Rabu, 28 September 2011

Hair Metal, Grunge, dan Perbincangan Yang Tak Akan Pernah Usai



Kalau boleh memaki, bolehlah saya memaki karena dilahirkan di masa yang salah. Karena lahir di masa yang salah pula, saya merasa tumbuh besar di masa yang salah.
Saya tumbuh besar ketika riuh rendah rock ‘n roll sudah mereda. Bayangkan, ketikaAppetite for Destruction dirilis, saya bahkan belum lahir. Ketika Nevermind dirilis (yang konon merupakan representasi generasi X), saya baru saja berumur 4 tahun. Saat itu jelas saya tak bisa tahu apa itu Appetite, Nevermind, Axl, Cobain, hair metal, atau apa pula itu generasi X berserta kemarahan serta keapatisannya.
Jadi sebenarnya saya tak punya kepentingan apapun terhadap dua jenis kutub musik yang berbeda itu. Walau kenyataannya saya jelas lebih suka hair metal. Tapi sekarang saya berusaha membandingkan dua magnum opus dari dua masa yang berbeda itu secara seimbang.
Dalam buku berjudul Fargo Rock City, kritikus Chuck Klosterman, pernah melakukan usaha yang sama dengan yang saya lakukan. Chuck (meski ia juga penggemar hair metal) secara berhati besar mengatakan bahwa dampak sosio kultural yang disebabkan oleh Nevermindsedikit lebih besar ketimbang Appetite. Chuck bisa objektif dan tegas menyatakan fakta itu karena ia tumbuh besar dan mengalami sendiri dua periode yang jauh berbeda: kejayaan dan kejatuhan hair metal, serta kelahiran dan kematian instan grunge.


Sedang saya? Bahkan ketika saya mimpi basah untuk pertama kalinya, MTV sudah sangat membusuk kronis dan sebagian dunia hanya mengingat Cobain dan Smells Like Teen Spirit(serta nyaris melupakan siapa itu Krist Novoselic, juga ada album bertajuk In Utero).



Ketika membandingkan dua album maha dahsyat ini, susah untuk tidak berbicara mengenai bangunan keseluruhan album.



Appetite dibangun oleh riff gitar blues yang dibawa oleh Slash, pengaruh punk yang dibawa bassist asal Seattle Duff McKagan, kocokan gitar ala Stones oleh Izzy Stradlin, serta ketukan simple nan bertenaga yang dibawa oleh Steven Adler. Axl Rose sang mastermind Guns ‘N Roses menulis lirik dengan tema beragam. Mulai ganasnya hidup jalanan di “Welcome to the Jungle”, perempuan binal di “My Michelle”, narkoba di “Mr. Brownstone”, tempat utopis “Paradise City”, cinta “Sweet Child O Mine”, hingga kisah asmara yang bagai kutub utara dan selatan “Rocket Queen”. Axl menulis lirik tidak sendirian. Beberapa anggota lain juga ikut urun sumbangsih terhadap pembuatan lagu.



Sedang Nevermind dibangun oleh permainan distorsi yang dibawa oleh Cobain, permainan bass yang rapat oleh Krist, serta ketukan bertenaga oleh Dave. Sedang tema yang dibawa oleh Nevermind pun beragam, namun hanya terdiri satu warna: kemarahan Gen X.



Namun, sampai saat ini, saya berfikir bahwa secara kualitas album, Appetite lebih unggul. Sekali lagi ini penilaian subjektif. Anda setuju, alhamdulillah sesuatu banget bagi saya. Kalau anda tidak setuju, apa peduli saya? Tulis versi anda sendiri.



"Perbedaan dari kedua album itu adalah Appetite selalu menjadi tour de force dan sebuah mahakarya classic rock, sedang Nevermind akan selamanya dianggap sebagai kendaraan untuk “Smells Like Teen Spirit”, juga pengaruhnya terhadap kultur mainstream," Demikian kesimpulan Chuck Klosterman pada review pendek mengenai dua album tersebut.



Saya tidak bisa untuk tidak setuju.



Guns N Roses memperlihatkan musikalitas yang jempolan. Jauh meninggalkan semua band hair metal seangkatannya. Tema penulisan Axl begitu luas. Ia bisa menuliskan lirik gelap, pahit, manis, dan bahkan romantis. Izzy dan Slash juga pandai menciptakan musik yang melodius. Yang membuat saya menilai album Appetite lebih unggul ketimbang Nevermindadalah kerja band secara keseluruhan. Appetite digarap keroyokan, semua anggota punya andil pada tiap lagu. Sedang Nevermind, nyaris semua lagu ditulis oleh Cobain. Dari fakta ini, jelas Guns N Roses lebih unggul sebagai sebuah grup band, ketimbang Nirvana yang nyaris seperti one man show.



Namun (meski kalah jauh soal kualitas), bagi sebagian besar orang, Nevermind memiliki pengaruh kultural yang lebih besar. Iya, sebagian besar, tidak semua orang. Meskipun kelak semua orang mengaku hidupnya berubah gara-gara Nevermind, saya tidak demikian adanya.



Nevermind seakan menjadi representasi kokoh mengenai kemarahan, kegalauan, depresi,angst, atau apapun itu istilah yang berkaitan dengan kelabilan kondisi jiwa. Karena itu pula banyak fans Nirvana mengaku mendengarkan Nevermind (dan konon hidup mereka berubah) ketika memasuki fase remaja, masa pencarian jati diri yang konon dipenuhi oleh rasa marah, galau, serta apatis terhadap apapun. Generasi yang oleh Robert Capa disebut dengan Generasi X, generasi yang lahir karena “ketidakpastian masa datang akibat kompetisi bebas di dunia yang tidak lagi bersekat dan menganut nilai absolut.”



Ya, Nevermind lahir di saat yang tepat.



Sedang Appetite boleh dibilang apes karena harus lahir ketika sebagian besar manusia di bumi terjangkit demam hair metal. Iya, sebagian besar. Karena ada sebagian kecil manusia berpengaruh yang disebut kritikus, yang sudah terlampau muak terhadap sub kultur yang dianggap murahan dan sapi perah industri musik itu. Mereka beranggapan bahwa apapun yang berasal dari skena hair metal adalah busuk adanya.



Sekeras apapun saya berargumen kalau “Shout at the Devil” itu album keren dan pantas masuk dalam daftar 500 Album Terbaik Sepanjang Masa versi Rolling Stone Amerika Serikat, atau “Slippery When Wet” itu album jenius, meskipun dunia tidak akan pernah setuju dengan saya. Apalagi para music snob yang terlalu sibuk mencari lagu apa yang paling aneh, paling panjang durasinya, paling susah diterima kuping, yang nantinya akan digelari musik keren, atau cult.



Untung saja Appetite "terlalu menonjol" dibandingkan album hair metal lainnya. Jadi ia masuk radar para kritikus musik. Pun, kualitas musiknya sangat mencengangkan. Walau sekali lagi, dampak kulturalnya tak sebesar yang dihasilkan oleh Nevermind kelak. Dan ya, saya mengakui itu.



Beban Yang Tak Terbagi



Pada akhirnya, ada satu lagi perbedaan besar pada generasi hair metal dan grunge. Hair metal adalah sebuah skena besar yang saat itu tak dilambangkan oleh wakil tunggal. Hair metal punya Guns N Roses, Motley Crue, Poison, Quiet Riot, Cinderella, dan juga Skid Row. Posisi mereka seimbang, sama kuat, dan sama-sama punya basis fans yang kuat. Baik di kalangan fans biasa, maupun di kalangan industri.



Sedang grunge? Entah kenapa saya merasa seluruh beban suara Generasi X hanya dipanggul oleh Nirvana sendiri. Dan itu sungguh sangat berat. Bagi saya, tak ada band grunge yang memiliki kharisma serta berpengaruh sebesar Nirvana. Karena tak ada band yang sepadan dengannya, beban cultural, sosial, atau bahkan ideologi grunge (yang ironisnya belum sempat selesai "dirumuskan" karena Cobain keburu tewas), hanya dipanggul oleh Nirvana. Beban yang terlampau berat itu pada akhirnya membuat Cobain memutuskan untuk menarik pelatuk pistol, mencerabut nyawanya sendiri, dan yang paling ironis, mencabut nyawa skena grunge secara keseluruhan.



Bahkan beban yang tak terbagi itu tampak dalam album Nevermind. Disana, nyaris semua lagu dibuat oleh Cobain. Hanya ada dua lagu yang ditulis bareng dengan Krist dan Dave (“Smells Like Teen Spirit” dan “Endless,Nameless”).



Sekali lagi, beban yang tak terbagi ini membuat Nirvana sebagai "satu-satunya" band grunge yang terpantau oleh industri. Pearl Jam? Bahkan Eddie Vedder seringkali marah kalau disebut band grunge. Juga jarang sekali ada orang awam macam saya yang tahu Melvins, Tad, Mudhoney, atau band-band yang muncul di Hype! Karena itu pula, ketika sang perwakilan tunggal bernama Nirvana bubar seiring tewasnya Cobain, maka ikut mati pula seluruh skena grunge.



Grunge dan Hal Yang Tak Pernah Selesai Lainnya



Perbincangan, glorifikasi, atau nostalgia terhadap genre musik bukan sesuatu yang baru. Ia tak akan pernah selesai diperbincangkan, sama seperti agama atau tuhan. Bahkan setelah 20 tahun, “Nevermind” masih saja diperbincangkan. Bahkan dibuatkan perayaan. Pada akhirnya, baik Guns N Roses maupun Nirvana adalah dua band yang sangat mewakili semangat zaman masing-masing. Zaman yang sama sekali bertolak belakang. Yang membuat Guns dan Nirvana melakukan “kampanye generasi” dengan cara yang berbeda.


Guns adalah tipikal pemuda generasi 80-an, yang bandel dan pemberontak, tapi juga sangat gemar bersenang-senang. Sedang Nirvana mewakili generasi X yang selalu diselubungi kemarahan, juga keapatisan. Juga mungkin rasa muak terhadap generasi hair metal. Hal yang sama terjadi pada sirkulasi flower generation dan punk.

Kalau tulisan ini sangat sangat pretensius, itu benar adanya. Saya pikir setiap lini dari tulisan ini cenderung sangat subyektif dan (mungkin) berat sebelah. Saya cenderung memihakAppetite. Jelas, karena hidup saya berubah karena album itu, bukan oleh Nevermind. Sama dengan para pemuja grunge yang berkoar serta menuliskan grunge berhasil membasmi hair metal.
Hair metal mati? Aha, bahkan sekarang ada Rocklahoma Festival, Ratt mengeluarkan albumInfestation, Guns menetaskan Chinese Democracy yang sudah terlalu lama diperam, bahkan Motley Crue masih mengadakan konser keliling dunia (dan konser mereka di Jakarta gagal, it just broke my heart!). Sedang grunge? Bolehlah ia dianggap mati suri setelah kematian satu orang sahaja: Kurt Donald Cobain. Tapi untuk perihal kebangkitan skena grunge, saya kurang begitu tahu. Kalau ada yang tahu mengenai kebangkitan gerakan grunge, bolehlah saya diberitahu.


Menurut saya, hingga kini nyaris belum ada yang bisa membangkitkan sub kultur asal Seattle itu lagi. Pearl Jam? Ah, saya lebih memilih berharap pada Navicula saja.

Senin, 19 September 2011

Hidup Baru

Minggu kemarin saya resmi memulai hidup baru. Jadi mahasiswa lagi, menikmati tenggelam di tengah belantara ilmu pengetahuan. Di kota yang baru. Kota yang selama ini saya tuju hanya sebagai pelancong. Kali ini saya mencoba hidup di tengahnya. Pasti menyenangkan. Angkringan, kopi joss, gudeg, buku, film, gigs, dll. Ah, sungguh menyenangkan. Oh ya, kuliah juga ding *nyengir*

Beberapa hari ini saya banyak dibantu oleh kawan-kawan lama, juga saudara. Mulai menampung saya, mengantar daftar ulang, hingga mencarikan kos. Sekarang saya belum dapat kos, mungkin besok atau lusa. Lalu tinggal mencari kasur, meja, lemari, dan perlengkapan kos lain. 

Saya tak sabar untuk segera memulai hidup baru.

Selasa, 13 September 2011

I'm a Dick, I'm Your Master, I'm Rock n Roll Disaster!

I'm a dick, I'm your master, I'm rock n roll disaster!
(Motley Crue)
*** 
Siapapun paham kalau Motley Crue adalah biang kerok dari segala kekacauan di era hair metal. Yang bisa menandingi semua keliaran mereka hanyalah Guns N Roses. Jika dibandingkan dengan kebrutalan Motley Crue, para gerombolan hair band hanyalah kumpulan para badut bermake up yang baru saja belajar merokok di bawah jembatan seusai sekolah. Tak heran kalau Motley pernah berujar bahwa mereka adalah bencana bagi rock n roll.

Tapi di mata saya, definisi bencana adalah ketika saya melihat video "Dr. Feelgood" dan "Kickstart My Heart" dari beberapa konser terbaru mereka. 

Saya benci mengatakannya: mereka sudah habis. Tamat. Atau mari kita bilang: Vince Neil yang sudah tamat.

Vokalis bermulut besar itu tak bisa lagi mengikuti ritme band mate-nya. Ketika Nikki, Mick, dan Tommy bermain penuh dengan gairah dan energi yang tetap sama seperti puluhan tahun lalu, Vince sudah kedodoran untuk sekedar bernyanyi tidak fals. Bahkan bernafas pun ia  kesusahan.

But who fucking cares?! They are Motley Crue!

Kabar burung mengatakan kalau legenda Sunset Strip ini akan mengadakan konser di Jakarta pada tanggal 8 Oktober 2011. Harga tiket sudah dipatok, antara 500-750 ribu. Saya sudah menabung, siap untuk naik haji hair metal.

Tapi ketika saya menengok ke situs resmi Motley, tak ada jadwal manggung untuk 8 Oktober. Sialan. Saya deg-degan. Ketakutan, lebih tepatnya. Takut mereka tak manggung di Jakarta dan mimpi saya menonton mereka buyar.

Kalau berita Motley konser di Jakarta itu hoax, itu baru layak disebut sebagai rock n roll disaster.

Kamis, 08 September 2011

Kedap Kesendirian


"Meskipun kita traveling sendirian, pada akhirnya kita tak pernah benar-benar berjalan sendirian"
(Suatu malam di tengah jalan)

Tadi malam, diatas motor di tengah jalan, entah kenapa satu kalimat tiba-tiba menyeruak. Kalimat itu adalah kalimat yang saya pakai sebagai opening tulisan pendek ini. Mungkin kalimat itu muncul karena saya sekarang sedang ingin jalan-jalan lagi. Tujuan utama tetap Sulawesi dengan naik CB. Tujuan lain masih belum dipikirkan.

Saya merasa bahwa meskipun saya seringkali traveling sendirian, saya tak pernah benar-benar sendirian. Hal itulah yang seringkali menguatkan saya ketika perasaan kesepian tiba-tiba meruap entah dari mana.

Ketika traveling ke Flores beberapa waktu silam, saya meminjam carrier milik Fahmi. Saya merasa Fahmi ikut traveling dengan saya. Lalu di perjalanan saya bertemu dengan banyak orang, dibantu oleh mereka. Jadi jelas saya tak sendirian. Karena salah satu esensi dari perjalanan adalah bertemu dengan orang baru. 

Juga jangan lupakan doa. Ketika saya traveling, saya tahu ayah, mamak, kawan, atau pacar, mendoakan saya. Doa jadi salah satu teman terampuh yang mengedapkan kita dari kesendirian.

Jadi meskipun kita traveling sendirian, pada akhirnya kita tak pernah benar-benar berjalan sendirian. 

Jember, 08 September 2011

Sabtu, 03 September 2011

Selamat Ulang Tahun ke 52, Ayah


Saat itu musim kemarau akhir tahun 1990. Dan saya seperti jadi remaja tergalau di seluruh dunia.

Pasalnya adalah saya gagal ujian masuk satu pondok pesantren modern yang ada di Solo. Saya baru saja lulus SD dan orang tua memutuskan untuk memasukkan saya dan kakak ke pondok pesantren. Rencananya tentu agar saya jadi anak yang pintar nan agamis. Sayang rencana orang tua saya itu berantakan. Saya dan kakak sama-sama gagal. Untuk anak SD, gagal memenuhi harapan orang tua itu rasanya seperti akhir dunia. Makan malas. Mandi pun jarang.

Pada suatu malam, saya jatuh sakit. Ayah membawa saya ke mantri dekat rumah. Sang mantri adalah teman ayah. Orangnya rada sombong. Dan malam itu kesombongannya menjadi karena anaknya diterima masuk di sekolah favorit, sedang saya di sekolah yang biasa-biasa saja.

"Wah, anak saya masuk sekolah favorit. Nuran kok bisa gak keterima? Sekolahannya itu kan yang banyak kasus kesurupannya itu?" ujar si mantri.

Kebetulan sekolah saya itu dikenal sebagai tempat jin kawin dan buang anak. Merit. Angker. Sering terjadi kesurupan di sekolah itu.

Si mantri terus menyombongkan anaknya yang konon meraih danem tertinggi di seluruh SD-nya. Bla bla bla. Saya hanya diam saja. Semacam terpukul karena gagal membuat ayah bangga.

Tapi ayah ternyata cuma tersenyum saja mendengar semua kesombongan mantri itu.

"Hehehe, kalau saya, sekolah dimanapun gak papa pak. Yang penting anak seneng dan bisa berprestasi" kata ayah.

Saat itu saya merasa, ayah adalah pria terhebat di seluruh dunia.

***

Saya menemukan keasyikan naik gunung ketika awal masuk SMA pada tahun 2003. Dulu saya seringkali melihat foto ayah naik gunung atau menjelajah. Saya ingin melakukan hal yang sama.

Gunung yang pertama kali saya daki adalah gunung Lamongan yang terletak di Lumajang. Saya ingat, pagi itu ayah mengantar saya ke terminal setelah sebelumnya membelikan saya berbatang-batang coklat cap Jago. Saya heran untuk apa coklat sebanyak itu.

"Makanan manis itu sumber energi dul. Kamu kalau naik gunung jangan sembarangan. Ojo asal munggah wae." kata ayah ketus. Ayah menganggap saya serampangan naik gunung. Akhirnya ayah memberikan beberapa buku mengenai pendakian gunung.

Pendakian pertama itu gagal sampai puncak karena rombongan kami terjebak badai ketika bermalam di Watu Gajah. Tenda dihantam angin keras berkali-kali. Suara petir menggelegar. Hujan turun berderai-derai. Saya dan semua rombongan ketakutan. Ada yang istighfar. Ada pula yang menangis. Di saat yang mencekam itu, saya memakan coklat dari ayah. Dan rasa tenang pun datang hingga akhirnya saya tertidur.

Pernah ketika saya selesai mendaki gunung Raung, ketika pulang saya mendapati satu buah set kompor lapangan beserta tabung gas. Ayah yang membelikan. Mamak tinggal mengomel saja. Takut kalau anak laki-lakinya terlalu suka keluar rumah dan lupa pulang.

Suatu malam awal tahun 2005. Saya dan mamak bertengkar hebat. Pasalnya saya sudah menyiapkan carrier. Saya dan kawan-kawan sudah setuju akan rencana pendakian ke Gunung Arjuna dan Welirang. Mamak melarang, saya bersikeras. Mamak teguh dengan pendiriannya kalau saya harus membatalkan pendakian ini. Saya sudah kelas 3 SMA dan tak lama lagi menghadapi ujian nasional.

Mamak lantas menangis dalam kekeraskepalaannya. Sedang saya gamang antara tetap mendaki atau membatalkan perjalanan.


"Iki gawe sangu" kata ayah sambil merogoh semua uang yang ada di dompetnya. Beliau menyerahkan semua uang itu, hingga tandas uang di dompetnya. Saat itu tanggal tua. Mungkin beliau belum gajian. Dengan memberikan uang itu, ayah menyerahkan semua keputusan pada saya. Penuh seluruh. Ayah sudah menganggap saya dewasa.

Tapi akhirnya saya kembalikan uang sejumlah 70.000 lebih sedikit itu ke ayah. Saya memutuskan untuk membatalkan pendakian. Air mata mamak saya yang menahan saya untuk berangkat.

Tapi keputusan ayah untuk menyerahkan semua uang itu tetap berbekas hingga sekarang.

***

Sekarang tanggal 3 September 2011. Besok ulang tahunmu yah. Kalau kau masih hidup, kau akan berulang tahun yang ke 52. Tapi sayang usiamu terhenti di bilangan 51. Tapi tak apa. Kematian itu bukan akhir dari segalanya. Kematian adalah titik awal dari semua pengungkapan akan kenangan dan ingatan.

Mamak tadi cerita kalau besok kau ulang tahun. Ia seperti mengingatkan aku. Tapi mana mungkin aku lupa yah. Oke, aku khilaf. Aku menuliskan angka 5 September 1959 pada nisanmu. Tapi sumpah aku tak sengaja. Saat itu aku tak bisa berpikir. Tapi tak apa lah. Kau pasti suka kalau jadi lebih muda, walau hanya sehari.

Bagaimana kehidupan setelah kau tinggal? Well, susah menjelaskannya. Mamak masih saja mengusahakan yang terbaik untuk anak-anaknya. Ia masih membiarkan baju yang terakhir kau pakai tergantung di hanger belakang pintu kamarnya. Ia kadang masih suka menciuminya. Aku tak pernah memprotesnya. Karena aku tak pernah tahu seberapa perih kehilangan orang yang telah berbagi hidup nyaris 30 tahun.

Aku kapan hari ke Jerman yah. Aku bisa kesana karena menang lomba nulis. Iya, lomba nulis yang dulu aku ceritakan. Mengenai PKI dan tragedi 1965. Lalu ketika mendengark aku akan pergi ke Banyuwangi, kau meminta ikut. Kau mungkin bosan di rumah saja, ingin jalan-jalan. Makanya, hiduplah sehat. Kau menyesal kan sekarang? Makanya kau selalu tak henti-hentinya cerewet. Mengingatkanku akan pentingnya menjaga pola hidup. Agar penyesalan yang sama tak aku rasakan juga.

Aku nyaris 1 bulan di Jerman yah. Sempat main ke Belanda, Italia, sama Perancis yah. Aku melaksanakan permintaanmu untuk melihat dunia yah. Memang, dunia itu indah, kau tak bohong. Lain kali aku akan melihat dunia lagi.

Oh ya, aku sudah pergi ke makam Jim Morrison. Kau iri kan? Kasihan :p

Hidup terus berlanjut yah meski kau sudah pergi. Aku memutuskan untuk sekolah lagi. Ke Universitas yang dulu pernah menolakmu masuk ke salah satu fakultasnya karena kau ternyata buta warna. Aku sudah tes, sekarang tinggal menunggu pengumumannya. Doakan saja agar diterima. Aku ingin bersekolah setinggi mungkin. Sesuatu yang dulu pernah kau kejar dengan gigih. Sesuatu yang kau ingin agar aku memilikinya juga.

Oh ya, mamak masih belum bisa pergi ke pusaramu. Katanya takut gak kuat lalu menangis. Aku paham itu. Semoga kau paham. Karena aku tahu meski mamak tak pernah datang langsung ke pusaramu, ia selalu mendoakanmu tiap saat. Juga mendoakan anak-anaknya. Kau telah memilih perempuan yang hebat yah.

Oh ya, kapan hari keluarga kita kehilangan satu orang terkasih lagi. Nenek meninggal. Sudah ketemu dengannya yah? Selamat melepas rindu ya. Nenek meninggal dengan doa dan tangis banyak orang. Semoga kau dan nenek mendapat tempat terindah di sisiNya yah.

Ya sudah lah. Cerita akan terlalu panjang kalau aku memaksa untuk terus bercerita. Kasihan kau, mungkin sudah lelah. Ingin segera istirahat. Sekarang sudah jam 9. Ini jam rutin tidurmu. Beristirahatlah dengan tenang.

Salam sayang dari Jember. Selamat ulang tahun ayah terhebat di dunia :)

Jember, 3 September 2011

Jumat, 02 September 2011

Reuni Kecil


Seiring bertambahnya usia, kami sadar bahwa tanggung jawab makin besar. Kurangi waktu untuk bersenang-senang. Mulai tata masa depan. Mungkin itu yang ada di pikiran Zainul, yang akrab dipanggil Zaicob. Pria berkulit langsat ini sudah dua tahun meninggalkan pulau Jawa, dan menjadi barista di pulau Dewata. Tahun lalu ia pulang, tapi tak banyak yang bisa silaturahmi dengannya. Tahun ini rupanya banyak yang bisa. Walau minus dua orang karib kami yang lain: Ade dan Fahmi.

Layaknya reuni kecil, kami pun berkumpul, merayakan kenangan. Baik dan buruk lantas menjadi lucu. Itulah ajaibnya waktu. Ia bisa mengubah luka seperih apapun, jadi tawa yang lantas berderai-derai. Setelah menghabiskan waktu di salah satu kafe di bilangan Kartini, kami meluncur ke Alun-alun. Zaicob ingin berfoto dengan latar belakang huruf "Jember". Norak sekali bukan? Tapi sebagai kawan yang baik, kami mengabulkan permintaannya. Kami pun berfoto di depan kantor Bupati Jember.

Berfoto disana ternyata kurang memuaskan. Spot beralih ke jejeran palem berlampu di depan masjid Jami'. Kami foto dengan berbagai pose. Seakan melampiaskan dendam yang tersumat semasa SMA. Dendam karena jarang dari kami punya barang bernama kamera. Sekarang mumpung kamera sudah jadi barang yang biasa, kami ingin mengabadikan semua kenangan.

"Wah, ini bakalan kita ingat kalo kita tua nanti" celetuk Zaicob haru.

Itu terjadi karena kami bertingkah gila. Entah siapa yang memulai, ada celetukan asal "Ayo foto sambil buka baju". Dan bodohnya, kami semua setuju dengan ide itu. Jadilah kami membuka baju di tengah dingin hawa Jember. Di tengah kota pula. Kami jadi berasa balik ke masa SMA dulu.

Malam telah larut. Dingin makin menusuk. Sepertinya pertemuan tahun ini harus diakhiri. Semoga tahun depan kita bisa bertemu lagi. Membawa cerita yang menyenangkan. Cerita yang bisa mengurai tawa, seperti biasa. Dengan kawan yang lebih lengkap.

Sampai jumpa tahun depan.