Minggu, 25 Maret 2012

Dari BIP Mengenai Perpisahan

Saya melirik jam digital di pojok kanan bawah toolbar notebook saya. Jam 10 lebih sedikit. Saya baru datang dari Solo bareng Panjul. Kami berdua berangkat tadi siang, tanpa tujuan sama sekali dan tidak tahu mau ngapain di Solo. Di sepanjang perjalanan pulang pergi, kami ngobrol tentang apapun. Dan obrolan itu tidak jauh-jauh dari masalah hidup dan pernak perniknya: cinta, karir, juga masa depan. 

Sesampai di kosan, entah kenapa saya ingin mendengar BIP. Band pecahan Slank ini begitu piawai dalam membuat lagu perpisahan. Baik perpisahan antar anggota band hingga perpisahan asmara sendu karena keharusan mengejar mimpi. Saya memutar lagu pertama, berjudul "Ternyata Harus Memilih". Lagu ini dibuat BIP ketika Irang (vokalis awal yang lantas digantikan oleh Ipang, mantan vokalis Plastik), mengundurkan diri. Di lagu ini, para personil BIP berharap agar Irang mengenang masa-masa indah mereka. Tapi lagu ini multitafsir. Bisa juga untuk para pecinta yang sedang dirundung duka perpisahan.

Di hari ini semua berakhir sudah
Kita berpisah baik-baik saja
Jangan ingat hal yang membuatmu marah
Apalagi membuatmu kecewa
Kenang yang indah, kenang yang memiliki kesan di hati
Hanya yang baik, hanya yang membuat tersenyum saat kita mengingatnya.
Ternyata kita sampai, pada jalan yang berlainan arah
Ternyata kita harus memilih mana yang terbaik tuk semua.
Cukup banyak waktu yang kita habiskan, semua tidak terbuang percuma.
Lambaikan tangan biar pergi lebih mudah.
Sungguh senang ku bisa kenal kamu...

Iya, sekitar 2 bulan lalu, saya dan Rina memutuskan bahwa kami harus berpisah. Entah sampai kapan. Saya merasa ini yang terbaik untuk kami. Setidaknya untuk saat ini. Dan perpisahan ini bukan hal yang mudah, baik untuk Rina, juga untuk saya. Mengenai penyebab kami berpisah, saya serahkan pada bagian publicist untuk menceritakannya, hehehe.

Panggil saya berlebihan, tapi bagi saya, Rina tetap perempuan paling baik yang pernah saya temui. Setidaknya sampai saat ini. Dia mau menerima saya apa adanya. Diantara banyak perempuan yang datang dan pergi, dia yang paling lama bertahan menghadapi semua sifat buruk saya. Dan saya menghaturkan salut untuknya.


Apakah kami sedih dengan perpisahan ini? Jelas. Tak pernah ada perpisahan yang mudah untuk dihadapi. Tapi kami berusaha untuk tidak larut dalam pasir hisap kesedihan. Kami memutuskan untuk mengerjakan apa yang selama ini jadi mimpi kami. Rina dengan tesis dan kelulusan yang sudah tertunda lama. Saya dengan traveling dan bersenang-senang yang sempat saya tepikan selama beberapa lama. Oh ya, juga proposal tesis. Damn. 

Jujur, kami berdua berharap bahwa perpisahan ini adalah mimpi belaka. Tapi saya kemudian jadi sadar (Arys, makasih buat Kierkegaard-nya yang mencerahkan), bahwa semua ini adalah masalah waktu. Iya, tak ada seorang manusia pun yang sanggup mengalahkan waktu. Sesehat apapun manusia, kalau sudah waktunya mati, maka matilah ia. Seteguh apapun seorang mencoba untuk mati, kalau belum waktunya mati, maka ia tak akan bisa mati. Begitu pula perpisahan bukan? Memang sudah waktunya kami berpisah, entah sejenak atau selamanya, lalu mulai berkonsentrasi penuh untuk mewujudkan mimpi kami masing-masing.

Kami sudah berjanji bahwa mimpi-mimpi itu tetap harus dilunasi. Sebab mimpi adalah hutang. Setidaknya untuk diri sang pemimpi sendiri. Kami akan bertemu lagi kelak, entah dengan orang baru atau dengan rasa yang masih sama. Lagu pertama habis, lagu kedua berkumandang syahdu di kamar saya yang berantakan...

Kuingin selalu denganmu, kemana saja kita berdua
Seakan tiada terpisahkan, tapi tak mungkin saat ini. Saat ini
Sekarang masih banyak mimpi dan keinginan yang belum tercapai.
Biarlah rasa rindu ini, kita tunda tuk sementara.
Pulanglah dulu ke rumahmu, bagi waktumu untuk yang lain
Kuingin kau hanya untukku, tapi tak mungkin saat ini.
Sampai nanti, sampai bertemu lagi...
(BIP - Sampai Nanti)

Sial, kalau begini saya jadi melankolis lagi. Putar Motley Crue ah :D

Jumat, 23 Maret 2012

Awas, Macan Siap Nyakar

Maeng sore aku janjian karo mas Blangkon. Mas Blangkon iki vokalise Sangkakala, band heavy metal soko Jogja. Sangkakala wis tau ngetokno album via Yesnowave, netlabel pertama nang Indonesia. Nah, nang tahun Naga Air iki Sangkakala bakal ngetokno album sing dirilis fisik. Rencanane, lek gak ono halangan, album iki bakal dirilis bulan April.

Jam 6 aku wis ndodok nang trotoar ngarepe kosane mas Blangkon. Langite abang, senja. Mas Blangkon tak sms, aku ngabari lek aku wis nang kosane.

"Wah, sik aku sik ngeterno jahitan" jarene.

Yo wis tak enteni karo motrat motret ora jelas. Jam 6 liwat sitik, mas Blangkon teko. Rencanane, mari soko kosane mas Blangkon, aku karo dee kape langsung nang studio tempate Sangkakala mixing. Polae dalane mbulet, dadi mas Blangkon ngajak bareng. Yo wis. Akhire jam 7 kurang sitik, awake dewe budhal. Pancen bener, dalane mbulet cuk. Aku koyoke bakal nyasar pas mulihe.

Nyampe studio, cuma ono Dodi, tukang mixer-e Sangkakala. Dee kuliah jurusan Musik nang ISI. Angkatan 2005. Jarene, mas Atjeh (bass), Iqbal (gitar), karo Tatsoy (drum) bakal teko jam 8-an.

Tenan. Tatsoy teko jam 8 kurang sitik. Trus baru Iqbal, teko jam 8 lebih sitik. Sing teko jam 8 lebih akeh iku mas Atjeh. Setelah personile wis kumpul kabeh, akhire mixing dimulai.




Musike Sangkakala iki asu tenan. Gitare iso njerit-njerit, trus suarane mas Blangkon iki abot, luwih mirip vokalis hardcore timbangane musik glam rock.

"Musike Sangkakala iki pancen perpaduan kok. Dandanan glam rock, semangat ala punk, karo musik ala heavy metal" jarene Blangkon. 

"Saiki awake dewe gak iso nelan mentah-mentah kabeh soko glam rock. Lek aku macak koyok ngene, dadine gak ayu malah dadi koyok bencong" jare Blangkon maneh, karo nduding Steve "Sex" Summer, vokalise Pretty Boy Floyd, sing nggawe bedak karo lipstik dan ketok ayu.

"Sex, drugs, rock n roll iku wis gak jamane. Aku iki baru turu jam 5 isuk, jam 8 wis dikaploki anakku, dikongkon ngeterno nang sekolah" jarene Blangkon cengengesan.

"Iyo, Sangkakala iki gak rock n roll blas. Mosok vokalise ngeterno jaitan, nyablon tok. Sing gitarise dodolan gitar karo efek. Sing Atjeh kerjoane nggambar tok." jarene Dodi karo cekakakan. Dodi iki yo lucu. Jeneng asline iku Yoggi, tapi si Blangkon kuwi pancen iseng. Jenenge diganti dadi Dodi. Akhire sampe saiki jeneng Dodi luwih populer timbangane Yoggi.

Bengi iku Sangkakala nduduhi mixing lagu "Sangkalala" karo "Gang Bang Glam Rock". Musike abot, gitarane sangar, vokalise mbengak bengok, bass-e begajulan. Lek didadikno sak kalimat: sangar cuk!

"Iki email balesane Wok" jarene Blangkon nang arek-arek nang jero studio. Wok The Rock iki founder-e Yesnowave. Dee saiki sedang residensi nang Australia. Jarene Blangkon, Wok iki penasihat spiritual-e Sangkakala.

"Balesane nggawe bahasa Inggris opo bahasa Indonesia?" Atjeh takon.

"Lek nggawe bahasa Inggris dipisuhi wae, wong Madiun ae keminggris" jarene Blangkon karo cekakakan.

Ono cerito lucu soal Wok karo Blangkon. Wok iki asline soko Madiun, nah si Blangkon iki SMA-ne nang Madiun.

"Sekolahku ndisek iku ndeso. Cedek sawah. Ben dino gelut tok isine, aku gak eruh musik" jarene Wok.

"Nangdi to SMA-mu?" si Blangkon takon.

"SMA 4" jarene Wok.

"Jancuk, iku lak SMA-ku pisan" jarene Blangkon.

Ndilalah wong loro iku sak SMA cuk, cuma beda angkatan tok. Hahahaha.

Kopine wis entek. Mixing-e sik tetep lanjut. Tapi aku kudu nyusul Panjul. Arek iku pancen koplak. Ngenet tapi lali nggowo duek. Dadine njaluk susul trus njaluk bayari disek. Uasu. Yo wis, aku pamitan karo Sangkakala.

Pas aku nutup lawang, sik krungu suara koor bagian reff.

Gangbang, glam rock!

Selasa, 20 Maret 2012

Tentang Klasifikasi Pejalan Itu


 “Traveling is a brutality. It forces you to trust strangers and to lose sight of all that familiar comfort of home and friends. You are constantly off balance. Nothing is yours except the essential things - air, sleep, dreams, the sea, the sky - all things tending towards the eternal or what we imagine of it.”
(Anonymous)

Saya ingat waktu itu saya masih anak muda ingusan berseragam putih biru. Saya membaca Balada si Roy untuk pertama kalinya. Disana muncul padanan kata baru untuk saya: avonturir. Itu sepertinya istilah bahasa Indonesia untuk adventurer. Istilah itu digunakan untuk menggambarkan Roy yang melakukan perjalanan, atau lebih tepatnya berpetualang. Ia naik segala moda transportasi, mulai bis, kereta, hingga menumpang truk. Ia juga melakukan kontak terhadap penduduk lokal dan menyerap berbagai hal dari sana.

Sejak itu, saya dengan bangga memproklamirkan diri sebagai avonturir. Ketika itu, saya melakukan perjalanan iseng pertama menuju Banyuwangi dengan menumpang truk. Ketika saya masih SMP,  istilah backpacker belum populer. Istilah itu malah baru saya ketahui ketika saya sudah duduk di bangku SMA.

Waktu teman sekolah bertanya kegiatan saya ketika liburan, saya selalu dengan bangga menjawab "jadi avonturir". Mereka menggelengkan kepala tanda tak mengerti.

Ada beberapa alasan kenapa saya menjadikan avontur sebagai pilihan perjalanan. Yang pertama adalah saya jelas tidak punya uang berlebih untuk melakukan perjalanan kala itu. Saya hanya bocah SMP yang modal nekad karena terbakar semangat si Roy. Yang kedua adalah perasaan bangga karena melakukan hal yang tak banyak dilakukan oleh kawan seumuran saya kala itu.

Menginjak bangku SMA saya mulai kenal istilah backpacking. Istilah itu secara umum digunakan untuk menggambarkan perjalanan dengan ransel dan hemat biaya. Dan saat itu pula, traveling mulai jadi gaya hidup. Orang-orang pun mulai bangga melabeli diri mereka sebagai backpacker. Saya melihat motivasi mereka dengan pelabelan itu, sama seperti saya ketika SMP: bangga karena melakukan hal yang jarang dilakukan oleh orang lain.

Ya, perjalanan dengan konsep backpacking itu memang butuh energi dan semangat ekstra. Bagaimana kita bisa melakukan perjalanan dengan biaya terbatas. Biasanya, biaya perjalanan terbatas itu imbasnya pada kenyamanan. Semakin sedikit anggaran perjalanan anda, biasanya semakin sedikit pula kenyamanan yang anda dapat. Itu sudah hukum alam.

Tapi semakin banyak saya berpergian dan bertemu orang baru, saya jadi sadar kalau pelabelan untuk para pejalan itu sama sekali tidak penting. Saya jadi sadar bahwa yang penting adalah proses perjalanan, bukan dengan gaya apa kamu melakukan perjalanan. Ketika saya sudah melepaskan pelabelan itu, tanpa saya sadari bahwa traveling sudah menjadi gaya hidup. Semakin banyak orang melakukan perjalanan dan dengan bangga melabeli diri mereka sebagai "backpacker". Yeah.

Pernah pada satu titik, saya begitu muak dengan para manusia yang menggunakan istilah backpacker itu. Bukan sekedar sinis, tapi juga muak, untuk alasan yang tidak perlu saya ungkapkan disini. Anggap saja ini sisi snobbish saya yang selalu tak tahu adat. Ketika orang lain bangga dengan sebutan backpacker, saya malah enggan sekali memakai sebutan itu. Pernah saking sinisnya, saya seringkali menjadi sarkas dengan menuliskan bio saya sebagai backpacker wannabe. Para backpacker itu bahkan tak bisa membedakan antara backpacker (kata benda) dan backpacking (kata kerja). Seringkali mereka ditanya, "mau kemana?" jawaban yang terlontar adalah "mau backpackeran". Haduh!

Yang bikin saya sedikit sinis pada para backpacker itu adalah semakin minimnya kontak para pejalan itu dengan orang lokal. Oke, memang tak ada peraturan baku mengenai "bagaimana seharusnya menjadi backpacker". Tapi ketika perjalanan hanya dimaknai sebagai mencapai destinasi, bukankah itu mereduksi makna sebuah perjalanan? Anggap saja saya berlebihan.

Tapi sejak jaman dulu, bagi saya, yang menarik dari sebuah perjalanan adalah proses perjalanan itu sendiri. Sekarang mari kita menyimak satu contoh. Orang Islam mengenal Haji sebagai ibadah yang menuntut kita untuk berpergian jauh. Ketika jaman buyut saya, untuk pergi berhaji harus naik kapal laut menuju Arab. Perginya pun bisa berbulan-bulan. Tak heran, kalau dulu orang pergi Haji sama saja dengan pergi menyabung nyawa. Ancaman badai di laut, tersesat di laut, dan bahaya lain, membuat ibadah mereka jadi lebih berarti dan bermakna. Pengalaman spiritual yang didapat pun jauh lebih dahsyat. Karena itu pula, ini pendapat saya, naik haji jaman dulu pasti punya lebih banyak cerita dan pengalaman spiritual ketimbang naik haji kontemporer.

Jaman sekarang, asal orang punya uang, ia bisa pergi berhaji. Koruptor pun bisa leluasa naik haji. Karena mereka hanya mengejar titel, bukan pengalaman yang kelak bisa lebih menyucikan jiwanya. Tak heran, para koruptor itu meskipun punya titel haji, tetap saja korupsi. Karena yang penting bagi mereka adalah titel haji-nya, bukan perjalanan spiritualnya.

Sial, saya mulai melantur lagi. Tak jelas pula apa isi tulisan ini. Jadi ada baiknya saya pungkasi saja tulisan tak bermutu ini. Jujur, saya sudah masa bodoh terhadap klasifikasi seorang pejalan. Terserah orang saja lah mereka mau menyebut diri mereka apa, mau backpacker kek, flashpacker kek, avonturir kek, bla bla bla. Kalau ia bilang backpacker tapi tidur di hotel bintang, so fucking what? Rasa sinis saya dulu sudah menjelma jadi rasa apatis terhadap semua pelabelan pejalan itu. 

Rasa-rasanya saya seperti anak punk yang lelah menyikapi punk yang masuk mall dan MTV...

Senin, 19 Maret 2012

Tentang John "Kandar" Lennon


Kata siapa John Lennon sudah mati? Ia hanya pura-pura mati, operasi plastik dan hidup dengan damai di Jember. Di UKPKM Tegalboto. Hingga sekarang ia masih setia mengacungkan dua jari sebagai simbol perdamaian. Halo John!

***

Saya menyesal tak mencatat percakapan saya dengan Cak Kandar sore itu, beberapa minggu yang lalu. Ia bercerita mengenai kisah cinta semasa SD. Ketika ia mencintai seorang gadis kecil. Yang lantas ia cintai hingga sekarang. Bahkan mungkin akan ia cintai seumur hidupnya. Yang saya menyesal karena melupakan nama gadis yang beruntung itu. Tapi nanti bisa saya tanya lagi pada Cak Kandar.

"Saya setia" ujarnya pendek, seperti biasa. Lalu ia kembali bercerita mengenai merk baru rokok yang ia hisap, berapa harganya dan apakah rasanya enak atau tidak. Mengenai namanya yang mirip dengan beberapa pesohor. Dan mengenai air putih (yang sepertinya mentah) yang ia ambil dari UKM sebelah. 

Saban sore, selepas maghrib, Cak Kandar selalu datang dengan obat nyamuk yang sudah dibakar. Siap untuk memberantas nyamuk yang berdengung-dengung di ruangan berkarpet merah, UKPKM Tegalboto. Rumah kedua saya. Yang juga sudah jadi rumah bagi Cak Kandar, jauh sebelum mahasiswa berteriak revolusi ketika 1998 memanas.

Sore itu kami bertukar kabar. Melunaskan rindu yang seringkali terbengkalai karena jarak. Saya selalu menikmati sesi obrolan dengan pria bernama lengkap Kusnandar ini. Menyimak caranya berbicara, mendengarkan padanan katanya, dan yang paling menyenangkan: mata yang selalu berbinar dan senyum yang selalu disungging ketika ia bercerita. Tampak betul bahwa ia bercerita dari hati. Peduli setan cerita itu benar atau tidak.

Lalu saya mengajaknya foto bersama. Ia selalu mengacungkan dua jari sebagai pose andalan. Bisa jadi Cak Kandar adalah John Lennon yang sudah operasi plastik lalu hidup damai di Jember. Bisa jadi. Cak Kandar memang cinta damai. Selalu cinta damai.

"Saya belum makan, kamu punya uang 3 ribu?" tanyanya, pendek seperti biasa. Lalu ia berpamitan makan setelah mendapat uang 3 ribu. 

Kapan-kapan kita bertukar cerita lagi ya Cak. Saya masih butuh belajar banyak dari kamu...

Minggu, 18 Maret 2012

Mie Gila: Hanya Berkeringat

Beberapa waktu lalu teman saya yang juga seorang food hunter, Budi, memberitahukan kalau ada varian mie baru di Jember. Namanya Mie Gila. Mie ini menyajikan mie pedas dengan 3 level. Sepertinya mengikuti tren makanan pedas berlevel seperti Maichi dkk itu.

Ketika saya pulang ke Jember beberapa waktu lalu, saya sempat ingin mampir. Tapi warung yang baru buka ini sedang mengalami opening booming. Ramai sekali. Saya akhirnya mengurungkan niat untuk mampir.

Kemarin saya dan Miko akhirnya mencoba mie ini. Sehabis latihan bareng Sex in the Car, diiringi hujan yang rintik, saya dan Miko memesan mie level 2.

Awalnya saya sempat ragu harus memesan level berapa. Saya tentu harus menakar bagaimana kepedasannya. Karena segala sesuatu yang berlebihan itu pasti tak enak. Apalagi berlebihan pedasnya. Akhirnya dengan bijak saya memilih level 2. Miko juga ikut memesan level 2. Harga seporsi mie gila dibanderol Rp. 8.000. Selain mie gila, ada juga beberapa varian makanan lain, seperti mie jamur, mie pangsit, dan juga bakso.

Rumah makan yang terletak di jalan Kalimantan dan menempati bangunan yang dulunya adalah resto Dego Pizza, suasanya cukup menyenangkan. Rapi, dengan pemilihan warna cat tembok yang cocok. Sayang, musik yang diputarkan terlalu berisik. Plus, pilihan lagunya bisa membuat nafsu makan jadi berkurang. Percaya sama saya, makan sambil diiringi musik Zivilia yang diputar keras-keras itu membuat perut jadi tiba-tiba kenyang.

Tak menunggu berapa lama, mie gila pun muncul. Tampilannya cukup cantik. Mie dengan warna putih pucat tambah membelit satu sama lain, lalu diatasnya diberi taburan serpihan daging ayam, lengkap dengan daun bawang. Lalu ada juga selembar daging asap berbentuk bulat, pangsit kuah, juga 2 pangsit goreng. Ada acar timun yang bercita rasa asam manis.


Tanpa menunggu lama, mie langsung saya arahkan menuju mulut. Sruuppp. Hmm, rasa pedas seketika langsung menyergap. Cukup menohok. Membuat butir-butir keringat bermunculan. Saya menunggu sensasi bibir mendecak kepedasan. Tapi setelah satu suap, dua suap, bahkan tiga suap, sensasi kepedasan itu tak kunjung datang. Saya cuma berkeringat saja. Rasa pedas dari cabai bubuk pada mie gila level 2 ini rupanya tidak cukup kuat untuk menimbulkan sensasi kepedasan.

Tapi tunggu dulu. Saya lihat Miko sudah mengerjap-ngerjap. Bibirnya monyong. Wajahnya penuh peluh.

"Pedes cuk" ujar Miko dengan senyum pahit. Tipikal senyum yang lahir dari orang yang dipaksa nikah dengan gadis pilihan orang tua.

"Bu, minta air putih dong" kata Miko sedikit panik. Es tehnya sudah tandas sedari tadi. Lalu ia mengambil jeda sejenak. Membiarkan pedasnya dinetralisir oleh air putih. Ia sedikit segan untuk meneruskan makan mie yang tinggal beberapa suap saja. Tapi karena saya terus-terusan meledeknya, ia akhirnya meneguhkan hati untuk menghabiskan mienya. Masih dengan senyum ala harus-rela-dijodohkan-oleh-orang-tua itu.

Ah, lain kali saya harus mencoba mie gila level 3.

Sabtu, 17 Maret 2012

Banyuwangi, Bali, Chili, Gili (Part 4)

Ugh! Saya menggeliat malas. Sudah pagi tampaknya. Matahari menerobos dari balik tenda. Gerah! Saya memicingkan mata, duduk dan meregangkan tangan. Lalu membuka tenda.

Sreeetttt.

Lalu tampaklah pemandangan itu. Pasir yang putih. Air laut yang berwarna biru tosca. Langit yang biru cerah. Dan awan yang berarak manja. Ah, bagaimana bisa saya menolak godaan ini?




Saya langsung melompat keluar tenda, langsung menerkam air laut yang bergerak genit. Plassshh! Segar!

Oh ya, apa saya sudah cerita saya sedang ada dimana?

***

Saya melompat ke perahu kayu yang akan menuju Gili Meno. Gili Trawangan terlalu riuh dan terlampau padat. Cukuplah dilihat saja, tak untuk ditinggali. Karena sepertinya sunyi disini merupakan harga mahal. Jauh lebih mahal ketimbang sebatang korek api gas merk Tokai seharga 5000 yang saya beli disana.

Kapal melaju tenang. Awalnya saja. Karena 5 menit kemudian pasukan hujan menghunjam turun. Saya menengok ke atas, awan mendung sudah berarak. Sial. Dan benar saja, kapal sudah mulai goyah. Awalnya pelan. Lalu keras. Terbanting ke kanan dan kiri. Saya mulai sedikit tegang. Beberapa penumpang juga ikut tegang.

Tapi kalau mau tahu apakah sebuah kapal dalam kondisi bahaya atau tidak, tengoklah nahkodanya. Selama muka nahkodanya tenang-tenang saja, berarti kapal akan aman. Tapi kalau muka sang nahkoda jadi pucat, maka itu saatnya anda merapal istighfar sebanyak mungkin.

Dari balik bahu seorang ibu berkerudung, saya mengintip muka sang nahkoda di belakang. Ia tenang saja, menghisap rokok dengan nyaman. Ah saya tenang, berarti semua akan baik-baik saja. Eh tunggu, atau jangan-jangan ia sengaja menikmati rokok itu seakan itu rokok terakhirnya karena ia tahu kapal akan karam? Oh, I'm fucked up!

Untuk ketakutan saya tidak terkabul. Kapal berlabuh dengan aman di dermaga Gili Meno. Setelah menenangkan lutut yang agak gemetar karena diombang-ambing perahu, saya berjalan ke arah selatan pelabuhan. Mencari tempat untuk mendirikan tenda, lalu memasak mie. Saya lapar.

"Looking for room mister?" sapa seorang pria berbadan gempal.

Ah, tidak lagi. Saya kadang suka heran. Kenapa saya selalu disangka turis? Saya menduga mata saya penyebabnya. Saya sendiri baru sadar beberapa tahun lalu kalau mata saya ini ternyata termasuk sipit. Seorang teman perempuan bilang kalau saya mirip orang China. Apalagi kalau saya tertawa. Setelah saya kasih tahu, dengan bahasa Indonesia,  kalau saya mau bikin tenda, ia menunjuk satu area kosong di depan sebuah bungalow.

Maka saya bergegas ke sana. Lalu mengeluarkan isi tas. Mulai membongkar tenda dan tetek bengek lain. Tapi tiba-tiba seorang pemuda datang dan mengatakan kalau saya tak boleh bikin tenda disana. Alamak. Kok jadi gini? Tapi benar juga, saya baru sadar kalau saya berdiri pas di depan bungalow. Apa jadinya kalau tamu buka pintu, yang dilihatnya malah saya, bukan pantai, hehehe.

Akhirnya saya pergi sedikit lebih ke selatan lagi. Dan saya disadarkan kalau mendirikan tenda sendirian itu bukan pekerjaan yang mudah. Apalagi saya sudah lama tidak kemping, jadi sedikit kaku dalam mendirikan tenda. Ditambah angin yang kurang tahu adat. Jadinya berkali-kali saya terbungkus tenda sendiri. Huasu!

Tapi tiba-tiba seorang bule datang menghampiri saya.

"Looks like you need help my friend" katanya ramah. Saya hanya bilang yeah yeah sembari berusaha melepaskan diri dari kain tenda yang membelit saya.

Dibantu Marco, nama bule asal Australia itu, tak seberapa lama tenda pun sudah berdiri. Horay. Sebagai bukti kalau saya sudah pernah bikin tenda bareng bule, saya mengajak dia foto bersama, huehehe.

Tenda saya didirikan di atas pasir yang lembut. Dibawah pohon cemara udang. Pas menghadap timur, ke arah lautan lepas. Kalau matahari terbit, pasti ia akan terlihat gagah. Di depan saya tampak daratan, itu adalah Gili Air.










Gili Meno sepi sore itu. Hujan baru saja minggat, mendung baru saja mencelat. Hanya ada sepasang bule yang sedang terkena panah cupid. Mereka berpelukan, sesekali berciuman. Di kejauhan ada segerombolan anak-anak lokal bermain bola sembari tertawa riang. Di atas ranting cemara udang, burung-burung gereja bercicit riang. Sore yang menyenangkan.

Saya mengeluarkan kompor dan gas, misting, lalu menyeduh air. Menuangkan kopi, lalu mencampurnya dengan air mendidih. Apakah ada yang lebih menyenangkan ketimbang suasana sore yang tenang, kopi hangat, serta menunggu senja yang tak lama lagi akan datang?

***

"Wah, ada anak Jember yang kerja di tempatku, nanti ku kenalkan kau dengan dia" ujar Bang Togar semangat. Bang Togar adalah pria kisaran 40-an yang datang menghampiri saya ketika saya sedang asyik menyeruput kopi hangat di depan tenda. Kami berkenalan dan mengalami sesi obrolan yang menyenangkan.

Pria asli Medan ini sudah 10 tahun kerja di sebuah resort di Gili Meno. Resort tempatnya bekerja adalah salah satu resort pertama di pulau kecil dan sepi ini. Bang Tagor bekerja sebagai tenaga ahli elektronik.

"Selepas SMA aku langsung merantau. Ke Bali dulu lalu kesini. Nikah sama orang sini, sudah punya 3 anak" ujar pria berambut cepak ini. Istri dan anaknya tinggal di Lombok. Sesekali Bang Tagor pulang untuk menjenguk mereka. 

"Mumpung kau masih bujang, puas-puasin main lah. Nanti kalau kau sudah punya istri dan anak, tak bisa kemana-mana, hahaha" katanya menasehati sembari tertawa. Saya jadi ingat prinsip lama yang sampai saat ini sepertinya masih berusaha saya jalankan. Berusaha melihat dunia sepuas-puasnya selagi muda dan belum terikat. Nanti kalau sudah punya keluarga, jalan-jalan harus mengalah pada keluarga. Kalaupun jalan-jalan pasti harus ke tempat liburan keluarga. Karena kehidupan pria memang sudah berhenti ketika ia menikah.

***

Malam menjelang. Cuaca cerah. Bintang bergerombol di langit yang hitam. Angin pantai yang hangat menyapa. Saya sedang duduk di baruga --sebutan untuk gazebo di Lombok-- bersama Bang Togar dan Johan.

Nama terakhir yang saya sebut adalah orang Jember yang tadi disebut oleh bang Togar. Ia bermata sipit tapi berkulit gelap, hasil dari tanning di Gili Meno. Rumah Johan ada di daerah Jenggawah. Keluarganya membuka bengkel dan toko onderdil disana. Tapi semenjak senjakala orde baru, keluarganya yang dari etnis minoritas, pergi mengungsi ke Surabaya. Johan sendiri akhirnya memilih untuk kos. Ketika terjadi peristiwa 1998, Jember memang tak terlampau panas.

"Sampe sekarang rumahku masih ada mas. Tapi udah gak pernah ditempati, cuma sesekali aja diliat. Dijaga sama tetangga. Dulu kata tetangga, pas ada kerusuhan, bengkel sama tokoku malah dijarah sama polisi, hehehe" ujarnya sembari terkekeh.

Johan jago bermain gitar klasik.

Johan baru 4 bulan kerja di Gili Meno. Sebelumnya ia kerja di Bali, jadi juru masak di berbagai tempat. Ia mengaku sempat lama menjadi seorang hedonis. Nyaris seluruh waktunya --di luar waktu kerja-- dihabiskan untuk menjadi bar crawler, melompat dari satu bar ke bar lain. Mabuk dan menghabiskan uang hasil kerja. Tapi lalu ia jenuh. Kebetulan ia ditawari oleh sang bos untuk pindah di resort miliknya, di Gili Meno. Johan setuju. Ternyata setelah 4 bulan kerja di pulau berpenghuni sekitar 300 orang ini, ia sangat betah.

"Kerja disini enak mas. Suasananya tenang. Saya bisa mancing tiap hari, snorkeling, dan kerjanya pun santai" katanya girang. Setiap pagi ia menyiapkan sarapan untuk para tamu. Sedang untuk makan siang dan malam, resort tidak menyediakan karena restorannya sedang mengalami pemugaran. Praktis, Johan memiliki banyak waktu kosong. Waktu kosongnya itu ia habiskan untuk bersenang-senang. Renang, snorkeling, hingga mancing.

"Kapan hari saya dapat ikan segini" katanya sembari merentangkan tangan kirinya, menunjukkan ukuran dari ujung jari hingga pangkal lengan. Biasanya ikannya dibakar di pinggir pantai, lalu dimakan ramai-ramai bersama pekerja lainnya yang jumlahnya hanya 10 orang saja.

Bisa jadi Johan adalah gambaran anak pantai dalam lagu Imanez: hidup santai dan cinta damai.

A Man With Dragon Tattoo

Pria itu terkekeh pelan. Wajahnya unik. Seperti perpaduan antara Keith Richard dan Izzy Stradlin. Tirus, dan pipinya kempot, membuatnya tampak ompong. Rambutnya lumayan panjang, sebahu dengan gaya awut-awutan mirip rambut Keith, sang gitaris Rolling Stone di masa mudanya. Siang itu, menjelang saya snorkeling, Johan mengenalkan saya dengan pria ini. Pria yang memakai baju Jimi Hendrix berwarna putih kusam. Yang ketika dibuka, tampak tato naga berukuran besar di dadanya.

Namanya Ivan, sudah tinggal di Lombok sejak 1989. Dari Bandung --kampung halamannya-- ia menuju Senggigi. Sebelumnya ia 7 tahun tinggal di Bali. Disana ia belajar main gitar hingga masuk taraf mahir. Ia tak pernah bermain dalam sebuah band. Ia hanya bermain di sebuah kursi di pinggir jalanan Legian. Banyak bule-bule tertarik pada permainan gitarnya, berhenti dan memberikan applaus. Serta uang tentunya. Kumpulan penonton ini juga mengundang copet.

"Pernah ada orang datang ke saya, tiba-tiba ngasih duit, trus ngomong 'maaf Van, cuma bisa ngasih segini'. Ternyata dia copet yang kerja pas saya lagi maen gitar, hahaha" ujarnya terkekeh. 

Kisah hidup Ivan bagaikan novel petualangan panjang. Ia nyaris pernah menginjak semua daerah di Indonesia. Awalnya saya nyaris tak percaya. Tapi ketika ia dengan fasih menyebutkan daerah-daerah di Flores, Sulawesi, hingga Papua, saya terhenyak. Ia juga dengan lancar menceritakan bagaimana rute menuju daerah yang pernah dijelajahinya. Ia tak bohong. Setiap melakukan perjalanan, ia nyaris tak pernah bawa uang tunai. Ia membawa pernak pernik khas dari kayu, seperti gelang atau kalung, yang akan dijualnya di sepanjang perjalanan. Ia tidur di masjid, menumpang di rumah orang, dimanapun ia bisa berteduh. 

"Kalau kamu jalan-jalan cuma buat foto-foto, itu percuma. Gak akan tahu masyarakatnya. Tinggallah lebih lama. Paling gak dua bulan. Baru kamu bisa tahu, oh masyarakat disini itu seperti ini, masyarakat disitu itu seperti itu" ujarnya pendek sembari menyulut rokok.

Hari kedua di Gili ini sungguh menyenangkan. Ivan senang bercerita sembari terkekeh mengingat kenangan masa mudanya. Ia sekarang sudah nyaris masuk kepala 4. Sekarang ia hidup santai, tak memiliki pekerjaan tetap. Ia hanya sesekali menjual mushroom pada para turis.

"Mushroom mister" teriaknya kepada sepasang bule yang kebetulan melintas. Mereka menggeleng sembari tersenyum.

"Mushroom itu mabuk yang bikin inget tuhan. Kalo saya sadar, gak pernah saya ngucap astagfirullah. Tapi pas mabuk mushroom, liat geledek aja saya langsung teriak astagfirullah. Ngerasain angin, saya langsung subhanallah, hehehe" katanya sembari terkekeh. Ia juga bercerita banyak mengenai mushroom dan segala jenis drugs. Dulu ia memang pecandu. Hal yang membuat ia sempat dipenjara selama beberapa lama. Masuk dalam bui rupanya membuat ia sedikit trauma dan paranoid. Ia juga tidak mau difoto. Ketika saya bertanya banyak mengenai mushroom dan drugs, dia juga agak curiga.

"Ini nanya-nanya buat apa mas? Masnya wartawan ya? Ato dibuat skripsi?" katanya tersenyum. Saya berkali-kali merayunya buat mau dipotret. Tapi ia kukuh tak mau diambil gambarnya. "Waduh, jangan lah, hehehe" tolaknya halus sembari terkekeh. 

Langit memerah seperti anggur. Layaknya potongan lirik dari Payung Teduh. Matahari turun, tampak terlihat dari sudut selatan pulau. Johan sedang asyik di dapur, memasak terinjang --salah satu varian ikan teri yang digoreng kering dengan bumbu bawang putih dan garam. Konon lebih sedap lagi kalau dicampur dengan asam. Sayang dapur Johan tak memiliki persediaan asam.

Ivan bangkit, lalu berpamitan setelah makan malam usai. Entah mau kemana. Mungkin mencari mushroom untuk dijual pada para bule. 

"Nanti malam beli bir yuk, ini kan malam terakhir sampeyan disini, harus dirayakan" ujar Johan.

Saya mengangguk gembira. Bir dingin dan pantai. Ah sungguh perpaduan yang eksotis nian.

***



Pagi datang. Matahari seperti biasa, suka usil menyembul dari celah tenda. Membuat saya memicingkan mata dan kegerahan. Tapi itu yang membuat saya bangun. Menyadari bahwa kapal menuju Bangsal akan berangkat jam 8 pagi. Jadi mau tidak mau saya harus bangun, merubuhkan tenda, mengemasi barang bawaan dan pulang. Pulang menuju kehidupan nyata, setelah beberapa hari melarikan diri darinya.

Johan tersenyum menyapa saya. Ia akan menumpang motor saya menuju Mataram. Ia ditugaskan bosnya untuk survey tanah yang kelak akan dijadikan resort di daerah Bangsal. Ia lalu membantu saya mengemasi barang bawaan. Kami berjalan menuju dermaga. Membeli tiket, lalu ngopi sembari menunggu.

Tak lama kemudian kapal siap berangkat. Saya meloncat ke dalam kapal. Duduk di sebelah bule yang menggendong anaknya. Kami saling menukar senyum. Mesin kapal lalu dinyalakan. Brmmm. Kapal bergerak perlahan. Meninggalkan kawanan buih yang menggumpal-gumpal di belakang. Saya menatap Gili Meno yang tampak semakin kecil dengan pandangan nanar dan juga kebahagiaan. Beberapa serpihan hati saya sengaja saya tinggalkan di tempat yang damai ini. Siapa tahu saya berkesempatan balik lagi kesini.

So long Meno!

Jumat, 16 Maret 2012

Kembali Panasnya Mesin Rock GRIBS

Foto oleh Ryan AR, diambil dari fanspage GRIBS

Sudah nyaris 3 tahun semenjak GRIBS mengeluarkan album perdana self-titled mereka. Setelah album yang masuk dalam daftar 10 Album Indonesia Terbaik 2009 versi Rolling Stone Indonesia itu, GRIBS masih belum jua mengeluarkan album baru. Ketika mereka berjuang keras untuk mengeluarkan album baru, muncul satu masalah besar: gitaris Dion Blues keluar dari band.

"Penyebab Dion keluar karena saat itu ada orang tak bertanggung jawab yang mengelola GRIBS. Pernyataan lebih lengkap pernah saya sampaikan di Rolling Stone tanggal 24 Oktober 2011 kalau tidak salah" ujar Rezanov, vokalis GRIBS ketika ditanya perihal penyebab keluarnya Dion.

GRIBS dibentuk oleh Rezanov dan Dion ketika masih kuliah, medio 2005 silam. Saat itu Dion baru bisa bermain gitar dan Rezanov masih belum pernah punya pengalaman manggung. Formasi band jadi lengkap ketika Rashta (drum) dan Arief (bass) bergabung. Mereka berempat adalah saudara sepupu. Karena tipologi rambut mereka yang gondrong dan kribo, akhirnya mereka menamakan band ini GRIBS, yang merupakan akronim dari Gondrong Kribo Bersaudara. Sudah bersama sejak lama, kehilangan Dion ternyata lumayan mengganggu proses kreatif GRIBS dalam menggarap album baru.

"Di GRIBS kami sudah mengalami suka duka bersama. Mulai manggung nggak ada penontonnya sampai manggung yang ditimpuki dan disuruh turun. Semua kami lalui saat masih bersama Dion.  Secara band, saat itu Dion, Arief, Rashta dan saya sendiri bisa dibilang sudah bisa ‘mengendalikan ego’ ketika diatas panggung. Saat ini saya masih mengenang saat itu. When we were fool  but powerful" kenang Reza.

Tapi GRIBS tidak mau terus menerus stuck in a moment. Tiga orang personil yang tersisa bergerak dengan cepat untuk mencari pengganti Dion. Setelah melihat beberapa nama gitaris yang dirasa cocok, akhirnya GRIBS memilih Eben Andreas untuk menjadi gitaris pengganti Dion. Ternyata langkah mencari pengganti Dion sudah disiapkan Rezanov sebelum Dion hengkang. 

"Sehari sebelum Dion hengkang, saya sudah menghubungi Eben untuk membantu kami menyelesaikan pekerjaan manggung yang sudah keburu disepakati. Karena waktu itu saya sudah ada perasaan kalau dia (Dion, red.) tidak mungkin meneruskan band ini" kata Reza pada Rolling Stone.

Eben Andreas dikenal sebagai pemain lama di scene Japanesse Rock Indonesia. Ia pernah membentuk band Black Lavender yang sering memainkan lagu-lagu dari band rock Jepang seperti L'Arc En Ciel, Sex Machineguns, Loudness, dan X-Japan. Eben juga pernah memperkuat unit glam rock legendaris ibu kota, Mama Rocker. Setelah keluar dari Mama Rocker, Eben lebih aktif sebagai gitaris solo serta menjadi music director untuk beberapa musisi. 

Terimakasih kepada dunia maya yang membuat pertemuan antar manusia jadi lebih mudah. Rezanov bertemu dengan Eben di jagat facebook. Karena kepincut dengan permainan gitar Eben, Rezanov langsung berkenalan dengan gitaris pengagum Jason Becker itu. Perkenalan dunia maya itu berlanjut dengan rendezvous di Warung Apresiasi, Bulungan.

"Saat itu Reza menghubungi saya via telepon. Kebetulan saya dan Reza sudah berkenalan agak lama lewat internet. Saat itu Reza meminta saya jadi gitaris di GRIBS karena sepertinya Dion tidak bisa lagi memperkuat GRIBS" kata Eben mengenai ihwal bergabungnya dia sebagai gitaris GRIBS.

Tapi bergabungnya Eben tidak serta merta membuat GRIBS langsung tancap gas dalam menggarap album baru. Mereka jelas harus membangun chemistry terlebih dahulu. Karena itu, Rezanov, Rashta, Arief, dan Eben beberapa kali manggung untuk melumas mesin rock mereka yang sempat lama terbengkalai. Tercatat panggung Urban Fest 2011 menjadi panggung pertama GRIBS bersama Eben.

"Ya, kami memang harus lebih banyak bertemu dan 'pacaran' lagi untuk mendapatkan spirit GRIBS yang sempat hilang. Itu tantangannya" ujar Reza mengenai proses adaptasi Eben.

Keluarnya Dion dan masuknya Eben diakui Reza akan mengubah karakter gitar di GRIBS. Bagi Reza, kekuatan Eben ada pada permainan gitar yang liar serta sanggup memberikan riff-riff yang dibutuhkan GRIBS untuk melebarkan aransemen. Selain itu, pengalaman Eben sebagai music director dianggap sangat membantu GRIBS.

"Dion belum memiliki itu, tapi dia lebih paham soal sound gitar yang dibutuhkan band ini" tambah Rezanov.

Bergabungnya Eben bukan tidak menimbulkan riak di luar GRIBS. Banyak suara sumbang, baik itu sekedar joke atau kekhawatiran serius, bahwa masuknya Eben akan menjadikan GRIBS sebagai band solo gitar.

Eben bukannya tidak menyadari itu. "Iya, karena banyak yang mengenal saya sebagai gitaris solo dan seringkali bikin musik instrumen solo gitar, makanya ada komentar seperti itu. Tapi karena ini format band, jadi saya akan lebih mengutamakan vokal dan musik secara keseluruhan. Lagipula ego saya sudah terlampiaskan di proyek solo" ujar Eben.

Setelah beberapa kali manggung bareng, Eben sudah mulai dirasa klop dengan GRIBS. Apalagi permainan gitar Eben juga banyak dipengaruhi band-band hair metal macam Guns N Roses dan Motley Crue, yang juga menjadi influence GRIBS. Saat ini GRIBS sudah kembali mulai memanaskan rock machine mereka. 

"Kami sedang melakukan workshop saat ini. Kami memang punya stok sekitar 30 lagu . Tapi dengan kehadiran Eben, kami harus merombak ulang dari segi aransemen. Saat ini sudah ada 10 lagu baru yang sudah jadi tapi kami masih belum puas" kata Reza. 

Kapan album kedua ini akan dirilis?

"Kami targetkan paling lambat September. Karena memang semua butuh proses. Tapi untuk mengisi kekosongan sampai bulan September, kami akan mengeluarkan single" kata Rezanov. Beberapa saat lalu GRIBS melempar unreleased track berjudul “Sosialisasi Sang Anjing” dan dapat diunduh secara gratis di internet.

Lalu bagaimana dengan Eben? Akankah ia menjadi gitaris tetap di GRIBS?

"Kami sudah merencanakan itu. Tapi masih deg-degan untuk melamarnya, hahaha" ujar Rezanov dengan tawa berderai.

post-scriptum: awalnya ditulis untuk situs ini

Rabu, 14 Maret 2012

Intermezzo: Tentang Gadis Ahli Fandango


Perempuan, kemarilah. Merapat. 
Berikan aku sebuah fandango yang anggun.
 Dimana akan kunikmati derap kaki telanjangmu di aspal malam yang dingin
Sama seperti aku menikmati degup jantungku sendiri
Yang menandakan bahwa aku masih hidup 
dan ditakdirkan melihatmu melakukan fandango yang anggun 
di tengah malam di bawah sinar bulan keperakan
 Jadi, mari kesini dan merapat
Berikan aku sebuah fandango
Yang anggun

Selasa, 13 Maret 2012

Pianika dan Buku Untuk Semua

Saya selalu bersyukur bahwa hidup saya dikelilingi oleh teman-teman yang hebat.

Mari bertemu dengan Ardi Wilda Wirawan. Sejujurnya kami tak pernah bertatap muka secara langsung. Hanya melalui media sosial dunia maya. Ia sahabat dari Fakhri Zakaria, guru saya dalam menulis soal musik sekaligus pria yang digadang-gadang bakal meneruskan kebesaran trah Sakrie dalam dunia kritik musik. Saya, Fakhri, dan Awe sesekali bertukar guyonan dan saling meledek. Alumnus jurusan Komunikasi UGM  ini juga pernah bekerja sebagai reporter magang di Rolling Stone Indonesia. Awal tahun 2012, dia diterima sebagai salah seorang pengajar dalam gerakan Indonesia Mengajar, sebuah gagasan Anis Baswedan yang menempatkan para pengajar muda untuk mengajar di sekolah-sekolah daerah terpencil. Awe --panggilan akrabnya-- mendapat tempat dinas di Lampung.

Awe memang bukan pemuda biasa. Meski secara garis besar tugasnya adalah mengajar, ia melakukan lebih dari itu. Ia membuat program Pianika Untuk Semua. Penggemar Blur ini bekerja sama dengan BEM FKIP Unila dan beberapa komunitas lain, akan mengadakan konser akustik di Taman FKIP Unila. Donasi dari acara ini akan digunakan untuk pengadaan dan distribusi pianika bagi SD-SD yang diajar oleh para pengajar muda. Kenapa pianika? Nanti akan saya tanya Awe.

Misi Awe sederhana tapi sangat berarti: mengajarkan musik pada para anak didiknya. Untuk mengetahui keadaan SD tempat Awe mengajar, dan bagaimana para muridnya ingin belajar musik tapi tak punya prasarana, silahkan tengok videonya disini.

Dari Lampung, mari kita kembali ke Jawa. Tepatnya di Solo.

Saya mempunyai dua orang kawan lagi disana. Yang pertama adalah Yusuf, tapi ia menambahkan nama kampung halamannya sebagai nama belakang. Jadilah ia dikenal dengan nama Yusuf Solo. Ia adalah seorang traveler kawakan. Pernah menjelajah sebagian besar Indonesia, Asia, bahkan Eropa. Lalu yang kedua adalah Taufiq Almakmun. Pria ini juga seorang traveler kawakan. Ia biasa traveling bareng mas Yusuf.

Traveler yang baik adalah traveler yang tak melulu jalan-jalan. Ia mempunyai tanggung jawab moral untuk menceritakan apa yang dilihat dan dirasakan.

Begitu juga mas Yusuf dan mas Taufiq. beberapa waktu lalu mereka pergi menjelajah Sulawesi. Ketika sedang tinggal di Tomia --satu dari gugusan pulau Wakatobi--, mereka terhenyak ketika buku yang mereka bawa ternyata menjadi sangat berharga bagi anak-anak disana. Di Tomia, buku bacaan ternyata sangat susah untuk didapatkan. Pengalaman berkesan itu akhirnya mendorong mas Yusuf dan mas Taufiq untuk membuat gerakan "Books Drive for Children of Tomia" bersama komunitas mereka, Explore Solo Community.


Gerakan sosial ini mengajak kita untuk menyumbangkan buku-buku bacaan yang sudah tidak digunakan lagi, untuk kemudian akan disumbangkan kepada anak-anak di Tomia. Bagi kalian yang mau menyumbangkan buku bacaan (tentunya yang layak dibaca oleh anak-anak), bisa mengirimkan atau memberikan langsung ke basecamp Explore Solo Community: Wisma An Noer Panggung Rejo 17, RT 02/ XXIII, Jebres, Solo, 57126.

Punya kawan-kawan seperti mereka ini, mau tidak mau makin mendorong saya untuk berbuat sesuatu. Sial, kalian  membuat saya tidak bisa bermalasan terus-terusan...

Banyuwangi, Bali, Chili, Gili (Part 3)

"Nanti lewat Malimbu aja Ran" kata kak Ririn selagi saya sedang membereskan carrier.

Ya, pagi ini saya akan berangkat menuju Gili. Tujuan saya memang Gili Meno, pulau yang paling sepi diantara gugusan 3 gili. Kata kak Ririn ada dua jalur menuju Bangsal, pelabuhan kecil tempat diberangkatkannya kapal menuju gili-gili tersebut. Yang paling populer adalah jalur Malimbu. Ketika memilih jalur ini, akan ditemui pemandangan menakjubkan, laut luas yang dapat dilihat dari puncak bukit. Jalan menuju Malimbu memang berbukit dan menanjak.


Sekitar jam 9 pagi, saya berangkat. Menuju Malimbu. Sebelum masuk Malimbu, saya lebih dulu melewati Pantai Senggigi. Pantai ini sudah tak seramai dahulu. Bisa jadi akibat pembangunan pariwisata yang terlalu cepat dan tak memikirkan prospek jangka panjang. Jadinya pantai legendaris ini tidak sebersih dulu. Selain itu, pesona 3 gili juga turut meredupkan popularitas pantai Senggigi.

Dari Mataram menuju Bangsal, bisa ditempuh dalam waktu 2 jam. Jalan menuju kesana relatif baik, dengan pemandangan yang membuat kita sejenak menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Pemandangan ini juga membuat saya berkali-kali berhenti untuk memotret. Tak salah saya "melarikan diri" ke Lombok ini.

"Mister, bla bla bla is great, you must come there" teriak dua orang yang berboncengan menggunakan motor matik pada saya. Saya hanya bisa bengong.

Mereka berhenti. Masih berbahasa Inggris patah-patah. Menawarkan rental kendaraan untuk pergi ke pantai yang katanya bagus.

"Saya orang Indonesia pak" kata saya dengan senyum.

Mereka melengos, lalu langsung pergi. Sialan. Dasar mental inlander. Mereka mengira saya wisatawan asing. Mungkin saya dikira turis dari Thailand atau Vietnam. Sama-sama negara Asia dengan kontur muka yang tak jauh berbeda dengan Indonesia.

Ketika saya masuk Bangsal, hari sudah lumayan siang. Menjelang pukul 11. Matahari sudah nyaris sejajar dengan ubun-ubun. Menyengat. Setelah membayar retribusi sebesar Rp. 1000, saya langsung mencari penitipan motor. Ongkosnya Rp. 10.000/ 1 malam. Setelah memarkir motor, saya langsung menuju kantor tempat penjualan tiket kapal kayu menuju Gili Meno.

"Kapal menuju Gili Trawangan butuh 7 orang lagi"

Suara seorang perempuan terdengar dari speaker kecil yang ditempel di tembok. Satu kapal kayu biasa diisi sekitar 20-25 orang. Tapi kata seorang bapak di sebelah saya, dia pernah melihat kapal ditumpangi sekitar 40 orang.

"Ke Gili Meno satu mbak" kata saya pada mbak penjual tiket.

"Wah mas, ke Meno udah tadi pagi jam 10. Ada lagi baru jam 2 nanti. Yang mau berangkat sekarang itu yang ke Trawangan" mbak penjual menjelaskan.

Lalu saya tanya-tanya mengenai jadwal kapal ini. Untuk kapal ke Gili Trawangan, ada setiap jam. Tak heran, pengunjung ke pulau ini memang yang terbanyak. Untuk ke Gili Meno, pulau yang paling kecil dan yang paling sepi, ada setiap 1-2 kali sehari. Biasanya berangkat jam 9.30 atau jam 10. Kadang ada juga yang jam 2 siang, seperti hari ini. Lalu untuk menuju Gili Air, ada 2 kapal tiap hari menuju kesana. Biasanya berangkat pagi, antara jam 8 hingga jam 11 siang.

Untuk harga tiket, cukup terjangkau. Ke Gili Air, yang paling dekat dari Bangsal, cukup membayar sebesar Rp. 8.000. Ke Gili Meno yang berada di tengah, tiketnya sebesar Rp. 9.000. Lalu menuju Trawangan, harganya sebesar Rp. 10.000.

Karena menunggu hingga jam 2 saya rasa terlalu lama, maka saya memutuskan untuk pergi ke Gili Trawangan terlebih dulu. Tak perlu menginap, cukup menghabiskan waktu hingga jam 3 sore. Karena ada kapal dari Trawangan yang akan menuju Meno pada jam itu, harga tiketnya sebesar Rp. 20.000.

Setelah saya, ada serombongan perempuan berdarah timur tengah yang memborong tiket. Akhirnya kuota terpenuhi. Semua penumpang menaiki kapal kayu berukuran sekitar 20 meter itu. Di bagian atas kapal, ada puluhan pelampung berwarna oranye tergantung. Entah kenapa, melihat pelampung itu, bukan rasa tenang yang di dapat, malah bikin deg-degan. Memang seharusnya pelampung disimpan di tempat yang tersembunyi saja.



 Di dalam kapal ada berbagai tipologi penumpang. Ada sepasang suami istri bule yang membawa anak mereka, baru berumur beberapa bulan. Ada juga para pekerja yang akan mengadu nasib di Trawangan. Hingga penduduk lokal yang habis kulakan barang dagangan di Lombok.

Dari Bangsal menuju Trawangan ditempuh dalam waktu kurang lebih 45 menit. Ombak tak seberapa besar, walau cukup menggoncang adrenaline. Tapi tak separah guncangan rodeo boat yang pernah saya tumpangi dari Kalianget menuju pulau Sapudi, beberapa tahun silam bersama Ayos, Putri, dan Nurul.

Trawangan Yang Mirip Ibiza

Hup!

Saya meloncat dari kapal kayu menuju air yang bening serupa kristal. Pasir putih mulai menggoda saya untuk bergulingan. Tapi nanti dulu. Ditahan. Di Trawangan banyak kapal merapat. Saya lalu berjalan ke arah kanan (entahlah itu ke arah utara, selatan, timur, atau barat, saya buta arah). 


Trawangan mirip seperti Bali dalam skala lebih kecil. Pulau ini lebih cocok disebut sebagai kota ketimbang pulau. Nyaris segalanya ada disini. Hostel, hotel, bar, klub malam, tempat persewaan sepeda, bahkan hingga ATM. Semua orang yang pernah dengar nama Trawangan pasti juga sudah tahu kalau di pulau ini tak boleh ada kendaraan bermotor. Karena itu sarana transportasi yang ada cuma sepeda dan cidomo (sebutan orang Lombok untuk delman).




Siang di Trawangan tak begitu riuh. Hanya penuh manusia.

"Tapi kalau malam disini rame banget mas, kayak Bali" kata seorang ibu penjual nasi campur tempat saya makan.

Saya terus berjalan ke arah kanan. Tapi pasir putih dan air laut yang jernih terus bawel. Mereka memanggil-manggil saya.

"Nuran, nuran, ayo buka baju, perlihatkan perutmu yang six-pack itu" goda mereka.

Oke, saya nyerah. Saya langsung merangsek ke arah semak, menerabas mereka untuk mencapai pantai. Menaruh tas, mengganti celana panjang dengan celana pendek, lalu langsung melompat menuju air. Hurrah!

Tapi saya tidak melepas baju. Takut dikerubungi para perempuan yang histeris melihat seksinya perut saya. Saya kesini untuk menyepi, bukan untuk dikerubungi perempuan (lagi), hehehe.

Setelah saya sedikit lelah berkecipak di air dan dipanggang srengenge, saya menepi, berteduh di bawah sebatang pohon kapuk berukuran lumayan besar. Melihat para manusia yang berseliweran. Di pulau, yang kata mas penjaga rental sepeda, sudah mirip Ibiza. Apalagi di malam hari.

"Saya pernah ke Gili Air, suara musik dari sini terdengar sampai sana mas" katanya menjelaskan. Saya cuma tersenyum kecut. Ditambah saya tak tertarik untuk merayakan hidup dalam keramaian. Karena bagi saya, sunyi sepertinya jauh lebih menarik. Setidaknya saat ini.

Saya mengeluarkan buku, membaca di bawah teduh rindang batang pohon kapuk sembari terkantuk-kantuk. Jam 3 masih lama...

Minggu, 11 Maret 2012

Banyuwangi, Bali, Chili, Gili (Part 2)

"Nggoooongggg"

Suara bel kapal laut mulai terdengar sayup dari kejauhan. Naga-naganya saya sudah nyaris sampai di pelabuhan Padang Bay. Benar saja, beberapa detik setelah bunyi itu terdengar, saya memasuki mulut pelabuhan. Setelah pemeriksaan surat-surat, maka saya mengarahkan motor ke loket. Membayar Rp. 101.000 untuk satu motor dan penumpang, lalu masuk ke dalam antrian motor. Kapal kira-kira akan berangkat 30 menit lagi.

Berdasarkan info dari petugas pelabuhan, kapal feri menuju Lombok diberangkatkan tiap 2 jam sekali. Selagi menunggu, saya memesan segelas kopi susu. Ia datang dengan asapnya yang mengepul. Membuat saya memonyongkan bibir untuk meniup kopi susu itu agar lekas hangat dan bisa diminum. Saya kemudian mengedarkan pandangan. Mengamati manusia.

Ada kakek-kakek berdandan mirip dukun, berbaju serba hitam dan memakai banyak kalung serta gelang. Di kepalanya, terikat udeng dengan warna yang sama. Ia memakai celana klombor diatas mata kaki. Jenggotnya yang putih tampak berkibar dielus angin laut yang lengket. Ia melempar senyum balik, ketika saya tersenyum dan menganggukkan kepala pada beliau.

Ada pula satu keluarga dengan anak kecil yang begitu aktif. Meloncat kesana-kemari. Bertanya ini itu. Ada juga rombongan turis manca yang memanggul tas carrier berukuran besar. Sebagian tas mereka adalah Deuter, merk yang selama ini menjadi idaman saya tapi belum berhasil saya beli. Harganya cukup bikin kepala pengangguran macam saya ini berdenyut.




Beberapa menit setelah kopi susu tandas dan tersisa ampas, petugas membuka pintu antrian. Motor-motor yang sedang antri langsung bergerak. Masuk ke dalam kapal. Memarkir tanpa dikunci setir. 

Saya langsung naik ke atas dek penumpang. Kapalnya tidak bagus-bagus amat. Dek penumpang berupa ruangan luas dengan jejeran kursi berbahan spon dan dilapisi kulit imitasi berwarna cokelat. Ada satu TV kecil yang suaranya tidak begitu jelas terdengar. Acara Komeng dan Adul, dua pelawak favorit saya. Meski suaranya tidak jelas, saya bersyukur acaranya bukan live concert Nafa Urbach.

Setelah menunggu nyaris 30 menit, kapal dengan pongah mengeluarkan bunyi ultra keras. "Ngggoooonggg". Suara klakson kapal itu membelah udara. Membuat camar-camar kalang kabut berhamburan. Kapal pun bergerak perlahan. Banyak orang berdiri di dek, menatap nanar pulau Bali yang perlahan tampak kecil. Semakin kecil. Lalu hilang, seperti ditelan lautan.

So long Bali!

***

Saya bangun setelah mendengar pengumuman bahwa kapal akan merapat di pelabuhan Lembar. Hmm, sudah 5 jam rupanya. Saya bangun dari kursi keras itu. Lalu keluar, menuju dek paling atas. Rambut saya langsung diterpa angin, berkibar. Ah, kalau begini saya jadi merindukan rambut gondrong saya. Percayalah, perasaan ketika rambut gondrong berkibar diterpa angin itu adalah perasaan yang paling menyenangkan.

Angin pulau Lombok langsung menyapa dengan gelegak rindu. Awan gelap tampak menggelayut bergulung-gulung. Tanda akan turun hujan. Ah, sudah 3 tahun saya tidak menginjakkan kaki di pulau ini. Jejeran bangunan di pelabuhan sudah menampakkan diri. Saya tidak bergegas. Ingin menikmati dulu angin lautan yang membebaskan. Membuat saya melambungkan angan menuju Sulawesi, Papua, atau Mentawai. Tanah-tanah impian yang belum sempat saya jelajahi, airnya belum saya reguk, dan anginnya belum saya peluk. Nanti ya, nanti.



Kapal makin dekat dengan dok pelabuhan. Saya memanggul tas, memasang jaket dan syal, lalu bergegas turun. Setelah nemplok di atas sadel, saya menghidupkannya. Suara mesin motor tidak jelas terdengar karena kalah dengan suara mesin kapal, hanya terasa getarannya. Pintu kapal dibuka, tali tambang sudah ditambatkan. Lombok menyapa dengan ramah.

"Selamat datang di Lombok monseur! Jelajahi saya dengan senang hati!"

Saya menarik gas, motor pun melesat, mengiris sore di Lombok yang dihiasi gerimis.

***

"Kamu dimana Ran?" 

Sebuah sms masuk. Dari Rafli. Pria bernama lengkap Lalu Rafli ini adalah mantan Pemimpin Umum Tegalboto, organisasi pers mahasiswa tempat saya bernaung selama beberapa tahun. Saya sudah nyaris 3 tahun tak bertemu dengannya. Terakhir bertemu ketika saya dan Ayos main ke Lombok tahun 2009 silam. Hmm, bagaimana kabar pria berkulit gelap dan bertampang mesum ini sekarang? 

Setelah saya kasih tahu alamat tempat saya menginap, saya pun menunggunya datang. Oh ya, di Lombok ini saya menginap di rumah kak Ririn, seorang sepupu dari pihak ibu saya. Ia sudah nyaris 6 tahun tinggal di Mataram. Sekarang ia tinggal di Karang Genteng (huruf E dibaca dengan lafal E pada kata 'edan'), sebuah daerah yang terkenal sebagai sentra penjual mutiara.

Tak berapa lama, Rafli datang. Olala, ia tak jauh berubah. Masih saja berkulit gelap, rambut tegak berdiri macam kaktus, dan seringainya tetap saja mengesankan mesum yang tak akan bisa dihilangkan. Tapi ada beberapa hal yang berubah. 



Yang pertama, ia sudah tidak single. Ia sudah menikah beberapa bulan silam. Istrinya sama-sama orang Lombok, mantan teman sekantornya di sebuah bank. Lalu perubahan kedua sebenarnya tidak kentara kalau saya tidak jeli.

"Saya baru dari Mataram Mall nih sama istri"

"Rumah saya di Selong, Lombok Timur"

"Rencananya, saya mau ke Bali minggu depan"

"Aduh, saya kangen sama anak-anak Tegalboto"

Eureka! Itu dia. Rafli sekarang memakai kata 'saya' untuk menggantikan kata 'aku' sebagai kata ganti orang pertama. Dan entah kenapa, saya jadi geli mendengarnya. Ia berkali-kali saya gojlok perihal kebiasaan barunya ini.

"Meski raimu mesum, kamu sekarang udah pakai kata 'saya' ya?" gojlok saya.

"Hahaha, jancuk" balas Rafli.

Sore makin menua dengan cepat. Matahari tergelincir dan gegana memerah. Melihat waktu yang melesat, Rafli berpamitan. Rumahnya  di Selong, jauh dari Mataram, ada di ufuk timur. Memakan waktu sekitar 45 menit dari Mataram menuju Selong. Rafli dan sang istri lalu masuk ke dalam mobil jip-nya, bersayonara, dan berjanji akan menemui saya lagi.

Jip Rafli melaju perlahan, meninggalkan debu yang mengiringi hilangnya mobil dari pandangan mata.

Hari sudah sore, mari masuk ke dalam...

Rabu, 07 Maret 2012

Banyuwangi, Bali, Chili, Gili (Part 1)

Tanggal 10 Februari 2012. Pagi masih muda. Selepas sarapan bubur di pasar Tanjung, dengan keyakinan mantap, saya menarik tuas gas motor. Lalu perlahan tapi pasti, motor saya membelah pagi yang cerah. Dari Jember menuju Banyuwangi biasa ditempuh dalam waktu 3 jam.

Ada beberapa spot yang menarik ketika menuju Banyuwangi. Spot pertama adalah perkampungan pecel Garahan. Garahan adalah sebuah daerah di ujung Jember. Dulu di stasiun Garahan, banyak terdapat penjual nasi pecel pincuk. Harganya murah meriah (2500-3000) dan lauknya sederhanya: tempe dan tahu. Rasa bumbu pecelnya pedas bercampur sedikit manis dengan tekstur kacang yang kasar. Karena selalu laris, akhirnya para penjual mulai ekspansi di jalan. Mendirikan warung-warung berbahan dasar bambu dan beratap kain spanduk. Sekarang di sepanjang jalan Garahan, ada belasan warung yang menjual nasi pecel. Kalau penasaran, tak ada salahnya mencoba nasi pecel murah meriah ini. Oh ya, juga disediakan lauk tambahan seperti ayam goreng atau telur asin.

Spot kedua adalah Gunung Gumitir. Sebelum masuk Banyuwangi, kita akan melewati kelokan-kelokan tajam nan panjang disana. Gunung ini begitu menggoda bagi para pecinta adrenaline. Tinggal menarik tuas sedalam-dalamnya, mencoba menikung, dan menghindari truk atau bis berukuran gigantis. Jangan lupa untuk menghindari lubang menganga yang siap memamah anda ketika lengah.


Salah satu yang menarik dari Gunung Gumitir ini adalah adanya tukang awe-awe. Ini adalah sebutan untuk orang yang berdiri di pinggir jalan, memberikan semacam peringatan mengenai ada atau tidaknya kendaraan di depan yang terhalang tikungan, sembari melambaikan tangan (mengawe). Para tukang awe ini terdiri dari nyaris semua umur: kakek, nenek, bapak, ibu, anak, bahkan bayi. Sempat saya bertanya kenapa anak-anak kecil itu tidak sekolah. Tapi jawabannya sudah jelas: biaya. Ya, itu adalah alasan klise namun masih saja relevan.

Kalau malam tiba, biasanya para tukang awe-awe ini tinggal di gubuk sederhana yang mereka buat sendiri sembari menyalakan suluh kecil sebagai penanda jalan. Karena memang nyaris tak ada penerangan di gunung ini.

Saya menghirup udara Banyuwangi sekitar pukul 11 siang. Agak lama karena saya beberapa kali berhenti untuk ngaso dan memotret. Pemandangan di pintu masuk Banyuwangi sebenarnya tidak seberapa spesial. Sawah, rumah penduduk, atau pasar. Sesekali jejeran rumah makan. Salah satu yang sempat membuat mata saya melirik dan nyaris membuat saya menghentikan motor adalah penjual es degan durian. Hmm, sepertinya nikmat. Membayangkan kelapa muda dan durian bercampur, ditambah dengan es batu, pasti sangat segar diminum ketika hari sedang terik begini. Tapi saya berhasil mengalahkan godaan itu dan tetap meneruskan perjalanan.

Saya menuju rumah Om Asang, adik dari almarhum ayah saya. Ia bekerja sebagai peneliti budaya. Karena itu saya beberapa kali diundang menyaksikan acara budaya suku Using, suku asli Banyuwangi.

Siang masih saja terik ketika saya disuguhi sepiring nasi pecel lengkap dengan lauk paru goreng. Alamak, lupakan kolesterol. Makanan adalah nikmat yang harus disyukuri kapanpun ia datang. Karena lapar, tak seberapa lama nasi itu pun sudah tandas. Dan layaknya yin-yang, kenyang dan kantuk itu adalah sepasang dan nyaris tak bisa dipisahkan. Saya pun resmi tertidur.

Ketika bangun, hujan deras turun dan petir menyambar. Membuat saya merapatkan selimut. Padahal rencananya jam 3 sore saya sudah harus menuju Bali. Ah, santai saja. Toh tak ada yang harus dikejar. Saya menoleh sejenak ke jendela, menatap rinai hujan dengan pandangan nanar, lalu kembali mengatupkan mata.

Kembali tidur.
***

"Siang mas. Tolong surat-suratnya" sapa seorang petugas di pelabuhan Ketapang. Hari masih tidak terlalu panas. Saya mengeluarkan surat yang diperlukan. SIM dan STNK.

"Mau kemana mas? Kok bawaannya banyak banget?" tanya sang petugas melihat tas carrier saya yang nemplok di punggung. Saya bilang saja mau kemping di Lombok. Ia mengatakan bahwa ombak sedang bagus, tidak terlalu bergolak. Jadi dia menjamin bahwa perjalanan menuju Lombok pasti lancar. Semoga.

Setelah membayar tiket sebesar Rp. 16.000, saya langsung mengarahkan motor menuju kapal. Memarkirnya, lalu naik ke atas geladak. Seperti biasa, tak pernah berubah, kapal dibuat riuh oleh para penjual beraneka barang dengan aneka cara promosi. Ada yang melawak, ada yang melempar ke penumpang.

Tak berapa lama, terdengar suara dengung dari bagian buritan. Buih putih menderas. Gelembung air berlompatan. Kapal bergerak perlahan. Meninggalkan pulau Jawa.

So long!
***

Bali sedang bergembira. Tanggal 12 Februari adalah hari besar untuk penduduk Bali, Hari Raya Kuningan.  Para penduduk Bali turun ke jalan dengan pakaian adat yang didominasi warna putih dan kuning. Membawa sesajen yang ditempatkan pada daun nyiur. Mata-mata mereka bulat nan indah. Dahi mereka dihias dengan butir beras. Mereka bergembira dan senyum pun berparade. Mereka seperti menyadari betul bahwa hidup adalah perayaan.

Dan yang membuat saya tersenyum gembira, perempuan-perempuan Bali muncul dengan pakaian adat. Mereka terlihat begitu anggun. Sangat cantik sekaligus eksotis. Beberapa kali saya bertukar senyum dan sapa dengan para gadis ini. Aduh! :)

Seperti biasa, saya beberapa kali berhenti untuk memotret dan mengobrol dengan beberapa orang yang saya temui dengan acak di jalan. Salah satu spot menarik di sepanjang jalan Gilimanuk-Denpasar, adalah di perbatasan Negara-Tabanan. Di sebelah kanan ada persawahan. Pemandangan hijau itu ditingkahi dengan birunya lautan lepas. 



Saya pun sempat berhenti sejenak di pantai yang saya lupa namanya. Memakan jagung bakar sembari ngobrol dengan bocah-bocah kecil kenes yang minta dipotret dengan malu-malu.

"Kamu dimana ran?"

Sebuah sms masuk. Dari kak Wiwin. Sepupu saya ini ternyata mengkhawatirkan saya yang tak kunjung datang. Dikira ada apa-apa. Saya baru sadar. Saya menengok langit yang ternyata sudah menua. Tampaknya sebentar lagi matahari akan lelap dan hari akan gelap. Saya harus bergegas. Rumah kak Wiwin ada di Tabanan, disana saya akan menginap.

Selepas jagung tinggal bonggol, saya kembali memacu motor. Membelah Bali yang sedang bergembira dan larut dalam upacara adat yang syahdu.

Is everybody in? The ceremony is about to begin...
***
 
Rumah kak Wiwin terletak di sebuah perumahan kecil dekat pusat kota Tabanan. Saya selalu mampir kesini setiap pergi ke Bali. Hari ini saya akan menginap semalam, untuk kemudian pergi menuju Lombok pada esok paginya.

Malam datang. Suara anjing melolong. Saya jadi ingat pernah lari terbirit-birit bersama Budi, kawan akrab saya semenjak SMP, gara-gara digonggong oleh anjing di perumahan ini. Kami berdua memang takut anjing. Saat itu ban motor kami bocor dan harus dituntun. Ada anjing di depan kami, berdiri dengan gagah dan menatap kami dengan nyalang. Kami sok berani dan mengatakan pada diri sendiri "jangan lari, jangan lari".

"Guuuk!" anjing itu mengonggong. Dan kami pun ngibrit ketakutan, menaiki motor yang bannya bocor itu. Sialan. Kami hanya mampu meneriakinya "Jancuk!" dari kejauhan. Ya, kami sangat menyedihkan kalau berhadapan dengan anjing.

Karena lelah, tak butuh waktu lama untuk terlelap. Mimpi membawa saya lebih ke timur. Menuju Lombok dengan pantainya yang nyaris tak pernah gagal membuai saya.

Besok Lombok. Besok, saya akan datang padamu...