Selasa, 30 Desember 2014

27 and Life

Saya selalu berpikir kalau hidup saya akan berakhir di umur 27.

Atau setidaknya bunuh diri di umur 27.

Ternyata perkiraan yang saya buat saat masih berambut gondrong dan mengimani The Doors mati-matian, meleset total. Saya masih hidup hingga sekarang, beberapa hari setelah usia saya resmi 27. Saya belum mati. Pun, belum bernyali untuk bunuh diri. Mendadak saya jadi tertawa kecil mengingat kemauan saya dulu. Saya dulu ingin mati bunuh diri, seandainya saya tak mati di umur 27. Sekarang, keinginan itu terasa seperti mimpi lugu para remaja yang terlalu banyak menenggak LSD dan mendengar Janis Joplin.

Umur 27 saya sambut dengan biasa saja. Walau konon umur itu adalah umur keramat. Yang konon juga, akan menentukan jalan hidupmu kelak. Beberapa keputusan penting dalam hidupmu akan dibuat di umur 27. Katanya demikian.

Bagi saya, salah satu kepentingan penting dalam hidup sudah saya ambil beberapa bulan sebelum menginjak umur 27. Menikah. Iya, saya memutuskan untuk menikah 8 bulan sebelum umur 27. Sebelumnya, pindah ke Jakarta juga menjadi salah satu keputusan penting dalam hidup saya.

Semalam sebelum ulang tahun, Rani menanyakan saya mau kado apa. Jujur, saya bingung. Saya berasal dari keluarga yang tak begitu peduli dengan perayaan ulang tahun. Beberapa kali, saya lupa ulang tahun ayah, mamak, adik dan kakak, bahkan ulang tahun saya sendiri. Jadi ritual ulang tahun, atau menerima kado, bukan sesuatu yang sering saya alami.

Tapi Rani selalu membuat ulang tahun saya jadi istimewa. Beberapa jam sebelum jam 12 tiba, ia sudah mengucapkan selamat ulang tahun.

"Mau kado apa?"

"Hmm... gimana kalau gitar?"

Rani diam sejenak. Lalu menyahut. "Oke deh."

Saya terlonjak girang. Tak menyangka ia mengiyakan permintaan saya. Maklum, sebagai pengantin baru, tanggungan kami begitu banyak. Semua hal klise seperti bayar kontrakan, listrik, belanja bulanan, dan beberapa hutang lain. Beli gitar tentu bukanlah sebuah prioritas.

Tapi ternyata lidah dan muka saya cukup membuat Rani jadi terharu. Ia mengabulkan permintaan saya. Beberapa jam kemudian, ia terlihat menyesali keputusannya ini. Hahaha. 

Akhirnya, dua hari selepas ulang tahun, saya dan Rani pergi ke sebuah toko musik di bilangan Kebayoran Baru. Satu gitar berwarna natural saya pilih. Senyum saya terkembang lebar. Kepala Rani langsung pusing, cenat cenut memikirkan penataan ulang beban fiskal rumah tangga bulan ini. 

Gara-gara gitar itu, saya menemukan kembali kecintaan lama terhadap gitar. Rasa girang dan ingin mengulik lagu muncul lagi. Rasa senang itu sebenarnya diikuti oleh aduhan. Jari saya melepuh, karena lama tak pernah menekan senar gitar. Beberapa hari kemudian, ujung-ujung jari mulai mengapal. Rasa sakit mulai hilang.

Rumah jadi mendadak bising karena saya main gitar. Rani kadang ngomel, karena saya tak mengenal waktu. Jam 12 malam, saya pun sibuk genjrang genjreng. Terakhir, ia menyuruh saya mengamen di sepanjang Tebet, agar modal beli gitar bisa balik. Dasar istri tak solehah.

Soal gitar ini mungkin akan saya tulis di postingan yang lain.

Intinya, saya bersyukur saya tak jadi mati di umur 27 pas. Juga bersyukur saya tak punya nyali buat mengakhiri nyawa sendiri. Ternyata hidup menyenangkan. Memberi saya kejutan-kejutan baru. Saya yakin, akan ada banyak cerita dan kejutan lain yang menanti saya di simpangan-simpangan hidup berikutnya.

Tapi umur 27 juga memberi saya peringatan-peringatan kecil. Seperti sengatan-sengatan di bagian bahu selepas makan panganan kolesterol. Atau nafas yang sudah jadi pendek-pendek. Naik tangga dua lantai saja sudah macam lari maraton 15 kilometer. Sinyal kecil semacam itu mungkin muncul untuk memberi peringatan: kau tak bisa serampangan lagi dalam mengatur hidup!

Perihal hidup selepas 27 yang konon hanya menunda kekalahan, tak apa lah. Toh saya juga bukan orang yang menganggap hidup adalah perihal menang atau kalah. Menikmati hidup tampaknya lebih mengasyikkan ketimbang memikirkan menang atau kalah.

Jadi, umur, sampai jumpa tahun depan.[]

Kamis, 18 Desember 2014

Menyambut Moviemetalithicum


Ibarat motor, grup heavy metal asal Yogyakarta, Sangkakala, sekarang sedang menginjak gigi empat. Band yang digawangi oleh Baron Kapulet Araruna sebagai vokalis, Ikbal Lubys pada gitar, Rudy Atjeh pada bass dan Tatsoy pada drum ini sedang mempersiapkan perilisan DVD bertajuk Moviemetalithicum yang akan dirilis akhir Desember 2014.

"DVD ini berawal dari launching album Heavymetalithicum yang didukung oleh Mas Bandist Shaggy Dog," kata Baron Capulet, vokalis Sangkakala.

Untuk menyegarkan ingatan, grup band yang beranggotakan lulusan Institut Seni Indonesia Yogyakarta ini merilis album penuh pertama mereka, Heavymetalithicum, pada Desember tahun lalu.

Acara yang diadakan di Taman Budaya Yogyakarta ini berlangsung dengan meriah. Menjelang pertengahan set, para penonton turut naik ke atas panggung untuk ikut bernyanyi dengan Sangkakala. Kemeriahan semakin terasa dengan dentuman kembang api yang selalu jadi ciri khas Sangkakala. Kemeriahan acara ini yang lantas didokumentasikan dalam bentuk DVD dokumenter.

Proyek pembuatan DVD ini banyak dibantu oleh Doggyhouse Record. Ini adalah label rekaman milik band legendaris Yogyakarta, Shaggy Dog. Kerjasama antara Doggy House Records dan Sangkakala sudah terjalin sejak lama. Selain saling mengenal secara pribadi, mereka sudah bekerja sama dalam album kompilasi Doggybark! yang berisikan lagu-lagu dari band Yogyakarta. Album ini dirilis pada bulan September silam.

Kali ini Doggy House Records secara khusus mendelegasikan tugas pendokumentasian Moviemetalithicum pada Djati Wowok Pambudi, alias Wowok Erwe. Selama ini Wowok lebih dikenal sebagai gitaris cum vokalis band Erwe.

Proses pembuatan DVD ini memakan waktu yang lumayan panjang. Terhitung sejak perilisan album, pembuatan DVD ini menghabiskan waktu satu tahun. Beberapa aral memang muncul dalam proses pembuatan ini.

"Ya kita lumayan kagok karena interview, jadi agak serius," kata Baron sembari tertawa.

Selain tak biasa diwawancara, kendala lain adalah Wowok mempunyai beberapa kesibukan lain. Ditambah, vokalis Erwe ini sempat mengalami kecelakaan yang membuat dirinya harus istirahat beberapa lama. Kendala klasik seperti pendanaan, sudah bisa dikover dengan baik oleh Doggy House Records.

"Jadi kita gak mikirin dana, kita bisa maksimal dalam membuat karya. Doggy House juga membebaskan urusan artistik," tambah Baron.

DVD Moviemetalithicum ini sudah pasti akan jadi karya yang menarik. Pasalnya, selama ini di Indonesia belum banyak film dokumenter tentang perjalanan sebuah band atau tentang pesta pora perilisan album dari sebuah band. Dalam scene musik Yogyakarta pun, nyaris nihil, atau bahkan belum ada, band yang punya dokumentasi berformat film.

Sangkakala sendiri merupakan band yang sangat menarik untuk dijadikan film. Rentang waktu berkarya mereka sudah panjang. Band yang terpengaruh musik-musik heavy metal dan dandanan 80-an ini sudah aktif sejak 2005. Berawal dari pinggiran kota Bantul, mereka menggebrak scene musik Yogyakarta.

Pada tahun 2010, mereka sukses membuat gelaran Macanista Workshop dalam Biennale Yogyakarta. Mereka memberikan workshop tentang glam rock, potongan rambut ala glam rock, sablonase, hingga pementasan tunggal di Taman Budaya Yogyakarta. Bootleg penampilan Sangkakala ini lantas dirilis dalam bentuk EP berjudul Macanista yang bisa diunduh gratis via situs netlabel Yes No Wave.

Di tahun 2013,  kuartet heavy metal circus ini merilis album penuh pertama kali dan disambut dengan gegap gempita. Mereka juga sempat mengadakan dua konser bersama band heavy metal asal Jakarta, GRIBS di Yogyakarta dan Jakarta.

Dalam Moviemetalithicum ini, sedikit demi sedikit misi Sangkakala akan tersibak. Mereka memang tidak sekedar bermain band. Mereka punya misi tersembunyi. Semisal mempopulerkan kembali heavy metal dan glam rock yang sempat hiatus saat grunge muncul. Workshop glam rock di tahun 2010 menjadi bukti bagaimana Sangkakala menjalankan propaganda memasyarakatkan heavy metal dan meng-heavy metalkan masyarakat. 

Di film ini juga akan terlihat bagaimana pentingnya artwork, sisi artistik, dan estetika Sangkakala dalam berkarya. Latar belakang mereka sebagai mahasiswa institut kesenian jelas tak bisa dipisahkan dari karya-karya musik dan artwork Sangkakala.

Yang lebih unik lagi, meski Sangkakala memainkan musik heavy metal yang notabene dari belahan dunia barat, tapi mereka tak abai dengan unsur-unsur kelokalan. Simak saja artwork pandai besi yang jadi kover album Heavymetalithicum. Atau bagaimana Sangkakala dengan gagah menjadikan Reog Ponorogo sebagai maskot yang selalu dipajang di setiap panggung; atau harimau yang banyak muncul dalam artwork Sangkakala. 

Belum lagi bicara soal rambut mullet –gaya rambut yang populer dengan sebutan gondes, alias gondrong ndeso, di kalangan para preman terminal—serta penghormatan terhadap tong setan, sebuah atraksi sirkus yang tak pernah absen di setiap pasar malam. Sangkakala membawa itu semua dalam setiap karya dan penampilan mereka.

Dengan masa aktif yang panjang, musik yang rancak, penampilan yang mencolok, propaganda yang menggentarkan, dan atraksi panggung yang beringas, tak heran kalau Sangkakala menjadi band yang punya basis massa sangat besar di Yogyakarta. Sebutannya beragam. Mulai Macanista, Paskibraka (Pasukan Pengibar Bendera Sangkakala), Alutsista (Alat Utama Sistem Macanista), hingga SPG (Sangkakala Promotion Girl).

DVD Moviemetalithicum akan dirilis sebanyak 500 kopi. Rinciannya, 100 kopi adalah edisi boxset yang dibanderol Rp 150 ribu. Selain berisi DVD, paket ini akan berisi bendera dan pin Sangkakala. Sedangkan paket reguler sejumlah 400 kopi akan dibanderol seharga Rp 50 ribu.

Pelepasan DVD ini akan turut dimeriahkan oleh penampilan Sangkakala dalam format akustik, yang tiketnya akan dibatasi untuk 200 orang saja. Lagi-lagi ini hal yang menarik. Karena sepanjang karirnya, Sangkakala baru satu kali tampil dalam format akustik. Dalam penampilan live kali ini, gitaris Iqbal akan memakai gitar khusus yang ia buat sendiri. Selain itu, penampilan akustik ini akan direkam secara live dan akan dirilis dalam bentuk kaset dalam proyek Sangkakala berikutnya.

Jadi bersiaplah! []

Post-scriptum: ini rilis pers yang saya tulis untuk acara konfrensi pers Sangkakala beberapa hari lalu. Ayo yang belum pesan DVD  ini, segera pesan. Rugi kalau tak punya film dokumenter keren dari band keren ini.

Jumat, 05 Desember 2014

Kecanduan August Eve

Sejak beberapa waktu belakangan, saya sedang khusyuk mendengarkan lagu-lagu August Eve. Ini artis muda dari California, Amerika Serikat. Awalnya saya tahu August waktu menonton beberapa video Richie Kotzen, gitaris band rock The Winery Dogs. Richie adalah salah satu gitaris favorit saya. Lagu-lagunya paten punya. Ditambah ia juga punya karakter vokal yang mengasyikkan.

August beberapa kali tampil bersama Richie. Usut punya usut, August adalah anak kandung Richie. Beberapa penampilan mereka sangat menyenangkan dan hangat. Kehangatan itu makin terasa kalau istri Richie yang merupakan pemain bass dari Brasil ikut manggung. Jadi semacam band keluarga. 

Setelah beberapa kali mencari nama August, saya menemukan akun twitter dan laman Soundcloud-nya. Ternyata lagu-lagu August itu enak! Saya jadinya malah kecanduan. Lagunya saya dengarkan, berselingan dengan album baru Richie, The Essentials of Richie Kotzen

Suara August itu hauntingly beautiful. Indah yang menghantui. Suaranya terngiang-ngiang di telinga saya nyaris tiap hari. Mini album August sudah dirilis via Soundcloud. Judulnya Party for Wallflowers. Ada empat lagu di album itu. Favorit saya adalah track pertama, "Heart of Gold". 

Coba dengarkan lagu-lagu gadis yang masih umur 17 tahun ini. Jangan salahkan saya kalau kalian jatuh cinta. []


Rabu, 03 Desember 2014

Bob dari Potlot



Namanya Bob. Saya rasa, semua orang yang pernah datang dan nongkrong di Potlot pasti tahu orang ini. Bob sudah jual rokok di Potlot sejak tahun 1982. Namun mungkin tak banyak yang tahu nama aslinya.

"Nama asli saya Karyana, cuma anak-anak manggil saya Bob. Mungkin yang sekarang pada nongkrong di sini gak tahu nama asli saya siapa," katanya sembari tertawa. Memperlihatkan deretan gigi yang lumayan rapi dan sehat.

Mungkin nama Karyana dianggap terlalu susah untuk dihafal. Pun, kurang enak untuk dipanggil. Maka anak-anak Potlot waktu itu memanggilnya dengan sebutan Bob. Diambil dari kaus bergambar Bob Marley sedang nyimeng yang waktu itu sering dipakai oleh Karyana. 

Saya bertemu dengannya di sebuah siang yang terik. Urusan saya sudah selesai. Namun dahaga membuat  saya mampir di kios Bob. Minum teh botol dan makan keripik. 

Di luar gang, macet masih mengular panjang. Duren Tiga, Jakarta Selatan, memang salah satu titik macet. Tapi Potlot tenang, semacam tak tersentuh hiruk pikuk selatan Jakarta. Pohon-pohon besar yang tumbuh di banyak rumah juga banyak membantu mengurangi terik.

Bob datang ke Jakarta pada awal 80-an. Asalnya dari Tegal. Sama seperti kebanyakan perantau yang datang ke Jakarta, Bob berharap mendapat pekerjaan yang baik. Tapi hasilnya nihil. Setelah mencoba selama dua tahun, Bob akhirnya memutuskan mendirikan kios kecil tepat di bibir gang Potlot.

Sejak itu, Bob akrab dengan penghuni Potlot. Ia mengenal personel Slank sama baiknya dengan mengenal anak sendiri. 

Di suatu panggung 17 Agustusan, Bob terkesima melihat Akhadi Wira Satriaji bernyanyi di atas panggung.

"Dia nyanyi lagu barat, saya gak tahu judulnya. Tapi bagus bener. Saya mikir, ini anak bakal jadi penyanyi beneran," kata Bob.

Nubuatnya terbukti benar di kemudian hari. Akhadi, lebih dikenal sebagai Kaka, menjadi vokalis Slank, band rock n roll terbesar di Indonesia hingga sekarang.

Bob juga kenal baik dengan para remaja yang sering nongkrong di Potlot. Kebanyakan dari mereka lantas jadi musisi terkenal. Waktu remaja, para calon musisi itu sering nongkrong di jembatan. Main gitar dan nyanyi. 

Ada Imanez dan Didit Saad, dua bersaudara yang punya rumah tak jauh dari gang Potlot. Rumah mereka sekarang jadi Hotel Kaisar. Menurut penuturan Bunda Iffet, mantan personal manager Slank yang sudah tinggal di Potlot sejak pertengahan 60-an, kakek nenek Imanez dan Didit adalah orang kaya.

"Mereka punya tanah luas banget. Neneknya mereka itu orang terkaya keempat di Jakarta," kata Bunda.

Selain dua bersaudara itu, ada pula Oppie Andaresta, Bongky, Pay, Indra, hingga Denny, sepupu Bimbim yang lantas jadi bassist awal Slank.

Anak-anak muda itu sama saja dengan remaja kebanyakan. Merokok, tapi tak punya uang berlebih. Akhirnya mereka sering berhutang ke Bob. Kadang mereka berhutang tak tanggung.

"Si Indra dulu hutangnya malah suka satu slop. Sukanya rokok luar negeri, Camel itu. Kadang Marlboro," tutur Bob.

Hampir semua anak Potlot pernah berhutang pada Bob. Salah satu yang paling sering adalah Anang Hermansyah. Kala itu, Anang baru saja datang dari Jember. Ia dibawa oleh Pay, gitaris Slank. Anang lantas meniti karir sebagai vokalis band rock Kidnap Katrina, bersama Massto, adik Bimbim yang jadi drummernya, dan Koko, kakak Kaka yang jadi gitaris. 

Selain itu, Anang juga dikontrak sebagai penyanyi solo. Namun karir solonya lebih berhasil. Kidnap Katrina bubar seusai album perdana rilis. Saya sekali sebenarnya. Karena Kidnap adalah salah satu produk terbaik gang Potlot.

Suatu hari ada satu orang yang datang ke Bob. Tanya-tanya soal Anang. Bob tak tahu kalau yang datang itu adalah wartawan. Dengan enteng saja ia ngomong kalau Anang sering hutang rokok.

Dua minggu kemudian, artikel tentang Anang terbit di sebuah majalah remaja terkenal. Disebutkan, dengan gaya kelakar, bahwa Anang sering hutang rokok pada Bob.

"Dua hari kemudian, Anang lewat di Potlot naik mobil. Dia buka kaca, trus bilang, 'Wah jangan gitu dong Pak Bob. Kan semuanya juga hutang,'" kata Bob sembari tertawa.

Namun setelah banyak dari anak Potlot sukses, mereka tak lupa pada Bob yang berjasa memasok nikotin hutangan. Mereka kerap memberi uang pada Bob.

"Setiap lebaran, si Indra, Bongky, selalu rutin ngasih duit," kata Bob.

Momen gelap di Potlot adalah saat kebanyakan dari mereka kecanduan narkoba. Beberapa yang tak ingin ikut kecanduan, memilih untuk pergi dari Potlot. Sedangkan yang kecanduan, lebih memilih menekuri kecanduannya masing-masing di kamar mereka.

"Sudah gak ada lagi yang nongkrong di jembatan, gak ada yang gitaran sambil nyanyi-nyanyi," kata Bob.

Bagi Bob, narkotika memang membawa masalah. Ia bahkan pernah melihat sendiri seorang bandar tewas di depan matanya.

Hari itu, polisi berpakaian preman datang ke Potlot. Mereka sedang memburu bandar bernama Jerry, yang kebetulan sering nongkrong dan berbisnis di Potlot. Melihat polisi, Jerry panik dan melompat ke got di depan warung Bob.

Polisi ikut melompat, tapi jatuh. Mungkin karena kesal dan tak ingin capai mengejar, si polisi memilih untuk menarik pelatuk. Dor! Jerry tewas di got kecil itu. 

"Jerry ketembak di depan warung saya," kata Bob.

Potlot berduka karena mereka mengenal Jerry secara personal. Slank membuatkan lagu berjudul "(Jerry) Preman Urban" khusus untuk mengenang Jerry. Lagu ini muncul di album Tujuh yang dirilis awal 1998.

Berminggu berlalu 
Berbulan berlalu
bertahun berlalu
Dia terperosok semakin dalam

Suatu malam menjelang pagi
Di dekat rumahku
Dia buron karena ulahnya
3 peluru di tubuhnya
Jerry tewas di tangan petugas!

Di tahun yang sama, warung Bob digusur. Tapi berkat bantuan Bunda Iffet, Bob dapat sepetak lahan untuk berjualan. Tepat di samping markas Slank.

Sebotol teh sudah tandas. Macet sudah mulai terurai. Sepertinya saatnya untuk pulang. Saya pamit, Bob tersenyum.

Kalau kamu sedang berkunjung ke Potlot, mampirlah ke warung Bob. Bertanyalah apapun tentang Slank, atau para penghuni Potlot lain. Ia akan menceritakan kisah-kisah yang tak akan pernah dimuat di media atau ditayangkan di media gosip. []

post-scriptum: beberapa bahan di tulisan ini saya dapatkan dari tulisan pendiri Sarekat Pemuda Pengobral Aer Mata, Eddward S. Kennedy alias Panjul. Ia banyak membantu saya saat ada proyek Slank ini --yang akhirnya kandas di tengah jalan.