Sabtu, 30 Juni 2012

Melanglang Via Musik


Dalam sebuah kisah perjalanannya, Jack Kerouac, sang flaneur itu, berkali-kali bercerita mengenai kegilaannya terhadap jazz. Dalam kisah perjalanannya melintasi Amerika, ia mengalami kecanduan jazz. Ia bercerita mengenai kultur jazz di New Orleans, jam sessions, pesta jazz liar, dan segala imajinasi tentang jazz.

Salah satu pasase yang paling saya ingat adalah ketika Jack menceritakan sebuah jam session yang liar, yang ia gambarkan sebagai "...Slim sits down at the piano and hits two notes, two Cs, then two more, then one, then two, and suddenly the big burly bass-player wakes up from a reverie and realizes Slim in playing C-Jam Blues  and he slugs in his big forefinger on the string and the big booming beat begins and everybody starts rocking and Slim looks up just as sad as ever, and they blow jazz for half an hour, and then Slim goes mad and grabs the bongos and plays tremendous rapid Cubana beats and yells crazy things in Spanish, in Arabic, in Peruvian dialect, in Egyptian, in very language he knows, and he knows innumerable languages..."

Dari kalimat panjang itu, kita tahu bahwa Jack sedang berpergian di Amerika, tapi musik yang dimainkan mengajak imajinasinya melanglang ke seluruh dunia. Dari irama Kuba, teriakan orgasmik dalam berbagai bahasa: Spanyol, Arab, Peru, bahkan Mesir. Dalam adegan gila itu, tampak jelas bahwa musik bisa menerabas segala sekat kebangsaan. Bahwa ternyata semua jenis manusia bisa dijadikan satu dalam irama musik?

Jack Kerouac menggambarkan kisah perjalanannya yang memikat itu dalam On the Road. Disana ia juga menceritakan tentang traveling through music. Jack sadar bahwa musik --bisa jadi-- adalah salah satu pencapaian peradaban tertinggi suatu bangsa. Karena itu, berbicara musik adalah juga berbicara  mengenai manusia dan segala peradaban yang melingkupinya.

Musik juga melangkahi ruang dan waktu. Dalam banyak literatur, diceritakan bagaimana babad musik blues bermigrasi dari daratan Afrika menuju Amerika. Dari panasnya gurun pasir dan dataran tandus, menyebrang ke hilir sungai Mississippi yang teduh dan sepoi. Musik itu dibawa dan dimainkan oleh para budak kulit hitam. Blues menceritakan tentang penderitaan, kepedihan, juga rindu akan kampung halaman.

Blues lantas bergerak lagi ke segala arah. Ke New Orleans menjadi jazz. Lalu bergerak lagi ke Chicago, menjadi electric blues. Lalu berdiaspora ke tempat lain. Menjadi anak yang kelak bertumbuh besar dan punya identitas sendiri.

Lalu kenapa Jack juga menuliskan tentang musik jazz dalam kisah perjalanannya? Apakah tak cukup ia becerita saja mengenai birunya langit atau hijaunya daun? Atau tips traveling murah dan hidup menggembel?  Bisa jadi, karena Jack sadar bahwa traveling bukanlah melulu dongeng tentang keindahan. Traveling juga (seharusnya) berkisah tentang peradaban, manusia, dan juga kebudayaan. Dalam kasus ini, kebudayaan jelas diwakili dengan musik. 

Lalu kenapa jazz? Karena jazz adalah Amerika. Ia dianggap sebagai musik identitas Amerika. Hasil peleburan antara budaya Afrika dan Eropa yang lahir dan tumbuh di Amerika. Ditambah lagi, Jack menyukai jazz. Semua itu lantas diramu menjadi karya yang kelak jadi legendaris dan dianggap sebagai salah satu travelogue terbaik sepanjang masa, On the Road.

***

Saya lupa sejak kapan mulai mengamati musik ketika sedang melakukan perjalanan. Seingat saya, ketika pertama kali berjalan sendirian, saya sudah menikmat dan mengamati musik. Apalagi kalau anda sama seperti saya, yang lebih sering menggunakan moda transportasi murah seperti bis ekonomi dan kereta kelas kambing. Moda transportasi macam itu memang secara naluriah selalu mengundang para musisi jalanan untuk beraksi. Entah itu yang benar-benar bermain musik, atau sekedar genjrang genjreng plus mumbling.

Semenjak saya punya handphone dengan fitur musik, saya tak pernah melepaskan barang itu dari gengggaman. Ditambah dengan headset, maka saya menikmati musik yang seringkali saya pilih dengan seksama agar pas dengan suasana ketika traveling. Pada tahun 2009, saya pernah menuliskan sebuah e-book bersama seorang kawan. Selain kisah perjalanan, saya juga menambahkan rubrik "Backpacker Tunes" disana. Isinya adalah lagu-lagu yang menemani kami di sepanjang perjalanan.

Sayangnya, saya tak memasukkan lagu daerah disana. Pun, saya asing dengan musik daerah. Ini adalah kesalahan saya.

Kalau saja saya mau sedikit jeli, Indonesia juga punya identitas musik daerah. Lupakan sejenak mengenai lagu-lagu daerah tradisional. Mari kita berbicara musik tradisional kontemporer sejenak.

Kalau anda berpergian ke daerah pantai utara, kuping anda pasti --iya, pasti-- akan dijejali oleh musik-musik dangdut koplo. Kalau anda pergi ke daerah Banyuwangi, anda akan sering mendengar musik Using kontemporer. Kalau mengemasi ransel dan melangkah ke Madura, anda akan menemukan kisah-kisah manusia dan segala permasalahannya dalam lagu berirama dangdut modern yang dinyanyikan dalam bahasa Madura.

Saya pernah pergi ke Madura  beberapa tahun silam. Di sebuah pasar malam dadakan di alun-alun Sumenep, kawan saya ngotot mencari lapak VCD bajakan. Ternyata dia ingin membeli rekaman khas musik Madura. Sekali lagi, bukan musik Madura tradisional. Melainkan musik Madura kontemporer. Musik yang diberi sentuhan dangdut pop, dan dinyanyikan dengan bahasa daerah mereka.

Salah satu penyanyi yang saya ingat dari VCD yang dibeli oleh kawan saya itu, adalah seorang penyanyi bernama Sukkur. Ternyata ia cukup kondang, terutama di kawasan Madura dan sekitarnya. Ia mempunyai banyak lagu yang cukup digemari. Sebut saja "Alenklenk", "Marlena" dan beberapa yang lainnya.

Lagu Madura ternyata cukup nyaman didengar. Apalagi liriknya sangat dekat dengan keseharian. Saya tak tahu apakah sudah ada peneliti yang mengamati eratnya kaitan antara musik dan cerita keseharian. Tapi dari pelajaran semasa kuliah di Fakultas Sastra, saya memahami bahwa ada reciprocal, sebuah hubungan yang tak bisa dielakkan dan saling mempengaruhi, antara sastra dan dunia nyata. Karya sastra pasti dipengaruhi oleh lingkungan tempat sang pengarang hidup, dan karya sastra itu juga bisa mempengaruhi lingkungan para pembaca.

Mungkin sama kasusnya dengan musik-musik Madura yang dibeli oleh kawan saya itu (dan sepertinya hal yang sama terjadi di musik lain). Ada sebuah hubungan erat antara hidup keseharian dan musik lokal. 

Simak saja lagu "Marlena" dari Sukkur. Disana ia berkisah dengan romantis dan sedikit merayu, Marlena/dika mace' raddina/eabasa dari dimma/dika cek sampornana. Disana mungkin kita bisa lihat bagaimana kultur merayu masyarakat Madura yang sepertinya tak jauh beda dengan kultur masyarakat Melayu, sedikit mendayu dan hiperbolis. 

Atau simak juga lagu "Abini Due", yang dalam arti harfiahnya adalah "Beristri Dua". Disana ada dua penyanyi: laki dan perempuan. Sang lelaki mengeluh, kenapa hanya beristri satu. "padana mano' le' e dalam korong" katanya. Lalu sang istri membalas dengan ketus "pajhat reng lake', ngalak nyamanna dibi'".

Disini kita bisa melihat bagaimana --ini dugaan iseng saya semata-- kisah beberapa pria patriarkis --yang kebetulan berbahasa Madura-- yang ingin beristri dua dan ditentang oleh sang istri yang menganut falsafah Madura "lebbi bagus pote tollang, atembang pote mata", yang artinya lebih baik putih tulang ketimbang putih mata. Peribahasa ini dimaknai sebagai lebih baik mati ketimbang hidup menanggung malu. 

Falsafah itu memang lebih sering diasosiasikan dengan budaya carok. Tapi keyakinan "lebih baik mati ketimbang hidup menanggung malu" juga layak disematkan terhadap para perempuan yang dengan keras menolak poligami. Mereka menolak untuk dimadu. Bagi mereka, dimadu adalah sebuah aib. 

Selain contoh yang saya ceritakan diatas, jelas masih banyak lagi contoh lain yang bisa kalian temukan di daerah yang  kalian kunjungi. Kalau kalian berpergian ke suatu tempat, usahakan cari VCD musik lokal. Cari musik tradisional kontemporer, musik yang bercerita mengenanai kekinian, tapi dinyanyikan dalam bahasa daerah. Biasanya, musik-musik macam ini erat dengan ritus keseharian masyarakat lokal.

***

Singkat cerita, VCD berisi lagu-lagu Madura itu pun diboyong pulang ke Surabaya, tempat sang kawan tinggal. Ketika saya iseng-iseng menengok back-sleeve, saya melihat sebuah logo label. "Ainun Aula Records". Saya merasa pernah melihatnya. Saya mengingatnya dengan keras, dimana saya pernah melihat logo itu.

Sial! Itu adalah logo perusahaan rekaman di kota Jember, kampung halaman kami berdua! Dan kami tak pernah sadar akan hal itu. Ah, kami memang bukan pejalan dan pengamat yang baik... []


Post-scriptum: beberapa kalimat dalam bahasa Madura memang sengaja tidak diartikan. Jika ingin tahu apa artinya, silahkan mencari tahu sendiri. Tulisan ini dibuat dalam rangka menulis untuk majalah The Travelist edisi 6 yang bertema Traveling Through Music. Majalah keren ini bisa diunduh cuma-cuma di sini. Oh ya, majalah kece ini juga baru saja merayakan hari lahir yang pertama. Sukses terus buat kalian, let's get lost!

Jumat, 29 Juni 2012

Untuk Kawan Yang Terhempas Badai


Dialog Dini Hari pernah menulis sebuah lagu indah berjudul "Satu Cinta". Lagu ini tidak berkelakar soal kisah cinta ala sinetron atau lagu-lagu pop. Di lagu itu, terpampang kisah cinta yang dewasa. Tentang kedamaian,  tentang harapan, tentang jalan hidup, bahkan tentang kesetiakawanan. Sore ini, saya memutarnya berulang kali karena teringat kisah akan seorang teman.

Dia adalah kawan baik saya. Kami sudah pergi kemana saja, melalui banyak momen, menertawakan banyak hal, dan meringis karena hal-hal pahit yang harus kami hadapi. Hidup lantas membawa kami menempuh jalan masing-masing. Saya harus pergi ke Jogja, dan ia menyabung nasib di belantara bernama Jakarta.

Ketika saya mengunjunginya beberapa waktu lalu, ia masih saja suka menyempalkan senyum lebar di wajahnya yang jenaka. Ia masih suka memaki jancuk dan asu. Apalagi kalau saya mengerjainya. Iya, pria lucu ini seringkali jadi objek guyonan saya yang seringkali sadis. Saat itu, ia masih baik-baik saja.

Dan betapa lunglainya saya ketika beberapa hari lalu, ia bercerita bahwa ia sedang mengalami masalah --yang sepertinya-- terberat dalam hidupnya. Seumur hidup, ia tak pernah memberatkan dan memikirkan suatu masalah secara berlebihan. Ia adalah pria yang hidup bersama angin. Kalau angin mengharuskannya bertiup ke arah selatan, maka kesanalah ia pergi. Kalau angin menuju barat, maka kesana ia akan melangkahkan kaki.

Tapi kali ini anginnya terlalu keras dan kencang. Menghantam dan melantingkannya kemana-mana. Hingga ia susah untuk menapak. Ia tak berdaya. Ia sendirian di belantara Jakarta. Tak punya kawan untuk berkisah. Tak punya sanak untuk berbagi. Maka melalui jendela dunia maya, kami bertukar kisah pilu itu. Saya hanya bisa tergugu. Sesekali menengok ke langit-langit agar air mata tak tertumpah. 

Barangkali saya terlalu sensitif dan perasa.

Tapi saya menjamin, siapapun yang mendengar kisahnya, sembari membayangkan wajah polos dan jenakanya, juga akan tergugu. Kisahnya sesendu roman di ranah sastra. Mungkin juga sinetron. Kisahnya saya pikir hanya ada di layar kaca dan tak akan terjadi di dunia nyata. Tapi ternyata kisah ini menimpanya.

Di kala berat seperti itu, saya seperti ingin pergi ke Jakarta lalu memeluknya barang sejenak. Mengabarkan padanya kalau ia tak sendirian, walau saat ini ia memilih untuk bungkam dan menghadapinya sendirian.

Saat kau berjalan sendiri
Aku akan menemani
Siap memapahmu
Jika kau terjatuh

Saat kau mulai lelah
Berdiri lunglai sedikit goyah
Ku kan disampingmu
Istirahatkan pikiranmu

Saat kau mulai menangis
Aku akan bernyanyi
Siap menghiburmu
Tak perduli waktu

Saat pagi kau terjaga
Ku kan petik bunga
Beragam warna
Seperti pelangi membentang

Kita kan gembira bersama, 
tertawa bersama, bahagia bersama
Kita kan bernyanyi bersama,
Menari bersama ikuti irama

Satu pikiran, satu tujuan
Satu harapan, satu impian

Satu pandangan, satu kejayaan
Satu kejujuran, suatu kebaikan

Satu cinta untuk kebahagiaan
Satu cinta untuk kedamaian

Kamis, 28 Juni 2012

Tentang Majalah Playboy Edisi Perdana


Suatu hari di daerah Bojong Gede, Jawa Barat, Alfred Ginting dan Soleh Solihun: dua orang wartawan sebuah majalah franchise baru di Indonesia, beserta seorang artis bernama Happy Salma, datang menemui seorang sastrawan legendaris: Pramoedya Ananta Toer.

Mereka berniat mewawancarai penulis yang menghasilkan karya monumental tetralogi Pulau Buru itu. Rencananya, hasil wawancara itu akan dimuat untuk sebuah rubrik di majalah yang edisi pertamanya direncanakan akan terbit pada bulan April 2006. Wawancara itu berlangsung gayeng. Sungguh sangat kentara kalau tiga orang pewawancara itu sungguh paham dan punya ketertarikan besar mengenai kisah hidup Pram. Pram pun demikian, ia tak segan bercerita tentang apapun, tak menutup apapun.

Mulai dari  kisah hidupnya yang berliku dan penuh onak, pembakaran bukunya yang sungguh memilukan, perempuan yang tercantik di dunia, aktivitasnya saat tua menjelang, hingga aktivitas saat ia ditahan di Pulau Buru.

"Apa yang paling tidak bisa anda lupakan dari Pulau Buru?"

"Banyak. Antaranya saya menemukan mangga di pinggir kali. Lantas saya kembang biakkan. Jadi banyak. Nanti kalau ke Buru, ada pohon mangga, ingata saya [tertawa]. Tadinya nggak ada di pedalaman. Saya memelihara ayam delapan. Telornya itu untuk beli rokok, beli kertas, beli karbon di pelabuhan. Karena saya kan di pedalaman. Dan saya senang sekali, sekarang Pulau Buru jadi gudang beras Maluku. Pekerjaan kami itu. Jalanan kami bikin sepanjang 175 km. Belum sawahnya. Belum irigasinya. Belum ladangnya. Kalau sore itu udaranya dihiasi pelangi. Kalau hujan, air dengan keras turun ke bawah. Ikan melawan arus air hujan. Tinggal tangkap saja. Berkarung-karung itu [tertawa]."

Hasil wawancara itu turun dalam 8 lembar halaman di majalah edisi perdana. Artikel itu lantas jadi artefak berharga bagi dunia media, karena selang 3 minggu setelah penerbitan pertama, Pramoedya mangkat. Wawancara itu adalah wawancara terakhir Pram dengan media massa.

Di majalah edisi pertama itu juga ada beberapa tulisan memikat. Mulai tulisan tentang KTP berjudul "Negara, Agama, dan KTP" karya kontributor alumnus Pantau, Agus Sopian; feature tentang kondisi Timor Leste karya  Alfred Ginting; cerpen dari kontributor Dewi "Dee" Lestari berjudul "Sepotong Kue Kuning", hingga cover story bertajuk "Always Happy Early", yang berisikan beberapa foto seksi dan testimoni Andhara Early saat difoto untuk jadi kover perdana majalah franchise tersebut.

"Saya mau difoto untuk Playboy bukan untuk mencari popularitas. Ini jadi tantangan buat saya sebagai seorang model"  ujarnya.

Iya, majalah perdana itu adalah majalah Playboy. Majalah yang didirikan oleh Hugh Hefner pada tahun 1953 itu, bagi banyak orang dianggap sebagai majalah porno. Kontennya berisi banyak foto-foto nude. Tapi yang tak banyak orang tahu, Playboy juga berisikan beberapa rubrik menarik. Mulai humor yang cerdas, hingga feature yang menggoda.



Playboy Indonesia pertama kali terbit pada tanggal 7 April 2006. Kovernya berwarna merah dengan Andhara Early pada sampul depan. Erwin Arnanda menjadi editor-in-chief. Beberapa nama beken di jagat jurnalisme juga turut menggawangi majalah ini, sebut saja Arian Arifin yang menjabat deputy editor, Soleh Solihun dan Alfred Ginting menjabat sebagai feature editor, hingga para kontributor seperti Linda Christanty, FX Rudi Gunawan, dan Poltak Hotradero.

Sayang, karena imej yang dianggap porno, peredaran majalah ini tak berjalan mulus. Padahal sama sekali tidak ada gambar nude dalam majalah itu. 70% kontennya adalah konten lokal. Sisanya adalah terjemahan beberapa rubrik. Pada tanggal penerbitan perdana, FPI (Front Pembela Islam) berunjuk rasa dan berorasi. Itu saja? Jelas tidak. Mereka merusak dan membakar. Aceh Asean Fertilizer, selaku pihak yang mempunyai gedung kantor Playboy, protes atas kerusakan itu dan meminta Playboy pindah kantor. 

Berkali-kali di demo dan diancam di Jakarta, Playboy akhirnya memutuskan untuk hijrah ke Pulau Dewata, yang dianggap lebih toleran. Tak melulu ancaman dari masyarakat sipil, bahkan polisi pun turut serta "mengepung Playboy: menetapkan  Erwin Arnada, dan model majalah ini, Kartika Oktavina Gunawan dan Andhara Early, sebagai tersangka terkait kasus pornografi. Bulan Mei, edisi kedua Playboy tak terbit karena ancaman beberapa pihak. Bulan Juni majalah ini terbit lagi. Playboy berumur 10 edisi. Bulan Juni tahun 2007 menjadi akhir dari umur Playboy.

Erwin Arnanda bernasib tragis. Ia dijebloskan ke LP Cipinang selama 8,5 bulan. Selepas bebas dari udara pengap teralis besi, ia menceritakan tentang kronologis kisah penggrebekan dan kebusukan FPI via twitter.

Pagi ini, di tengah kegiatan packing, seperti biasa saya bongkar-bongkar lemari buku. Di tumpukan majalah, saya menemukan majalah Playboy edisi perdana. Saya lupa kapan tepatnya membeli, pun dimana saya membelinya.

Tapi coba saya ingat. Uhm, sepertinya di Blok M Square, tempat harta karun bagi pemburu buku dan majalah. Disana, saya menemukan majalah ini terserak bersama-sama majalah bekas lain. Saya menebusnya seharga 10.000 rupiah saja. Sedikit kontras, karena ketika majalah ini dilarang dan menjadi kontroversi, situs lelang E-bay bahkan membanderol edisi perdana ini seharga $110 (!)

Saya menghentikan kegiatan packing saya sejenak. Membaca ulang majalah berlogo kepala kelinci ini. Lalu menebalkan ingatan pada deretan kata Editorial yang ditulis oleh Erwin.  

"... Kata Ginsberg, kita selayaknya lebih mau memaknai kata-kata dan jangan terjebak dengan pencitraan dari gambar."

Selasa, 26 Juni 2012

Beirut dan Keinginan Membentuk Band




Band yang baik, adalah band yang membuat pendengarnya ingin membentuk band.

Itu adalah prinsip yang saya pegang teguh. Beberapa band berhasil melakukannya pada saya. The Doors, Guns N Roses, KIX, The Brandals, hingga The S.I.G.I.T adalah beberapa diantaranya. Ketika melihat mereka, baik dalam video maupun konser, saya merasakan perasaan, "Cuuk, aku pengen buat band dan jadi keren seperti mereka."

Tapi seumur-umur, belum pernah ada band folk yang membuat saya ingin membentuk band. Hingga saya bertemu dengan... Beirut.

Saya tak pernah tahu tentang keberadaan band ini, hingga seorang hipster guru Taufiq Rahman menyebutkan nama band ini beberapa kali di Jakartabeat. Ia juga menuliskan resensi album terbaru Beirut yang berjudul The Rip Tide

Disana ia menuliskan, musik yang dihasilkan Beirut adalah tipikal musik "...Balkan, musik Prancis 1960-an, Mariachi—terutama di "March of the Zapotec". Musik mereka adalah musik yang begitu mudah membangkitkan nostalgia dan pelarian diri ke sebuah masa dan tempat yang sederhana tanpa Facebook, YouTube dan Twitter, dan yang paling penting sebuah masa tanpa krisis ekonomi."

Saya mengernyitkan dahi. Referensi musik saya sepertinya memang hanya terhenti di Los Angeles, tepatnya di ruas Sunset Strip, dimana The Doors dan band-band hair metal pernah merintis karir dan meretas nama mereka disana. Musik Balkan? Musik Prancis 1960-an? Mariachi? Bahkan membayangkannya saja saya kesusahan.

Tapi saya dan mas Taufiq memang punya kebiasaan yang nyaris sama: sarkas dan suka saling mengejek selera musik satu sama lain. Mas Taufiq seringkali mengejek selera musik saya yang menurutnya dangkal dan tak bermutu. Dan saya seringkali mengunduh musik-musik yang ia puja hanya untuk kemudian menyebutnya, "membosankan", "gelap", dan "tak menikmati hidup." Maka saya mengunduh album The Rip Tide yang ia hormati sedemikian rupa. Untuk kelak saya cela dan hina tentu saja --walau akhirnya niat jelek saya itu harus tumpas seiring waktu.

Cukup lama album itu mendekam di folder komputer. Hanya sesekali saya putar ketika malam sudah benar-benar menua. Ketika suara nyaris tak ada, maka Beirut terdengar sangat pas. Musik mereka memang syahdu. Hanya itu saja. Musik Beirut saya dengar ketika mengerjakan tugas kuliah, atau saat mengerjakan pekerjaan yang memang butuh konsentrasi, dan musik yang tepat diputar adalah musik "yang bisa kau acuhkan", mengutip Rob Gordon dalam film High Fidelity.

Tapi entah kenapa semua berubah. Semuanya bermula ketika beberapa minggu lalu saya iseng mencari video milik Beirut. Saya mencari video live performance "A Candle's Fire", lagu favorit saya di album The Rip Tide tapi hasilnya nihil. 

Gagal mendapatkan video itu, saya malah mendapatkan video live performance lagu "Postcards From Italy" dari album debut berjudul Gulag Orkestar. Ketika saya memutarnya, wusss! Musik itu langsung membawa saya melanglang. Terbang menuju Tuscany, atau berjalan-jalan di lorong kota Florence. Menikmati musim panas yang dibalur hangat matahari Mediterania. 

Lengkap dengan festival alunan ukulele, akordion, terompet, hingga French horn dan alat-alat musik aneh bernama lebih aneh macam glockenspiel, flugelhorn, euphonium, dan tuba. Anehnya, alat musik yang ramai dan riuh itu tak lantas menjadikan musik mereka berisik.

Ada satu kepaduan, semacam toleransi yang erat antara alat musik itu. Tak ada tindih menindih. Semua menghasilkan harmonisasi yang aduhai indahnya. Bayangkan kau sedang berjalan di lembah-lembah Tuscany yang penuh dengan bunga matahari yang sedang mekar. Angin laut Mediterania yang hangat membelai rambutmu. Hidup lantas seperti tak pernah mengenal kata susah.

Sejak saat itu, saya menyimak Beirut lebih intens. Mencari beberapa lagu di album awal. Dan menyimak lebih khusyuk album The Rip Tide.

Ada beberapa lagu favorit saya. Yang pertama tentu "A Candle's Fire" yang megah dan indah. Track ini begitu tepat ditaruh di urutan pertama. Sebuah lagu yang langsung menjelaskan identitas musik Beirut: penuh dengan horn section, bunyi ukulele serta suara bariton vokalis Zach Condon yang berat dan begitu mudah melekat di ingatan.

"East Harlem" juga indah luar biasa. Beirut seperti merombak imej Harlem di kepala saya. Dari yang dulunya daerah hitam, menjadi daerah yang indah. Tempat dimana, "another rose wilts."

Kalau mas Taufiq begitu menggemari "The Rip Tide", lagu favorit saya justru yang terletak di akhir: "Port of Call". Lagu itu sungguh... Sial, saya susah mengungkapkannya. Kata yang tepat mungkin: indah. Aduh, kata itu sudah saya pakai di lagu "East Harlem". Let me try once more... Tetap tak bisa!

Saya coba gambarkan perasaan saya saja ketika mendengar lagu ini, juga imaji yang timbul. Ketika saya mendengarkan lagu ini, saya seperti merasakan hubungan romantika pria dan wanita yang sederhana dan tak saling menuntut, juga kebiasaan para lelaki untuk mengembara dan meninggalkan sang wanita barang sejenak --dan berharap sang wanita akan mengerti dan mau menunggu.

Di pagi yang masih tunas, saya memutar lagu terakhir ini. Suara terompet dan french horn mengalir renyah melalui headset. Masuk ke dalam kuping, dan menarik tangan saya lembut: menuju pelabuhan dimana wanita yang mencintai saya melambaikan tangan. Kapal membunyikan klakson, bergerak, dan daratan semakin jauh...

And I, I called through the air that night
A calm sea voiced with a lie
I could only smile, I've been alone some time
And all, and all, it's been fine

And you, you had hope for me now
I danced all around it somehow
Be fair to me, I may drift a while
Were it up to me, you know I'd

I, I called through the air that night
The faults were swarming inside
Was it infantile, that which we desired?
Were it up to me, all from your eyes

And I, I called through the air that night
My thoughts were still buried inside
We were closer then, I've been alone some time
Filled you glass with gin
Filled your heart with pride
And you, you had hope for me now
I danced all around it somehow
Be fair to me, I may drift a while

If there's a plan for me
Would it make you smile?
No, don't want to be there for no one
I can see 

***

post-scriptum: Band ini sudah membuat saya merasakan perasaan "saya ingin membuat band seperti ini!". Thus, they're a great band!

Senin, 25 Juni 2012

Gunung, Sungai, dan MILF



Pulang ke rumah memang selalu menyenangkan. Selain masakan mamak yang selalu lezat, pemandangan seperti ini bisa saya lihat tiap pagi dari balkon rumah. Yang di depan itu gunung Raung (3332 m.dpl). Di belakang, kalau saja tak terhalang pohon-pohon kelapa, akan tampak gugusan pegunungan Argopuro. Aih, home sweet home.

Dan lucunya, foto ini mengundang beberapa kawan lama untuk berkomentar. Mereka adalah kawan-kawan saya sedari kecil. Sejak lulus SMA kami memang terpisah. Ada yang di Surabaya, Malang, hingga Jakarta. Untung saja ada media sosial yang tetap mengikat kami agar tetap terhubung.

Foto ini lantas mengingatkan kami akan lingkungan rumah. Selain sunrise yang indah dan pegunungan yang mengelilingi tempat kami tumbuh besar, ada pula satu sungai kecil tempat kami berkecipak semasa masih kecil dan belum punya bulu pubis. Kami biasa berakting sebagai bajak laut yang menjadikan batu sebagai kapal. Sial, betapa tolol kami dulu. Ketika mengingat masa kecil ini tak ada reaksi lain selain tertawa keras. Oh ya, selain soal kenangan tentang gunung dan sungai, obrolan kami juga membahas tentang MILF yang ada di kawasan perumahan kami, hahaha.


Ah, aku kangen kalian :D

Minggu, 24 Juni 2012

The Black Crowes: Best American Band



Beberapa waktu lalu, saya mengunduh sebuah video bertajuk VH1 Unplugged Live (2008): The Black Crowes.  Di video yang dibuat tahun 2008 itu, saya nyaris tak mengedipkan mata karena takjub.

Chris Robinson, sang vokalis, tampak tak berbeda sejak 1989, awal karir musik mereka. Ia masih kurus, memelihara rambut panjang, dan cara bernyanyinya pun masih sama, appropriate vocal swagger. Sedang Rich Robinson, sang adik yang memegang gitar, juga masih sama dibanding dulu: kalem dan tenang. Hanya berbeda secara fisik semenjak album pertama mereka Shake Your Money Maker dirilis pada tahun 1990. Rich lebih gemuk dan memelihara sedikit brewok.

Robinson bersaudara adalah salah satu dari sepasang kakak adik yang paling destruktif dalam sejarah musik rock. Mungkin pertengkaran epik mereka hanya bisa disaingi oleh Young bersaudara dari AC/DC. Lupakan Oasis, karena selepas mereka bertengkar parah, mereka tak menyapa satu sama lain dan tak bisa menghasilkan musik bagus lagi. 

Sedang Robinson bersaudara kembali akur, dan menghasilkan album-album blues rock nan keren untuk the Black Crowes. Seiring bertambahnya umur, mereka kembali, dan mereka semakin tenang dalam menyikapi masalah mereka. Walau tetap saja, mereka masih sering bertengkar.

Band ini dibentuk di Georgia oleh Chris dan Rich, dua orang kakak adik penyuka musik blues-rock 70-an macam Buddy Guy, Otis Redding dan Humble Pie, dan juga... the Rolling Stones.

"Aku ingat ketika kita masih kanak-kanak dan pertama kali mendengar Exile on Main Street. Lagu pertama yang menohokku adalah 'Tumblin' Dice', kamu bisa mendengar kemegahannya, musiknya, dan juga perayaannya. Ada sound dan perasaan, juga keseluruhan perasaan yang seperti membawaku menuju tempat yang keren, dan itu hanya bisa dilakukan oleh album yang keren." kenang Chris.

Selain oleh musik rock 70-an, mereka juga terinspirasi dari gerakan flower generation yang penuh ide tentang kebebasan dan pemberontakan. Itu adalah salah satu alasan mereka membentuk band: tak ingin kerja kantoran dan menjalani rutinitas yang sama.

"Saat itu kita masih muda. Kita berdua ingin sekali membentuk band," kenang Chris. "Kita tidak ingin terjebak dalam rutinitas kerja yang membosankan dan hidup di Georgia selamanya," imbuhnya.

Band ini lantas rutin bermain dari bar ke bar. Bir demi bir tertenggak dan sukses pun datang menyusul. Mereka membuat demo pada tahun 1989 yang menarik perhatian label besar, Def American. George Drakoulias jadi produser album perdana para gagak hitam itu: Shake Your Money Maker

Album perdana yang dirilis tahun 1990 itu sukses besar. Ada banyak lagu keren dalam album itu, seperti lagu daur ulang "Hard to Handle"  milik Otis Redding, "Jealous Again", "Twice as Hard", dan lagu tersyahdu: "She Talks to Angels" yang ditulis oleh Rich ketika masih berumur 17 tahun. Album itu berhasil membuat Black Crowes mendapat penghargaan Best New American Band' in 1990 versi majalah Rolling Stone.

Yet, every rose has its thorn. Setiap kesuksesan pasti membawa dampak lain. Banyak pertengkaran. Anggota keluar masuk. Robinson bersaudara makin liar dan tak terkontrol. Mereka banyak menghabiskan waktu untuk memuaskan keinginan "saling membunuh satu sama lain."

"Yeaah, kebanyakan bentrok kita memang berujung pada bentrok fisik. Kita memang seringkali berusaha melukai satu sama lain" ujar Chris, sang rock troubador berusia 43 tahun ini.

Pertengkaran itu memicu bubarnya The Black Crowes pada tahun 2002 hingga 2005. Setelah itu mereka kembali akur dan berusaha menumbuhkan bulu-bulu gagak yang berguguran. Keakuran itu lantas berwujud pada album megah Warpaint yang dirilis tahun 2008. Walau begitu, tetap saja mereka masih sering berselisih, meski tak seintens dulu.

"Kegilaan dan hasrat itu masih tetap sama --kita benar-benar tidak suka satu sama lain, tapi kita juga saling mencintai" kata Chris dalam sebuah wawancara dengan NYPost. "Kita masih sering bertengkar, tapi itu yang dilakukan oleh saudara kan?" lanjutnya.

"Sekarang kita hidup berjauhan satu sama lain, which is excellent, for our working relationship." kata Chris dalam video VH1 Unplugged. "Aku hidup di LA dan Rich tinggal di Connecticut. Kita semakin jarang bertengkar. Kita  punya banyak hal lain untuk dipikirkan, seperti membayar rumah atau merawat anak." tambahnya.

Di video VH1 Unplugged itu, Black Crowes menunjukkan kenapa mereka adalah salah satu band terbaik di Amerika... hingga saat ini, melanjutkan tahta yang pernah diberikan Rolling Stone pada tahun 1990. Mereka bermain begitu padu. Ada semacam komunikasi tak terlihat yang membuat mereka tahu, kapan Chris akan bernyanyi bait ini, kapan Rich akan memainkan tablature ini. Dan anggota lainnya akan mengikuti ritme dua bersaudara ini.

Konser kecil nan intim ini dimulai oleh lagu "Sting Me", lagu yang dipersembahkan Chris untuk para hipokrit. "Mereka terus berbicara dan berbohong dengan ocehan mereka, dan kami berbicara dengan lagu kami." ujarnya sarkas.

Lalu dilanjut oleh "Goodbye Daughter of Revolution", track pertama dari album ketujuh mereka, Warpaint.

"Kita merekam sekitar 15 untuk album Warpaint, dan ada 11 lagu yang masuk album. "Goodbye Daughter of Revolution" itu seperti pernyataan kalau kebebasan ada di jalan. Kalau kamu mau mengerti konsep tentang kebebasan, let's get into them." ujar Chris.

Di album Warpaint, Luther Dickinson masuk menggantikan gitaris Paul Stacey. Hingga saat ini Luther masih setia di Black Crowes. Gitaris yang --oleh Chris pernah disebut-- berpenampilan mirip pendeta ini tampak kompak dengan Rich, saling mengisi satu sama lain. Rich membangun dinding rhythm yang tebal, dan Luther melapisinya agar semakin kokoh.

"Luther memang anggota baru, tapi kami berbicara dengan bahasa yang sama dan kita cocok. Itulah musik. Itu bentuk bahasa yang lain, bentuk lain dari cara orang mengekspresikan dirinya." terang Chris saat Rich asyik berdiskusi dengan Luther.

"Di bagian ini, jreng jreng jreng, enaknya aku atau kamu yang main?" tanya Rich sembari memainkan intro sebuah lagu. Luther paham, "Oh, yang bagian itu, aku ngisi bagian ini saja, jreng jreng jreng" ujar Luther sembari memainkan solo gitar pendek. Lalu mengalunlah "Soul Singing", lagu yang bernuansa ketimuran, lengkap dengan suara sitar dan tetabuhan tabla.

Video VH1 itu berisi 6 lagu, rata-rata dari album Warpaint yang kala itu baru saja dirilis. Setlistnya, selain tiga lagu diatas, ada pula "Locust Street",  "Walk Believer Walk" dan ditutup oleh "Wiser Time."

Black Crowes tidak berhenti sampai disitu. Tahun 2010, mereka merilis antologi berjudul "Croweology" yang berisi lagu-lagu selama 20 tahun karir mereka. Lagu-lagu dalam album ini dimainkan dalam versi akustik. Selepas merilis album ini, mereka mengadakan tur panjang untuk promosi.

"Setelah tur ini, kami akan mengambil istirahat panjang," ujar Chris.

"Yap, itu cara agar kami agar tak ingin saling membunuh satu sama lain setelah tur selesai."[]

post-scriptum: Klik di sini untuk melihat video Unplugged Live (2008): The Black Crowes.

Sabtu, 23 Juni 2012

Gudeg Cakar Margoyudan

Belakangan saya sering sekali merutuki para ayam milik tetangga kos. Mereka seenaknya saja masuk kos, berak di sembarang tempat, lalu meninggalkan kotoran itu tanpa mau membersihkannya. Yang bikin saya sedikit sebal, kapan hari saya dikerjai gerombolan hewan kurang adat itu. Ketika mereka datang dan bergerombol di dapur, saya tutup saja pintu dapur, biar mereka bersalah, kapok, dan tak mengulangi lagi kesalahannya. Ternyata, mereka malah buang kotoran di dapur. Jancuk.

Saat itu saya merasa bahwa ayam itu hanya punya dua fungsi: berkokok untuk membangunkan orang, serta untuk konsumsi. Fungsi pertama bisa saja digantikan dengan alarm atau menyuruh orang lain untuk membangunkan kita. Tapi untuk fungsi kedua, nyaris tak ada hewan yang bisa menyamai ayam dalam hal fungsi konsumsi.

Nyaris semua bagian ayam bisa dimakan. Mulai yang berdaging macam paha dan dada. Yang sedikit berdaging: sayap. Yang paling empuk: brutu (pantat). Hingga yang butuh sedikit usaha ekstra untuk menyantap: kepala dan ceker. Semua bagian ayam bisa dimakan, dari ujung kepala hingga ujung kaki.

Berbicara ceker, entah kenapa saya suka bagian itu ketimbang bagian dada ayam. Saya menempatkan ceker pada urutan kedua bagian ayam favorit setelah sayap. Saya  juga sudah coba beberapa masakan ceker. Salah satu favorit saya ada di Sidoarjo, warung Ceker Lapindo. Pernah juga saya tulis di sini.

Salah satu masakan ceker favorit saya yang lain adalah gudeg ceker. Dan nyaris tak ada yang tak setuju ketika saya bilang gudeg ceker Bu Kasno Margoyudan Solo sebagai salah satu masakan ceker paling jagoan. Saya pertama kali mencicipinya ketika berada di Solo beberapa tahun silam. Sejak saat itu, gurihnya ceker ayam, bumbunya yang meresap, hingga keempukan luar biasa ceker itu, terus terngiang.

Sayang, untuk menyantap ceker ini butuh usaha ekstra. Perut lapar saja tak cukup. Karena mata haruslah kuat untuk tak terkatup hingga dini hari tiba. Iya, gudeg ceker Bu Kasno yang terletak di daerah Margoyudan ini jam bukanya sama dengan jam maling beroperasi, selepas dini hari. Biasanya jam 1 malam dagangan mereka baru mulai digelar. Jam operasi ini mengingatkan saya pada gudeg Pawon yang terletak di Jogja.

Tapi sejak Galabo --pusat jajanan di tengah kota Solo-- dibuka, gudeg ceker Bu Kasno ini buka cabang disana. Jadi tak perlu menunggu lepas dini hari untuk dapat menyantap gudeg ceker lezat nan legendaris itu. Jam 7 malam anda bisa kesana dan menikmati makan malam dengan tenang tanpa terkantuk-kantuk.

Kebetulan, beberapa hari lalu saya sedang berada di Solo untuk urusan pekerjaan. Selepas menonton sendra tari di Keraton Mangkunegaran, saya melangkahkan kaki menuju Galabo bersama dua orang kawan. Tujuannya apalagi kalau bukan menyantap gudeg ceker.

Tak perlu waktu lama, saya memesan seporsi gudeg ceker. Harganya 11.000. Anda bisa memilih: 4 buah ceker ukuran besar, atau 5 buah ceker ukuran kecil. Saya memilih ukuran kecil saja biar lebih puas. Dari sini kelihatan mental mahasiswa saya belum jua luntur, lebih mementingkan kuantitas. Tapi saya memang suka ceker yang tak terlalu besar. Kalau ceker besar, rawan menimbulkan rasa eneg.

Seporsi gudeg ceker keluar dalam tampilan yang sangat cantik. Porsi nasinya pas, tak terlalu banyak pun tak sedikit. Ceker tampil anggun dengan warna yang putih pucat, hasil rendaman dalam bumbu. Lalu kuah arehnya yang kental dan putih, hmmm, menyemburkan aroma harum yang menggelitik hidung. Dan gudegnya tampil dengan warna coklat yang elegan.



Suapan pertama, gurih dari areh dan gudeg langsung menyerbu. Gudeg Solo tidak menonjolkan rasa manis, melainkan rasa gurih perpaduan dari bumbu dan rempah yang pas. Karena itu beberapa orang kawan dari daerah Jawa Timur cenderung memilih gudeg ala Solo ketimbang gudeg ala Jogja yang kental rasa manisnya.

Dan upps, cekernya! Ketika saya gigit, pruull, seketika daging langsung koyak dari tulangnya. Sangat sangat empuk. Tak perlu usaha berlebih untuk dapat menikmati ceker ayam ini. Kita hanya perlu sedikit menggigit, dan daging serta tulang muda dari ceker ayam itu langsung terlepas dan kita tinggal menyeruput kuah areh yang melekat di ceker itu.

Seporsi gudeg ceker dengan cepat ludes, tandas tanpa ada sisa. Sang kawan lalu bersiap pulang. Ketika usai mengucap sayonara dan mereka sudah menghilang dari pandangan, saya mendatangi sang penjual.

"Bu, nambah cekernya lagi 5..."

Jumat, 22 Juni 2012

I Should Have Stayed Home

Di suatu hari yang hangat, Tony Wheeler baru saja tiba di San Fransisco. Ia menyewa sebuah mobil Ford Tempo berwarna abu-abu. Sang pendiri Lonely Planet itu melakukan berbagai urusan dengan mobil itu: pergi ke kantor Lonely Planet di Oakland, bertemu beberapa kawan lama di Bay Bridge, juga menyantap makanan khas Afghanistan di sebuah resto. Selepas itu, ia kembali pulang menuju hotel bersama seorang kawan bernama Jim. 

Ketika mobil selesai diparkir, Jim keluar sembari membawa barang bawaannya. Tony juga menyuruhnya untuk membawa serta setumpuk buku dan poster yang ia kira sebagai milik Jim. Jim menggeleng, berkata kalau itu bukan barangnya. Tony pun bingung karena barang itu juga bukan miliknya. Ketika kebingungan,  ia melihat sebuah mobil yang sama, Ford Tempo, di ujung tempat parkir: Setelah ia meneliti dengan seksama, ia terperanjat karena itu adalah mobil sewaaannya. Yang berarti seharian tadi ia menggunakan mobil milik orang lain: mobil yang sama dengan warna dan interior yang sama.

Saat itu ia sadar, ia baru saja seharian berkeliling menggunakan mobil "curian".

"Dari semua perjalananku, pernahkah aku kecurian mobil? Uhm, tidak pernah. Tapi aku malah pernah mencuri mobil. Dan aku berkeliling menggunakan mobil curian itu" ujar Tony dalam esai pendek berjudul "Lost and Found" yang termaktub dalam kumpulan kisah buruk di perjalanan bertajuk "I Should Have Stayed Home".



Marry Morris menuliskan esai pendek dalam pembukaan buku ini. Ia berkata "Bukan kenyamanan dalam perjalanan yang akan kita kenang. Apa yang paling kita kenang adalah kesengsaraan, misery."

Marry tak salah. Ketika ide untuk menuliskan pengalaman buruk dalam perjalanan dilontarkan, ada banyak orang yang hafal kisah-kisah buruk mereka dan bersedia menulisan pengalamannya. Tidak hanya para travel writer yang berbagi kisah, tapi juga penulis novel, hingga jurnalis yang menuliskan 51 kisah terburuk dalam perjalanan mereka.

Jeff Greenwald mencoba pemandian umum yang dialiri setrum. Mary Mackey menginap di hotel yang diserbu oleh pasukan semut yang sarangnya baru saja rubuh. Joe Gores yang terperangkap di perbatasan Sudan saat perang meletus. Michael Dorris yang dilontarkan ke Eropa, padahal ia berangkat dari New York menuju Alaska. Hingga Paul Theroux yang menceritakan kisah "disekap" oleh sepasang kakak adik di Afrika pada malam Natal dan dipaksa untuk mabuk terus menerus.

Semua kisah itu begitu menarik. Menyimak bagaimana para penulis itu mengingat kisah dan menuliskan dengan detail, membuat saya yakin bahwa perkataan Marry benar adanya: yang kelak akan kita ingat dalam sebuah perjalanan adalah pengalaman buruk, kesengsaraan. Kisah yang kelak akan kita ingat dan ceritakan kembali dengan seru sembari tertawa-tawa.

Buku ini saya temukan berada di tumpukan paling bawah di sebuah toko buku bekas di Blok M Square. Buku ini tampak tak terjamah dan sang penjual sepertinya menganggap buku ini tak menarik --karena itu ia menaruhnya di tumpukan terbawah. Saya lantas menebusnya seharga 15 ribu saja. Teramat murah untuk sebuah buku yang sangat menarik.

Sembari membaca lembar demi lembar, ingatan akan kisah buruk terus memanggil. Losmen Gembira, Bis Langsung Indah, Nafa Urbach, dan banyak lagi kenangan yang membuat senyum tersimpul.

Shit happen. And shit always happen...

Selasa, 19 Juni 2012

Nasi Campur Demangan


Beberapa hari lalu saya mengalami dilema terbesar yang bisa dialami para pecinta makanan enak: bibir sariawan tapi di saat bersamaan rindu masakan pedas.

Dua biji sariawan di bibir kiri atas begitu besar, menganga. Mengakibatkan rasa perih yang menjadi ketika ia tersentuh benda , entah itu makanan atau bibir orang lain (ups!). Tapi saya begitu rindu masakan pedas yang jarang saya temukan di Jogja. 

Buddha dulu pernah berkata: keinginan adalah sumber penderitaan. Maka hindarilah keinginan demi kebahagiaan. Tapi demi menuntaskan rindu pada masakan pedas, saya rela menahan perih karena sariawan. Mengendarai motor menuju daerah Demangan untuk makan seporsi nasi campur Demangan.

Warung nasi campur ini buka selepas jam 8 malam. Saat toko di deretan Demangan sudah mulai tutup. Warung nasi ini sederhana, bahkan tidak menempati bangunan permanen. Tipikal warung buka-pasang, tutup-bongkar. Tempat makannya pun hanya jejeran kursi plastik. Atau kalau yang mau lesehan, disediakan tikar yang baru bisa digelar ketika showroom motor di sebelah warung ini tutup.

Saya datang ketika malam belum terlalu larut. Warung sepertinya baru saja buka. Terlihat dari tumpukan makanan yang masih belum banyak berkurang. Biasanya, selepas jam 10 malam, tumpukan lauk macam ayam goreng, telur ceplok, tempe, atau bakwan jagung, ini sudah jauh berkurang.

Saya memesan nasi campur lengkap. Si bapak yang saya belum tahu namanya, dengan cekatan mengambil nasi dengan porsi sedang, lalu menyendokkan teri pedas, sayur labu, kering tempe, oseng-oseng kacang panjang dan jagung muda, serta lodeh. Sederhana bukan? Setelah itu, pembeli disilahkan memilih lauk tambahan sendiri. Saya memilih telur dadar dan seiris tempe silet, alias tempe yang diiris tipis macam silet. 



Suapan pertama meluncur pelan melalui bibir. Nyuut! Saya meringis. Bibir yang sariawan berontak. Rasa pedas dan sariawan itu berhantam dengan hebat. Saya redakan dengan berkumur menggunakan teh hangat. Lalu beberapa detik kemudian, rasa perih itu berangsur reda. Langung suapan kedua meluncur, kali ini lancar tanpa ada rasa perih. Tampaknya perih sariawan telah dihajar telak oleh rasa pedas nun lezat nasi campur ini.

Rasa pedas nasi campur ini berasal dari oseng teri yang dimasak dengan cabai. Kuahnya yang pedas begitu dominan dari rasa keseluruhan nasi campur ini. Seorang teman mengaku hanya kuat makan nasi campur ini beberapa suap saja. Terlalu pedas katanya. Tapi sebenarnya, bagi yang suka makanan pedas, nasi campur Demangan ini rasanya menyenangkan. Pedasnya ringan nun lembut, tak sampai membuat perut kepanasan. Hanya sekedar menerbitkan keringat yang menyegarkan. Apalagi kalau ditambah dengan minum teh hangat. Rasa nasi campur ini begitu gurih. Bahkan, kalaupun disantap tanpa menggunakan lauk tambahan, nasi campur ini tetap terasa begitu nikmat. 

Tanpa menghiraukan sisa-sisa perih sariawan, saya menandaskan seporsi nasi campur pedas yang warungnya terletak di depan toko tekstil Prima ini. Bulir keringat bermunculan. Makan di pinggir jalan memungkinkan angin menerpa kita. Sensasi ketika berkeringat lalu merasakan angin itu begitu menyegarkan. 

Selepas membiarkan makanan turun, saya membayar. Cukup 7500 saja untuk seporsi nasi campur lengkap plus telur dadar dan tempe silet, ditambah dengan segelas teh hangat.  Ketika beranjak pulang, sariawan kembali berulah. Perih sekali. 

Ah sial, seharusnya saya menuruti anjuran Buddha saja...

Senin, 18 Juni 2012

Nova Nikah!

Nova Dwi Prasetyo adalah karib. Kental, melebihi sup krim. Atau bahkan darah. Ia berkawan dengan saya semenjak kelas 1 SMA. Saya tak pernah lupa raut mukanya yang datar, mata yang setengah terbuka karena mabuk, dan omongannya yang meracau. Dan saya tak akan lupa, diantara masa sadarnya, ia menenteng dan membaca Kahlil Gibran. Sembari sesekali menorehkan puisi-puisi pendek di halaman belakang buku tulis bergaris.

Kami pernah dalam satu band. Pernah pula mendaki gunung bersama. Bercerita tentang apapun dan mengalami banyak masa --untuk tak menyebutkan masa-masa kelam. Susah atau senang. Membawakan lagu "Wherever You Will Go" di pentas perpisahan. Dihajar badai di Gunung Lamongan yang membuat kami meringkuk ngeri dalam tenda yang bergoyang semalaman. Serta merasakan kecewa besar ketika guru sekolah kami melarang kami tampil dalam panggung terakhir hanya karena kami sudah duduk di kelas 3 SMA dan mendekati ujian akhir.

Selepas Badai: Nova dan Saya

Dan hati saya berbunga ketika melihatnya berkepala gundul. Ia baru saja selesai menjalani pendidikan kepolisian. Hari itu, ia resmi menjadi polisi. Ia yang dulu tinggi dan kurus, sekarang jadi tambah gelap dan sedikit berisi. Saya dan kawan-kawan lain tak pernah lupa gaji pertamanya yang digunakan untuk mentraktir kami disebuah warung kopi langganan di bilangan Jalan Jawa. Bergelas-gelas Es Coffe Mix, juga Joshua. 

Ia juga pernah berkali-kali jatuh tersandung karena cinta. Yang terakhir, menghantamnya begitu telak. Hingga ia tersungkur dan sepertinya susah untuk berdiri lagi. Hantaman keras, tepat di dagu, menghilangkan kesadaran dan memaksanya untuk rebah di lantai. 

Tapi kekuatan hati manusia tak ada yang bisa menduga. Ia bangkit. Kembali mengepalkan tangan ke depan, dan kembali bertarung. Aduh, ini kenapa saya mengibaratkan cinta sebagai sebuah pertarungan dalam ring sih?

Intinya, Nova menemukan tambatan hati yang baru. Namanya Sukma. Yang pada suatu malam ia pernah memujinya sebagai perempuan yang sabar dan mengayomi. "Aku jarang sekali bertengkar hebat dengan perempuan ini" ujarnya suatu malam diantara hening yang sempurna, di kamarnya. Nova memang kepala batu. Tipikal Vermont Stubborn. Sang perempuan bisa sedikit melunakkannya. Dalam sebuah hubungan asmara pria dan perempuan, apa yang lebih penting ketimbang yin-yang seperti itu?

Entah perasaan apa yang saya rasakan ketika Nova pada akhirnya memutuskan untuk menikah. Memutuskan untuk menurunkan sauh, tidak berlabuh, dan menambatkan tali tambang. Perempuan yang dipilihnya adalah perempuan yang ia ceritakan di malam yang hening kecuali oleh celotehan kami.

Maka secepatnya saya mengepak baju, memasukkannya dalam tas, lalu bertolak menuju kampung halaman. Undangan sudah disebar, kawan sudah tidak berpencar, maka kami pun berangkat.

Suasana di pesta pernikahan 16 Juni malam itu sungguh macam reuni kecil kawan-kawan akrab semasa SMA. Bahkan Umbar Pujiono yang susah ditemui karena sering melanglang ke Neptunus, pun datang dan menebar senyuman manisnya. Senyuman yang membuat para perempuan ingin menampar dan para pria ingin menjambak mukanya.

Ada Wido yang datang bareng istri; Fahmi yang patah hati karena mantan gebetannya baru-baru ini juga menikah; Vicho yang menggandeng mantan pacarnya; Dika yang dibilang sales kondom; Nyen yang ternyata sedang galau karena mantan pacarnya --yang masih ia titipkan sejumput perasaannya-- juga akan menikah; Nicky yang kapan hari alim mendadak gara-gara baru putus; Rayis yang sudah bertunangan dan sepertinya akan segera menyusul Nova; Zein yang datang jauh-jauh dari Bali dan ingin menikah (lagi).


Nyumbang 10rb, Makan 5 Kali

Alien di sebelah saya itu namanya Umbar







Kami menghabiskan masa dengan tawa. Meminta melati dari pengantin perempuan agar kami segera menyusul. Juga saling melontarkan guyonan klasik para wedding crasher, "Ngamplop 10 ribu tapi makannya 5 kali", atau "Yang nyumbang 5 ribu gak boleh ngambil es krim", dan segala macam guyonan tak beradab lainnya.

Nyaris dari kami semua  --yang akrab dengan Nova-- susah untuk menahan haru melihat Nova memakai baju adat dan duduk bersanding dengan teman hidupnya. Perasaan haru dan senang berbaur jadi satu. Perasaan itu makin menjadi ketika kami satu persatu memeluknya. Lantas berfoto resmi. Lalu berfoto gila-gilaan. Dan dipungkasi adegan foto satu persatu dengan Nova dan Sukma.

Jarum jam terus berdetak. Tamu sudah mulai surut. Nova sudah menambatkan perahunya. Kami semua lantas kembali menarik sauh, mengembangkan layar. Semoga kelak satu persatu dari kami bisa mendapatkan pelabuhan yang tepat: tempat kami menutup layar, menurunkan sauh, dan memutuskan untuk tinggal...

Minggu, 17 Juni 2012

Kiki Lulus!



Tanggal 15 Juni selepas siang hari, mamak sms saya. "Kiki sudah lulus, alhamdulillah". Kiki adalah kakak saya. Ia kuliah di jurusan Olahraga di Unesa. Sudah 7 tahun kuliahnya berjalan. Sedikit terbengkalai karena profesinya sebagai atlit anggar membuat ia sibuk berlatih dan ikut turnamen disana-sini. Tapi setelah penantian yang bikin jantung deg-degan, ia akhirnya berhasil lulus juga.

Lalu saya sms Kiki. Mengucapkan selamat yang bercampur rasa haru. Tak berapa lama kemudian, ia menelpon saya. Saya yang sedang dalam perjalanan pulang menuju Jember disuruhnya mampir ke Surabaya.

"Nanti aku traktir makan" katanya.

Bis yang membawa saya dari Jogja merapat di terminal Bungurasih pada pukul 4 sore. Saya harus menunggu Kiki nyaris 1 jam sebelum akhirnya ia datang dan membawa saya ke mes para atlit anggar Jawa Timur di Sidoarjo. Selepas mandi, kami berencana untuk makan. Tapi sebelumnya, ia melirik pergelangan tangan saya. 

"Koen gak nduwe jam yo? Nyoh gawe wae" kata Kiki sembari mengulurkan arloji. Saya tak pernah mau memakai arloji. Bagi saya arloji itu bikin kita selalu was-was. Saya menolaknya, tapi ia bersikeras. Akhirnya saya mau memakainya. Ugh, saya seperti bapak-bapak ketika memakai jam berwarna silver itu. 

Akhirnya kami menerabas malam di Sidoarjo yang sudah mulai riuh. Memakan iga bakar di sebuah rumah makan. Masing-masing dari kami kelaparan rupanya. 4 piring nasi putih kami sikat.

Selepas makan, kami kembali berkendara menuju perbatasan Sidoarjo-Pasuruan. Menembus Porong yang membikin bulu kuduk merinding karena tebaran poster dan spanduk tuntutan ganti rugi. Di tengah jalan, Kiki bilang masih betah melatih anggar untuk dua sekolah menengah atas.

"Anak didikku kemarin tanding dapet 2 emas, 6 perak, dan 3 perunggu" ujarnya bangga. 

Sepertinya ia akan menekuni profesi melatih itu dalam waktu yang lama. Ia sepertinya memang berbakat melatih. Ia galak ketika melatih, tapi baik bagai saudara ketika latihan usai. Saya pernah melihat dengan mata kepala saya sendiri ketika ia menggembleng para juniornya. Ia galak dan tak segan menendang pantat para juniornya ketika mereka malas berlari untuk pemanasan. 

Saya bertanya apa ia tidak mau sekolah lagi. Ia menggeleng sembari ngakak, "gak kuat utekku cuk".

Bis menuju Jember datang. Kami saling tos dan berjanji akan jumpa lagi dalam waktu yang tak lama. Roda bis mulai berputar, bis berangkat. Kemudian Sidoarjo jauh  tertinggal di belakang...

Rabu, 13 Juni 2012

Kamu dan Lennon Kaliurang

Malam belum jua beranjak renta. Kita sedang duduk diatas motor yang aku lajukan dengan perlahan. Menuruni Jalan Kaliurang yang tampak romantis dengan suluh-suluh listrik di pinggir jalan yang temaram.

Dari kejauhan aku melihat bapak itu berjalan. Memakain ham bermotif warna-warni, celana bahan, dan sepatu pantofel. Ia menyandang gitar akustik tua dan sebuah harmonika usang. Dengan ciri seperti itu, susah untuk tidak mengenalinya. Beliau adalah pengamen yang biasa "konser" di sepanjang jalan Kaliurang. Beliau biasa memainkan lagu-lagu The Beatles. Jarang sekali pria berponi itu memainkan lagu selain dari Beatles.

Aku berhenti mendadak, mendapat ide spontan. Kamu bingung kenapa aku berhenti mendadak. Aku menghampiri pengamen dengan rambut poni helm itu, lalu bilang ke bapak itu “Pak, saya request lagu Beatles dong. Pacar saya suka Beatles”. 

Bapak itu tersenyum dan menyanggupi. Ia malah girang karena disewa secara privat. Kamu hanya bisa bengong. Baru bereaksi ketika aku tanya “Mau lagu apa sayang?”

“Michele” katamu perlahan. Sedikit tergagap karena terkejut dengan tindakan spontanku. Lalu senyummu mulai dibentangkan, bagai layar perahu yang baru saja menangkap angin. Terbentang lebar. Dan manis.

Lalu bapak yang memperkenalkan diri sebagai Peter Lennon itu mulai mendendangkan lagu “Michele”. Ia tak bernyanyi. Ia hanya memainkan gitar, lalu meniup harmonika. Lagunya terdengar begitu syahdu sekaligus riang. Kita tertawa-tawa sembari berpegangan tangan di pinggir jalan Kaliurang. Pogung hanya selemparan batu saja.




Kerlip lampu masih gemebyar. Sedang jalanan sudah mulai sepi. Beberapa pasang mata melihat kita dengan tatapan aneh. Tapi peduli setan. Saat ini dunia hanya milik kita bertiga: aku, kamu, dan pak Peter sebagai bintang tamu. Harus selalu ada pemakluman terhadap dua golongan orang: orang yang jatuh cinta dan orang yang sedang patah hati.

Lagu pertama akhirnya usai. Aku meminta lagu kedua. Ini juga rencana mendadak, karena awalnya kita bersepakat bahwa cukup 1 lagu saja yang kita minta.

Kali ini aku meminta lagu favoritmu, “Something”. Lagu ini adalah ode dari George Harrison untuk sang kekasih, Pattie Boyd. Lagu ini memang indah. Saking indahnya, kau tak kuat menopang kakimu sendiri. Kurasakan, kakimu gemetar. Aku tahu betul kau sedang merasakan bahagia yang meluap-luap. Di momen seperti ini, aku berujar pelan "ayo dansa". Tapi kamu menolak dengan malu-malu. Tak bisa dansa, katamu. Ya sudahlah. Toh aku juga hanya kenal joged dangdut sebelumnya.

Kau lantas menggamit tanganku, mengajakku duduk di atas trotoar  di depan sebuah toko yang sudah tutup. Kita bersama-sama menikmati kombinasi gitar dan harmonika yang terasa indah. Senyummu tak juga pudar. Malah semakin lebar. Wajahmu berhias semburat merah yang melintang, dari pipi kanan ke pipi kiri. Lalu ke seluruh wajahmu.

This is the sweetest moment I’ve ever had” ujarmu dengan mata yang berbinar menatapku. Duh, mata itu. Selepas lagu kedua usai, kita pun beranjak pergi setelah kita ngobrol sejenak dengan Pak Peter. Kita menuju gelaran jazz yang rutin diadakan tiap hari Senin. Sepanjang perjalanan menuju ke venue, pelukan makin terasa erat. Sambil sesekali diiringi tawa tersipu darimu.

Ah, ini Senin malam. Besok kamu pulang. Seketika, sesak meruap…

post-scriptum: Pak Peter berpesan "Semoga masih banyak anak muda lain yang tetap mendengar musik keren Beatles". Oh ya, beliau juga ada di Vimeohttp://vimeo.com/34494801

An Intimate Show: Pure Saturday – Grey Album


Beberapa hari lalu, saya mendapat assignment meliput konser Pure Saturday untuk sebuah majalah musik. Saya tak pernah mendengar Pure Saturday sebelumnya. Untung saya punya beberapa album Pure Saturday di folder komputer. Selain itu saya juga terbantu oleh diskusi bareng Fakhri Zakaria, hardcore fans dari Pure Saturday. Pria titisan Denny Sakrie ini banyak membantu saya dalam hal referensi tentang Pure Saturday. Tapi seperti sudah saya duga sebelumnya, hasil review konser ini terasa begitu garing. Tidak ada rasanya, anyep. Tapi setidaknya --bagi saya-- ini adalah pengalaman berharga: meliput konser band yang sama sekali asing dan menuliskannya. 

***

Konser Intim di Kota Berhati Nyaman

Yogyakarta sedang ditingkahi hujan gerimis pada Minggu malam (10/6). Tapi itu tak menghalangi para Pure People (sebutan untuk fans Pure Saturday) untuk berbondong-bondong datang ke Jogja National Museum. Iya, malam itu Pure Saturday mengadakan konser bertajuk "An Intimate Show: Pure Saturday – Grey Album". 

Konser ini diadakan sebagai rangkaian peluncuran album baru mereka, Grey. Yogyakarta menjadi kota kedua dalam rangkaian konser ini, setelah beberapa waktu silam Pure Saturday menggelar konser di Jakarta. Sesuai tajuknya, konser ini menjanjikan keintiman antara Pure Saturday dan penonton. Suasana intim ini juga tampak dari nihilnya panggung dan pembatas. Di bawah burung garuda besar, tampak set yang sederhana: peralatan band yang dialasi oleh karpet hitam. 

Sempat molor sekitar 1 jam dari jadwal yang sudah tertera, Iyo (vokal), Udhi (drum), Ade (bass), Arif dan Adhi (gitar), muncul diiringi tepuk tangan yang membahana. Tanpa basa-basi, mereka langsung memainkan "Horsemen" dari album terbaru mereka. Banyak penonton yang masih asing dengan lagu baru ini, membuat mereka hanya terdiam dan memotret. Setelah lagu pertama selesai, Iyo masih belum membuka percakapan. Lagu kedua dimainkan ,"Lighthouse" lalu dilanjut lagu ketiga, "Musim Berakhir". Beberapa penonton menggumam tentang Iyo yang tidak juga membuka percakapan.

"Wah, kok tidak ada basa-basinya sih? Padahal tajuknya konser intim" ujarnya khawatir.

Tapi kekhawatirannya kandas setelah lagu "Musim Berakhir" usai. Iyo akhirnya dengan muka cerah dan senyum terkembang menyapa penonton.

"Apa kabar Jogja? Sehat? Maaf tadi ditahan dulu, gak boleh ngomong sampai lagu ketiga selesai" ujar Iyo sembari tersenyum dan diikuti tawa dari penonton. 

"Ayo, jangan pada duduk aja. Maju ke depan juga boleh lho" lanjutnya sembari menunjuk penonton agar maju ke karpet merah yang memang disediakan untuk penonton yang lebih suka duduk lesehan. Mendengar himbauan Iyo, beberapa orang yang sebelumnya duduk di tribun menghambur menuju karpet.

Setelah pembukaan yang cukup hangat itu, lagu "Elora" dari album berjudul sama, dimainkan. Lagu ini berhasil memancing koor dari para penonton. Lalu menyusul "Coklat" yang juga makin berhasil menghangatkan penonton. Hanya dengan sedikit jeda untuk mengambil nafas, band yang terbentuk pada 1994 ini langsung menggeber "Awan", "Starlight", "Labirin" dan "Bangku Taman". Pada lagu "Bangku Taman", Udhi sepertinya bermain terlalu bersemangat, sampai-sampai stik drum terlepas dari tangannya hingga dua kali.

Selepas lagu "Bangku Taman" dimainkan, Iyo mengambil botol bir. Lalu berjalan ke arah penonton. "Mau?" tawarnya pada seorang penonton yang duduk lesehan. Sang penonton mengangguk. Iyo memberikan gelasnya, lalu menuangkan isinya untuk sang penonton yang beruntung itu. 





Suasana intim tak berhenti sampai disitu. Iyo lantas menyorongkan rokok sembari berceletuk "Mau rokok? Masa ngebir doang, ngerokok kagak". Penonton pun tertawa. Dari sini suasana intim jelas terbangun dengan sangat baik. Kekhawatiran para penonton tentang konser akan berjalan biasa dan tidak hangat, tidak terbukti. Pure Saturday bermain dengan lepas dan hangat. Mereka seakan bermain di depan kawan-kawan sendiri. Begitu intim.

"Oh ya, gitaris kami, Arief, sekarang merayakan ulang tahun perkawinan yang ke 5" kata Iyo. Para penonton pun bertepuk tangan. Arief tampak malu-malu dan mengucapkan terima kasih.

"Semoga makin langgeng. Dan semoga makin kuat di ranjang" tambah Iyo dengan nakal. Tawa pun membahana.

Lalu band indie darling ini kembali tancap gas. "Spoken" dan "Pagi" dilantunkan. “Harusnya ada mas Yockie yang ikut maenin lagu ini, sayang beliau gak bisa datang” kata Iyo sebelum lagu “Albatros" dimainkan.  Setelah itu konser terus berlanjut dengan "Buka" dan "To the Edge" yang dimainkan dengan prima. Iyo yang sedari tadi bergerak tiada henti, tak kehilangan energi untuk bernyanyi. Sedang personil lainnya berdiri anteng dan tidak banyak bergerak. Hanya sesekali ikut bernyanyi.

Selepas "To the Edge", Iyo sudah tampak ingin pamit. Usaha klasik yang jelas merupakan tanda agar para penonton berteriak encore. Berhasil. Para penonton tak rela konser berhenti, padahal sudah nyaris 2 jam Pure Saturday bernyanyi dan 15 lagu sudah terlantun. 

"Mau minta lagu apa lagi?" tanya Iyo. Para penonton berteriak meminta bermacam judul. Iyo mengangguk, lalu dimainkanlah "Kosong" yang mengundang histeria penonton. Nyaris tak ada yang tak ikut bernyanyi di lagu yang indah ini. Setelah itu, "Desire" dilantunkan. Dan penonton kembali terhanyut. Tampak pula beberapa pasang kekasih yang memegang tangan pasangannya dengan erat. 

"Terima kasih kalian sudah mau datang. Terima kasih ya. Ah, pamit lagi nih gue" ujar Iyo sembari tertawa. Penonton tahu bahwa konser belumlah akan usai. Akhirnya Pure Saturday memberi bonus, lagu ke 18 dan 19, "Gala" dan "Silence". Bahkan setelah lagu "Silence" selesai dikumandangkan, para penonton masih meneriakkan encore. Seakan tak rela band kesayangan mereka memungkasi konser.

"Duh, maaf ya. Arief harus ngejar kereta ke Bandung nih jam 11 malam nanti. Kalau ada dari kalian yang mau bonceng Arief ke stasiun, boleh tuh." kata Iyo. Penonton maklum. Konser ditutup oleh para setlist hunter yang berburu setlist dan tanda tangan para personil Pure Saturday. Konser yang dihadiri sekitar 200-an penonton itu pun berakhir tepat jam 22.30. Setelah 2,5 jam dan 19 lagu terlantun, meninggalkan raut puas di wajah para penonton. []

Kamis, 07 Juni 2012

Dialog Dini Hari dan Rumah



Dadang "Pohon Tua" Prananto adalah gitaris Navicula, band yang sering disebut sebagai The Last Grunge Gentlemen. Dia bermain gitar dengan garang, lengkap dengan rambut dread-nya yang berkibar gagah setiap kali ia menggoyangkan kepala. Walau saya tak begitu menyimak grunge dengan taat, saya tetap sesekali menyimak Navicula. Grunge mereka bukan grunge ala Nirvana yang --in my humble opinion-- gelap dan murung. Mereka lebih cenderung ke Pearl Jam yang walau bercerita tentang kemarahan dan kemuakan, tapi juga sering berkisah mengenai alam.

Dankie --panggilan akrab Dadang-- juga mendirikan sebuah kelompok folk bernama Dialog Dini Hari (DDH). Disana ia benar-benar menampilkan sisi yang berbeda. Ketika di Navicula ia begitu gahar, di DDH ia berlaku seperti Pohon Tua yang meneduhkan. Pula bijak bestari.

Lagu-lagu DDH memang representasi dari keteduhan pohon tua. Liriknya filosofis. Musiknya sederhana namun tepat guna. Seakan tak ada irama dan lirik yang tak perlu. DDH --dengan Dankie sebagai penulis lirik utama-- bercerita mengenai pagi, bumi yang semakin menua, pesan hati-hati di jalan, juga cerita mengenai rumah dan ibunda.

Kisah tentang ibunda jelas terangkum dalam lagu berjudul "Ku Kan Pulang". Ketika mendengar lagu itu, ingatan saya tak bisa menolak untuk diajak kembali pulang. Ke rumah kecil tempat saya tumbuh besar. Tempat mamak, perempuan terkasih yang melahirkan saya, bertambah ubannya setiap hari.

Dimana, di kamarnya, saya selalu menikmati beliau mengaji dengan suara pelan sehabis sholat subuh, dan saya terlelap lagi di sebelahnya. 

Dimana saya selalu dimasakkan masakan terenak di dunia ketika pulang. 

Dimana beliau tak pernah lelah mengomel, mengingatkan saya untuk sholat. 

Itu yang saya rindukan ketika saya jauh dari rumah. Dan mamak selalu paham bahwa lelaki harus pergi, jauh dari rumah. Agar lelaki itu bisa jadi lelaki yang diandalkan.

"Pergi jauh, jauh dari Jember. Dunia luas. Jangan di Jember saja" kata mamak suatu ketika.

Air mukanya perpaduan antara rasa pahit karena ia paham: kerelaan melepas anak lelakinya jauh dari rumah adalah suatu keharusan. Tapi ia juga pasti akan khawatir: akan tidur dimanakah anakku ketika malam datang, makan apakah ia, atau apakah ia tetap akan mengingat tuhan walau jauh dari rumah?

Lamakah aku pergi
Hingga tak sadar rambutmu makin memutih

Banyak waktuku yang terbuang rugi
Lamakah aku pergi
Hingga tak sadar beribu kisah ingin ku bagi

Berilah aku waktu sebentar lagi
Ku kan pulang
Pulang ke rumah
Berilah waktu
Sabar menunggu

Doamu slalu untukku
Slalu untukku, hingga kini ku tak ragu
Biarkanlah aku sujud di kakimu

Lukisanmu slalu indah
Seperti doamu
Sepanjang masa tak putus asa

Sementara waktu merubah kita
Sementara waktu merubah kita
Ku kan pulang

Pulang ke rumah
Berilah waktu
Sabar menunggu
Ku kan pulang
Pulang ke rumah
Bawa cerita
Indah Dunia

Dan semalam, saya seakan diingatkan akan hangatnya rumah oleh Dialog Dini Hari. Iya, semalam saya menonton mereka live di Pasar Festival. Di acara Radio Show. Bareng beberapa kawan lama: Lydoz, Fargie, dan Deedee. Juga Rani. Hujan baru saja tumpas. Hawa dingin. Aspal masih basah, di beberapa sudut masih tampak genangan air. Penampilan mereka sungguh sangat keren. Lagu-lagu macam "Pagi", "Satu Cinta" "Beranda Taman Hati", hingga lagu terakhir "Senandung Rindu"  (yang juga berkisah sekelebat tentang kerinduan akan rumah) dibawakan dengan nyaris sempurna. 

Para penonton yang hanya sejumput tampak begitu menikmati. Ketika lagu terakhir pungkas, penonton tak rela. Encore! Dan DDH mengabulkan permintaan sederhana itu: mereka memainkan "Renovasi Otak".  Penonton bertempik sorak. Ketika lagu itu selesai, encore masih terus berkumandang. Tapi Dankie menolak dengan halus.

"Kasihan yang udah mau pulang" katanya merujuk pada para pekerja acara itu yang sepertinya sudah mengantuk dan ingin segera mencecap hangatnya rumah 

Ah, rumah...