Senin, 25 Maret 2013

Push Up


Kegiatan rutin saya ketika pulang ke Jember adalah menghabiskan waktu bersama kawan-kawan. Seringkali yang paling seru kalau berkumpul dengan kawan-kawan SMA.

Kalau semua sedang senggang, pada tengah hari, menjelang matahari naik ke atas kepala, kami sudah duduk di warung kopi. Kalau hari sedang terik, biasanya kami memesan Joshua, yakni campuran antara satu sachet merk minuman berenergi dengan susu, lalu diberi air dan es. Segar sekali. Atau kadang kami memesan kopi mix instan dengan es. Kalau hari sedang hujan, biasanya kopi panas siap terhidang.

Kalau tidak hina-hinaan, biasanya kami membunuh waktu dengan catur. Seringkali kastanya begini: saya dan Fahmi sama kuat. Kalkulasinya jika kami bermain 10 set, tiap dari kami akan mendapatkan 5 kali kemenangan dan 5 kali kekalahan. Atau paling tidak, selisih tipis. 

Wido adalah yang paling jago diantara kami. Tanpa kami duga, ia begitu mahir mengatur bidak-bidak caturnya. Ia bisa sangat perhitungan (termasuk rela mengorbankan satu bidak penting untuk mendapatkan mangsa bidak musuh yang lebih penting), namun ia juga bisa sangat cepat dan liar. Ia sedikit mengingatkan saya pada Vinnie, karakter pecatur jalanan jagoan di film "Searching for Bobby Fischer."

Yang lumayan mengejutkan, Dika, ternyata cukup jagoan di atas papan catur. Walaupun dalam percintaan ia selalu jadi pihak yang memble, namun dalam catur ia cukup berjaya. Setidaknya ia sering unggul melawan Fahmi, yang notabene juga pihak yang acap tiarap dalam percintaan.

Seringkali, untuk menambah greget dalam pertandingan catur, kami memberi hukuman pada pihak yang kalah. Biasanya hukumannya adalah push up 10 kali.

Entah sejak kapan kebiasaan ini ada. Seingat saya, sejak masih SMA kami selalu bertaruh push up dalam tiap pertandingan, apapun jenisnya. Mulai dari gaple, sepak bola, hingga Winning Eleven. Pernah suatu kali saya harus push up sekitar 100 kali dalam satu hari gara-gara jadi pecundang dalam permainan gaple. Sial.

Kalau sudah panas, taruhan pun bertambah. Misalkan kalau dalam game normal, push up hanya 10 kali, kalau sudah panas hukuman bisa berlipat ganda: 20 kali, atau malah 30 kali. Mungkin esok atau lusa saya akan pulang kampung sejenak. Sudah pasti saya akan berusaha agar lengan ini tak kram kena push up.

Kamis, 21 Maret 2013

Sing Sabar Yo Mas


Salah satu bagian penting dari sebuah kontrakan adalah dapur. Itu menurut saya yang suka memasak. Dapur adalah sebuah ruang yang agak susah ditemukan pada kos-kosan. Dapur biasanya lebih banyak ditemui di kontrakan. Dapur menjanjikan keamanan perut bagi penghuni kontrakan. Kala uang menipis misalnya. Kita tinggal menanak nasi sendiri, menggoreng telur, beres. Tak perlu beli makan di luar.

Untung di Jogja saya mengontrak rumah bersama 4 orang lelaki lain, sama-sama dari Jember. Sayang, selayaknya para lelaki, gerombolan lelaki di kontrakan saya begitu malas untuk bersih-bersih. Apalagi bersih-bersih dapur.

Ruang penting dalam kontrakan ini sudah lama sekali dibiarkan berdebu dan jadi peternakan laba-laba. Sesekali ayam masuk untuk numpang buang air. Pernah pula pemilik kontrakan menitipkan vespa buluknya di dalam dapur. Mungkin ia menganggap dapur itu sudah tidak akan pernah terpakai, jadi lebih baik difungsikan menjadi garasi.

Terakhir saya bersihkan dapur itu sekitar 8 bulan lalu, bareng Fahmi yang baru datang dari Kalimantan. Ceritanya saat itu Fahmi sedang galau. Selepas kerja dari Kalimantan, lelaki bujang lapuk itu tak pulang ke rumahnya, Jember, malah mampir tinggal di kontrakan saya untuk beberapa lama. Suatu siang, karena menganggur, saya mengajaknya bersih-bersih dapur. Fahmi setuju. Maka berdua kami bersihkan dapur.

Selepas Fahmi pulang ke Jember buat mencari jodoh, dapur itu sudah tak pernah dibersihkan lagi. Piring berkerak menumpuk. Gelas kotor dibiarkan bergeletakan. Bungkus mie instan menumpuk. Sendok mulai berkarat. Dan ayam masih rutin numpang buang air. Hari ini kami memutuskan untuk menyewa satu tim dari jasa bersih-bersih kontrakan. Selain menyuguhkan kopi, hal yang bisa saya lakukan adalah berucap, "Sing sabar yo mas." Dua orang lelaki pekerja bersih-bersih itu hanya tersenyum simpul. Getir. []

Minggu, 17 Maret 2013

Republik Primata: Boleh Indie Tur Jo Lali Ngaji!


Saya pertama kali bertemu Fakhri Zakaria di Surabaya beberapa tahun silam. Kala itu ia sedang menulis sebuah laporan panjang tentang Lokananta untuk majalah Rolling Stone Indonesia. Itu kali pertama saya bertemu dengannya. Dulu hanya bisa bertukar kata melalui tulisan di blog atau percakapan di ruang maya. Ia adalah orang yang visioner. Merasa gagal jadi anak band, maka ia membentuk sebuah label rekaman: Republik Primata. Tanpa dinyana, label itu jadi label yang cult. Hits seperti "Skripsi Setan Sekali," "Honda Jess," atau yang terbaru "Lagu Opak" membuat label ini menjulang di antara banyaknya label rekaman baru yang bermunculan.

Hebatnya, label ini dijalankan oleh Jaki --panggilan akrab Fakhri-- di sela waktu senggangnya (baca: selo). Bayangkan kalau Jaki mengambil penanganan yang serius. Bukan tak mungkin Republik Primata bisa go international. Di sela hujan yang turun di Bogor dan gerimis di Yogyakarta, saya mewawancarai Jaki via chat. Ini hasil obrolannya:

***

Kiri- Kanan: Awe Mayer - Fakhri Zakaria

Kenapa memutuskan membuat label rekaman?

Soale luwih gampang timbangane gawe skripsi Ran (karena lebih gampang ketimbang membuat skripsi).

Jamput. Siapa artis pertama yang direkrut oleh labelmu?

Bandku sendiri, The Oncils. Setelah itu Irham Moses duet dengan pacarnya. Kemudian Awe Mayer. Yang paling sukses ya Awe.

The Oncils ini aliran musiknya apa toh? Siapa aja personilnya? Terus apa sudah ada single?

The Oncils ini rock Freudian. Jauh sebelum ada post rock, aku sudah bikin rock aliran alam bawah sadar. Jadi tidak sekedar lihat sepatu (shoegaze), tapi lihat alam bawah sadar juga. Jangan pernah tanya lagu ke The Oncils, karena kami sebar rilis pers dulu baru bikin lagu. Buat lagu itu gampang. Si Irham itu pintar bikin lagu, karena cuma dia satu-satunya personil yang bisa main musik. Masalahnya, kami ini bukan band setoran. Jadi kalo lagi selo baru bikin lagu. Namun sekarang belum selo.

Jadi selonya kapan?

Nanti kalau Harmoko sudah jadi presiden, sudah pasti itu.

Di tengah percakapan, muncullah salah satu artis andalan Republik Primata, Awe Mayer. Awe sedang merajuk pada saya. Karena saya sebar foto skandal dia dengan salah satu gadis incarannya. Itulah resiko jadi artis terkenal.

Hai Awe

Awe: Ngising

Menurut mas Awe, bagaimana pendapatnya tentang Republik Primata?

Awe: Aku rasa Republik Primata bagai telaga di tengah kekeringan musisi berkualitas nasional. Aku percaya label ini menjawab kebutuhan seni kontemporer Habermas pasca booming Dadaisme di dekade 20-an. Kita butuh sebuah gerakan mobilisasi musisi. Republik primata dengan penyewaan elf dan pick up bisa memobilisasi masa.

Jaki: Bagus We, omong sing apik-apik We.

Apakah Mas Awe bahagia di Republik Primata?

Awe: Saya gak bahagia sih. Gajinya kurang.

Jaki: Tolong bagian gaji off the record ya mas.

Dulu kenapa Dwik yang dipilih jadi duet menemani mas Awe Mayer dalam single "Skripsi Setan Sekali?"

Awe: Niat saya Dwik itu jadi artis tamu dua tahunan gitu mas, musisi Bienalle gitu. Tiap dua tahun sekali muncul.

Jaki: Dwik sebenarnya dadakan duetnya.

Tapi anda puas dengan hasil duet itu?

Jaki: Sebetulnya enggak. Tapi pasar justru senang karena katanya Dwik lebih seram dari demit di Dunia Lain.

Awe: Iya benar, pendengar kita sih gak senang. Tapi kritikus seni rupa senang, katanya itu hasil seni instalasi yang bagus.

Hoo, begitu ya. Oh ya, kalau dilihat dari segi musikalitas dan videografis, tampaknya artis-artis Republik Primata ini menganut falsafah Lo-fi ya? Apa ada hubungannya dengan gerakan alternatif di scene indie rock Amerika circa 90-an

Jaki: Iya lo-fi. Lo fikir aja sendiri. 

Matamu cuk.

Jaki: Kita bebaskan pemirsa berpendapat karena ini bagian dari pengamalan UUD 45 pasal 28. Kalo soal scene 90-an itu, saya memang terpengaruh sekali dengan Bondan Prakoso, si Lumba-lumba.

Republik Primata kenapa jarang terdengar kabarnya belakangan ini? Vakum atau mau memang bubar?

Awe: Kita ini kan label rekaman dan band biennale. Tapi bienalle-nya beda. Jadi pake hitungan neraka. 1 hari di neraka kan tahun di dunia. Jadi biar pendengar juga tetep ingat neraka. Kami gak mau biasa-biasa aja.

Wow, cult sekali ya.

Awe: Iya. Tagline band kita adalah "Boleh Indie Tur Ojo Lali Ngaji. (Boleh Indie Asal Jangan Lupa Ngaji)" Buat kami, ngeband itu sampingan, zakat dan sedekah itu yang utama. Konsep kami itu tiap manggung hanya ambil 2,5 persennya saja. Sisanya kami sumbangkan untuk orang tua kami. Sedekahnya jelas.

Emang pernah dapat honor?

Awe: Kami gak mau kalo gratis mas. Jangan main-main dengan seni lho. Mosok band bienalle gratisan.

Jaki: Kalau honor manggung sih gak enak buat disebutin mas, kasihan band-band yang seret job.

Terus sekarang siapa saja artis dari Republik Primata ini?

Awe: Terakhir sih Darto Helm mau gabung. Sayang helmnya KYT, kita pinginnya INK helmnya, jadi ya kita tolak

Wah sayang sekali, padahal KYT kan juga SNI mas bro?

Awe: Karena KYT itu belum ada sertifikasi indienya mas makanya kita ndak mau. Eh sik, aku tuku nasi goreng sek go ibuku cuk. (Eh bentar cuk, aku mau beli nasi goreng dulu buat ibuku).

Setelah itu percakapan terhenti sejenak. Awe Mayer sang superstar yang sayang ibu, minta ijin beli nasi goreng buat makan malam ibunya. Jaki entah kemana. Saya mengajukan pertanyaan lagi, tapi dibalasnya agak lama.

Jaki selaku founding father RP, apakah terganggu dengan pernikahannya? Ini kemana ya mas Jaki kok lama balesnya?

Oh maaf,  barusan ditilpun Log Zhlebour. Kalo soal nikah sih saya gak terganggu. Bisnis is bisnis love is cinta 

Dari semua artis Republik Primata, siapa yang punya paling banyak grupis?

Kita anti grupis mas, lebih baik disalurkan ke kegiatan yang lebih positif di dharma wanita Republik Primata

Oh ada dharma wanita ya? Bagaimana dengan yang jomblo macam Awe atau Dwik?

Kalo itu kita serahkan ke dinas sosial untuk dibina. Jomblo kan soal jodoh, itu domain Yang Kuasa bukan domain kita

Falsafah artis republik primata ini apa sih? Sex, drugs, rock n roll?

Iman, Ilmu, Amal

Hooo, lalu siapakah yang paling beriman diantara kalian?

Ada, kru gitar, namanya Iman Solihin. Sudah beriman, soleh lagi

Iya ya, sangar tenan. Terus rencana ke depan apa mas?

Memasyarakatkan selo dan menselokan masyarakat

Kalo soal rilisan label? Kan sudah 2 tahun sejak Awe sama Dwik duet, apa ada duet lagi selanjutnya?

Awe: Ada mas (tiba-tiba nongol dan menjawab pertanyaan).

Wah sudah datang dari beli nasi goreng ya? Dimana kalo beli nasi goreng mas Awe?

Awe: Di Kemang mas. Agak susah kalau gak makan di Kemang. Repot, sudah kaya sejak lahir. Oh ya, ngomong-ngomong soal duet tadi, duet itu urusan hati mas. Jadi proyek sekarang saya mau nyari cewek mas, biar bisa kaya Endah N Rhesa mas.

Hoooo, mantap. Saya bantu aminin.

Mungkin nanti saya bisa megang bedug sementara dia yang adzan

Dia ini siapa mas?

Dia ini ya lagi saya buka sayembaranya mas. Yang bisa hapal bilangan prima dari 0-250 dia berhak jadi si dia

Jaki: bentar ya mas istriku njaluk kelon. Sori banget

Founder label dan artisnya sama-sama gila! Wawancara ini saya sudahi sampai disini!

Awe: Mas, saya punya satu permintaan.

Apa?

Awe: Tulung wawancara ini jangan dikirim ke Pitchfork ya mas. []

Selasa, 12 Maret 2013

Nomor

Kawan saya sedang kasmaran. Sebut saja namanya Keling. Ihwalnya, beberapa hari lalu ia numpang menginap di rumah nenek saya. Disanalah ia bertemu dengan sepupu saya yang memang manis. Sebut saja namanya Gulali. Sejak itu, Keling dengan menggebu-gebu rajin menanyakan apakah Gulali bisa didekati atau tidak.

Saya tidak acuh. Keling tidak patah arang.

Malam ini serangannya semakin gencar. Ia mulai menyuruh saya untuk menanyakan ke tante tentang Gulali. Pertanyaan retoris nan menyebalkan, seperti misalnya: "Apa kesan Gulali tentang aku?" , "Apa Gulali sudah ada yang punya?" dan "Bagaimana pendapat tante kalau aku mendekati Gulali."

Saya menjawab dengan kelakar, "Kesan Gulali adalah kamu gelap, mendung. Auramu gak enak dipandang. Apalagi mukamu."

Saya diberikan satu kata: jancuk.

Agar ia tak semakin bawel, saya menanyakan nomor Gulali ke adik saya. Diberi. Lalu saya oper nomor itu ke Keling

Tapi Keling masih saja rewel. Tak percaya kalau itu nomor sepupu saya. Pengalamannya berkawan baik dengan saya selama nyaris 1 dekade membuatnya waspada. Saya seringkali mengerjainya. Kali ini ia tak ingin mendapat malu.

"Kalau misal kali ini aku ketipu kamu lagi, apa yang harus dan bisa aku lakukan, hayooo?" kejarnya.

"Ikhlas" jawab saya pendek.

"Muatamuuu" balasnya.

Saya terus meyakinkannya kalau itu memang nomor Gulali. Namun ia masih saja memasang kuda-kuda waspada. Saya gemas. Seharusnya memang saya kerjain si Keling ini.

Lalu saya bertanya pada diri sendiri, apakah umur ada korelasinya dengan kejahilan? Saya merasa kejahilan saya semakin berkurang belakangan ini. Saya ingin sekali balik ke masa remaja, dimana saya bisa bebas menjahili si Keling.

Mungkin sebaiknya tadi saya berikan saja nomer orang lain pada si Keling. Entah itu nomer tukang jagal sapi. Atau tukang gali sumur. Atau nomer orkes dangdut. Selesai perkara.


Yogyakarta, 12 Maret 2013
22.20 WIB

Sabtu, 09 Maret 2013

Bersenang-senang di Suara Tujuh Nada


Hari Kamis (7/3) lalu saya menyaksikan sebuah konser keren. Lebih tepatnya tur. Bernama Suara Tujuh Nada, konser ini menyambangi tiga kota: Bandung, Yogyakarta, dan Bali.

Ini konser pertama saya setelah beberapa lama tidak menonton konser. Terakhir kalau tidak salah adalah konser Sangkakala, sekitar 1-2 bulan lalu.

Konser ini menyenangkan. Bintang tamunya pun keren-keren: Stars and Rabbit, Dialog Dini Hari, dan White Shoes and the Couples Company. Suasana konser pun terasa hangat dan tiada jarak. Saya mengambil posisi lesehan pas di depan panggung.

Selepas konser yang berlangsung selama 3 jam itu, saya tidak langsung pulang. Berbincang sedikit dengan mas Risky Sasono dan mas Ferry Darmawan tentang penyelenggaraan konser. Juga dengan beberapa personel WSATCC untuk keperluan tulisan. Dan --ini yang menyenangkan--berbicang dengan personil Dialog Dini Hari tentang hal-hal di luar musik. Ketika mau pulang, Dadang berbisik, "obrolan tadi off the record ya" sembari tertawa kecil. Hehehe.










Oh ya, sebagai salah satu anggota dari persekutuan set list hunter, saya tak alpha mencomot selembar set list milik WSATCC yang tepat berada di depan saya. Sebenarnya saya juga mengincar set list milik Dialog Dini Hari. Namun jangkauannya terlalu jauh. Jadi ketika seorang panitia melepaskan set list itu lalu melempar ke depan panggung, sudah ada yang mencomotnya. Tapi ketika Mas Ugo melambaikan satu set list lagi milik WSATCC, saya tak kuasa untuk menolak. Jadilah saya punya dua lembar set list milik WSATCC. Hehehe. 

Setelah itu saya memotretnya lalu mengirimkan pada Fakhri. Ia selaku pendiri Bulak Sumur Death Star --komunitas pemburu set list konser dari Bulak Sumur-- langsung menyarankan sesuatu pada saya, "Minta cap bibir Sari!"

Saya menyanggupinya. Alangkah menyenangkannya jika set list saya itu dilegalisasi oleh cap bibir vokalis WSATCC itu. Namun ketika bertemu dengannya, keberanian saya langsung lumer. Senyumnya yang menyihir membuat kata-kata jadi susah keluar. Saya tergeragap, bahkan hanya untuk sekedar meminta cap bibir. Saya takut dicap tidak sopan. Akhirnya saya hanya minta tanda tangan dan foto bersama saja. 

Uhui! :)))
Ah, hari Kamis yang menyenangkan.

post scriptum: Review saya tentang konser ini bisa dibaca disini.

Kamis, 07 Maret 2013

Jeda


Kadangkala, dalam dunia yang terlalu riuh, betapa nyamannya jika kita mendengar suara burung emprit yang bertengger di atas dahan. Mereka yang berceracau tentang indah pagi. Atau mengantar ibu ke pasar. Atau melihat bayi tertawa. Atau bercanda dengan kawan. Hal-hal kecil yang penting namun sering terabaikan dan diabaikan.


Sejak beberapa waktu lalu, kiranya mungkin pertengahan bulan Februari, saya memutuskan untuk berhenti menulis sejenak. Rehat. Entah kenapa, saya merasa letih menulis. Padahal saya tak pernah menulis yang berat. Tak pernah mengutip Baudillard maupun Nietzsche. Hanya menulis tentang hal-hal sepele di sekitar saya. 

Keletihan itu bisa jadi dikarenakan, entah ini benar atau tidak, jejaring sosial yang membuat saya jadi jenuh. Dulu tak pernah saya duga kalau jejaring sosial bisa teramat ingar. Keriuhan itu kadang kala, kalau tak mau dibilang sering, memekakkan telinga dan memanaskan hati. Duh teramat gaduh, saling sahut sana, saling sambar sini. 

Sebagai manusia, insting pertahanan alami saya memerintahkan sesuatu: segera keluar dari keriuhan itu! Memang tak sampai menghapus akun jejaring sosial. Sesekali saya buka jejaring sosial untuk mendapat informasi terbaru. Tentang konser Aeromith pada bulan Mei nanti, misalnya. Namun belakangan memang saya malas sekali membuka jejaring itu.

Lalu tiba-tiba saya ingin membaca lebih banyak. Mengisi waktu luang dengan membaca lebih giat. Saya rindu sekali masa-masa itu. Dimana saya bisa merebahkan kepala di bantal, menengadahkan buku ke arah cahaya, lalu mulai tenggelam dalam aksara. Sambil sesekali membalik badan. Ke kanan. Sesekali ke kiri. Waktu cepat sekali berlalu kalau membaca seperti itu.

Mungkin ini pula sebabnya saya tak pernah tertarik membeli smart phone. Selain karena alasan finansial, saya terlampau takut kalau waktu luang saya digunakan untuk berselancar di internet. Beberapa saat silam, kakak saya memberi sebuah handphone. Bukan ponsel pintar, namun bisa untuk berselancar di internet dengan cukup lancar. Dan saat itu pula saya mulai kecanduan berselancar di internet dengan ponsel itu. Sedikit sedikit membuka facebook. Atau twitter. Atau situs berita tidak penting. 

Saya sadar itu tidak baik. Rasanya... saya seperti tersandera dengan senang hati.

Ketika menunggu misalnya, entah itu menunggu pesanan makan, atau menunggu kereta yang akan bertolak dari stasiun menuju tujuan saya, atau menunggu dosen yang akan membimbing.  Saya lebih memilih untuk berselancar dengan ponsel pemberian  itu. Dulu, dulu sekali, saya selalu membaca untuk membunuh waktu. Sekarang saya jadi menyedihkan sekali. Makanya sejak sekitar 1 bulan lalu, saya memutuskan untuk perlahan kembali rutin membaca kala menunggu. Lagipula, sebagian besar waktu saya dihabiskan untuk menunggu. Kalau waktu itu digunakan untuk membaca, kiranya ada lumayan banyak buku yang bisa tuntas dibaca.

Kekurangan membaca itu juga yang membuat tulisan saya, ini sepengamatan saya sendiri, menjadi sangat monoton. Membosankan. Karena itu, saya memutuskan untuk rehat sejenak menulis. Ingin mencari kosakata baru. Ingin menemukan plot segar. Juga menikmati kembali rasa  gemetar karena terpukau pada sebuah tulisan --belakangan ini saya menambatkan cinta pada tulisan-tulisan Yusi Avianto Pareanom, Budi Warsito, dan A.S Laksana. Namun saya tetap menulis untuk pekerjaan --ini keharusan dan tanggung jawab, harus diselesaikan--, dan membantu beberapa orang kawan dalam sejumlah proyek penulisan. Selain dari itu, saya ingin mengambil sedikit jeda terhadap menulis. Dan juga jejaring sosial.

Namun di pagi yang masih ingusan ini, entah kenapa saya tiba-tiba ingin menulis. Ide acak. Ya seperti tulisan ini misalnya...


Yogyakarta, 3.47 WIB