Selasa, 21 Oktober 2014

E-book Selamat Datang Presiden Jokowi



Semua berawal dari tulisan untuk mamak perihal Prabowo dan Jokowi. Tulisan itu ternyata dibaca Wisnu Prasetyo, kawan saya yang bekerja jadi editor di Bentang Pustaka. Beberapa hari selepas pemilihan presiden, Wisnu menghubungi saya. Ia meminta izin untuk memuat tulisan saya dalam sebuah buku bunga rampai persembahan pada Jokowi. Saya tentu tak menolak. Apalagi buku itu dibagi secara gratis dalam format e-book. Pun, yang minta Wisnu jeh, kawan saya. Ya gak mungkin saya menolaknya.

Kabar baik itu akhirnya datang kemarin. Hari ketika presiden ketujuh Indonesia dilantik. Bentang Pustaka akhirnya merilis e-book berjudul Selamat Datang Presiden Jokowi yang bisa diunduh dengan bebas.

Ada banyak penulis lain yang ikut dalam penulisan buku ini. Beberapa sudah saya kenal namanya. Bahkan saya mengidolakan mereka. Agus Mulyadi, Mas Ari Perdana, Eka Kurniawan, hingga Mas Puthut EA. Sebagian besar tulisan di di buku ini bercita rasa personal. Tentu, karena awalnya, kebanyakan tulisan ini dimuat di blog pribadi. Justru karena itu, harapan pada presiden baru jadi lebih terasa. Soalnya yang menulis ya rakyat-rakyat biasa, yang memilihnya dan menaruh harapan besar pada pundaknya.

Singkat kata, selamat bekerja Pak Jokowi dan Pak Jusuf Kalla!

Post-scriptum: bukunya bisa diunduh di sini

Kamis, 09 Oktober 2014

Komitmen oh Komitmen

Jadi orang konsisten menjalani komitmen itu susah. Pasalnya, tak ada yang abadi selain perubahan. Kamu bisa saja berjanji A pada hari ini, dan setahun kemudian kamu akan berubah.

Saya? Kadang, komitmen saya hanya bisa bertahan sehari.

Beberapa tahun silam saya pernah berkomitmen tak akan makan malam. Alasannya apa lagi kalau bukan mengurangi berat badan yang sudah berlebihan. Kawan yang mau ikut sumpah palapa ini adalah Panjul. 

"Oke, malem gak usah makan nasi ya?"

Saya mengangguk tegas. 

Siang diucapkan, malamnya kami berdua sudah duduk nangkring di burjo sembari makan bubur kacang hijau. Esok malamnya, selepas adzan Isya berkumandang di Nologaten, kami berdua sudah lahap menyantap nasi campur di Burjo.

"Lapar jeh," kata Panjul berusaha memaklumi kami berdua yang begitu mudahnya melupakan janji. Saya mendukungnya dengan menganggukkan kepala dan mengacungkan jempol.

Itu bukan satu-satunya komitmen yang saya langgar.

Pernah saya berkomitmen untuk ikut fitnes. Alasannya hampir sama: mengurangi berat badan. Partnernya masih sama: si bodoh Panjul.

Maka kami berdua dengan yakin mendatangi sebuah fitness centre di bilangan Seturan. Kami mendaftar dan membayar Rp 90 ribu untuk biaya fitness sebulan.

"Kita harus rutin fitness nih. Sayang duitnya euy," kata saya.

Panjul mengiyakan dengan tegas.

Datanglah hari untuk fitness. Sang instruktur, dengan mata menatap sinis dan iba pada perut kami, dengan telaten mengajari kami memakai alat fitness satu per satu.

Kami berdua pun mulai mencoba  berbagai alat yang macam karya seni instalasi itu. Tak terasa hampir 30 menit kami coba alat-alat itu.

"Jancuk, capek ya cuk. Badan sakit semua 'e," kata Panjul pada saya.

Saya cuma mengeluhkan hal yang sama sembari memijit betis dan paha yang linu dan cenut-cenut.

Beberapa puluh hari setelah fitness pertama, kami ingin mencoba fitness lagi. Si mbak front office dengan tenang menyahut, "Wah ini sudah habis satu bulan. Harus bayar lagi," katanya.

Saya dan Panjul cuma bisa saling tatap. Lalu kompak menjawab, "Iya mbak, ambil duit dulu ya."

Kami tak pernah kembali lagi ke tempat fitness terkutuk itu. Malam itu kami pungkasi dengan menyantap gudeg ceker dengan santan yang mlekoh. Selamat tinggal perut rata.

Ya, semudah itu saja kami mengingkari komitmen.

Setelah itu tak terhitung saya membuat komitmen dan berhenti di tengah jalan. Kalau di serial Friends, saya sudah macam Joey Tribbiani. "I am Tribbiani, I am quit."

Saya pernah komitmen lari tiga kali seminggu. Tak makan nasi selepas jam 9 malam. Membaca buku tiap hari. Hingga mengurangi bermain ponsel pintar. Semua itu berhenti di tengah jalan.

Membuat komitmen itu memang tak mudah. Komitmen itu hanya bisa dijalani oleh orang-orang yang teguh. Orang-orang terpilih. Karena itu saya mengangkat topi pada orang macam mereka, yang menjalani komitmen mereka dengan penuh seluruh.

Sore ini, saya membuat komitmen lagi: mengurangi makan nasi. Sebagai asupan karbohidrat, saya akan mulai menyantap umbi-umbian atau jagung. Ini gara-gara saya membaca beberapa literatur tentang pangan.

Dari artikel itu saya tahu, masyarakat kita sudah kecanduan nasi. Tingkat konsumsi beras di Indonesia termasuk paling tinggi di dunia, mencapai 139,15 kilogram per kapita. 

Sebagai perbandingan, Jepang, negara di Asia yang juga mengkonsumsi nasi sebagai makanan pokok, berhasil menekan angka ketergantungan pada beras, hingga hanya mencapai 58 kilogram per kapita per tahun. Ini karena Jepang sudah mulai mengenalkan makanan pokok alternatif sedari dini. 

Padahal dulu kita pernah mempunyai banyak pangan lokal non beras sebagai makanan pokok. Mulai sagu, jagung, hingga ketela dan ubi. Akibat dari kecanduan nasi ini bisa panjang dan berbahaya. Salah satunya adalah kebutuhan beras yang teramat tinggi, sedangkan produksi beras dalam negeri semakin menurun. 

Akhirnya kita harus impor beras dari negara lain untuk memenuhi kebutuhan beras di dalam negeri. Tahun lalu, negara ini mengimpor 472 ribu ton beras dari luar negeri. 

Rani mendukung komitmen saya untuk mengonsumsi umbi-umbian. "Aku cubit perutmu kalau makan nasi," katanya kejam.

Oh ya, Indonesia ini penghasil singkong terbesar ketiga di dunia lho. Setiap tahunnya, produksinya sebesar 23,7 ton.

Mari dilihat berapa lama saya bisa menjalani komitmen ini. Hup! []

Post-scriptum: Ini gak ada hubungannya dengan komitmen hubungan cinta lho ya, itu soal yang berbeda :p

Jumat, 03 Oktober 2014

Sebuah Senandung Pendustaan

Beberapa hari lalu, saya membaca sebuah kabar sendu. Sinar Syamsi, anak M. Arief --pencipta lagu "Genjer-genjer", hidupnya masih menderita. Ia berkali-kali di PHK, hingga terpaksa tinggal berjauhan dengan anak istri. Semua hanya karena ia anak M. Arief, pencipta lagu yang dianggap sebagai lagu kebangsaan PKI. Berita sedih itu bisa dibaca di sini

Membaca berita itu, saya jadi ingat pernah ke Banyuwangi di akhir tahun 2010. Saya mewawancara Andang CY, seorang budayawan Banyuwangi yang pernah dipenjara bareng M. Arief. Kami berdua berbincang cukup lama soal Lekra, lagu "Genjer-genjer", kehidupan M. Arief, hingga mencekamnya Banyuwangi kala peristiwa 1965 terjadi.

Obrolan itu saya jadikan bahan tulisan untuk sebuah lomba tentang tragedi 1965. Tulisan itu saya unggah lagi di blog ini. Untuk menghormati M. Arief, sanak keluarganya, juga para korban tragedi berdarah itu. Semoga tak ada lagi peristiwa menyedihkan macam ini lagi.

***

Pria tua berkacamata itu duduk di sofa rumahnya yang sejuk. Kacamata yang digunakannya tampak memantulkan apa yang ia ingat dan ia kenang. Sebuah sejarah dimana kebenaran dan keadilan seakan tak ada artinya.

Pria berambut putih itu adalah Andang CY, seorang budayawan Banyuwangi. Hampir sebagian besar kisah hidupnya tercatat di Banyuwangi. Termasuk kisah hidup yang ia lewatkan bersama M. Arief, sang pencipta lagu "Genjer-genjer" yang fenomenal itu.

Bersama Arief, Andang muda yang saat itu menjadi salah satu anggota Lekra disel di Penjara Lowokwaru selama 106 hari tanpa melalui proses pengadilan sebelumnya. Setelah itu ia dipindahkan ke Banyuwangi. Namun tidak halnya dengan Arief. Menurut pengakuan aparat, Arief dipindahkan ke lapas di Sukabumi. Namun kenyataan tidak berbicara demikian.

"Ia 'diselesaikan' ," kata Andang pada saya, lirih. Diselesaikan adalah istilah yang ia pakai untuk menyebut dibunuh. Hingga sekarang, mayat maupun kuburan M. Arief tidak pernah ditemukan.

Andang dan Arief hanyalah dua dari jutaan orang yang menjadi korban pendustaan sejarah.

***

Sejarah membuktikan bahwa lagu adalah salah satu medium perlawanan dan kritik yang paling ampuh. Hardeep Phull menuliskan dalam bukunya yang fenomenal, A Reference Guide to the 50 Songs That Changed the 20th Century, bahwa ternyata protes dan kritik sosial dalam lagu bisa turut peran mengubah sejarah. Mulai dari lagu “We Shall Overcome”, “Revolution”, “War Pigs”, hingga lagu “You Gotta Fight for Your Right”.

Sayang, Hardeep tidak memperluas observasinya hingga ke daratan Asia. Kalau saja ia memperlebar jangkauan pengamatan hingga Asia, maka bisa jadi ia akan memasukkan “Genjer-genjer” sebagai salah satu dari 50 lagu tersebut. Lagu itu bukanlah sekedar lagu. Ia memuat kepentingan politik dan propaganda di dalamnya. Begitu dahsyatnya pengaruh lagu itu, bahkan hingga sekarang "Genjer-genjer" masih membawa stempel komunis.

Genjer dan Komunisme

Genjer adalah sejenis tumbuhan yang lazim digunakan sebagai makanan ternak. Namun pada jaman penjajahan Jepang, para rakyat yang kelaparan akhirnya memetik genjer untuk kemudian dijadikan makanan. 

Fenomena itu akhirnya ditangkap oleh Arief, seorang seniman Using yang kelak bergabung dengan Lekra, dan dijadikan lagu berbahasa Using berjudul "Genjer-genjer". Arief menciptakan lagu ini pada tahun 1942.

"Genjer-genjer" menjadi populer ketika dinyanyikan ulang oleh Bing Slamet dan Lilis Suryani pada tahun 1962. Kepopuleran lagu ini lantas dimanfaatkan oleh Partai Komunis Indonesia untuk berkampanye. Lagu yang menggambarkan penderitaan masyarakat desa ini lantas kembali populer di kalangan akar rumput. Begitu lekatnya lagu ini dengan PKI, maka stempel sebagai lagu komunis pun melekat.

Ketika peristiwa G 30 S terjadi, lirik lagu itu diplesetkan. Kalimat genjer-genjer diganti dengan jenderal-jenderal. Seiring dengan pembelokan sejarah yang terjadi pada peristiwa G 30 S, lagu ini pun turut menjadi korbannya. Lagu ini dianggap sebagai lagu yang mengiringi orang-orang PKI membantai para jenderal di Lubang Buaya. 

Saat itu beberapa media seperti Angkatan Bersendjata dan Berita Yudha, menulis bahwa PKI membantai para jenderal dengan sadis. Ada yang dicongkel matanya, wajahnya disilet, hingga kemaluan yang dipotong. Lalu ada bumbu para Gerwani yang menari telanjang –yang disebut tarian Harum Bunga—sembari menyanyikan lagu Genjer-genjer.

Propaganda akan kesadisan yang dilakukan PKI membuat rakyat Indonesia marah. Maka terjadilah sejarah kelam dalam buku besar bernama Indonesia: pembantaian anggota PKI. Tercatat 1 hinga 1,5 juta orang yang dianggap berafiliasi dengan PKI dibunuh. Dalam artikel berjudul Exit Soeharto: Obituary for a Mediocre Tyrant, Ben Anderson, seorang Indonesianis, mengutip perkataan Sarwo Edhi Wibowo, mengatakan bahwa korban pembantaian mencapai 3 juta orang.


Propaganda politik itu lantas diperkuat dengan adanya film “Pengkhianatan G 30/S PKI” (1984) yang disutradarai oleh Arifin C. Noer. Film itu lantas wajib ditayangkan di televisi pada tiap malam 30 September. Film ini kemudian berhenti tayang sejak 1998.

Saya masih ingat betapa mengerikannya Gerwani dan para pasukan komunis yang menyanyikan lagu itu dalam film G 30/S PKI. Saya yang saat itu masih duduk di bangku SD bergidik ngeri ketika salah seorang dari Gerwani itu sembari memegang silet, berkata "Darah itu merah Jenderal!" lantas menyilet muka sang jenderal. Darah bercucuran. Sementara di luar para Gerwani dan konco-konconya terus menyanyikan lagu "Genjer-genjer" dengan ekspresi muka yang membuat berdiri bulu roma. 

Bagi seorang  anak SD yang begitu mudah dibohongi dan menganggap dunia itu hanya hitam dan putih, tentu saja cerita itu sungguh mengerikan. Tertanam dalam pikiran bahwa PKI itu kumpulan manusia paling biadab. Pula, komunis itu anti terhadap tuhan. 

Saat itu saya dan juga jutaan orang Indonesia lain tidak sadar bahwa kami adalah korban pendustaan sejarah. Sebuah kebohongan besar yang dirancang dengan sistematis dan berskala gigantis.


Sejarah dan Apa Yang Terhampar di Depan

Setelah Orde Baru tumbang, maka perlahan luka lama yang tertutup kembali dibuka. Perih memang, tapi perlu agar luka tak terus bernanah. Sayangnya, pembeberan fakta dan sejarah sebagian besar hanya berkisar pada tatanan politis. Orang banyak berbincang tentang hal besar. Hal kecil, macam lagu, jadi seperti diabaikan.

Hingga sekarang, nyaris nihil pelurusan sejarah tentang lagu "Genjer-genjer". Sampai sekarang lagu itu dianggap sebagai lagu subversif, lagu para komunis. 

Rudolf Dethu, seorang propagandis rock n roll asal Bali pernah didatangi aparat karena memutarkan lagu “Genjer-genjer” di The Block Rockin' Beats, sebuah acara radio alternatif yang ia asuh.Hal itu menunjukkan bahwa hingga sekarang, "Genjer-genjer" masih dianggap sebagai lagu yang berbahaya bagi stabilitas nasional.

"Saya mendapat teguran dari aparat karena menayangkan lagu 'Genjer-genjer' pada saat eksebisinya Adib Hidayat (jurnalis majalah Rolling Stone Indonesia). Biasalah, disuruh hati-hati karena bisa dianggap pro-PKI, subversif. Hari gini?" seloroh Dethu yang bernama asli Putu Wirata Wismaya ini.

"Genjer-genjer" memang hanya sekeping kecil dari mozaik besar pemberontakan PKI tahun 1965. Namun meskipun kecil, ia tetaplah satu kesatuan dari keping besar. Kalau yang kecil hilang, maka kepingan besar tak akan lengkap. Sudah seharusnya, agar kepingan mozaik itu lengkap, sejarah akan lagu "Genjer-genjer" dikenalkan pada khalayak ramai.

Genjer-genjer yang pernah berjaya pada masa lalu memiliki kesempatan untuk kembali populer. Mengusung tema kerakyatan, lagu ini sepertinya tak akan usang dimakan jaman. Lalu yang perlu diingat adalah musik memiliki kekuatan untuk menarik atensi masyarakat. Musik merupakan salah satu media yang paling tepat untuk belajar sejarah. 

Ketimbang belajar di buku sejarah yang seringkali membuat ngantuk, musik memiliki kesempatan besar untuk mengajarkan sejarah pada anak muda. Saya berpikir, kenapa para anak muda yang menaruh minat pada musik tidak mengaransemen kembali Genjer-genjer? Saya pikir, pengenalan lagu bersejarah ini dan sejarah yang mengiringinya perlu dilakukan, terutama oleh para anak muda yang memang seharusnya melek sejarah.

Pemerintah  harusnya menggalakkan pelurusan sejarah. Pelurusan itu jelas membutuhkan waktu yang tak sebentar. Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata juga seharusnya bekerja sama dengan Kementrian Pendidikan Nasional untuk menuliskan sejarah yang benar mengenai lagu "Genjer-genjer". 

Bentuk kerjasama mereka bisa diwujudkan dalam buku sejarah. Buku sejarah terbukti bisa menanamkan doktrin yang sangat kuat, sama seperti ketika saya membaca bahwa PKI itu adalah kumpulan manusia biadab yang anti tuhan semasa SD dulu. Sayang, sepertinya masih belum ada langkah untuk menuju kesana.

Saya pikir memang sudah saatnya Genjer-genjer dimasukkan ke dalam buku sejarah, dimana harus diujarkan bahwa Genjer-genjer adalah sebuah lagu rakyat. Sebuah lagu kritik sosial yang lantas didustakan menjadi sebuah senandung lagu kematian []

Rabu, 01 Oktober 2014

Sudah Lama Saya Tak Semarah Ini

Saya masih ingat momen yang menyakitkan itu. Padahal sudah sembilan tahun berselang. 

Seorang kawan lupa membawa foto kopi materi kuliah. Sang dosen marah melihatnya. Lalu meluncurlah kata-kata yang tak terduga itu. "Kalau miskin gak usah kuliah. Gak sanggup foto kopi." Ia lalu terus mencerocos dengan kata-kata hinaan lain. Saya sudah tak sempat mengingatnya. Hanya bisa melihat kawan saya.

Kawan saya untungnya orang yang santai. Ia cuma cengengesan saja. Saya, entah kenapa masih mengingatnya hingga sekarang. Kenangan pahit itu berusaha saya kubur. Tapi sialnya, kelam ingatan itu kembali terbongkar hari ini. Dosen yang sama kembali memaki seorang mahasiswa dengan tema yang sama: kemiskinan.

Saya mendadak marah. Mata saya panas. Dan tanpa saya sadar, mata itu sudah berkaca-kaca. Ingin nangis. Bangsat sekali. Benar apa kata orang bijak: janggut lebat, dahi hitam, tak menjamin ke-Islaman seseorang. Ia memburu surga. Tapi alpa satu hal: manusia itu harus menjalani dengan baik hablu minallah dan hablu minannas. Hubungan dengan tuhan dan hubungan dengan manusia. Kalau ia merasa hubungan dengan tuhan baik, tapi apa guna kalau tak ada hubungan baik dengan sesama manusia?

Apakah semua doa yang ia panjatkan akan diterima tuhan? Padahal dengan enteng saja ia berserapah dan menghina manusia lain?

Saya berdoa semoga mahasiswa yang dimaki itu tak melontarkan sumpah serapah. Niscaya doanya akan terkabul. Dan kau pak, akan merana seumur hidup kalau doa anak itu dijabah.

Sudah lama saya tak merasa semarah ini. []