Diseruduk
bebek. Ayam dengan leher terpotong, menggelepar. Pohon kedondong berukuran
raksasa, dengan ratusan buah yang menjuntai. Sebuah mobil tua yang ditumbuhi
semak belukar, teronggok di pojokan. Sendirian. Kesepian. Lalu dari dapur,
harum masakan selalu menguar. Meski tak selalu hangat, masakan itu selalu enak.
Saya nyaris tak bisa menahan rententan kenangan saat melihat dua buah rumah di
sepetak tanah, di Jalan Kapuas, Lumajang. Itu rumah kakek-nenek dari pihak
ayah, yang sudah ditinggalkan belasan tahun lalu.
Rumah
ini bukan sekedar rumah. Ia adalah tapak kenangan yang panjang. Sudah ada sejak ayah
baru lahir, hingga akhirnya harus ditinggalkan karena Mbah Co tertipu oleh partner
bisnis.
Ada dua
rumah di lahan ini. Satu rumah panjang yang digunakan sebagai rumah induk, satu lagi rumah yang selalu dikontrakkan.
Saya
lupa ada berapa kamar di rumah induk. Sebentar, coba saya ingat-ingat dulu. Kalau tak salah empat kamar,
dengan tiga tempat tidur tambahan: di samping ruang tamu, dekat perpustakaan,
dan di depan televisi.
Ruangan
yang paling menyenangkan waktu saya masih kecil tentu adalah perpustakaan. Mbah
Co mantan guru Bahasa Inggris. Koleksi bukunya banyak. Mulai novel, hingga
pelajaran Bahasa Inggris. Anak-anaknya suka membaca apa saja. Mulai buku
sejarah, roman, hingga komik.
Mbah Co-Ayah-Mbah Ti-Om Asang-Om Momon-Om Subur |
Saya
coba mengingat apa saja komik yang saya baca dengan mata berbinar. Ini komik lama.
Bentuknya persegi panjang. Mbah Co dengan rajin selalu membundel kumpulan komik
ini agar tak tercecer. Yang paling melekat di ingatan adalah komik Barbarossa,
Si Janggut Merah terbitan Indira.
Setelahnya,
saya ingat betul komik Storm dan Trigan. Dari dua komik yang digambar oleh seniman yang sama, Storm yang paling lebih berkesan. Grafisnya yang menampilkan mahluk luar
angkasa yang kejam dan bermuka buruk, kota futuristik, gadis seksi berpakaian minim, hingga
tokoh jagoan berbadan kekar dan liat, begitu melekat di benak saya waktu kecil.
Edisi
Storm yang paling saya ingat adalah edisi dengan sampul muka Storm yang menggendong teman perempuannya,
dengan mata dibalut kain. Apa sebab? Soalnya ia berjalan melewati gurun, yang saking panasnya, bisa
membuat mata buta. Wuih, terdengar sangat apokaliptik dan keren sekali ya?
Saya
suka membaca komik-komik itu di beranda depan rumah. Asri. Banyak pohon. Ada
bougenvile dan beberapa tanaman rambat lain. Lalu ada papan dart yang dijadikan
sarana terapi bagi Mbah Co yang terkena stroke.
Di
kamar mandi, Mbah Co memelihara sepasang ikan mas. Katanya buat makan jentik
nyamuk. Mbah Ti pandai memasak. Menu andalannya adalah ayam bakar. Bumbunya
resep turun temurun. Diwariskan ke menantunya, mamak saya.
Sampai
sekarang, sepertinya belum ada bumbu ayam bakar seenak warisan Mbah Ti ini.
Tempat kesukaan Mbah Ti adalah di bawah pohon anggur, di depan pintu samping rumah
induk. Biasanya ia duduk di sana sembari membakar ayam.
Mbah Co
dan Mbah Ti tidak tinggal berdua saja. Ada adik Mbah Ti yang lantas jadi salah
satu orang yang paling berkesan di hidup saya: Mbah Dam.
***
Yang pegang gitar itu om Momon. Di depannya, melambaikan tangan, itu Om Ammar. Di belakang yang sedang makan itu Om Subur. Di depannya, dia lah Mbah Adam. |
Namanya
Adam. Saya tak pernah menanyakan nama lengkapnya. Namun beberapa orang keponakannya memanggilnya Johnny Adam.
Sewaktu kecil, saya menganggapnya sebagai orang tua yang aneh. Ia tak ceriwis. Lebih suka bicara seperlunya. Ia kerap mendesis, "aaahhhh", dengan mimik muka yang lucu. Namun kalau sedang bercerita, ia macam Gabriel Garcia Marquez yang mendongengkan dongeng-dongeng dari antah berantah.
Ajaib. Mencengangkan. Nyaris sukar dipercaya. Beberapa kisah daur ulang yang ia ceritakan pun bertambah tingkat keajaibannya. Saya ceritakan kapan-kapan saja.
Mbah Dam punya pekerjaan yang menuntut komitmen, daya tahan tinggi, dan kecepatan tangan yang tak terperi: tukang jagal ayam. Namanya sudah masyhur seantero Lumajang. Wajar, Ia sudah melakukan pekerjaan itu selama puluhan tahun. Pisau
jagal sudah seperti tangan kanannya sendiri.
Saya selalu penasaran melihat caranya menyembelih ayam. Pernah saya melihatnya sekali. Ia mengambil satu ayam dengan santai. Lalu menoleh ke saya yang mengintip dari belakang.
Saya selalu penasaran melihat caranya menyembelih ayam. Pernah saya melihatnya sekali. Ia mengambil satu ayam dengan santai. Lalu menoleh ke saya yang mengintip dari belakang.
"Jangan
dekat-dekat, nanti kamu kecipratan darah ayam," ujarnya setiap saya
mendekat padanya karena penasaran caranya menggorok leher ayam.
Beberapa detik kemudian, Mbah Dam membetot leher ayam dengan dingin, lalu
sreetttt. Dengan kecepatan nyaris tak terkejar oleh mata, pisau melayang.
Tahu-tahu ayam naas tadi sudah menggelepar dengan leher tersayat. Darah muncrat
dengan liar.
Gore!
Tapi
belakangan saya tahu kalau ia adalah adik kandung Mbah Ti. Sejak saat itu, saya
tak lagi memandangnya dengan aneh. Ia sedarah dengan saya. Apalagi Mbah Dam
punya beberapa sifat dan perilaku yang saya sukai.
Yang
pertama, ia tak pernah menikah sampai akhir hayat. Ini sedikit aneh, tapi
sekaligus keren, bagi saya yang mengenalnya sedari kecil. Ia tahan kesepian.
Misalkan butuh pelampiasan biologis, ia masih punya tangan kanan yang bisa
bergerak secepat peluru itu. Sayang, saya dulu belum punya keinginan untuk berdiskusi soal esek-esek dengannya. Pasti seru kalau itu terjadi.
Menjelang
akhir hidupnya, ia --yang tinggal di rumah ayah dan mamak-- meminta menikah.
Perempuan yang ingin ia nikahi adalah Yus, asisten rumah tangga di rumah saya.
Yus janda beranak satu. Mamak tak keberatan dengan ide Mbah Adam. Tapi Yus
sepertinya agak bingung menyikapinya. Akhirnya, mereka tak jadi menikah.
Kedua,
Mbah Adam jago sekali main dam-daman, catur Jawa. Saya tak pernah menang
melawannya. Bahkan saya yakin, kalau dam-daman dijadikan cabang olahraga seperti catur, hanya beberapa orang saja yang bisa menandinginya.
Gerakannya taktis. Lincah. Ia seperti bisa menerka ke mana saya akan menggerakkan bidak. Kala menyerang, wah seperti air bah. Nyaris tak bisa dibendung.
"Mbah
Dam kok jago maen dam-daman? Ojo-ojo jenenge Mbah Dam iki polae jago maen
dam-daman?"
Tapi ia
tak menjawab. Hanya menggumam pelan. "Hmmmmm."
Dengan
ketenangan setingkat pertapa dan perhitungan matang laiknya Gary Kasparov, ia
mengambil bidaknya. Lalu, sret, sret, sret, sret, empat bidak saya dimakannya
dalam satu gerakan.
Bajingan.
"Aaahhhhh,"
ia mengeluarkan desahan yang menggelikan melihat saya bermuka heran melihat biduk-biduk saya disantap dengan mudah.
Ketiga,
Mbah Dam suka sekali membagi permen. Cara memberinya unik: dilempar ke
pangkuan. Ia selalu punya sekantong persediaan permen beraneka ragam. Mulai
rasa susu, strawberry, hingga yang pedas. Karena itu, Mbah Dam selalu jadi
favorit para keponakan dan cucunya. Ia juga punya sifat sama dengan Mbah Ti:
tak pernah marah. Senakal apapun keponakan dan cucunya.
Mbah Adam dan Ryo, Ryan, Edo, cucu Mbah Adam dari Tante Arie |
Keempat,
Mbah Dam jago meramal angka toto gelap, alias togel. Saya tak sedang membual.
Entah dari mana ia mendapatkan bakatnya itu. Kalau sedang menghitung angka
togel, ia serupa dengan Raymond, pria autis yang bisa menghitung kartu dalam
film Rain Man.
Ia
pernah menghitungkan angka togel untuk beberapa handai taulan. Dan dengan
bangga, mereka bilang menang. Hasilnya dibelikan televisi maupun perabotan
rumah tangga lain. Mbah Dam dapat persenan lumayan.
Kemahirannya
ini ditaklimatkan pada keponakan tersayangnya, sekaligus anak bungsu Mbah Co:
Om Ammar. Ini sekaligus ironis, karena bakat yang menghidupi ini hanya bertahan
pada Om Ammar saja, tidak kepada keponakan atau cucunya yang lain.
Suatu
malam, saat sedang menginap di kamar Om Ammar, yang dipenuhi dengan poster Skid Row
dan The Outsider, saya menyaksikan Om Ammar dengan khusyuk menjejer deretan
angka. Lalu ia mencorat-coretnya. Saya tak paham ia sedang apa.
"Opo
iku om?"
"Koen
wis tahu ndelok film The Outsider? Wah iku apik, bla bla bla."
Om
Ammar selalu mengalihkan pembicaraan setiap saya bertanya apa yang ia lakukan.
Di kasur sebelah, Mbah Dam bertelanjang dada, mengipaskan lembaran karton yang
menguarkan aroma asap hasil panggangan ayam. Ia tampak seperti guru yang sedang
menanti muridnya belajar.
Kudus
sekali.
***
Di samping rumah induk, ada satu rumah yang khusus disewakan. Saya tak ingat siapa saja pengontraknya. Saya beberapa kali difoto di sana. Bareng ayah, lain kali digendong Mbah Co.
Beranda depan rumah kontrakan ini adalah tempat saya mengadu kemampuan dam-daman melawan GM Adam. Dan saya selalu kalah, telak.
"Di
sana itu Ikranegara pernah numpang tidur," kata Om Asang, anak kedua Mbah
Co.
Dulu
sewaktu SMP saya tak tahu siapa itu Ikranegara. Belakangan saya tahu beliau
adalah pemain teater kelas Paus, pun aktor terkenal. Saya belum pernah bertemu
dengannya. Kalau kapan-kapan kesempatan itu datang, saya ingin bertanya
benarkah ia pernah menumpang di rumah Mbah Co.
Rumah
yang disewakan ini pula yang masih tegak berdiri, masih tampak terawat. Bersih.
Gedung di sampingnya kontras: sudah tinggal puing.
***
Mbah Co
punya kebiasaan buruk: terlalu gampang percaya dengan orang.
Levelnya
sudah tak tertolong. Bayangkan, ia dengan mudah meminjamkan sertifikat rumah ke
seorang sahabatnya. Iya, sertifikat rumah Lumajang itu. Si sahabat brengsek ini
lantas menjaminkan sertifikat tanah dan rumah ini ke bank untuk pinjaman.
Seperti bisa ditebak, ia tak pernah membayar cicilannya.
Rumah
Mbah Co akhirnya harus dilelang karena Mbah Co tak bisa membayar hutang bank.
Sebelum dilelang, bank menawarkan terlebih dulu pada Mbah Co untuk menebus
rumah itu.
"Waktu
itu tahun 1987, rumah dan tanah itu harganya 6 juta. Itu banyak banget. Mamak
dan ayah baru nikah, tak punya uang. Ya mana bisa nebus," kata Mamak suatu
ketika.
Seorang
pengusaha akhirnya membeli tanah itu. Ia berjanji akan memberikan pesangon sebesar
Rp 10 juta sewaktu Mbah Co meninggalkan rumah. Tapi hingga pindah, dan
meninggal, pesangon itu tak pernah datang.
Mbah Co
dan Mbah Ti terusir dari rumah yang ditinggalinya sejak tahun 50-an.
Selanjutnya
Mbah Co dan Mbah Ti dikontrakan rumah di Jember. Mbah Adam tak mau ikut. Ia
masih berkarir sebagai tukang jagal ayam di beberapa kenalannya. Sesekali ia
datang ke Jember menengok Mbah Co dan Mbah Ti.
Saya
lupa tahun berapa, akhirnya Mbah Co dan Mbah Ti mau pindah ke rumah ayah dan
mamak. Akhirnya, Mbah Adam pun mau menyusul tinggal di rumah. Rumah kami
semakin ramai dan menyenangkan tiap harinya.
Mengingat
masa itu, saya sedikit menyesal. Kala itu, saya sedang remaja yang sedang gemar
bermain di luar rumah. Saya merasa kurang menghabiskan waktu dengan Mbah Co,
Mbah Ti, atau Mbah Dam.
Saya
merasa hubungan kami sudah tak seakrab sewaktu saya masih kecil dan takjub
dengan segala cerita ajaib Mbah Co atau Mbah Adam, dan nyaman dengan kasih
sayang Mbah Ti.
Tapi di
satu sisi, saya merasa beruntung karena tiadanya jarak antara saya dan kakek
nenek itu. Kami bertemu setiap hari, makan masakan yang sama tiap hari, kadang
kala berseteru gara-gara hal kecil tiap hari.
Satu
hal yang paling saya ingat dari masa tinggal Mbah Co, Mbah Ti, dan Mbah Adam di
rumah ayah dan mamak, adalah betapa besar keinginan belajar Mbah Co. Ia masih
rajin membaca atau mengisi teka-teki silang di harian Kompas atau Jawa Pos.
Senjatanya
adalah buku-buku tebal. Mulai Kamus Besar Bahasa Indonesia, kamus Inggris
terbitan Oxford, hingga Ensiklopedia lengkap.
Ia
berkali-kali menang. Hadiahnya mulai Rp 150 ribu hingga yang lumayan besar di
edisi ulang tahun. Kalau menang, saya dikasih persenan. Ini karena saya yang
rutin mengirimkan kartu pos.
Kebiasaan
Mbah Co untuk mengisi teka teki silang juga menurun pada ayah. Saat ayah juga
terkena stroke, ia semakin rajin membuka kamus atau ensiklopedi untuk mendapat
jawaban. Bedanya dengan Mbah Co, ayah selalu meminta tolong saya atau Orin
untuk menuliskan jawaban di selembar kartu pos.
Mbah Co
juga semakin rajin belajar bahasa. Suatu hari datang seorang bapak, dengan
dandanan rapi, mencari Mbah Co. Mamak sempat pikir ia adalah sales. Ternyata
bapak itu adalah guru Bahasa Arab yang dihubungi Mbah Co.
Hari
itu, saya melihat Mbah Co belajar Bahasa Arab dengan tekun. Sang guru menulis
di sabak, Mbah Co menyalin di buku. Tangan kanannya menulis dengan perlahan,
sesekali berkedut. Stroke yang ia derita tak pernah benar-benar sembuh.
***
Atas, Kiri-kanan: Om Momon-Ayah-Om Subur-Om Asang Bawah: Om Ammar Di depan kandang ayam di belakang rumah. |
Beberapa
hari lalu saya dan Rani pulang ke Lumajang. Pakde saya meninggal dunia. Beliau
sudah saya anggap sebagai ayah saya sendiri. Bahkan menjadi wali saat saya
menikah tahun lalu.
Saya
menyempatkan diri untuk mampir ke rumah Mbah Co dan Mbah Ti. Jalan Kapuas
nyaris tak ada yang berubah. Gapura yang kokoh. Cat yang sudah mengelupas.
Plang Jl. Kapuas sudah jadi plang modern yang berwarna hijau. Dulu warnanya
kuning, dengan warna huruf hitam.
Saya
tercekat melihat lahan kosong yang terhampar itu. Ada pagar seng yang menutupi
bagian depan lahan ini. Rumah induk sudah tinggal puing, dengan lumut memamah
tembok. Beranda depan tempat saya membaca buku dengan takzim juga sudah jadi
sarang nyamuk.
Di
sebelahnya, rumah kontrakan masih berdiri dengan gagah. Bersih. Tak ada yang
berubah. Tidak pula atap. Tak pula tiang. Atau pun lantai tempat saya dengan
petentang petenteng mengatur batu sebagai pion catur, lalu tersungkur kalah
oleh Mbah Adam yang tampak nggelendam-nggelendem
tapi jago sekali.
Bedanya
dengan dulu: sekarang tak ada lagi tanda kehidupan di rumah ini.
Saya
merentangkan leher. Melongok ke bagian belakang rumah. Pohon kedondong raksasa
yang dipasangi tali dan kayu untuk ayunan itu sepertinya masih berdiri.
Tempat
Mbah Adam menjagal ayam pasti sudah dirambati perdu dan belukar. Di dekat sana
pula, akhirnya saya terciprat darah ayam, dan muncul benjolan berwarna putih.
Di sana pula saya pernah nangis karena diseruduk bebek peliharaan Mbah Co, lalu
ditenangkan oleh Mbah Ti.
Aduh,
perempuan anggun itu...
Saya
mendegut ludah. Ini kedatangan saya pertama kali ke rumah ini setelah belasan
tahun Mbah Co dan Mbah Ti terusir. Pantas Om Momon, anak ketiga Mbah Co dan
Mbah Ti, tak pernah mau melihat rumah ini lagi, selamanya. Pahitnya bakal
mencekik.
Saya
meminta tolong Rani memotretkan rumah dan lahan yang dulu pernah dihuni oleh
sepasang suami istri, lima orang anak lelaki badung, dan satu lelaki tua sonder
istri yang lihai menghitung angka togel dan mengatur bidak catur Jawa.
"Buat
apa?"
"Aku
mau nulis tentang rumah ini." []