Jumat, 16 Agustus 2013

Kisah Dari Potong Rambut

Tadi siang saya berencana potong rambut. Sudah sejak beberapa hari lalu ada rencana ini. Rambut saya sudah panjang menjulur tak tentu arah. Sedikit membuat wajah saya tampak lebih mengerikan.

Pas putar-putar cari tempat potong rambut itu lah, saya baru sadar kalau beberapa tempat pangkas itu punya cerita yang menarik sekaligus ada yang punya hubungan spesial dengan saya.

Yang pertama ingin saya jujug adalah Arifin. 

***

Saya mengenal sosok ini saat masih duduk di bangku SMP. Impresi saya biasa saja: Arifin itu kemayu, dengan gaya bicara yang halus dan lembut, plus rambut yang mulai menipis dan perut yang mulai membuncit.

Arifin punya kios cukur sederhana saja. 2X3 meter di sebelah rumahnya. Suatu hari saat sedang menanti antrian, saya iseng tanya-tanya dulu dia kerja di mana. Jawabannya lumayan mengejutkan. Ia dulu pernah bekerja cukup lama sebagai seorang potong rambut di sebuah salon terkenal di Jember. Pantas tangannya begitu gesit dan cekatan, plus hasilnya rapi sekali. Cara kerja seperti itu bukanlah cara kerja yang bisa didapat hanya dari pengalaman beberapa hari.

Tapi saya semakin terkejut saat dia tiba-tiba bilang kalau, "...aku ndisek petinju mas." Arifin dulu adalah petinju.

Saya jelas tak mau percaya begitu saja. Rasanya memang tak ada yang bakal percaya kalau Arifin yang kemayu itu adalah petinju. Tapi Arifin sepertinya biasa mendapatkan respon seperti itu.

Ia lantas masuk ke dalam rumah, sejenak kemudian kembali sembari membawa beberapa buah album foto. Isinya adalah beberapa foto saat dia masih aktif jadi petinju. Satu foto yang membuat saya merinding adalah satu fotonya memasang fighting pose, tangan kanan ditekuk di depan tangan kiri yang bersidekap di depan dada. Rambut Arifin waktu itu masih gondrong. Selintang kumis tipis di atas bibir membuatnya tampak makin keren.

Arifin tertawa melihat saya terperangah.

"Iki sik ono maneh fotone mas," katanya sembari mengambil dua lembar foto dari lacinya. Satu buah foto bergambar dia sedang berada di depan ring. Satunya lagi yang sedikit epik: ia berdiri di tangga pesawat. Ternyata ia mewakili Indonesia --atau mewakili Jatim, saya lupa-- untuk bertanding di Filipina. Gila.

Ternyata Arifin memang suka berkelahi semenjak kecil. Meninju muka orang ringan seperti menggasak angin saja.

"Ndisek aku tau nggepuki wong, iku aku wis kerjo nang salon. Soale waktu iku dee ngenyek kesoroen. Dijarno-jarno tambah ndadi, yo wis tak sikat ae," katanya. Dulu aku pernah memukuli orang, itu aku sudah kerja di salon. Soalnya waktu itu dia menghina kelewat batas. Dibiarkan kok tambah menjadi, ya sudah aku sikat saja.

Tangannya tetap tenang memangkas rambut seorang remaja. Si remaja itu agak tegang. Mungkin tadi dia sempat menghina Arifin sebelum tau sejarah berdarahnya. Will you be the next dude?

Tapi saat itu saya terlalu terpukau mendengar ceritanya sampai lupa tanya, atau lebih tepatnya tersandera rasa sungkan, bagaimana dia bisa meninggalkan dunia tinju dan beralih ke dunia salon yang sama sekali berbeda. Beralih dunia seperti itu juga sukar.

Alkisah dulu Chinmi, sang pendekar bermata elang, pernah belajar sebuah jurus bernama Kungfu Satu Jari. Ia kesusahan menguasai ilmu itu karena ia terbiasa menggunakan jurus Kungfu Peremuk Tulang yang termasuk jenis jurus keras. Sedang Satu Jari menggunakan tenaga lawan, dimana ini adalah jenis jurus halus. Beralih jurus itu saja susah, apalagi berpindah dunia yang sama sekali berbeda.

Rasa penasaran tentang sejarah hidupnya saya tangguhkan dulu, entah sampai kapan. Sebabnya saat saya ke rumahnya beberapa hari lalu, kios potong rambutnya masih tutup. Nanti lah.

***

Saya kemudian mengenal Cindy yang bertangan emas. Saat itu ada diskusi mengenai waria di sekretariat Tegalboto. Ada dua pembicara: Cindy dan Keke. Yang disebut pertama itu pemilik salon Cindy, sebuah salon yang kala itu sedang menapak masa jaya. Potongan rambutnya dikenal bagus. Sedang Keke lebih banyak diam. Selain mengenai kedua pembicara itu, yang saya ingat dari diskusinya adalah betapa Dhani agak jaga jarak sama waria.

"Aku takut sama waria," katanya polos. Hehehe.

Selain sebagai pemilik salon, Cindy juga dikenal sebagai salah satu waria senior di Jember. Ia masuk ke Jember pada akhir tahun 90-an. Kalau ingatan belum berkhianat, ia berasal dari Sulawesi. Ia membuka salon Cindy dengan darah dan air mata. Literally. Sebagai liyan, tak terhitung berapa kali perlakuan tak mengenakkan mampir padanya.

Namun Cindy memang tangguh. Ia berhasil membesarkan salon yang menyandang namanya itu. Salon itu perlahan-lahan membesar hingga akhirnya bisa menempati sebuah bangunan berlantai dua di tengah jalan jawa.

Meski sukses, ia lantas tak lupa kulitnya. Cindy lantas aktif mengajarkan beberapa keterampilan ke waria jalanan (sebutan untuk waria yang masih beredar di jalan, entah ngamen atau beredar gak jelas). Banyak anak buahnya sekarang sukses dan bisa membuka salon sendiri. Kalau saya tak salah, pemilik salon Sandra di ujung jalan Jawa itu adalah salah satu murid Cindy.

Saya selalu suka potong rambut di Cindy. Ia punya keahlian yang menarik: mencocokkan gaya rambut dengan bentuk wajah pelanggan. Misalnya saya yang berwajah bulat, Cindy sudah tahu bagaimana sebaiknya rambut saya dipotong dan ditata. Hasilnya tak pernah mengecewakan.

Selain itu rasanya menyenangkan melihat caranya mengajari para anak buahnya. Sabar dan telaten. Anak buahnya memang datang dan pergi. Maka mengajari anak-anak baru bukanlah keseharian yang asing.

Saat terakhir kesana, Cindy mengadopsi seorang anak balita berjenis kelamin lelaki. Lucu sekali anaknya itu, suka ngomong dan berjalan kesana kemari. Insting keibuan Cindy rupanya teramat kuat sehingga membuatnya memutuskan untuk mengadopsi anak.

Namun kabar duka menghampiri saya beberapa bulan lalu: Cindy meninggal. Konon katanya kecelakaan. Saat mendengar kabar itu saya sontak teringat kenangan diskusi di karpet merah Tegalboto. Cindy memang membawa kesan yang sukar dilupakan. Berapi-api saat membicarakan haknya. Juga bagaimana luwesnya tangannya saat bergerak membelah angin dan memotong rambut saya.

Selamat jalan Cindy, terima kasih untuk rambut-rambut rapi yang sudah pernah kamu hasilkan. Para muridmu pasti juga akan berdoa yang terbaik untukmu. Beristirahalah dengan tenang.

***

Kalau berjalan di Terminal Arjasa, coba tanyakan nama Rudy. Nyaris semua orang mengenalnya. Rudy memang tumbuh besar di sekitar terminal Arjasa. Ibunya punya warung di dalam terminal. Jual pecel dan soto.

Saya sudah akrab dengan sosoknya saat masih duduk di bangku SD. Saat itu Rudy memang membetot perhatian. Tingkahnya kemayu dan genit. Badannya agak bongsor. Bagi anak SD seperti saya tentu sedikit aneh melihat sosok pria bongsor namun bertingkah genit.

Saat masuk SMA, barulah saya akrab dengannya. Saya dan kawan-kawan seringkali bolos di warung milik sang ibu. Selepas makan soto Madura yang sedap, saya biasanya tiduran di dipan bambu yang nyaman sekali. Saya dkk juga sering bolos di rumahnya. Biasanya  rumahnya selalu kosong pada jam kerja. Ibu dan kakaknya jaga warung, dan saat itu Rudy masih bekerja serabutan.

Rumah Rudy bisa dibilang tempat strategis buat bolos: masuk ke dalam gang sempit dan punya banyak fasilitas. Mulai dari kursi empuk, kasur, dapur untuk membuat kopi, hingga tv dan vcd player untuk memutar film porno. Biasanya kami datang sendiri meskipun rumahnya kosong. Kami hafal dimana Rudy meletakkan kuncinya. 

Orang rumah saya pun akrab dengan Rudy. Pasalnya Rudy kenal dengan adik-adik saya.

Suatu hari Orin, adik saya, bercerita ke mamak kalau ia bertemu dengan Rudy di pasar. Orin bercanda kalau ia minta dipotongin rambut dengan gratis.

"Iya deh gak papa, tapi masmu buat aku yaaa," jawab Rudy dengan genit.

Mamak tertawa keras sekali waktu itu.

Sebagaimana waria pada umumnya, Rudy pun punya nama alias. Ia punya banyak nama alias. Dulu kalau saya tak salah ingat, namanya Imel. Lalu berubah jadi Brenda saat saya SMA. Tapi entah kenapa namanya sekarang lebih dikenal sebagai Rudy. Nama aslinya? Kalau tak salah Rudy Djarot. 

Dulu saat saya melihat Rudy, saya selalu ingat sama Rudy Sarzo, pemain bass Quiet Riot. Hehe.

Selepas saya lulus SMA saya jarang melihatnya. Namun saat mendengar kabar kalau ia membuka salon sendiri, saya memutuskan untuk mampir. Kadang potong rambut, kadang juga creambath, kadang facial. Apapun itu yang sekiranya bisa membantu salon Rudy bertahan.

Tadi sore saya ke salonnya. Saya menyapanya dari kejauhan. Ia kaget begitu saya melepas helm.

"Nuraaaaaaaaaaaaan," teriaknya.

Namun sayang, saya tak bisa potong rambut di salon Rudy. Salonnya sedang penuh dan ia sibuk menyiapkan kostum bagi para calon peserta Jember Fashion Carnaval. Salonnya penuh dan sumpek. 

Tampaknya salonnya sudah besar. Saya ikut senang. Kapan-kapan kalau ia senggang, saya ingin sekali potong di sana sembari berbincang tenang kenangan-kenangan lucu masa silam.

Sampai ketemu lagi Rud!

***

Nyaris tak ada orang Arjasa yang tak mengenal Sunar. Di Arjasa, sosok itu adalah legenda. Ia dan gunting bagai saudara kembar. Tak terhitung berapa kepala yang ia tegak-turunkan. Tak terhitung berapa kilo rambut yang sudah ia sapu menjelang kios potong rambutnya tutup di sore hari semenjak berbelas tahun lampau.

Saya tak pernah menanyakan kapan Sunar mulai membuka kios rambutnya. Setahu saya, saat pertama kali potong rambut masa SD, Sunar adalah referensi pertama yang dianjurkan oleh almarhum ayah.

Kios potong rambutnya sederhana: berupa gedhek (anyaman bambu) yang berada pas di bawah rindang pohon kersen berukuran besar. Antri di Sunar berarti menunggu lama. Saat itulah saya suka sekali memanjat pohon kersen. Buahnya yang sudah matang berwarna merah, manis sama seperti kenangan indah, macam masa kecil yang menyenangkan

Sunar orang Madura tulen. Logat Maduranya kental dan selalu menyenangkan untuk didengar. Macam aksen British bagi orang Amerika. Kumisnya lebat melintang di bawah hidung. Potongan rambutnya selalu rapi dan presisi, macam matematika. 

Ayah saya mengagumi Sunar karena dua hal: potongan rambut yang rapi dan selalu tersedianya koran di kiosnya.

"Itu artinya, di saat orang menunggu, Sunar menyuruh pelanggannya untuk membaca," kata ayah suatu ketika sehabis saya turun dari pohon kersen yang rimbun itu. 

Saya dulu tak paham apa maksud ayah. Soalnya saya terlampau sibuk memanjat pohon dan mencari dahan mana yang berisi banyak buah matang. Kelak saya tahu, di desa saya dulu, membaca koran adalah sebuah kemewahan tersendiri. Membaca adalah pekerjaan yang terlalu membuang waktu. Menyediakan koran berarti melibas semua hal buruk itu.

Saat itu juga, Sunar seperti penguasa tunggal dunia potong rambut di Arjasa. Nyaris tak ada pesaingnya. Hingga akhirnya muncul seorang pesaing yang gagah berani. Namanya Mitun.

Saya dan beberapa kawan baik sempat pindah hati ke Mitun. Pasalnya Mitun menyediakan satu buah majalah porno usang yang selalu diselipkannya di balik saku belakang celananya. Sebagai anak akhil balig, melihat perempuan telanjang begitu menegangkan sekaligus menyenangkan. Saking susahnya mencari akses ke gambar perempuan telanjang, kami rela rambut yang belum juga panjang untuk dipotong lagi.

Sayang, kualitas memang menentukan segalanya. Kualitas potongan rambut Mitun tak begitu bagus. Saat gaya potongan rambut Speed (meniru potongan Keanu Reeves di Speed) sedang tren, saya pernah meminta Mitun memotong rambut saya ala Speed.

Hasilnya mengecewakan: rambut saya malah dipotong cepak ala tentara. Fukk! Wajah saya terlihat tambah bloon. Sejak saat itu saya memilih Sunar, sang cinta lama yang terabaikan, dan kembali gemar menaiki pohon kersen hingga akhirnya saya semakin besar dan dahan pohon tampak terlalu rapuh.

Tadi sore sebelum pergi ke Salon Rudy, saya ingin potong rambut di Sunar. Tapi saya dibuat bingung. Kiosnya sudah tak ada. Pohon kersennya sendiri sudah lama ditebang. Tak mungkin kiosnya hilang sedemikian cepat, soalnya terakhir saya pulang kios itu masih ada dan antriannya masih tetap panjang.

Saya sampai harus memutar dua kali untuk memastikan rabun datang terlalu dini. Namun sayangnya mata saya masih sehat. Kios Sunar sudah tak ada. Saya penasaran.

Sesampainya di rumah saya menanyakan perihal kios Sunar ke mamak. Kata Mamak kios itu harusnya masih ada. Tapi mamak juga tak yakin tentang kebenaran itu. Nanti kalau saya pulang lagi saya ingin memastikan pertanyaan ini. Bisa jadi Sunar hanya pindah tempat. Kalau sampai Sunar gantung gunting, tentu ini adalah sebuah kehilangan besar bagi dunia potong rambut di Arjasa. 

Mendadak tadi sore saat melintas kedua kalinya untuk mencari kios Sunar, berkelebat bayangan pohon kersen besar, saya yang mungil menaikinya dengan hati-hati, dan ayah yang dengan tenang membaca koran di bangku kayu kecil depan kios. Selepas dapat buah kersen berwarna merah, saya memakannya dengan bahagia.

Rasanya manis,  sama seperti kenangan masa kecil yang menyenangkan. []

post scriptum: Ada lagi kios potong rambut yang bersejarah bagi saya. Sueb nama pemiliknya. Kios itu terletak di depan gapura perumahan tempat saya tinggal. Selain jadi langganan ayah di masa stroke-nya, ia pula yang memotong rambut gondrong saya saat ayah meninggal. Ia, sembari terdiam dan berwajah sedih, menjadi saksi bagaimana saya menangis terisak tanpa suara di atas kursi potong rambutnya. Oh ya, gara-gara semua tempat potong rambut langganan saya selalu nutup, maka hingga sekarang rambut saya masih mirip semak belukar.