Minggu, 28 November 2010

Jember- Banyuwangi: Antara Pecel Garahan dan Bipang Cap Jangkar

Beberapa hari lalu saya pergi ke Banyuwangi. Kalau biasanya saya lebih suka naik motor, kali ini saya memilih naik kereta api.

Sudah lama juga saya tidak naik kereta api ke Banyuwangi. Terakhir itu ketika saya dan Ayos pergi ke Bali, lebih dari 1 tahun lalu.

Harga tiket kereta Jember- Banyuwangi sebesar 10.500 saja. Saya naik kereta Probowangi (Probolinggo- Banyuwangi) yang berangkat dari Jember jam 7.32 pagi (dan hari itu keretanya telat, jadi berangkat jam 9. Lagu Kereta Tiba Pukul Berapa ternyata masih relevan hingga sekarang). Sampai Banyuwangi sekitar 12.30, telat hampir 1 jam.

Ada banyak hal menyenangkan yang bisa dicatat dalam perjalanan menuju Banyuwangi dengan menggunakan kereta.

Yang pertama adalah tentu saja dua buah terowongan yang terletak di daerah Mrawan, perbatasan antara Jember dan Banyuwangi. Ada satu buah terowongan pendek, dan satu buah terowongan panjang. Dua-duanya dibangun pada tahun 1930-an. Hingga sekarang, ketika kereta melewati terowongan itu, sorak sorai anak-anak kecil masih lantang terdengar. Mereka terdengar begitu bahagia.

Lalu highlight kedua adalah nasi pecel Garahan. Garahan adalah sebuah daerah perbatasan Jember- Banyuwangi yang terkenal dengan pecel Garahan. Pecel ini dulu hanya dijajakan di stasiun Garahan. Belasan ibu-ibu biasanya menjunjung bakul berisi sayuran, nasi yang sudah dipincuk, dan bumbu pecel, berteriak-teriak keras menjajakan pecelnya. Harganya murah meriah, hanya 2500 saja, yang terdiri dari nasi, bumbu pecel yang rasanya manis pedas, sayuran, dan tahu serta tempe sebagai lauk.


Karena pecel Garahan ini semakin terkenal, maka makanan ini juga dijual di ruas jalan Garahan. Hingga muncul sebutan Garahan sebagai kampung pecel. Karena kereta yang saya naiki hanya terdiri dari 3 gerbong saja, maka pagi itu tak begitu banyak penjual pecel berseliweran. Coba kalau naik Sri Tanjung dari Banyuwangi menuju Jogja, penjualnya ada belasan, bahkan puluhan. Dan petugas kereta api pun sepertinya paham budaya jual beli nasi pecel ini. Jadinya kereta berhenti agak lama di stasiun ini.

Hal ketiga adalah Bipang Cap Jangkar. Bipang ini merupakan makanan klasik yang sangat terkenal. Terbuat dari beras dan gula, rasa legitnya membuat banyak orang ketagihan. Mamak saya sangat menggemari makanan ini, mengingatkan pada masa kecilnya, katanya. Harganya murah, hanya 1500 per buah, bahkan masih bisa lebih murah. Saya memberi uang 7000, mendapat 5 buah bipang. Rasanya menyenangkan melihat makanan klasik seperti ini masih ada, di kisaran harga yang murah pula.


Sepulang dari Banyuwangi, saya membelikan bipang untuk mamak saya. Seraya makan, ia terus bercerita mengenai kenangannya akan makanan ini.

Ia tampak bahagia sore itu.

Selasa, 23 November 2010

Tertanda: Tuhan



Tulisan yang terpampang jelas di pintu UKM saya ini ditulis oleh Rosi, salah seorang anggota Tegalboto. Rosi adalah manusia penghamba filsafat, yang terdiri dari setengah agnostik dan setengah atheis. Saat itu dia kesal karena tidak ada orang sama sekali di sekretariat. Jadinya dia iseng menuliskan pesan yang lantas ditempel di pintu. Guyonan sadis seperti ini merupakan hal yang lumrah di UKM kami. Kalau ingat tulisan ini lagi, saya kontan terkekeh pelan. Ngomong-ngomong, saya jadi kangen pria cabul penyuka kata kimpo itu.

Oh ya, gambar ini saya ambil tanggal 30 Desember 2009, jam 8.46 pagi. Rosi sendiri sekarang sedang berbahagia karena sudah bekerja sebagai tutor di sebuah lembaga bimbingan belajar , yang muridnya terdiri dari anak-anak SMA yang ranum :)

What a message! :)

Neng, Beli Vulsa-nya dong!


Gambar ini diambil Ayos ketika kami sedang di dalam angkot, dari hulu Citarum menuju Bandung kota. Perjalanan itu merupakan rangkaian dari perjalanan Wild Wild West, sebuah perjalanan melintasi dataran Jawa Barat. Di angkot ini, turut pula Maya Wuysang, seorang perempuan pecinta air terjun yang juga ikut sampai Curug Malela.

Teman-teman saya yang berdarah Sunda selalu menceritakan anekdot bahwa di tanah Sunda tak ada Permak Jeans, yang ada adalah Vermak Jeans. Pula, tak ada pesawat Foker, yang ada malah pesawat Poker. Sebaliknya, kalian tak akan bisa bermain poker, karena yang ada hanyalah permainan voker :)

Disadari atau tidak, disukai atau tidak, inilah yang membuat Indonesia begitu menarik untuk dijelajahi. Betapa ternyata Indonesia begitu kaya, termasuk kekayaan bahasa. Bahkan di pulau yang sama, ada berbagai bahasa dan ragam yang sangat berbeda satu sama lain. Itulah kenapa, saya ingin menjelajahi Indonesia dulu sebelum melangkahkan kaki keluar negeri.

Karena tak ada alasan untuk tidak mencintai Indonesia (Ayos Purwoaji, 2010)

Minggu, 21 November 2010

Magic Mushroom!*

Kalau kalian bosan makan rendang atau ayam goreng asam manis, bolehlah kalian mencoba varian lain dari dua menu itu: jamur.

Kalau biasanya yang direndang itu daging, yang dibikin asam manis itu ayam atau gurami, lalu yang dibikin sop itu ayam dan asparagus, lantas yang ditongseng itu daging kambing atau sapi, maka kalian harus mencoba makan di warung Jejamuran.

Warung ini terletak di daerah Pandowoharjo, Sleman. Saya mencobanya ketika sedang dalam perjalanan menuju Magelang. Warung ini kalau dari arah Yogya, ada di perempatan Beran Lor lalu belok kanan kira-kira 800 meter. Tak usah khawatir, ada plang besar yang menunjukkan lokasi warung ini.

Saya sendiri pergi ke warung ini bareng Ma'ruf, Maya, Yoga, Prima, dan Rusli.

Yang menarik dari warung ini adalah, warung ini juga berfungsi sebagai tempat edukasi bagi orang yang tertarik pada jamur. Di bagian belakang warung ini ada area yang dijadikan perkebunan jamur. Disana diperlihatkan berbagai jenis jamur, dari jamur tiram pink, jamur tiram, jamur lingzhie, sampai jamur shitake. Ada beberapa orang pemandu yang bisa menerangkan segala hal tentang jamur.

Siang makin panas, membuat perut makin keroncongan. Mari makan!

Saya memesan Jamur Asam Manis. Menu ini adalah berbagai jenis jamur yang digoreng garing lalu disiram dengan saus manis. Lalu ada irisan nanas, bawang bombay, cabe merah, dan potongan daun bawang pre.


Maya memesan jamur goreng tepung dan sop jamur. Sop ini adalah sop berkuah bening yang terdiri dari campuran jamur tremella, enoki, jamur merang, dan berbagai jenis sayuran sop.

Ma'ruf dan Yoga memesan jamur bakar pedas. Menu ini adalah jamur tiram yang dibakar dengan bumbu bakar pedas resep turunan sang pemilik warung.

Prima memesan Rendang Jamur. Masakan berwarna coklat tua ini adalah jamur champignon alias jamur kancing yang dimasak ala rendang.

Lalu Rusli memesan Tongseng Jamur, jamur merang yang dimasak tongseng.

Tak berapa lama kemudian, pesanan kami datang. Kami langsung makan dengan giras, layaknya orang barbar yang kelaparan.



Jamur asam manis rasanya lebih dominan manis, rawan bikin eneg sebenarnya. Cuman kalau dimakan bersama dengan nasi, rasa legitnya bisa bercampur dengan rasa nasi yang tawar, sehingga rasa manisnya bisa sedikit berkurang. Rasa nanasnya cukup memberikan aksen asam nan segar.

Yang patut dijadikan highlight adalah jamur bakar pedas. Saya tak tahu campuran bumbu apa yang dipakai, tapi rasa bumbu kacang yang pedas ini membuat lidah berjoged (pakai akhiran -d biar lebih mantap) gembira. Tekstur kacang yang masih sedikit kasar dan rasa pedas yang menggigit, begitu lezat. Tekstur jamur tiram yang kenyal malah membuat saya merasakan sedang menggigit daging sapi yang biar liat tapi tetap empuk.

Harga makanan di warung ini relatif terjangkau. Antara 6000-20.000 saja. Begitu pula harga minuman, antara 2000-10.000 saja.


Jadi kalau anda akan pergi ke daerah Magelang, tak ada salahnya mampir ke warung Jejamuran ini. Dijamin tidak menyesal.

Oh ya, saya merekomendasikan Jamur Bakar Pedasnya. Kalau kata Rusli, dia menyarankan Sate Jamur yang teksturnya hampir mirip daging. Lain kali kalau kesini lagi, saya akan mencoba sate jamur itu.

* Magic Mushroom (Psilocybin mushrooms) adalah jamur yang bila dimakan dapat menimbulkan halusinasi. Dulu juga saya pernah bikin lagu berjudul Magic Mushroom, yang sampai sekarang belum sempat direkam, dan liriknya hilang entah kemana. Dari dulu saya pengen makan magic mushroom ini, lantas ketika berhalusinasi saya akan menulis lirik. Siapa tahu jadi sekeren Purple Haze atau Stairway to Heaven. Sayang belum kesampaian hingga sekarang.

Bagaimana Jika Saya Adalah Orang Papua?


Bagaimana jika ternyata saya adalah orang Papua? Apakah anda tetap akan menyapa saya dengan sapaan sugeng enjing? Lalu bagaimana jika pembeli adalah orang Sulawesi? Masih tetap mau menyapa dengan sugeng siang? Kalau saya orang Aceh, apa anda akan menyapa dengan sugeng sonten?

Kalian pikir Indonesia itu hanya Jawa?

Kamis, 18 November 2010

Cak Kandar Behind the Steering Wheel

Kemaren malam saya baru datang dari Yogya dan memutuskan untuk tidur di sekret Tegalboto. Malam itu di sekret ada saya, Dhani, Arys, Didik, dan Cak Kandar. Sekitar jam setengah 1 dini hari, kami memutuskan untuk pergi makan di daerah Gladak Kembar, sekitar 2 km dari sekret.

"Saya ikut, saya takut. Sudah malam" tiba-tiba Cak Kandar memohon. Dia rupanya takut tidur sendiri malam itu, hehehe. Ya sudah, Ikutlah pria lucu itu bersama kami.

Semua menjadi tambah lucu ketika Didik melontarkan ide konyol. Cak Kandar disuruh nyetir motor sendiri. Rupanya Cak Kandar mendengar tantangan nyeleneh itu, dan sialnya dia menyanggupi, hahaha.

"Saya pernah naik sepeda motor kok. Anak (UKM) Reog saksinya" kata Cak Kandar berusaha meyakinkan kami.

Ya ya ya, akhirnya kami mengijinkan Cak Kandar untuk naik motor. Awalnya saya menyerahkan motor saya untuk dinaiki. Pertimbangannya adalah motor saya adalah motor yang paling jelek, jadi kalaupun nabrak, ya gak rugi-rugi amat. Eh ndilalah, Cak Kandar kesulitan naik motor saya, yang memang diperlukan keahlian khusus untuk mengidupkan dan mengendarainya, hehehe.

Akhirnya Cak Kandar mengendarai motor si Didik. Didik menjadi co-driver di belakang. Wajahnya tampak pias, was-was akan kematian yang seakan menguntit di belakang, hahaha.

Klak, bruummm, Cak Kandar menginjak persneling satu dan menarik gas motor. Motor melaju perlahan dan tersendat-sendat. Saya, Dhani, dan juga Arys tertawa sampai perut terasa sakit.

Tampang mereka bangga sekali karena bisa berfoto dengan Cak Kandar

Kombinasi antara muka Cak Kandar yang tegang, dan Didik yang pucat pasi ketakutan adalah satu hal yang menyenangkan untuk dilihat di pagi buta dan dalam kondisi kelaparan.

Akhirnya motor melaju perlahan dan selalu tersendat-sendat. Ketika mencapai gigi tiga, Cak Kandar langsung jumawa dan menyombongkan diri.

"Saya hebat ya, bisa sampe persneling tiga, hehehe" katanya sambil terkekeh. Saya kontan tertawa keras mendengarnya.

Seringai menjelang patah tulang



Saya sendiri sedikit keder karena harus beraksi layaknya pemain sirkus dari China. Tangan kanan memegang stir motor yang berjalan, dan tangan kiri harus menjepretkan kamera.

Tapi meski sudah dekat sekali dengan kematian --atau setidaknya dekat dengan memar dan patah tulang-- perjalanan kami berakhir dengan bahagia. Selamat sampai di sekret dengan perut kenyang, meski harus memaki karena 40 ribu melayang buat makan malam itu, sialan.

Tadi siang saya bercengkrama dengan Cak Kandar, ada Didik juga.

"Cak, kamu belajar naik motor itu kapan?" tanya saya.

"Anu, kelas 6 SD. Terakhir nyetir juga kelas segitu" jawabnya polos.

"Hahaha, asyuu, jancuk. Untung aku selamat kemarin" teriak Didik sedikit histeris.

Cak Kandar, you just made my day, hahaha :D

Selasa, 09 November 2010

Raja Hutan Bernama Sandy Macan

Kalau anda adalah anak umur 3 tahun, apa yang biasa anda lakukan? Palingan tak jauh dari bermain sepeda roda 4, makan permen, atau sesekali menangis ketika tidak dibelikan mainan. Lalu kenakalannya mungkin tak lebih dari memanjat pohon atau bermain ketika waktu tidur siang datang.

Dulu saya bukan balita yang pendiam. Mamak saya dulu sering cerita kalau sewaktu usia 3-4 tahun, saya dan kakak saya yang beda 1 tahun, setiap pagi selalu nangkring di depan rumah. Buat apa? Menggoda cewek kembar yang waktu itu sudah duduk di bangku SD. Kami selalu mencegat mereka dan kadang-kadang menarik rok merah mereka.

"Bu Akbar, ini lho Nuran sama Kiki" mereka selalu berteriak ketika saya dan kakak saya muncul di tengah jalan dengan coreng moreng bedak bayi. Baru ibu saya keluar dan menjadi malaikat penolong bagi gadis kembar bernama Dina Dini itu.

Dulu saya pikir saya adalah bocah ternakal di seluruh dunia. Setidaknya di seluruh Indonesia.

Sampai saya bertemu dengan pahlawan saya.

Yang membuat saya harus bertemu dengannya. Memeluknya . Membakarkan dupa, atau menyajikan sesajen. Karena bocah ini adalah bocah pahlawan bagi seluruh anak-anak yang memimpikan jadi preman suatu saat nanti (emang ada ya anak-anak yang ingin jadi preman?).

Sambutlah, SANDY MACAN! Atau kadang dia menyebut dirinya sebagai Sandy Wedhus (wedhus itu bahasa jawa untuk kambing.Hey Raditya Dika, get off, panggilan kambing lebih cocok buat Sandy).

Bocah ini melakukan semua kenakalan yang seharusnya hanya pantas dilakukan oleh orang dewasa. Mulai merokok, misuh, sampe memperagakan orang bersetubuh.




Gila!

Saya dapat video pertama Sandy dari Cempreng, adik angkatan saya semasa SMA dulu. Ketika dikasih link video ini, saya hampir mati tertawa di bilik warnet yang sepi. Saya cekikikan, seraya harus menahan tawa yang berakibat perut saya kram. Serius.

Di video yang sepertinya diambil di sebuah gudang ini, Sang raja macan ini menunjukkan kalau dia sebenarnya adalah bocah yang cerdas. Dia begitu paham cara berkomunikasi ala orang dewasa. Bagaimana cara merokok yang benar , memperagakan gerakan bercinta ala dewa, hingga bagaimana membuat kepulan bulat dari asap rokok. Sadis!

Video ini berdurasi 3 menit 28 detik, durasi yang cukup lama bagi Sandy untuk menggila. Opening scene-nya pun shocking. Seseorang menanyainya.

"Sandy lek gede dadi opo? (Sandy kalau besar jadi apa?)

"Maling"

"Dueke digawe opo? (Duitnya dibuat apa?)"

"Mbalon (Melacur)"

"Nangdi (Dimana?)"

"Ndek dolly (di Dolly)"

Di video legendaris ini pula, Sandy mengeluarkan banyak petuah yang akan selalu dikenang oleh para pengikutnya.

"Sik, tak entekno rokoke, tak enak-enakno (Tunggu, aku habiskan dulu rokoknya, aku enak-enakin)" ujarnya seraya duduk dengan satu kaki ditekuk dan menghembuskan asap rokok. Kalimat ini yang sekarang selalu digunakan teman-teman saya untuk menggambarkan bersantai. Lalu ada lagi.

"Sandy balita?"

"Bejat"

"Jangan di?"

"Tilu. Lambene lusak (mulutnya rusak)" jawabnya. Dia bahkan belum bisa melafalkan huruf R dengan benar. Tiru jadinya tiru.

Ada juga adegan dia yang menirukan macan. Sembari bergaya dengan mimik muka yang lucu, dia berkata "Aku yo, macan yo, medeni yo, eaaaaaaaa."

Tapi yang paling memorable adalah ketika dia bercerita kalau temannya yang bernama Keceng kenthu (bahasa jawa slang untuk bersetubuh) di pos.

"Keceng kenthu ndek pos maeng . (Keceng tadi bersetubuh di pos). Ambek aku tak seneni. Ojo kenthu ndek pos, timbang tak bedhil koen! (Aku marahin. Jangan bersetubuh di pos, daripada nanti kamu saya tembak!). Lek nyeluk aku, ampun boss, ampun boss (Kalau manggil aku, ampun boss). Ampun matamu iku a! Tak ngonokno ambek aku (ampun matamu itu! Aku gituin!)" katanya bersemangat.

Yang bikin saya ketawa ngakak adalah, Sandy mengucapkan semua dialognya dengan intonasi dan gestur tubuh yang meyakinkan saya kalau dia adalah orang dewasa yang terperangkap dalam tubuh anak-anak.

Scene akhir video ini adalah ketika Sandy mengeluarkan asap rokok berbentuk bundar sempurna dari bibirnya. Saya sering meledek teman-teman saya yang tidak bisa melakukan itu.

"Mending berhenti ngerokok aja, bikin bunder aja gak bisa. Malu sama Sandy!" Mampus, hahaha :D

Segera saja, video itu menyebar. Tak butuh waktu lama bagi Sandy untuk jadi selebritis dadakan. Hampir semua media besar mewawancarai bocah perokok ini. Beberapa orang bahkan ikut mendompleng "ketenaran" bocah ajaib ini. Ada beberapa keluarga yang bercerita pada awak berita kalau anaknya merokok.

Saya ingat, ada satu keluarga dari Sumatera yang mempunyai anak balita perokok. Ketika diwawancarai, ibunya menggunakan bedak tebal dan gincu yang berwarna merah darah. Tampaknya dia sudah bersiap untuk diwawancarai. Suck!

Dampak dari popularitas mendadak ini ternyata melanda Sandy. Pemerintah akhirnya "perduli" akan balita rock n roll ini. Sang raja wedhus ini akhirnya dipertemukan dengan psikolog anak yang tersohor itu. Berujung pada Sandy yang berucap "Jancuk koen! Cuih" sembari meludahi sang psikolog anak itu, hahaha. You are so fucking rock kid!

Akhirnya sang maharaja preman kota Malang itu dimasukkan ke dalam panti rehabilitasi. Sandy dikurung di dalam sebuah kamar. Hebatnya, bocah dengan pipi tembem ini berusaha kabur dengan meloncat keluar lewat jendela. Luar biasa! James Bond cilik! Sayang dia tertangkap, dan pelariannya gagal.

Saya sendiri rada sedikit miris melihat sang idola saya dikurung. Hey, dia hanya bocah! Seharusnya yang direhabilitasi adalah para orang dewasa yang mengajarinya banyak perbuatan gila itu. Sandy hanyalah balita yang sedang dalam fase imitasi, yang cenderung menirukan apa yang diucapkan oleh orang lain. Dan keputusan untuk memperlakukan Sandy seperti penyakitan adalah keputusan yang salah. Besar. Keputusan untuk merelokasi tempat tinggal Sandy itu sepertinya lebih tepat. Mempertemukannya dengan lingkungan baru yang lebih baik akan menjadikan Sandy tumbuh berkembang dengan baik. Sayang relokasi itu terbentur biaya. Ayahnya hanyalah seorang kuli (ada yang ngomong tukang parkir) dan ibunya adalah seorang buruh cuci. Kapan-kapan saya akan ngomong ke Mamak untuk mengadopsi bocah ini.

Tapi sepertinya terapi itu berhasil. Sandy sang preman Malang itu berhasil "dijadikan" sebagai anak kebanyakan. Meskipun beberapa kali celetukan nakal dan cerdasnya keluar. Saya sendiri tak banyak mengikuti berita junjungan saya itu.

Tak dinyana, Angga Nyen, teman saya yang pantas untuk jadi kakak kandung dari Sandy Macan ini mendapat kiriman video Sandy lagi. Saat itu sepertinya Sandy masih belum masuk panti rehabilitasi. Video ini masih jarang dipunyai orang. Akhirnya Nyen mengunggah video ini ke Youtube dan sampai saat ini udah dilihat hampir 8 ribu kali.

Uniknya, di video kedua ini, Sandy mengenakan baju yang sama dengan baju yang dipakainya di video pertama. Sepertinya baju itu adalah baju setan, seperti topeng hijau di film The Mask.

Video kedua ini berdurasi lebih panjang. 7 menit lebih. Di video yang diambil di daerah Pulosari ini, Sandy benar-benar membuktikan kalau dirinya adalah jagoan misuh. Perkawanannya dengan orang dewasa membuat dia menjadi dewasa sebelum berkembang. Banyak sekali stok omongan kasar dan jorok di video ini. Yang saya sayangkan adalah, Sandy tak lagi tampak lucu di mata saya. Ia menjadi sedikit mengerikan. Dengan pipi yang menjadi tirus ketimbang pertama kali saya melihatnya, ia sudah bukan lagi bocah chubby yang lucu.

Tapi dandanan dan cara ngomongnya masih membuat saya tertawa. Cara dia memakai topi terbalik, menyanyikan mars Arema, caranya misuh, hingga caranya melabrak orang yang melihatnya, sungguh membuat saya tertawa, meski tak sekeras tawa saya dulu.

Ibarat makanan, Sandy adalah caviar yang langka, mahal, dan nikmat. Tapi kalau dimakan terlalu sering akan membuat bosan. Tetap nikmat, tapi sensasinya tak seperti ketika dulu pertama kali mencoba.

Karena Sandy pula, saya jadi ingin pergi ke Malang, menemuinya, lalu berfoto bareng. Iya, saya memang mengidolakan bocah ini.

Untuk melihat video Sang Raja Hutan yang pertama, klik disini.

Untuk melihat video kedua Sang Inspirator Gang Macan ini, klik disini.



*Untuk Fakhri, iki utangku Jak. Ayo saiki giliranmu! Lek wani, lebokno Jakartabeat atau Rolling Stone, ben kowe dipecat, hahaha*

Tuhan Selalu Melindungi Hambanya Yang Traveling

Tuhan selalu punya cara yang misterius untuk membantu hambanya yang pergi traveling. Saya mengamini itu ketika mulai rutin traveling sejak kelas 2 SMP. Berkali-kali saya dibantu orang tak dikenal di jalan, ketika kehabisan uang, atau kelaparan. Saya percaya itu adalah perpanjangan tangan dari tuhan.

Yang paling bikin saya geleng-geleng kepala adalah pengalaman saya pergi ke Derawan, Kalimantan Timur. Saya memimpikan pergi ke pulau kecil dengan underwater view yang indah ini semenjak kelas 1 SMA. Semua karena saudara saya mengirimi saya foto pulau ini. Juga foto-foto Sangalaki dan Kakaban. Pantai dengan pasir putih, air laut yang biru nan bening, pemandangan bawah laut yang menakjubkan, angin laut yang sepoi, serta penduduk yang ramah. Apalagi yang bisa diimpikan oleh seorang pejalan pecinta pantai seperti saya?

Saya berusaha mengumpulkan uang setelah menerima foto itu. Apa saja saya kerjakan. Mulai dari mengamen, mengumpulkan botol dan koran bekas untuk dijual lagi, hingga mengerjakan penerjemahan lintas bahasa. Sayang, uang saya tak pernah cukup untuk pergi ke Derawan.

Hingga saya duduk di bangku kuliah, semester 5.

Ketika saya sudah mulai sedikit pesimis, saya mulai rajin sholat. Curhat dengan tuhan. Padahal saya bukanlah orang yang taat beragama. Doa saya Cuma satu waktu itu, “Tuhan, buatlah saya pergi ke Derawan. Aku tahu engkau ada dan selalu terjaga, meski kita tak pernah bersua. Maka tunjukkan kebesaranmu dengan membuatku pergi ke Derawan.”

Percaya atau tidak, beberapa hari kemudian, saudara saya yang ada di Berau tiba-tiba melontarkan ajakan pergi ke Derawan! Saya terkaget. Sedikit tak percaya. Tak ada angin, tak ada hujan, tiba-tiba ajakan ini terlontar. Ketika saya sudah mengusahakan segala cara semenjak SMA, dan diakhiri dengan doa.

Ketika mengiyakan ajakannya, beberapa hari kemudian, tiket pesawat Joga-Balikpapan-Berau sudah ditangan. Gila! Saya membayangkan perjalanan ke Kalimantan dengan naik kapal laut ekonomi bersama ribuan penumpang lainnya, terhimpit di dek, dan tidur berdesakan. Ini kok malah saya disuruh naik pesawat. Gila! Saya menggilakan situasi menyenangkan yang serba mendadak ini untuk kedua kalinya.

Keesokan siangnya saya sudah berada di Berau yang panas dan berangin kering itu. setelah bertemu saudara dan mengucap banyak terimakasih, saya pun beristirahat. Dua hari kemudian, barulah saya pergi ke Derawan. Kali ini saya ditemani Didi, anak buah saudara saya, untuk menemani ke Derawan. Saya sebenarnya agak malas, karena saya ingin menikmati Derawan sendirian saja.

Berdua kami pergi naik sepeda motor menuju Tanjung Batu, pelabuhan pintu masuk ke Derawan, sekitar 90 km dari Berau. Saya menikmati perjalanan ke Tanjung Batu, terutama karena aspal hot mix yang baru saja selesai. Dibangun karena beberapa waktu lalu PON diadakan di Kalimantan Timur.

Sesampainya di Tanjung Batu dan menitipkan motor, saya kebingungan karena ternyata tak ada transportasi massal untuk ke Derawan. Adanya speedboat yang waktu itu disewakan dengan tarif Rp. 300. 000.

Saat saya sedang kebingungan, tiba-tiba ada kapal nelayan yang sepertinya akan angkat sauh.
Setelah tanya-tanya ke nahkoda, ternyata nelayan itu pergi ke Derawan! Saya meminta izin untuk numpang. Tapi saya disuruh untuk meminta izin ke seorang laki-laki yang menyewa kapal itu. Ternyata pria berkacamata itu angkuh sekali. Dia bilang hanya akan memancing dan tidak pergi ke Derawan. Dia berbohong tentu saja. Dan dia melakukannya bahkan dengan tidak memandang muka saya sama sekali. Sialan.

Tak dinyana, tiba-tiba Didi dipanggil oleh seorang perempuan. Perempuan muda ini ternyata teman saudara saya, dan dia sudah tahu perihal kedatangan saya. Hanya saja ia tak tahu kalau saya pergi ke Derawan hari itu. setelah ngobrol sejenak, perempuan berkerudung coklat itu mengajak saya pergi ke Derawan bersama dia dan teman-temannya yang akan pergi memancing dan mampir ke Derawan. Yeah!

Tak disangka, ternyata pria angkuh berkacamata itu adalah teman sang perempuan muda itu. Lebih tepatnya: bawahan. Sekonyong-konyong iseng saya kumat.

“Loh mbak, tadi kata mas ini perahunya gak pergi ke Derawan” kata saya sambil menunjuk pria angkuh yang ternyata bukan boss itu.

Lelaki berkacamata itu hanya cengengesan saja. Saya malah tertawa dalam hati. Rasakan itu sok jagoan!

Cerita berikutnya adalah bagian senang-senang. Naik kapal kecil yang penuh canda tawa, menginap di bungalow murah meriah, snorkeling seharian, lantas dilanjut dengan bermain bersama anak-anak kecil di pulau itu, yang diakhiri dengan melihat senja di dermaga. Matahari yang memerah dan tergelincir perlahan itu menjadi saksi bisu betapa sempurnanya sore itu.








Gara-gara kesempurnaan itu, saya lupa diri. Bahkan saya tak mengucap syukur. Dan saya tidak sholat. Iya, saya tipikal manusia yang mengadu pada tuhan ketika susah, dan meninggalkanNya ketika senang datang.

Bisa jadi saya diberi pelajaran karena kebiasaan buruk itu.

Keesokan harinya, saya yang janjian numpang pulang bareng perempuan muda itu, bangun kesiangan. Mbak itu akhirnya pergi dengan rombongannya, meninggalkan saya dengan Didi. Karena kita beda bungalow, dan dia tak tahu dimana kami menginap, maka ia tak bisa mencari saya. Ditambah sinyal handphone yang jelek. Saya sih santai saja, berharap ada tumpangan menuju Tanjung Batu lagi.

Ternyata setelah menunggu hingga tengah hari, tak ada kapal nelayan yang berlayar ke Tanjung Batu. Saya mulai cemas. Akhirnya saya memutuskan untuk pulang dengan menyewa speed boat. Di dompet, uang saya tinggal RP. 280.000 saja. Dengan muka memelas, saya berhasil membuat iba sang pemilik kapal cepat itu. Maka saya menyewa speedboat-nya dengan harga Rp. 250.000 saja.

“Harga saudara mas, karena mas datang jauh-jauh dari Jawa” kata sang pemilik dengan ramah.

Pergi ke Derawan menjadi bukti bahwa tuhan bekerja dengan cara yang misterius. Saya sendiri masih tidak percaya saya bisa pergi kesana. Setelah dikalkulasi, ternyata biaya pergi kesana sangatlah besar untuk mahasiswa seperti saya. Dan saya bisa pergi kesana dengan cara yang terbilang ajaib. Tuhan telah mengabulkan doa saya melalui perpanjangan tangan saudara saya.

Tuhan juga menolong saya melalui Didi. Andaikan saya bersikeras untuk pergi ke Derawan sendirian, mungkin saya tidak akan berkenalan dengan perempuan muda yang mengajak saya naik kapalnya. Dan saya tak akan bisa pergi ke Derawan. Meski berakhir dengan mengeluarkan uang yang cukup banyak untuk menyewa kapal cepat, saya tak menyesal. Karena salah satu impian saya tercapai.

Ya, saya selalu percaya bahwa tuhan selalu melindungi hambanya yang pergi traveling. God save the traveler!

Terimakasih buat Om Awam dan Tante Fachriyah atas kedermawanannya, membayari saya untuk perjalanan ini :) Buat Kak Rizal juga untuk pinjaman kameranya, jadi momen hebat ini bisa terekam tak pernah mati *The Upstair mode: on!*

Sabtu, 06 November 2010

Cium Pantat Saya, Asisten Dosen!


we've got the right to choose and
there ain't no way we'll lose it
this is our life, this is our song
we'll fight the powers that be just,
don't pick our destiny 'cause
you don't know us, you don't belong

oh you're so condescending
your gall is never ending
we don't want nothin', not a thing from you
your life is trite and jaded
boring and confuscated
if that's your best, your best won't do

On your uniform
we're not gonna take it anymore

(Twisted Sister - We're Not Gonna Take It)

***

Sore tadi adik saya merengek minta diantar praktikum. Katanya sih minta berangkat jam 13.30 WIB. Okelah pikir saya, saya bisa rada santai setelah jumatan. Dari jam 13.00, hujan deras turun. Sangat deras, dan dibarengin petir, dhuar dhuar!

Menjelang keberangkatan, adik saya sudah siap, eh perut saya mulas. Kebelet mendadak.

"Bentar rin, aku mau beol dulu" kataku sembari rada panik.

"Duh kak, gak usah wis! Aku takut telat" kata adikku tak kalah panik.

"Halah, masa dosenmu gak bisa toleransi sih? Lagian masih hujan diluar" kata saya yang menahan mulas. Diluar tetep hujan. Dhuar dhuar, petir berbunyi kencang.

Dari dulu saya paling benci sama manusia yang tak kenal toleransi. Tak punya toleransi itu adalah ciri orang picik, ciri orang yang bisa membikin tekanan darah naik drastis seketika. Sayangnya, dosen yang berpendidikan itu, yang seharusnya menjunjung tinggi toleransi, ternyata ada saja yang tidak kenal kata toleransi. Jangkrik pokoknya! Saya punya beberapa ekor dosen yang tak kenal toleransi, dan mengingat mereka, saya ingin mencabuti bulu ketek mereka dengan dua keping uang logam.

"Ini bukan dosen kak" kata adikku. "Tapi asisten" sambungnya.

"Hah? Asisten dosen gitu maksudmu?" tanyaku.

"Iya, gak boleh telat. Kalo telat kena hukuman. Gak boleh masuk, denda 50. 000, ngerjain tugas, dan bla bla bla" kata adikku menjelaskan alasan kenapa ia takut terlambat praktikum.

Jancuk! Seketika saya langsung marah dan ngomel. Saya tahu tindakan ngomel tanpa juntrungan itu adalah tindakan bodoh. Tapi saya marah dan ngomel itu ada alasan jelas. Bayangkan, baru jadi asisten dosen aja udah songong, sengak, sok berkuasa, dan tak kenal toleransi. Apalagi kalau sudah jadi dosen. Apalagi kalau sudah jadi gubernur Sumatera Barat. Apalagi kalau sudah jadi anggota DPR. Apalagi kalau sudah jadi Presiden. Bisa-bisa kita protes, malah ditinggal ke Jerman. Bisa-bisa lihat tari perut di Yunani. Bisa-bisa pergi ke Vietnam buat makan Pho dan ngopi. Jancuk kali lah!

Yang bikin saya makin marah adalah ketika tahu bahwa para asisten itu berasal dari angkatan 2007. Iya, 2007! Baru juga kuliah 3 tahun udah sengak dan sok berkuasa. Saya yang angkatan 2005 dan sudah kuliah 5 tahun saja tak pernah sombong dan selalu rendah diri (entah saya harus bangga atau bersedih hati dengan masa studi itu :p)

Iya, saya tak tahu apakah peraturan telat berakibat denda, tak boleh masuk, dan bikin makalah itu berasal dari fakultas atau otoritas asisten. Saya juga tak perduli cuk. Tapi kebijakan idiot itu jelas membuat saya membenarkan satu fakta: kuliah di Indonesia itu menyedihkan. Disiplin sih boleh saja, asal logis su! Disiplin bukan berarti kita menihilkan arti kata toleransi kan? Tak heran kalau Dee Snider dan gerombolannya di Twisted Sister selalu mengolok-ngolok sekolahan dan guru kolot, serta mendorong para murid --dan para mahasiswa pasif nun gampang dijajah itu, iya kalian-- untuk berani kritis dan memberontak.

Selain di fakultas adik saya, di fakultas saya yang katanya penuh dengan dosen yang menyenangkan dan toleran, ternyata ada juga beberapa dosen busuk yang sepertinya anti toleransi. Seakan-akan dia hidup di hutan. Seperti dia tak pernah jadi mahasiswa saja.

Ah sudahlah, kalau dipikir-pikir buat apa juga saya ngomel. Ngabisin tenaga. Mending makan saja. Lagipula ayah saya juga ketawa-ketawa ketika melihat saya ngomel masalah kebijakan di fakultas adik saya. Maklum, almamaternya sih :p Kalau ternyata ayah saya pernah jadi asisten yang seperti itu, saya janji akan mencukur habis rambutnya biar kayak biksu shaolin. Sekalian jenggotnya ya yah? Daripada dikira FPI :p

Penutup:

Akhirnya saya mengantar adik saya dengan memakai jas hujan. Adik saya memakai jas hujan full body, jadi dia tidak basah. Sedang saya? Terpaksa memakai jas hujan kelelawar, dan basah di beberapa bagian. Jangkrik.

Pas saya jemput adik saya, dia cerita kalau ada temannya yang telat beberapa menit. Seperti yang sudah kita duga, dia tidak diperbolehkan masuk, harus membayar denda 50.000, dan mengerjakan setumpuk "konsekuensi" karena telat praktikum. Poor you kid. You should listen to this! Dan lagi, gara-gara ngantar si adik dan ngomel, saya gak jadi beol. Sialan.


Kamis, 04 November 2010

Artefak Kenangan Yang Menghabiskan Uang Jajan

Masih ada beberapa puluh kaset di kardus, saya malas mengeluarkannya

Saya ingat, kaset pertama yang saya punya adalah Pandawa Lima-nya Dewa 19. Album keempat Dewa 19 itu saya dapat di suatu sore, ketika saya keluar bareng ayah dan mamak. Sore itu tahun 1997, saya masih kelas 5 SD kalau tidak salah.

Saya memilih membeli album itu karena saat itu Dewa 19 adalah grup paling populer yang saya kenal. Dan saya jatuh cinta dengan lagu dan video klip Kirana yang sering berseliweran di TV. Saya berulang kali memutar kaset itu di walkman Sony butut milik saya. Hingga akhirnya kaset itu tewas karena terlalu sering diputar.

Lagu yang paling bikin saya jingkrak-jingkrak adalah Kamulah Satu-satunya. Kenangan melompat-lompat di atas kasur sembari ber-air guitar dengan mendengarkan Pandawa Lima di walkman membekas hingga sekarang.

Saya baru membeli kaset lagi beberapa tahun kemudian, sewaktu saya duduk di kelas 2 SMA. Album yang saya beli itu adalah album Greatest Hits-nya Motley Crue. Beberapa minggu sebelumnya, saya diwarisi beberapa kaset oleh om saya.

Sejak saat itu saya mulai suka membeli kaset bekas, mengkoleksinya, menikmat art work, hingga membaca thanks to. Setiap traveling, saya selalu mencari tempat yang menjual kaset bekas. Sampai saat ini, saya mempunyai dua tempat favorit untuk belanja kaset bekas. Satu di daerah Malioboro, Yogyakarta. Dan yang satu lagi ada di DU 68, Bandung.

Sebenarnya mengoleksi kaset bisa dibilang sangat-sangat ketinggalan jaman. Kalo anak gaul bilang "it's sooo last year dude!" . Apalagi peradaban purba di dunia musik ini sudah sekarat, menjelang kematian. Berbeda dengan piringan hitam yang masih terus berputar hingga abad i-tunes ini.

Apa menariknya kaset?

Tiap orang pasti punya jawaban berbeda. Tapi buat saya, saya menikmati keintiman ketika mendengarkan kaset melalui kaset. Rasanya menyenangkan ketika memencet tombol fast forward untuk sampai di track yang ingin kita dengarkan sekaligus melewati track yang tidak ingin kita dengarkan.

Selain itu, saya merasa dekat dengan band ketika melihat dan membaca liner notes yang ditulis oleh mereka. Terdengar lucu memang, tapi itu yang saya rasakan, hehehe.

Keintiman yang paling terasa adalah ketika kaset ngambek, alias mendem. Suara jadi berat, tak enak didengarkan. Saat itulah saya merawat kaset dengan syahdu dan tuma'ninah. Saya seperti merawat pacar sendiri :p Saya perlahan meneteskan alkohol ke bantalan gabus. Lalu memutarnya dengan jari perlahan. Lalu dicoba diputar lagi di tape, dan kalau berhasil, senangnya minta ampun.

Keintiman itu yang tidak saya dapat di piranti musik digital.

Nah, baru saja saya menengok kembali koleksi kaset yang saya simpan di kardus. Artefak masa remaja yang menyenangkan sekaligus menghabiskan uang jajan, hahaha :D Saya baru sadar semenjak memutuskan hidup diluar rumah, saya sudah lama tidak mendengarkan kaset-kaset ini. Pasti kalau sekarang didengarkan, suaranya akan mendem.

Koleksi saya memang tak banyak, hanya berkisar 300-an kaset saja. Beberapa belas kaset dipinjam teman, dan tak pernah balik hingga sekarang. Koleksi saya bertambah secara signifikan setelah merampok koleksi kaset milik mas Taufiq yang resmi tak pernah didengar olehnya, kalah bersaing dengan piringan hitam.

Karena itu pula, saya bertekad membersihkan lagi kaset-kaset yang mendem itu. Saya akan dengarkan satu persatu, dan sekalian akan saya review. Gerakan ini juga (maunya siih) menandingi gerakan spin the black circle-nya para pecinta piringan hitam, huehehe.

Just Push Play Baby!

Rumah Arjasa
Sembari mendengarkan The Black Crowes

Selasa, 02 November 2010

Penjara-Penjara

Bagi yang ada di Surabaya dan sekitarnya, monggo nonton Kompetisi Teater Indonesia (KTI) - Tribute to WS. Rendra. Teman saya, Halim Bahriz, akan menampilkan pertunjukan berjudul Penjara-Penjara, dari naskah yang ia buat dan disutradarai sendiri.

Acaranya akan diadakan di Taman Budaya Jatim/ Gedung Cak Durasim, tanggal 3 November 2010, pukul 21.00 WIB.

Be there or be spanked!

Senin, 01 November 2010

Nasi Goreng Tengah Malam

Kebiasaan para mahluk nokturnal seperti saya adalah kelaparan tengah malam. Padahal beberapa jam lalu, saya menyantap sepiring nasi lengkap dengan lauk sebagai makan malam. Belum lagi camilan ketela goreng. Eh, sekarang sudah lapar lagi.

Kebetulan, saya sekarang sedang membaca blog http://makanyuk.wordpress.com, sebuah blog milik Ari Margiono, seorang penikmat makanan dan pecinta kehidupan. Isi blognya yang bercerita mengenai ragam kuliner yang dia cicipi kontan membuat orkes keroncong di perut saya langsung beraksi.

Ya sudah, saya beristirahat sejenak duduk di depan komputer. Saya pergi ke dapur, mengobrak-obrak isi lemari es, dan resmi bingung mau masak apa, hahaha. Akhirnya saya memilih yang paling simpel: nasi goreng.

Nasi Goreng tengah malam ini rasanya pedas. Karena bumbunya saya buat dari campuran cabe rawit, bawang merah, bawang putih, dan terasi. Masih ditambah pula dengan irisan cabe rawit agar rasa pedasnya makin nampol. Saya memang pecinta makanan pedas. Bahkan beberapa saat lalu, nasi goreng pedas bikinan saya sukses membuat Nyen terpuruk di kloset sembari memaki tak ada juntrungannya.

Untuk penyedap, cukup diberi sedikit garam, kecap manis, dan vetsin (atau bisa diganti dengan gula pasir). Lalu sedikit tetesan saos raja rasa. Selesai!

Makin enak disantap hangat-hangat di tengah malam seperti ini, dengan taburan bawang goreng, telur asin, dan mentimun. Sayang tak ada persediaan tomat malam ini.



Mari makan!

Rumah Arjasa
Sembari menunggu seorang sampai di kosannya