Rabu, 28 Desember 2011

Rambut

Kalau ada hal lain selain kata, yang bisa menjadi senjata, itulah rambut. Rambut, tanpa disadari bisa menjadi suatu yang subversif. Setidaknya bagi para kaum penguasa atau kaum mapan.

Salah satu kisah legendaris mengenai rambut gondrong adalah Led Zeppelin yang dulu pernah dilarang manggung di Singapura. Alasannya? Karena rambut mereka gondrong dan ditakutkan akan membawa dampak yang buruk kepada pemuda-pemudi Singapura.

"Kami bahkan pernah ditodong pistol di Texas. Beberapa orang meneriaki kami dan bersumpah serapah tentang rambut gondrong kami dan segala macam" tandas John Bonham, drummer Led Zep mengenai rambut gondrong mereka yang dianggap melawan tatanan dan norma sosial yang berlaku saat itu.

Lalu tengok pula kisah anak-anak punk yang memaknai rambut mohawk sebagai manifestasi kebebasan dan ketertindasan. Rambut itu lantas dijadikan identitas oleh banyak anak punk. Kasus terbaru tentu masih lekat di ingatan. Bagaimana sekitar 6o-an anak punk digunduli oleh polisi syariah di Aceh. Pertanyaannya adalah: kenapa harus digunduli? Banyak variasi jawaban muncul. Tapi bagi saya, penggundulan itu adalah sebuah hinaan, pernyataan "kemenangan" dan juga kepongahan polisi syariah atas kedaulatan anak-anak punk selaku manusia bebas.

Ada lagi kisah mengenai rambut dari negeri China. Kalau kalian pernah menonton film "Shanghai Noon", diceritakan betapa Jackie Chan merasa sangat terhina karena rambutnya dipotong oleh sang musuh. Ya, bagi para pria China kala itu, rambut adalah identitas dan juga harga diri. Kalau rambut panjang nan indah itu dipotong, rontok pula harga diri mereka sebagai pria.

Saya sendiri pernah punya kisah mengenai rambut gondrong. Pernah ditulis disini.

Tapi tak ada yang lebih menghargai rambut selain perempuan. Bagi perempuan, rambut adalah nyaris segalanya. Ia ibarat mahkota. Semaniak apapun pria terhadap gaya rambut; setinggi apapun idealisme yang dibawa oleh rambut; tetap itu semua kalah terhadap penghargaan dan pemujaan perempuan terhadap rambut mereka.

"The hair is the richest ornament of women" ucap Martin Luther suatu ketika. Ia tak sedang berbual.

Kemarin sore saya dan Rina janjian makan bakso. Tapi sebelumnya dia pergi potong rambut dan saya pergi ngopi bareng Arys. Setelah selesai potong rambut, Rina menjemput saya di warung kopi. Saat bertemu, Rina memasang muka cemberut.

Ada apa gerangan, tanya saya dalam hati.

"Salonnya motong rambutku terlalu banyak. Jadinya rambutku agak pendek" katanya merajuk dengan muka yang ditekuk.

Akhirnya di perjalanan menuju warung bakso, Rina bercerita mengenai ikhwal pemotongan rambutnya yang menurutnya berlebihan.

Saya sih sebenarnya tak ambil pusing dengan apapun jenis potongan rambut Rina. Bagi saya, Rina cocok dengan potongan rambut apapun. Dan saya bukan tipikal pria yang heboh dengan apa tatanan rambut pacar saya.

"Potongannya kependekan uy, aku jadi kayak tikus kecebur got" katanya setengah menangis. Di hadapan kami, ada seporsi bakso yang uapnya mengepul. Tampaknya lezat. Tapi alih-alih tergiur terhadap harum bakso yang menguar, Rina malah terus menunjukkan rambutnya yang katanya terlalu pendek.

"Enggak dul, bagus kok" ujar saya berusaha menghibur.

"Ah, kamu kan pacarku. Wajar kalau bilang bagus" kejarnya tak percaya.

Ah, perempuan memang selalu mencari opsi kedua. Saat itu kebetulan mas penjual bakso mengantarkan sepiring lontong dan gorengan, maka saya panggil mas itu.

"Mas mas, potongannya mbak ini bagus gak?" tanya saya konyol. Rina shock, tak menyangka saya akan bertanya pada mas penjual bakso itu. Rina hanya bisa malu dan menundukkan kepala sembari mengomel pelan.

"Bagus kok mas, sip" puji mas penjual bakso tersenyum sembari mengacungkan jempol.

"Tuh kan, bagus dul" kataku sembari tersenyum.

Tapi Rina malah makin cemberut. Kali ini bukan cemberut gara-gara rambut, tapi gara-gara malu.

Ah dasar perempuan :)

4 komentar: