datang lagi malam itu dan menodongkan pistol ke Tommy, sementara aku dan Nikki bersembunyi di kamar mandi. Kami tak tahu siapa yang lebih kami takuti: Bullwinkle atau polisi.

Kami tak pernah memperbaiki jendela itu. Memperbaiki jendela rusak terlalu melelahkan. Need too much work. Orang-orang akan masuk ke dalam rumah kami, yang berlokasi di dekat Whiskey A Go-Go, untuk berpesta, baik melalui jendela yang rusak atau pintu depan yang sudah reot, yang sebenarnya hanya bisa tertutup kalau kami menaruh papan di belakangnya. Aku berbagi kamar dengan Tommy, sedang Nikki, si keparat itu, punya kamar besar yang ia tempat sendiri. Ketika kami menempati rumah itu, sudah ada perjanjian kalau akan ada rotasi kamar, jadi setiap orang akan bergantian menempati kamar seorang diri. Tapi hal itu tak pernah terjadi. Kami terlalu malas. It was too much work.

Saat itu tahun 1981, kami sedang bangkrut, hanya punya sedikit barang beserta seribu piringan hitam 7 inci (berisi demo single kami). Di ruang tamu, ada satu sofa kulit dan sebuah stereo milik Tommy, hadiah natal dari orang tuanya. Langit-langit sudah peyok, karena setiap tetangga kami komplain tentang keberisikan kami, maka kami memukul langit-langit dengan gagang sapu atau gitar. Karpetnya ternoda oleh tumpahan alkohol, darah, dan puntung rokok, dan temboknya hangus.

Rumah kami dikerubuti banyak sekali kutu dan serangga. Jika ingin menggunakan oven, kami harus memanaskannya terlebih dulu selama 10 menit untuk membunuh serangga-serangga di dalamnya. Kami tidak mampu beli pestisida. Jadi untuk membunuh serangga, kami menggunakan hair spray, lalu menyemprotkannya pada korek, dan membakar serangga-serangga itu. Tentu kami mampu membeli (atau mampu mencuri) beberapa benda penting seperti hair spray, karena kamu harus punya benda itu untuk membuat rambutmu berdiri --agar bisa bergaul di klub.

Dapurnya lebih kecil ketimbang kamar mandi, dan baunya tengik. Di dalam kulkas biasanya ada ikan tuna yang sudah basi, bir, sosis merk Oscar Mayer, mayonaise yang kadaluarsa, dan mungkin hot dog jika masih tanggal muda, atau kami mencurinya dari toko yang menjual minuman keras, atau kami patungan untuk beli hot dog. Biasanya, Big Bil, seorang biker seberat 450 pound (kira-kira 204 kg)  dan tukang pukul dari bar Troubador, datang dan memakan hot dog itu. Tentu saja kami tak berani melarangnya dan bilang kalau itu adalah makanan terakhir yang kami punya.

Ada sepasang suami istri yang sering iba pada kami, dan mereka seringkali membawakan semangkok besar spaghetti untuk kami. Saat kami benar-benar tak punya uang, Nikki dan aku akan mengencani gadis yang bekerja di warung makan agar kami mendapat makanan gratis. Tapi kami selalu membawa minuman keras sendiri. Itu menyangkut harga diri bung...

(bersambung)

post-scriptum: Tulisan ini adalah terjemahan bebas dari bagian 1 buku The Dirt, buku biografi Motley Crue. Saya menerjemahkan bebas beberapa nukilan di buku itu. Ini adalah nukilan yang pertama.

Kamis, 08 November 2012

Sangkakala Merobek JNM!

Salah satu keinginan terpendam saya adalah menonton penampilan live Sangkakala. Dulu sekali saya pernah menonton band ini tampil live, tapi dalam ruangan. Itupun sudah lama berlalu. Nyaris 3 tahun lalu. Dan entah kenapa, setiap Sangkakala akan bermain, ada saja halangan yang membuat saya tak bisa nonton. 

Terakhir adalah malam Minggu kemaren. Jadwal mereka tampil berbarengan dengan pertandingan Manchester United vs Arsenal. Rencana saya adalah menonton setengah babak, lalu pergi ke Sewon, Bantul, untuk menyaksikan mereka. Tapi rencana tinggallah rencana. Saya ketiduran dan baru bangun jam 1 malam. Sial.

Tanggal (6/11) Sangkakala kembali meraung di Jogja National Museum (JNM). Jadwal mereka maen adalah jam 20.30. Tapi lewat jam 20.40, saya belum juga dapat motor pinjaman. Baru 5 menit kemudian Sawir datang dan motornya saya pinjam.

"Mas, wis main gurung?" tanya saya via sms pada Blankon, vokalis Sangkakala. Tidak ada balasan. Wah, ini pasti udah main, maki saya dalam hati. Maka mengebutlah saya menuju JNM.

Saya sampai di venue 20 menit kemudian. Ketika sedang membayar parkir, ada orang yang memanggil saya. 

"Ran, Ran!" teriaknya dari belakang. Saya menoleh. Ternyata mas Blankon, naik vespa dengan rompi macan tutul kebanggaannya, plus sepatu boots tinggi berwarna coklat.

"Lah, malah vokalise sik nang kene" canda saya lega karena Sangkakala belum main.

"Lho, mas iki vokalis to?" tanya tukang parkir tidak yakin.

Usut punya usut, ternyata Sangkakala harusnya sudah main 20 menit lalu. Tapi ternyata Blankon belum datang, dan giliran main terpaksa dioper ke Alter Ego dulu.

"Aku sik mbenekke sabuk, rusak jeh" kata Blankon sembari menunjuk sabuknya yang khas: jejeran peluru dengan tengkorak di bagian tengah.

Setelah memarkir motor, saya bertemu dengan personel lain: Atjeh, Iqbal, dan Tatsoy. Juga Yogi sang manajer yang merangkap kru panggung.

Di dekat panggung, semerbak aroma ciu menguar di udara. Khas. 

Acara ini adalah penutupan pameran para mahasiswa jurusan Fotografi ISI. Band-band yang tampil pun kebanyakan adalah anak-anak ISI, termasuk Sangkakala. Sebelum main, seteguk dua teguk ciu mengalir ke kerongkongan Blankon. Begitu pula Atjeh yang mendekap botol air mineral yang berisi ciu. Menarik.

Ketika akhirnya Sangkakala dipanggil, saya ikut dengan mereka. Blankon masih asyik mengoborol dengan kawannya.

"Ayo Kon, koe iki vokalise lho!" teriak Yogi dari kejauhan. Blankon tetap cuek dan ngobrol dengan kawannya. Hahaha.

Di belakang panggung, Atjeh melompat-lompat. Pemanasan. Ia tampak garang dengan celana bermotif ular dan jaring-jaring yang ia pakai sebagai kaos. Rambut gondrong mulletnya ia basahi dengan air. Iqbal juga tampak garang dengan kaos kutung bermotif macan tutul. Ia lantas mengatur ampli dan mengecek gitar Flying V-nya. Tatsoy sedang duduk anteng di balik drum. Mengenakan topi hitam Sangkakala, ia tampak mengatur posisi drum yang enak baginya. Sedang Yogi menarik backdrop dari atas panggung. Gambarnya adalah macan reog Ponorogo dengan tulisan besar: Sangkakala, dan tulisan kecil diatasnya: salam tiga jari.

Para penonton yang tadinya duduk di pinggir, mulai menyemut di depan panggung. MC masih mengoceh. Yang agak mengusik saya adalah, si MC menggunakan kata "lo-gue", rada kurang cocok dipakai di Jogja. Dan benar saja, banyak penonton yang memaki MC.

"Woy, iki Jogja cuk, gak usah nggawe lu gue!" maki mereka. Memang, dalam hal kesadisan, para penonton dari ISI Yogyakarta sepertinya bisa dibandingkan dengan kesadisan penonton IKJ. Hahaha.

Ketika pemanasan usai, Atjeh maju ke depan panggung yang hanya setinggi beberapa cm saja dari tanah. Ia memulai gaya khasnya: menyorongkan bass ke depan, menggerakkannya ke kanan dan ke kiri, dengan mata nyalang yang berarti I-will-hunt-you-and-knock-you-down plus seringai menantang. Bersamaan dengan itu, gitar Iqbal mulai menjerit. Tatsoy menabuh drum. Lagu "Into the Row" yang selalu dijadikan pembuka konser Sangkakala pun dimainkan. Dan entah dimana si Blankon.


Ketika 3 menit berlalu, Blankon baru tampak. Ia langsung naik ke atas panggung. Ia tak sabar ingin beraksi, menarik mic dari stand, tapi olala, kabelnya terjepit. Vokalis yang punya bisnis sampingan sablon ini berusaha melepaskannya. Tapi kesulitan.

"Jancook! Iki kabele kok malah ceket cook!" makinya frustasi. Setelah dibantu 2 orang, akhirnya kabel itu lepas juga.

"Assalamualaikum warrohmatullah hi wa barrokatuh!" teriaknya. Dan dimulailah sirkus rock ala Sangkakala! 

Baru saja lagu "Rock Live at Roller Coaster" berkumandang, Blankon langsung melompat tak terkendali. Ketika ia menengadahkan kepala, ujung gitar Iqbal nyaris mengenai kepalanya. Ia berkelit, tapi kehilangan keseimbangan. Ia terjatuh dengan posisi duduk, dan masih tak bisa mengendalikan keseimbangan hingga akhirnya jatuh dari panggung. Penonton malah senang dan bertepuk tangan. Hahaha.

Para penonton banyak sekali yang berlaku absurd. Salah satu yang paling saya ingat adalah satu orang penonton laki-laki. Dia mabuk, tampak dari mata yang belel. Ia membawa boneka beruang kecil. Dengan semangat ia menggoyang-goyangkan kepala si boneka. Jelas, masudnya adalah mengajak sang boneka untuk headbang. Dan ia melakukan itu sembari duduk bersimpuh di panggung. Hahaha.

Ada pula yang membawa peluit dan sibuk meniupnya sepanjang konser. Ada yang menggoyang-goyang panggung. Ada yang ikut naik ke atas panggung dan berjoget. Komplit.

Panitianya juga absurd. Mereka menyediakan satu mic yang menghadap ke penonton. Jadi banyak lelaki mabuk yang berebutan berorasi. Hahaha. Dan ocehan mereka lucu-lucu. Mereka jauh lebih lucu ketimbang comic garing macam Pandji.

"Mas, endi stikere?"

"Njaluk rokok woy"

"Endi kembang apine om?"

Tak jarang para penonton ikut bernyanyi. Eh salah, mereka selalu bernyanyi di setiap lagu. Juga para penonton yang ikut di atas panggung. Yang di kanan panggung, ada sekitar 4 hingga 6 orang dengan tampang-tampang habis kena ciu. Lalu di kiri panggung ada 1 orang dengan rambut gondrong mullet dan bertelanjang dada ikut bernyanyi. Celana jeansnya sedikit melorot. Seorang kawannya iseng, lalu memelorotkan celananya. Ternyata, masih ada celana jeans pendek lagi di dalamnya!







"Iki jenenge kuwalik. Panggunge cilik, ciune akeh. Wingi panggunge gede, ciune sitik" kelakar Blankon setelah lagu "Rock Live at Roller Coaster" usai. Penonton tertawa keras.

"Yaak, iki lagu tuwek. Sing nyiptakno yo tuwek pisan. Lagu ciptaane Wok the Rock!" teriak Blankon.

Penonton menggila. "Hotel Berhala" dimainkan. Penonton yang membawa boneka beruang, kembali bertingkah absurd. Boneka beruangnya diusap-usapkan ke gitar hingga paha Iqbal. Entah apa maksudnya. Hahaha.

Blankon sedang panas malam itu. Beberapa tenggak ciu menjadi bahan bakar yang membuat mesin Sangkakala meraung keras. Mereka ngebut dan para penumpang pun ikut panas. Tak terhitung beberapa kali orasi Blankon mendapat aplaus meriah dari para penonton.

"Kalau kalian mau bikin merchandise Sangkakala sendiri, silahkan bikin sendiri, versi kalian sendiri. Bebas"

"Itu masuk rukun iman yang ke 6 yo mas?" celetuk pemuda bertelanjang dada di sebelahnya.

"Hehehe, iya. Sodakoh dan amal jariyah" jawab Blankon asal.


"Yak, lagu ini pernah mendapat penghargaan dari Kerajaan Malaysia"

"Malam ini kami tak mau membawakan musik idola kami, karena mereka tak pernah mau membawakan lagu kami"

"Mulailah membuat lagu kalian sendiri"

"Ini lagu pernah mendapat penghargaan, dari kami sendiri"

Dan banyak lagi orasi-orasi membakar lainnya. Intinya, Sangkakala benar-benar mendirikan bulu kuduk. Nyaris semua lagu andalan mereka dimainkan. Mulai "Gang Bang Glam Rock", "Tong Setan", sampai "KANSAS". 

Ketika "KANSAS" selesai dilantunkan, konser pun selesai. Salah seorang penonton naik ke atas panggung dan berteriak, "Alhamdulillah hi robbil alamiiiinn!" Hahaha.

Post-scriptum: Semua foto diambil dari twitternya Sangkakala, karena saya lupa mengisi ulang daya baterai kamera. My bad. Kemeriahan malam itu tak berhenti di konser. Setelah Sangkakala tampil, hujan deras mengguyur. Kami makan nasi kotak dari panitia sambil berteduh. Lalu handphone Blankon hilang. "Maeng tak deleh nang sepatuku" ujarnya sambil kebingungan mencari. "Aku punya pulsa banyak, tapi malas miscalled" timpal Atjeh. Tapi akhirnya besoknya hpnya  ketemu, disimpan panitia yang menemukan. Setelah itu masih ada sesi ngebir bareng. Walau 1 botol dibagi 7 orang. Hahaha. Selepas jam 2 pagi baru saya kembali ke peraduan. What a night! 

Sabtu, 03 November 2012

Rivalitas Itu


Setiap ada laga Manchester United (MU) kontra Arsenal, ingatan saya selalu melambung ke David Januar. Dia adalah kawan saya sedari kecil. Lebih tua setahun ketimbang saya. Kami sama-sama suka mandi di sungai. Kami sama-sama suka bercanda mesum. Kami sama-sama suka nongkrong bareng di lin pak Kamdi tiap malam Minggu. Kami punya banyak kesamaan, kecuali dalam satu hal: tim bola favorit.

Saya menyukai MU, sedang David menyukai Arsenal. Saya suka David Beckham dan Andy Cole, David suka Marc Overmars dan Thierry Henry. 



Menginjak remaja, kami makin gila dalam mendukung tim kami. Taruhan pun jadi ritus penyedap tiap tim setan merah bertemu meriam London. Saya sepenuhnya lupa berapa kali pertandingan MU vs Arsenal yang sudah kami lewati.

Taruhan kami tak seberapa besar. Paling pol ya cuma 10.000 rupiah saja. Tapi duit bukan hal utama dalam taruhan. Ada yang lebih besar dipertaruhkan di tiap pertandingan bergengsi ini: harga diri.

Harga diri memang sering dibinasakan kalau tim pujaan keok. Sudah duit melayang, eh dihina-hina pula.  Ditambah, tahun 90-an, persaingan MU dan Arsenal sedang gencar-gencarnya. Kedua tim seimbang. Baik dari segi pelatih maupun pemain. Hal itu membuat kami sama-sama tak tahu siapa yang bakal menang.

Salah satu momen yang paling saya ingat adalah ketika Arsenal menekuk MU (saya lupa pertandingan yang mana). Tapi saat itu, saya nonton bareng di rumah David. Di tengah pertandingan, saya ketiduran. Entah berapa lama ketiduran, saya tiba-tiba dikejutkan dengan David yang menggoncang tubuh saya.

"Le, le, tangi leeee. Henry ngelebokno ikiii" teriaknya setengah histeris sembari tertawa-tawa. Saya melihat panel waktu di ujung kiri layar televisi. Sudah nyaris masuk injury time. Sial. Itu artinya dua hal melayang dari saya: uang dan harga diri.

Tapi semenjak tahun 2005, derby kedua tim tak lagi seru. Muasalnya adalah Roy Keane pensiun, dan Patrick Vieira pindah ke Juventus. Keane dan Vieira adalah sosok sentral dalam rivalitas MU- Arsenal. Keduanya adalah kapten tim, dan keduanya juga sama-sama bertemperamen tinggi. Setelah mereka berdua hilang dari tim, praktis tak ada lagi rivalitas yang sengit.

Selain itu, kekuatan Arsenal juga menurun. Meski pelatihnya tetap sama, banyak pemain yang pergi. Penggantinya tak bisa menutup lubang yang ditinggalkan. Hasilnya?  Simak statistik ini: semenjak tahun 2006, ada 16 pertandingan antara MU dan Arsenal. MU memenangkan 10 pertandingan, Arsenal 4 pertandingan, dan sisanya imbang. Ada 2 pertandingan yang sangat mencolok mata. Yakni kemenangan MU 4 gol tanpa balas di Old Trafford. Dan yang paling mencolok: kemenangan MU 8-2 dalam laga Premiership tahun 2011.

Biar David gak lupa kalo tim kesayangannya pernah dihajar :p


Saat tragedi pembantaian itu terjadi, saya dan David sudah jarang bertemu. Saya kos, dan David sibuk bekerja sebagai abdi negara di kota tetangga. Kami hanya sesekali saja bertukar kabar. Seusai pembantaian 8-2 itu, saya sms David. Saya malah menyayangkan pertandingan itu. Serius. Kemenangan telak itu jadi seperti meruntuhkan semua legenda tentang persaingan yang sengit. MU jadi mirip tim besar yang melawan tim divisi utama PSSI.

David hanya bisa mengirim tanda senyum. Senyum yang pahit, duga saya.

Malam ini, pasukan setan merah akan menjamu Arsenal di stadion kebanggaan Old Trafford. Sepertinya tensi pertandingan ini akan memanas. Robin Van Persie, mesin gol Arsenal selama beberapa musim, memperkuat MU musim ini. 

Selagi menunggu pertandingan dimulai, saya ingat David dan kehebohan kami dalam membela tim kesayangan, juga ritus taruhan tiap pertandingan. Ia sekarang sudah menikah, sudah punya 1 anak yang lucu bernama Kevin. Saya sudah nyaris 2 tahun tak pernah ketemu dengan David. Hanya sesekali saja bercakap via facebook.

Taruhan lagi Vid? For good old time sake :)

Nyen di 26

Wis tambah tuek le? :)


Anak itu berjalan pelan menuju gerbang sekolahan. Rambutnya keriting. Wajahnya tirus. Badannya kurus. Memakai tas punggung dengan sepatu berwarna biru. Tapi yang paling mencuri perhatian: tinggi badannya yang minimalis untuk ukuran anak SMA. 

Nama anak itu adalah Angga Pribadiyono.

Saya tak akrab dengannya di awal masuk SMA. Pasalnya, kelas kami berjauhan. Saya di 1.2, Angga di 1.5. Tapi pernah satu kali kami bertemu di Pasir Putih.

Saat itu saya dan beberapa kawan masa kecil menghabiskan waktu dengan berkemah di Pasir Putih Situbondo. Tak dinyana, disana saya bertemu dengan Deni Hamzah, kawan saya semasa SD. Dia juga bareng kawan-kawannya semasa kecil. Ada wajah yang saya kenal, wajah Angga.

Sejak saat itu saya akrab dengan Angga. 

Kami sering bertukar sapa di kantin. Memergokinya merokok sembunyi-sembunyi di kantin. Hingga ia yang sering disetrap di halaman sekolah karena sering terlambat masuk.

Kami akhirnya sekelas ketika naik ke kelas 2. Karena sudah akrab, kami memutuskan duduk sebangku. Saat itu, saya mulai makin mengenalnya.

Ada banyak hal yang bisa diceritakan tentang pria berwajah imut itu. Tapi yang paling terkenal adalah julukannya sebagai bandar bokep. Oke, bukan dia saja, tapi saya juga. 

Kami sering membawa CD bokep (saat itu belum ada flashdisk dan tidak ada softcopy seperti sekarang) yang diselempitkan di tengah-tengah halaman buku pelajaran. Dan kurang ajarnya, dua buku favorit sebagai tempat persembunyian bokep adalah buku PPKn dan Agama. Hahaha.

Bendol, ketua kelas kami saat itu, menjuluki Angga dengan sebutan Nyen. Semua juga gara-gara rutinitas Angga dalam mendistribusikan VCD bokep. Nyen adalah singkatan dari Onyen, bahasa prokem Madura untuk bersetubuh. Ternyata, panggilan Nyen itu bertahan lama. Hingga sekarang, mulai teman SMA, teman rumah, hingga teman kuliahnya, memanggil Angga dengan sebutan Nyen. Bisa jadi hingga ia meninggal kelak, orang akan tetap mengingat Angga sebagai Nyen.

***

Selain jadi bandar bokep, Nyen juga diingat sebagai pria bertinggi badan minimalis di angkatan kami. Tapi itu semua berubah semenjak Nyen bertemu dengan Bu Ismi.

Bu Ismi adalah guru matematika kami di kelas 2. Beliau orangnya suka iseng. Kalau nilai ujian matematika kami rendah, beliau suka menghukum kami. Kalau ada dari kami yang ketahuan tak tertib --baju seragam keluar, atau tak memakai sabuk--, hukuman juga dilayangkan. Jenis hukumannya macam-macam. Yang paling lucu tentu balapan merangkak di depan kelas. Sialan.

Tapi beda kasus untuk Nyen. Bu Ismi menyuruh Nyen melompat dan menyentuh ujung bagian atas pintu kelas kami. Nyen tak suka hukuman itu. Setiap dapat hukuman itu, wajahnya selalu merengut. Ia kesal. Tapi sekarang ia harus berterimakasih pada bu Ismi. Sejak rutin melakukan 'lompat tinggi' itu, Nyen bertambah tinggi. 

Kami berpisah ketika naik kelas 3. Saya masuk kelas sosial 2, dan Nyen masuk kelas sosial 1. Tapi sebagai kaum minoritas (kelas sosial hanya ada 2, kelas eksakta ada 4), nyaris setiap hari kami berkumpul. Entah itu di terminal depan sekolah kami, warung nasi pecel depan sekolah, sungai belakang sekolah, atau di kantin.

Ketika lulus dan masuk dunia kampus, kami pun kembali berpisah. Saya masuk Unej dan Nyen di Unmuh. Tapi kami masih sering berkumpul. Nyaris tiap akhir pekan kami cangkruk bareng kawan-kawan SMA. Siang hari, ketika sepulang sekolah, juga jadi waktu yang menyenangkan untuk minum segelas joshua sambil berkelakar mengenai kuliah.

***

"Ayo melu aku, nggepuki arek" 

Saya tergeragap. Pagi itu, matahari bahkan masih belum jua terik, Nyen sudah menghampiri saya di Warkop Toyib. Secangkir kopi saya bahkan masih mengepulkan uap panas. Tapi Nyen sudah datang berkalang kemarahan. Ada apa ini?

Usut punya usut, Nyen sedang sakit hati. Sama seperti remaja lainnya, Nyen pun tak luput dari sakit hati. Ini menarik bagi saya dan kawan-kawan lain. Pasalnya, ketika SMA, Nyen tak pernah melirik cewek. Tak pernah menitipkan hati pada perempuan mana pun. Ia termasuk pria yang kedap dengan ritual naksir perempuan. 

Kalau ada novel berkisah tentang cerita cinta remaja SMA, sudah pasti bukan Nyen yang jadi inspirasi. Nyen, kala itu, adalah remaja yang paling kuat menahan godaan naksir perempuan.

Tapi ketika duduk di bangku kuliah, ia memutuskan untuk menitipkan hati pada seorang gadis. Olala, siapakah gadis yang beruntung itu? Nyen ternyata menganut prinsip lokalitas. Ia jatuh cinta dengan gadis tetangga. 

Tapi pagi itu, ketika asap kopi masih mengebul, Nyen sudah tersulut amarah. Tak pernah saya melihat Nyen murka, apalagi perkara perempuan. Ia lantas bercerita kisah kasihnya. Ya bisa dibilang kisah standar percintaan. Tapi karena Nyen tak pernah mengalaminya, kisah itu lantas jadi duri yang merajam. Perih.

Hingga sekarang, kisah kasih purba milik Nyen itu masih saja dijadikan gojlokan tiap kawan-kawan SMA berkumpul. Dan seperti biasa, Nyen --yang sudah sembuh karena waktu-- hanya bisa berlagak cool dan terkekeh kecil. Ia sudah tumbuh dewasa.

Memang, seringkali luka dan waktu yang akan mengajarkan kita untuk tumbuh dewasa. Nyen belajar itu dengan baik, dan lulus dengan baik pula.

Oh ya, sampai sekarang hati Nyen masih belum berpunya. Kalau ada yang punya nyali mencoba, bisa dicoba untuk merebut hatinya Nyen :)

***

Malam ini, disela deadline kerjaan yang sudah di urat leher, saya menengok siapa saja yang berulang tahun hari ini. Ternyata Nyen ada dalam daftar. Untuk mengingatnya, saya menuliskan sesuatu tentangnya. Kelak, ketika Nyen punya anak, sang anak bisa tahu kisah sang bapak. Termasuk yang tabu dan lucu seperti menyembunyikan VCD bokep di buku Agama atau PPKn.

Nyen, sama seperti saya dan kawan-kawan lain, sudah masuk ke dalam tahap yang rawan: lulus kuliah dan harus menghadapi realitas hidup. Semoga ia tak patah arang dan tetap nyalang menghunus pedang. Semoga ia tetap santai, sesantai ketika ia menabrak anjing ketika sedang "tinggi" dan tetap menjadikannya sebagai guyonan. 

Umur memang boleh bertambah. Tapi kemudaan jiwa tetap harus dipertahankan. Semoga ketika angka di KTP semakin bertambah besar dan kerut semakin tampak dalam wajah, semakin anak-anak jiwa kita. 

Seperti yang ditulis Joko Pinurbo:

"Ya, hari ini saya ulang tahun ke-50.
Tahun besok saya akan ulang tahun ke-49.
Tahun lusa saya akan ulang tahun ke-48.
Sekian tahun lagi usia saya akan genap 17.
Kemudian saya akan mencapai usia 9 tahun."

Selamat ulang tahun Nyen!