Senin, 24 Januari 2011

Guest House Hidayah

Saya lupa tahun berapa foto ini diambil. Kalau tidak salah, antara rentang 89-90. Setting tempat adalah di sebuah losmen di Yogyakarta bernama Hidayah. Dilihat dari fotonya, tempat ini sepertinya menyenangkan. Alamatnya ada di Jl. H. Agus Salim 12.

Entah tempat ini masih ada atau sudah berganti fungsi.

Kamis, 13 Januari 2011

Akbar (Bagian 2)


Jam 6 pagi, Ayah masih belum juga sadar. Mata saya sudah panas, belum tidur mulai kemarin. Saya yakin mamak juga merasakan panas yang sama di matanya. Saya paksa mamak buat tidur, tapi dia hanya bisa tidur sebentar.

Tak ada manusia lain selain mamak yang paling sedih atas kondisi ayah. Berpacaran sejak tahun 1977, menikah 10 tahun kemudian, menjalani segala macam pernik rumah tangga, membuat Mamak merasa ayah adalah lelaki terpenting dalam hidupnya.

Kisah ayah dan mamak bukanlah kisah Cinderella, lebih mirip Beauty and the Beast. Ayah yang tipikal pria yang dibenci calon mertua manapun, harus menghadapi kenyataan bahwa ia jatuh cinta dengan Mamak, perempuan dari keluarga yang kental suasana ketimurannya dengan segala nilai keagamaan yang dianut.

Ayah gondrong, mamak rapi. Ayah jarang mandi, mamak mandi 3 kali sehari. Ayah suka menggelandang, mamak lebih sering berdiam dirumah. Ayah sabar, mamak keras. Ayah cenderung slengean, mamak konservatif. Tak ada, dari sudut manapun, yang bisa membuat kedua manusia ini cocok.

Awal bertemunya mereka pun bisa dibilang tipikal film remaja 70-an. Teman ayah naksir mamak, membual bahwa dia pernah mencium mamak, mamak meludahi pria ini, pria malang ini lapor ke ketua gengnya: ayah. Ayah yang tidak terima anak buahnya dilecehkan, pergi melabrak mamak, dan pertengkaran terjadi. Untunglah ludah mamak atau tamparan tangannya tak pernah mampir ke muka ayah.

Beberapa hari kemudian, ada satu buah puisi norak tertulis diatas meja milik mamak. Siapa yang melakukannya? Tak ada yang tahu sampai suatu hari ayah mengajak mamak kencan. Ditolak sudah pasti. Entah apa yang membuat mamak jatuh cinta pada brandalan beradab seperti ayah. Ayah memang tipikal pria brandal tapi cerdas nun eksentrik.

Kakek saya --saya memanggilnya Mbah Co-- adalah seorang penyanyi jazz. Beliau juga guru bahasa Inggris. Ia mewajibkan semua anaknya untuk banyak membaca. Ia keras, terutama kalau menyangkut disiplin dan pelajaran. Sedang istrinya --saya memanggilnya Mbah Ti-- adalah wanita rumah tangga keturunan keluarga pondok pesantren yang halus dan tak pernah marah pada anak-anaknya. Perpaduan antara keras dan kelembutan itu yang membuat ayah menjadi brandalan beradab. Ia bukan brandalan biasa. Ia suka musik jazz --meski akhirnya musik itu kalah oleh Deep Purple atau Beatles--, membaca buku, nakal, tapi selalu bersikap lembut terhadap perempuan. Sepertinya itu yang membuat mamak jatuh cinta pada pria urakan ini.

Ada satu fakta yang mengejutkan. Bahwa ternyata mamak adalah pacar pertama ayah. Saya sempat tak percaya. Tapi mamak yang mengatakan pada saya dan Rina, beberapa hari setelah ayah meninggal.

Setelah mamak takluk, tinggal orang tua mamak yang harus ditaklukkan. Kakek dari pihak ibu --saya memanggilnya Kaik-- adalah seorang perwira angkatan laut. Beliau menanamkan disiplin tingkat tinggi semenjak anak-anaknya masih kecil. Lalu ditanamkan pula nilai-nilai keagamaan yang kental. Sedang nenek --saya memanggilnya nenek-- adalah wanita keturunan Banjar-Sulawesi yang juga turut menanamkan nilai keagamaan serta ketimuran pada anak-anaknya. Tak heran, beliau berdua tak suka orang gondrong --yang memang diasosiasikan sebagai brandalan bermasa depan suram. Itulah yang terjadi pada ayah.

Apel pertama ayah hanya berlangsung 2 menit. Urutannya begini. Ayah datang, mengetuk pintu, Kaik membuka pintu, melihat ayah dari ujung rambut sampai bawah, nanya nyari siapa, ayah menjawab nyari Endang, Kaik bilang tak ada sambil membanting pintu. Selesai.

***

24 Desember 2010, pukul 23.00 wib. Ayah masih belum sadar. Saya sebenarnya penasaran apa yang membuat ayah tak sadarkan diri, koma seperti ini. Saya menganggap ayah adalah salah satu the toughest man in the world. Ayah saya sudah 5 kali kena stroke, kalau serangan kali ini juga dihitung, maka sudah 6 kali beliau diserang stroke. Tapi ayah tak pernah sekalipun tidak sadarkan diri seperti malam ini. Dulu pernah, ketika saya sedang di Jogja, mamak telepon, meminta saya pulang. Katanya ayah anfal. Tekanan darahnya 260/150.

260? Gila! Orang yang normal mempunyai tekanan darah 120/90. Kata dokter, orang yang tekanan darahnya 260 sudah seharusnya ambruk dan lumpuh. Tapi ayah masih bisa berdiri dan menolak untuk diopname.

Beberapa menit kemudian, salah seorang dokter di ruang IGD memanggil mamak dan saya. Sembari menunjukkan hasil CT Scan berwarna hitam yang teksturnya mirip kertas mika. Disitulah terpampang gambar kondisi otak ayah. Dokter menunjukkan gambar otak, dengan warna dominan hitam, dan hanya sejumput saja yang berwarna putih.

Kata dokter, kalau orang normal, gambar otak itu seharusnya berwarna putih. Tapi punya ayah hanya secarik saja. Lantas apa yang berwarna hitam itu?

"Darah" kata dokter itu. "Pembuluh darah bapak pecah, dan darahnya membanjiri otak" sambungnya dengan serius.

Mamak menangis lagi, terisak. Saya hanya bisa menguatkannya, menepuk pundaknya dan mengelus punggungnya.

***

25 Desember, 08.00 wib. Orin dan Sasha datang dari rumah. Membawakan rantang yang penuh berisi nasi dan lauk pauk. Dua gadis remaja labil ini ditemani oleh Mbok Mus dan Mak Cik, dua orang perempuan setengah baya yang sering membantu mamak kalau mamak sedang ada order katering.

Orin dan Sasha memaksa saya dan mamak untuk makan. Mana bisa makan kalau dalam kondisi sedih gini. Beberapa menit kemudian, Pak Mul, mantan atasan ayah di Unmuh dulu datang. Beliau datang bersama istrinya. Lalu ada om Momon --adik ayah-- berserta istrinya. Suasana diluar ruangan cukup ramai. Karena tak boleh masuk, saya dan mamak membuka tirai jendela ayah agar mereka bisa melihat dari luar. Para perempuan labil nan sensitif itu terisak melihat kondisi ayah.

Sekitar jam 08.30, kondisi ayah memburuk lagi. Nafasnya yang semula sudah normal selaiknya orang biasa, kembali jadi dengkuran. Berkali-kali pula ayah bergerak sendiri. Terlonjak pelan dari kasurnya. Mamak lantas menenangkan ayah sembari membacakan beberapa ayat suci. Sepertinya ayah mulai ketakutan.

Sepertinya beliau sudah bertatap muka dengan malaikat kematian.

***

Saya sendiri merasa terbebani dengan status anak lelaki tertua dan satu-satunya saat itu. Abang saya sedang ada di Surabaya. Mamak, Orin, dan Sasha, adalah perempuan yang --tidak bermaksud seksis-- lebih gampang menangis. Saya sebenarnya iri dengan mereka. Mereka dengan mudah bisa menangis, dan tak perlu ada hinaan yang menghampiri mereka. Saya juga sebenarnya pengen nangis sekeras-kerasnya, tergugu, terisak, tersedu, tersedan, semua jenis tangisan lah, saat melihat ayah saya terbaring tak sadar begini. Tapi kondisi saat itu tak memungkinkan saya untuk menangis. Setidaknya masih belum membolehkan.

Sekitar jam 09.40, kondisi ayah makin memburuk. Berkali-kali ayah terlonjak dari kasurnya. Dua orang perawat laki-laki dan satu orang Sarjana Kedokteran mengecek kondisi ayah. Mata mamak kembali sembab. Orin sudah menangis lumayan keras di luar. Sasha sendiri berusaha untuk tegar dengan mengaji di sebelah mamak. Saya sendiri mengelus-ngelus kepala ayah yang banyak uban. Oh, betapa tampak tua dan rapuhnya ayah saya tercinta. Sumpah, saya ingin sekali menangis saat itu.

Tapi pertahanan saya mulai runtuh, sedikit demi sedikit. Awalnya ketika mamak bilang "Le, ayahnya dibisiki (ayat suci) ya". Mata saya masih berkaca-kaca saja. Tak sampai keluar air mata. Tapi akhirnya benteng kekeraskepalaan saya runtuh berantakan saat salah satu perawat bilang,

"Bapak sudah dekat bu. Tolong didoakan ya" dengan muka yang sedih. Dekat ini jelas berarti dekat dengan kematian. Oke, air mata saya tumpah saat itu.

Sasha sendiri sudah gak kuat. Dia menaruh Panduan Doa Untuk Pasien di tempatnya, dan melangkah keluar dengan cucuran air mata. Ah, dasar anak emo.

Akhirnya hanya saya dan mamak yang mendampingi ayah. Saya masih kuat, berusaha tegar dan menegarkan mamak dengan berkali-kali memarahi mamak kalau dia menangis.

Tapi lagi-lagi, saya ternyata hanya manusia biasa yang bisa menangis.

"Wis yah, aku wis ikhlas. Aku iso njogo arek-arek. Aku bisa jaga anak-anak" kata mamak terisak.

Dan air mata saya kembali mengucur. Kali ini jauh lebih deras.

Saya mencium dahi ayah. Untuk terakhir kalinya, biarkan saya memberikan aksen melankolis pada hubungan ayah-anak ini.

***
Ayah meninggal tanggal 25 Desember 2010 jam 10.00 wib. Orang pertama yang saya beritahu adalah Rina. Lalu para saudara saya, teman-teman dari Tegalboto, SMA 1 Arjasa, dan Fakultas Sastra. Saya tak memiliki waktu untuk menangis dan meratap. Melihat mamak yang terpukul dan menangis, saya lantas mengambil dompetnya dan berkas-berkas administrasi rumah sakit.

Sebelumnya saya harus menenangkan dua adik perempuan saya. Orin yang paling parah, malah sempat pingsan segala. Syukurlah setelah saya sedikit sok dewasa dan menenangkan dua adik kecil saya itu, mereka bisa mengerti dan berhenti menangis.

Saya ikhlas ayah meninggal jika itu memang yang terbaik buat beliau. Malam sebelumnya, dokter jaga di IGD menawarkan operasi pembelahan tengkorak untuk membersihkan darah di otak ayah. Tapi mamak menolak. Saya tahu kalau mamak punya firasat kalau ayah bakal meninggal. Dan kalaupun ia meninggal, biarlah ia meninggal dengan tenang dan tampan, tanpa satu sayatan pun di kepalanya.

Yang sedikit saya sesali adalah ayah pergi tanpa pamit. Bagai pergi dalam diam yang sepi, bagai rinai gerimis yang turun dalam sunyi.

Satu yang pasti, saat itu saya begitu ingin menantang berkelahi sang malaikat pencabut nyawa (hei, aku bahkan sudah lupa namanya). Kalau aku menang, aku akan meminta ia menunda sejenak tercerabutnya nyawa dari badan ayah, agar ayah bisa berpamitan pada mamak dan dua orang adik saya. Kalau dia tidak mau menuruti, saya gebukin lagi dia sampai bilang "ampun bos, ampun bos". Kalaupun saya harus kalah, saya bisa memohon dengan muka melas agar ayah jangan dibawa dulu. Sayang, malaikat pencabut nyawa sepertinya tidak bisa disogok. Andai saja dia mau jadi Kajari :p

Mengurus administrasi adalah bagian paling menyebalkan. Saya harus membagi pikiran antara ayah dan dimana saya harus fotokopi kartu Askes. Saya diharuskan untuk punya fotokopi kartu berwarna kuning itu, sementara saya kehabisan stoknya. Akhirnya saya keluar rumah sakit, mencari tempat fotokopi. Sialnya, hari itu tanggal merah, dan semua tempat fotokopi pada nutup. Saya berkeliling sampai kaki pegal dan rambut saya berbau matahari. Karena tidak dapat juga, saya mengharapkan kebaikan dan pemakluman dari para petugas administrasi. Dan di saat pasrah itulah, bantuan datang. Saudara saya yang bekerja di RSUD Soebandi datang --ia sebenarnya libur hari itu.

***

Ayah diangkut dengan ambulans disertai beberapa orang saudara. Saya sendiri naik mobil bareng Om dan adik sepupu saya. Dengan jendela dibuka, diantara desau angin yang sepoi, saya kembali nangis. Merengek bagai cowok pecinta AFI yang ditolak sebelum nembak. Saya menangis dalam senyap. Dan rasanya menyenangkan.

Menjelang sampai rumah, saya berhenti di gapura perumahan. Saya ingin memotong rambut yang memang sengaja saya panjangkan. Sueb --nama tukang cukurnya-- kaget melihat saya datang nyelonong dengan mata sembab. Saya tahu dia berduka, karena dia akrab dengan ayah. Tiap pagi ayah biasanya berjalan kaki menuju kios cukur pria yang nyambi jadi tukang ojek ini, lantas menghabiskan waktu dengan ngobrol sampai waktu sarapan tiba. Tapi melihat muka saya yang seperti gabungan antara rasa sedih dan kosong, dia jadi bingung mau berkata apa.

Akhirnya rambut gondrong saya resmi hilang pagi itu. Diantara sesak, rasa tangis, dan juga kehilangan orang tercinta.

***

"Ayah jangan dikubur dulu sebelum Kiki datang." Itu bunyi pesan pendek yang dikirim Kiki. Kakak saya itu langsung bergegas dari Surabaya begitu saya kabari kalau ayah meninggal. Kiki adalah anak yang paling sayang sama ayah. Saya ingat tanggal 23 Desember siang, Kiki membelikan sekotak es krim kesukaan ayah. Sebelum dia balik ke Surabaya pun dia pamit sembari mengelus-ngelus punggung ayah sembari berpesan agar ayah menjaga kesehatan.

Ayah akan dikubur jam 16.30 wib. Saya sedikit khawatir karena bulan Desember adalah musim penghujan. Bagaimana kalau ketika ayah akan dikubur hujan turun dengan derasnya?

Jam 16.00 sudah ratusan orang menunggu di luar rumah. Menunggu anak sulung ayah yang masih dalam perjalanan sembari terus mengirimkan pesan pendek ke handphone saya. "Jancok, wong2 kongkonen meneng cangkeme, aku iki wis ngebut cok!" kata dia marah-marah. Rupanya beberapa orang terus menelponnya, menyuruhnya agar cepat datang. Seharusnya mereka menelpon supir bisnya.

Tepat jam 16.20 Kiki datang sembari diikuti tatapan ratusan pasang mata yang sudah menantinya sejak beberapa jam lalu. Adegannya sendiri berasa sangat Raam Punjabi banget.

Saat Kiki masuk, seseorang membuka kain yang menutupi muka ayah sembari berpesan agar Kiki jangan menangis. Jelas sudah kalau pesan itu tak mungkin dituruti. Kiki menangis, saya pun juga. Begitu juga orang-orang yang mengerumuni jenazah ayah. Saat saya ingin kembali mencium dahi ayah, beberapa orang mencegah, karena saya menangis. Konon air mata yang jatuh pada jenazah, akan membuatnya tak tenang di alam kubur.

"Wis le, sing ikhlas. Ayah meninggal dengan senyum" kata mamak sambil terisak karena melihat dua anak lelakinya KO pada rasa pedih.

Saya menengok ke wajah ayah. Ayah memang tersenyum. Saya jadi tambah menangis. Brengsek.

***

Malam selepas isya, saya sudah ambruk. Tak kuat menahan kantuk dan lelah. Mamak yang sama-sama belum tidur masih menemui tamu yang terus berdatangan. Saya jelas kalah telak dalam ketangguhan menahan kantuk dan capai. Mamak baru masuk kamar sekitar jam 23.00. Malam itu, saya dan Sasha tidur di kamar mamak, seranjang bertiga.

Sekitar jam 00.21, diantara desir angin pengatur udara di kamar, terdengar isak tangis seorang perempuan bernama Endang Hidayati Masdar, yang mencintai seorang pria bernama Akbar Pradopo sampai akhir hayatnya.

Saya kembali menitikkan air mata. Kembali tanpa suara.

Malam itu dingin, dan kami bertiga menangis dalam diam...



Jember, 13 Januari 2011
Sembari mendengarkan Smoke on the Water terus menerus
Jangan lupa sampaikan salam buat Jim Morrison yah :)


1 Buku Ribuan Makna Untuk Mereka


Salah seorang teman saya, Marrisa Latifa, beberapa waktu lalu mengirimkan pesan di handphone saya. Intinya mengucapkan selamat ulang tahun. Tapi ada yang jauh lebih penting ketimbang itu semua.

Pesan untuk menyumbangkan buku bagi tampan pendidikan di daerah terpencil yang sedang ia rintis bersama kawan-kawannya. Saya menyanggupi untuk mengusahakan sumbangan beberapa buku bacaan.

Tadi malam, Mbak Marris mentaut saya pada salah satu fotonya. Ternyata foto itu adalah poster mengenai taman bacaan yang beberapa waktu lalu ia obrolkan.

Entah kenapa, saya merasa terharu. Mata saya seperti tertutup selubung tipis air. Ternyata, masih banyak orang yang perduli dengan orang lain. Tak perduli harga cabai yang melambung tinggi, tak perduli tentang rencana kenaikan tiket kereta api ekonomi (Menhub, FUCK YOU!), dan tak perduli bahwa harga buku sekarang jauh melambung.

Mereka masih saja mau membagi waktu dan tenaga buat para adik-adik kecil yang membutuhkan, nun jauh disana.

"Mari mendonasikan buku-buku (baru atau lama, layak baca) kepada kawan-kawan kecil Kita di Taman Pembelajaran Bumi dan Langit Suka Elang, Jember, Jawa Timur. Mereka kawan-kawan kecil kita yang tinggal di daerah terpencil tanpa ada sekolah resmi sebagai tempat untuk menimba ilmu."

Itu kalimat yang dituliskan di poster mengenai taman pendidikan yang mempunyai semboyan 1 Buku Ribuan Makna Untuk Kami.

Jadi mari berbagi. Untuk kalian yang punya buku-buku baru atau lama yang layak baca bagi anak-anak, silahkan kumpulkan atau dikirim ke alamat:

Klinik Tumbuh Kembang STAR KIDS, Jalan Letjen Suprapto XVIIII (penulisan 19 kayaknya salah nih, hehehe) no. 4 Jember, Jawa Timur.

Atau hubungi Evin di nomer (0331) 912 8505

Mari berbagi! :)

Jumat, 07 Januari 2011

Mie Pangsit Kombinasi di Kedai Mie



Oke, lupakan sejenak tentang Mie Apong legendaris kegemaran Putri itu. Atau tentang Mie Pangsit GNI yang cabangnya juga ada di Surabaya itu. Lupakan pula soal Mie Pangsit Kayoon yang sebenarnya rasanya biasa saja itu.

Mari pergi sejenak ke Kedai Mie. Kedai ini termasuk warung mie baru di Jember, baru dibuka pertengahan 2010. Warung yang ada di jalan Sumatera ini sekarang termasuk referensi andalan kalau berbicara mengenai mie pangsit di Jember. Selain beragam menu yang ditawarkan, suasana warung yang homey dan tertata apik dengan dekorasi dominan warna merah membuat orang tertarik untuk datang. Sang pemilik warung ini sepertinya paham mengenai hubungan antara makanan dan interior warung.

Menu andalan di warung ini adalah Mie Pangsit Kombinasi. Menu ini berupa mie dengan berbagai topping. Mulai cacahan-cacahan kecil ayam bakar, pangsit kuah, pangsit kering, bakso, bakso goreng, babat, hingga serpihan ayam standar mie pangsit. Dengan topping sebanyak itu, harganya sangatlah murah, hanya 10.000 rupiah saja. Kalau mau yang ukuran jumbo, cukup menambah 3000 rupiah saja. Untuk rasa, saya beri rating 7,7 dari 10.

Menu ini semakin menggugah selera dengan penampilannya yang cantik. Hal ini semakin meneguhkan keyakinan saya mengenai adanya hubungan antara selera makan dengan seni menata makanan :D

NB: Minuman yang patut dicoba adalah Mega Mendung. Entah kenapa, di warung ini, Mega Mendung tidak sekedar cola yang diberi susu kental manis. Ada sedikit rasa salsaparilla yang muncul. Rasanya menyegarkan.

Nasi Goreng Liar Patrang


Ada salah satu warung nasi goreng langganan saya semenjak SMA. Saya suka nasi goreng ini semenjak ayah saya membawakan 1 bungkus di tengah malam. Rasanya pedas, dan lauknya berupa suwiran ayam kampung. Waktu saya tanya dimana beli nasi goreng ini, ayah saya menjawab,

"Itu nasi goreng liar, ada di Patrang."

Beberapa tahun kemudian, siapa sangka, warung pinggir jalan di depan pasar Patrang ini berkembang pesat. Kalau kamu lewat di depan pasar Patrang, ada gerobak dorong yang ramai dikerubuti orang, maka itu adalah nasi goreng liar ala Cak Di.

Cak Di adalah nama penjual nasi goreng liar ini. Pria berkacamata ini sepertinya tidak pantas untuk berjualan nasi goreng. Dengan wajah lugu dan kacamata tebal yang bertengger di atas hidung, dia lebih pantas untuk jadi seorang akuntan, atau minimal dosen di Magister Akuntansi.

Dengan wajah polos Cak Di, saya pikir kelakuannya juga polos. Ternyata saya salah sangka.

Pernah suatu ketika, Cak Di lama tidak berjualan. Hampir 3 bulan. Saya penasaran, apa orang ini sudah bangkrut? Ternyata selepas 3 bulan, dia berjualan lagi. Mampirlah saya.

"Cak Di, kok lama gak jualan?" tanya saya. Istrinya yang saat itu membantu berjualan hanya bisa cemberut mendengar pertanyaan saya.

"Hehehe. Habis pergi rada lama" jawabnya cengengesan.

"Kemana Cak?"

"Masuk penjara" katanya sambil tertawa ngakak. Istrinya hanya bisa manyun.

Ternyata Cak Di dipenjara 3 bulan karena tertangkap maen togel, hahahaha.

Saya gak tahu kenapa ayah saya menyebut nasi goreng Cak Di ini sebagai nasi goreng liar. Bisa jadi karena penampilan Cak Di yang tidak pantas sebagai penjual nasi goreng, atau mungkin karena cara menggoreng Cak Di yang rada serampangan.

Bumbunya nasi goreng ini terbilang berani, tidak sekedar bawang putih dan saos raja rasa ala nasi goreng jalanan lain. Ulekan cabe yang sudah dicampur dengan bumbu bawang putih digongso terlebih dulu. Setelah bau harum tercium, barulah nasi dimasukkan. Porsinya banyak. Yang bikin ayah saya geleng-geleng kepala adalah, dengan harga 4000, lauk nasi goreng ini adalah ayam kampung yang harganya lebih mahal ketimbang ayam broiler. Berapa ya margin labanya?

Tapi itu dulu. Sekarang seiring harga sembako yang makin naik dan jumlah permintaan yang meningkat, harga pun ikut melonjak (kok saya berasa jadi anak Ekonomi ya?).

Nasi goreng dengan lauk ayam sekarang jadi 6000 rupiah, itu pun ayamnya sekarang ayam potong biasa. Lalu untuk nasi goreng rempelo ati harganya 9000 rupiah. Sebenarnya ada menu Soto Ayam seharga 7000 rupiah. Tapi menu ini kalah populer dengan nasi gorengnya.

Favorit saya tentu saja adalah nasi goreng rempelo ati. Dengan rasa yang pedas dan potongan rempelo ati yang banyak, saya benar-benar menyukai menu ini. Rina sepertinya juga menyukainya setelah kapan hari saya ajak makan menu ini.

Seiring dengan makin terkenalnya Cak Di, ia pun memiliki pegawai. Kalau dulu ia bekerja hanya ditemani dengan istrinya (yang sekaligus mengasuh anak perempuan kecilnya), sekarang ia dibantu oleh 3 orang pegawai.

Nasi goreng Cak Di ini hampir tidak pernah sepi pembeli. Puncaknya mungkin ada pada jam makan malam, antara jam 7-9. Puluhan orang berjejer menunggu pesanan selesai. Jadi saran saya, belilah diatas jam 10 malam saja, untuk menghindari antrian yang panjang.

Pia Kenari Ala Maumere


Liburan natal beberapa waktu lalu, Tyas, seorang teman di Tegalboto datang ke Jember. Perempuan asal Banyuwangi ini sudah hampir 1 tahun kerja di Maumere, NTT. Kepulangannya membawa berkah tersendiri bagi para teman-teman Tegalboto. Selain ditraktir, kami dibawakan sekotak pia kenari khas Maumere.

Pia ini bentuk dan teksturnya sama seperti bakpia ala Jogja. Yang membedakan adalah isinya. Kalau biasanya isi bakpia adalah kacang hijau atau coklat, pia ala Maumere ini berisi kacang kenari yang sudah dihancurkan.

Serpihan kenari ini rasanya legit dan lembut, dengan sedikit tekstur kasar yang terasa di dinding tenggorokan.

Makasih Tyas buat pia ala Maumere yang enak ini :)