Kapal merapat. Marcopolo datang dari misinya mencari dunia baru, tanah yang sama sekali asing. Masyarakat di sepanjang pelabuhan Venezia mengelukan sang petualang besar sepanjang masa itu. Raja dan Ratu dengan senyum terkembang menyambutnya di kerajaan.
"Selamat datang Marcopolo. Selamat untukmu karena sudah menemukan dunia baru. Bagaimanakah kisah perjalananmu? Bagaimana cara kau menemukan tanah baru itu?" tanya sang raja antusias.
"Tentu dengan buku panduan, sang raja. Judulnya 'Menemukan Tanah Surga Dengan 500 Keping Emas Dalam 20 Hari' " ujar Marcopolo sembari mengeluarkan buku tebal dari tasnya.
Sang raja tercengang. Marcopolo cengar-cengir macam orang terpergok mengintip perempuan mandi.
***
Tentu saja adegan diatas itu adalah adegan imajiner. Fiktif sepenuhnya. Karena Marcopolo tidak pernah berpetualang dengan menggunakan buku panduan. Pun, setelah petualangannya selesai, ia menuliskan buku, tapi bukan buku panduan wisata semacam "Keliling Asia Dengan 500 Keping Emas".
Seiring bertumbuhnya kelas menengah baru di Indonesia, traveling pun bukan menjadi hal yang asing lagi. Traveling is a new life style. Bagi beberapa orang, tingkat kekerenan seseorang bukan lagi diukur dari tempat nongkrong, tapi seberapa banyak destinasi wisata yang ia kunjungi.
Sebelum menjadi tren dan menjelma jadi hal yang mudah dilakukan, tidak semua orang mau melakukan perjalanan. Banyak musabab kenapa orang enggan meninggalkan rumah dan melakukan perjalanan.
Saya akan mengambil contoh 3 orang pejalan jauh favorit saya: Jack Kerouac, Ernesto Guevara, dan Gola Gong.
Pada kurun beat generation yang melahirkan pejalan tangguh macam Jack Kerouac, melakukan perjalanan berarti harus naik turun truk, tidur di motel murahan, rawan dirampok, belum lagi ancaman para redneck yang ultra rasis.
Sedang Ernesto Guevara melakukan perjalanan melintasi Amerika Selatan bersama sang karib Alberto Granado dengan menaiki motor tua --yang sebenarnya lebih layak dimuseumkan-- bernama La Poderosa. Perjalanan mereka bukanlah perjalanan yang mudah. Motor mogok di jalan, kelaparan, dihantam badai, kedinginan, nyaris dikeroyok orang, dan segala macam ketidaknyamanan lain, harus mereka hadapi.
Gola Gong harus berpanas-panas menaiki sepeda untuk menyusuri Malaysia. Lalu terbanting-banting naik kendaraan umum menuju Thailand, hidup bersama para biksu muda, tidur di sembarang tempat beralaskan kantong tidur beratapkan langit telanjang, menggadaikan barang berharganya untuk ongkos perjalanan, dan segala macam pengorbanan lain.
Tapi hasil dari perjalanan para petualang itu sungguh-sungguh menggetarkan. Jack Kerouac menuliskan "On the Road" yang menjadi kitab wajib bagi para pejalan jauh. Ernesto Guevara menuliskan "The Motorcycle Diaries" yang begitu humanis dan menjadi karya legendaris. Sedang Gola Gong menorehkan catatan perjalanannya untuk beberapa majalah remaja yang kelak akan menjadi bahan untuk "Balada si Roy", novel yang menginspirasi banyak remaja untuk traveling.
Mereka tidak menuliskan tentang "how to get there", "how much is the cost to get there", "where to stay" dan segala macam panduan praktis. Karena saya yakin, mereka sadar bahwa itu tidak penting. Petualangan itu harus kau alami sendiri, tanpa panduan.
***
Di Indonesia, sejak beberapa tahun belakangan marak muncul buku panduan wisata praktis. Buku panduan praktis ini tidak mengacu pada buku panduan macam “Lonely Planet” atau “Rough Guide” dan sebangsanya yang sangat berguna untuk para pejalan dengan waktu terbatas. Termasuk menghemat waktu dalam menentukan dimana tempat menginap dan objek apa yang akan dikunjungi. Selain itu, “Rough Guide” juga menampilkan sisi historis dan budaya dari suatu tempat.
Buku panduan praktis disini dalam artian, pembaca disuguhi rincian biaya untuk akomodasi, dimana harus tinggal, bagaimana cara pergi ke suatu destinasi, dan lain sebagainya. Plus embel-embel biaya murah. Tanpa dinyana, buku panduan praktis itu laris manis tanjung kimpul. Macam orkes dangdut di musim nikah.
Siapa pembelinya? Tentu saja orang-orang yang tergoda untuk melakukan perjalanan tapi selalu terkungkung imej bahwa traveling itu pasti mengeluarkan banyak uang. Televisi juga memainkan peran itu. Banyak program-program feature di televisi yang menampilkan keindahan destinasi wisata. Program televisi itu lantas menggoda para pemirsa untuk melakukan perjalanan.
Nah, jika anda seorang yang belum pernah melakukan perjalanan, lalu ingin melakukan perjalanan, apa yang akan anda lakukan pertama kali? Tentu saja mencari tahu segala hal tentang perjalanan dan destinasi yang ingin anda tuju. Buku panduan praktis menyediakan itu.
Apalagi buku semacam itu diberi iming-iming yang menggoda, yakni harga murah untuk berpergian. Contohnya macam "1 Juta Keliling Negara ini dan itu ", atau "2,5 Juta Keliling Negara Ini Dalam 10 Hari". Siapa yang tidak tergiur?
Akhirnya orang-orang yang ingin melakukan perjalanan tergoda dengan buku panduan praktis itu. Mereka tak tahu kalau info-info dalam buku itu bahkan bisa dicari di mesin pencari bernama Google. Mereka tak salah, sama sekali tak salah. Buku itu pun tak salah, malah sangat membantu. Setidaknya bagi mereka.
Buang Buku Panduanmu dan Menulislah Hal Yang Baru!
Tapi yang mengusik pikiran saya adalah, kenapa banyak traveler cum book writer sekarang hanya berhenti pada (nyaris) penulisan buku panduan praktis? Kenapa tidak berusaha menceritakan sesuatu yang baru? Pengalaman yang ditemui sepanjang perjalanan. Untung buku perjalanan di Indonesia tidak melulu mengenai panduan praktis, tapi ada pula buku travelouge ciamik macam Selimut Debu dan Garis Batas yang ditulis oleh Agustinus Wibowo, Tales from The Road yang ditulis oleh Matatita, dan yang paling anyar adalah Meraba Indonesia yang ditulis oleh Achmad Yunus.
Agustinus menuliskan dua buku itu ketika menyusuri Afghanistan dan negara-negara pecahan Uni Sovyet berakhiran –tan lain. Matatita menuliskan bukunya berdasar pengalaman traveling yang dikombinasikan dengan pengetahuan antropologinya. Sedang buku Yunus dihasilkan dari perjalanannya keliling Indonesia bersama Farid Gaban dengan menggunakan sepeda motor.
Saya sendiri –selama traveling—enggan memakai jasa buku panduan praktis macam yang saya sebut diatas. Ada beberapa alasan kenapa saya melakukannya, juga kenapa saya berharap bahwa para travel writer lebih tertarik untuk menuliskan pengalaman mereka, bukan sekedar buku panduan praktis.
Yang pertama adalah buku panduan praktis itu otomatis lekang oleh waktu. Harga transport, hotel, makanan, pada tahun 2007 jelas akan jauh berbeda dengan harga pada tahun 2012. Bahkan dalam rentang bulan, harga bisa berubah drastis. Bagaimana jadinya ketika orang mau pergi ke Thailand pada tahun 2012 tapi berpatokan pada buku tahun 2005. Bisa-bisa itenary-nya remuk redam.
Tapi buku travelogue yang bercerita mengenai pengalaman, tak akan lekang dihembus masa. "On the Road" dirilis tahun 1959 oleh Viking Press, dan sampai sekarang buku itu masih dijadikan buku bacaan wajib bagi para petualang. Saya bahkan pernah bertemu dengan seorang hippie asal Slovenia yang menyangking buku itu dalam bahasa ibunya, dialihbahasakan menjadi “Na Cesti”. “Motorcycle Diaries” mulai ditulis tahun 1951, dan setiap membacanya, saya tak pernah gagal tergetar dan selalu membuat saya berkhayal menjadi Ernesto yang menyusuri Amerika Selatan. Cerita-cerita Gola Gong dimuat medio 90-an dan berujung pada kisah “Balada si Roy”. Berulang kali saya membaca catatan perjalanannya, saya selalu merasa ingin cepat mengemasi ransel dan berpetulang menelusuri Malaysia, Thailand, hingga India.
Alasan kedua adalah buku panduan praktis (sekali lagi, guide book macam Lonely Planet atau Rough Guide tidak termasuk) biasanya "menyesatkan". Menyesatkan disini dalam artian, harga yang dicetak besar pada kover itu hanya biaya akomodasi. Tidak termasuk tiket pesawat. Lagipula, sebagian besar penulis buku itu memanfaatkan jaringan pertemanan traveler macam Couch Surfing atau Travelers for Travelers untuk memberikan tumpangan menginap yang otomatis meniadakan biaya hostel. Selain itu, patut diingat, info-info macam tempat menginap atau harga, bisa anda dapatkan dengan mudah di milis para pejalan atau dari mesin pencari.
Yang ketiga adalah, saya menganggap intisari perjalanan adalah get lost. Ketika kita mengalami rasa berdesir karena "hilang" di dunia yang sama sekali asing bagi kita, itulah yang tidak bisa dibeli dengan uang. Saat kita tidak tahu mau kemana, kala itulah kita dituntut untuk berinteraksi dengan orang lokal. Mengobrol hangat di warung kopi sembari bertanya ini itu. Atau berjalan mengikuti intuisi. Seringkali, buku panduan itu menumpulkan intuisi dan juga naluri kita. Kita dimanjakan dengan perasaan tenang karena sudah tahu mau menginap dimana, mau kemana, dan makan apa. Ketika sudah merasa aman dan nyaman, kita akan melupakan interaksi dengan orang lokal. Lalu kita akan lebih sibuk mencari jaringan wifi untuk mengunggah foto-foto liburan, mencari colokan listrik untuk charger smart phone anda, atau malah sibuk mengabari teman-teman anda via Blackberry Messenger. Nah!
***
Beberapa hari lalu, terjadi polemik yang disebabkan oleh salah satu tulisan lama di blog Hifatlobrain milik seorang kawan. Intinya mengenai perdebatan penting tidaknya buku panduan praktis seperti yang saya gambarkan diatas. Yang sedikit menganggu saya, adalah komentar dari seorang berakun “Whatever I’m Backpacker”. Ia dengan ceroboh –kalau tak mau dibilang, uhuk, tolol—menuliskan ‘penulisnya pasti belum pernah ke luar negeri’. Saya heran dengan komentar ini. Pertama, apakah ada korelasi antara pernah pergi ke luar negeri dengan kritik mengenai buku panduan? Kedua: Marcopolo, Vasco da Gama, Colombus, Ibn Battuta, Jack Kerouac, Ernesto Guevara, atau Gola Gong, tidak pernah memakai buku panduan praktis dalam melakukan perjalanan. Apakah mereka tidak pernah ke luar negeri? Your argument is invalid dude.
Kalau komen itu ditujukan dengan maksud “ah, pasti mas ini tidak pernah traveling dengan bujet terbatas makanya tidak butuh buku panduan praktis”, maka saya bisa menyanggahnya sampai anda termehek-mehek.
Sebenarnya kalau mau, tanpa buku panduan praktis pun, traveling bisa dilakukan dengan murah, asal mau sedikit keluar dari zona nyaman. Pada tahun 2009, saya dan Ayos Purwoaji (pemilik blog Hifatlobrain sekaligus penulis artikel berjudul
“Dangkal” yang dijadikan sumber polemik) menempuh perjalanan selama 3 minggu, menyusuri daratan Jawa hingga Flores dan Pulau Komodo, bahkan sempat melipir ke Pulau Moyo (Ini sekaligus untuk menyanggah pernyataan dari para komentator yang menuding bahwa pemilik blog Hifatlobrain pasti tidak pernah traveling).
Tahu berapa total biaya yang kami keluarkan? Hanya Rp. 900.000 per orang. Tapi kami tidak naik moda kendaraan umum. Kami naik motor hingga Sumbawa, nunut truk sampai Flores, naik kapal penduduk Desa Komodo, beli makan sebungkus berdua, tidur di masjid, dan bahkan menumpang nginap dan makan di rumah penduduk lokal. Sebenarnya bisa saja kami menuliskan buku "900 ribu Menyusuri Jawa hingga Flores Selama 3 Minggu", tapi kami enggan melakukannya. Kenapa? Karena kami berdua dari awal berkomitmen akan menuliskan sesuatu yang baru, bukan sekedar panduan praktis. Tapi experience of traveling. Dan biasanya, lebih banyak orang yang tertarik untuk pergi traveling ketika membaca kisah traveling yang menggugah, bukan ongkos yang harus dikeluarkan ketika traveling.
Setidaknya itu yang terjadi pada saya, yang tergerak untuk melakukan perjalanan setelah membaca “Balada si Roy”, bukan karena buku “Traveling Keliling Indonesia Dengan 1 Juta” atau apapun itu judulnya.
Tabik!