Selasa, 30 Desember 2014

27 and Life

Saya selalu berpikir kalau hidup saya akan berakhir di umur 27.

Atau setidaknya bunuh diri di umur 27.

Ternyata perkiraan yang saya buat saat masih berambut gondrong dan mengimani The Doors mati-matian, meleset total. Saya masih hidup hingga sekarang, beberapa hari setelah usia saya resmi 27. Saya belum mati. Pun, belum bernyali untuk bunuh diri. Mendadak saya jadi tertawa kecil mengingat kemauan saya dulu. Saya dulu ingin mati bunuh diri, seandainya saya tak mati di umur 27. Sekarang, keinginan itu terasa seperti mimpi lugu para remaja yang terlalu banyak menenggak LSD dan mendengar Janis Joplin.

Umur 27 saya sambut dengan biasa saja. Walau konon umur itu adalah umur keramat. Yang konon juga, akan menentukan jalan hidupmu kelak. Beberapa keputusan penting dalam hidupmu akan dibuat di umur 27. Katanya demikian.

Bagi saya, salah satu kepentingan penting dalam hidup sudah saya ambil beberapa bulan sebelum menginjak umur 27. Menikah. Iya, saya memutuskan untuk menikah 8 bulan sebelum umur 27. Sebelumnya, pindah ke Jakarta juga menjadi salah satu keputusan penting dalam hidup saya.

Semalam sebelum ulang tahun, Rani menanyakan saya mau kado apa. Jujur, saya bingung. Saya berasal dari keluarga yang tak begitu peduli dengan perayaan ulang tahun. Beberapa kali, saya lupa ulang tahun ayah, mamak, adik dan kakak, bahkan ulang tahun saya sendiri. Jadi ritual ulang tahun, atau menerima kado, bukan sesuatu yang sering saya alami.

Tapi Rani selalu membuat ulang tahun saya jadi istimewa. Beberapa jam sebelum jam 12 tiba, ia sudah mengucapkan selamat ulang tahun.

"Mau kado apa?"

"Hmm... gimana kalau gitar?"

Rani diam sejenak. Lalu menyahut. "Oke deh."

Saya terlonjak girang. Tak menyangka ia mengiyakan permintaan saya. Maklum, sebagai pengantin baru, tanggungan kami begitu banyak. Semua hal klise seperti bayar kontrakan, listrik, belanja bulanan, dan beberapa hutang lain. Beli gitar tentu bukanlah sebuah prioritas.

Tapi ternyata lidah dan muka saya cukup membuat Rani jadi terharu. Ia mengabulkan permintaan saya. Beberapa jam kemudian, ia terlihat menyesali keputusannya ini. Hahaha. 

Akhirnya, dua hari selepas ulang tahun, saya dan Rani pergi ke sebuah toko musik di bilangan Kebayoran Baru. Satu gitar berwarna natural saya pilih. Senyum saya terkembang lebar. Kepala Rani langsung pusing, cenat cenut memikirkan penataan ulang beban fiskal rumah tangga bulan ini. 

Gara-gara gitar itu, saya menemukan kembali kecintaan lama terhadap gitar. Rasa girang dan ingin mengulik lagu muncul lagi. Rasa senang itu sebenarnya diikuti oleh aduhan. Jari saya melepuh, karena lama tak pernah menekan senar gitar. Beberapa hari kemudian, ujung-ujung jari mulai mengapal. Rasa sakit mulai hilang.

Rumah jadi mendadak bising karena saya main gitar. Rani kadang ngomel, karena saya tak mengenal waktu. Jam 12 malam, saya pun sibuk genjrang genjreng. Terakhir, ia menyuruh saya mengamen di sepanjang Tebet, agar modal beli gitar bisa balik. Dasar istri tak solehah.

Soal gitar ini mungkin akan saya tulis di postingan yang lain.

Intinya, saya bersyukur saya tak jadi mati di umur 27 pas. Juga bersyukur saya tak punya nyali buat mengakhiri nyawa sendiri. Ternyata hidup menyenangkan. Memberi saya kejutan-kejutan baru. Saya yakin, akan ada banyak cerita dan kejutan lain yang menanti saya di simpangan-simpangan hidup berikutnya.

Tapi umur 27 juga memberi saya peringatan-peringatan kecil. Seperti sengatan-sengatan di bagian bahu selepas makan panganan kolesterol. Atau nafas yang sudah jadi pendek-pendek. Naik tangga dua lantai saja sudah macam lari maraton 15 kilometer. Sinyal kecil semacam itu mungkin muncul untuk memberi peringatan: kau tak bisa serampangan lagi dalam mengatur hidup!

Perihal hidup selepas 27 yang konon hanya menunda kekalahan, tak apa lah. Toh saya juga bukan orang yang menganggap hidup adalah perihal menang atau kalah. Menikmati hidup tampaknya lebih mengasyikkan ketimbang memikirkan menang atau kalah.

Jadi, umur, sampai jumpa tahun depan.[]

Kamis, 18 Desember 2014

Menyambut Moviemetalithicum


Ibarat motor, grup heavy metal asal Yogyakarta, Sangkakala, sekarang sedang menginjak gigi empat. Band yang digawangi oleh Baron Kapulet Araruna sebagai vokalis, Ikbal Lubys pada gitar, Rudy Atjeh pada bass dan Tatsoy pada drum ini sedang mempersiapkan perilisan DVD bertajuk Moviemetalithicum yang akan dirilis akhir Desember 2014.

"DVD ini berawal dari launching album Heavymetalithicum yang didukung oleh Mas Bandist Shaggy Dog," kata Baron Capulet, vokalis Sangkakala.

Untuk menyegarkan ingatan, grup band yang beranggotakan lulusan Institut Seni Indonesia Yogyakarta ini merilis album penuh pertama mereka, Heavymetalithicum, pada Desember tahun lalu.

Acara yang diadakan di Taman Budaya Yogyakarta ini berlangsung dengan meriah. Menjelang pertengahan set, para penonton turut naik ke atas panggung untuk ikut bernyanyi dengan Sangkakala. Kemeriahan semakin terasa dengan dentuman kembang api yang selalu jadi ciri khas Sangkakala. Kemeriahan acara ini yang lantas didokumentasikan dalam bentuk DVD dokumenter.

Proyek pembuatan DVD ini banyak dibantu oleh Doggyhouse Record. Ini adalah label rekaman milik band legendaris Yogyakarta, Shaggy Dog. Kerjasama antara Doggy House Records dan Sangkakala sudah terjalin sejak lama. Selain saling mengenal secara pribadi, mereka sudah bekerja sama dalam album kompilasi Doggybark! yang berisikan lagu-lagu dari band Yogyakarta. Album ini dirilis pada bulan September silam.

Kali ini Doggy House Records secara khusus mendelegasikan tugas pendokumentasian Moviemetalithicum pada Djati Wowok Pambudi, alias Wowok Erwe. Selama ini Wowok lebih dikenal sebagai gitaris cum vokalis band Erwe.

Proses pembuatan DVD ini memakan waktu yang lumayan panjang. Terhitung sejak perilisan album, pembuatan DVD ini menghabiskan waktu satu tahun. Beberapa aral memang muncul dalam proses pembuatan ini.

"Ya kita lumayan kagok karena interview, jadi agak serius," kata Baron sembari tertawa.

Selain tak biasa diwawancara, kendala lain adalah Wowok mempunyai beberapa kesibukan lain. Ditambah, vokalis Erwe ini sempat mengalami kecelakaan yang membuat dirinya harus istirahat beberapa lama. Kendala klasik seperti pendanaan, sudah bisa dikover dengan baik oleh Doggy House Records.

"Jadi kita gak mikirin dana, kita bisa maksimal dalam membuat karya. Doggy House juga membebaskan urusan artistik," tambah Baron.

DVD Moviemetalithicum ini sudah pasti akan jadi karya yang menarik. Pasalnya, selama ini di Indonesia belum banyak film dokumenter tentang perjalanan sebuah band atau tentang pesta pora perilisan album dari sebuah band. Dalam scene musik Yogyakarta pun, nyaris nihil, atau bahkan belum ada, band yang punya dokumentasi berformat film.

Sangkakala sendiri merupakan band yang sangat menarik untuk dijadikan film. Rentang waktu berkarya mereka sudah panjang. Band yang terpengaruh musik-musik heavy metal dan dandanan 80-an ini sudah aktif sejak 2005. Berawal dari pinggiran kota Bantul, mereka menggebrak scene musik Yogyakarta.

Pada tahun 2010, mereka sukses membuat gelaran Macanista Workshop dalam Biennale Yogyakarta. Mereka memberikan workshop tentang glam rock, potongan rambut ala glam rock, sablonase, hingga pementasan tunggal di Taman Budaya Yogyakarta. Bootleg penampilan Sangkakala ini lantas dirilis dalam bentuk EP berjudul Macanista yang bisa diunduh gratis via situs netlabel Yes No Wave.

Di tahun 2013,  kuartet heavy metal circus ini merilis album penuh pertama kali dan disambut dengan gegap gempita. Mereka juga sempat mengadakan dua konser bersama band heavy metal asal Jakarta, GRIBS di Yogyakarta dan Jakarta.

Dalam Moviemetalithicum ini, sedikit demi sedikit misi Sangkakala akan tersibak. Mereka memang tidak sekedar bermain band. Mereka punya misi tersembunyi. Semisal mempopulerkan kembali heavy metal dan glam rock yang sempat hiatus saat grunge muncul. Workshop glam rock di tahun 2010 menjadi bukti bagaimana Sangkakala menjalankan propaganda memasyarakatkan heavy metal dan meng-heavy metalkan masyarakat. 

Di film ini juga akan terlihat bagaimana pentingnya artwork, sisi artistik, dan estetika Sangkakala dalam berkarya. Latar belakang mereka sebagai mahasiswa institut kesenian jelas tak bisa dipisahkan dari karya-karya musik dan artwork Sangkakala.

Yang lebih unik lagi, meski Sangkakala memainkan musik heavy metal yang notabene dari belahan dunia barat, tapi mereka tak abai dengan unsur-unsur kelokalan. Simak saja artwork pandai besi yang jadi kover album Heavymetalithicum. Atau bagaimana Sangkakala dengan gagah menjadikan Reog Ponorogo sebagai maskot yang selalu dipajang di setiap panggung; atau harimau yang banyak muncul dalam artwork Sangkakala. 

Belum lagi bicara soal rambut mullet –gaya rambut yang populer dengan sebutan gondes, alias gondrong ndeso, di kalangan para preman terminal—serta penghormatan terhadap tong setan, sebuah atraksi sirkus yang tak pernah absen di setiap pasar malam. Sangkakala membawa itu semua dalam setiap karya dan penampilan mereka.

Dengan masa aktif yang panjang, musik yang rancak, penampilan yang mencolok, propaganda yang menggentarkan, dan atraksi panggung yang beringas, tak heran kalau Sangkakala menjadi band yang punya basis massa sangat besar di Yogyakarta. Sebutannya beragam. Mulai Macanista, Paskibraka (Pasukan Pengibar Bendera Sangkakala), Alutsista (Alat Utama Sistem Macanista), hingga SPG (Sangkakala Promotion Girl).

DVD Moviemetalithicum akan dirilis sebanyak 500 kopi. Rinciannya, 100 kopi adalah edisi boxset yang dibanderol Rp 150 ribu. Selain berisi DVD, paket ini akan berisi bendera dan pin Sangkakala. Sedangkan paket reguler sejumlah 400 kopi akan dibanderol seharga Rp 50 ribu.

Pelepasan DVD ini akan turut dimeriahkan oleh penampilan Sangkakala dalam format akustik, yang tiketnya akan dibatasi untuk 200 orang saja. Lagi-lagi ini hal yang menarik. Karena sepanjang karirnya, Sangkakala baru satu kali tampil dalam format akustik. Dalam penampilan live kali ini, gitaris Iqbal akan memakai gitar khusus yang ia buat sendiri. Selain itu, penampilan akustik ini akan direkam secara live dan akan dirilis dalam bentuk kaset dalam proyek Sangkakala berikutnya.

Jadi bersiaplah! []

Post-scriptum: ini rilis pers yang saya tulis untuk acara konfrensi pers Sangkakala beberapa hari lalu. Ayo yang belum pesan DVD  ini, segera pesan. Rugi kalau tak punya film dokumenter keren dari band keren ini.

Jumat, 05 Desember 2014

Kecanduan August Eve

Sejak beberapa waktu belakangan, saya sedang khusyuk mendengarkan lagu-lagu August Eve. Ini artis muda dari California, Amerika Serikat. Awalnya saya tahu August waktu menonton beberapa video Richie Kotzen, gitaris band rock The Winery Dogs. Richie adalah salah satu gitaris favorit saya. Lagu-lagunya paten punya. Ditambah ia juga punya karakter vokal yang mengasyikkan.

August beberapa kali tampil bersama Richie. Usut punya usut, August adalah anak kandung Richie. Beberapa penampilan mereka sangat menyenangkan dan hangat. Kehangatan itu makin terasa kalau istri Richie yang merupakan pemain bass dari Brasil ikut manggung. Jadi semacam band keluarga. 

Setelah beberapa kali mencari nama August, saya menemukan akun twitter dan laman Soundcloud-nya. Ternyata lagu-lagu August itu enak! Saya jadinya malah kecanduan. Lagunya saya dengarkan, berselingan dengan album baru Richie, The Essentials of Richie Kotzen

Suara August itu hauntingly beautiful. Indah yang menghantui. Suaranya terngiang-ngiang di telinga saya nyaris tiap hari. Mini album August sudah dirilis via Soundcloud. Judulnya Party for Wallflowers. Ada empat lagu di album itu. Favorit saya adalah track pertama, "Heart of Gold". 

Coba dengarkan lagu-lagu gadis yang masih umur 17 tahun ini. Jangan salahkan saya kalau kalian jatuh cinta. []


Rabu, 03 Desember 2014

Bob dari Potlot



Namanya Bob. Saya rasa, semua orang yang pernah datang dan nongkrong di Potlot pasti tahu orang ini. Bob sudah jual rokok di Potlot sejak tahun 1982. Namun mungkin tak banyak yang tahu nama aslinya.

"Nama asli saya Karyana, cuma anak-anak manggil saya Bob. Mungkin yang sekarang pada nongkrong di sini gak tahu nama asli saya siapa," katanya sembari tertawa. Memperlihatkan deretan gigi yang lumayan rapi dan sehat.

Mungkin nama Karyana dianggap terlalu susah untuk dihafal. Pun, kurang enak untuk dipanggil. Maka anak-anak Potlot waktu itu memanggilnya dengan sebutan Bob. Diambil dari kaus bergambar Bob Marley sedang nyimeng yang waktu itu sering dipakai oleh Karyana. 

Saya bertemu dengannya di sebuah siang yang terik. Urusan saya sudah selesai. Namun dahaga membuat  saya mampir di kios Bob. Minum teh botol dan makan keripik. 

Di luar gang, macet masih mengular panjang. Duren Tiga, Jakarta Selatan, memang salah satu titik macet. Tapi Potlot tenang, semacam tak tersentuh hiruk pikuk selatan Jakarta. Pohon-pohon besar yang tumbuh di banyak rumah juga banyak membantu mengurangi terik.

Bob datang ke Jakarta pada awal 80-an. Asalnya dari Tegal. Sama seperti kebanyakan perantau yang datang ke Jakarta, Bob berharap mendapat pekerjaan yang baik. Tapi hasilnya nihil. Setelah mencoba selama dua tahun, Bob akhirnya memutuskan mendirikan kios kecil tepat di bibir gang Potlot.

Sejak itu, Bob akrab dengan penghuni Potlot. Ia mengenal personel Slank sama baiknya dengan mengenal anak sendiri. 

Di suatu panggung 17 Agustusan, Bob terkesima melihat Akhadi Wira Satriaji bernyanyi di atas panggung.

"Dia nyanyi lagu barat, saya gak tahu judulnya. Tapi bagus bener. Saya mikir, ini anak bakal jadi penyanyi beneran," kata Bob.

Nubuatnya terbukti benar di kemudian hari. Akhadi, lebih dikenal sebagai Kaka, menjadi vokalis Slank, band rock n roll terbesar di Indonesia hingga sekarang.

Bob juga kenal baik dengan para remaja yang sering nongkrong di Potlot. Kebanyakan dari mereka lantas jadi musisi terkenal. Waktu remaja, para calon musisi itu sering nongkrong di jembatan. Main gitar dan nyanyi. 

Ada Imanez dan Didit Saad, dua bersaudara yang punya rumah tak jauh dari gang Potlot. Rumah mereka sekarang jadi Hotel Kaisar. Menurut penuturan Bunda Iffet, mantan personal manager Slank yang sudah tinggal di Potlot sejak pertengahan 60-an, kakek nenek Imanez dan Didit adalah orang kaya.

"Mereka punya tanah luas banget. Neneknya mereka itu orang terkaya keempat di Jakarta," kata Bunda.

Selain dua bersaudara itu, ada pula Oppie Andaresta, Bongky, Pay, Indra, hingga Denny, sepupu Bimbim yang lantas jadi bassist awal Slank.

Anak-anak muda itu sama saja dengan remaja kebanyakan. Merokok, tapi tak punya uang berlebih. Akhirnya mereka sering berhutang ke Bob. Kadang mereka berhutang tak tanggung.

"Si Indra dulu hutangnya malah suka satu slop. Sukanya rokok luar negeri, Camel itu. Kadang Marlboro," tutur Bob.

Hampir semua anak Potlot pernah berhutang pada Bob. Salah satu yang paling sering adalah Anang Hermansyah. Kala itu, Anang baru saja datang dari Jember. Ia dibawa oleh Pay, gitaris Slank. Anang lantas meniti karir sebagai vokalis band rock Kidnap Katrina, bersama Massto, adik Bimbim yang jadi drummernya, dan Koko, kakak Kaka yang jadi gitaris. 

Selain itu, Anang juga dikontrak sebagai penyanyi solo. Namun karir solonya lebih berhasil. Kidnap Katrina bubar seusai album perdana rilis. Saya sekali sebenarnya. Karena Kidnap adalah salah satu produk terbaik gang Potlot.

Suatu hari ada satu orang yang datang ke Bob. Tanya-tanya soal Anang. Bob tak tahu kalau yang datang itu adalah wartawan. Dengan enteng saja ia ngomong kalau Anang sering hutang rokok.

Dua minggu kemudian, artikel tentang Anang terbit di sebuah majalah remaja terkenal. Disebutkan, dengan gaya kelakar, bahwa Anang sering hutang rokok pada Bob.

"Dua hari kemudian, Anang lewat di Potlot naik mobil. Dia buka kaca, trus bilang, 'Wah jangan gitu dong Pak Bob. Kan semuanya juga hutang,'" kata Bob sembari tertawa.

Namun setelah banyak dari anak Potlot sukses, mereka tak lupa pada Bob yang berjasa memasok nikotin hutangan. Mereka kerap memberi uang pada Bob.

"Setiap lebaran, si Indra, Bongky, selalu rutin ngasih duit," kata Bob.

Momen gelap di Potlot adalah saat kebanyakan dari mereka kecanduan narkoba. Beberapa yang tak ingin ikut kecanduan, memilih untuk pergi dari Potlot. Sedangkan yang kecanduan, lebih memilih menekuri kecanduannya masing-masing di kamar mereka.

"Sudah gak ada lagi yang nongkrong di jembatan, gak ada yang gitaran sambil nyanyi-nyanyi," kata Bob.

Bagi Bob, narkotika memang membawa masalah. Ia bahkan pernah melihat sendiri seorang bandar tewas di depan matanya.

Hari itu, polisi berpakaian preman datang ke Potlot. Mereka sedang memburu bandar bernama Jerry, yang kebetulan sering nongkrong dan berbisnis di Potlot. Melihat polisi, Jerry panik dan melompat ke got di depan warung Bob.

Polisi ikut melompat, tapi jatuh. Mungkin karena kesal dan tak ingin capai mengejar, si polisi memilih untuk menarik pelatuk. Dor! Jerry tewas di got kecil itu. 

"Jerry ketembak di depan warung saya," kata Bob.

Potlot berduka karena mereka mengenal Jerry secara personal. Slank membuatkan lagu berjudul "(Jerry) Preman Urban" khusus untuk mengenang Jerry. Lagu ini muncul di album Tujuh yang dirilis awal 1998.

Berminggu berlalu 
Berbulan berlalu
bertahun berlalu
Dia terperosok semakin dalam

Suatu malam menjelang pagi
Di dekat rumahku
Dia buron karena ulahnya
3 peluru di tubuhnya
Jerry tewas di tangan petugas!

Di tahun yang sama, warung Bob digusur. Tapi berkat bantuan Bunda Iffet, Bob dapat sepetak lahan untuk berjualan. Tepat di samping markas Slank.

Sebotol teh sudah tandas. Macet sudah mulai terurai. Sepertinya saatnya untuk pulang. Saya pamit, Bob tersenyum.

Kalau kamu sedang berkunjung ke Potlot, mampirlah ke warung Bob. Bertanyalah apapun tentang Slank, atau para penghuni Potlot lain. Ia akan menceritakan kisah-kisah yang tak akan pernah dimuat di media atau ditayangkan di media gosip. []

post-scriptum: beberapa bahan di tulisan ini saya dapatkan dari tulisan pendiri Sarekat Pemuda Pengobral Aer Mata, Eddward S. Kennedy alias Panjul. Ia banyak membantu saya saat ada proyek Slank ini --yang akhirnya kandas di tengah jalan.

Kamis, 20 November 2014

Pada Selembar Sobekan Kertas

Untuk Rani

Kau pernah bilang
Rinduku serupa abu
Ia mudah hilang, gampang tempias
Tergenang air
Atau terseret arus
Menuju sungai, laut
Atau berakhir di comberan hitam
di gang buntu yang riuh dengan bocah dekil beringus

Namun barangkali rindu memang sudah tak semenarik dulu
Ia terlalu banyak diobral

Dalam lagu cinta eceran,
dalam puisi romansa kapiran,
hingga stanza dangdut kacangan

Rindu memang sudah jadi barang kodian
Rindu tak lagi menarik
Usang, kuno, dan tak layak dibicarakan

Padahal rindu menarik ketika ia tak berisik
Terlahir dari kesunyian yang menyayat
Ditakik dari jarak yang semakin jauh
Digurat seiring melambatnya waktu
Dirapal bersama deru roda kereta

Rindu seperti ini
Rindu yang ditulis hanya pada sobekan kertas


Ditulis di kereta Jaka Tingkir
Pasar Senen-Gubeng
18 November 2014, selepas dini hari

Selasa, 21 Oktober 2014

E-book Selamat Datang Presiden Jokowi



Semua berawal dari tulisan untuk mamak perihal Prabowo dan Jokowi. Tulisan itu ternyata dibaca Wisnu Prasetyo, kawan saya yang bekerja jadi editor di Bentang Pustaka. Beberapa hari selepas pemilihan presiden, Wisnu menghubungi saya. Ia meminta izin untuk memuat tulisan saya dalam sebuah buku bunga rampai persembahan pada Jokowi. Saya tentu tak menolak. Apalagi buku itu dibagi secara gratis dalam format e-book. Pun, yang minta Wisnu jeh, kawan saya. Ya gak mungkin saya menolaknya.

Kabar baik itu akhirnya datang kemarin. Hari ketika presiden ketujuh Indonesia dilantik. Bentang Pustaka akhirnya merilis e-book berjudul Selamat Datang Presiden Jokowi yang bisa diunduh dengan bebas.

Ada banyak penulis lain yang ikut dalam penulisan buku ini. Beberapa sudah saya kenal namanya. Bahkan saya mengidolakan mereka. Agus Mulyadi, Mas Ari Perdana, Eka Kurniawan, hingga Mas Puthut EA. Sebagian besar tulisan di di buku ini bercita rasa personal. Tentu, karena awalnya, kebanyakan tulisan ini dimuat di blog pribadi. Justru karena itu, harapan pada presiden baru jadi lebih terasa. Soalnya yang menulis ya rakyat-rakyat biasa, yang memilihnya dan menaruh harapan besar pada pundaknya.

Singkat kata, selamat bekerja Pak Jokowi dan Pak Jusuf Kalla!

Post-scriptum: bukunya bisa diunduh di sini

Kamis, 09 Oktober 2014

Komitmen oh Komitmen

Jadi orang konsisten menjalani komitmen itu susah. Pasalnya, tak ada yang abadi selain perubahan. Kamu bisa saja berjanji A pada hari ini, dan setahun kemudian kamu akan berubah.

Saya? Kadang, komitmen saya hanya bisa bertahan sehari.

Beberapa tahun silam saya pernah berkomitmen tak akan makan malam. Alasannya apa lagi kalau bukan mengurangi berat badan yang sudah berlebihan. Kawan yang mau ikut sumpah palapa ini adalah Panjul. 

"Oke, malem gak usah makan nasi ya?"

Saya mengangguk tegas. 

Siang diucapkan, malamnya kami berdua sudah duduk nangkring di burjo sembari makan bubur kacang hijau. Esok malamnya, selepas adzan Isya berkumandang di Nologaten, kami berdua sudah lahap menyantap nasi campur di Burjo.

"Lapar jeh," kata Panjul berusaha memaklumi kami berdua yang begitu mudahnya melupakan janji. Saya mendukungnya dengan menganggukkan kepala dan mengacungkan jempol.

Itu bukan satu-satunya komitmen yang saya langgar.

Pernah saya berkomitmen untuk ikut fitnes. Alasannya hampir sama: mengurangi berat badan. Partnernya masih sama: si bodoh Panjul.

Maka kami berdua dengan yakin mendatangi sebuah fitness centre di bilangan Seturan. Kami mendaftar dan membayar Rp 90 ribu untuk biaya fitness sebulan.

"Kita harus rutin fitness nih. Sayang duitnya euy," kata saya.

Panjul mengiyakan dengan tegas.

Datanglah hari untuk fitness. Sang instruktur, dengan mata menatap sinis dan iba pada perut kami, dengan telaten mengajari kami memakai alat fitness satu per satu.

Kami berdua pun mulai mencoba  berbagai alat yang macam karya seni instalasi itu. Tak terasa hampir 30 menit kami coba alat-alat itu.

"Jancuk, capek ya cuk. Badan sakit semua 'e," kata Panjul pada saya.

Saya cuma mengeluhkan hal yang sama sembari memijit betis dan paha yang linu dan cenut-cenut.

Beberapa puluh hari setelah fitness pertama, kami ingin mencoba fitness lagi. Si mbak front office dengan tenang menyahut, "Wah ini sudah habis satu bulan. Harus bayar lagi," katanya.

Saya dan Panjul cuma bisa saling tatap. Lalu kompak menjawab, "Iya mbak, ambil duit dulu ya."

Kami tak pernah kembali lagi ke tempat fitness terkutuk itu. Malam itu kami pungkasi dengan menyantap gudeg ceker dengan santan yang mlekoh. Selamat tinggal perut rata.

Ya, semudah itu saja kami mengingkari komitmen.

Setelah itu tak terhitung saya membuat komitmen dan berhenti di tengah jalan. Kalau di serial Friends, saya sudah macam Joey Tribbiani. "I am Tribbiani, I am quit."

Saya pernah komitmen lari tiga kali seminggu. Tak makan nasi selepas jam 9 malam. Membaca buku tiap hari. Hingga mengurangi bermain ponsel pintar. Semua itu berhenti di tengah jalan.

Membuat komitmen itu memang tak mudah. Komitmen itu hanya bisa dijalani oleh orang-orang yang teguh. Orang-orang terpilih. Karena itu saya mengangkat topi pada orang macam mereka, yang menjalani komitmen mereka dengan penuh seluruh.

Sore ini, saya membuat komitmen lagi: mengurangi makan nasi. Sebagai asupan karbohidrat, saya akan mulai menyantap umbi-umbian atau jagung. Ini gara-gara saya membaca beberapa literatur tentang pangan.

Dari artikel itu saya tahu, masyarakat kita sudah kecanduan nasi. Tingkat konsumsi beras di Indonesia termasuk paling tinggi di dunia, mencapai 139,15 kilogram per kapita. 

Sebagai perbandingan, Jepang, negara di Asia yang juga mengkonsumsi nasi sebagai makanan pokok, berhasil menekan angka ketergantungan pada beras, hingga hanya mencapai 58 kilogram per kapita per tahun. Ini karena Jepang sudah mulai mengenalkan makanan pokok alternatif sedari dini. 

Padahal dulu kita pernah mempunyai banyak pangan lokal non beras sebagai makanan pokok. Mulai sagu, jagung, hingga ketela dan ubi. Akibat dari kecanduan nasi ini bisa panjang dan berbahaya. Salah satunya adalah kebutuhan beras yang teramat tinggi, sedangkan produksi beras dalam negeri semakin menurun. 

Akhirnya kita harus impor beras dari negara lain untuk memenuhi kebutuhan beras di dalam negeri. Tahun lalu, negara ini mengimpor 472 ribu ton beras dari luar negeri. 

Rani mendukung komitmen saya untuk mengonsumsi umbi-umbian. "Aku cubit perutmu kalau makan nasi," katanya kejam.

Oh ya, Indonesia ini penghasil singkong terbesar ketiga di dunia lho. Setiap tahunnya, produksinya sebesar 23,7 ton.

Mari dilihat berapa lama saya bisa menjalani komitmen ini. Hup! []

Post-scriptum: Ini gak ada hubungannya dengan komitmen hubungan cinta lho ya, itu soal yang berbeda :p

Jumat, 03 Oktober 2014

Sebuah Senandung Pendustaan

Beberapa hari lalu, saya membaca sebuah kabar sendu. Sinar Syamsi, anak M. Arief --pencipta lagu "Genjer-genjer", hidupnya masih menderita. Ia berkali-kali di PHK, hingga terpaksa tinggal berjauhan dengan anak istri. Semua hanya karena ia anak M. Arief, pencipta lagu yang dianggap sebagai lagu kebangsaan PKI. Berita sedih itu bisa dibaca di sini

Membaca berita itu, saya jadi ingat pernah ke Banyuwangi di akhir tahun 2010. Saya mewawancara Andang CY, seorang budayawan Banyuwangi yang pernah dipenjara bareng M. Arief. Kami berdua berbincang cukup lama soal Lekra, lagu "Genjer-genjer", kehidupan M. Arief, hingga mencekamnya Banyuwangi kala peristiwa 1965 terjadi.

Obrolan itu saya jadikan bahan tulisan untuk sebuah lomba tentang tragedi 1965. Tulisan itu saya unggah lagi di blog ini. Untuk menghormati M. Arief, sanak keluarganya, juga para korban tragedi berdarah itu. Semoga tak ada lagi peristiwa menyedihkan macam ini lagi.

***

Pria tua berkacamata itu duduk di sofa rumahnya yang sejuk. Kacamata yang digunakannya tampak memantulkan apa yang ia ingat dan ia kenang. Sebuah sejarah dimana kebenaran dan keadilan seakan tak ada artinya.

Pria berambut putih itu adalah Andang CY, seorang budayawan Banyuwangi. Hampir sebagian besar kisah hidupnya tercatat di Banyuwangi. Termasuk kisah hidup yang ia lewatkan bersama M. Arief, sang pencipta lagu "Genjer-genjer" yang fenomenal itu.

Bersama Arief, Andang muda yang saat itu menjadi salah satu anggota Lekra disel di Penjara Lowokwaru selama 106 hari tanpa melalui proses pengadilan sebelumnya. Setelah itu ia dipindahkan ke Banyuwangi. Namun tidak halnya dengan Arief. Menurut pengakuan aparat, Arief dipindahkan ke lapas di Sukabumi. Namun kenyataan tidak berbicara demikian.

"Ia 'diselesaikan' ," kata Andang pada saya, lirih. Diselesaikan adalah istilah yang ia pakai untuk menyebut dibunuh. Hingga sekarang, mayat maupun kuburan M. Arief tidak pernah ditemukan.

Andang dan Arief hanyalah dua dari jutaan orang yang menjadi korban pendustaan sejarah.

***

Sejarah membuktikan bahwa lagu adalah salah satu medium perlawanan dan kritik yang paling ampuh. Hardeep Phull menuliskan dalam bukunya yang fenomenal, A Reference Guide to the 50 Songs That Changed the 20th Century, bahwa ternyata protes dan kritik sosial dalam lagu bisa turut peran mengubah sejarah. Mulai dari lagu “We Shall Overcome”, “Revolution”, “War Pigs”, hingga lagu “You Gotta Fight for Your Right”.

Sayang, Hardeep tidak memperluas observasinya hingga ke daratan Asia. Kalau saja ia memperlebar jangkauan pengamatan hingga Asia, maka bisa jadi ia akan memasukkan “Genjer-genjer” sebagai salah satu dari 50 lagu tersebut. Lagu itu bukanlah sekedar lagu. Ia memuat kepentingan politik dan propaganda di dalamnya. Begitu dahsyatnya pengaruh lagu itu, bahkan hingga sekarang "Genjer-genjer" masih membawa stempel komunis.

Genjer dan Komunisme

Genjer adalah sejenis tumbuhan yang lazim digunakan sebagai makanan ternak. Namun pada jaman penjajahan Jepang, para rakyat yang kelaparan akhirnya memetik genjer untuk kemudian dijadikan makanan. 

Fenomena itu akhirnya ditangkap oleh Arief, seorang seniman Using yang kelak bergabung dengan Lekra, dan dijadikan lagu berbahasa Using berjudul "Genjer-genjer". Arief menciptakan lagu ini pada tahun 1942.

"Genjer-genjer" menjadi populer ketika dinyanyikan ulang oleh Bing Slamet dan Lilis Suryani pada tahun 1962. Kepopuleran lagu ini lantas dimanfaatkan oleh Partai Komunis Indonesia untuk berkampanye. Lagu yang menggambarkan penderitaan masyarakat desa ini lantas kembali populer di kalangan akar rumput. Begitu lekatnya lagu ini dengan PKI, maka stempel sebagai lagu komunis pun melekat.

Ketika peristiwa G 30 S terjadi, lirik lagu itu diplesetkan. Kalimat genjer-genjer diganti dengan jenderal-jenderal. Seiring dengan pembelokan sejarah yang terjadi pada peristiwa G 30 S, lagu ini pun turut menjadi korbannya. Lagu ini dianggap sebagai lagu yang mengiringi orang-orang PKI membantai para jenderal di Lubang Buaya. 

Saat itu beberapa media seperti Angkatan Bersendjata dan Berita Yudha, menulis bahwa PKI membantai para jenderal dengan sadis. Ada yang dicongkel matanya, wajahnya disilet, hingga kemaluan yang dipotong. Lalu ada bumbu para Gerwani yang menari telanjang –yang disebut tarian Harum Bunga—sembari menyanyikan lagu Genjer-genjer.

Propaganda akan kesadisan yang dilakukan PKI membuat rakyat Indonesia marah. Maka terjadilah sejarah kelam dalam buku besar bernama Indonesia: pembantaian anggota PKI. Tercatat 1 hinga 1,5 juta orang yang dianggap berafiliasi dengan PKI dibunuh. Dalam artikel berjudul Exit Soeharto: Obituary for a Mediocre Tyrant, Ben Anderson, seorang Indonesianis, mengutip perkataan Sarwo Edhi Wibowo, mengatakan bahwa korban pembantaian mencapai 3 juta orang.


Propaganda politik itu lantas diperkuat dengan adanya film “Pengkhianatan G 30/S PKI” (1984) yang disutradarai oleh Arifin C. Noer. Film itu lantas wajib ditayangkan di televisi pada tiap malam 30 September. Film ini kemudian berhenti tayang sejak 1998.

Saya masih ingat betapa mengerikannya Gerwani dan para pasukan komunis yang menyanyikan lagu itu dalam film G 30/S PKI. Saya yang saat itu masih duduk di bangku SD bergidik ngeri ketika salah seorang dari Gerwani itu sembari memegang silet, berkata "Darah itu merah Jenderal!" lantas menyilet muka sang jenderal. Darah bercucuran. Sementara di luar para Gerwani dan konco-konconya terus menyanyikan lagu "Genjer-genjer" dengan ekspresi muka yang membuat berdiri bulu roma. 

Bagi seorang  anak SD yang begitu mudah dibohongi dan menganggap dunia itu hanya hitam dan putih, tentu saja cerita itu sungguh mengerikan. Tertanam dalam pikiran bahwa PKI itu kumpulan manusia paling biadab. Pula, komunis itu anti terhadap tuhan. 

Saat itu saya dan juga jutaan orang Indonesia lain tidak sadar bahwa kami adalah korban pendustaan sejarah. Sebuah kebohongan besar yang dirancang dengan sistematis dan berskala gigantis.


Sejarah dan Apa Yang Terhampar di Depan

Setelah Orde Baru tumbang, maka perlahan luka lama yang tertutup kembali dibuka. Perih memang, tapi perlu agar luka tak terus bernanah. Sayangnya, pembeberan fakta dan sejarah sebagian besar hanya berkisar pada tatanan politis. Orang banyak berbincang tentang hal besar. Hal kecil, macam lagu, jadi seperti diabaikan.

Hingga sekarang, nyaris nihil pelurusan sejarah tentang lagu "Genjer-genjer". Sampai sekarang lagu itu dianggap sebagai lagu subversif, lagu para komunis. 

Rudolf Dethu, seorang propagandis rock n roll asal Bali pernah didatangi aparat karena memutarkan lagu “Genjer-genjer” di The Block Rockin' Beats, sebuah acara radio alternatif yang ia asuh.Hal itu menunjukkan bahwa hingga sekarang, "Genjer-genjer" masih dianggap sebagai lagu yang berbahaya bagi stabilitas nasional.

"Saya mendapat teguran dari aparat karena menayangkan lagu 'Genjer-genjer' pada saat eksebisinya Adib Hidayat (jurnalis majalah Rolling Stone Indonesia). Biasalah, disuruh hati-hati karena bisa dianggap pro-PKI, subversif. Hari gini?" seloroh Dethu yang bernama asli Putu Wirata Wismaya ini.

"Genjer-genjer" memang hanya sekeping kecil dari mozaik besar pemberontakan PKI tahun 1965. Namun meskipun kecil, ia tetaplah satu kesatuan dari keping besar. Kalau yang kecil hilang, maka kepingan besar tak akan lengkap. Sudah seharusnya, agar kepingan mozaik itu lengkap, sejarah akan lagu "Genjer-genjer" dikenalkan pada khalayak ramai.

Genjer-genjer yang pernah berjaya pada masa lalu memiliki kesempatan untuk kembali populer. Mengusung tema kerakyatan, lagu ini sepertinya tak akan usang dimakan jaman. Lalu yang perlu diingat adalah musik memiliki kekuatan untuk menarik atensi masyarakat. Musik merupakan salah satu media yang paling tepat untuk belajar sejarah. 

Ketimbang belajar di buku sejarah yang seringkali membuat ngantuk, musik memiliki kesempatan besar untuk mengajarkan sejarah pada anak muda. Saya berpikir, kenapa para anak muda yang menaruh minat pada musik tidak mengaransemen kembali Genjer-genjer? Saya pikir, pengenalan lagu bersejarah ini dan sejarah yang mengiringinya perlu dilakukan, terutama oleh para anak muda yang memang seharusnya melek sejarah.

Pemerintah  harusnya menggalakkan pelurusan sejarah. Pelurusan itu jelas membutuhkan waktu yang tak sebentar. Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata juga seharusnya bekerja sama dengan Kementrian Pendidikan Nasional untuk menuliskan sejarah yang benar mengenai lagu "Genjer-genjer". 

Bentuk kerjasama mereka bisa diwujudkan dalam buku sejarah. Buku sejarah terbukti bisa menanamkan doktrin yang sangat kuat, sama seperti ketika saya membaca bahwa PKI itu adalah kumpulan manusia biadab yang anti tuhan semasa SD dulu. Sayang, sepertinya masih belum ada langkah untuk menuju kesana.

Saya pikir memang sudah saatnya Genjer-genjer dimasukkan ke dalam buku sejarah, dimana harus diujarkan bahwa Genjer-genjer adalah sebuah lagu rakyat. Sebuah lagu kritik sosial yang lantas didustakan menjadi sebuah senandung lagu kematian []

Rabu, 01 Oktober 2014

Sudah Lama Saya Tak Semarah Ini

Saya masih ingat momen yang menyakitkan itu. Padahal sudah sembilan tahun berselang. 

Seorang kawan lupa membawa foto kopi materi kuliah. Sang dosen marah melihatnya. Lalu meluncurlah kata-kata yang tak terduga itu. "Kalau miskin gak usah kuliah. Gak sanggup foto kopi." Ia lalu terus mencerocos dengan kata-kata hinaan lain. Saya sudah tak sempat mengingatnya. Hanya bisa melihat kawan saya.

Kawan saya untungnya orang yang santai. Ia cuma cengengesan saja. Saya, entah kenapa masih mengingatnya hingga sekarang. Kenangan pahit itu berusaha saya kubur. Tapi sialnya, kelam ingatan itu kembali terbongkar hari ini. Dosen yang sama kembali memaki seorang mahasiswa dengan tema yang sama: kemiskinan.

Saya mendadak marah. Mata saya panas. Dan tanpa saya sadar, mata itu sudah berkaca-kaca. Ingin nangis. Bangsat sekali. Benar apa kata orang bijak: janggut lebat, dahi hitam, tak menjamin ke-Islaman seseorang. Ia memburu surga. Tapi alpa satu hal: manusia itu harus menjalani dengan baik hablu minallah dan hablu minannas. Hubungan dengan tuhan dan hubungan dengan manusia. Kalau ia merasa hubungan dengan tuhan baik, tapi apa guna kalau tak ada hubungan baik dengan sesama manusia?

Apakah semua doa yang ia panjatkan akan diterima tuhan? Padahal dengan enteng saja ia berserapah dan menghina manusia lain?

Saya berdoa semoga mahasiswa yang dimaki itu tak melontarkan sumpah serapah. Niscaya doanya akan terkabul. Dan kau pak, akan merana seumur hidup kalau doa anak itu dijabah.

Sudah lama saya tak merasa semarah ini. []

Selasa, 30 September 2014

Kisah Manusia dari Tabula Rasa



Kemarin malam akhirnya saya bisa menonton Tabula Rasa. Film ini sudah menarik rasa penasaran saya kala trailernya berseliweran di linimasa Twitter beberapa waktu lalu. Jarang ada film Indonesia yang berkisah tentang kuliner. Seingat saya baru Brownies yang melakukannya. Itu pun lebih banyak berkisah tentang drama cinta.

Tapi Tabula Rasa berbeda. Dalam trailernya, jelas kalau film ini berkisah tentang kuliner Minang. Dan kala sebuah film mengangkat kuliner sebagai tema sentral, maka mustahil untuk abai terhadap kisah manusianya. Karena film tentang makanan pasti berkisah tentang manusia. Makanan, gastronomi, adalah karya adiluhung manusia.

Di belahan dunia lain, ada banyak film luar biasa bagus mengenai kuliner. Mulai Big Night, Tampopo, Eat Man Drink Woman, Soul Kitchen, The God of Cookery, Tonight's Special, Mostly Martha, hingga Jadoo King of Curry. Semua selalu berkisah soal manusia. Kisah makanan ini juga menerabas genre film. Komedi ada. Drama ada. Thriller juga ada.

Makanya sangat disayangkan kalau di Indonesia belum ada film bagus soal makanan. Padahal siapa yang bisa menyangkal keberagaman kuliner di Indonesia? 

Keberagaman juga menjadi benang merah yang menjalin cerita Tabula Rasa. Film besutan Adriyanto Dewo ini mengisahkan tentang Hans, seorang pemuda asal Serui, Papua, yang punya bakat dalam sepak bola. Suatu hari ia diundang untuk bermain di sebuah klub bola asal Jakarta. Ia pun memutuskan untuk berangkat ke ibu kota. Tapi di sana semua mimpi Hans hancur lebur. Kakinya patah. Klub tak mau bertanggung jawab. 

"Mereka membuang saya seperti sampah," katanya.

Hans pun jadi gelandangan. Mengumpulkan ceceran beras untuk ditukar dengan uang receh. Hanya cukup untuk beli tempe goreng. Hans kumel. Jarang mandi. Bajunya sobek-sobek. Suatu hari Hans berniat bunuh diri. Tapi ia terpeleset dan jatuh pingsan. Lantas ia ditemukan oleh Mak, seorang pemilik lapau Padang bernama Takana Juo.

Sejak itu jalan hidup Hans berubah. Ia bertemu dengan Uda Parmanto, juru masak Takana Juo; dan Natsir, pelayan Takana Juo. Di pertengahan kisah, Hans mulai belajar memasak masakan Padang. Mak dengan senang hati mengajari resep andalannya. Mulai dendeng batokok hingga gulai kepala ikan.

"Masak gulai kepala ikan ini seperti ziarah bagi Mak. Hans janji ya, kalau masak gulai kepala ikan juga harus menganggap ini sebagai ziarah," kata Mak pada Hans yang berdiri dan menyimak dengan takzim.

Menyaksikan Tabula Rasa juga menyaksikan kisah manusia. Betapa rasa itu universal. Makanan bisa menyatukan manusia. Tak peduli rasmu. Tak peduli apa agamamu. Makanan enak yang dimasak dengan cinta, bisa membuatmu tergugah. Seperti misalkan kala Hans pertama kali mencicipi gulai kepala ikan yang sama sekali asing baginya. 

Saya puas menonton film ini, terlepas dari beberapa kekurangan teknis yang wajar belaka. Saya seperti diajak masuk ke dalam pasar oleh Mak. Diajari cara mengulek bumbu. Bagaimana memasak dan memperlakukan makanan. Mak seperti guru yang sangat baik, yang mengajari para penonton betapa pentingnya perhatian kecil pada makanan.

"Mahal sedikit tak apa lah, asal lamak (enak)."

"Lidah orang Minang itu nomer satu."

"Masak rendang itu harus sabar."

"Bisa pakai kompor gas, tapi hasilnya tak akan seenak kalau memakai kayu bakar."

"Bawang impor ini lebih murah, tapi rasanya hambar. Bawang lokal ini lebih mahal, dan rasanya lebih tajam."

"Kamu bingung kenapa bawang lokal lebih mahal ketimbang impor? Sama, Mak juga bingung."

Penampilan Jimmy Kobogau juga sangat menghibur. Ia polos. Lucu. Celetukannya berulang kali membuat saya tertawa keras. Ramdan Setia yang berperan sebagai Natsir juga tampil lugas, jadi partner yang seimbang bagi Jimmy. Mereka berdua acap terlibat percakapan yang memancing gelak.

Belum lagi adegan memasak yang sukses membuat cacing di perut memainkan orkestra keroncong. Adegan paling sadis ya kala Mak membakar daging dendeng batokok. Dendeng yang berwarna cokelat pucat dengan aksen hitam hasil panggangan itu lantas diguyur lado hijau, alias sambal cabai hijau.

Biadaaaaabbbb!

Malangnya, film ini sepertinya kurang ramai penonton. Bisa jadi karena nyaris nihil bintang film terkenal. Tak ada nama yang familiar bagi penonton, terutama yang berusia muda. Jelas kalah jauh jika dibandingkan dengan film yang dirilis dalam waktu berdekatan dan bertabur nama bintang terkenal, seperti Haji Backpacker misalnya. Padahal dari segi tema dan cerita, Tabula Rasa jauh lebih unggul.

Kemarin malam, pemutaran hari keempat, film ini hanya ditonton oleh 13 orang saja, termasuk saya dan Rani. Saya sengaja menghitungnya. Sayang sekali. Padahal film ini bagus.

Jadi saran saya: kalau film ini masih ada di bioskop terdekat dari tempat kalian, segeralah menonton. Sebelum film ini turun layar karena sepi penonton. []

Senin, 29 September 2014

Nonton Ari dan Reda



Akhirnya bisa melihat Ari dan Reda manggung. Ada masa-masa dimana lagu mereka, musikalisasi puisi Sapardi Djoko Damono, mengalun terus-terusan di ruang redaksi Tegalboto.

Duo yang dibentuk di kampus UI ini sudah berubah banyak sepertinya. Saya selalu membayangkan Reda adalah perempuan berambut panjang. Entah kenapa. Ini bayangan ngawur saya saja. Ternyata rambut Reda pendek. Dengan kacamata dan pakaian kasual yang membuatnya tampak santai. 

Sedang Ari, saya sudah pernah lihat fotonya. Rambutnya agak panjang dan berombak. Ternyata Sabtu malam itu, rambutnya sudah pendek. Ia tampak lebih rapi dengan kemeja denim.

Selain anak-anak muda yang memadati Coffeewar malam itu, ada beberapa lelaki perempuan paruh baya. Dari percakapan mereka, tampaknya Ari dan Reda adalah kawan mereka sedari kuliah dulu. Nostalgia jadinya. Hehehe.

Sayang Coffeewar tak sanggup menampung luberan penonton. Banyak yang akhirnya berdiri di luar. Termasuk saya dan Rani. Tapi kami lumayan menikmati pertunjukan syahdu itu. Lampu remang. Suara musik mengalun lembut. Asoy bener. Sayang beberapa kali motor dengan knalpot berisik lewat dan memecah kesyahduan malam itu.

Oh ya, parkir malam itu Rp 5.000. Edan ya? Padahal beberapa kali saya nonton acara musik di Coffeewar tak pernah semahal itu. 

Ah, semoga saya dan Rani bisa menonton Ari dan Reda lagi di tempat yang lebih besar, lapang, dan tenang. []

Jumat, 26 September 2014

Pergilah dengan Tenang

Foto terakhir saya di Kansas. Waktu yudisium, 2011.


Di pojokan kampus, ada sebuah ruangan kecil yang nyaris tak pernah sepi. Kami, para mahasiswa Fakultas Sastra, menyebutnya sebagai Kansas. Kantin Sastra. Sepertinya julukan ini melekat hampir di semua kantin Fakultas Sastra, di seluruh Indonesia. 

Kansas kami kecil saja. Cuma ada beberapa bangku saja. Karena itu ada meja dan bangku di halaman luar. Saya biasanya lebih suka di luar. Adem. Banyak pohon. Hanya ada satu orang yang berjualan. Kami semua memanggilnya Ibuk. Dia berjualan makanan rumahan. Juga aneka kopi. Kadang ada gorengan dan kue.

Kalau ada kuliah pagi, saya selalu mampir ke Kansas. Beli secangkir Energen. Menunggu jam kuliah datang.

Sebenarnya tak ada yang spesial dari Kansas kami. Tak ada kursi yang cozy. Tiada sambungan internet nirkabel. Apalagi pendingin udara. Yang berjualan pun hanya satu orang saja. Jelas kalah dibandingkan dengan kantin fakultas lain.

Tapi yang membedakan Kansas dengan kantin lain adalah: hanya di Kansas dosen dan mahasiswa ngopi bareng. Tanpa sekat. Tanpa perbedaan status. Tak ada kantin kampus yang bisa begini. Tak heran, banyak kawan-kawan saya dari fakultas lain kaget begitu mengetahui Pak Ayu Sutarto, Guru Besar Universitas, ngopi dan gojekan dengan para mahasiswa atau dosen lain. Pak Ikhwan, dosen muda kebanggaan kampus pun hampir tiap hari nongkrong dengan para mahasiswa di Kansas.

Ini yang selalu kami banggakan. Banyak mahasiswa dari kampus lain ikut ngopi di Kansas. Ya untuk sekedar merasakan atmosfer sonder sekat antara dosen dan mahasiswa. Karena dosen dan mahasiswa ini acap berdiskusi serius, malah kadang berdebat. Semacam kuliah informal.

Sayang, kabar buruk datang beberapa waktu lalu: Kansas ditutup. Ini kabar sedih kedua setelah Panggung Terbuka dibongkar waktu saya kuliah dulu.

Banyak yang heran kenapa Kansas ditutup. Saddam, kawan saya yang juga punggawa Pers Kampus Sastra, Ideas, sampai menulis surat terbuka kepada Pembantu Dekan II. Menanyakan kenapa Kansas harus ditutup.

Tak ketinggalan, para dosen pun juga menulis kritik. Tapi tak ada tanggapan sama sekali. Hingga akhirnya beberapa hari lalu situs Ideas menuliskan tanggapan Pembantu Dekan II.

Alasannya pun ultra klise dan bisa ditebak: harga terlalu mahal.

Prett!

Ini aneh sekali. Pertama, andaikan benar harga mahal, apa urusan Pembantu Dekan II? Yang bayar makanan ya para mahasiswa sendiri. Kedua, Kansas sudah ada sejak lama. Kalau memang alasannyanya adalah harga yang mahal, kenapa tak ditutup dari dulu?

Alasan lain: tempatnya terlalu kecil.

Prett lagi!

Lah, kalau misal si Pembantu Dekan II merasa Kansas terlalu kecil, kenapa tak diperbesar? Sungguh sebuah solusi bodoh jika ada ruangan yang terlalu kecil malah ditutup. Dari dulu, sejak orang mengenal peradaban dan bisa membangun sesuatu, hukum bangunan selalu tetap: kalau kecil ya diperbesar. 

Tentang alasan yang terkesan sangat mengada-ada ini, dosen yang saya kenal memberikan sedikit bocoran. Para penguasa kampus kami, merasa terganggu dengan dekatnya dosen dan mahasiswa yang sering berkumpul di Kansas. Insecure. Takut didemo. Takut didongkel dari tampuk kekuasaan. Penyakit penguasa memang selalu sama dimana-mana: paranoid!

Banyak orang yang kecewa dan marah dengan ditutupnya Kansas. Apalagi para alumnus. Kansas menyimpan banyak kenangan untuk mereka. Sangat banyak kenangan. 

Tapi ya mau gimana lagi. Kami sudah lulus. Sudah tak ada kuasa untuk protes. Paling ya cuma ngomel di tulisan, seperti ini. Atau mengenangnya dengan obrolan-obrolan nostalgia. Entah apa yang akan dilakukan para Mahasiswa Sastra terkait ditutupnya Kansas ini.

"Lha jangankan soal Kansas, soal akreditasi kampus yang tertunda para mahasiswa diem aja kok," kata Pak Ikhwan, dosen idola para mahasiswa.

Padahal Kansas tempat yang sangat penting sebagai tempat bertemunya mahasiswa dan dosen. Terkadang ada banyak yang bisa dipelajari di sini yang tak bisa didapat di kelas. Kapan lagi mahasiswa bisa ngobrol santai, tanpa jarak, dengan para dosen?

Ya semoga saja Kansas akan ada lagi. Entah kapan. Semoga saja...[]

Kamis, 25 September 2014

Dalam Bis

Saya pertama kali dengar nama Reda Gaudiamo kala ia melantunkan musikalisasi puisi Sapardi Djoko Damono. Ia bersama seorang penyanyi lain, Tatyana, mengajak rombongan maestro: Jubing dan Umar pada gitar; Budjel Dipuro meniup flute; Mark Willianto memainkan bass; dan Henri Lamiri menggesek biola. Album berjudul Gadis Kecil itu dirilis pada tahun 2005.

Mereka menggubah puisi Sapardi. Ditambahi musik. Jadi keren sekali. Puisi-puisi seperti "Hujan Bulan Juni", "Aku Ingin", "Sajak Kecil Tentang Cinta", hingga "Dalam Bis" jadi punya nuansa yang baru. Terbebas dari puisi. Menjelma jadi lagu yang indah.

Gadis Kecil diputar teramat sering di komputer sekretariat Tegalboto selama berminggu-minggu. Saat menulis. Membaca. Mengedit. Hingga menyelesaikan skripsi. Lagu Reda dan Tatyana mengalun sendu. Sejenak, Tegalboto jadi kalem. Lepas dari playlist brandalan.

Lagu favorit saya adalah "Dalam Bis". Permainan Jubing dan Umar begitu indah dan padu. Permainan gitar mereka seperti mengajak kita ngobrol. Belum lagi ditimpali suara Reda dan Tatyana yang memang empuk itu. Dan gesekan Henri, mantan pemain biola grup Arwana, mengalun dengan cantik dan elegan. Kalau mendengar lagu ini, juga membaca dan menirukan lariknya, kita bakal berasa jadi orang paling romantis sedunia.

Sebermula adalah kata
Baru perjalan dari kota ke kota
Demikian cepat, kita pun terperanjat
Waktu henti, ia tiada








Rabu, 24 September 2014

Setelah Yogyakarta...

Sejak Februari, saya terpaksa melambaikan tangan perpisahan dengan Yogyakarta. Kota yang saya tinggali selama kurang lebih 3 tahun itu memberikan banyak kenangan pahit dan manis. Saya bakal rindu kota yang selalu menyenangkan kala malam sudah menjemput itu. Angkringan. Konser keren gratis. Warung kopinya. Bakmi Jawa plus uritan. Hingga kawan-kawan baik yang masih banyak di sana.

Perpindahan saya jadi terasa lebih pahit karena yang menunggu adalah kota yang pernah saya benci. Teramat sangat. Jakarta.

Saya masih ingat kenangan tahun 2007 ketika pertama kali datang ke Jakarta. Naik kopaja yang masuk dalam gang sempit. Memencet klakson keras-keras supaya orang tak tergencet. Demi Toutatis!

Kota Jakarta, bagi saya, tak menjanjikan apapun kecuali kesengsaraan. Kota sonder romantisme. Menihilkan kemanusiaan. Macet panjang. Banjir. Kriminalitas. Semua yang kau butuhkan untuk latar cerita dystopian, bumi menjelang kiamat, ada di Jakarta.

Kenapa saya harus meninggalkan kota Yogyakarta yang gemah ripah loh jinawi, untuk pergi ke Jakarta yang bengis dan mengerikan?

Ceritanya saya diterima kerja di sebuah majalah baru, The Geo Times. Dua orang punggawanya adalah jurnalis senior yang saya kagumi: Farid Gaban dan Rusdi Mathari.

Mas Farid, saya mengenal namanya waktu ia berkeliling Indonesia dengan menggunakan sepeda motor. Setelahnya, saya asyik membaca banyak artikel dan esai buatannya. Buku Dor! Sarajevo yang ia tulis saat mengunjungi Sarajevo kala perang saudara, adalah karya jurnalistik yang mengagumkan. Masih relevan, penting, dan enak dibaca hingga sekarang.

Sedangkan Cak Rusdi, adalah wartawan senior yang sangat dikagumi karena keteguhannya memegang prinsip jurnalimse. "Jurnalistik, wartawan, itu bukan sekedar pekerjaan, Nuran. Itu seharusnya sudah mengalir dalam nadi," katanya pada saya suatu ketika. Akan sangat panjang kalau saya bercerita tentang pria gondrong asal Situbondo ini.

The Geo Times menjanjikan pada saya sebuah kesempatan belajar. Setahun terakhir saya di Yogyakarta, saya nyantri pada mas Puthut EA. Mendapatkan banyak pelajaran darinya. Itu mungkin salah satu fase hidup paling berharga dalam hidup saya. Dan saat ada kesempatan belajar yang lain, Mas Puthut menyilahkan saya untuk mengejarnya. Ia bahkan memberikan referensi soal saya pada Cak Rusdi.

"Tapi aku minta satu hal, Ran. Selesaikan kuliahmu, jangan ditinggal," kata Mas Puthut di malam saya pamitan untuk pergi ke Jakarta.

Saya mengangguk yakin.

***

Setelah menikah dengan Rani di bulan April, kami berdua tinggal di rusun Berlian Tebet. Ini pilihan yang masuk akal. Baik dari jarak tempuh ke tempat kerja, hingga harga.

Rani kerja di daerah Kuningan. Sedang kantor saya di Menteng. Secara geografis, Tebet adalah daerah yang paling dekat dengan kantor kami. Kalau ke Kuningan, Rani hanya perlu jalan sebentar lalu naik angkot 44. Cuma butuh 5 menit perjalanan saja. Sedangkan saya naik motor ke kantor cuma butuh waktu 10 hingga 15 menit.

Sayangnya, Tebet adalah daerah ramai. Termasuk daerah berkumpulnya anak muda. Ada banyak distro. Restoran. Kafe. Karena itu harga sewa bangunan mahal. Kami berdua sempat mendegut ludah kala melihat sebuah rumah petak kecil, suram, dan sedikit menyeramkan, disewakan dengan harga 29 juta/ tahun. Edan.

Kos juga bukan pilihan yang bijak. Kami ingin punya dapur. Jadi bisa masak sendiri agar lebih hemat. Setelah mencari-cari, akhirnya pilihan kami jatuh di rusun. Harganya hampir separuh kontrakan rumah petakan. 

Kami betah di rusun ini. Apalagi satu komplek dengan masjid. Jadi saya bisa lebih rajin beribadah. Prettt! Siksaannya cuma waktu air galon habis dan kami belum tahu jasa antar galon. Jadi saya harus naik tiga lantai sambil bawa galon yang beratnya biadab itu. Tapi sekarang sudah ada tukang antar galon. Jadi saya terhindar dari siksaan maha berat itu.

Tikus sih pasti ada. Besar-besar pula. Ukuran yang bisa membuat kucing pontang panting ketakutan. Satu dua kali ada tikus masuk ke rumah. Entah dari mana mereka masuk. Padahal semua pintu sudah ditutup rapat.

"Aku kemarin nangkap tikus. Gede banget. Seukuran telapak tangan," kata Rani suatu ketika, waktu saya sedang ada di Riau.

Karena sudah biasa lihat tikus, kami sering iseng memberi nama untuk hewan imut ini. Mulai Joni, Miki, sampai Eksel (versi Betawi dari Axl). Selo tenan cuk.

Dan sampai sekarang kami betah-betah saja tinggal di rusun Tebet. Banyak orang menyarankan kami untuk beli rumah di daerah Depok atau Bogor. Kami menggelengkan kepala dulu. Kami punya pertimbangan sendiri soal tempat tinggal.

Alasan pertama: beli rumah itu tak gampang. Kami masih harus mengumpulkan uang dulu untuk uang muka. Padahal sebagai pasangan baru, kami masih tertatih soal finansial. Membeli rumah jelas ada dalam bayangan kami. Itu wajib. Tapi tak sekarang.

Selain alasan itu, alasan utama kami menolak tinggal di Depok atau Bogor adalah: kami tak mau tua di jalan.

Depok ke Jakarta Selatan, ke kantor kami, bisa makan waktu 1 hingga 3 jam. Itu kalau naik bis di jam kantor. Kalau naik motor 1 jam. Naik kereta bisa lebih singkat, tapi dengan resiko tergencet dan jadi sarden dalam kaleng tua bernama KRL.

Belum lagi faktor kami masih suka nongkrong dengan kawan sepulang kantor. Kebetulan kawan-kawan kami kebanyakan berdomisili di Jakarta Selatan. Jadi kami sering janjian. Kadang kami ngopi sampai pagi. Seperti waktu saya ngopi bareng alumnus UKPKM Tegalboto sampai jam 1 pagi kapan hari. Kalau tinggal di Depok mana bisa janjian seperti itu?

Berdasarkan pertimbangan itu, kami akhirnya memutuskan tinggal dulu di Tebet sementara waktu. Ini tempat yang ideal.

***

Kantor kami berdua adalah kantor anomali. Apalagi kantor Rani.

Semua klien perusahaan teknologi informasi itu berasal dari Amerika Serikat. Saban hari mereka confrence call. Itu artinya, sebagai perusahaan penyedia jasa, kantor itu harus tunduk pada jam klien mereka yang selisih 11 jam.

Jadi Rani masuknya siang, malah sore. Pulangnya malam. Kalau sedang sibuk dan lembur, pulangnya kadang dini hari. Rekor Rani pulang adalah kala adzan Subuh memecah sunyi langit Tebet.

Saya sih tak keberatan sama sekali dengan jam kerja Rani. Santai saja. Malah kadang saya yang jemput dia di kantornya. Soalnya kantor saya juga selo. Saya biasa masuk siang, sekitar jam 11 atau jam 12. Walau mas Farid bertitah agar pekerjanya masuk kantor jam 10 pagi. Tapi bangun pagi rasanya sulit benar. Jadi saya masih masuk jam 11, atau malah jam 12 siang. Kantor saya juga tak ada masalah dengan jam kerja yang fleksibel itu. Asal pekerjaan selesai lah.

Tapi sejak sebulan ini, kantor Rani berubah. Semua karyawan, tanpa terkecuali, diwajibkan masuk pagi. Jam 9 harus ada di kantor. Pulangnya pun normal. Jam 7 malam sudah bisa pulang. Wah itu bencana. Sebab Rani harus melintasi jalan Jakarta yang sedang kejam-kejamnya. Itu siksa neraka dunia.

Sedang saya? Masih santai. Saat saya berangkat jam 11 siang, jalanan sudah sepi. Kala pulang, sekitar jam 9 atau 10 malam, jalan juga sudah lengang. Walau kadang masih ramai karena ada tawuran di sekitar Pasar Rumput atau Manggarai. Hehehe.

Tawuran di dua daerah itu sudah seperti hobi saja. Minggu lalu, tiga hari berturut-turut pecah tawuran. Sekali tawuran bisa tiga jam.

"Sampai bawa pick up segala Bang, kayak mau nonton bola aja," kata seorang tukang ojek di sekitar Pasar Rumput.

***

Orang zaman dulu selalu bilang: jangan berlebihan dalam membenci sesuatu. 

Saya terkena tulah akibat kebencian saya pada Jakarta. Saya 'dipaksa' untuk tinggal di kota yang pernah saya benci penuh seluruh. Dan ya, setelah tinggal di sini, saya belajar untuk mencari sisi romantis Jakarta.

Di kota besar macam Jakarta, yang romantis justru bisa didapatkan dari hal-hal kecil. Seperti menemukan buku langka di sebuah toko buku bekas. Atau makan masakan kampung halaman yang enak dan murah. Juga menghargai ulang pertemuan dengan kawan-kawan. Maklum, kota yang kencang berlari ini membuat bertemu dengan kawan itu susahnya minta ampun. Alasannya beragam. Mulai lembur kantor, jadwal yang bertumbukan, hingga gentar menembus macet.

Setelah tahu sela-sela manisnya kota Jakarta, kota ini jadi mirip kehidupan di komik-komik Mitsuru Adachi. 

Jadi, di sini lah saya sekarang. Mungkin saya dan Rani akan lama tinggal di kota terkutuk-namun-dicintai. Bisa juga cuma satu dua tahun saja. Lalu kemana lagi?

Entahlah... []

Jumat, 19 September 2014

Cerita Ajaib Dari Burhan

"Siap-siap lah bang. Bentar lagi kita off road," kata Burhan Lahai menyeringai.

Saya tersenyum kecut. Dua orang kawan perjalanan lain, Deni dan Iwan, cuma bisa diam. Tapi saya yakin mereka juga pasti deg-degan. 

Benar saja. Beberapa menit selepas jalan aspal terakhir, mobil Taft rongsok-namun-tangguh yang kami naiki sudah mulai bergoyang. Saya dan Iwan yang duduk di bangku tengah mulai tergoncang hebat. Tangan kiri Deni, yang duduk di samping Burhan, erat memegangi hand holder di atas jendela mobil. Burhan sendiri dengan tenang merokok sembari menyetir. Sambil sesekali berkisah ini dan itu. Medan di depan benar-benar tanah merah. 

"Kalau udah hujan, wah beraaaat," kata Burhan.

Untung sudah beberapa hari ini tak hujan sama sekali. Tanah kering. Di beberapa tempat sudah macam berkerak. Tapi tetap saja bukan jalan yang mudah dilalui.

"Berapa lama jalannya kayak gini?" tanya Iwan.

"Ya kira-kira 13 kilo lah bang," jawab Burhan santai.

Kami sama-sama tersenyum kecut. 13 kilometer kalau jalan beraspal, bisa ditempuh dengan singkat saja. Tapi kalau medan buruk macam ini, bisa-bisa 2 jam. Satu dua kali, mobil sudah miring. Macam mau terguling ke samping. Tapi untung tragedi komikal macam itu tak pernah terjadi.

Meski medan cukup menggiriskan, sebenarnya kami tak khawatir sama sekali. Burhan supir yang handal. Ia tipikal supir yang dibesarkan oleh kultur jalanan lintas Sumatera. Ingat: jangan pernah meragukan kemampuan supir yang ditempa di jalanan lintas Sumatera.

Burhan lihai ngebut. Seakan-akan kaki hanya menekan pedal gas. Ia juga mahir bermanuver. Truk-truk besar pengangkut sawit, juga truk yang membawa jeruk dari Medan, ia lewati dengan mudah. Tapi ia tak asal menyalip. Burhan selalu menyalip dengan penuh perhitungan.

Malam sebelumnya, mobil Taft yang kami tumpangi melaju kencang sekali di ruas lintas timur Sumatera. Jalannya naik turun. Tikungannya tajam. Burhan menyetir dengan tenang sembari merokok. Rokok kesukannya adalah Djarum Super. Kadang  A Mild. 

"Saya dulu pernah lewat sini, bawa truk sawit. Eh, truknya kebalik," kata Burhan sembari tertawa.

Jancuk. Maki saya dalam hati. Tapi saya tertawa juga.  Bayangkan, ia mengebut di jalanan yang gelap, dengan kontur jalan yang cukup ekstrim, malah ia bercerita pernah terbalik. Dengan nuansa bangga pula. Hahaha.

Tapi toh kami selamat juga.

Petang terakhir kami di Pematang Reba, mobil kami melaju lagi di medan yang ekstrim. Dan seperti biasa, Burhan bukan Burhan kalau tak mengebut. Tapi yang bikin saya lega, ia termasuk supir yang berhati-hati. Bukan mengebut yang serampangan. Ya paling tidak, saya berusaha meyakini itu.

"Di sini sering ada kecelakaan bang, banyak yang mati," celetuk Burhan tiba-tiba memecah sunyi.

Saya yang sudah terkantuk-kantuk di belakang mendadak terjaga. Mata saya langsung melek menatap jalanan yang mulai gelap.

"Pernah ada truk besar ngelindas motor, bang. Pas helm dibuka, eh tengkoraknya lepas," tambahnya.

Tak ada yang bereaksi. Cuma ada suara tape mobil yang memutarkan lagu "Kereta Malam" lagu favorit Burhan yang diputar terus-terusan. Seisi mobil cuma bisa terdiam sembari berharap hal mengerikan nan surealis macam itu tak terjadi pada kami.

Lagi-lagi kami selamat hari itu. 

Selain jago mengendarai mobil, Burhan juga punya banyak stok cerita ajaib. Yang membuat kita yakin kalau dunia nyata seringkali lebih ajaib ketimbang novel manapun. Selain pernah terbalik waktu mengebut dengan truk sawit; atau kisah tengkorak lepas dan tersangkut di helm; Burhan punya stok banyak cerita absurd nan eksentrik lain. 

Misalkan cerita saat kami berangkat ke dusun Sadan. Kami melewati desa kecil bernama Rantau Langsat. Ada banyak polisi siang itu. Juga ada police line yang tampak terang meski dilihat dari kejauhan. Ini tentu bukan hal lazim di sebuah desa terpencil. Kami semua bertanya-tanya. Tapi tak ada jawaban yang memuaskan. Dua hari kemudian, jawaban itu kami dapatkan. Dari siapa lagi kalau bukan dari Burhan.

"Jadi polisi kemarin itu bongkar kuburan bang," kata Burhan memulai cerita.

Saya terkesiap. Begitu juga Iwan dan Deni. Ini bakal jadi cerita ajaib, pikir saya. Burhan mendapatkan cerita ini dari keterangan polisi dan warga sekitar.

Jenazah itu seorang perempuan. Sebut saja ia Mawar. Masih muda. Katanya meninggal dibunuh kekasihnya, sebut saja Kumbang. Sekilas seperti kisah cinta biasa berujung kekerasan, yang biasa kita temukan di koran kriminal kota. Masalahnya adalah: sang kekasih itu adalah suami tante Mawar.

"Jadi si Kumbang itu, udah kawin sama si tante. Eh keponakannya diembat juga," kata Burhan sembari tertawa.

Mawar dikatakan mati bunuh diri. Tapi sang dokter yang memeriksa jenazahnya tak percaya. Ia menemukan tanda-tanda kekerasan pada jenazah Mawar. Tapi Mawar keburu dikubur oleh keluarganya. Setelah sang dokter menyampaikan kesaksian pada polisi, akhirnya kuburan dibongkar. Benar saja, Mawar memang mati dibunuh.

"Dan tau gak bang, ada dua botol kratingdaeng di dalam perut Mawar," kata Burhan.

Kami semua terkaget. Jancuk, benar-benar kematian yang aneh. Bagaimana caranya memasukkan botol kratingdaeng dalam perut? Ilmu hitam? Bisa jadi. Saya menggeleng heran. Cerita ini tak berhenti sampai di sana. Anak si Kumbang dan istrinya, alias tante Mawar, meninggal setelah kasus ini terbongkar. Padahal anak itu tak menderita sakit apapun. Tahu-tahu meninggal begitu saja. Tanpa tanda. Tanpa isyarat.

"Kayaknya sih ada balas dendam bang," lanjut Burhan lagi.

Kami semua terdiam. Heran. Betapa kadang nyawa manusia bisa begitu murah. Juga heran dengan kematian yang bisa datang dengan berbagai cara. Bahkan cara yang terkesan ajaib. Tentu tak ada orang yang membayangkan akan mati dengan dua botol kratingdaeng dalam perut.

Life is, indeed, stranger than fiction.

Mobil Taft kami terus melaju di jalan yang bergeronjal. Saya dan Iwan masih tergoncang-goncang di bangku tengah. Deni masih memegang hand holder dengan tangan kiri. Sementara Burhan masih terus menghisap rokok dan menyetir dengan tenang. Lagu "Kereta Malam" juga masih berkumandang dalam mobil kami.

Jug gijag gijug gijag gijug...[]

Rabu, 17 September 2014

Penjaga Harimau-harimau Terakhir




"Namanya Mul," kata Rahmad Wahyudi memulai ceritanya di sebuah sore yang damai di Pematang Reba, Riau.

Berdasarkan cerita masyarakat di sekitar Taman Nasional Bukit Tigapuluh, Mul berasal dari Palembang. Kerjanya masuk dan keluar hutan mencari burung langka. Terutama Murai. Karena itu, ia diburu oleh para polisi kehutanan. Sekali masuk, Mul bisa berminggu-minggu tinggal dalam hutan. Kalau perbekalan habis, atau butuh sesuatu, Mul akan turun di desa terdekat untuk belanja. 

"Nah saya dapat laporan dari warga sekitar, suatu hari Mul keluar dari hutan dan berhenti di desa. Pas saya ke sana, dia sudah hilang," kata Rahmad yang merupakan pimpinan Yayasan Penyelamatan dan Konservasi Harimau Sumatera (PKHS).

Mul memang licin macam belut. Mampu hilang dengan cepat macam angin. Yang bikin Rahmad dkk gregetan, Mul selalu meninggalkan jejak yang jadi macam ejekan kepada para awak PKHS maupun polisi hutan: coretan namanya di pohon. Mul sudah lama dianggap sebagai residivis rimba.

Menurut Rahmad, Mul punya reputasi mentereng sebagai pemburu murai hutan. Tiap ekor yang ditangkap, Mul mendapat Rp 1 juta. Biasanya, saat keluar hutan, Mul membawa hingga 10 ekor murai hutan. Dulu, banyak penangkap murai tak mau menangkap murai betina. Alasannya: murai betina akan bertelur dan menghasilkan murai baru. Sekarang, karena semakin banyaknya permintaan, murai betina pun turut ditangkap.

"Gara-gara itu, sekarang tiap saya masuk hutan, sudah jarang ada suara Murai. Dulu kan nyaring banget," kata Rahmad gemas.

Kelicinan Mul dan hilangnya berbagai satwa di Taman Nasional Bukit Tigapuluh hanya beberapa cerita saja yang dialami oleh para anggota PKHS.

Ini adalah lembaga nirlaba yang berfokus pada perlindungan dan konservasi harimau Sumatera. Lembaga ini resmi dibentuk pada tahun 2007. Sebenarnya lembaga ini adalah terusan dari lembaga Sumateran Tiger Project yang lantas berubah nama.

Penyandang dananya adalah Sumateran Tiger Trust yang bermarkas di Inggris. Namun sejak tahun 2012, PKHS mendapat hibah dari Tropical Forest Conservation Action Sumatera (TFCA Sumatera). Ini adalah skema pengalihan hutang untuk lingkungan antara Pemerintah Amerika Serikat dan Indonesia. Hibah ini adalah mekanisme untuk mengurangi hutang luar negeri bagi negara-negara yang punya kekayaan hutan tropis, termasuk Indonesia. PKHS dianggap sebagai salah satu lembaga yang secara konsisten melakukan restorasi dan perlindungan spesies.

Sejak mendapat tambahan dana hibah dari TFCA Sumatera, PKHS pun berlari semakin kencang. Salah satu kegiatan rutin mereka adalah pemantauan harimau Sumatera dalam jangka panjang. Cara yang selama ini dipakai adalah memasang camera trap, alias kamera jebakan, di pohon untuk memantau harimau Sumatera.

Memasang kamera ini bukan pekerjaan mudah. Terlbih dulu, para awak PKHS harus mengetahui lebih dulu jalur yang dilewati oleh harimau.

"Tahunya ya dari tanda sekunder. Mulai jejak kaki, sampai kotoran. Lalu menentukan kordinat. Dari sana kita bisa memperkirakan jalur yang dilewati harimau," kata Rahmad.

Setelah kamera dipasang, bukan berarti masalah selesai. Kamera yang dipasang oleh PKHS adalah kamera dengan tingkat sensitivitas gerak yang tinggi. Bahkan daun yang bergerak kena angin pun bisa otomatis terekam. Karena dianggap benda aneh, banyak orang lokal yang memandangi kamera ini lama-lama.

"Mereka merokok di depan kamera. Seharian. Dan itu kamera terus merekam," kata Rachmad sembari terbahak.

"Tapi yang paling lucu ya anak-anak dari Talang Mamak atau Anak Dalam. Mereka joget-joget di depan kamera. Tapi mereka gak pernah merusak kamera. Mereka hanya penasaran. Yang berusaha merusak itu biasanya pemburu ilegal."

Masalah klise lain adalah beratnya medan yang harus dilalui. Punggungan buki di Taman Nasional Bukit Tigapuluh memang kejam luar biasa. Ada yang menanjak nyaris 90 derajat. Lalu turun dengan tajam. Medan berat seperti ini rawan bikin rontok fisik maupun mental.

Burhan Lahai adalah salah satu awak PKHS yang pernah jalan dengan empat kaki. Alias merangkak, saking tak kuat menahan lelah.

"Dulu pas awal tes, saya sangat percaya diri," kata Burhan.

Lelaki berusia 24 tahun ini memang pantas percaya diri. Ia atletis. Maklum, pemain futsal antar kecamatan. Betisnya keras dan penuh otot. Fisiknya jelas bisa diandalkan. Apalagi waktu tes fisik untuk masuk PKHS, Burhan berhasil lolos dengan gemilang. Rasa percaya diri itu bertahan. Hingga akhirnya tiba misi pertama Burhan melakukan pemeriksaan kamera.

"Aduuuh, ampun mak. Gak mau lagi mak," kata Burhan menirukan erangannya waktu pertama kali naik bukit.

"Rasanya mau berhenti langsung waktu itu."

Tapi akhirnya Burhan bisa bertahan. Sekarang mantan supir truk pengangkut sawit ini sudah terbiasa dengan medan yang kejam. Ibaratnya, jalan dua-tiga bukit belum membuatnya berkeringat.

Pemeriksaan kamera adalah kegiatan rutin awak PKHS. Dalam pemeriksaan itu, mereka mengganti memori kamera, hingga mengecek pelindung kamera yang terbuat dari besi. Kamera ini tersebar di berbagai titik.

Sekali tim PKHS masuk hutan, mereka bisa bertahan seminggu, atau lebih. Mereka membawa perbekalan sendiri. Memasak sendiri. "Digigit lintah sudah biasa bang," kata Burhan.

Yang membuat mereka tersiksa adalah kehabisan air. Kalau masa sulit itu datang dan sungai tak kunjung ditemukan, mereka memotong akar pohon yang mengandung air. Kalau lebih apes tak dapat akar pohon, mereka terpaksa minum air dari kubangan.

"Air itu sebenarnya bersih di permukaannya. Ada seninya. Harus pelan-pelan ngambilnya. Kalau buru-buru, wah lumpurnya kecampur sama air," kata Burhan.

Yang paling ditunggu oleh tim patroli ini adalah penghujung hari. Waktunya mereka beristirahat. Memasak, makan, lalu tidur. Tempat tidur mereka beralas tanah dan beratap terpal. Mereka memang membuat tenda sederhana berbahan terpal. Tenda ini terbuka di bagian sampingnya. Kalau kena hujan air bisa tempias ke dalam.

"Yang paling gak enak ya kalau hujan ditambah angin. Enak-enak tidur, hujan. Eh dikasih angin kencang pula. Bubar semua," kata Burhan cengar-cengir. (Bersambung)