Minggu, 18 Desember 2011

Tikungan: Tak Harus Lurus

Menggerakkan kegiatan literasi di suatu daerah itu jelas bukan pekerjaan yang mudah. Hanya orang-orang dengan semangat tinggi dan pengabdian penuh seluruh lah yang bisa menggerakkan kegiatatan literasi. Dan beruntunglah saya punya kawan-kawan keren yang punya semangat tinggi untuk menggerakkan literasi di Jember. 

Iya, semenjak beberapa hari lalu, berdirilah sebuah kelompok literasi yang disebut dengan Kelompok Belajar Tikungan. Mengenai deskripsi, ini saya paste dari laman facebook mereka:

"Kelompok Belajar Tikungan: Tak Harus Lurus adalah kelompok yang memiliki cita ingin mempopulerkan budaya literasi di Kabupaten Jember.

Kelompok Belajar Tikungan memiliki 5 koordinator (1 koordinator utama dan 4 koordinator fitur) dan 1 kementerian yang bergerak beriringan dalam rangka menggapai cita tersebut:
- Koordinator Utama: M Irsyad Zaki
- Koordinator Rumah Baca: Nody Arizona
- Koordinator Diskusi dan Pelatihan: Arys Aditya.
- Koordinator Galeri: Halim Bahriz
- Koordinator Riset dan Penelitian: Fandy Ahmad.
- Menteri Keuangan: Como Bacomboy

Selain itu, Kelompok Belajar Tikungan juga memiliki kelompok studi yang dipilah-pilah sesuai minat dan pelukan dari para awaknya. Yaitu:

1. Studi Sastra dan Teologi, oleh M Irsyad Zaki.
2. Studi Seni dan Pertunjukan, oleh Halim Bahriz dan Rizky Yanuar Hidayat.
3. Studi Filsafat Politik, oleh Arys Aditya dan Igok Botonov.
4. Studi Kedaulatan Ekonomi, oleh Fandy Ahmad dan Nody Arizona.
5. Studi Linguistik dan Bahasa, oleh Syihabul Irfan.
6. Studi Perubahan Sosial, oleh Marlutfi Yoandinas dan Didik Saputra.
7. Studi Lingkungan Hidup, oleh Como Bacomboy dan Rizky Akbari Savitri.
"

Kelompok belajar Tikungan ini juga mempunyai sebuah rumah baca yang disebut dengan Rumah Baca Tikungan. Rumah baca ini diharapkan bisa menjadi sumbu bagi gerakan literasi di Jember. Mengenai rumah baca Tikungan, saya paste juga dari web mereka:

"Bermula dari percakapan-percakapan di warung kopi; saling berbagi informasi buku, saling pinjam buku dan lain-lain, muncul niatan untuk membuat sebuah rumah baca sederhana yang dapat diakses dengan mekanisme lebih terbuka dan leluasa. Niatan itu bertambah mantab ketika di sela-sela rehat Konsolidasi Nasional PPMI di Universitas Sunan Ampel, Surabaya, pada Junuari 2009, Eri Irawan, yang juga alumni Pers Mahasiswa Jember memberikan sejumlah masukan dan tawaran terkait pendirian rumah baca.

 Saat itu kebanyakan personal yang terlibat memang pengurus PPMI, sebagian jadi kuli di struktur nasional, sebagian lagi ada di struktur kota, ada pula yang merangkap keduanya. Karena itu niatan mendirikan rumah baca akhirnya dimasukkan ke dalam salah satu program PPMI Jember. Kebetulan pula, isu yang sedang digulirkan PPMI ialah soal pendidikan. Di Jember, selain turut mengawal BHP, juga ada usaha pembacaan ulang terhadap budaya literasi di Jember. Jadi pas. Rumah baca jadi semakin penting.

Koleksi buku pertama dikirim sendiri oleh Eri Irawan (dan masih berlajut hingga kini). Sejumlah buku yang ia kirim tampak merupakan koleksi pribadinya. Jumlahnya memang tak terlampau banyak, tetapi sudah lebih dari cukup untuk memulai. Sebuah rak sederhana lalu dibuat. Buku-buku mulai didata.

Seiring dengan bertambahnya koleksi buku, satu-satunya rak berukuran 4x2 meter itu mulai tidak kuat lagi menampung buku. Bagi mereka yang pernah berkunjung ke Rumah Baca Tikungan, yang sekaligus jadi sekretariat PPMI Jember  saat masih berada di Jln. Jawa VII No.36 B akan melihat pemandangan ini; buku-buku yang berserakan di mana-mana (semirip dengan baju-celana yang juga berserakan di mana-mana), koran dan majalah yang menumpuk tak karuan. Pada intinya: sama sekali tak terawat. Selain itu koleksi buku bukannya bertambah, namun malah berkurang.

Program-program rumah baca juga belum berjalan, hampir sepenuhnya. Beberapa program, seperti bedah buku bulanan baru bisa diselenggarakan pada tahun 2011. Sedangkan kondisi buku yang memperihatinkan itu baru bisa diatasi pada September 2011, setelah pindah ke tempat yang baru di Jln. Mangga V No.01. Ada 4 rak tambahan yang sudah memadai.

Pada proses sebelumnya, ada kesepahaman untuk memisah lebih tegas antara program PPMI Jember dan Rumah Baca Tikungan; antara PPMI dan Kelompok Tikungan. Tadinya memang sukar dipisah karena mereka yang bergiat di kedua lembaga tersebut merupakan orang-orang yang sama. Setelah sebagian besar personal rampung di PPMI, PPMI dan Kelompok Tikungan dipisah tegas. Tikungan menyusun ulang bangunan epistemik dan program-programnya sendiri, meskipun beberapa orang masih terlibat pada kedua lembaga tersebut.

Salah satu implikasi pemisahan ini segera terlihat ketika Halim Bahriz, yang bukan alumni Persma, melainkan alumni UKM Kesenian bergabung dengan Tikungan. Sebuah langkah maju, tentu saja, mengingat Tikungan mulai dikondisikan untuk dapat menyerap sumberdaya di luar Persma dan alumni Persma. Kehadiran Halim memberikan pengaruh bagus bagi keberlangsungan Tikungan dan rumah baca. Pada aspek intern, Tikungan mulai menyusun kerangka organis yang lebih luas dan solid, misalnya dengan membuat beberapa kelompok studi. Halim dipercayakan menjadi koordinator Kelompok Studi Seni Pertujukan. Pada aspek esktern, jejaring yang dimiliki Halim, terutama para penggiat kesenian di Jember juga segera menjadi jejaring Tikungan. Inilah yang membuat Tikungan kemudian dekat dengan pengiat kesenian.

Setelah Halim, lalu disusul Rizky Yanuar Hidayat, yang berasal dari lembaga kesenian yang sama dengan Halim. Selepas tunai tugasnya di UKMK Universitas Jember, Rizky juga bergabung dengan Tikungan. Arga Brahmanthya yang pernah jadi bagian dari Pencinta Alam di kampusnya juga turut bergabung.

Tak mudah mendirikan sebuah rumah baca yang memberikan garansi bahwa di dalamnya ada proses pertukaran gagasan, ada pencarian bersama dan sebagainya, yang tidak sekedar proses meminjam dan mengembalikan buku. Kiranya itulah yang membedakan rumah baca dengan, katakanlah perpustakaan universitas atau tempat penyewaaan komik dan novel. Buku-buku dicari bersama, dibaca bersama, diulas bersama, juga dirawat bersama: ke sanalah Rumah Baca Tikungan akan menuju, meski mungkin tak cepat. Dalam soal itu, pepatah klasik “sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit” menemukan kembali maknanya.

***

Karena rumah baca ini masih baru, koleksi bukunya jelas masih terbatas. Karena itu jika ada yang berbaik hati menyumbangkan buku, majalah, atau apapun itu yang sekiranya akan bermanfaat bagi gerakan literasi, ditunggu bantuannya :) Untuk laman facebook Tikungan, silahkan klik link ini. Untuk website Rumah Baca Tikungan, silahkan klik link ini.

4 komentar: