Minggu, 22 September 2013

Mengenang Anang

Salah satu hal menyebalkan yang muncul saat saya bilang berasal dari Jember adalah pertanyaan: wah, satu kota sama Anang dong?

Anang yang dimaksud tentu adalah Anang Hermansyah. Kenapa saya sebal dengan pria ini? Ada banyak sebab. Yang paling mengesalkan tentu adalah sliweran drama kehidupan asmaranya di infotainment. Juga gaya Simon Cowell-esque kala ia menjadi juri salah satu acara pencarian idola instan. Belakangan rasa kesal itu makin menjadi saat ia menikah dengan Ashanti dan diarak di pusat kota Jember, dan konon acara besar-besaran ini menggunakan APBD kota Jember. Walau hingga saat ini tudingan itu belum terbukti.

Tapi satu hal yang tak bisa diingkari, meski sekarang tak lagi aktif bernyanyi lagu rock, Anang tetap vokalis yang mumpuni. Terutama di awal-awal karirnya saat bergabung dengan anak-anak Potlot di Kidnap Katrina maupun solo karir. Suara Anang muda yang masih gondrong ini berhasil membuat saya memaafkan tingkah menyebalkannya satu dekade belakangan ini. Toh ia tak semenyebalkan Ahmad Dhani, misalnya.

Malam ini entah kenapa saya tiba-tiba keranjingan mendengarkan lagu "Biarkanlah", lagu yang melejitkan nama Anang sebagai vokalis rock beroktaf tinggi. Iya, sebelum dia terlalu sibuk menulis lagu cinta bersama Krisdayanti dan lagu tak-jelas-faedahnya-bagi-umat-manusia bareng Syahrini ataupun Ashanti, lagu "Biarkanlah" adalah simbol pemberontakan anak-anak muda  yang tak ingin jalan hidupnya diatur oleh orang tua. Hingga sekarang lagu itu bahkan masih relevan, dan sampai kapanpun sepertinya masih akan seperti itu. Lagu yang ia ciptakan bareng sobatnya, Pay Siburian, ini juga memamerkan kemampuan vokal Anang yang luar biasa.

Selain itu, belakangan saya juga sibuk mendengarkan album pertama dan satu-satunya Kidnap Katrina. Dan demi tuhan, Anang dulu sangat keren dan berkarakter. Musik yang ia hasilkan bersama kawan-kawannya pun sangat ciamik. Coba dengarkan lagu kerena "Muak", "Depresi Mania", atau lagu ballad andalan mereka, "Biru". Mendengarkan musik mereka, membuat saya heran kenapa Anang bisa jadi seperti sekarang. Tapi ya sudahlah, people change. Memang terkadang masa keemasan itu lebih baik bukan untuk diulang, tapi cukup dikenang.

After all, saya ternyata tak pernah bisa benar-benar sebal pada Anang. Karena suaranya, tentu saja.[] 

post scriptum: Selain lagu "Biarkanlah", coba simak juga lagu "Merpati" yang membuktikan bahwa Anang dulu pernah keren.

Rabu, 11 September 2013

Bertiupnya "Sangkakala"

Sudah nyaris setahun sejak saya menulis artikel tentang Sangkakala, hingga sekarang album mereka tak kunjung usai. Saya tahu proses pembuatan album mereka memang penuh aral. Karena itu saya selaku anggota dari wangsa Macanista Brangasan (nama fans Sangkakala), hanya bisa menunggu dengan takzim.

Beberapa hari lalu, band kebanggaan warga Sewon dan sekitarnya ini malah mengeluarkan single baru berjudul "Sangkakala". Saya berkelakar band ini mirip dealer motor saja, sukanya nyicil lagu. Tapi single ini cukup lah untuk menuntaskan dahaga penantian barang sejenak. 

Artwork Single "Sangkakala" oleh Riono 'Tatsoy' Tanggul


Setelah single pertama, "Kansas", "Sangkakala" kembali menegaskan nuansa live yang dibangun dalam tiap lagu Sangkakala. Sangkakala sejak awal memang sudah mengatakan kalau lagu-lagu mereka akan bernuansa live. Lengkap dengan celetukan nakal dan denting gelas berisi ciu. Band ini memang terkenal unggul sebagai band live dengan energi yang meluap-luap. Agar keunggulan itu tetap terasa, maka nuansa ala panggung itu memang seharusnya dimasukkan ke dalam album.

Lagu "Sangkakala" sendiri seperti gambaran seperti apa lagu heavy metal yang baik. Rapat, intens, pyrotechnic solo guitar, dan faktor yang membuat Sangkakala jadi begitu keren: reff yang menonjok dan mudah memancing sing a long yang gempita. Meski begitu, saya  sedikit kurang sreg dengan bagian reff "oo ooo ooo" yang terasa lemas dan tak bertenaga. Kalau memang sejak awal mereka ingin nuansa live, kenapa tidak sekalian bagian yang memancing koor itu diisi oleh teriakan penonton saja? Supaya semakin terasa kental nuansa live-nya.

Tapi apapun itu, berkat single "Sangkakala", saya semakin tidak sabar menantikan full album Sangkakala yang berjudul Heavy Metalitichum ini. Sepertinya album ini layak untuk masuk dalam salah satu album terbaik tahun 2013.[]

Post-scriptum: Sangkakala akan mencetak sejarah dengan bermain akustik untuk pertama kalinya di acara "Lelagu", hari Jumat 13 September 2013 bertempat di Kedai Kebun Forum. Dalam even ini, mereka juga akan mengadakan sablonase dari jam 15-18 wib. Untuk membantu dana duplikasi CD, sablonase yang biasanya digratiskan oleh mereka kali ini akan dikenakan biaya 10.000 rupiah saja untuk dua desain. Jadi bawa kaos polosmu (utamakan yang berwarna cerah) dan silahkan disablon. 

Sabtu, 07 September 2013

Balada Kaset Di Ujung Zaman

Saya ingat betul kaset apa yang pertama saya beli.

Saat itu matahari seperti berada sejengkal saja di atas kepala. Saya bareng orang tua baru keluar dari Johar Plaza. Saat mau berjalan menuju pangkalan angkot, kami melewati jejeran pertokoan. Beberapa diantaranya adalah toko kaset. Saya hidup di zaman dimana toko kaset masih banyak ditemui. Di Jember ada beberapa toko kaset yang ramai dikunjungi. Yang paling terkenal tentu Melodi, toko kaset terlengkap di Jember. Saat itu Melodi lah yang paling banyak punya  tape deck dan headset untuk mencoba kaset.

Sewaktu lewat di salah satu toko kaset, saya mencuri pandang ke sebuah kaset yang dipajang di rak kaca. Karena saya agak lama melihat, ayah saya menawari saya untuk membeli kaset itu. 

"Mau beli kaset?" tanya ayah saya. 

Saya mengangguk girang. Tak berapa lama kaset yang saya pandang itu berpindah tangan. Itu kaset pertama yang saya beli: Dewa 19 - Pandawa Lima.

Album itu menarik perhatian saya gara-gara video klip "Kirana" terus-terusan seliweran di televisi. Lagunya pun begitu ramah di kuping. 

Kaset itu saya putar terus-terusan. Dari pagi sebelum berangkat sekolah, sore menjelang jam bermain sepak bola, hingga malam menuju lelap. Kalau pagi saya dengar dengan tape deck, malam adalah waktunya saya mendengarkan kaset itu dengan walkman. Di malam yang biasanya senyap itu saya sering memainkan air guitar, berusaha meniru Andra yang memainkan solo gitar di lagu "Kamulah Satu-satunya".

Hingga akhirnya kaset itu pun mendem, terlalu banyak diputar. 

"Si Ari Lasso capek nyanyi tuh. Soalnya tiap hari disuruh nyanyi terus," kelakar kakek saya yang menggemari lawakan ala srimulat itu.

***

Saya pernah masuk dalam masa kecanduan membeli kaset. Kecanduan ini bahkan mengalahkan kecanduan saya dalam membeli buku. Masa itu dimulai pada kelas 3 SMP. Saya ingat, ada sebuah lapak penjual kaset bekas di dekat tempat les bahasa Inggris saya.

Salah satu kaset yang menarik perhatian saya adalah kaset Motley Crue: Greatest Hits yang bersampul coklat dan bergambar kartun para personelnya. Sayang harga 12.000 agak mahal untuk ukuran pelajar putih biru seperti saya. Akhirnya saya harus menabung selama dua minggu untuk bisa mengumpulkan uang yang cukup untuk membeli kaset. Saya harus mengabaikan ajakan kawan-kawan untuk makan bakso Pak To tiap istirahat sekolah.

Saat uang 12.000 terkumpul, dengan jemawa saya datang ke lapak kaset bekas itu. Sampai sana saya malah bingung. Pasalnya saya jadi ingin membeli banyak kaset. Saya tercengang melihat kaset Guns N Roses (dari Appetite for Destruction, sampe Live Era), Skid Row (Slave to the Grind), hingga beberapa band lokal.

Tapi dengan membulatkan tekad, saya membeli  Motley Crue: Greatest Hits. Sampai rumah saya langsung memutarnya berulang kali. Bergantian dengan 40 Seasons: The Best of Skid Row

Album Motley Crue: Greatest Hits memang jadi pintu gerbang yang kelak membuka rasa penasaran saya pada Motley Crue. Berkat album itu, saya lantas tertarik membeli album Dr. Feelgood hingga Shout at the Devil.

Saat duduk di bangku SMA, hasrat ingin membeli kaset terus berlanjut. Dengan sabar saya menabung hanya untuk membeli satu atau dua kaset tiap bulan. Begitu terus hingga saya masuk kuliah. Saya sudah mulai bisa mencari uang sendiri. Saat itulah hasrat jadi sedikit susah dibendung.

Kebetulan saya lantas berkawan akrab dengan Erwin, penjual kaset bekas yang tiap hari mangkal di depan Fakultas Ekonomi. Setiap hari seusai kuliah, saya selalu menyempatkan untuk mampir di gerobaknya yang berwarna biru itu. Saya jadi pelanggan setianya. Dan saya baru tahu saat itu kalau Erwin ternyata penjual kaset bekas di dekat tempat les saya. Yap, beberapa tahun lalu saya membeli kaset Motley Crue darinya.

Saking akrabnya dengan Erwin, saya seringkali menjaga lapaknya. Bahkan saya punya kuasa untuk masuk ke dalam gerobaknya yang sempit dan berisi ratusan kaset beserta satu buah tape deck tua. Saya pun diberi kuasa untuk menjual apabila ada pembeli.

"Gawe kaset lokal, regone 12.000. Maksimal ditawar dadi 10.000. Nek kaset barat, 15.000, paling pol mudun dadi 13.000," ujar Erwin memberi petuah pada saya.

Erwin juga menerima gadai kaset. Saya jamak melihat orang-orang yang menjual tumpukan kaset ke Erwin. Dasar pedagang, Erwin pun membelinya dengan harga murah. Untuk kaset lokal 3.000 dan kaset barat 4.000. Saat itu saya baru tahu margin keuntungan penjual kaset bekas cukup besar. 

Tapi bursa kaset bekas bukanlah monopoli Erwin. Ada satu orang saingan berat yang menggelar lapak pas di sebelah gerobak Erwin. Saya lupa siapa namanya, tapi saya memanggilnya Bro. Saya juga beberapa kali membeli kaset di Si Bro kalau kaset incaran saya tak ada di Erwin. Pernah pula saya diajak di rumah si Bro untuk mengambil kaset Kiss Unplugged.

Laiknya saingan, Erwin dan Bro pun saling berlomba jadi yang terbaik. Mereka tak saling menyapa. Sesekali sikap mereka seperti ibu-ibu pada arisan, saling melontarkan gunjingan. seperti misalnya Bro yang menggunjing, "Erwin itu jualnya terlalu mahal," atau Erwin yang bergosip kalau "Bro itu kasetnya jelek-jelek." Saya sih tak ambil pusing dengan perang dingin mereka.

Tapi omongan mereka memang ada benarnya. Erwin memang pedagang yang mematok harga tinggi untuk kasetnya. Tapi kualitasnya selalu prima. Baik dari segi sound, sampai kualitas sleeve yang masih luks. Bro berbeda. Harga kasetnya memang lebih murah, tapi seringkali kasetnya mendem. Karena itu saya lebih sering membeli di Erwin.

Namun semenjak saya lumayan aktif di UKPKM Tegalboto, saya semakin jarang mampir di lapak Erwin. Saya jatuh cinta dengan dunia tulis menulis dan sedikit melupakan rutinitas hedon membeli kaset.  

Namun kalau sedang berkunjung di Yogyakarta, saya selalu menyempatkan diri mampir di sudut pasar Beringharjo. Di sana ada dua pedagang kaset bekas yang koleksinya lumayan top. Saya pernah bersorak karena menemukan dua kaset incaran saya sejak lama, Greatest Hits The Black Crowes dan Hollywood Vampire-nya L.A Guns, di sana.

Entah sudah berapa lama saya tak berkunjung ke lapak Erwin, tahu-tahu gerobak biru yang selalu nangkring dengan manis di trotoar itu sudah tak ada. Di sebelahnya, sudah tak ada lagi kain belacu lusuh tempat Bro menggelar dagangannya.

Inilah masa senjakala kejayaan kaset. Nyaris semua band sudah tak mengeluarkan rilisan fisik dalam bentuk kaset, melainkan CD. Tape deck sudah tak banyak dibeli, terganti oleh CD player. Walkman diganti oleh discman. Erwin dan Bro pun gulung tikar.

Saat saya memutuskan keluar dari rumah, saat itu hubungan saya dengan kaset resmi terputus. Sebabnya semua kaset saya tinggal di rumah. Saya sudah tidak pernah lagi bergelut dengan bolpoin dan pensil untuk memutar pita kaset. Tak pernah lagi asyik masyuk meneteskan alkohol di bantalan pita agar suara tak mendem. Tak pernah lagi membersihkan head tape dengan cotton bud yang dibasahi dengan alkohol. Saya juga sudah tak pernah membaca liner notes di sleeve kaset berlama-lama sembari sesekali tersenyum kalau membaca kalimat yang lucu.

Meski begitu, saya masih menyimpan dengan rapi koleksi kaset-kaset saya. Saya menyediakan wadah khusus untuk menyimpan kaset-kaset. Saat pulang ke rumah, sesekali saya membongkar kaset-kaset itu dan memutarnya untuk nostalgia, meski harus repot meneteskan alkohol ke kaset agar suaranya tak macam anak band mabuk.

Sekitar sebulan lalu saat pulang ke Jember, saya tak sengaja bertemu dengan Erwin. Kami berjabat tangan dengan erat sembari menukar senyum lebar. Entah berapa tahun sudah kami tak bertemu. Saat itu saya mendengar kabar duka.

"Kabeh kasetku wis tak dol nang Malang. Kabeh wis. Lebih paling lek 500 kaset. Ditebas 1,5 juta karo wong Malang," kata Erwin seraya tersenyum kecut. 

Lebih 500 kaset dijual 1,5 juta rupiah saja. Erwin merasakan betapa murahnya menjual kaset ke pedagang kaset. Uang itu akhirnya dipakai untuk modal usahanya sekarang: berjualan pulsa. Setelah ngobrol sebentar, Erwin pun pamitan untuk mengantar anaknya.

"Kapan-kapan mampir nang omah Ran!" ajaknya.

Saya menganggukkan kepala. Rasa-rasanya asyik kalau mampir ke rumah Erwin, meminum kopi sembari memutar kaset dan mengenang masa indah sebelum kaset menjadi barang purba. []

post-scriptum: Tulisan ini dibuat untuk ikut gegap gempita merayakan hari Cassete Store Day. Dulu sekali saya pernah (ingin) punya program rutin di blog ini. Saya namakan Just Push Play, yang isinya adalah review terhadap kaset-kaset saya dan cerita bagaimana saya dapat kaset itu. Sayang, keinginan kadang tak sesuai dengan usaha. Jadinya sampai sekarang program itu tak pernah saya lakukan. Saya hanya sempat menulis introduksinya saja.

Jumat, 06 September 2013

Horor Manusia Modern

Mungkin salah satu horor paling mengerikan bagi manusia modern adalah kehilangan data.

Beberapa minggu lalu, Ayos bercerita kalau ia kehilangan laptop beserta hardisk eksternal. Saat itu ia sedang naik bis dan tidur lelap. Satu penggarong dengan tenang merobek tas dan menjarah isinya. Saat bangun di kota tujuan, Ayos langsung lemas saat mengangkat tas dan terasa kalau tas itu jadi ringan.

"Kabeh dataku nang kono cuk," kata Ayos sembari tersenyum pahit.

Untung bagi Ayos, beberapa data penting sempat ia duplikasi di CD. Tapi tentu tak semua data bisa diselamatkan. Dan bayangkan betapa repotnya menyimpan dan mengamankan data yang harus diduplikasi dalam aneka ria bentuk.

"Aku dadi koyok manusia tanpa data," ujar pria berkacamata itu.

Orang yang hidup di era MS-DOS sering berkata kalau zaman sekarang enak. Orang zaman MS-DOS hanya bisa menyimpan data di disket yang cuma berkuota beberapa kilobyte. Zaman sekarang media penyimpanan ada banyak, pun kuotanya besar, hingga satuan tera. Tapi apa iya hidup jadi lebih enak?

Nyatanya tidak. Semakin banyak satuan data yang kita punya, semakin besar ketakutan yang mengiringinya. Pertanyaan semacam "bagaimana kalau data ini hilang?" jadi momok. Bayangkan kalau data kita yang terabyte itu tiba-tiba hilang. Bayangan menakutkan itu mungkin bisa diusir barang sejenak, yakni dengan menduplikasi di banyak tempat. Tapi itu jelas merepotkan. Apalagi harga hardisk eksternal masih mahal. Di bakar di CD? Lantas berapa keping CD yang dibutuhkan? Belum lagi resiko CD tergores dan tak bisa dibaca di komputer. Alamakjang, repot!

Kita memang sudah masuk dalam dunia dimana, seperti pernah diucapkan Tim O'Reilly, data lebih penting ketimbang software.

Saya juga tak luput dari horor modern itu. Saat sedang di jalan dan malam sudah semakin menua, tidur saya tak lagi bisa nyenyak seperti dulu saat berjalan kemana-mana tanpa membawa laptop. Benda kecil itu menyimpan data-data penting bagi saya. Mulai dari koleksi lagu favorit, foto-foto, film biru pilihan, data kuliah, hingga data kerjaan. Saya tak bisa bayangkan kalau laptop saya itu hilang. Apalagi sejak mendengar kabar Ayos kehilangan laptop, tas selalu saya peluk menjelang tidur. Ya meski tetap tidur saya tak bisa pulas juga.

Beberapa jam lalu, Raymond, teman satu kontrakan saya juga mengeluhkan hal yang sama: tak bisa apa-apa tanpa data. Laptopnya sedang rusak dan diservis. Seluruh data-data untuk skripsi ada di sana, dan sialnya ia belum sempat mengkopi data penting itu.

"Dadine yo skripsiku gurung tak garap maneh sampe saiki," katanya sembari menyetir motor membelah jalan Kaliurang usai menjemput saya di stasiun.

Saya cuma bisa tersenyum kecut, membayangkan kalau itu terjadi pada saya.  Alamat tesis yang molor bisa jadi lebih molor lagi.

Kawan karib saya yang lain, Putri, juga pernah mengalami hal yang sama. Saat meninggalkan kosan selama beberapa hari, kamarnya kebanjiran dan laptopnya pun kena air. Sempat hidup selama beberapa menit, laptop itu akhirnya wafat dengan terhormat, meninggalkan Putri yang tersedu karena banyak datanya (terutama foto) yang tak bisa diselamatkan. Ngeri.

Tapi setelah saya pikir-pikir, kehilangan data itu memang selalu jadi cerita menakutkan sejak dulu. Saat zaman data masih disimpan dalam bentuk fisik, umur adalah musuh. Semakin tua data, semakin rentan pula rusaknya. Rayap ataupun suhu yang lembab juga jadi musuh nomer wahid. Sekarang, di zaman digital, kehilangan data juga masih menghantui, hanya dalam bentuk yang berbeda. Bagi banyak orang, kehilangan data sama saja dengan kehilangan separuh nyawa.

Tak heran, bung Scott Fitzgerald pernah bersabda, "To write it, it took three months; to conceive it three minutes; to collect the data in it all my life." Duh! []