Selasa, 28 Desember 2010

Akbar (Bagian 1)

26Desember 2010. Terdengar lantunan ayat suci dari ruangan bawah. Beberapa orang berpeci dan mengenakan sarung tampak duduk bersila. Tiap mereka memegang alquran.

Ba'da maghrib itu ada acara khatamman alquran dirumah. Sekedar mendoakan ayah saya yang kemaren pagi meninggalkan dunia ini dengan tenang dan senyum kemenangan. Selain mendoakan, acara khattaman ini juga untuk mengenang ayah saya.

Tapi saya mengenang beliau dengan cara saya sendiri. Membuka kembali album-album foto lama ayah saya. Melihat kembali kenangan masa muda ayah. Memilih beberapa dan merepro foto-foto itu.








***

22 Desember 2010. Rumah saya riuh rendah dengan berbagai celoteh riang. Hari itu saya dan adik saya berulang tahun. Ada acara makan-makan yang dihadiri oleh beberapa orang kerabat.

Kiki datang dari Surabaya bareng pacarnya yang karateka sabuk hitam itu. Saya jadi paham kenapa Kiki yang dulu sering gonta ganti pacar sekarang sudah menghentikan kebiasaan buruknya itu.

Sasha si bungsu juga datang. Ia libur karena ada class meeting di sekolahnya. Saya sendiri mengajak Rina datang kerumah. Meski awalnya deg-degan, ia berhasil melewatkan pertemuan pertama dengan keluarga saya dengan gemilang. Keluarga saya ribut. Tetangga saya juga ribut. Mereka semua membingungkan satu hal: kenapa Rina mau sama saya :D

Kiki lah yang punya inisiatif mengumpulkan kami semua. Dia pula yang minta pada mamak agar masak Sop Buntut. Saya sendiri minta sambal goreng hati sapi, makanan kesukaan saya sepanjang masa.

Ayah sendiri bahagia hari itu. Meski ia berkali-kali nangis ketika melihat para anaknya bercanda. Ayah sudah 5 kali kena serangan stroke. 4 kali diantaranya berakhir di RS. Yang paling parah adalah serangan ke 3, yang mengharuskan dia pindah rumah sakit sebanyak dua kali, dan menghabiskan waktu sekitar 2 bulan di atas kasur rumah sakit.

Karena serangan stroke itu pula, saraf ayah terganggu. Kalau ada tayangan humor, meski garing, ia akan tertawa terbahak-bahak. Kalau melihat tayangan yang sedih, maka ia akan menangis, tak jarang tergugu, meski yang ditontonnya hanya acara sedih polesan yang banyak bertebaran di TV.

Pernah pula saya merasa bingung. Sebabnya adalah ayah menangis tersedan ketika rokaat pertama sholat Jumat di Masjid Universitas Jember. Katanya, suara amin yang serempak itu mengingatkan dia ketika sholat di masjid Nabawi. Dan ia terharu. Maka menangislah ia sampai rokaat terakhir.

Karena itu pula ayah berkali-kali menangis terharu melihat keempat orang anaknya sudah tumbuh besar. Kami berempat sering menggodanya dengan gojlokan "udah besar kok cengeng", lalu tertawalah ayah.

***

Suatu hari saya dan ayah menghadiri pernikahan anak sahabatnya. Seingat saya, pertama kali itulah saya memakai batik. Itupun karena dipaksa oleh mamak. Ayah cuma tertawa kecil melihat muka saya yang ditekuk karena kesal.

Dasar pernikahan anak orang penting, untuk masuk ke dalam gedung saja harus antri. Padahal ayah sering tak kuat kalau harus berdiri terlalu lama. Untunglah hari itu ayah kuat berdiri cukup lama dan berjalan cukup jauh.

Ketika sudah masuk ke dalam gedung, tampak di pojokan ada segerombolan biduanita yang bernyanyi diiringi oleh seorang pemain keyboard. Mereka memainkan lagu-lagu mesra yang sepertinya wajib dimainkan di resepsi pernikahan.

"Yah, ntar kalo aku nikah, aku mau ngundang full band. Harus ada lagu Smoke on the Water sama I Will" kataku songong.

Smoke on the Water adalah lagu dari super band Deep Purple favorit ayah yang pertama kali didengarkannya pada saya ketika saya masih duduk di kelas 2 SD.



"Iyo wis. Yang penting kamu mau nikah" kata ayah sambil terkekeh.

Ayah bilang gitu karena dulu semasa masih jadi remaja galau berseragam putih abu-abu, saya pernah bilang ke ayah dan mamak kalau saya tidak akan pernah mau menikah sampai kapan pun. Alasannya apa lagi kalau bukan ingin bebas sampai ajal menjemput nanti.

Ayah bilang kalau pikiran saya itu adalah pikiran orang bodoh. Lantas beliau bilang --dan kalimat itu masih saya ingat dengan jelas hingga sekarang-- kalau pernikahan itu bukan melulu soal seks. Selain ibadah, pernikahan itu menyenangkan karena ketika kita bangun, kita tahu ada orang disamping kita.

Iya ayah.

***

24 Desember 2010. Jam setengah 9 malam, saya sedang duduk lesehan dengan Rina di sebuah kedai jagung bakar. Malam itu Rina merengek, pengen makan jagung manis rasa keju. Aduh kakak, mana ada makanan begituan di Jember. Kalaupun ada, pasti tak akan dijual di daerah kampus. Akhirnya saja ajak dia lesehan di kedai jagung bakar di bundaran jalan Bangka. Kami makan jagung bakar serut.

Rina memesan jagung bakar keju manis coklat, dan saya pesan jagung bakar ekstra asin pedas. Rina ternyata lebih suka jagung bakar pesanan saya, dan dia menghabiskan pesanan saya.

Lalu tiba-tiba ada handphone saya berbunyi. Adik bungsu yang telepon. Tumben, pikir saya. Sebenarnya saya sedikit enggan mengangkatnya, karena saya pikir si bungsu yang rewel itu pasti minta oleh-oleh. Tapi saya berubah pikiran, dan saya angkat telepon itu.

Bukannya suara, yang terdengar malah pecahnya tangis histeris di seberang sana.

Saya bingung. Adik saya menangis dan meracau secara bersamaan. Setelah saya tenangkan, barulah ia bisa ngomong dengan jelas.

"Ayah, ayah!" katanya terbata-bata sambil tetap tersedu.

Pasti ada yang gak beres di rumah. Saat itu juga saya panggil Rina dan segera berkemas. Setelah mengantar Rina pulang, saya pun segera mengebut menuju rumah dengan Supra tua yang hanya mampu berlari maksimal 80 km/jam. Lebih dari itu bisa mrotol dia, dan langsung akan ditawar ditempat oleh juragan besi asal Sumenep.

Pas saya sampai di gapura perumahan, dari kejauhan sudah terlihat gerombolan orang yang menyemut di depan rumah saya. Sesampai di depan rumah, terlihat Orin sedang terduduk di teras.

Gayanya persis gadis emo yang baru saja diputus pacarnya lalu merasa dunia ini adalah tempat yang kejam dan tak ada orang yang mau mengerti dia. Dagunya ditopangkan ke lutut. Matanya sembab. Habis keluar air mata banyak sepertinya.

Orin sekarang sudah besar. Sudah jadi gadis cantik. Dulu siapa yang sangka kalau dia lahir prematur dan nyaris saja meninggal setelah dilahirkan. Orin kecil tubuhnya rapuh, gampang jatuh sakit. Setelah besar, selain tambah sehat, Orin pintar matematika. Seingat saya, dia mendapatkan nilai sempurna di ujian nasional matematika semasa SMP. Gabungan dari faktor prematur dan pintar matematika itulah yang membuat Orin jadi gadis kecil kesayangan ayah.

Pas ngeliat saya datang, Orin tambah nangis. Seperti anak kecil yang melihat genderuwo saja. Sialan. Setelah saya tenangkan, saya suruh dia cuci muka. Beberapa menit kemudian dia ikut mobil tetangga yang juga turut pergi ke RS.

Lalu saya masuk ke dalam rumah. Melihat kamar ayah dan mamak. Lampunya masih hidup. Pintu kamar mandi masih terbuka. Tapi tidak ada ceceran air, yang menandakan belum ada orang yang sempat masuk kamar mandi. Lalu ada ceceran muntah di sprei yang sudah berantakan.

***
Beberapa jam sebelumnya. Mamak, Sasha, Orin dan Mak Ri sedang liat TV di ruang tengah. Seperti biasa, mereka menonton sinetron yang terkutuk. Ayah sendiri setelah sholat isya, lantas masuk ke dalam kamar. Biasanya nonton tv, acara komedi kesukaannya.

Di luar terdengar suara kentongan dari tukang jual sate ayam. Sasha yang belum makan, memesan 10 tusuk sate.

"Sha, ayah coba ditawari, siapa tau mau" kata mamak.

Tapi Sasha bilang gak usah, "Palingan sudah tidur" katanya. Sekitar pukul 20.30, Mamak masuk ke dalam kamar, mau wudhu, sholat isya, dan bergegas tidur.

Tapi ketika membuka pintu kamar mandi, alangkah kagetnya Mamak melihat ayah sudah tengkurap. Begitu dibalikkan, mulut ayah sudah berbusa dan ada ceceran muntah. Mamak panik dan memanggil Orin, juga Sasha. Mereka lalu tergopoh-gopoh masuk ke dalam kamar. Melihat Mamak memeluk ayah yang tidak sadar, mereka berdua ikutan histeris dan memanggil Mak Ri.

Mak Ri ini pembantu keluarga kami yang sudah ikut keluarga sejak tahun 1987, sudah 23 tahun lalu.

Mak Ri yang sudah "senior" bisa berpikir lebih tenang, lantas berlari memanggil tetangga sebelah, Pak Kamdi. Setelah mengetahui ceritanya, Pak Kamdi bersama menantu lelakinya berlari menuju rumah. Ayah lantas digotong berempat oleh Pak Kamdi, menantunya, Mamak, dan juga Orin. Ayah yang berbadan besar memang sepertinya berat jika digendong. Akhirnya setelah bersusah payah, ayah berhasil digendong dan masuk ke dalam sedan milik Pak Kamdi. Lantas mobil kecil berisi 5 orang itu ngebut menuju RSUD Soebandi.

***

Dulu ketika saya masih duduk di kelas 1 SMP, ayah mengirimkan 4 lembar kartu pos dari benua suku aborigin untuk 4 orang anaknya. Tiap orang mendapat jatah 1 kartu.

Punya Kiki dikirim ke SMP 12, punya saya dikirim ke SMP 7, dan untuk dua orang adik saya, dikirimkan ke SD Al Furqan.

Lucunya, hanya punya saya yang sampai dengan selamat. 3 kartu pos lain entah nyasar kemana. Di kartu pos hitam bergambar koala, kanguru, dan Sydney Opera House itu ayah menuliskan pesan.

Belajarlah yang rajin lalu lihatlah dunia. World is beautiful my son.

Entah mau percaya atau tidak, kartu pos yang hanya sampai ke tangan saya itulah yang membuat saya menggemari jalan-jalan. Tuhan seperti menulis skenario takdir yang harus saya mainkan. Hal itu seperti menyibak takdir, bahwa saya dilahirkan untuk jalan-jalan. Memang diantara 4 orang anaknya, hanya saya yang suka jalan-jalan. Saya seperti mewarisi kegemaran ayah yang suka jalan-jalan dan menggelandang. Mengenai menggelandang, saya ingat satu cerita.

Ayah dulu pernah minggat dari rumah dan bekerja sebagai pelayan restoran di Yogya. Sebabnya adalah ayah gagal masuk Fakultas Kedokteran UGM. Ayah yang sudah lolos ujian tulis, harus menerima kenyataan pahit bahwa ia buta warna. Gagallah ia masuk Fakultas idamannya. Untuk melampiaskan rasa frustasinya, ayah pergi dari rumah dan memilih untuk hidup di kota orang. Setelah satu tahun, ayah lalu masuk Fakultas Pertanian Universitas Jember.

Kembali ke masalah kartu pos tadi. Di kalimat yang dituliskan ayah, jelas tersirat bahwa aku harus terus berjalan, mengetahui tempat baru, berkenalan dengan orang baru, dan mendapatkan pengalaman baru.

Sampai sekarang aku masih suka berjalan. Setapak demi setapak. Untuk menagih janji indahnya dunia yang dijanjikan ayah dalam kartu pos dari Australia itu.

***

24 Desember 2010, pukul 23.00. Saya sampai di IGD RSUD Dr. Soebandi. Di ruang tunggu ada beberapa kerabat dan tetangga. Orin dan Sasha duduk sembari membawa bantal dan guling. Mata mereka berdua masih sembab. Mamak tidak ada, ternyata masuk ke dalam bangsal perawatan. Saya menyusul masuk.

Ayah terbaring tanpa daya di brankar. Ada beberapa selang yang terhubung dengan infus dan mesin yang saya tidak tahu apa kegunaannya. Hati saya tiba-tiba tersergap perasaan getir. Melihat sosok yang saya idolakan, sekarang terbaring lemas dan tidak sadarkan diri. Saya memang mengidolakan ayah saya, meski tak pernah mengungkapkan hal itu langsung padanya. Kami berdua sepertinya menderita alergi penyakit melankolia antara ayah dan anak. Ayah tak pernah sekalipun bilang kalau dia sayang sama saya. Saya pun tak pernah bilang betapa saya sayang ayah. Meski kami tak pernah mengungkapkannya, kami tahu bahwa kami saling mengagumi.

Nafas ayah masih ngorok. Kata mamak, kalau ayah sudah ngorok, berarti ada yang salah dengan jantung dan paru-parunya. Malam itu ayah ngorok dengan kerasnya. Lalu terdengar pula suara dahak yang mengumpul di tenggorokan. Sang dokter muda yang berjaga lantas memasukkan selang panjang ke dalam tenggorokan ayah. Selang itu fungsinya menyedot dahak yang menggumpal di tenggorokan. Setiap si dokter muda itu memasukkan selang ke dalam tenggorokan ayah, rasa sakit tiba-tiba terasa di tenggorokan saya. Lantas saya seperti ingin muntah.

Dokter muda yang berjenis kelamin laki-laki itu sepertinya dulu adalah tipikal mahasiswa yang rada bloon. Saya sempat memergokinya bertanya pada temannya tentang bagaimana caramengoperasikan selang penyedot dahak itu. Sialan. Lantas saya berpikir, kok bisa ya dokter magang ditaruh di IGD? Bukannya IGD itu kepanjangan dari Instalasi Gawat Darurat, yang artinya pasien yang masuk kesini adalah pasien dengan kondisi yang gawat serta darurat. Kalau sedang dalam kondisi gawat dan darurat itu, tapi dokternya bahkan kebingungan untuk masalah kecil, kan kasihan pasiennya? Sepengamatan saya, hanya ada satu dokter senior --dan dia juga masih termasuk muda-- serta 2 orang perawat senior yang mendampingi para dokter magang itu. Kemana para dokter senior yang lain ya?



Sekitar jam 00.00 ayah dipindah ke Unit Saraf. Ayah masih tidak sadar. Setelah dokter memasang beberapa selang ke tubuh ayah, mamak kembali ngaji di sebelah ayah. Saya duduk diluar ruangan, bukan lagi diluar kamar. Karena gak boleh ada terlalu banyak yang menunggui ayah. Jadinya saya ditemani oleh sekaleng kopi instan, dan nyamuk-nyamuk yang membuat saya tetap terjaga. Rina berkali-kali sms menanyakan kabar ayah. Tapi sayang jawaban saya tak jua berubah: masih belum sadar.

Sekitar jam 1.30 saya masuk ke dalam kamar tempat ayah dirawat. Nafas ayah sudah tak ngorok lagi. Sudah tenang seperti biasa.

"Tekanan darah, atas dan bawah sudah mulai normal" kata mamak. "Tubuhnya sudah mulai hangat, tidak dingin seperti tadi" lanjutnya. Mamak dan saya berkali-kali memegang lengan ayah yang hangat. Mencari penghiburan diri, bahwa sebentar lagi ayah akan sadar dan setelahnya meminta makan pecel Lumintu atau pecel Bu Darum kesukaannya.

Hari ini tanggal 25 Desember 2010, hari natal. Beberapa hari lalu saya sempat berencana mengirimi ucapan natal buat Pak Heru, seorang pak tua asal Kediri yang banyak membantu saya dan Ayos di Bima dulu. Tapi hari itu saya lupa mengirimkan ucapan natal buat beliau.

Saya kasihan melihat mamak. Beliau tampak letih, matanya juga sembab. Berkali-kali saya menyuruhnya untuk tidur, tapi berkali-kali pula ia menampik tawaran saya. Beliau tak bisa tidur.

Pagi terasa cepat datang. Subuh, mamak pergi meninggalkan ayah sebentar untuk sholat subuh. Beberapa jam lalu saya mengantarnya untuk sholat isya. Dan tangisan mamak dalam doa selepas sholat begitu membuat dada saya sesak.

Bersambung...

Sabtu, 18 Desember 2010

Kicking Wikipedia Ass :D



Karena tak bisa tidur, sambil makan mie goreng, saya iseng mengetikkan keyword "Hair Metal" di mesin pencari. Sekedar ingin mencari tahu mengenai genre musik favorit saya.

Ternyata muncul hal yang mengejutkan. Nama blog saya terpampang sebagai entry paling atas di mesin pencari, mengalahkan Wikipedia yang biasanya menempati situs paling atas. Tulisan saya yang muncul adalah Hair Metal How Are You Today.

Rasanya lucu melihat nama blog saya mengalahkan kepopuleran wikipedia dalam hal hair metal, hehehe :D

Jumat, 17 Desember 2010

Bakso Eddy Depan Eratex


Kalau sedang berada di Probolinggo, atau sekedar lewat Probolinggo, tak ada salahnya mampir di warung bakso Eddy. Warung bakso ini terletak di depan pabrik Eratex, sebuah pabrik tekstil yang terkenal. Dulu warung ini namanya Bakso Eratex. Namun setelah pabriknya protes, maka nama warungnya diganti dengan Warung Bakso Depan Eratex. Lalu ditambahi dengan nama pemiliknya, jadilah Warung Bakso Eddy Depan Eratex. Nama yang tidak efisien sebenarnya. Kalau ingin mampir kesini, cukup bertanya dimana pabrik Eratex, maka kalian bisa dengan mudah menemukan warung bakso ini.

Bakso Eddy ini sudah terkenal sampai mana-mana. Di dinding warungnya, terpampang belasan pigura foto artis yang pernah makan bakso disini. Mulai Adjie Massaid sampai band aneh dan gak penting bernama Chips (sepertinya mereka penggemar film Warkop DKI).

Seporsi bakso harganya 7500 saja. Isinya ada enam: bakso telur puyuh, bakso halus isi hati, bakso kasar, bakso goreng, tahu isi bakso, dan bakso berbentuk segitiga.


Rasa kuahnya gurih. Tanpa dikasih saos atau kecap pun rasanya sudah enak. Paling pas jika dimakan saat hujan, uh rasanya nyamleng. Kalau ingin lebih kenyang, silahkan tambah lontong atau nasi.

Mari makan! :D

Perjalanan Singkat Nan Konyol


Beberapa hari lalu, om saya menghubungi. Intinya mengajak saya pergi ke Probolinggo. Awalnya saya gak tahu mau ngapain ke Probolinggo. Tapi sepertinya saya memang susah menolak ajakan jalan-jalan, apalagi yang gratisan seperti ini, hehehe.

Setelah menitipkan motor di terminal, saya dan om pergi naik bis. Setelah berada di bis itulah saya baru tahu tujuan kami: melihat hiu yang terdampar.

Konyol bukan? Padahal saya harus menghemat tenaga karena keesokan paginya harus berangkat ke Malang dengan motor. Tapi itulah, kadang kala melakukan hal kecil yang terdengar konyol itu rasanya menyenangkan.

Setelah berganti bis dua kali dan satu kali naik ojek dengan cenglu (gonceng telu, alias satu motor bertiga), sampailah kami di pantai Klaseman. Pantai ini kotor, tipikal pantai di perkampungan nelayan.

Yang menarik justru suasananya. Riuh rendah seperti pasar malam. Ada karcis masuk untuk melihat hiu, ada kotak amal jariyah, ada penjual cilok, ada penjual mainan dan balon, dan tak lupa penjual minuman. Setelah jalan 20 meter dari parkiran, sampailah saya di pinggir pantai. Hiu tutul itu sudah jadi almarhum. Baunya amis menyengat. Tubuh hiu berukuran kecil ini ditaburi bunga. Beberapa meter disampingnya, sudah disiapkan liang lahat untuk penguburannya. Yang menonton rame, walaupun hujan turun rintik-rintik. Bahkan ada satu rombongan yang datang dengan naik pick up. Ada-ada saja :)

Setelah beberapa menit melihat hiu dan om saya selesai berfoto-foto, maka kami pulang menuju Jember. Tapi sebelumnya kami mampir makan di Bakso Eddy yang terkenal itu.

Konyol bukan, menghabiskan waktu seharian keluar kota hanya untuk melihat almarhum hiu?

Tapi tak bisa dipungkiri bahwa perjalanan kony0l terkadang memang menyenangkan :)

Sabtu, 04 Desember 2010

Oleh-oleh Dari Bogor: Macaroni Panggang

Selain pizza dan sphagetti, para Italiano punya satu makanan kebanggaan lain, macaroni. Sama dengan pizza dan sphagetti yang mendunia, macaroni juga sangat terkenal dan sepertinya sudah menjadi makanan global. Sejenis pasta kering dengan lubang yang terdapat di tengah ini mengandung protein tinggi. Biasanya makanan ini terbuat dari "durum wheat", sejenis gandum yang mengandung kadar gluten yang tinggi.

Layaknya sejarah peradaban dan kebudayaan lain, macaroni pun memiliki sejarah dan asal-usul yang banyak versinya. Ada yang mengatakan kalau pencipta macaroni itu adalah orang Cina yang memang terkenal dengan mie-nya itu. Lantas macaroni itu dibawa oleh Marcopollo ke Italia pada tahun 1292. Namun ada juga yang bilang kalau macaroni asli di Italia itu sudah dikenal sejak jaman Romawi kuno sebagai sesembahan untuk para dewa.

Arti kata macaroni pun memiliki banyak versi. Ada yang bilang kalau macaroni itu berasal dari kata "maccheroni", bahasa Sisilia yang berarti adonan yang dibuat dengan tenaga. Namun orang-orang Inggris mengartikan macaroni sebagai sesuatu yang sempurna dan juga anggun.

Di Indonesia sendiri, macaroni telah dikenal sejak jaman penjajahan, sebagai makanan para noni Belanda.

Ketimbang saya bingung mikirin sejarah dan fakta dari Macaroni, saya memilih untuk langsung makan saja, hahaha.

Di Bogor ada satu restoran/ cafe yang menyediakan menu berbahahan dasar macaroni. Restoran berplang nama Macaroni Panggang (MP) ini ada di Jalan Salak 24 Bogor. Bangunan berasitektur klasik ini juga menyediakan menu lain seperti Cinnamon Cake, steak tempe, dan juga Apple Pie. Tapi tetap, yang juara adalah macaroni panggangnya. Dekorasi dan tata ruang MP ini juga menyenangkan, plus rimbun karena banyak pohon. Suasananya temaram dengan nuansa romantis. Pas saya kesana banyak orang pacaran sambil suap-suapan macaroni. Haiyah!





Saya datang ke Bogor setelah acara di Jakarta selesai. Waktu itu saya menemui seorang narasumber di bilangan Ampera Raya untuk keperluan majalah Tegalboto. Setelah menginap semalam, esok paginya saya langsung meluncur ke Bogor dengan kereta Pakuan.

Di Bogor, saya dijemput Tante Arie, saudara saya yang gaul dan sudah punya 3 orang buntut. Reputasinya sebagai penjelajah kota dan penikmat kuliner membuat saya yakin kalau saya akan diajak mencicipi makanan khas Bogor.

Benar saja, saya diajak beli macaroni panggang. Sepertinya Bogor tak lagi menjadi kota asinan, dan akan segera berubah jadi kota macaroni. Setelah menunggu reda hujan yang turun seharian, saya dan Tante Arie pergi ke MP. Tante Arie lalu membungkus dua buah macaroni panggang spesial ukuran medium. Yeah! Karena Tante dan anak-anaknya tak ada yang suka macaroni (atau sudah bosan?), jadinya dua buah macaroni itu saya habiskan sendiri, hehehe.

Macaroni panggang ala Bogor ini tampak menggoda dengan topping taburan keju cheddar yang berwarna kuning kecoklatan karena sudah dipanggang. Ketika dipotong, melumerlah macaroni yang bercampur dengan cacahan daging, keju,dan jamur. Macaroninya lembut, memberikan aksen lumer di lidah dan dinding tenggorokan. Paling enak dimakan hangat dengan campuran saus pedas, bisa bikin hangat di tengah Bogor yang dingin dan hujan terus menerus.


Tante Arie, ayo traktir aku macaroni panggang lagi! :)


N.B: Saya makan macaroni panggang di Bogor ini sudah lama banget kejadiannya, tanggal 29 Januari 2008. Hanya saja, macaroni panggang dan Bogor ini belum pernah saya tulis sebelumnya. Beberapa hari lalu seorang saudara baru datang dari Bogor dan membawakan saya satu buah macaroni panggang. Sembari makan dengan lahap, saya jadi ingat Bogor dan keluarga Tante Arie, jadilah saya menulis tulisan ini. Makasih ya tante Arie buat jamuan hangat yang menyenangkan :)

Jumat, 03 Desember 2010

Launching Majalah Tegalboto XV: Abnormalitas


Puji Jim Morrison dan segala jamaah agama bernama Rock N Roll. Akhirnya majalah Tegalboto edisi XV yang bertema Abnormalitas selesai. Setelah berbagai kejadian yang menguras air mata, majalah ini hadir juga diantara ruang baca kita. Yeah!

Bagi yang sudah punya pacar, belum punya pacar, lagi ngegebet, lagi ngerayu (kayak si Arman Dhani, ngerayu mulu kagak dapet-dapet), atau lagi baru putus cinta, daripada malam minggu dihabiskan dengan kegiatan gak jelas, mending datang aja ke acara launching majalah Tegalboto.

Acaranya diadakan hari Sabtu, tanggal 4 Desember 2010. Tempatnya di cafe Gubug yang ada di jalan Rotawu. Ancer-ancernya, jalan kecil di depan Gereja Karimata Jember. Gratis. Yang bayar cuma makanan sama minuman yang kalian pesan, hehehe.

Wanna (or should I say, Dare) to play?

Kamis, 02 Desember 2010

Happy Psychedelic Birthday, John!




Suatu sore di sebuah ruang tamu rumah pinggir pantai di Venice. 4 orang pria dan 2 orang perempuan berada disana. Para pria itu memainkan musik yang terdengar aneh. Tak ada pemain bass dalam band mereka. Musiknya terdengar liar, dengan suara vokalis yang berat.

Sang drummer matanya tampak nyalang, dengan rambut yang berombak, dia memukul drum dengan penuh penjiwaan. Tiba-tiba dia berhenti memainkan drumnya.

"Ada apa?" tanya pemain synth yang memakai kacamata itu.

"Kedengarannya jelek" keluh sang pemain drum itu.

"Tak apa, tetap mainkan musik seperti itu. Kita mainkan bossanova" lanjut sang pemain synth.

Melihat suasana yang tidak enak itu, dua perempuan yang ada di ruangan itu segera keluar, diikuti dengan tatapan dan helaan nafas para pemain band.

"Aku punya ide, dari nada a minor dan f " kata sang pemain gitar memecah keheningan dan lantas mengeluarkan sobekan kertas dari sakunya. Dia memainkan gitar sembari bersenandung pelan.

"You know that it would be untrue..." gumamnya sembari terus memainkan gitar Gibson SG berwarna merah itu.

"Hei, itu bagus" kata pemain synth.

"Aku kasih judul Light My Fire" sahut pemain gitar yang tak pernah memakai pick gitar ketika bermain.

"Seperti musiknya Byrds, tapi aku suka, mungkin perlu sedikit sentuhan latin" kata sang drummer tampak senang.

"Ada lanjutan liriknya?" tanya sang vokalis sembari menatap si gitaris. Yang ditatap menggeleng pelan.

"The time to hesitate is through. No time to wallow in the mire..." nyanyi sang vokalis berimprovisasi.

"Oke, kasih aku waktu buat memikirkan intro lagunya" kata sang pemain synth lagi. Dia sepertinya otak dari band ini. Lantas dia kembali menekuni jejeran tuts synthesizer-nya.

"John, hitung sampai empat" pemain synth itu memberikan perintah pada si drummer.

John yang dimaksud adalah John Densmore. Mereka berempat adalah The Doors.

***

Lahir di Maine pada tanggal 1 Desember 1944, John menghabiskan masa kecilnya di California Selatan.

John belajar musik sedari kecil. Awalnya ia memainkan piano ketika berumur 8 tahun. Setelah bisa memainkan piano, ia mencoba untuk memainkan alat musik lain. Pilihannya jatuh pada clarinet. Tapi seorang dokter gigi melarang John untuk memaikan alat musik tiup, karena itu akan mempengaruhi pertumbuhan giginya yang sedang diberi kawat gigi.

Dunia musik seharusnya berterimakasih pada sang dokter gigi tersebut. Karena sejak itu, John meneguhkan niat untuk belajar drum.

John remaja menggemari jazz. Dia menggemari permainan drum Elvin Jones, yang terkenal sebagai pemain drum John Coltrane. Hal itu menjelaskan kenapa permainan John sangat powerful, menyentak, sekaligus mengejutkan, penuh improvisasi, seperti sang idolanya.

Lantas dia bertemu dengan Robby Krieger, seorang gitaris bergaya flamengo yang juga ahli bermain bottle-neck slide guitar. Keduanya mulai menulis lagu bareng dan membuat band dengan nama Psychedelic Rangers. Saat itu lah John bertemu dengan pemain keyboard yang berasal dari Chicago, Ray Manzarek. John dan Ray saat itu bermain dalam sebuah band bernama Rick and the Ravens. Anggota band itu terdiri dari John, Ray dan para saudaranya, serta seorang pemalu berwajah rupawan bernama Jim Morrison, yang dikenal Ray dari sekolah film UCLA.

Suatu ketika, saat saudara Ray meninggalkan band, John mengajak Robby untuk mengisi posisi gitaris. Empat orang formasi The Doors terbentuk sudah. Sayangnya, mereka masih belum menemukan pemain bass.

"Saat itu kami tidak bisa mendapatkan pemain bass. Kita sudah mencoba satu atau dua kali, tapi kita malah terdengar seperti Rolling Stones. Band blues kulit putih. Ah, perduli setan dengan pemain bass. Kita ingin jadi berbeda" kenang John dalam suatu wawancara.

Maka selanjutnya terjadilah apa yang disebut dengan sejarah. The Doors terbentuk, dan mereka tercetak dengan tinta emas dalam sebuah buku besar bernama Rock N Roll.

Aksen permainan John membuat The Doors lebih berwarna. Permainan jazz dan bossanova yang diperagakannya membuat nuansa musik Doors menjadi lebih kaya, tidak melulu blues dan psikedelik.

"Saat kita memainkan Break on Through, aku memasukkan beat dari Girl from Ipanema. Hasilnya adalah beat bossanova dengan rasa rock n roll. Terdengar sangat rileks, tapi aksennya rapat. Sensual sekaligus membebaskan" kata John mengenai lagu yang dimainkan di awal terbentuknya The Doors. Sebuah lagu yang awalnya dia bilang tidak bagus.

Kekuatan John terletak pada kedinamisan permainan drumnya. Dia bukanlah tipikal pemain drum yang bermain dengan kecepatan dan double pedal yang menghentak. Baginya itu semua tidak penting. Dia adalah tipikal pemain drum yang tidak kagok dengan improvisasi.

Seperti yang kita tahu, improvisasi itu sangat diperlukan untuk bisa bermain dengan Jim Morrison yang liar dan tak dapat ditebak.

John juga meneguhkan peran drummer sebagai bagian penting dalam musik, sangat penting malah.

"The drum was the first fucking instrument. The reason people move and dance is that they're trying tho get back to that hearbeat." katanya tegas.

Dalam film The Doors yang disutradarai Oliver Stone, diperlihatkan bagaimana dinamisnya John. Ketika bermain di Whisky A Go Go dan membawakan The End, tiba-tiba saja Jim merepet, meracau. John tampak bingung, berusaha menoleh ke Ray, tapi ia sedang asyik bercinta dengan syntesizernya sembari memejam mata dan menggelengkan kepala. Akhirnya John bermain mengikuti arus, mengikuti gejolak Jim yang menggeliat kesana kemari.

"Yang paling penting itu adalah dinamik. Hal itu berasal dari penggabungan antara fortissimo (beat yang sangat keras) dan pianissimo (beat yang sangat pelan), dan semua yang ada diantara dua beat itu. Itulah musik. Seperti di The End, ketukan drum bisa sangat pelan, lantas bam-bam! Aku menghantam tom-toms" kenang John ketika memainkan drum di lagu The End, sebuah lagu kematian bernuansa purba nun fantastis yang berdurasi hampir 12 menit. Di lagu ini, tampak sekali permainan drum John yang mengalir mengikuti arus yang dibawa oleh Jim dan menghantam semua tembok tebal bernama metode bermain drum yang baik dan benar.

Sayang, persona magis Jim Morrison rupanya terlalu kuat dan mengubur semua kejeniusan 3 pemain Doors yang lain. Ketika Jim meninggal, maka Doors pun ibarat kapal yang ditinggal nahkodanya. Oleng, dan lantas karam pada tahun 1973.

Bubarnya Doors tidak menghalangi John untuk tetap bermain musik. Pada tahun 1973, setelah bubarnya Doors, John membentuk band beraliran reggae bernama The Butts Band bersama Robby Krieger. Mereka bermain reggae sebelum genre musik itu membawa dampak kultural pun sosial di Amerika.

"Saat itu kita sedang berada di Jamaika sebelum Reggae datang kesini (Amerika)" kata John.

"Para jenius reggae seperti Marley dan Jimmy Cliff membawa reggae ke Amerika setelah kita, barulah setelah itu mereka menciptakan dampak besar. Kita bahkan sudah memainkan musik reggae di Amerika sebelum Clapton memainkan ulang "I Shot the Sherrif" dan The Police (juga bermain reggae)" kenangnya.


Sayang, setelah dua album, band "pantat" ini bubar pada tahun 1975.

Tahun 1978, tujuh tahun setelah kematian Jim dan lima tahun setelah bubarnya The Doors, tiga anggota Doors yang tersisa bereuni untuk album An American Prayer, album yang berisikan pembacaan puisi oleh Jim. Aslinya pembacaan puisi itu direkam pada tahun 1969 dan 1970. Musik di album ini diisi oleh Ray, John, dan juga Robby.

Setelah itu selamat tinggal pada Rock N Roll, karena setelah itu John beralih pada dunia dansa dan teater. Dia bergabung dengan Bess Snyder and Co, lalu berkeliling Amerika Serikat selama dua tahun.

Dunia barunya ini ternyata menyenangkan. Pada tahun 1985, dia memenangkan penghargaan LA Weekly Theater Award saat bermain di Methusalem yang disutradarai oleh Tim Robbins.

"Hal itu sungguh menyenangkan. Ada aura teater jalanan. Aku merasa kembali ke era 60-an" ujarnya bersemangat.

Setelah perpindahan dunia yang dramatis itu, John kembali ke dunia yang membesarkan namanya, rock n roll. Dia mengerjakan biografi berjudul Riders on the Storm: My Life With Jim Morrison and The Doors, yang lantas diterbitkan pada tahun 1990. Buku itu mendapatkan apresiasi yang bagus dari berbagai media, termasuk The New York Times Book Review dan USA Today.

John dan Robby lalu menjadi penasihat tekhnis untuk film The Doors. Mereka berdua terkesan dengan akting Val Kilmer yang memainkan Jim. Tapi mereka tidak suka filmnya secara keseluruhan.

Tahun 2006, John kembali ke akar musik jazz yang ia tekuni semenjak muda. Ia dan band barunya, Tribaljazz, merilis album pertama mereka.

Tahun 2010, tanggal 1 Desember, John Densmore berusia 66. Usia yang sudah cukup tua untuk menggebuk drum. Tapi sepertinya ia tak pernah lelah. Kerut di mukanya bertambah banyak, begitu pula ubannya. Tapi John tetap saja man of the heartbeat.

Beberapa waktu lalu, saya menonton film dokumenter mengenai The Doors yang berjudul When You're Strange yang disutradarai oleh Tom Di Cillio. Saya menyukai gaya John ketika keluar dari pintu bandara untuk menuju pesawat.

Seorang bertanya padanya. Name, age, dan occupation.

"John Densmore, 23, percussion" katanya tersenyum. Sebuah angka yang disebutnya 43 tahun lalu. Siapa yang menyangka ia masih bisa menghantam tom-tom dengan keras hingga sekarang.

Selamat ulang tahun John Densmore!


Sembari mendengarkan semua album The Doors
Saya resmi mabuk The Doors (lagi) sore ini

Rabu, 01 Desember 2010

Ranca Buaya

Saya dan Ayos pergi jalan-jalan mengelilingi Jawa Barat pada medio Januari. Dengan tema Wild Wild West, kami berharap akan mendapatkan petualangan liar yang sesekali disertai dengan pantai-pantai bagus.

Ternyata petualangan kami tak seliar yang dibayangkan. Pun, pantai yang kami kunjungi tak ada yang bagus. Tapi traveling itu tak melulu mengenai pantai bagus, melainkan momen dan proses yang terjadi ketika traveling itu lah yang paling penting.

Kami berdua mendapatkan banyak cerita di perjalanan yang berlangsung selama hampir 2 minggu ini. Berangkat dari Surabaya, menuju Bandung, lalu ke Garut, Tasikmalaya, Sukabumi, balik ke Bandung lagi, lantas berakhir di Jakarta. Sebenarnya kami ingin pergi ke Cirebon, apa daya waktu kami tak cukup. Ya sudahlah, Cirebon disimpan buat lain kali saja.

Banyak tempat yang kami kunjungi di tanah Parahyangan ini. Ada hulu sungai Citarum yang kami kunjungi dengan beberapa kawan Wanadri. Lantas Curug Malela, dimana kami mendapat teman berpetualang yang baru: Maya, Fanny, dan Aruna. Di Garut kami pergi menuju Ranca Buaya naik angkot neraka seharga 35 ribu (apa 50 ribu ya? saya lupa, hehehe). Disebut angkot neraka karena jalan yang kami lewati itu berkelok-kelok, tipikal jalanan pegunungan, dan supirnya mengebut ugal-ugalan seperti baru saja ditalak tiga oleh sang istri muda.

Ranca Buaya adalah sebuah pantai yang terletak di daerah Garut Selatan, tepatnya di Kecamatan Caringin, sekitar 100 km dari pusat kota Garut.

Nah di Ranca Buaya ini ada banyak cerita seru. Kami numpang nginap gratis di rumah pak Kades yang ternyata mantan supir pribadi seorang menteri di jaman Orde Baru. Orang-orang sana sungkan sama pak Kades ini karena konon dia dulu adalah preman desa. Kami menginap 3 hari 2 malam dengan gratis. Fasilitas itu masih ditambahi dengan makan gratis, hehehe. Pak Kades, semoga anda sekeluarga sehat disana :)

Oh ya, berbicara mengenai Ranca Buaya, ada sebuah spot menarik yang ditunjukkan oleh anak pak Kades yang masih berumur 9 tahun. Spot ini berupa padang rumput yang terletak di sebuah tebing. Jika kamu berdiri di spot ini, maka terlihatlah Samudra Hindia yang luas membentang. Ombak di bawah kita berkejaran dan menimbulkan buih serta suara yang magis. Belum lagi kalau kamu duduk dan menyaksikan matahari terbenam yang mempesona. Uh, rasanya tak ingin pulang.



Sayang tak ada penerangan di spot ini, hanya ada sebuah gazebo tempat bersantai. Kata Pak Kades, nanti tempat itu akan dipercantik lagi. Semoga ketika saya kesana lagi (entah kapan) tempat itu tambah bagus dan tetap terawat.

Ranca Buaya sendiri bukan tipikal pantai berpasir putih dan air laut yang biru nan bening. Ia adalah tipikal pantai selatan yang berombak besar dan berpasir coklat kehitaman. Tapi itu tak mengurangi keindahannya. Ranca Buaya mempunyai keeksotisannya sendiri.

Pantai ini sempat disebut Dewi Lestari di Perahu Kertas. Saya sendiri baru tahu ketika baca novel ini beberapa bulan setelah berkunjung ke Ranca Buaya. Di novel itu dia menyebutkan spot bagus yang bisa memandang ke lautan lepas. Tapi entah, apa spot yang ia maksud adalah spot yang sama dengan spot tempat kami berdiri.

Ah, saya jadi kangen Ranca Buaya. Kesana lagi yuk.


Mastrip
Sembari mendengarkan Shake Your Money Maker
dan The Southern Harmony and Musical Corporation
The Black Crowes rule!

Minggu, 28 November 2010

Jember- Banyuwangi: Antara Pecel Garahan dan Bipang Cap Jangkar

Beberapa hari lalu saya pergi ke Banyuwangi. Kalau biasanya saya lebih suka naik motor, kali ini saya memilih naik kereta api.

Sudah lama juga saya tidak naik kereta api ke Banyuwangi. Terakhir itu ketika saya dan Ayos pergi ke Bali, lebih dari 1 tahun lalu.

Harga tiket kereta Jember- Banyuwangi sebesar 10.500 saja. Saya naik kereta Probowangi (Probolinggo- Banyuwangi) yang berangkat dari Jember jam 7.32 pagi (dan hari itu keretanya telat, jadi berangkat jam 9. Lagu Kereta Tiba Pukul Berapa ternyata masih relevan hingga sekarang). Sampai Banyuwangi sekitar 12.30, telat hampir 1 jam.

Ada banyak hal menyenangkan yang bisa dicatat dalam perjalanan menuju Banyuwangi dengan menggunakan kereta.

Yang pertama adalah tentu saja dua buah terowongan yang terletak di daerah Mrawan, perbatasan antara Jember dan Banyuwangi. Ada satu buah terowongan pendek, dan satu buah terowongan panjang. Dua-duanya dibangun pada tahun 1930-an. Hingga sekarang, ketika kereta melewati terowongan itu, sorak sorai anak-anak kecil masih lantang terdengar. Mereka terdengar begitu bahagia.

Lalu highlight kedua adalah nasi pecel Garahan. Garahan adalah sebuah daerah perbatasan Jember- Banyuwangi yang terkenal dengan pecel Garahan. Pecel ini dulu hanya dijajakan di stasiun Garahan. Belasan ibu-ibu biasanya menjunjung bakul berisi sayuran, nasi yang sudah dipincuk, dan bumbu pecel, berteriak-teriak keras menjajakan pecelnya. Harganya murah meriah, hanya 2500 saja, yang terdiri dari nasi, bumbu pecel yang rasanya manis pedas, sayuran, dan tahu serta tempe sebagai lauk.


Karena pecel Garahan ini semakin terkenal, maka makanan ini juga dijual di ruas jalan Garahan. Hingga muncul sebutan Garahan sebagai kampung pecel. Karena kereta yang saya naiki hanya terdiri dari 3 gerbong saja, maka pagi itu tak begitu banyak penjual pecel berseliweran. Coba kalau naik Sri Tanjung dari Banyuwangi menuju Jogja, penjualnya ada belasan, bahkan puluhan. Dan petugas kereta api pun sepertinya paham budaya jual beli nasi pecel ini. Jadinya kereta berhenti agak lama di stasiun ini.

Hal ketiga adalah Bipang Cap Jangkar. Bipang ini merupakan makanan klasik yang sangat terkenal. Terbuat dari beras dan gula, rasa legitnya membuat banyak orang ketagihan. Mamak saya sangat menggemari makanan ini, mengingatkan pada masa kecilnya, katanya. Harganya murah, hanya 1500 per buah, bahkan masih bisa lebih murah. Saya memberi uang 7000, mendapat 5 buah bipang. Rasanya menyenangkan melihat makanan klasik seperti ini masih ada, di kisaran harga yang murah pula.


Sepulang dari Banyuwangi, saya membelikan bipang untuk mamak saya. Seraya makan, ia terus bercerita mengenai kenangannya akan makanan ini.

Ia tampak bahagia sore itu.

Selasa, 23 November 2010

Tertanda: Tuhan



Tulisan yang terpampang jelas di pintu UKM saya ini ditulis oleh Rosi, salah seorang anggota Tegalboto. Rosi adalah manusia penghamba filsafat, yang terdiri dari setengah agnostik dan setengah atheis. Saat itu dia kesal karena tidak ada orang sama sekali di sekretariat. Jadinya dia iseng menuliskan pesan yang lantas ditempel di pintu. Guyonan sadis seperti ini merupakan hal yang lumrah di UKM kami. Kalau ingat tulisan ini lagi, saya kontan terkekeh pelan. Ngomong-ngomong, saya jadi kangen pria cabul penyuka kata kimpo itu.

Oh ya, gambar ini saya ambil tanggal 30 Desember 2009, jam 8.46 pagi. Rosi sendiri sekarang sedang berbahagia karena sudah bekerja sebagai tutor di sebuah lembaga bimbingan belajar , yang muridnya terdiri dari anak-anak SMA yang ranum :)

What a message! :)

Neng, Beli Vulsa-nya dong!


Gambar ini diambil Ayos ketika kami sedang di dalam angkot, dari hulu Citarum menuju Bandung kota. Perjalanan itu merupakan rangkaian dari perjalanan Wild Wild West, sebuah perjalanan melintasi dataran Jawa Barat. Di angkot ini, turut pula Maya Wuysang, seorang perempuan pecinta air terjun yang juga ikut sampai Curug Malela.

Teman-teman saya yang berdarah Sunda selalu menceritakan anekdot bahwa di tanah Sunda tak ada Permak Jeans, yang ada adalah Vermak Jeans. Pula, tak ada pesawat Foker, yang ada malah pesawat Poker. Sebaliknya, kalian tak akan bisa bermain poker, karena yang ada hanyalah permainan voker :)

Disadari atau tidak, disukai atau tidak, inilah yang membuat Indonesia begitu menarik untuk dijelajahi. Betapa ternyata Indonesia begitu kaya, termasuk kekayaan bahasa. Bahkan di pulau yang sama, ada berbagai bahasa dan ragam yang sangat berbeda satu sama lain. Itulah kenapa, saya ingin menjelajahi Indonesia dulu sebelum melangkahkan kaki keluar negeri.

Karena tak ada alasan untuk tidak mencintai Indonesia (Ayos Purwoaji, 2010)

Minggu, 21 November 2010

Magic Mushroom!*

Kalau kalian bosan makan rendang atau ayam goreng asam manis, bolehlah kalian mencoba varian lain dari dua menu itu: jamur.

Kalau biasanya yang direndang itu daging, yang dibikin asam manis itu ayam atau gurami, lalu yang dibikin sop itu ayam dan asparagus, lantas yang ditongseng itu daging kambing atau sapi, maka kalian harus mencoba makan di warung Jejamuran.

Warung ini terletak di daerah Pandowoharjo, Sleman. Saya mencobanya ketika sedang dalam perjalanan menuju Magelang. Warung ini kalau dari arah Yogya, ada di perempatan Beran Lor lalu belok kanan kira-kira 800 meter. Tak usah khawatir, ada plang besar yang menunjukkan lokasi warung ini.

Saya sendiri pergi ke warung ini bareng Ma'ruf, Maya, Yoga, Prima, dan Rusli.

Yang menarik dari warung ini adalah, warung ini juga berfungsi sebagai tempat edukasi bagi orang yang tertarik pada jamur. Di bagian belakang warung ini ada area yang dijadikan perkebunan jamur. Disana diperlihatkan berbagai jenis jamur, dari jamur tiram pink, jamur tiram, jamur lingzhie, sampai jamur shitake. Ada beberapa orang pemandu yang bisa menerangkan segala hal tentang jamur.

Siang makin panas, membuat perut makin keroncongan. Mari makan!

Saya memesan Jamur Asam Manis. Menu ini adalah berbagai jenis jamur yang digoreng garing lalu disiram dengan saus manis. Lalu ada irisan nanas, bawang bombay, cabe merah, dan potongan daun bawang pre.


Maya memesan jamur goreng tepung dan sop jamur. Sop ini adalah sop berkuah bening yang terdiri dari campuran jamur tremella, enoki, jamur merang, dan berbagai jenis sayuran sop.

Ma'ruf dan Yoga memesan jamur bakar pedas. Menu ini adalah jamur tiram yang dibakar dengan bumbu bakar pedas resep turunan sang pemilik warung.

Prima memesan Rendang Jamur. Masakan berwarna coklat tua ini adalah jamur champignon alias jamur kancing yang dimasak ala rendang.

Lalu Rusli memesan Tongseng Jamur, jamur merang yang dimasak tongseng.

Tak berapa lama kemudian, pesanan kami datang. Kami langsung makan dengan giras, layaknya orang barbar yang kelaparan.



Jamur asam manis rasanya lebih dominan manis, rawan bikin eneg sebenarnya. Cuman kalau dimakan bersama dengan nasi, rasa legitnya bisa bercampur dengan rasa nasi yang tawar, sehingga rasa manisnya bisa sedikit berkurang. Rasa nanasnya cukup memberikan aksen asam nan segar.

Yang patut dijadikan highlight adalah jamur bakar pedas. Saya tak tahu campuran bumbu apa yang dipakai, tapi rasa bumbu kacang yang pedas ini membuat lidah berjoged (pakai akhiran -d biar lebih mantap) gembira. Tekstur kacang yang masih sedikit kasar dan rasa pedas yang menggigit, begitu lezat. Tekstur jamur tiram yang kenyal malah membuat saya merasakan sedang menggigit daging sapi yang biar liat tapi tetap empuk.

Harga makanan di warung ini relatif terjangkau. Antara 6000-20.000 saja. Begitu pula harga minuman, antara 2000-10.000 saja.


Jadi kalau anda akan pergi ke daerah Magelang, tak ada salahnya mampir ke warung Jejamuran ini. Dijamin tidak menyesal.

Oh ya, saya merekomendasikan Jamur Bakar Pedasnya. Kalau kata Rusli, dia menyarankan Sate Jamur yang teksturnya hampir mirip daging. Lain kali kalau kesini lagi, saya akan mencoba sate jamur itu.

* Magic Mushroom (Psilocybin mushrooms) adalah jamur yang bila dimakan dapat menimbulkan halusinasi. Dulu juga saya pernah bikin lagu berjudul Magic Mushroom, yang sampai sekarang belum sempat direkam, dan liriknya hilang entah kemana. Dari dulu saya pengen makan magic mushroom ini, lantas ketika berhalusinasi saya akan menulis lirik. Siapa tahu jadi sekeren Purple Haze atau Stairway to Heaven. Sayang belum kesampaian hingga sekarang.

Bagaimana Jika Saya Adalah Orang Papua?


Bagaimana jika ternyata saya adalah orang Papua? Apakah anda tetap akan menyapa saya dengan sapaan sugeng enjing? Lalu bagaimana jika pembeli adalah orang Sulawesi? Masih tetap mau menyapa dengan sugeng siang? Kalau saya orang Aceh, apa anda akan menyapa dengan sugeng sonten?

Kalian pikir Indonesia itu hanya Jawa?

Kamis, 18 November 2010

Cak Kandar Behind the Steering Wheel

Kemaren malam saya baru datang dari Yogya dan memutuskan untuk tidur di sekret Tegalboto. Malam itu di sekret ada saya, Dhani, Arys, Didik, dan Cak Kandar. Sekitar jam setengah 1 dini hari, kami memutuskan untuk pergi makan di daerah Gladak Kembar, sekitar 2 km dari sekret.

"Saya ikut, saya takut. Sudah malam" tiba-tiba Cak Kandar memohon. Dia rupanya takut tidur sendiri malam itu, hehehe. Ya sudah, Ikutlah pria lucu itu bersama kami.

Semua menjadi tambah lucu ketika Didik melontarkan ide konyol. Cak Kandar disuruh nyetir motor sendiri. Rupanya Cak Kandar mendengar tantangan nyeleneh itu, dan sialnya dia menyanggupi, hahaha.

"Saya pernah naik sepeda motor kok. Anak (UKM) Reog saksinya" kata Cak Kandar berusaha meyakinkan kami.

Ya ya ya, akhirnya kami mengijinkan Cak Kandar untuk naik motor. Awalnya saya menyerahkan motor saya untuk dinaiki. Pertimbangannya adalah motor saya adalah motor yang paling jelek, jadi kalaupun nabrak, ya gak rugi-rugi amat. Eh ndilalah, Cak Kandar kesulitan naik motor saya, yang memang diperlukan keahlian khusus untuk mengidupkan dan mengendarainya, hehehe.

Akhirnya Cak Kandar mengendarai motor si Didik. Didik menjadi co-driver di belakang. Wajahnya tampak pias, was-was akan kematian yang seakan menguntit di belakang, hahaha.

Klak, bruummm, Cak Kandar menginjak persneling satu dan menarik gas motor. Motor melaju perlahan dan tersendat-sendat. Saya, Dhani, dan juga Arys tertawa sampai perut terasa sakit.

Tampang mereka bangga sekali karena bisa berfoto dengan Cak Kandar

Kombinasi antara muka Cak Kandar yang tegang, dan Didik yang pucat pasi ketakutan adalah satu hal yang menyenangkan untuk dilihat di pagi buta dan dalam kondisi kelaparan.

Akhirnya motor melaju perlahan dan selalu tersendat-sendat. Ketika mencapai gigi tiga, Cak Kandar langsung jumawa dan menyombongkan diri.

"Saya hebat ya, bisa sampe persneling tiga, hehehe" katanya sambil terkekeh. Saya kontan tertawa keras mendengarnya.

Seringai menjelang patah tulang



Saya sendiri sedikit keder karena harus beraksi layaknya pemain sirkus dari China. Tangan kanan memegang stir motor yang berjalan, dan tangan kiri harus menjepretkan kamera.

Tapi meski sudah dekat sekali dengan kematian --atau setidaknya dekat dengan memar dan patah tulang-- perjalanan kami berakhir dengan bahagia. Selamat sampai di sekret dengan perut kenyang, meski harus memaki karena 40 ribu melayang buat makan malam itu, sialan.

Tadi siang saya bercengkrama dengan Cak Kandar, ada Didik juga.

"Cak, kamu belajar naik motor itu kapan?" tanya saya.

"Anu, kelas 6 SD. Terakhir nyetir juga kelas segitu" jawabnya polos.

"Hahaha, asyuu, jancuk. Untung aku selamat kemarin" teriak Didik sedikit histeris.

Cak Kandar, you just made my day, hahaha :D

Selasa, 09 November 2010

Raja Hutan Bernama Sandy Macan

Kalau anda adalah anak umur 3 tahun, apa yang biasa anda lakukan? Palingan tak jauh dari bermain sepeda roda 4, makan permen, atau sesekali menangis ketika tidak dibelikan mainan. Lalu kenakalannya mungkin tak lebih dari memanjat pohon atau bermain ketika waktu tidur siang datang.

Dulu saya bukan balita yang pendiam. Mamak saya dulu sering cerita kalau sewaktu usia 3-4 tahun, saya dan kakak saya yang beda 1 tahun, setiap pagi selalu nangkring di depan rumah. Buat apa? Menggoda cewek kembar yang waktu itu sudah duduk di bangku SD. Kami selalu mencegat mereka dan kadang-kadang menarik rok merah mereka.

"Bu Akbar, ini lho Nuran sama Kiki" mereka selalu berteriak ketika saya dan kakak saya muncul di tengah jalan dengan coreng moreng bedak bayi. Baru ibu saya keluar dan menjadi malaikat penolong bagi gadis kembar bernama Dina Dini itu.

Dulu saya pikir saya adalah bocah ternakal di seluruh dunia. Setidaknya di seluruh Indonesia.

Sampai saya bertemu dengan pahlawan saya.

Yang membuat saya harus bertemu dengannya. Memeluknya . Membakarkan dupa, atau menyajikan sesajen. Karena bocah ini adalah bocah pahlawan bagi seluruh anak-anak yang memimpikan jadi preman suatu saat nanti (emang ada ya anak-anak yang ingin jadi preman?).

Sambutlah, SANDY MACAN! Atau kadang dia menyebut dirinya sebagai Sandy Wedhus (wedhus itu bahasa jawa untuk kambing.Hey Raditya Dika, get off, panggilan kambing lebih cocok buat Sandy).

Bocah ini melakukan semua kenakalan yang seharusnya hanya pantas dilakukan oleh orang dewasa. Mulai merokok, misuh, sampe memperagakan orang bersetubuh.




Gila!

Saya dapat video pertama Sandy dari Cempreng, adik angkatan saya semasa SMA dulu. Ketika dikasih link video ini, saya hampir mati tertawa di bilik warnet yang sepi. Saya cekikikan, seraya harus menahan tawa yang berakibat perut saya kram. Serius.

Di video yang sepertinya diambil di sebuah gudang ini, Sang raja macan ini menunjukkan kalau dia sebenarnya adalah bocah yang cerdas. Dia begitu paham cara berkomunikasi ala orang dewasa. Bagaimana cara merokok yang benar , memperagakan gerakan bercinta ala dewa, hingga bagaimana membuat kepulan bulat dari asap rokok. Sadis!

Video ini berdurasi 3 menit 28 detik, durasi yang cukup lama bagi Sandy untuk menggila. Opening scene-nya pun shocking. Seseorang menanyainya.

"Sandy lek gede dadi opo? (Sandy kalau besar jadi apa?)

"Maling"

"Dueke digawe opo? (Duitnya dibuat apa?)"

"Mbalon (Melacur)"

"Nangdi (Dimana?)"

"Ndek dolly (di Dolly)"

Di video legendaris ini pula, Sandy mengeluarkan banyak petuah yang akan selalu dikenang oleh para pengikutnya.

"Sik, tak entekno rokoke, tak enak-enakno (Tunggu, aku habiskan dulu rokoknya, aku enak-enakin)" ujarnya seraya duduk dengan satu kaki ditekuk dan menghembuskan asap rokok. Kalimat ini yang sekarang selalu digunakan teman-teman saya untuk menggambarkan bersantai. Lalu ada lagi.

"Sandy balita?"

"Bejat"

"Jangan di?"

"Tilu. Lambene lusak (mulutnya rusak)" jawabnya. Dia bahkan belum bisa melafalkan huruf R dengan benar. Tiru jadinya tiru.

Ada juga adegan dia yang menirukan macan. Sembari bergaya dengan mimik muka yang lucu, dia berkata "Aku yo, macan yo, medeni yo, eaaaaaaaa."

Tapi yang paling memorable adalah ketika dia bercerita kalau temannya yang bernama Keceng kenthu (bahasa jawa slang untuk bersetubuh) di pos.

"Keceng kenthu ndek pos maeng . (Keceng tadi bersetubuh di pos). Ambek aku tak seneni. Ojo kenthu ndek pos, timbang tak bedhil koen! (Aku marahin. Jangan bersetubuh di pos, daripada nanti kamu saya tembak!). Lek nyeluk aku, ampun boss, ampun boss (Kalau manggil aku, ampun boss). Ampun matamu iku a! Tak ngonokno ambek aku (ampun matamu itu! Aku gituin!)" katanya bersemangat.

Yang bikin saya ketawa ngakak adalah, Sandy mengucapkan semua dialognya dengan intonasi dan gestur tubuh yang meyakinkan saya kalau dia adalah orang dewasa yang terperangkap dalam tubuh anak-anak.

Scene akhir video ini adalah ketika Sandy mengeluarkan asap rokok berbentuk bundar sempurna dari bibirnya. Saya sering meledek teman-teman saya yang tidak bisa melakukan itu.

"Mending berhenti ngerokok aja, bikin bunder aja gak bisa. Malu sama Sandy!" Mampus, hahaha :D

Segera saja, video itu menyebar. Tak butuh waktu lama bagi Sandy untuk jadi selebritis dadakan. Hampir semua media besar mewawancarai bocah perokok ini. Beberapa orang bahkan ikut mendompleng "ketenaran" bocah ajaib ini. Ada beberapa keluarga yang bercerita pada awak berita kalau anaknya merokok.

Saya ingat, ada satu keluarga dari Sumatera yang mempunyai anak balita perokok. Ketika diwawancarai, ibunya menggunakan bedak tebal dan gincu yang berwarna merah darah. Tampaknya dia sudah bersiap untuk diwawancarai. Suck!

Dampak dari popularitas mendadak ini ternyata melanda Sandy. Pemerintah akhirnya "perduli" akan balita rock n roll ini. Sang raja wedhus ini akhirnya dipertemukan dengan psikolog anak yang tersohor itu. Berujung pada Sandy yang berucap "Jancuk koen! Cuih" sembari meludahi sang psikolog anak itu, hahaha. You are so fucking rock kid!

Akhirnya sang maharaja preman kota Malang itu dimasukkan ke dalam panti rehabilitasi. Sandy dikurung di dalam sebuah kamar. Hebatnya, bocah dengan pipi tembem ini berusaha kabur dengan meloncat keluar lewat jendela. Luar biasa! James Bond cilik! Sayang dia tertangkap, dan pelariannya gagal.

Saya sendiri rada sedikit miris melihat sang idola saya dikurung. Hey, dia hanya bocah! Seharusnya yang direhabilitasi adalah para orang dewasa yang mengajarinya banyak perbuatan gila itu. Sandy hanyalah balita yang sedang dalam fase imitasi, yang cenderung menirukan apa yang diucapkan oleh orang lain. Dan keputusan untuk memperlakukan Sandy seperti penyakitan adalah keputusan yang salah. Besar. Keputusan untuk merelokasi tempat tinggal Sandy itu sepertinya lebih tepat. Mempertemukannya dengan lingkungan baru yang lebih baik akan menjadikan Sandy tumbuh berkembang dengan baik. Sayang relokasi itu terbentur biaya. Ayahnya hanyalah seorang kuli (ada yang ngomong tukang parkir) dan ibunya adalah seorang buruh cuci. Kapan-kapan saya akan ngomong ke Mamak untuk mengadopsi bocah ini.

Tapi sepertinya terapi itu berhasil. Sandy sang preman Malang itu berhasil "dijadikan" sebagai anak kebanyakan. Meskipun beberapa kali celetukan nakal dan cerdasnya keluar. Saya sendiri tak banyak mengikuti berita junjungan saya itu.

Tak dinyana, Angga Nyen, teman saya yang pantas untuk jadi kakak kandung dari Sandy Macan ini mendapat kiriman video Sandy lagi. Saat itu sepertinya Sandy masih belum masuk panti rehabilitasi. Video ini masih jarang dipunyai orang. Akhirnya Nyen mengunggah video ini ke Youtube dan sampai saat ini udah dilihat hampir 8 ribu kali.

Uniknya, di video kedua ini, Sandy mengenakan baju yang sama dengan baju yang dipakainya di video pertama. Sepertinya baju itu adalah baju setan, seperti topeng hijau di film The Mask.

Video kedua ini berdurasi lebih panjang. 7 menit lebih. Di video yang diambil di daerah Pulosari ini, Sandy benar-benar membuktikan kalau dirinya adalah jagoan misuh. Perkawanannya dengan orang dewasa membuat dia menjadi dewasa sebelum berkembang. Banyak sekali stok omongan kasar dan jorok di video ini. Yang saya sayangkan adalah, Sandy tak lagi tampak lucu di mata saya. Ia menjadi sedikit mengerikan. Dengan pipi yang menjadi tirus ketimbang pertama kali saya melihatnya, ia sudah bukan lagi bocah chubby yang lucu.

Tapi dandanan dan cara ngomongnya masih membuat saya tertawa. Cara dia memakai topi terbalik, menyanyikan mars Arema, caranya misuh, hingga caranya melabrak orang yang melihatnya, sungguh membuat saya tertawa, meski tak sekeras tawa saya dulu.

Ibarat makanan, Sandy adalah caviar yang langka, mahal, dan nikmat. Tapi kalau dimakan terlalu sering akan membuat bosan. Tetap nikmat, tapi sensasinya tak seperti ketika dulu pertama kali mencoba.

Karena Sandy pula, saya jadi ingin pergi ke Malang, menemuinya, lalu berfoto bareng. Iya, saya memang mengidolakan bocah ini.

Untuk melihat video Sang Raja Hutan yang pertama, klik disini.

Untuk melihat video kedua Sang Inspirator Gang Macan ini, klik disini.



*Untuk Fakhri, iki utangku Jak. Ayo saiki giliranmu! Lek wani, lebokno Jakartabeat atau Rolling Stone, ben kowe dipecat, hahaha*