Sabtu, 21 Juli 2012

Mix-tape: We're Not Hipster(s)!


Tak semua penulis di Jakartabeat adalah hipster dan elitis yang menyukai band-band yang namanya saja susah dihafal --apalagi dimengerti musiknya. Ada beberapa penulis yang suka dengan musik orang kebanyakan. Saya dan Fakhri Zakaria mungkin salah duanya.

Saya menggemari musik hair metal yang sempat menjadi perwakilan industri musik arus utama circa 80-an. Sedang Jaki --panggilan akrab Fakhri-- menggemari musik pop mainstream macam Padi atau Sheila on 7 dan juga indie pop macam Pure Saturday atau Bangkutaman.

Karena merasa memiliki kesamaan dalam hal menyukai musik arus utama, dan dengan sadar menolak tudingan hipster, kami berdua sepakat untuk berkolaborasi dalam menyusun mix-tape. Daftar lagu ini adalah heavy rotation kami belakangan. Ada 8 lagu yang kami susun, semua ghalib mengalun dalam pemutar musik kami: pagi siang malam. Penyusunan mix-tape ini sedang menjadi ritual rutin para penulis di Jakartabeat yang diusung dengan nama Occupy Jakartabeat.

“Gontai” - ROXX

Salah satu track heavy rotation sejak beberapa minggu lalu. Album self-titled Roxx memang begitu berbahaya. Nyaris tak ada komposisi yang tidak berhulu ledak tinggi. Salah satunya adalah track ini, one of my favourites. Bagi saya, struktur lagu ini begitu mirip dengan "Rocket Queen" kepunyaan Guns N' Roses. Yang sedikit berbeda mungkin kalau "Rocket Queen" bercerita mengenai hubungan pria dan wanita, lagu "Gontai" bercerita mengenai kisah segerombolan pemuda yang dianggap tak punya masa depan. Bagian awal bercerita tentang dunia yang "gelap". Lalu dipungkasi dengan lorong yang berakhir dengan cahaya terang di depan. Jikalau lagu "Rocket Queen" punya solo gitar penutup yang indah, Roxx pun demikian. Simak baik-baik solo gitar menjelang akhir lagu. Itu salah satu solo gitar terbaik musik rock Indonesia. (Nuran Wibisono)

“Neraka Jahanam” - Boomerang cover

Boomerang terkenal sering meng-cover lagu. Mulai "Neraka Jahanam" milik Duo Kribo, "Berita Cuaca" dari Gombloh, sampai "Kisah Seorang Pramuria" dari The Black Brothers dan "Hidupku Sunyi" punya The Mercys. Hebatnya, tidak ada yang mengecewakan. Dan "Neraka Jahanam" adalah yang terbaik. Kredit khusus untuk isian gitar dari gitaris mereka, John Paul Ivan. Sukses membuat lagu ini terdengar lebih seram. Lebih jahanam. (Fakhri Zakaria)

“Community Property” - Steel Panther

Tak disangsikan lagi, Steel Panther adalah band penerus kejayaan hair metal dari Sunset Strip yang disebut sebagai penerus kejayaan hair metal dari Hollywood, memegang tongkat estafet dari Motley Crue, Poison, dan juga Guns N' Roses.  Kuartet binal ini menyajikan musik metal dengan unsur bersenang-senang ala hair metal yang tak pernah lekang waktu. Album kedua mereka yang dirilis tahun 2009, Real Steel, mendapat sambutan meriah. Pada album itu, banyak musisi lain yang ikut berpartisipasi. Mulai Justin Hawkins dari The Darkness, M. Shadows dari Avenged Sevenfold, hingga Scott Ian dari Anthrax yang memainkan gitar di lagu "Asian Hooker". Sedangkan "Community Property" adalah lagu cinta (seharusnya saya memberikan tanda petik pada kata cinta) yang akan membuat kalian terbelalak, terutama yang mendefinisikan cinta sebagai puisi-puisi Kahlil Gibran. Dan kalian akan memaki setelah tahu apa yang dimaksud sebagai "community property" itu. (Nuran Wibisono)

“Gang Bang Glam Rock” - Sangkakala

Diambil dari EP mereka, Macanista, yang merupakan bootleg penampilan mereka di Taman Budaya Yogyakarta dua tahun silam. Lagu ini mengambil konsep kolase, dimana liriknya adalah gabungan dari beberapa lirik lagu band rock terkenal. Selain musiknya yang ngebut dan liar, percakapan absurd antara penonton dan orasi sang vokalis yang terekam dengan baik, membawa imajinasi kita mengembara. Seakan ikut dalam pesta panggung para macan di Yogyakarta yang penuh dengan baju atau celana loreng, rambut mullet, dan juga letusan kembang api. Meriah! (Nuran Wibisono)

“Mahadewi” - Padi

Mendengar lagu ini yang terbayang adalah sebuah band yang sudah mencapai kematangan dalam bermusik. Padahal ini adalah salah satu lagu dalam album debut sebuah band yang sebelumnya mengisi kompilasi bentukan salah satu label rekaman besar. Dari segi aransemen terlihat bagaimana Padi mampu memberi porsi seimbang untuk tiap personel. Namun alih-alih terlihat mendominasi, semua yang dikeluarkan terasa pas di telinga. Bagi saya, intro "Mahadewi" adalah salah satu intro terindah yang pernah saya dengar dari band/musisi Indonesia. (Fakhri Zakaria)

“Shadow Days” - John Mayer

Di album terbarunya, Born and Raised, John Mayer menampakkan dirinya yang seharusnya: seorang cowboy dari selatan Amerika yang tandus, lengkap dengan pengaruh musik dari Bob Dylan, Neil Young, atau David Crosby. Ia tak perlu lagi jadi playboy bermulut besar yang melemparkan kalimat flirting: your body is a wonderland. Kalau dulu ia bisa membuat para perempuan menjerit karena lirik lagu menggoda dan tatapan genit, sekarang pada "Shadow Days" ia bisa membuat perempuan --atau bahkan kaum lelaki-- meleleh dengan musik yang sederhana tapi mengena dengan lick blues sendu, tatapan sentimentil, plus rambut gondrong dan jaket jeans belel-nya. (Nuran Wibisono)

“Brilliant 3 X” - Sheila On 7

Diambil dari Pejantan Tangguh, album eksperimental unit pop asal Yogyakarta ini. Sheila On 7 menumpahkan seluruh energinya dalam lagu berdurasi empat menit dua puluh satu detik ini. Sebuah pencapaian maksimal dalam karier musikal mereka. Lagu ini jadi kuncian segala kegilaan dan keliaran yang ada di album keempat dalam diskografi mereka. Sulit rasanya untuk menemukan lagu semacam ini lagi dalam katalog Sheila On 7 berikutnya. Brilliant! (Fakhri Zakaria)

“Kalian Dengarkan Keluhanku” - Ebiet G. Ade

Isu kehidupan kaum akar rumput selalu berhasil menjadi lirik penuh racun. Ada yang menelanjanginya secara blak-blakan seperti Iwan Fals, atau secara elegan. Nama Ebiet G. Ade menempati formasi yang disebut terakhir. Kalian Dengar Keluhanku berhasil memotret problem mantan pesakitan yang berusaha menghidupi anak istrinya. Dihadirkan dengan cara nan sophisticated lewat paduan aransemen dan pemilihan lirik berbahasa Indonesia yang manis namun menggigit. Saya gatal untuk mengutip nukilannya disini. (Fakhri Zakaria)

Apakah buku diri ini selalu hitam pekat?
Apakah dalam sejarah orang mesti jadi pahlawan?
Sedang Tuhan di atas sana tak pernah menghukum
dengan sinar mata-Nya yang lebih tajam dari matahari

Selasa, 17 Juli 2012

Le, Le, Selo Tenan Uripmu


Selain masa SMA, masa kuliah adalah masa yang bakal kita kenang seumur hidup. Terlalu banyak kenangan yang tercecer pada masa itu. Apalagi jika kamu adalah tipe mahasiswa seperti saya, yang merasa kalau menjadi mahasiswa 3,5 tahun itu kurang syip, harus minimal 5 tahun. Kalau di SMA punya waktu 3 tahun untuk kegiatan selo, maka di masa kuliah saya menghabiskan waktu nyaris 6 tahun (5 tahun 11 bulan) untuk melakukan kegiatan selo.

Baidewai, apa itu selo? Saya dengar istilah itu dari kawan-kawan yang berdomisili di Jawa Tengah. Mungkin plesetan dari slow, yang artinya pelan, yang kalau diejawantahkan (selo tenan bahasaku) jadi santai. Waktu bersantai itu yang lantas digunakan untuk melakukan hal-hal yang seringkali dianggap tidak penting. Tapi, kegiatan tidak penting itu yang bikin kita terkenang. Apalagi ketika umur sudah semakin merayap naik, dan tak ada lagi waktu untuk berselo ria.

Kemarin, Awe, si Raja Selo, menuliskan kisahnya tentang 5 kegiatan selo semasa mahasiswa. Lalu diikuti Tuki dan Jaki. Maka saya pun tak mau kalah dong. Jadi ini dia kegiatan selo saya semasa mahasiswa.

1. Ngajarin anak-anak SD lagu Black Dog pas KKN

Kalau ingatan belum berkarat, saya menempuh KKN ini saat semester 8. Saya ditempatkan di desa bernama Pocangan, sebuah desa terpencil di perbatasan Jember-Bondowoso. Selayaknya mahasiswa KKN, harus ada program dong. Saya bingung mau bikin program apa waktu itu. Akhirnya larinya ke program standar: mengajar bahasa Inggris. Tapi saya cengo, karena ternyata anak-anak SD disana sama sekali belum bisa bahasa asing itu sama sekali. Bahkan anak kelas 6 pun tidak bisa bahasa Inggris dasar seperti angka atau warna. Di hari pertama saya ngajar, anak kelas 6 SD disana berkelahi dalam kelas. Ampun mak.

Hari berikutnya saya ngajar anak kelas 3. Suntuk karena jam pelajaran masih lama, saya iseng nanya lagu-lagu apa yang mereka suka. Jawabannya standar, band-band melayu yang lagi ngetren waktu itu. Lalu selo saya kumat. Saya ambil kapur, lalu menuliskan lirik awal Black Dog-nya Led Zeppelin. Saya  ajak mereka bernyanyi. Kawan-kawan saya yang ikut menemani hanya bisa bengong. Murid-murid saya juga awalnya bengong. Tapi akhirnya mereka ikut bernyanyi dengan semangat.

Kelas saya akhiri lebih cepat. Kemana? Belajar bareng? Salah besar. Saya ajak mereka ke sungai, mandi dan mancing. Selo tenan cuk. Oh ya, yang bikin saya terharu, beberapa hari setelah adegan selo itu, saya sedang berada di dalam kamar. Ada seorang anak melintas sembari bernyanyi pelan "hey hey mama, said the way you move..." Iya, anak yang tak bisa bahasa Inggris itu bahkan masih ingat lagu Black Dog, hehehe.

2. Nonton Skid Row di Malang 

Ini benar-benar selo tingkat dewa. Waktu itu masih masa aktif kuliah. Saya denger kabar kalau Log Zhelebour sang dermawan rock itu mengadakan konser Skid Row di Malang yang harga tiketnya cuma Rp.25.000. Saya dan Taufik langsung bersorak. Dua anggota pathetic four lain, Alfien dan Budi tak tahu siapa itu Skid Row, tapi saya paksa supaya mau ikut, akhirnya ikut. 

Anggota haji hair metal ada 6: Saya, Taufik, dan Koko yang tahu dan menggemari Skid Row. Serta Alfien, Budi, dan Hadi yang sama sekali tak tahu Skid Row. Kami harus menggelandang, ditilang polisi, hujan-hujanan, dan banyak cerita bodoh lain. Tapi semua kegiatan selo itu berakhir happy ending. Saya berdiri hanya beberapa meter dari Skid Row, salah satu band favorit saya sepanjang masa. Berkaca-kaca ketika Scotti Hill memainkan intro 18 and Life, bernyanyi bersama ketika I Remember You dilantunkan, dan berteriak-teriak sembari mengacungkan tangan ke udara ketika Youth Gone Wild dimainkan sebagai lagu terakhir. Selo rock n roll! 

3. Naik motor di Taman Nasional Bali Barat di malam hari

Miko adalah salah satu partner hidup saya yang orangnya sangat selo. Saya cocok berpartner dengan dia, karena sama-sama selo. Salah satu contoh brengseknya ya ketika kami pergi ke Bali.

Miko: Jam piro enake budal?
Saya: Isuk cuk, jam 9
Miko: Oyi wis!

...

Jam 12 siang saya baru bangun tidur karena kecapekan seusai merampungkan kerjaan. Miko? Dia jam 2 siang masih pontang-panting ngurus birokrasi KKN. Saya ke kosannya yang apak itu jam 3 sore. Dia dapat telpon dari pacarnya. Sebut saja namanya Ahmad (bukan nama sebenarnya).

Miko: Hah? Sekarang kamu milih siapa?! Aku atau dia?

Ternyata pacarnya ngaku di telpon kalau dia suka sama cowok lain. Bajingan tenan pacare iku, hahaha. Miko kalut. Saya ketawa ngakak. Akhirnya jam 4 sore kami baru berangkat. Dari sini masalahnya dimulai. Spion kami tidak standar. Kami takut bakal ditilang di Gilimanuk. Akhirnya ganti spion dulu di bengkel. Baru beberapa ratus meter berjalan, hujan deras mengguyur Jember. Sangat deras, hingga jarak pandang hanya sekitar 2 meter saja. Kami sempat berteduh. Tapi karena lama, akhirnya kami memutuskan terus berangkat. Selo tenan cuuk. Iya, kami hujan-hujanan sampai Banyuwangi. 

Ketika sampai di Gilimanuk, waktu sudah menunjukkan jam 9 malam. Mampus pikir saya. Taman Nasional Bali Barat terkenal tanpa lampu, gelap gulita. Kami ditawari menginap di kantor petugas pelabuhan. Tapi karena selo, kami menolak dan memutuskan terus berjalan. Uasu. Dan ya, TNBB itu bener-bener gelap. Sepanjang perjalanan, hanya ada motor kami di atas trotoar. 

Selo kami berakhir sampai disana? Enggak. Di sepanjang perjalanan saya mengompori Miko untuk memutuskan pacarnya. Dia terlihat merenung. Esok malamnya kami ngebir di Kuta. Saudara saya membawakan wine sebagai asupan tambahan, Miko pun minum dengan senang. Ia tipsy. Saya terus mengompori dia buat putus. Akhirnya, sekitar jam 5 subuh, di kamar saudara saya, diantara kantuk saya mendengar Miko bercakap.

Miko: Kamu milih siapa, aku ato dia? (dan sepertinya si pacar milih dia)
Miko: Kamu goblok, bla bla bla (lalu Miko ngoceh, sepertinya masih ada sisa alkohol semalam)
Miko: Ya udah, kita putus!

Telpon lalu ditutup. Saya tersenyum. Miko benar-benar lelaki!

4. Keluar dari rumah gara-gara pengen gondrong, dan tinggal di Tegalboto

Saat itu keinginan saya menggelegak, ingin gondrong. Tapi karena mamak tidak membolehkan orang gondrong tinggal di rumahnya, maka saya memutuskan untuk keluar dari rumah, yang otomatis saya harus bisa cari duit sendiri untuk bertahan hidup. Saat itu, kalau tidak salah, tahun 2007. Saya lantas memutuskan untuk tinggal di rumah om. Setahun saya disana, saya bermasalah dengan penjaga rumahnya dan memutuskan untuk hijrah ke tempat lain.

Akhirnya saya tinggal di Tegalboto, sekretariat pers mahasiswa Universitas Jember. Saya anggap itu rumah kedua saya. Disana saya menjalani periode keseloan saya. Mulai ngobrol ngalor ngidul sampe pagi, tidur setelah adzan subuh memanggil, bangun jam 11 siang, langsung ngopi sampe sore, sore ngobrol ngalor ngidul lagi, cari duit dari translate dan nulis, nemenin Dhani curhat sembari melihat dia menggosokkan minyak kayu putih, bertukar celana dalam dengan penghuni Tegalboto, kuliah gak pernah mandi, ditegur guru besar kampus karena kuliah pake celana robek-robek dan sandal jepit, bikin lagu gak jelas bareng Romdhi, dengerin Romdhi ngoceh, ngomongin seks bareng Rosi, dengerin Dyah curhat, nemenin Dyah ke masjid buat sholat subuh padahal saya gak sholat, matikan lampu kamar mandi pas Miko boker, nyanyi gak jelas bareng Erik si anak Batak, ngerjain asistennya Romdhi sampe nangis, ngerjain Cak Kandar sampe mabuk dan tidur di dekat tempat sampah, nyemplungin mas Widi ke kolam ikan yang penuh air kencing, masak di depan sekret, ngecengin anak basket, sampe nonton bokep bareng. Duh, selo tenan!

5. Jadi panitia Sastra Basket Ball Championship

Seumur-umur saya jarang olahraga, apalagi tergabung dalam UKM Olahraga. Tapi karena kawan akrab saya, Budi, jadi ketua umum saat itu, saya mau lah bantu-bantu sedikit. Salah satu acara terselo yang kami adakan adalah Sastra Basket Ball Championship. Gimana gak selo, cakupan kejuaran ini adalah eks Karisidenan Besuki, yang meliputi Jember, Lumajang, Banyuwangi, sampe Probolinggo. Sedang panitia hanya 12 orang. Itupun yang aktif hanya segelintir orang.

Karena kota yang banyak, saya dan Budi memecah panitia ke dalam tim kecil untuk mengantar undangan ke sekolah-sekolah. Satu tim berisi dua orang. Kota tujuannya di lotere. Saya dan Budi harus pergi ke Banyuwangi naik motor. Kena tilang pula. Juancuk.

Ketika acara dimulai, kami memang keteteran. Tapi kami menikmati betul. Saya membawa tenda dari rumah. Setiap acara selesai, kami bermain basket dulu. Yang kalah harus push up. Lalu setelah itu kami tidur dalam tenda yang didirikan di tengah lapangan. Bangun pagi, tanpa mandi kami langsung ngopi di warung Mak sembari menggoda para mahasiswi Farmasi yang melintas. Siang kami mulai mengurus persiapan lomba. Selama nyaris 10 hari kami tak masuk kuliah, benar-benar ngurus lomba bersejarah ini. Ketika malam penutupan, kami party dong... dengan teh botol sisa jualan. Esok malamnya kami langsung ke Bali buat PKL. Selo tenan cuk.

Kamis, 12 Juli 2012

In Search of Schnitzel in Sumber Hidangan

Susy Guese sedang pening. Penulis dari Lonely Planet ini  mendapatkan tugas yang teramat sulit: mencari Wiener Schnitzel terbaik di Austria.

"In search of schnitzel in Vienna, it’s a tough job but someone has to do it" ujarnya bersaksi.

Dia tidak sedang membual atau omong besar. Mencari Wiener Schnitzel terbaik di Austria sama saja dengan mencari jarum di tumpukan jerami: nyaris mustahil. Sama seperti kalau kamu pergi ke Madura dan mencari Soto Madura mana yang terbaik.

Wiener Schnitzel memang sudah menjadi makanan rakyat bagi orang Austria, terutama Wina. Jika diterjemahkan secara harfiah, Wiener Schnitzel adalah schnitzel orang Wina. Meskipun, masih ada perdebatan panjang nan tak kunjung usai mengenai asal mula makanan ini.

William Harlan Hale dalam buku Horizon Cookbook dan Illustrated History of Eating and Drinking Throught the Ages, menjelaskan bahwa Wiener Schnitzel adalah turunan dari makanan khas Italia, Cotoletta Milanese, daging yang dibalur dengan tepung dan digoreng hingga berwarna coklat keemasan. Makanan ini jadi populer di Austria saat Roman Apicus, pimpinan tentara Romawi saat itu, menginvasi Austria. Tapi beberapa literatur --seperti buku masak klasik Gebachene Schnitzeln-- juga mengatakan, daging goreng berbalut tepung itu sudah jamak ditemukan di khazanah kuliner bangsawan Austria sejak jaman baheula.

Hingga sekarang, perdebatan panjang mengenai asal muasal Wiener Schnitzel masih berlangsung dan sepertinya memang tak bakal usai.

Tapi apakah sebenarnya schnitzel itu?

Situs mengenai sejarah masakan, kitchenproject.com, menjelaskan bahwa definisi kasar schnitzel adalah "...a thin crumbed slice of veal (usually 3 to 6 ounces) fried in oil and served with lemon, and often ligonberry jam and Erdapfel potato salad (German Potato Salad) Pomme Frits (French Fries) or boiled potatoes with parsley and butter."

Tapi lain lubuk lain belalang. Begitu pula schnitzel. Makanan ini berdiaspora ke daerah lain dan mewujud dalam bentuk yang berbagai jenis pula. Jika biasanya schnitzel menggunakan daging sapi, sekarang ada pula yang memakai daging ayam, babi, hingga kalkun. 

Susy sendiri yang harus belusukan ke Austria untuk mencari schnitzel terbaik, menjelaskan terma konvensional tentang schnitzel, dimana makanan tradisional kebanggaan Austria ini adalah daging sapi muda yang diiris tipis, dicelupkan ke telur, lalu di balur dengan tepung. Beberapa di beri penyelesaian akhir berupa pembaluran tepung roti, sehingga warna golden brown semakin terang terlihat. Lantas daging sapi goreng ini diperasi air lemon. Sesederhana itu.

***

Bandung sedang terik siang itu. Saya baru saja memarkir motor di sebuah tempat parkir liar di sudut Braga, kawasan tersohor di Bandung yang berisi banyak galeri kesenian dan juga restoran klasik. Saya sedang bersama Rani siang itu. Usai menaruh helm, kami berdua menyusuri Braga yang tak pernah sepi itu.

Kami begitu penasaran dengan Sumber Hidangan, sebuah rumah makan yang sudah berdiri semenjak tahun 1929. Rumah makan itu konon menyajikan berbagai penganan klasik yang namanya pun masih klasik. Dan yang tak kalah menarik, ada wiener schnitzel yang menurut kabar angin, rasanya sungguh lezat dan harganya pun bersaudara --jauh lebih murah ketimbang harga yang bersahabat.

Sebelumnya, saya sudah puas mengejek Rani habis-habisan. Ia pernah menghabiskan sebagian masa hidup di Bandung dalam kurun yang cukup lama. Tapi ia sama sekali tak pernah mendengar nama Sumber Hidangan, apalagi masuk ke dalamnya. 

Tak cukup jauh saya berjalan, sampailah kami pada rumah makan yang dituju. Letaknya di kiri jalan kalau kau melangkahkan kaki melawan arus jalan. Tak tampak plang penanda rumah makan. Hanya ada seorang penjual lukisan kaki lima, dan juga penjual koran. Mereka berbincang di depan restoran yang catnya sudah lapuk dan kelabu itu.

Tanpa perlu menunggu waktu lama, saya masuk ke dalam gedung luas itu. Ada beberapa meja dan kursi klasik yang ditata agak berjauhan. Sedang lampu-lampu dari jaman pra-kemerdekaan menggantung bebas dari atap. Di sudut yang lain, tampak lumut berwarna hijau hasil dari kelembaban yang sudah ada semenjak lama.





Restoran ini dibagi dalam dua bagian. Bagian pertama adalah bagian roti, dan bagian lainnya adalah tempat untuk bersantap. Di bagian pertama, ada jejeran roti penggugah selera yang dipajang dalam lemari kaca. Nama-namanya unik, beberapa masih menggunakan nama Belanda. Harganya sungguh sangat murah untuk ukuran restoran yang sudah berumur lebih dari 10 windu. Untuk bagian bersantap, tersedia beberapa pasang meja dan kursi yang terbuat dari besi.

Sumber Hidangan tampak cukup ramai siang itu, tapi tidak di bagian restoran. Hanya ada saya dan Rani, juga sepasang opa-oma berumur kisaran 70 tahunan. Selain itu nihil. Segera setelah duduk, seorang pria paruh baya berkumis dan berkacamata menghampiri kami. Namanya Anton. 

"Nama udara saya Setioko" ujarnya pendek sembari tersenyum.

Di paruh waktunya, ia bercuap-cuap di sebuah radio khusus memutarkan lagu-lagu Campursari. Ia memang berasal dari Jogja, tepatnya di daerah Gunung Kidul. Ia hijrah dari sana karena Gunung Kindul saat itu sedang tandus dan tak memberinya harapan apa-apa. Maka ke Bandung ia pergi dan menetap hingga kini.

"Para pelayan di sini memang durasi kerjanya lama. Saya sih baru 20 tahunan. Ada yang dari muda hingga meninggal tetap kerja disini" katanya sembari menyerahkan selembar menu. 

Kertas menunya bukan jenis menu ala restoran modern yang di tata dan dibuat sedemikiran rupa. Menu di restoran ini hanya selembar kertas lusuh dengan laminating yang ujungnya sudah mulai mengelupas. Tak ada visual menarik, tak ada gambar berbagai jenis makanan yang menerbitkan liur, tak ada pula font yang mencolok mata dan berbentuk indah. Semua diatur dengan sederhana.

Saya memesan seporsi wiener schnitzel lengkap. Harganya tak sampai Rp.30.000. Sedang Rani memesan seporsi bestik sapi komplit. Harganya Rp.25.000. Untuk minum, saya memesan menu yang bernama aneh: Fosco Susu. Saya berjudi. Sedang Rani menunjukkan tabiat sebagai mantan warga penghuni tanah Sunda, memesan teh tawar hangat. Fosco Susu datang mirip seperti milkshake coklat. Rupanya memang tak jauh berbeda. Fosco ternyata adalah susu yang dicampur dengan es krim rasa cokelat. Kalau Fosco soda, es krim akan dicampur dengan soda, bukan susu. Lain kali saya akan mencoba itu.





Selain menjual menu yang kami pesan, Sumber Hidangan juga memberikan beberapa alternatif menu. Dari yang halal hingga yang haram. Mulai nasi goreng, hingga gado-gado. Dari Sate sapi hingga sate babi. Selain itu, berbagai varian es krim turut menggoda genit. Dari jenis arben hingga moorkus. Semua dijual --sekali lagi-- dengan harga yang bersaudara kental. Saya lantas membandingkan harga es krim disini dengan harga es krim di Tip Top, rumah es krim klasik di Jogja, yang harganya pernah membuat saya meringis sambil menengok pedih ke dalam dompet.

Selagi menunggu pesanan, saya berkeliling sejenak. Memesan beberapa roti. Sayang, kroket legendaris Sumber Hidangan sudah ludes sejak beberapa jam lalu. Sepertinya terlalu siang saya datang.

Pesanan datang, saya bersorak gembira. Seporsi Wiener Schnitzel datang dengan tampilan yang menggiurkan. Daging sapi berukuran tebal nun besar, dibalut dengan tepung roti, lantas digoreng hingga berwarna coklat keemasan. Bentuk wiener di rumah makan ini tebal, tak seperti wiener di daratan Eropa yang diiris tipis dan memanjang. Pun tak ada irisan lemon untuk disiramkan.

Wiener Schnitzel Lezat Itu

Tak hanya daging sapi, ada pula selembar telur mata sapi yang ditumpangkan ke atas daging. Untuk yang khawatir tak akan kenyang jika tidak makan dengan nasi, jangan takut, ada potongan potato wedges dalam jumlah yang generous sebagai asupan karbohidrat. Cukup membuat kenyang. Selain itu juga ada pasukan sayur segar: selada, tomat, timut, dan buncis. Semua kombinasi itu lantas diikat dengan saus home-made berwarna coklat tua yang beraksen manis. Resep makanan ini konon masih sama dengan resep dari tahun 1929.

Daging sapinya mungkin bukan daging sapi muda, seperti yang diisyaratkan oleh warga Austria. Terlihat dari serat yang cukup pekat dan erat, yang memerlukan sedikit perlawanan untuk melumatnya. Tapi dagingnya lembut. Baluran tepung roti menghasilkan tekstur crunchy di luar, dan juicy di dalam. Sausnya memberikan nuansa yang menyenangkan: manis dan gurih. Tak perlu saus botol sebagai penambah rasa. Kalau ingin sedikit pedas, silahkan taburkan merica bubuk yang juga turut disediakan. Sayang, menurut saya, sausnya kurang kental. Sedikit terlalu cair untuk ukuran saus.

***

Susy melakukan beberapa riset panjang dan berliku untuk menemukan restoran mana yang menyajikan wiener schnitzel terbaik di Austria. Tapi tanpa dinyana, masakan schnitzel terbaik ia temukan di tempat yang tak pernah ia duga.

Karena lelah dan kedinginan, serta lapar yang menjulur, ia pergi ke sebuah restoran bernama Zur Goldenen Glocke. Ia hanya sekedar pergi tanpa ekspektasi apapun. Alasan ia pergi kesana adalah karena restoran itu dekat dengan hotelnya dan mereka menyajikan schnietzel.

Disana ia menemukan suasana Austria yang sesungguhnya. Tempatnya tenang, menu makanan adalah makanan tradisional Austria, dan bahan-bahannya berasal dari petani lokal. Selain itu sang juru masak sering keluar dapur untuk menemui tamunya dan bertanya apakah masakannya memuaskan atau tidak. Perpaduan antara atmosfir dan schnitzel yang sedap, membuatnya menobatkan Zur Goldenen Glocke sebagai restoran terbaik untuk urusan schnitzel.

"The quality of veal was apparent, along with the breading. Not greasy or overly puffy, this Wiener Schnitzel and its atmosphere were just right" tulisnya pada artikel berjudul In Search of Schnitzel in Vienna --yang judulnya saya comot dan modifikasi untuk tulisan ini.

Ia jelas terkejut. Ia sudah pernah menunggu antrian meja hingga 4 hari di sebuah restoran untuk mencicipi menu schnitzel yang konon paling lezat seantero Austria. Tapi ia menemukan schnitzel terbaik di sebuah restoran kecil berumur tua (berdiri sejak tahun 1886) yang sama sekali luput dari risetnya.

"However, after such careful research, I would have to say it was the corner restaurant, the one I didn’t know or plan on that served up the best Wiener Schnitzel, from atmosphere to taste"

Siapa juga yang menyangka, di Bandung, di sebuah restoran yang jauh dari konsep modern, di restoran yang dindingnya berlumut,  yang menyajikan menu dalam sebuah kertas lusuh, terdapat Wiener Schnitzel terbaik yang mungkin pernah ada. []

Rabu, 11 Juli 2012

Blow My Fuse: Cerita Tentang KIX


Beberapa band memang ditakdirkan untuk memulai dari bawah dulu sebelum jadi raja di atas, lalu kemudian untuk kembali terjun ke bawah lagi.

KIX adalah salah satunya.

Band asal Maryland ini dibentuk jauh sebelum era hair metal menggurita. Tahun 1977, Ronnie Younkins (gitar) danDonnie Purnell (bassist) membentuk band yang dipengaruhi oleh band-band hard rock macam  AC/DC, Led Zeppelin dan KISS. Personil bertambah ketika Brian Forsythe, seorang gitaris terhebat di daerah Hagerstown, ikut bergabung. Donnie Spence turut serta untuk menggebuk drum. Namun rumah Spence yang jauh harus membuat Ronnie menjemputnya setiap latihan akan dimulai.

"Sial memang, dia tidak punya kendaraan, jadi kami harus menjemputnya tiap hari untuk latihan" kenang Ronnie.

Steve Whiteman, seorang drummer yang juga jago bernyanyi, dilirik untuk menjadi vokalis. Spence sebenarnya juga mahir bernyanyi. Tapi setelah beberapa kali latihan, diputuskan Steve yang akan mengisi departemen vokal. Steve Whiteman sebenarnya sudah sering manggung bersama band lamanya. Tapi Ronnie yang mencium adanya takdir pada diri Steve, terus membujuk Steve untuk bergabung.

Saat itu, tengah malam, selepas Steve manggung, Ronnie mengajaknya ke mobil. Gitaris berambut gondrong itu lantas memutarkan demo tape band-nya. Maka takdir pun  berlanjut. Steve tertarik dan keesokan harinya ia pindah menuju Hagerstown, kota kecil tempat domisili Ronnie dan Donnie. Mereka lantas menamakan diri mereka sebagai The Shooze.

Setelah beberapa kali latihan, Spence dirasa tidak cocok dan mengundurkan diri dari band. Posisinya digantikan oleh Jimmy Chalfant, penggebuk drum dari berbagai band yang malang melintang di Maryland.

Saat itu akhir tahun 1979. Gelombang hair metal belum juga tampak. Di Los Angeles, beberapa orang mulai bersekutu dan membentuk banyak band yang manggung di bar-bar kecil seputaran Sunset Strip. Di Maryland, cikal bakal KIX pun tumbuh berkecambah.

Lineup klasik mereka adalah Steve Whiteman (vokal), Ronnie Younkins (gitar), Brian Forsythe (gitar), Donnie Purnell (bass, keyboard), dan Jimmy Chalfant. Mereka sempat mengganti nama menjadi The Generators sebelum akhirnya mendapat inspirasi dari sebuah produk sereal dan mengganti nama mereka menjadi KIX.



KIX sendiri mulai rutin manggung di gigs kecil seputaran Maryland. Meskipun kecil, tapi jadwal mereka padat. Enam hari dalam seminggu. Mereka perlahan membentuk fan base loyal. Live show mereka jarang sepi. Mereka sempat dijuluki "Best Live Band Ever" oleh publik Maryland, karena penampilan live mereka yang energik dan meledak-ledak.

Reputasi mereka lantas di dengar oleh beberapa label rekaman. Akhirnya mereka berlabuh di Atlantic Records pada tahun 1980. Tahun 1981 mereka merilis album debut self titled berisi 9 lagu. Ada lagu yang pertama kali dibuat, "Atomic Bomb", lagu rock klasik bernuansa elektronik "Heartache" hingga "Yeah, Yeah, Yeah" yang megah dan tak pernah gagal memancing sing along di setiap konser KIX. Album debut ini lumayan berhasil mengangkat nama KIX.

Saat itu  1981, sumbu hair metal telah dinyalakan dan siap meledak. KIX menjadi hulu ledak bersama Motley Crue yang merilis Too Fast For Love, Night Ranger yang juga melepas album debutnya Dawn Patrol, dan pahlawan hair metal Hanoi Rocks merilis album debut mereka Bangkok Shocks, Saigon Shakes, Hanoi Rocks

Saat itu nama-nama yang kelak meraksasa di skena Hair Metal seperti Ratt, Poison, atau bahkan Guns n Roses, belum merilis album. 

Pada tahun 1982, KIX mengalami goncangan awal. Ronnie, pendiri band ini, dipecat karena ketergantungan narkoba. Ia digantikan oleh Brad Divens. Pada masa ini, KIX merilis album kedua, Cool Kid, tahun 1983. Album ini lebih sukses secara komersial ketimbang album pertama. Beberapa lagu yang menjadi terkenal adalah "Body Talk" yang masih terpengaruh musik elektronik, dimana ketukan drum dan synth terdengar sangat kental di sekujur lagu; "Mighty Mouth" yang kencang dan menunjukan kedigdayaan vokal Steve; hingga ballad romantis berjudul "For Shame".

Tahun 1985 album ketiga KIX berjudul Midnite Dynamite dirilis. Tahun ini juga jadi penanda menderasnya arus hair metal. Nama-nama baru bermunculan di skena hair metal. Mulai Ratt, Warrant, Winger, hingga cikal bakal band-band seperti Cinderella atau Guns N Roses.

Album Midnite Dynamite ini secara musikalitas cenderung lebih pop. Mungkin itu pengaruh dari produser Beau Hill, yang juga turut membidani kelahiran abum-album Ratt dan juga Warrant. Tapi album ini juga masih menyimpan lagu-lagu berdaya ledak tinggi. Simak saja lagu bernuansa funk "Cold Shower" yang lengkap dengan betotan bass Donnie yang yahud; atau "Midnite Dynamite" yang kencang dan dengan segera menjadi lagu klasik di arena rock.

***



Hair metal dengan segera melesat cepat. Tahun 1986 menjadi era dimana banyak band hair metal merilis album debut. Sebut saja Poison --yang merupakan definisi sempurna tentang apa itu hair metal/glam rock-- yang merilis Look What the Cat Dragged In hingga Cinderella yang merilis Night Songs. Pada tahun yang sama, Europe merilis album terbaik dan tersuksesnya, The Final Countdown. Bon Jovi juga merilis album Slippery When Wet yang dengan jumawa memuncaki tangga album Billboard selama 8 minggu dan berhasil terjual sebanyak 12 juta kopi.

Saat itu pula, merebak kejumudan temporer hair metal. Formula musiknya sudah pasti. Dalam satu album hair metal, pasti ada setidaknya satu lagu ballad. Para label rekaman pun memaksa para band hair metal itu untuk membuat lagu ballad untuk dijadikan bahan jualan. Tak terkecuali KIX.

Setelah bertapa nyaris selama 3 tahun, KIX akhirnya merilis album yang kelak disebut sebagai mahakarya, Blow My Fuse. Ada 10 lagu dalam album ini, nyaris semua setara kualitasnya. Album ini bisa disandingkan dengan Dr. Feelgood atau Appetite for Destruction sebagai salah satu warisan terbaik era hair metal.

Sesuai dengan formula yang dicetuskan oleh label, album ini terkenal berkat lagu ballad berjudul "Don't Close Your Eyes". Video lagu itu begitu sering wara-wiri di MTV dan juga memuncaki beberapa tangga lagu di Amerika.

"Awalnya orang-orang yang aku kenal terus berteriak histeris, 'kamu ada di MTV', seperti itu berulang kali. Lalu tanpa pernah kami sadari, lagu itu menadi besar. Album itu laku 500.000 kopi, lalu berlanjut, lagi, dan lagi. Yeah, itu lagu hit. Lagu yang menyentuh banyak orang. Saat itu ada banyak anak muda yang depresi, dan lagu itu seperti menyemangati mereka untuk keluar dari depresi. Lagu yang bagus memang bisa melakukan itu" ujar Ronnie pada suatu wawancara pada tahun 2008.

"Don't Close Your Eyes" berkisah mengenai anak muda korban dari rumah tangga orang tua yang berantakan. Donnie menceritakan kisah yang menyayat: your mama can't solve your problem/ when's daddy ever get home?. Lalu sekaligus menguatkan anak muda yang ingin bunuh diri itu: hold on/ hold on tight// I'll make everything alright// Wake up don't go to sleep/ I'll pray the lord your soul to keep.

Tapi Blow My Fuse bukan sekedar tentang lagu ballad. Ada single rock terbesar mereka, "Cold Blood", sebuah lagu yang kalau diputar akan membuat darah menggelegak dan adrenaline terpacu kencang. Video klipnya begitu gahar. Seorang perempuan seksi yang meliuk-liuk binal, biker botak berwajah angker, punker dengan rambut tegak berdiri, bir, asap rokok, dan KIX yang sedang berada di panggung: menghentak!

Juga ada "Blow My Fuse", "She Dropped Me the Bomb" hingga "Dirty Boys" yang meledak-ledak. Semua lagu ini lantas menjadikan KIX raja di skena hair metal, bersanding dengan nama-nama legendaris lainnya.

***

Tahun 1991, dagangan bernama hair metal mulai diturunkan dari etalase toko label rekaman. Ada dagangan lain yang lebih menjual: grunge. Semua dagangan yang tak laku lantas dibuang ke gudang dan membusuk disana. Tapi KIX masih terus bertahan walau sedikit kesusahan.

Mereka merilis Hot Wire, album kelima mereka pada tahun 1991. Sebenarnya ada beberapa lagu bagus seperti "Hot Wire", "Girl Money" "Pants on Fire (Liar, Liar)" hingga ballad "Tear Down the Walls". Situs Allmusic pun memberikan bintang 4 untuk album ini.

"After the final mixes were put to bed, it was clear that the band had emerged with what proved to be by far their best sounding record ever. From album opener "Hot Wire" through "Hee Bee Jee Bee Crush," it's clear that Whiteman and company's confidence level had never been better." tulis John Franck, sang kritikus tersohor itu.

Tapi sekali lagi, pasar tak menghendaki barang lama seperti hair metal. "The band puts in a valiant effort but unfortunately sounds completely outdated" sambung Franck. Iya, hair metal sudah tak laku lagi. 

KIX masih terus melawan. Mereka merilis Show Business pada tahun 1995, hanya untuk menemukan kenyataan bahwa era hair metal sudah berakhir dan album itu adalah sebuah kegagalan

Setelah hiatus semenjak tahun 1995, KIX sekarang sedang bereuni dan menikmati kembali masa-masa merintis karir dari awal lagi. Mereka manggung dari bar satu ke bar lain. Menjadi band underdog ternyata begitu menyenangkan bagi mereka. Walau begitu, sesekali mereka main di panggung besar dan menikmati ribuan pasang mata yang menyorot mereka, sejenak mengenang masa keemasan mereka. Seperti beberapa saat lalu ketika mereka manggung di Monster of Rock. Mereka masih menunjukkan kenapa mereka pernah dijuluki live band terbaik. Energi mereka masih meluap-luap.

Ya, ada band yang ditakdirkan harus merangkak dari bawah, jadi raja, untuk kemudian merosot turun ke bawah lagi. Sebagian besar berhenti di bawah, sebagian kecil lainnya berusaha untuk naik lagi, walau tak berkeinginan untuk memuncakinya lagi.

 KIX adalah satu dari sebagian kecil itu...

Jumat, 06 Juli 2012

Sangkakala dan Macanista

“Di Indonesia, orang jarang memperhatikan kostum untuk dijadikan sebuah penawaran sebuah band. Orang lebih mengutamakan audio. Makanya kenapa akhirnya kita berdandan, karena kita juga mengutamakan visual. Karena kita orang visual, orang seni rupa. Jadi kita bisa mencocokkan muka, pakaian, sama aksi di atas panggung. Jadi kita punya nilai tawar. Band itu adalah sebuah bentuk seni rupa. Kita menamakannya audio rock fashion show” kata Blangkon pada saya, di malam yang baru saja dimulai.

Blangkon adalah nama panggilan untuk Hendra Priyadhanie, vokalis band glam rock asal Yogyakarta, Sangkakala. Ia memang pantas menyandang gelar sebagai aktivis glam rock di Jogja. Bersama Sangkakala, band yang ia bentuk pada tahun 2004 dengan kompatriotnya Rudi Atjeh, ia berkali-kali menggagas acara bermisi glam rock revival. 

Pada tahun 2010, di helatan Jogja Biennale X, Sangkakala membuat sebuah proyek bernama Macanista Art Project. Proyek ini terdiri dari beberapa kegiatan "gila" macam  klinik musik glam rock, hair styling ala glam rock, memodifikasi kostum, dan dipungkasi dengan konser mereka. Di proyek itu, jelas ada ambisi Sangkakala untuk mengenalkan kembali glam rock pada masyarakat. Sebelumnya, ketika masih baru dirintis, Sangkalala mewajibkan penontonnya untuk berdandan dan bergaya ala glam rock.

"Kalau gak mau dandan, kita suruh bayar" kata Blangkon sambil tertawa kecil.

Sangkakala memang sadar pentingnya visual untuk mengimbangi audio.

***



Saya menyayangkan ketiadaan kesempatan untuk menyaksikan tampilan live mereka yang konon sangat meriah. Bertaburan joke gila, aksesoris panggung edan macam sepeda motor yang dibawa ke panggung, dan tentu juga kemeriahan dari kembang api. Sayangnya, saya hanya pernah sekali melihat live concert mereka pada acara seminar yang diadakan Rolling Stone Indonesia di UGM beberapa tahun lalu. Itupun di dalam ruangan. Tak mungkin menyulut kembang api dalam ruangan kan?

Tapi saya bisa membayangkan kegilaan konser Sangkakala dari album EP Sangkakala bertajuk Macanista. Album ini adalah bootleg dari konser mereka yang diadakan di Taman Budaya Yogyakarta, 2 tahun silam. Album ini bisa diunduh gratis di situs Yes No Wave.

Ada 6 lagu dalam EP ini. Dibuka oleh track instrumental bertajuk "Into The Row", lalu berlanjut ke "Rock Live at Roller Coaster" dan dipungkasi dengan lagu "Tong Setan" versi karaoke. Track favorit saya adalah "Gang Bang Glam Rock". Di lagu ini, saya bisa membayangkan puncak keriuhan konser Sangkakala. Lengkap dengan celetukan asal bunyi yang memancing tawa.

"Selamat datang kembali buat Sangkakala yang akhirnya kembali main di Yogyakarta lagi" Blangkon berorasi membuka lagu itu.

"Mas mas, jaket-e piroan? (mas mas, jaketnya berapa harganya?)" celetuk seorang penonton. Di bagian ini saya ngakak.

Tapi Blangkon cuek. Dia terus melanjutkan orasinya.

"Karena mayoritas temen-temen dari Indonesia sering ke luar negeri, maka kita berusaha speak england in this song" lanjutnya.

Suara gitar lantas berkumandang gahar. Maka melantunlah lagu yang konsepnya adalah kolase dari lirik-lirik glam rock terkenal. Karena itu judul lagunya adalah "Gang Bang Glam Rock".

"Bang-bang, bensinnya udah dicampurin nih, langsung di gas saja tong setannya mas" teriak seseorang meminta lagu "Tong Setan" seusai lagu berjudul "Hotel Berhala" selesai dimainkan.

"Tong Setan iki wis dimainke ping papat, genep wis, lagune 10, Tong Setan-e ping papat (Tong Setan ini sudah dimainkan empat kali, genap sudah, lagunya --dalam konser-- 10, Tong Setan dimainkan empat kali" ujar Blangkon sembari disambut gelak tawa penonton. Sangkakala saat itu memang tak punya stok lagu yang banyak, jadilah Tong Setan dimainkan sampai 4 kali.

Ketika akhirnya usai, para penonton masih tak puas dan meminta encore. Tapi seseorang --yang saya yakin dia pasti dalam pengaruh alkohol-- nyeletuk dan membuat saya kembali tertawa keras.

"Demi tuhan! Hentikan acara ini! Demi tuhan, hentikan acara ini!" []

post-scriptum: EP Macanista bisa diunduh di sini. Jangan salahkan saya kalau kamu jadi ikut cinta glam rock!

Selasa, 03 Juli 2012

Tentang 5 Lagu Untuk Melamar Pasangan

Pernah pada suatu masa, saya dan beberapa orang kawan, begitu bangga menyandang julukan "macan". Dimana ungkapan itu digunakan untuk menggambarkan hidup kami yang bebas, tak mau terikat, dan uhm... liar. Kami begitu jumawa, menasbihkan diri sebagai macan yang berpetualang kemana saja, dan gerak kami selalu diikuti dengan kerling mata perempuan yang menyiratkan rasa penasaran dan juga... hasrat yang berkobar.

Tapi semua lantas berubah --setidaknya bagi saya-- sejak salah satu kawan akrab menjadi seorang bapak. Saya tak pernah lupa sorot matanya yang begitu bahagia, hidupnya seakan sudah sempurna dan selesai, kala ia menggendong sang buah hati. Menciumi pipinya, dan mengajaknya ngobrol meskipun sang anak baru berumur beberapa bulan.

Saat itu lantas saya sadar, bahwa terkadang momen seorang pria menjadi benar-benar pria adalah ketika ia berani meninggalkan zona nyaman penuh kebebasan, lantas memutuskan untuk menikah dan berkeluarga. Tak lagi menjadi macan yang berpetualang kesana kemari dan menorehkan luka bagi sesiapa yang berharap terlalu banyak. Iya, dalam hal ini, menjadi pria sejati adalah ketika berani melamar sang wanita dan memintanya menjadi teman hidup.

Untuk itu, saya sudah menyiapkan lima lagu kala kelak melamar wanita idaman saya dan memintanya untuk jadi ibu dari anak-anak saya. Ini dia lagu-lagu itu.

1. The Beatles - When I'm Sixty Four


The Beatles selalu menjadi jaminan mutu untuk rayuan yang berkelas dan nyaris tak pernah gagal. Ada banyak lagu yang bisa dijadikan soundtrack untuk pujaan hati. Dari banyak lagu itu, saya memilih lagu ini karena beberapa alasan. Yang pertama, lagu ini begitu romantis sekaligus ceria dan humoris. Membayangkan kita berumur 64, telat pulang, dan sang istri ngambek tak mau membukakan pintu untuk kita. Kurang romantis sekaligus humoris apa lagi? Tak ada wanita yang tak meleleh ketika diajak hidup bersama hingga tua,  hingga berumur64, atau bahkan lebih panjang. 

Lalu harapan untuk tua bersama, itu sungguh sangat manis. The Beatles menyajikan bentuk cinta sederhana yang tak muluk-muluk dan tak perlu mengobral janji macam "akan kuberikan bintang untukmu" atau "kudaki gunung kusebrangi lautan demi kamu". Cukup ajakan untuk hidup bersama dan menjalani semua bersama-sama. Bersepeda bersama di hari minggu, berkebun, atau bermain bersama cucu. 

When I get older losing my hair,
Many years from now,
Will you still be sending me a valentine
Birthday greetings bottle of wine?

If I'd been out till quarter to three
Would you lock the door,
Will you still need me, will you still feed me,
When I'm sixty-four?

oo oo oo oo oo oo oo oooo
You'll be older too, (ah ah ah ah ah)
And if you say the word,
I could stay with you.

I could be handy mending a fuse
When your lights have gone.
You can knit a sweater by the fireside
Sunday mornings go for a ride.

Doing the garden, digging the weeds,
Who could ask for more?
Will you still need me, will you still feed me,
When I'm sixty-four?

Every summer we can rent a cottage
In the Isle of Wight, if it's not too dear
We shall scrimp and save
Grandchildren on your knee
Vera, Chuck, and Dave

Send me a postcard, drop me a line,
Stating point of view.
Indicate precisely what you mean to say
Yours sincerely, Wasting Away.

Give me your answer, fill in a form
Mine for evermore
Will you still need me, will you still feed me,
When I'm sixty-four?

2. Neil Young - Harvest Moon


Pria Kanada ini memang terkenal membawakan musik yang sederhana, hanya berbekal gitar bolong dan sebatang harmonika. Bajunya pun seringkali hanya flannel lusuh. Tapi jangan salah, musiknya bisa berbicara banyak. Ia juga bisa sangat romantis. Untuk yang satu itu, percayakan pada lagu Harvest Moon.

Sama seperti lagu di urutan pertama tadi, Harvest Moon bercerita mengenai kisah kasih yang sederhana dan tak menuntut apa-apa. Tidak sepatu mahal, tidak pula baju gemerlap, pun makanan di restoran mahal. Hanya perlu berdansa di luar, di bawah bulan purnama, saat masa panen tiba. Sembari berucap, "I'm still in love with you, on this harvest moon". Young juga menceritakan proses hubungan yang alami. Ketika masih belum kenal, hanya bisa menyaksikan dari jauh. Dan ketika sudah bersama, maka "I loved you with all my heart."

Saya selalu berangan punya kebun kecil di samping rumah kayu saya. Menanam tomat, bawang, cabai, bahkan oregano dan basil. Lalu saya membayangkan berdansa dengan pasangan saya ketika kebun panen, setelah itu kami memasak bersama dan makan malam di kebun. Sepertinya menarik :)

Come a little bit closer
Hear what I have to say
Just like children sleepin'
We could dream this night away.

But there's a full moon risin'
Let's go dancin' in the light
We know where the music's playin'
Let's go out and feel the night.

Because I'm still in love with you
I want to see you dance again
Because I'm still in love with you
On this harvest moon.

When we were strangers
I watched you from afar
When we were lovers
I loved you with all my heart.

But now it's gettin' late
And the moon is climbin' high
I want to celebrate
See it shinin' in your eye.

Because I'm still in love with you
I want to see you dance again
Because I'm still in love with you
On this harvest moon.

3. Sting - Fields of Gold


Pria bernama asli Gordon Matthew Thomas Sumner ini juga piawai dalam mencipta lagu peleleh. Iyo, melelehkan hati wanita. Kalau kata hair metalhead, "I can't imagine how many pussies he's got". Tapi sudahlah, saya sedang enggan menceritakan kecabulan para hair metalhead. Saya sedang ingin sedikit romantis barang sejenak.

Dari sekian banyak lagu romantis ala Sting, saya paling suka lagu Fields of Gold. Sekali lagi, nuansa cinta yang dihadirkan adalah cinta yang sederhana. Bisa jadi karena cocok dengan saya yang sadar kalau saya tak bisa memberikan kemewahan pada pasangan saya, hanya bisa memberikan kesederhanaan berbalut cinta. Anjrot, kalimat saya barusan bikin muntah gak sih? Oh ya, Sting ini sepertinya sering ngobrol dengan Sapardi Djoko Damono, yang juga ingin mempersembahkan cinta yang sederhana, tak perlu muluk-muluk.

You'll remember me when the west wind moves
Upon the fields of barley
You'll forget the sun in his jealous sky
As we walk in the fields of gold

So she took her love
For to gaze awhile
Upon the fields of barley
In his arms she fell as her hair came down
Among the fields of gold

Will you stay with me, will you be my love
Among the fields of barley
We'll forget the sun in his jealous sky
As we lie in the fields of gold

See the west wind move like a lover so
Upon the fields of barley
Feel her body rise when you kiss her mouth
Among the fields of gold
I never made promises lightly
And there have been some that I've broken
But I swear in the days still left
We'll walk in the fields of gold

Many years have passed since those summer days
Among the fields of barley
See the children run as the sun goes down
Among the fields of gold
You'll remember me when the west wind moves
Upon the fields of barley
You can tell the sun in his jealous sky
When we walked in the fields of gold

4. Dialog Dini Hari - Satu Cinta


Saya pernah menuliskan tentang lagu ini beberapa saat lalu. Saat itu sebenarnya saya menujukan lagu ini untuk seorang kawan yang sedang dirundung masalah. Lagu ini memang lagu cinta yang universal, walau sebenarnya lagu ini ditujukan untuk pasangan hidup kita. Liriknya begitu mengena. Ibarat pembidik, DDH ibarat Arjuna yang tak pernah luput dalam membidik sasaran. Kata-katanya sederhana namun penuh makna. Dan ya, sekali lagi, ini tentang cinta sederhana. Karena ternyata seringkali cinta yang bertahan lama adalah cinta yang sederhana dan tak menuntut apa-apa.

Saat kau berjalan sendiri
Aku akan menemani
Siap memapahmu
Jika kau terjatuh

Saat kau mulai lelah
Berdiri lunglai sedikit goyah
Ku kan disampingmu
Istirahatkan pikiranmu

Saat kau mulai menangis
Aku akan bernyanyi
Siap menghiburmu
Tak perduli waktu

Saat pagi kau terjaga
Ku kan petik bunga
Beragam warna
Seperti pelangi membentang

Kita kan gembira bersama, 
tertawa bersama, bahagia bersama
Kita kan bernyanyi bersama,
Menari bersama ikuti irama

Satu pikiran, satu tujuan
Satu harapan, satu impian

Satu pandangan, satu kejayaan
Satu kejujuran, suatu kebaikan

Satu cinta untuk kebahagiaan
Satu cinta untuk kedamaian

5. The S.I.G.I.T - All The Time


Saya selalu percaya bahwa para rocker mempunyai kadar keromantisan yang sangat tinggi, jauh lebih tinggi ketimbang para penyanyi lagu-lagu cinta itu. Semua rocker punya dan bisa menyanyikan lagu cinta yang romantis tapi tidak melankolis nan menye-menye. Mulai Deep Purple, Led Zeppelin, The Doors, bahkan Hendrix.

Di Indonesia, mulai dari God Bless, Slank, hingga Boomerang, semua bisa menyajikan kisah cinta yang tak klise. Sama seperti dari ranah --sial, maafkan harus memakai istilah ini-- indie. Ada The Super Insurgent Group of Intemperate Talent yang menyanyikan All The Time. Kisahnya juga klise dan tak sederhana. Yang lebih asyik, ada metafor dan pengandaian yang sama sekali tak biasa untuk sebuah lagu cinta. Bayangkan,  dalam sejarah lagu cinta manapun, mana pernah ada personifikasi pria sebagai pohon beringin yang menakut-nakuti orang asing yang ingin mendekati sang perempuan? Bagian yang paling menohok? Tentu, I hope you do change your last name and be a wife.

I wanna live forever
Don't you realize forever means together

I hope you know
When you say it wasn’t over
For the third times
I hope you know
You make me wanna give me something, more and more

I wanna give you hope
All the time And wear you robe
It’s just, for the pouring rain
That never end
All the time
(My life is raining all the time)

I wanna live forever
I’m the oak tree
Forever scare the stranger

I wanna grow my hair and nails to all my life
I hope you do change your last name and be a wife

I wanna share my lungs
All the time and face the sun
It’s just, like a burning pain
That i be alone
All the time
(My life it’s burning all the time)

...

post-scriptum: Daftar ini disusun untuk memenuhi tantangan @ardiwilda dan @ladygorgom untuk menyusun 5 Lagu Untuk Melamar Pasangan. Kontestan pertama adalah @masjaki yang sudah menuliskan daftarnya di sini.

Minggu, 01 Juli 2012

Sate Klathak Pak Bari: Don't Need Montreal Steak Seasoning


Para ahli daging pasti tahu, ada tiga cara yang lazim digunakan untuk membumbui daging untuk cara masak dibakar atau dipanggang. 

Cara yang pertama adalah rubs. Cara ini adalah membumbui daging dengan gabungan rempah dan bumbu lain yang dibalurkan di permukaan daging. Cara ini akan menghasilkan permukaan daging yang crust, alias garing, tapi lembut di dalam.

Cara kedua adalah marinades, atau marinasi. Teknik membumbui ini memakai cairan bercitarasa asam sebagai bahan dasarnya. Mulai dari perasan jeruk lemon, cuka, atau wine. Nah, cairan asam ini nanti akan dicampur dengan berbagai rempah untuk memperkaya rasa. Biasanya, kalau daging dipotong dalam ukuran yang kecil, daging akan direndam dalam cairan ini dalam waktu tertentu. Untuk daging ukuran besar, agar bumbu bisa meresap ke dalam, biasanya cairan ini akan disuntikkan.

Teknik terakhir adalah cara paling sederhana, yakni brines. Caranya cukup membalurkan garam ke daging. Biasanya daging akan didiamkan selama semalam. Teknik brines ini ternyata selain berguna untuk mengempukkan daging, berguna juga untuk mengawetkan tekstur moist alias kelembapan pada daging. Jadi ketika dibakar, daging masih tetap lembut di bagian dalam, dan garing di bagian luar.

Teknik yang dikenal di dunia kuliner barat itu ternyata juga dikenal di khazanah kuliner Indonesia. Itu terbukti dari masakan Indonesian barbeque, sate. Mari sejenak menembus malam menuju daerah Bantul, lalu berhenti di Pasar Pleret, Bantul.

Disana ada sate unik bernama sate klathak. Ada banyak penjual sate klathak di daerah Bantul. Tapi yang sering dijadikan jujugan adalah sate pak Bari. Sudah banyak hikayat yang menceritakan keunikan sate ini. Mulai dari tempat berjualannya yang berada di dalam pasar, para pelanggannya yang kebanyakan adalah artis, tusuk sate yang berasal dari jeruji sepeda, hingga cara pembumbuan yang unik.

Iya, Pak Bari, terlepas tahu istilah brines atau tidak, menerapkan pembumbuan sederhana pada daging kambing yang dijadikan sate. Daging hanya dilumuri garam saja, tidak dengan bumbu lain. Hasilnya? Rasa dagingnya keluar total karena peran bumbu yang sederhana dan tak menindas rasa alami daging. Ini seperti mengiyakan petuah chef Sandra Lee, you don't need Montreal steak seasoning on everything. Ya, terkadang hanya butuh bumbu sederhana untuk membuat masakan yang sedap.

Satu porsi sate pak Bari ini hanya berisi dua tusuk sate kambing, dengan potongan yang besar. Sate dibakar  dengan tingkat kematangan well done, alias matang sempurna. Tapi karena kesaktian brines itu tadi, daging bagian dalam masih tetap lembut. 



Malam itu saya dan seorang kerabat memesan tiga porsi untuk kami santap berdua. Sate ditemani dengan semangkuk gulai berwarna kuning kecoklatan, dengan rasa yang light dan gurih, tidak manis seperti makanan Jogja pada umumnya. Bagi yang rada kaget dengan rasa daging yang telanjang itu, jangan khawatir, disediakan kecap manis dan merica sebagai bumbu tambahan. Seporsi sate klathak ini dibanderol Rp.12.000, belum dengan nasi. 

Oh ya, pasangan yang paling pas dari sate klathak tentu teh gula batu. Bayangkan teh yang nasgitel, panas legit tur kentel. Hmmm. Seperti pasangan Jim Morrison dan Pamela Courson. Atau Sid Vicious dan Nancy? Ini kenapa saya jadi ngelantur? Sepertinya terpengaruh twitwar dengan si Fakhri tadi. 

Sial kau Jak! []