Sabtu, 28 Mei 2011

Ketan Cetol

Salah satu hal yang paling saya benci adalah dicubit. Cubit, dalam bahasa Jawanya; cetol, entah kenapa selalu membuat saya meringis pedih. Tapi lain halnya kalau yang dicubit itu Mbah Adam.

"Ketan cetol iku enak. Ndisek sing dodol iku ayu. Senengane lek digudo iku nyetol. (Ketan cetol itu enak. Dulu yang jual itu cantik. Kalo digodain sukanya mencubit)" ujar almarhum paman ayah saya yang jenaka itu. Ia ternyata begitu suka dicetol.

Saya tak pernah tanya langsung pada mbah saya itu, tahun berapa ketan cetol ini mulai dijual. Tapi hampir nihil orang Jember yang tak tahu warung ketan ini. Warung yang terletak persis di bawah jembatan Jompo ini biasanya buka sekitar jam 8 malam, ketika deretan toko mas di daerah Jompo sudah mulai tutup dan lampu jalan sudah berpendar. Warung ini sekarang dijalankan oleh anak dan cucu penjual sebelumnya: perempuan cantik yang konon suka mencubit para pelanggannya yang genit. Cubitan itu lah yang lantas menjadi nama belakang ketan. Cetolan itu sekarang sudah tak dipraktekkan lagi. Tapi tetap saja namanya ketan cetol.

Selain ketan, warung ini juga menjual STMJ sebagai jualan andalannya. Selain itu juga ada berbagai penganan dari jerohan ayam macam sate usus, sate rempelo ati, hingga tempe dan tahu goreng. Semuanya sedap untuk dikawinkan dengan ketan empuk yang bertabur bubuk ketan berwarna coklat yang legit.



Beberapa hari lalu Togog, kawan satu angkatan di kampus, merayakan keberhasilannya melewatkan ujian skripsi dengan baik. Maka dia dengan baik hati mengajak kawan-kawan untuk melewatkan malam di bawah jembatan Jompo sembari menyeruput STMJ dan menyuap ketan.

Yang Punya Hajat


STMJ disini terkenal enak. Rasa jahenya tidak begitu pedas menyengat, mantap bercampur dengan kuning telur ayam kampung yang membuat minuman ini berwarna kuning cerah dan berasa gurih. Sayang susunya hanya dari susu kental manis kalengan. Kalau saja memakai susu sapi segar, pasti rasanya jauh lebih mantap.

Harga kudapan dan minuman disini cukup terjangkau. STMJ dengan 1 telur hanya dibanderol 6000 rupiah saja. Kalau tambah telur sepertinya nambah antara 1000-2000 rupiah. Sedang ketan dibanderol 1500 rupiah. Begitu pula sate rempelo ati. Sedang sate usus dijual 1000 rupiah, dan aneka gorengan 500 rupiah, gratis cabai rawit.

Kalau anda main di Jember, tak ada salahnya melewatkan malam di ketan cetol sembari menyeruput STMJ hangat. Jember akan menunjukkan sisi ramahnya pada anda.

Ironi (Pulau) Sorga: Meneropong Lingkungan Hidup di Bali


Meneruskan pengumuman dari Gendo Suardana dan Rudolf Dethu:

Dear All,

Untuk memperingati hari lingkungan hidup sedunia, WALHI bali akan mengadakan pameran foto tentang kerusakan lingkungan di Bali dengan tema: "Ironi (Pulau) Sorga: Meneropong Lingkungan Hidup di Bali".

Pameran akan diadakan mulia dari 5-7 Juni 2011 bertempat di Wantilan DPRD Bali.

Adapun foto itu diharapkan berasal dari hasil jepretan kamera dari masyarakat. Gak mesti profesional kok. Terserah, mau pake kamera ponsel atau kamera paling profesional, monggo aja. Yang penting temanya tentang kerusakan lingkungan Bali termasuk tentang pembangunan pariwisata yang melanggar aturan RTRW.

Yang berminat silakan jeprat jepret dan segeran kirimkan ke email: office@walhibali.org

Paling lambat tanggal 4 juni 2011

Saya harap temen-temen ikut serta! SEBARKAN!

*foto diambil dari: http://villarentalbali.com/

Rabu, 25 Mei 2011

Pablo Neruda: Love Sonnet XVII


I don't love you as if you were the salt-rose, topaz
or arrow of carnations that propagate fire:

I love you as certain dark things are loved,
secretly, between the shadow and the soul.

I love you as the plant that doesn't bloom and carries
hidden within itself the light of those flowers.

And thanks to your love, darkly in my body
lives the dense fragrance that rises from the earth.

I love you without knowing how, or when, or from where,
I love you simply, without problems or pride:
I love you in this way because I don't know any other way of loving

but this, in which there is no I or you,
so intimate that your hand upon my chest is my hand,
so intimate that when I fall asleep it is your eyes that close

***
Aku tidak mencintaimu dengan cara menganggap kalau kau adalah sekuntum mawar Rosa Rugosa,
tidak pula menganggap kau sebagai batu topaz, atau duri dari sekuntum anyelir yang menyemaikan kobar api:

aku mencintaimu sama seperti kegelapan yang dicintai,
dengan rahasia, diantara bayangan dan jiwa.

Aku mencintaimu sama seperti tanaman yang tak kunjung berkembang,
dimana cahaya bunga itu rebah tersembunyi di dalamnya.

Dan terimakasih untuk cintamu, mengalir gelap di dalam tubuhku,
menghidupkan endapan wangi yang menguar dari bumi.

Aku mencintaimu tanpa mengetahui bagaimana, atau kapan, atau dari mana.
Aku mencintaimu dengan sederhana, tanpa masalah atau harga diri.
Aku mencintaimu dengan cara ini karena aku tidak tahu cara lain untuk mencintai.

Tapi kala ini, dimana tidak ada lagi aku atau kamu,
kita begitu intim, sehingga tanganmu pada bahuku adalah tanganku jua,
dan kita begitu intim sehingga ketika aku tertidur, matamu lah yang terkatup.


*salah satu puisi Neruda favorit saya. Tadi iseng menerjemahkan bebas, sesuai interpretasi saya. Kalau ada yang punya interpretasi dan terjemahan yang berbeda versi, mari berbagi :) Oh ya, puisi ini juga teronggok dalam salah satu bagian di skripsi saya, untuk seseorang yang "begitu intim sehingga ketika aku tertidur, matamu lah yang terkatup." Entah kenapa, puisi ini sangat pas dibaca sambil mendengarkan Cause We've Ended As A Lover-nya Jeff Beck. Apalagi kalau kombinasi ini disantap pas tengah malam seperti ini, alamak nyamannya...

Minggu, 22 Mei 2011

Bistik Ala Bima dan Bistik Ala Sumber Hidangan

Beberapa waktu lalu saya pergi ke Jakarta. Karena macet yang sangat bedebah, saya pun datang terlambat ke Stasiun Kota, melewatkan kereta bisnis Gumarang yang berangkat tak lebih dari 5 menit sebelum kedatangan saya. Tiket di tangan saya sia-sia sudah. Dengan segala tipu daya dan muka memelas, saya akhirnya bisa naik kereta eksekutif Bima. Tapi apa lacur, tak ada yang gratis di dunia ini anak muda. Saya masih harus menambah "saweran" ke kondektur sebesar 120 ribu. Brengsek.

Tapi memang ada harga ada rupa. Naik kereta eksekutif memang menyenangkan. Saya ingat ketika medio 2007 silam, saya dan beberapa orang teman dengan tujuan Bandung terpaksa naik kereta api eksekutif Turangga karena ketinggalan kereta bisnis Mutiara Selatan. Dengan harga 200 ribu, kami dapat makan, selimut, plus suasana yang adem dan nyaman. Setimpal, meski saya sebenarnya lebih memilih uang sebesar itu untuk beli buku atau kaset musik.

Karena memori eksekutif-pasti-dapat-makan itulah saya tak menampik piring berisi bistik lengkap yang disodorkan oleh pramugari kereta Bima. Bistik ini tampak sangat mengenyangkan dengan sayur mayur macam kentang, buncis, plus sebongkah nasi. Piring stainlessnya masih terasa hangat. Daging bistiknya besar dengan kuah kental berwarna coklat tua. Semacam membuat saya meneteskan liur.

Waaah, enaknya naik Bima. Pikir saya waktu itu.

Saya pun makan dengan lahap, mengiris potongan daging dengan antusias, menyuapkan butiran-butiran nasi ke mulut saya, dan mengoleskan saus diatas kentang goreng yang berwarna kuning kecoklatan. Nikmat. Setelah makan, perut kenyang, dan saya berniat tidur. Malam itu sepertinya terasa sempurna, sampai...

"Bistik daging, jadi 38 ribu" ujar pramugari yang tadi menyodorkan piring berisi satu porsi bistik itu.

Saya bengong. Lah, bukannya itu fasilitas ya? Itu yang ingin saya tanyakan, tapi urung saya lakukan karena dua orang penumpang di barisan sebelah sudah kadung menanyakannya.

"Bukan bu. Itu makanan dari restorasi" ujar si pramugari tenang. Muka lu licik.

Sesudah mendapatkan jawaban yang datar dan memuakkan itu saya langsung mengeluarkan lembar 50 ribu terakhir di dompet tanpa banyak tanya, apalagi mendebat. Sudah terlalu lelah. Sisa uang di dompet saya hanya satu lembar uang 10 ribu.

Tiba-tiba saja bistik yang tadinya menggiurkan jadi terasa tidak enak. Ada saja kekurangannya. Yang bistiknya kurang matang lah, kurang empuk lah, kentang yang hambar lah, buncis dan wortel yang rada basi lah, hingga nasi yang sama sekali tidak punel.

Yang membuat rasa itu berubah drastis tentu adalah kenyataan bahwa saya harus membayar untuk makanan yang saya tak tahu itu gratis atau berbayar. Setahu saya ada perbedaan antara orang "menjual" dan orang yang "memberikan". Dalam hemat saya, sang pramugari melakukan yang namanya "memberikan", bukan "menjual", apalagi "menawarkan".

Mari ambil contoh penjual makanan di restorasi kereta ekonomi. Mereka jelas tampak menjual makanan, bukan memberikan. Karena mereka berseru "Nasi goreng, nasi campur, teh anget, kopi", bukannya langsung menyodorkan makanan ke penumpang.

Nah itu yang pramugari Bima lakukan: menyodorkan makanan, bukan menjual, apalagi menawari. Jadi saya tak salah dong kalau orang macam saya atau dua orang yang duduk di baris sebelah --yang dimana mungkin kami sangat jarang naik kereta eksekutif-- menganggap itu pemberian? (nyolot, hahaha). Karena untuk makanan kecil macam kacang atau keripik, mereka membawa grobak sembari berteriak "kacang kacang, keripik pedas, coklat". Ah, macam pedagang asongan di Logawa saja kau mbak.

Seharusnya manajemen Bima --dan kereta eksekutif yang berlagak brengsek lainnya-- harus belajar ke para awak restorasi Logawa atau Sri Tanjung.

***
Beberapa menit lalu, saya menjumpai foto seporsi besar bistik komplit. Dari visualnya, bistik ini oh sungguh aduhai tinggi tingkat menggodanya. Dari potongan daging sapi yang tebal dan tampak empuk, jejeran kentang yang gempal, potongan tomat merah yang genit, hingga saus berwarna coklat yang cantik dan tampak lezat. Air liur kontan menetes. Sluurrrp.

Bistik Tanpa Misuh

Yang lebih mengagetkan dan semakin menebalkan keinginan saya untuk melahap bistik ini adalah harganya. Hanya 25 ribu rupiah! Tanpa misuh seperti bistik Bima tentu saja. Dimanakah saya bisa mendapatkan seporsi besar bistik komplit ala borjuis dengan harga kelas proletar seperti ini?

Ternyata tempat yang menjual bukan restoran biasa.

Nama restoran ini adalah Sumber Hidangan. Terletak di Braga, daerah yang terkenal sebagai simbol wisata kota Bandung, restoran ini ternyata sudah berdiri sejak tahun 1929. Sumber Hidangan ini dulu bernamakan Het Snooephuis, sebuah bakery --bukan Bakrie-- tertua di Bandung. Rasanya seperti tidak mungkin melihat kenyataan bahwa seporsi bistik komplit di restoran legendaris di kota yang tinggi biaya hidupnya, hanya dibanderol 25 ribu rupiah. Coba bandingkan dengan Restoran Oen di Malang.

"Iya bener, 25 ribu, masih ada bonnya nih. Cuma agak-agak ada teka-tekinya: 'Jam berapa saja sebenarnya Sumber Hidangan buka?' (ini beruntung, pas lg buka ketika ke sana)" ujar Tita Larasati, seorang komikus keren domisili Bandung yang mempunyai hak cipta foto bistik komplit diatas.

Sepertinya kebodoran mengenai jam buka ini adalah tanda kalau sang pemilik tidak begitu perduli pada uang atau laba. Mungkin sang pemiliknya adalah anak pantai yang suka hidup santai.

Tapi setelah saya googling, disebutkan kalau restoran klasik ini buka mulai jam 08.30 sampai jam 19.00. Itu sebenarnya kebijakan baru. Karena kebijakan lama pernah menerapkan penutupan restoran saat jam tidur siang, antara jam 13.00 sampai jam 16.00. Sepertinya sang pemilik benar-benar anak pantai, hehehe.

Sebagai salah satu restoran klasik yang masih tegak berdiri, Ibu Poppy, sang penerus yang merupakan generasi kedua (dan dia sudah berumur 81 tahun), mengatakan bahwa sistem produksi hingga cara penyajian produk masih menggunakan cara lama yang digunakan sejak restoran ini berdiri. Seperti roti yang tanpa bahan pengawet dan pembungkus yang berupa kertas, bukan plastik seperti roti modern. Bahkan nama produknya pun masih menggunakan bahasa Belanda. Sebuat saja ananas taart, krenten brood, chocolade rotjes, atau mocca truffle.

Mbak Tita sendiri, sebagai oknum yang harus bertanggung jawab atas kengileran ini memesan es krim kopyor (6 ribu), linzen Cake (7 ribu), hingga hot dog (10 ribu). Semua tampak lezat.

Es Kopyor

Linzen Cake

Hot Dog

Dengan view Braga yang kental aroma nostalgia, makanan yang enak dan murah, apa lagi yang bisa menunda saya untuk segera mencicipi makanan di Sumber Hidangan? Siapa tahu dengan memakan makanan bernamakan Belanda, saya bisa sekolah di Belanda kelak, amiiiin.

Berangkat!

post-scriptum: semua foto saya ambil dari facebook mbak Tita Larasati. Makasih mbak :)

Jumat, 20 Mei 2011

Update Jadwal Diskusi/Bedah Buku "Like This" di Jogja dan Malang


Setelah acara diskusi/bedah buku di Fikom Unpad kemarin, berikut ini adalah jadwal diskusi/bedah buku Like This: Kumpulan Tulisan Pilihan Jakartabeat.net 2009-2010 yang akan datang yang sudah di update. Juga ada workshop:

28 Mei 2011: Workshop A Trip through Music Journalism diselenggarakan oleh Commonroom Networks Foundation.

Narasumber: Taufiq Rahman (Jakartabeat.net) dan Idhar Resmadi (Commonroom Networks Foundation)

Waktu/Tempat: jam 14.00-16.30 WIB, Commonroom Networks Foundation, Jl. Kyai Gede Tama no. 8 Bandung

30 Mei 2011: Diskusi/bedah buku "Like This" bekerjasama dengan mahasiswa UGM Yogyakarta. Tema ""Jurnalisme Musik & relevansinya sebagai media kritik sosial"

Pembicara: Taufiq Rahman (Jakartabeat.net), Risky Summerbee (Risky Summerbee & the Honey Thief), Wisnu Martha (dosen jurusan Komunikasi UGM)

Moderator: Arief Nugroho aka Auf (OH Nina)

Waktu/tempat: Kedai Kebun Forum Yogjakarta, pukul 19.00-21.30 (live accoustic performance oleh Answer Sheet)

Kedai Kebun Forum and Restaurant
Jl. Tirtodipuran No. 3 Yogyakarta
Java Indonesia 55143
Phone : +62 274 376114
E-mail : kkforum@indosat.net.id
website : www.kedaikebun.com

1 Juni 2011: Diskusi bedah buku "Like This" di Malang.

Tema: Jurnalisme Musik Untuk Semua: Menyulut Gairah dan Budaya Menulis di Kalangan Siapa Saja.

Pembicara: Tim Jakartabeat.net (Taufiq Rahman, Idhar Resmadi, Samack, Nuran Wibisono), Hilmy (Sintetik Magazine Malang).

Waktu/tempat: toko buku Toga Mas, Malang, jam 18.00-22.00 (dengan live accoustic performance dari My Beautiful Life dan Dimensi Karma.

Buku "Like This" bisa dibeli di setiap acara ini, seharga Rp. 65 ribu.

Everyone's invited! Sampai jumpa di sana!

Ikuti Kuisnya, Dan Jelajahi Pulau Komodo

Senja di Desa Komodo. I shall return someday.

Kemenbudpar punya gawe yang menarik. Mereka mengadakan kuis tentang pariwisata Indonesia, semacam usaha untuk mengenali Indonesia secara instan. Tidak tanggung-tanggung, hadiahnya adalah wisata ke Pulau Komodo selama 3 hari 2 malam untuk 5 orang pemenang. Hadiah itu sudah termasuk tiket, akomodasi, dan uang saku. Untuk persyaratan dan pertanyaan, silahkan kunjungi link di bawah ini:


Ayo jawab pertanyaannya, siapa tahu kalian bisa berwisata ke Pulau Komodo secara gratis.

Selasa, 17 Mei 2011

Menembus Garis Batas


Judul Buku : Garis Batas : Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah
Pengarang : Agustinus Wibowo
Cetakan : I, 2011
Penerbit : Gramedia Jakarta
Tebal : xiv, 510


Ketika perjalanan menjadi suatu tren, maka perayaan kemanusiaan di dalamnya usai sudah. Sebuah perjalanan tidak lagi menjadi pengelanaan ataupun pengembaraan yang kaya akan nilai-nilai. Yang ada hanya sebatas berpergian dengan budget terbatas, tidur di hostel murah, berfoto di tempat touristy, lantas unggahlah gambar itu di situs jejaring sosial. Voila, anda berhak menggambarkan diri sebagai seorang backpacker.

Tren perjalanan itu merupa pada buku-buku traveling yang sekarang banyak bermunculan. Mulai beberapa buku best seller yang bercerita mengenai pengalaman unik ketika berpergian, hingga buku-buku perjalanan yang memberikan tips-tips berpergian ala budget traveler.

Tapi sayang, banyaknya buku perjalanan tidak diikuti dengan baiknya kualitas buku. Hampir sebagian besar buku perjalanan melulu mengenai tips traveling, hal yang sebenarnya sudah banyak tersedia gratis di internet. Jarang ada yang bercerita secara mendalam mengenai kebudayaan penduduk daerah yang dikunjunginya, kultur yang berakar disana, ataupun pengalaman personal yang begitu kaya akan warna.

Sampai pada tahun 2010 muncullah Agustinus Wibowo dengan buku luar biasa berjudul Selimut Debu. Pria berwajah Mongoloid ini pergi menjelajah Afghanistan, sebuah negara yang identik dengan kata perang. Dalam buku debutnya itu, pria asal Lumajang ini begitu piawai mengaduk-aduk perasaan pembaca. Ia turut menarik pembaca dalam petualangannya. Ikut merasakan kesibukan naik turun truk, minum teh ala Persia, rasa takut ketika menjadi korban pelecehan seksual oleh pria hidung belang, masalah pertikaian antar etnis, hingga pengaruh Taliban di negara penghasil opium terbesar di dunia ini.

Dalam Selimut Debu, Agustinus berhasil menjadi lebih dari sekedar penulis perjalanan biasa. Ia seperti merangkap menjadi antropolog cum historian. Tidak saja karena Afghanistan adalah negara yang sama sekali bukan merupakan negara populer untuk tujuan perjalanan, tapi juga pengamatan antropologi dan sejarah yang ia lakukan.

Satu tahun setelahnya, Agustinus menerbitkan buku keduanya. Berjudul Garis Batas, buku setebal 510 halaman ini kembali memukau dengan gaya bercerita yang mengalir, deskriptif, dan disertai bumbu diksi yang begitu beragam. Berbeda dengan Selimut Debu yang lebih banyak bercerita mengenai Afghanistan, di Garis Batas ini Agus menjelajah dan bercerita banyak mengenai beberapa negara di Asia Tengah dengan akhiran -Stan. Mulai Tajikistan, Kirgiztan, Kazahkstan, Uzbekistan, hingga Turkmenistan. Kesemuanya adalah negara kecil pecahan Uni Sovyet. Dari beberapa negara itu, kita mungkin hanya familiar dengan Uzbekistan yang para perempuan rupawannya dinikahi oleh banyak pesohor negeri ini.

Buku ini kembali memamerkan kejelian Agustinus dalam mengambil angle tulisan. Ia menuliskan catatan perjalanan tidak dalam sudut pandang seorang turis yang sedang berlibur. Ia berlaku, bersikap, dan memandang segala yang ditemuinya dari sudut pandang seorang pengamat, observer. Karena itu buku ini sarat muatan kritik, sesuatu yang sering kali absen dalam banyak travel writing --yang fokus utamanya biasanya menceritakan keindahan dan kesenangan ketika jalan-jalan. Agustinus banyak berkelakar mengenai miskinnya negara-negara satelit Uni Sovyet, bagaimana busuknya birokrasi di negara-negara itu, dan fakta bahwa banyak orang disana yang terkadang rindu masa hidup di era komunisme dengan Stalin sebagai "bapak" mereka.

Agustinus mengabarkan bahwa di Murghab, Tajikistan, sampai saat ini ada sebuah patung Lenin kecil berwarna putih berdiri dengan gagah di pinggir jalan utama (Hal. 114). Sementara itu, di Osh, Kirgiztan, patung pria botak itu masih berdiri tegak, dan jalan utamanya pun masih bernama Jalan Lenin (Hal. 143). Selama ini kita mungkin hanya tahu Rusia, China, atau pun Korut sebagai negara yang sampai saat ini menganut sistem komunis. Tak ada yang mengira bahwa kerinduan akan komunisme masih berhembus di tempat-tempat terpencil di negara antah berantah itu.

Selain nostalgia dengan simbol-simbol komunisme, Agustinus juga bercerita mengenai folklore dan pahlawan nasional negara-negara –Stan itu. Di Tajikistan misalnya, orang-orang Tajik begitu bangga akan Ibnu Sina, sang bapak kedokteran, yang mereka klaim sebagai orang Tajik. Ternyata ada banyak pengakuan sejenis. Sina, yang oleh dunia barat disebut dengan Avissena, ternyata diakui sebagai penduduk sekaligus pahlawan di Iran, Afghanistan, dan juga Uzbekistan (hal. 33).

Lalu ada cerita mengenai Sulaeman Too di Tajikistan. Tempat yang juga dikenal sebagai Takht-e Sulaeman itu dipercaya sebagai tempat Nabi Sulaiman bertakhta . Mereka juga percaya bahwa Nabi Muhammad pernah shalat disana. Sedang di lain kesempatan, orang-orang Afghanistan berjumawa bahwa konon di tanah mereka, Ali Bin Abi Thalib pernah datang dan membunuh naga raksasa dengan pedang saktinya. Sedang orang Uzbek bolehlah bangga dengan kepercayaan bahwa Ali dimakamkan di negara mereka. Tempat-tempat itu kini jadi titik ziarah penting di Asia Tengah (hal. 144).

Alih-alih ambil pusing dengan keabsahan semua kepercayaan itu, Agustinus malah dengan jeli membenturkan kepercayaan dan folklore itu dengan kebebasan beragama yang tidak mungkin bisa mereka dapatkan ketika Uni Sovyet masih digdaya. Saat ini semua orang bebas untuk mengimani agama apa pun, dan mempercayai cerita apapun.

Dengan semua pengamatan ala antropolog dan historian itu, yang masih ditambah dengan banyak foto jurnalistik yang trengginas, Agustinus berhasil meramu Garis Batas menjadi sebuah buku yang kaya. Buku yang tidak sekedar mengabarkan cerita personal yang riuh nan meriah, tapi juga cerita mengenai manusia. Para manusia yang dalam peta hanya dibatasi oleh selaput tipis garis pembatas negara, garis yang ternyata terdiri dari banyak kisah.[]

I'm Lizard King, I can do anything!


I'm Lizard King, I can do anything!

Jim Morrison adalah sebuah sosok yang kompleks. Pemikirannya seperti labirin yang rumit nun tak berujung. Sikapnya layaknya cuaca yang tak bisa tertebak, bahkan oleh para weather man. Pria berambut ikal dengan rahang kokoh ini juga punya beberapa kepribadian.

Jimmy yang kecil, chubby, dan ketakutan karena melihat sosok Indian tua yang "bleeding to death". James Douglas Morrison; sang pemberontak yang romatis, yang pergi ber-hitchiking keliling Amerika dan menganggap sosoknya sebagai "killer on the road". Jim Morrison; seorang vokalis tentatif pemalu berwajah rupawan dari band bernama The Doors, juga merupakan penulis puisi yang romantis. Jimbo; sang rock star yang telah terjauhkan dari ketenaran dan spotlight, berperut buncit, brewokan, dan pembuat onar. Mr. Mojo Rising; seorang misterius yang entah datang dari mana, yang begitu menyukai rasa sakit dan sangat mendambakan kematian, ia terasuki konsep Ãœbermensch Nietzsche dan menganggap semua orang adalah budak. Hingga Lizard King yang magis, terasuki roh Indian, sosok totem yang melindungi para ksatria Indian.

Semua berkelindan dalam satu sosok.

PADA tahun 1955, Jimmy remaja menonton film berjudul Rebel Without A Cause yang dibintangi oleh James Dean . Film yang disutradarai oleh Nicholas Ray ini adalah tipikal film yang menyulut darah muda, menunjukkan sisi pemberontakan yang romantis dan begitu heroik. Dean yang memerankan tokoh bernama Jim Stark mendapatkan julukan Jimbo oleh sang ayah yang pemabuk. Akhirnya nama inilah yang dipakai untuk menandai Jim Morrison yang pemabuk dan pembuat onar.

Say hi to Jimbo.

Pada tahun yang sama, Jimmy pindah ke Albuquerque, New Mexico. Pada circa yang sama ini, Jim mulai menunjukkan sisi pemberontakannya. Dia berhenti les piano, menolak melanjutkannya, dan menolak untuk menghabiskan waktu bersama keluarganya. Rumah keluarga Morrison yang berada di daerah gurun, membuat Jim begitu bahagia. Ia sering menghabiskan waktu dengan menjelajah gurun di sekitar rumahnya, mengagumi reptil gurun bertampang prehistoric. Ia mulai menyukai kadal, ular, hingga armadillo. Jim mulai membaca banyak literatur tentang hewan padang pasir ini. Hingga akhirnya ia sangat jatuh cinta dengan kadal (lizard). Ia lantas membaptis diri menjadi sang raja kadal. Dengan persona ini, ia merasa bisa melakukan segalanya, membuat kematian menjauh, dan membuat bumi berhenti berputar.

Magis sekaligus eksotis.

I can make the earth stop in its tracks. I made the blue cars go away.

Sabtu, 14 Mei 2011

Tentang 5 Pembuka Yang Menyengat

Beberapa orang percaya, reff adalah bagian terpenting dari sebuah lagu. Reff laiknya main course yang ditunggu-tunggu setelah hanya menyantap makanan pembuka. Pendapat ini lantas diadopsi oleh sistem RBT, dan berhasil. Karena itu hampir semua RBT selalu memasang bagian reff-nya. Tentu saja harus reff yang catchy, easy listening, dan bisa mengundang sing along.

Tapi saya tak setuju dengan pendapat purba itu. Mengutip jargon salah satu pewangi tubuh terkenal; kesan pertama begitu menggoda, selanjutnya terserah anda. Yap, kesan pertama adalah hal yang paling penting dalam sebuah lagu. Lalu dari mana kesan pertama itu didapat? Tentu saja pada: INTRO.

Sebuah lagu haruslah menarik sejak tombol play ditekan. Kalau intronya tak menarik, kecil kemungkinan kita akan terus mendengarkan lagu sampai selesai. Tapi selanjutnya memang terserah anda. Ada lagu dengan intro yang menyengat, dan selanjutnya anda akan terus tersengat. Ada pula lagu dengan intro yang memorable, tapi keseluruhan lagunya hanya akan membuat kita mencari tampar dan menjirat leher sendiri.

Yang saya masukkan disini adalah lagu-lagu dengan intro yang menyengat. Yang begitu mendengarnya beberapa detik anda sudah langsung bisa menebak, "oh lagu ini, yang nyanyi si ini." Itulah kekuatan intro yang seringkali diabaikan oleh banyak pemuja reff. Jadi mari kita mulai menyengat diri kita dari sekarang:

1. Guns N Roses - Sweet Child O Mine


Axl Rose, sang frontman penderita manic depressive, pernah menuliskan sebuah puisi manis untuk sang kekasih, Erin Everly. Suatu hari ketika Axl sedang tiduran di kamar, ia mendengarkan Slash memainkan sebuah intro gitar yang rumit, namun begitu indah. Suara gitar itu ditandem dengan kocokan gitar rhytim Izzy yang sederhana namun tebal. Tanpa dinyana, Axl keluar dari kamar dan menyuruh mereka untuk terus memainkan musik itu.

"I was fucking around with this stupid little riff" kata Slash. Tapi Axl terus memaksanya sembari berkata "That's amazing!".

Akhirnya setelah beberapa menit, terwujudlah intro dari lagu paling terkenal di era 80-an itu.Pada awalnya, Slash sangat membenci intro lagu ini yang ia anggap hanya senam jari sebelum manggung. Tapi lama kelamaan, pria keriting ini menyukai dan bangga pernah menciptakan intro sedahsyat ini.

"Intro ini adalah kombinasi dari beberapa band yang aku suka. Ada unsur Jeff Beck, Cream, dan sedikit unsur Led Zeppelin. Juga ada unsur solo Blinded By The Light dan Baker Street" kata Slash pada Rolling Stone ketika ditanya dari mana ia mendapat ilham untuk intro paling memorable dari scene hair metal itu.

Setelah intro dan lagu yang dianggap cheesy, Slash "meledak" pada bagian solo gitarnya. Dia marah dan meraungkan gitarnya, tanpa kendali. Berkat intro yang unik itu, lagu Sweet Child O Mine berhasil melejitkan Appetite for Destruction sebagai album debut yang paling banyak terjual dalam sejarah.

2. The Doors - Light My Fire


Suatu hari, 4 orang sedang jamming dan menyanyikan lagu yang dianggap aneh berjudul Break on Through. Mereka kesal karena lagu yang diciptakan oleh sang vokalis membentur jalan buntu, inspirasi mereka macet. Sampai sang gitaris mengeluarkan secarik kertas lusuh bertuliskan lirik dan chord.

"Judulnya Light My Fire" ujar Robbie sang gitaris.

Reff-nya sungguh sangat enak didengar. Perpindahan chord pun sungguh aduhai mulus. Tapi sang mastermind band ini, Ray Manzarek sang keyboardist, merasa lagu ini perlu diberi intro yang mengigit.

"Keluarlah sebentar, aku harus mencari intronya" kata sang keyboardist berkacamata ini sembari mengusir tiga orang temannya.

Tiga orang temannya bingung. Kenapa hanya untuk mencari intro harus berkonsentrasi seperti itu? Mereka sepertinya kurang paham jalan pikiran sang keyboardist. Ray memang benar. Intro-lah bagian terpenting dari sebuah lagu, tak lain tak bukan.

Setelah beberapa menit mengasingkan diri, akhirnya Ray berhasil menemukan intro yang genit, terdengar begitu merayu dan menggoda. Intro ini seperti memamerkan kelincahan 10 jari Ray dalam menari diatas tuts synth-nya. Ray yang menggemari jazz, mengambil elemen dari My Favourite Things-nya John Coltrane. Jadilah perkawinan rock dan jazz yang melahirkan Light My Fire. Saking susahnya menggambarkan intro ini, banyak orang memadankan kata "fuckable" untuk menjelaskan intro lagu ini.

Bunyinya memang tulat-tulit ala video game. Tapi tulat-tulit ini sungguh sangat jauh kelasnya dibandingkan tulat-tulitnya Pee Wee Gaskins, misalnya.

3. Deep Purple - Smoke on the Water


Ritchie Blackmore mungkin adalah gitaris paling kurang ajar sedunia. Betapa tidak, dia menciptakan intro Smoke on the Water yang begitu monumental itu. Tapi dia begitu "pelit" memainkan solo gitar di lagu itu. Sampai-sampai banyak pihak yang mencibir solo gitar di lagu berdurasi 5.42 (album version) itu sebagai solo gitar paling sederhana dalam musik rock.

Tapi saya sedang membicarakan intro yang paling monumental dan kicking ass, bukan solo gitar yang cepat dan panjang.

Intro lagu yang terdapat di album Machine Head ini sebenarnya juga sangat sederhana. Mencampurkan sedikit blues scale dan distorsi. Tapi entah kenapa, dengan kesederhanaannya, intro ini sungguh sangat menggetarkan. Semacam bisa menaikkan semangat bagi para PNS yang sudah ngantuk dan ingin segera pulang. Ada anekdot yang bilang: kalau anda menyukai musik rock dan tak tahu intro lagu ini, maka lebih baik anda mencukur rambut gondrong anda, pergi minum susu, dan jangan lupa tidur siang.

4. Nirvana - Smells Like Teen Spirit


Saya punya pengakuan: saya tak pernah begitu suka dengan Nirvana. Tapi bukan tak ada alasannya. Alasan utama adalah tentu saja bahwa dia adalah aktor dibalik pembumi-hangusan hair metal. Alasan lain mungkin karena musiknya yang berisik dan seringkali tak enak didengar itu. Tapi alasan itu adalah alasan sekunder yang mengikuti alasan primer.

Tapi saya juga punya pengakuan lain: saya tak pernah bisa benci dengan Nirvana. Alasan utamanya adalah tentu saja ada lagu sekeren Smells Like Teen Spirit. Bahkan dulu saya sempat lama duduk diam didepan tv sembari terus memandang video Smells yang sepertinya terlalu sering diputar. Juga melongo karena melihat betapa kerennya Cobain yang bermain solo gitar sembari memutar stem gitarnya dengan rambut pirang yang menutupi wajahnya.

Tapi sekeren apapun lagunya, yang paling memorable tentu saja adalah intronya. Intro yang bertenaga sekaligus membakar. Kalau tak percaya silahkan dengar saja lagunya dan anda akan pastikan kalau saya bukanlah seorang pembual.

5. Led Zeppelin - Stairway to Heaven


Suatu hari, adik sepupu saya yang masih duduk di kelas 1 SMA datang tergopoh kepada saya. Dia begitu bersemangat menjelaskan mengenai Stairway, seakan saya belum tahu lagu rock yang begitu legendaris ini.

"Kak, lagu ini lagunya setan. Kalau diputar kebalik, kedengeran suara untuk memuja setan" kata adik saya berapi-api.

Adik saya memang tak salah. Kalau dicerna secara logika, akan muncul sebuah pertanyaan: bagaimana mungkin seorang manusia bisa menciptakan musik indah yang hanya bisa diciptakan oleh malaikat atau tuhan?

Tapi itulah. Bagi para penggemar musik rock, Jimmy Page adalah wujud tuhan dalam bentuk manusia. Semua yang ada dalam lagu ini adalah keindahan yang sepertinya tak pernah berakhir. Tentu saja bagian terpenting adalah intronya yang klasik itu.

Page dengan gagah memanggul gitar Gibson Double Neck berwarna merah kesayangannya, lantas dengan syahdu mendentingkan 12 senarnya, membawa kita ke dalam gita mengenai perempuan yang menyangka semua yang berkilau itu emas, tangga menuju surga, kata-kata yang memiliki banyak makna, hingga "bustle in your hedgerow".

Sekali lagi adik saya tak salah. Lagu ini memang bukan ciptaan manusia.

Honorable Mention:

* Chuck Berry - Jhonny B. Goode
Sebuah lagu yang mendefinisikan bagaimana rock n roll seharusnya dimainkan. Intronya menegaskan itu: bersemangat, riuh rendah, dan penuh keringat.

* Jimi Hendrix - Voodo Child
He can play the guitar just like he ringing the bell. Hendrix memainkan gitarnya seperti sedang mencumbunya. Dengan efek pedal wah, dia juga seakan menyuruh sang gitar untuk jadi juru bicaranya. Dan juru bicaranya itu sungguh sangat trengginas pula besar mulut.

* Black Sabbath - Iron Man
Lagu yang mengejawantahkan heavy metal. Meski lambat, namun ia sungguh bertenaga. Iommi memang raja. Sembah sujud sahaya untuknya.

* The Who - Baba O' Riley
Oh punggawa The Who, kalian sungguh sangat keparat.

* AC/ DC - Highway to Hell
Kalau Led Zeppelin membicarakan tentang tangga menuju surga, pasukan Young Brother.co ini jumawa membual mengenai jalan raya menuju neraka. Mereka mengebut seakan tak tahan untuk mencebur ke kuali berisi magma panas. Oh ya, Angus Young masihlah gitaris terbaik dalam hal menciptakan intro yang sungguh menggugah selera.

Selasa, 10 Mei 2011

Pasar Malem Tjap Toendjoengan 2

Sepulang dari Jakarta saya mampir Surabaya. Sekedar menemui dan mendengarkan curhat sang kakak yang sedang galau gara-gara putus dengan pacarnya. Selain itu saya juga menyempatkan bertemu Rina yang sedang sibuk menyelesaikan thesisnya. Belakangan anak itu sedang ultra sibuk, rawan stress. Makanya saya ajak dia jalan-jalan biar otaknya gak keriting kayak rambutnya.

Tujuan kami adalah sebuah acara tahunan bertajuk Pasar Malem Tjap Toendjoengan. Pasar malam ini berada di pelataran parkir Sogo Mal. Saya kesana pas akhir pekan, sedang ramai-ramainya. Tahun lalu saya juga pergi ke tempat ini bersama kawan-kawan dari Sacharosa macam Fajar, Ochi, Rizki, dan juga Angga. Saya ingat menghabiskan jagung bakar dan jus duren dan pulangnya langsung sakit perut.


Pasar Malem Tjap Toendjoengan ini bisa dibilang sebagai karnaval makanan yang meriah. Ada banyak stan yang menjual berbagai jenis makanan. Sayang, banyak kritik yang dilemparkan terhadap penyelenggara acara ini dikarenakan makanan yang dijual kebanyakan bukan makanan asli Surabaya. Tapi saya tak ambil pusing. Karena sikap primordial dalam dunia kuliner itu haram hukumnya. Makan ya makan aja. Makanan enak akan tetap terasa enak, dari manapun asalnya.

Begitu saya sampai, kepala sudah terasa pusing karena melihat kerumunan orang yang menyemut. Ramai banget. Semua ngalor ngidul. Saya dan Rina memutuskan untuk berkeliling dulu baru memutuskan apa yang akan dimakan. Saya melihat ada Surabi khas Bandung, rujak cingur, nasi jamputan, coklat ala Surabaya, sop kaki kambing khas Jakarta, jus durian, hingga makanan internasional macam takoyaki, pizza, sampai lasagna. Setelah selesai berkeliling, bukannya langsung memilih, kami malah semakin pusing dengan beragamnya pilihan.

Karena haus, akhirnya pilihan pertama kami adalah jus durian. Minuman seharga Rp. 10.000 ini sangat menyegarkan. Pun rasa duriannya kental tercicip di lidah. Sembari menyeruput jus, kami terus berjalan. Pilihan kedua adalah pentol iga. Pentol dengan rombong unik berwarna oranye ini menggoda perhatian Rina. Ia pun membeli. Tapi sayang, rasanya biasa saja. Tak ada beda dengan pentol sapi biasa. Malah cenderung aneh karena diberi saus mayonaise. Rina malah ingin menambahi kecap tapi saya cegah. Bukannya apa, saya ngeri membayangkan rasa perpaduan antara mayonaise dan kecap.









Sembari memakan pentol, Rina mengajak saya pergi ke deretan kios yang menjual baju dan pernak-pernik. Aih, bisa lama jadinya. Ternyata benar, Rina dengan telaten memilih baju yang bagus, sambil sesekali bertanya apakah baju itu cocok dengannya atau tidak. Saya yang pusing kalau menunggu perempuan berbelanja akhirnya memutuskan untuk menonton ludruk. Sungguh menyenangkan melihat kesenian khas Surabaya ini. Yang lebih menyenangkan lagi, penontonnya juga banyak, dan responnya pun semarak.

Tak berapa lama Rina datang menyusul saya dengan muka yang bersungut. Ada apa gerangan?

"Kamu kemana aja? Barusan aku mau nanya bajunya bagus atau gak. Eh, kamu gak ada. Bajunya aku taruh, mau manggil kamu. Pas balik, eh bajunya udah diambil sama mbak itu" kata Rina sembari menunjuk seorang perempuan muda berambut pendek yang memakai syal. Muka Rina yang tadinya cerah jadi mendung.

Entahlah. Saya tak paham apa yang ada di pikiran para perempuan. Hanya gara-gara kalah rebutan baju, mood pun bisa porak poranda bak diterjang beliung.

Daripada terus-terusan bersungut, akhirnya saya mengajak dia kembali jalan-jalan mengisi perut. Pilihan Rina untuk makan malam kali ini cukup aneh: sate kuda. Apakah ini pengaruh mood yang buruk? Mungkin saja. Atau bisa saja mengingat sate kuda ini berkhasiat untuk kejantanan, Rina mungkin berpikir bisa menjadi jantan setelah makan sate ini. Lalu melempar perempuan yang sudah merebut baju yang ia incar, setelahnya baru menghajar saya yang memilih untuk menonton ludruk ketimbang menemaninya berbelanja baju.

Akhirnya saya setuju untuk makan sate kuda ini. Semoga para nomad di Mongolia sana mengampuni dosa kami.

Kami memutuskan untuk memesan sate kuda tanpa nasi ataupun lontong karena kami sudah makan malam sebelumnya. Satu porsi sate kuda berisi 10 tusuk dibandrol Rp. 17.000. Cukup mahal sebenarnya, tapi wajar mengingat kuda bukanlah hewan konsumsi seperti kambing atau ayam. Jujur saja, rasa daging kuda ini hambar, tak segurih daging ayam atau kambing, bahkan daging kobra yang pernah saya makan di Solo dulu. Teksturnya lebih alot dan berserat ketimbang daging lain yang pernah saya coba. Ketika digigit, daging memberikan perlawanan. Tapi kehambaran dan kealotan daging ini tertolong dengan campuran bumbu kacang dan kecap yang sedap. Makan malam ini ditutup dengan minum es blewah yang menyegarkan. Membawa saya ke ingatan bulan Ramadhan.




Setelah makan, kami berkeliling. Mengelilingi jejeran stan makanan itu beresiko mengalami lapar mata. Itu yang kami alami. Sedikit-sedikit pingin ini, sebentar-sebentar pingin itu. Di sela-sela lapar mata itu, ada roti tuna isi dua seharga Rp. 5.000 yang masuk ke perut. Lalu akhirnya kami memutuskan untuk membungkus terangbulan mini 7 rasa seharga Rp. 10.000, takoyaki salmon isi 4 seharga Rp. 10.000 dan juga kulit ayam crispy seharga Rp. 8.000.

Malam makin larut, kaki sudah gempor. Kami pun pulang dengan perut kenyang.Dan muka Rina pun masih cemberut kalau ingat tragedi kalah berebut baju.

Tahun depan semoga ada yang jual pecel semanggi ya...

Senin, 09 Mei 2011

Passer Baroe

Jakarta memang daerah yang mempunyai sejarah panjang terbentang. Salah satunya terhampar di Pasar Baru. Pasar ini dulunya dikenal dengan nama "Passer Baroe", sebuah nama yang ada sejak zaman VOC dulu. Daerah ini dulu dikenal sebagai kawasan elit karena berada dekat dengan kawasan Rijswijk alias Jalan Veteran, yang memang merupakan daerah orang kaya di Batavia kala itu.

Passer Baroe dikenal sebagai sentra tukang sepatu. Salah satu yang terkenal adalah seorang tukang sepatu keturunan Cina bernama Sapie Ie (serapan dari nama Syafii?). Hal itu dijelaskan Dalam buku berjudul "Indrukken van een Totok, Indische tye en schetsen", yang ditulis oleh Justus van Maurik. Dimana saat itu Justus harus menghadiri suatu pesta mewah tapi ia tak punya sepatu yang layak. Jadilah ia pergi ke Sapie Ie untuk memesan sepatu berhak tinggi. Saat itu, karena ukuran kakinya yang besar, Justus dikenakan tambahan ongkos sebesar 50 sen.

Passer Baroe memang jadi semacam melting pot yang penting di Jakarta. Salah satu penduduk disini adalah etnis Cina. Kala Jakarta masih dikenal sebagai Batavia, seringkali ada lomba perahu yang diadakan di sungai Ciliwung yang mengalir melintas di depan Passer Baroe. Lomba perahu ini sebagai bagian dari perayaan Peh Cun. Penggaggasnya adalah para pedagang Cina yang tak betah menetap di daerah Pecinan Glodok dan memilih untuk berniaga di Passer Baroe.

Selain etnis Cina, disini juga menjadi tempat bernaung bagi beberapa pedagang Timur Tengah yang berdagang tekstil. Tak heran, nuansa Bhinneka Tunggal Ika kental terlihat disini.

Sayang, sejarah panjang tak lagi cukup untuk menarik minat pembeli. Pasar Baru sekarang menghadapi bahaya serius. Banyak toko yang merasakan dampak menjamurnya mal dan pusat perbelanjaan. Meski mempunyai barang dengan mutu yang tak kalah dengan mutu produk impor, tetap saja produk di daerah Pasar Baru ini dianggap tidak classy, tidak modern, dan jauh tertinggal dari kata haute-couture. Menghadapi gempuran itu, kebanyakan toko memasang banyak pengumuman diskon hingga 70%. Yang lebih memiriskan, ada beberapa toko yang mengatakan bahwa mereka akan tutup dan mengobral barangnya.

***

Beberapa waktu lalu ketika saya berkunjung ke Jakarta, Mico mengajak saya untuk melemaskan kaki menyusuri Pasar Baru. Kebetulan, galeri Antara tempat Mico menimba ilmu fotografi selama setahun belakangan ini ada di samping Pasar Baru. Dengan sejarah panjang yang menyertainya, tentu saya tak berpikir dua kali untuk mengiyakan ajakan Mico.

Pasar Baru memang seperti alternatif bagi para pecinta belanja dan penggemar barang antik. Sepanjang jalan, banyak terdapat toko yang menjual produk tekstil, sepatu, uang kuno, produk spa, herbal, hingga rambut palsu. Karena saya bukanlah seorang yang menyukai wisata belanja, maka saya mengalihkan pada bentuk wisata lain: wisata kuliner.







Di Pasar Baru ini terdapat banyak warung yang jadi jujugan para pecinta makanan. Sebut saja yang paling terkenal, Bakmi Gang Kelinci. Bakmi klasik ini berawal dari sebuah grobak sederhana yang dulunya mangkal di Jl. Pintu Besi Pasar Baru. Meski didirikan pada tahun 1957, Bakmi ini baru dikenal pada tahun 1962, ketika sang penjual pindah ke Jl. Belakang Kongsi, Pasar Baru. Jalan ini lebih dikenal dengan nama Gang Kelinci. Bakmi dengan moto "Enak, Murah, Banyak" ini menyajikan menu oriental macam Bakmi Bakso, Bakmi Pangsit, Swekiau, Locupan, Mun Ta Hu, hingga menu perkawinan klasik-modern macam Bakmi Ayam Saos Tomat atau Angsio Hoison. Seiring berjalannya waktu, Bakmi Gang Kelinci mulai melebarkan sayap, termasuk dengan membuat website dan membuka tawaran franchise. Bakmi ini pernah direview di blog Hifatlobrain.

Bagi para pecinta makanan yang tak perduli terhadap kriteria halal-haram, silahkan mampir ke Bakmi Aboen. Warung bakmi yang didirikan sejak tahun 1961 ini menyajikan beberapa menu dengan daging babi.

Kalau sedikit bosan dengan menu oriental dan ingin mencicipi sensasi Timur Tengah yang spicy, silahkan berkunjung ke Shalimar, sebuah restoran kecil yang menjual varian makanan Timur Tengah macam Nasi Briyani atau Samosa. Warung ini terletak hanya beberapa meter dari Gang Kelinci.

Tapi Mico tak mengajak saya ke tiga warung itu. Dia punya referensinya sendiri mengenai bakmi enak. Untuk itu saya harus menapak turun tangga gelap di sebuah gang kecil. Ternyata ruang bawah tanah ini merupakan area cukup besar yang menampung beberapa penjahit dan food stal.

Mico lantas mengajak saya ke salah satu warung Bakmi berlabel Bakmi Ikati. Warung yang sudah berdiri sejak tahun 1982 ini menyajikan beberapa menu spesial yang diurutkan berdasarkan hari. Mulai hari Senin yang menyajikan Kwo Tie (makanan khas Cina yang mirip pangsit, hampir sama dengan Gyoza di Jepang), Selasa yang ada menu Nasi Tim Ayam plus Jamur Hioko, lalu Rabu yang menyajikan Baso Tahu dan Pare, hingga ada menu Baso Lo Hwa pada hari Kamis.

Siang itu saya memesan mie pangsit. Saya sendiri ditawari dua jenis mie, apakah mau mie berukuran kecil, atau mie berukuran besar alias kwetiau. Saya memilih mie yang pertama. Tak perlu menunggu lama, seporsi besar mie pangsit datang dengan aroma harum yang menguar.



Mie ini disajikan dengan topping potongan daging ayam masak kecap dengan tambahan beberapa iris jamur kancing. Selain itu ada dua buah pangsit basah dengan kulitnya yang bertekstur lembut dan daging sapi yang terasa gurih. Selain itu masih ditambah dengan semangkuk kecil kuah yang rasanya sedap, meski sedikit kurang asin bagi saya. Seporsi besar mie pangsit ini hanya dibanderol Rp. 12.000.

Lain kali saya mau mencoba Bakmi Gang Kelinci ah...

Minggu, 08 Mei 2011

Doa Seorang Ayah


Seorang ayah pasti ingin anak lelakinya tumbuh jadi pria yang membanggakan. Pria yang bisa diandalkan. Pria yang membuat wanita merasa aman berada di sampingnya (mengutip Gola Gong). Iya, semua ayah. Tak peduli apa profesinya.

Jenderal Douglas MacArthur adalah satu diantara milyaran ayah yang begitu ingin sang anak lelakinya tumbuh jadi pria yang bisa diandalkan. Tak perduli bahwa MacArthur adalah seorang jenderal yang harus memeras otak dan bermain strategi dalam berbagai perang besar. Diantara desau peluru dan ledakan meriam yang membahana di hari-hari awal Perang Dunia II, MacArthur masih sempat menuliskan sebuah prosa untuk sang anak lelakinya yang kala itu masih berusia 14 tahun.

MacArthur sendiri lebih dikenal dengan kalimah legendarisnya "I Shall Return!", yang ia ucapkan ketika meninggalkan Filipina pada Perang Dunia II. Saat itu Jepang seperti tak terelakkan akan merebut Filipina, dan presiden Amerika saat itu, Franklin D. Roosevelt memerintahkan MacArthur untuk berpindah dari sana. Dua tahun kemudian Jenderal pemberani ini menepati janjinya. Ia memimpin pasukan Amerika dan membebaskan Filipina dari pendudukan Jepang.

Tapi ternyata prosa berjudul Father's Prayer ini jauh lebih menggetarkan. Lebih manusiawi dan humanis ketimbang maklumat "I Shall Return" yang meski terdengar sangat jantan, tapi tetap saja beraroma balas dendam dan kekerasan.

Build me a son, O Lord,
who will be strong enough to know when he is weak,
and brave enough to face himself when he is afraid;
one who will be proud and unbending in honest defeat,
and humble and gentle in victory.

Build me a son whose wishbone will not be where his backbone should be;
a son who will know Thee….
Lead him, I pray, not in the path of ease and comfort,
but under the stress and spur of difficulties and challenge.
Here let him learn to stand up in the storm;
here let him learn compassion for those who fail.

Build me a son whose heart will be clean, whose goal will be high;
a son who will master himself before he seeks to master other men;
one who will learn to laugh, yet never forget how to weep;
one who will reach into the future, yet never forget the past.

And after all these things are his, add, I pray, enough of a sense of humor, so that he may always be serious,
yet never take himself too seriously.
Give him humility, so that he may always remember the simplicity of greatness, the open mind of true wisdom, the meekness of true strength.

Then I, his father, will dare to whisper, “I have not lived in vain.”

Yang diterjemahkan menjadi:

Tuhanku,
Bentuklah putraku, menjadi manusia yang cukup kuat
Untuk menyadari manakala ia lemah
Dan cukup berani untuk menghadapi dirinya sendiri manakala ia takut
Manusia yang merasa bangga dan teguh dalam kekalahan,
Rendah serta jujur dalam kemenangan

Bentuklah putraku, menjadi manusia yang kuat dan mengerti
Bahwa mengetahui dan kenal akan dirinya sendiri
Adalah dasar dari ilmu pengetahuan

Tuhanku,
Janganlah putraku Kau bimbing di atas jalan yang mudah dan nyaman
Tapi bimbinglah ia di bawah tempaan dan
Desak kesulitan tantangan hidup
Bimbinglah putraku agar tegak di tengah badai
Dan berbelas kasihan pada mereka yang jatuh

Bentuklah putraku, menjadi manusia yang berhati bening,
Dengan cita meninggi langit
Manusia yang sanggup memimpin dirinya sendiri
Sebelum ia berhasrat memimpin orang lain
Manusia yang menggapai kegemilangan hari depan
Tanpa melupakan masa lampau

Dan setelah semua menjadi miliknya,
Lengkapilah ia dengan rasa humor,
Agar ia besungguh-sungguh tanpa menganggap dirinya terlalu serius

Berikanlah padanya kerendahan hati
Kesederhanaan dari keagungan hatiku
Keterbukaan pikiran bagi sumber kearifan
Dan kelembutan dari kekuatan sebenarnya

Setelah semua tercapai,
Aku ayahnya berani berbisik,
"Hidupku tidaklah sia-sia"

***

Beberapa hari lalu saya pergi ke Jakarta, dan sempat transit beberapa jam di Bandung. Sekedar silaturahmi ke rumah Om Subur dan menagih janjinya untuk membelikan saya carrier. Akhirnya saya diajak ke sekretariat Wanadri untuk membeli tas milik adik tingkatnya. Tas ini masih baru, belum pernah dipakai, sponsor dari Eiger ketika ada Ekspedisi Bukit Barisan beberapa waktu silam. Akhirnya tanpa tawar menawar, tas ini langsung berpindah tangan.

Selagi menunggu transaksi penghitungan duit antara si om dan adik tingkat, saya berkeliling sekretariat. Mata saya lantas menumbuk sebuah plakat berwarna coklat yang terpasang di dinding. Rupanya itu adalah puisi Doa Seorang Ayah.

Kelak, saya juga ingin membuat puisi buat anak saya.