Rabu, 25 Desember 2013

Gita Wiryawan Yang Serupa Sisifus

"[...] manusia terlalu sering bertepuk sebelah tangan."

Pramoedya Ananta Toer dalam Bumi Manusia

***

Saya pikir kutipan Pram itu tak akan pernah dikutip sampai kapanpun. Terutama karena ia kalah dengan kutipan-kutipan Pram yang lain. Yang jauh lebih mahsyur. Juga yang lebih menggugah semangat.

Tapi ternyata akhirnya saya kutip juga. Itu karena saya ingat tentang Gita Wiryawan. Sebelum anda membaca lebih lanjut, perlu diketahui ini bukan Gita Wirjawan yang menteri dan berparas rupawan itu. Ini adalah Gita lain, yang beda nasib. Juga beda tampang, tentu saja. Jadi kalau anda mengira ini tulisan tentang si tampan, anda salah. Ini tulisan tentang si Gita yang tak tampan --karena buruk rupa terlalu kasar.

Tak tampan kan?

Saya tak pernah menyangka bisa berkawan dengan pria keling asal Purwokerto ini. Sebelumnya saya hanya mengenalnya sebagai kawan dari Prima. Prima Sulistya, perempuan yang saya kenal dari Ekspresi, Unit Kegiatan Mahasiswa asal Universitas Negeri Yogyakarta.

Namun ternyata saya bisa juga bertemu dengan Gita. Saat itu Yogyakarta baru saja diguyur hujan deras hingga sore. Saya menjemput Gita di depan Universitas Pembangunan Nasional. Ia bilang ingin menginap di kontrakan saya sehabis kemping bersama kawan-kawannya di sebuah pantai.

"Halo mas, akhire ketemu pisan," ujar Gita sembari cengengesan. Quite impressive. Karena ia sedikit membuyarkan pandangan saya tentangnya.

Di blognya, ia sering menulis hal-hal yang serius dan reflektif. Seakan ia adalah pria yang bijak bestari. Mungkin karena itu pengaruh dari buku-buku yang ia baca. Ia suka Pram. Sering mengutip Nietzsche. Tak jarang berkisah tentang Albert Camus. Sesekali menyitir Pablo Neruda. Juga mengkoleksi buku Catatan Pinggir-nya Goenawan Mohamad. Tak heran, beberapa tulisannya sedikit bernafas GM. Reflektif, mengajak merenung, walau sebenarnya tak jelas juga apa yang harus direnungkan.

Saya dan Gita cukup dekat. Parameter yang saya gunakan adalah bisa gojlok-gojlokan hingga sangat parah. Ia bahkan dengan kurang ajar menuliskan wawancara fiktif dengan saya. Untungnya, sampai saat ini, kami belum pernah tersinggung satu sama lain. Ini adalah salah satu parameter lain yang saya gunakan untuk menggambarkan kedekatan hubungan.

Blognya pula yang membuat saya sedikit salah sangka terhadap Gita.

Saya adalah salah satu orang yang percaya bahwa orang yang pandai menulis pasti punya banyak fans. Baik laki atau perempuan. Dalam bayangan saya, Gita adalah salah satu orang yang termasuk golongan itu. 

Itu karena blog Gita begitu memukau. Alamatnya saja gagah: redemptionsoldier. Tentara penebus? Atau tentara penyelamat? Terdengar gagah, revolusioner, sekaligus heroik. Tagline blognya pun sangat filosofis: Dumadi, karena hidup adalah sebuah proses menuju jadi. Wow! 

Karena blognya itu, saya selalu membayangkan Gita adalah orang yang kalau berjalan selalu mendongakkan dagu dengan angkuh; lengkap dengan pelayan yang melempar flower confetti dari belakang; sibuk menanda tangani ini dan itu; dan yang pasti: ripuh menolak para perempuan yang menangis-nangis minta diterima cintanya.

Ternyata saya salah besar. Sangat teramat besar.

Gita ternyata sering ditolak!

Awalnya saya tak pernah tahu kisah cintanya. Tapi Gita adalah tipikal orang yang suka bercerita tanpa harus diminta. Andreas Rossi, kawan baiknya, juga menceritakan tabiat Gita itu.

Tak jarang, tanpa aba-aba atau pertanda, Gita sering bercerita tentang kisah cintanya yang pedih. Dari perempuan yang ditaksirnya tapi masih cinta sama mantan; hingga kolega satu kampus yang akhirnya menerima cinta orang lain, padahal Gita sudah menunjukkan tanda-tanda.

Gita tak tahu, atau belum tahu, bahwa perempuan tak butuh pertanda. Perempuan hanya butuh kepastian. Bersikap manis belaka tak akan membuatmu cintamu otomatis bersambut. Apalagi kalau kamu tak setampan Brad Pitt, sekaya Bill Gates, atau seromantis Don Juan.

Boleh saja kamu pintar setinggi langit, tapi tanpa bisa memperlakukan perempuan dengan baik dan pantas, kamu tetap akan sendiri dan menggigit jari.

Awalnya tentu saya tak ada keinginan untuk menggojloki Gita tentang kisah cintanya. Tapi toh itu terjadi juga. Salahkan wajah dan tingkah laku Gita yang dengan kuat menguarkan aura minta digojloki. Saya tak sendiri dalam merasakan hal ini.

Panjul, kawan saya yang sering ditulis di blog ini juga, turut merasakan aura yang sama. Ia termasuk salah satu dalam rombongan kereta penggojlok Gita.

Bagaimana tidak ingin menggojlok. Seperti misalnya, tanpa gelagat, suatu malam Gita tiba-tiba mengirimkan capture gambar perempuan yang menolak cintanya. Bahkan orang yang pemalu sekalipun akan menertawainya keras-keras. 

Pernah pula, suatu hari Gita mengirimkan kabar kalau ia akan ke Jakarta. Karena kebetulan saya sedang berada di Jakarta waktu itu, kami mengadakan janji ketemu.

Saya berpikir Gita ada urusan yang genting sampai rela datang ke Jakarta. Bagi yang belum tahu, Gita, lulusan Sekolah Tinggi Akutansi Negara, ini dinas di Bangko, Jambi. 

Ternyata Gita datang hanya untuk menagih kepastian kepada seorang perempuan yang ia taksir. Juancuk!

"Aku gak nembak mas, dia sudah balikan sama mantannya," kata Gita melas sembari menenggak sebotol bir yang sepertinya juga eneg mendengar cerita cinta pahit ala Gita.

Ingin rasanya saya memasukkan Gita ke tong sampah dan membuangnya jauh-jauh ke Kali Ciliwung. Biar ia mati dimakan ikan mutan hasil evolusi genetik dari limbah pabrik.

Bagaimana mungkin, seorang pria datang, membelah lautan, melintas pulau, hanya untuk menerima kenyataan bahwa gadis idamannya telah balikan dengan mantan.

Oke, balikan dengan mantan adalah satu perkara yang lain. Yang bikin saya kesal adalah Gita sama sekali tak menyatakan perasaannya. Sama sekali!

Mungkin Gita menganggap semua perempuan bisa membaca isi hatinya. Atau tepatnya, harus bisa membaca isi hatinya. 

Malam itu Gita menghabiskan botol dua bir. Juga kenyang oleh makian dan gojlokan dari saya dan Andre --ia menyebut Gita sebagai fosil-- yang menemaninya patah hati di pojokan sebuah minimarket di Jakarta Selatan. Menjelang subuh, Gita tertidur. Saya melihat ada setetes air mata di ujung pelupuk. Komikal sekali.

Tapi berkat itu, akhirnya saya tahu bahwa Gita adalah tipe-tipe pria masokis. Pria yang suka sekali tersiksa dan tersakiti. Tandanya jelas, ia suka sekali mengulang hal yang sama --menyukai perempuan tanpa harus memberi kepastian-- hanya untuk berakhir dengan ratapan saat perempuan yang ia sukai berlabuh pada pria lain.

Gita juga tipikal pria yang susah dipegang janjinya kalau menyangkut soal perempuan. Ia pernah, dengan gagah, berkata pada saya kalau ia tak akan lagi berhubungan dengan perempuan-perempuan yang menyakitinya. 

Awalnya ia membuktikan dengan menulis tulisan-tulisan reflektif dan GM-esque (ini, ini, dan ini), tentang rasa cinta yang bertepuk sebelah tangan. Juga tentang rasa pedih yang ia rasa. Lengkap dengan keinginan untuk mengucap selamat tinggal dan berpisah jalan.

Namun tak berapa lama kemudian, ya sudah bisa ditebak, Gita berkomunikasi lagi dengan perempuan-perempuan itu. Dasar masokis!

Tapi masalahnya adalah: Gita sepertinya menyukai tokoh Sisifus. Tokoh ini adalah tokoh yang dikutuk untuk mendorong batu menuju puncak bukit, hanya untuk menyaksikan batunya meluncur ke bawah. Lalu ia dengan santai mendorong lagi batunya. Begitu terus hingga akhirnya dunia kiamat.

Gita sepertinya terkesan dengan absurdisme macam itu. Karena itu Gita terus melakukan hal yang sama. Hanya untuk apa? Disakiti lagi, dan lagi. Toh Gita menganggapnya sebagai hal yang menyenangkan.

Menukil Pram kembali, manusia memang terlampau sering bertepuk sebelah tangan. Gita adalah salah satu perwujudan yang paling hakiki dari manusia jenis itu.  Tak bisa dibantah. Absolut.

Namun toh Gita menganggap dirinya adalah Sisifus. Bisa apa kita kalau ia menyukai rasa sakitnya yang --saya pikir-- sia-sia belaka. 

Namun semoga ia tak menganggap hidup dan kisah percintaannya adalah perulangan basi dari sesuatu bernama kegagalan. Karena ia pernah menulis, "...Sisifus merupakan pengingat bahwa hidup sejatinya adalah repetisi atas sebuah kegagalan." Gelap dan kelam sekali.

Semoga saja tak selamanya begitu, Git. []

Post-scriptum: note pendek ini saya buat karena ternyata Gita membagi tanggal lahir yang sama dengan ibu saya. Gita juga sering merengek minta ditulis. Ya sudah saya tuliskan ini saja. Semoga berkenan Git. Ayo ditolak lagi! Eh salah, maksud saya, ayo berusaha lagi mencari cinta! Ya meskipun nanti akhirnya ditolak juga sih...

Minggu, 15 Desember 2013

Endang

Menjelang ulang tahunnya yang ke 55, Endang Hidayati Masdar memutuskan untuk kembali ke cinta lamanya: memasak.

Nyaris lebih dari 40 tahun hidupnya diisi dengan memasak. Semasa kecil Endang turut membantu orang tuanya menjalankan bisnis pabrik limun. Tugasnya sederhana, menempelkan cap pada botol. Saat memasuki masa gadis, perempuan kelahiran Tanjung Redeb ini mulai memasuki dapur. Belajar memasak.

Endang diwarisi ilmu memasak yang mumpuni. Ibunya, Siti Zubaidah, perempuan berdarah Sulawesi - Banjar, lihai memasak Soto Banjar. Masakan perpaduan antara kaldu dari ayam kampung, taburan kentang goreng, lumatan perkedel, dan irisan ayam kampung ini lantas menjadi salah satu signature dish Endang di kemudian hari. 

Endang menemukan cinta berikutnya pada seorang pria bernama Akbar Pradopo. Hubungan mereka sempat tak direstui. Akbar, anak seorang guru bahasa Inggris cum peternak ayam potong, terkenal sebagai berandal remaja. Rambutnya gondrong. Suka musik rock. Naik gunung. Jarang sholat. Dan sesekali nongkrong bersama kawan-kawannya untuk main domino di sungai belakang rumah.

Namun mereka tetap berjalan. Mereka berdua kuliah di Universitas Jember. Endang masuk Fakultas Hukum. Cocok, karena ia suka sekali berbicara. Terkesan cerewet. Akbar masuk Fakultas Pertanian. Ia sempat melarikan diri ke Yogyakarta, jadi tenaga cuci piring di restoran. Penyebabnya? Ia kecewa karena tak diterima di Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada gara-gara buta warna. Ia lebih kecewa lagi karena satu hal: ia baru sadar kalau selama ini ia buta warna.

Endang kembali menekuni cinta lamanya, memasak. Kali ini Endang melakukannya juga demi mencari upajiwa.

"Aku yang memasak, dan Akbar yang mengantar makanannya kalau aku sedang latihan basket," kata Endang suatu ketika.

"Pakai motor pinjaman, ya karena aku belum punya motor," tambah Akbar, tertawa.

Endang juga hobi main basket. Bahkan ia sempat memperkuat tim basket Universitas Jember. Endang banyak dikenal gara-gara kidal. Saat itu jarang ada pemain basket perempuan yang mendrible bola dengan tangan kiri.

Kateringnya laris. Pelanggannya ya berasal dari kawan-kawan Endang dan Akbar. Mereka berdua supel. Tak heran, kawannya pun berasal dari aneka ria jurusan. Mereka juga sering menggoda Endang kalau ia sedang latihan basket.

"Ndang, Ndang, cepetan latihane, aku gurung mangan (Ndang, Ndang, cepatlah latihannya, aku belum makan," goda kawan-kawan Endang.

Tahun 1987, Akbar dan Endang menikah. Namun jalannya tak mulus. 

Masdar Damang, ayah Endang, adalah pensiunan Angkatan Laut. Ia adalah pria yang sayang keluarga. Juga keras. Masdar pindah ke Lumajang saat pensiun. Menekuni dunia agama dan menjadi salah satu tokoh Muhammadiyah di Lumajang. Ia tak rela kalau Endang, satu dari lima anak perempuannya, menikah dengan Akbar, pria gondrong yang sepertinya tak tahu adat.

Keluarga geger. Endang patah hati. Sebab saudara-saudara Endang tahu kalau hubungan Endang dan Akbar sudah dimulai sejak SMA. 

Akbar mengajak Endang untuk kabur. Kawin lari. Endang menampik keras.

"Lek koen ngajak aku mblayu, aku mangan opo? Wong koen gurung kerjo (Kalau kamu mengajak aku kawin lari, aku makan apa? Kamu kan belum kerja)," ketus Endang kala itu.

Akbar tersenyum pahit.

"Ya harus gitu, cinta ya cinta. Tapi tetap harus realistis dan gak buta karena cinta," imbuh Endang.

Akhirnya jalan tengah diambil. Sjahrazad Masdar, anak tertua keluarga, akhirnya menyuruh Endang untuk berlibur dulu di Bali.

Di Bali, Endang ditampung di rumah Tutik Masdar, anak ketiga sekaligus anak perempuan tertua di keluarga. Di Bali Endang berkeluh kesah pada kakak perempuannya itu. Ia menangis. Tutik menghiburnya. Endang diajaknya berkeliling Bali. Melihat Kuta dan Sanur yang masih sepi. 

Sedangkan di Lumajang, rapat keluarga Masdar digelar. Masdar masih bersikeras tak merestui hubungan anaknya dengan Akbar. Melihat hati sang ayah bagai batu, Sjahrazad berlaku tak kalah keras.

"Kalau abah masih tak setuju, biar ulun1 yang menikahkan Endang sama Akbar," kata Sjahrazad.

Masdar akhirnya melunak. Ia setuju Endang menikah dengan Akbar dengan satu syarat: Akbar sudah bekerja.

Saat pertemuan keluarga digelar, Masdar bertanya pada Akbar tentang pekerjaan. Akbar dengan hati mantap berkata bahwa ia sudah diterima jadi dosen PNS di Universitas Muhammadiyah Jember. 

Padahal saat itu Akbar baru sekadar mengikuti tes ujian PNS.

"Ya gak papa lah, berbohong demi cinta dan restu," tukas Akbar sambil terkikik.

Tapi semua berakhir bahagia. Mereka akhirnya menikah pada awal bulan, saat almanak menunjukkan tahun 1987.

Lumajang sedang hangat saat itu.

***

Akbar dan Endang mempunyai empat orang anak dari hasil pernikahan mereka. Anak pertama Ahmad Zacky Akbar; Aunurrahman Wibisono; Nurina Izzati Pramesi; dan si bungsu yang manja dan keras kepala, Sachnaz Apsari Magfirah.

Keluarga ini hidup sederhana. Tak kaya. Sekadar cukup, asal bahagia. 

Akbar meninggal pada bulan Desember 2010. Endang kehilangan separuh atmanya. Hari itu, Jember hujan deras. Malam hari, Endang menangis terisak berkalang bantal. Kehilangan ini begitu memukul Endang.

"Aku seperti kehilangan semangat hidup saat itu," katanya lirih. Pelupuknya sedikit tergenang oleh air.

Hingga kini, tiga tahun semenjak kematian Akbar, Endang masih menggantung baju terakhir yang dipakai Akbar, kaos berkerah berwarna biru tua, dibalik pintu kamar.

"Kalau aku kangen, aku ciumin kaos ini, kadang masih muncul baunya Akbar," katanya sembari tersenyum.

Akbar dikubur berdampingan dengan Yamin Soewarso dan Siti Karnati, orang tua Akbar, di sebuah areal pekuburan yang terletak di atas bukit yang dikelilingi sawah dan di bawahnya mengalir sungai. Asri.

Sampai sekarang, Endang belum sanggup datang ke kuburan Akbar. Padahal jarak rumah Endang dengan kuburan Akbar hanya sepeminuman teh belaka. 

"Aku takut gak kuat kalau melihat kuburan Akbar," tukasnya pendek. 

Namun Endang tak pernah putus doa. Saat ayam masih terlelap, Endang bangun dan melakukan tahajud. Hening malam dan doa melebur jadi satu.

Sesekali terdengar isak tangis dari mushola rumahnya.

***

Burit baru saja usai. Warung Endang di bilangan Mastrip tampak ramai dikunjungi pembeli.

Mastrip adalah sebuah daerah yang terletak di wilayah emas kampus Universitas Jember. Di daerah Mastrip berdiri Fakultas Kedokteran dan Fakultas Kedokteran Gigi.

Mastrip ramai. Banyak warung kopi. Juga warnet. Ada pula minimarket 24 jam. Namun di daerah tempat Endang berjualan, nyaris tak ada warung. Padahal jaraknya hanya sepelemparan batu dari Fakultas Kedokteran. Padahal ada banyak kos-kosan di dekat warung Endang. Tak heran, warungnya kini laris manis.

Endang mendirikan warung sederhana di depan rumah adik iparnya, Agus Wahju Tjahjono. Agus menikahi adik bungsu Endang, Indah Amperawati.

Agus punya rumah yang sekaligus dijadikan kosan perempuan. Ada sekitar 47 kamar di kosan ini. Endang melihat peluang, karena tak ada warung di sekitar sana. Sedangkan banyak anak kos yang kadangkala malas mencari makan terlalu jauh.

Akhirnya bermodal beberapa ratus ribu untuk membeli lemari kaca dan bahan masakan, Endang pun kembali ke cinta lamanya: memasak.

Meski Endang lebih sering melayani katering, membuka warung di Mastrip bukan pengalaman pertamanya. Di penghujung tahun 1980, setelah menikah dengan Akbar, Endang membuka warung kecil di dekat kampus Universitas Muhammadiyah.

Tempat sederhana itu milik rektor kampus dimana Akbar mengajar. Daripada tak terpakai, Akbar menyewanya. Dan Moelyono, sang rektor, meminjamkan dengan senang hati.

"Itu lumayan untuk menyambung hidup, soalnya dulu gaji Akbar cuma 69 ribu," kata Endang sembari tertawa kecil.

Endang berjualan aneka masakan. Mulai rawon, soto, nasi pecel, rujak, hingga comfort food macam mie goreng dan nasi goreng. Dagangannya laris manis tanjung kimpul.

Masakan itu juga yang dijual Endang di warung barunya di Mastrip. Salah seorang anaknya pernah mengusulkan untuk memasukkan masakan seperti sayur asam. Tapi masakan seperti kurang disukai pelanggannya.

"Mereka tetap suka pecel, rawon, soto, nasi goreng, dan mie," kata Endang sembari mengambil margarin dari wadahnya.

Ia menumis margarin hingga meleleh. Lalu dengan sigap memasukkan sambal bajak, diberi sediki kecap, lalu diaduk. Nasi lantas dimasukkan dan dicampur hingga warna nasi menjadi merah kecoklatan. Endang tak memakai saos untuk menampilkan warna merah yang menggoda. Warna itu ia dapat dari sambal bajak.

"Telurnya mau dadar atau ceplok?" tanya Endang pada salah seorang pelanggannya.

"Diceplok aja bu."

Lalu Endang menggoreng telur ceplok. Tak sampai 2 menit, selesai sudah. Endang membungkus nasi goreng dengan telur ceplok. Satu porsi nasi goreng dengan telur ceplok dihargai murah, 6 ribu rupiah saja.

Endang lalu membuka kaleng wafer berwarna hitam dengan gambar perempuan memakai gaun era Victorian. Ternyata itu wadah uangnya.

Tak hanya berisi uang, kaleng itu berisi dua siung bawang putih dan dua butir cabai. Mereka sudah layu, tanda sudah lama disimpan dalam kaleng kedap udara itu.

"Itu titipannya Mak Ri, biar uangnya gak dicuri tuyul," kata Endang sambil terkekah.

"Biar lah, orang tua omongannya harus didengar. Kalau gak didengar nanti ngambul."

Mak Ri adalah pembantu rumah tangga Endang. Perempuan asal Nguling, Jawa Timur, ini sudah ikut Endang selama lebih dari seperempat abad. Bagi Endang dan keluarga, Mak Ri bukan sekedar pembantu biasa. Ia adalah bagian dari keluarga.

Malam itu pendapatan Endang lumayan. Hingga selepas Isya, ia sudah mengumpulkan 400 ribu. Lumayan untuk ditabung. Endang memang tekun menabung. Sangat kontras dengan Akbar yang boros, terutama menyangkut hobi: buku dan musik.

Warung Endang nyaris tak pernah libur. 7 hari dalam seminggu selalu buka. Warung ini buka mulai jam 9 pagi, hingga jam 8 malam. Salah seorang anaknya pernah khawatir akan kesehatan Endang, dan menyuruhnya untuk menutup warung pada hari Sabtu dan Minggu.

"Sayang, Sabtu dan Minggu itu hari yang paling ramai pengunjung. Soalnya warung lain biasanya nutup," tutur Endang rebahan di kasur di belakang warung.

***

Menjelang ulang tahunnya yang ke 55, Endang sudah kembali ke cinta lamanya: memasak. Tak sekedar sebagai hobi, Endang kembali melakukannya untuk bertahan hidup.

Semenjak Akbar meninggal, gaji pensiunan tentu tak cukup untuk membiayai kebutuhan rumah tangganya. Memang dua anak laki-lakinya sudah mentas dan mulai mencari nafkah. Namun mereka masih belum banyak membantu. Mereka hanya sesekali mengirimi uang kalau sedang ada rejeki.

Endang sempat mencari penghidupan di berbagai bidang. Asal halal, katanya suatu saat. Endang pernah membuka dealer motor kecil-kecilan di Arjasa, desa yang sudah menjadi tempat tinggalnya selama 26 tahun. Juga sempat menekuni usaha batu piring. Namun ibarat kekasih, mereka hanya sekedar cinta monyet belaka. Datang sejenak, lalu pergi hanya untuk dikenang.

Namun memasak, bagai Musashi bagi Otsu, untuk Endang. Maka saat usianya mulai menapak 55 tahun, Endang kembali pada cinta lamanya. Juga cinta pertamanya.

"Warung hari ini libur. Ada orderan untuk nasi kotak, 300 kotak. Lumayan buat nambah tabungan," ujar Endang sembari tersenyum.

Hari ini, 15 Desember, Endang akhirnya menapak 55 tahun. Beberapa helai uban mulai tampak di rambutnya yang selalu dipotong pendek itu. Kerut mulai banyak tampak di bawah mata dan di pipi. Kadangkala capai bisa menghasilkan tulang yang kaku. Keahlian dribel bola dengan tangan kiri sudah tentu jadi kenangan sahaja.

Endang memang sudah tak muda lagi. Namun ia menolak untuk dikalahkan umur dan pesimisme hidup yang berat. Asal ia masih bisa merasakan rasa masakan, masih bisa menggerakkan wajan, juga meracik bumbu, rasa-rasanya Endang masih akan terus berdiri tegak. 

Karena memasak, cinta pertamanya, akan selalu membuatnya hidup. []

End-note:

1. Ulun: Bahasa Banjar halus untuk kata "saya".

post-scriptum: Ini sebenarnya tulisan yang bahkan belum selesai ditulis. Tapi saya unggah dulu sementara sebagai hadiah ultah Mamak yang ke 55. Saya janji akan terus memperbaiki tulisan ini. Menambahi apa yang sekiranya diperlukan. Karena saat ini, baru tulisan yang bisa saya persembahkan untuk mamak. Selamat ulang tahun Mak, di sepanjang usiaku kini dan kelak, tak akan pernah bisa aku mengganti jasa-jasamu.

Sabtu, 30 November 2013

Menuju Banyuwangi Sebagai Kota Festival Musik

Bagaimana musik bisa menjadi suluh penyelamat sebuah kota yang sedang menuju kebangkrutan nan kelam?

Kota Liverpool bisa menjadi contoh yang bagus tentang kota yang diselamatkan musik. Pada dekade 60-an, kota yang dikenal sebagai kota industri dan pelabuhan ini mengalami krisis sebab tenaga kerja di pelabuhan dan pabrik sudah mulai diambil alih mesin.

Hal ini berlangsung hampir selama dua dekade. Pada dekade 80-an, keadaan sosial ekonomi di Liverpool makin compang camping. Pemerintah kota lantas mencari cara untuk memperluas lapangan kerja dan menggenjot pariwisata. 

Saat itu akhirnya pemerintah kota Liverpool mencanangkan fokus kepada pariwisata musik sebagai pendongkrak ekonomi kota (Cohen, 1991). Hal ini wajar, sebab Liverpool dikenal sebagai kota kelahiran Beatles, salah satu band terbesar di dunia --bahkan hingga saat ini. Karena itu kota pelabuhan ini punya banyak situs-situs bersejarah yang berkaitan dengan Beatles. Pemerintah kota mulai mempromosikan Liverpool sebagai kota musik.

Sejak kematian vokalis Beatles, John Lennon, pada tahun 1980, kunjungan wisatawa ke kota Liverpool guna mendatangi situs-situs Beatles semakin meningkat. Cohen (1997) menyebut Liverpool telah sukses mengkapitalisasi Beatles untuk jadi brand baru bagi kota Liverpool. 

Para wisatawan banyak membanjiri tempat-tempat yang jadi tempat landasan awal karir The Beatles. Mulai dari Pelabuhan Albert, The Cavern Club, hingga Mendips dan 20 Forthlin Road. Lapangan kerja pun semakin banyak tersedia. Kota tak lagi mengandalkan pabrik dan pelabuhan sebagai pemberi daya hidup utama. Kota Liverpool telah beranjak menjadi kota kreatif.

Saking suksesnya mengemas Liverpool menjadi kota pariwisata musik, kota yang terletak di barat laut Inggris ini bahkan dinobatkan sebagai World Capital of Pop (Ibu Kota Musik Pop) oleh Guinnes World Record.

Sejak saat itu Liverpool semakin mengukuhkan identitas sebagai kota pariwisata musik. Saat ini ikon baru kota Liverpool adalah Liverpool International Music Festival, sebuah festival musik tahunan yang diadakan gratis, dan merupakan festival musik gratis terbesar di Eropa. Pada tahun 2009, festival ini sukses ditonton oleh sekitar 200.000 pengunjung.

Menggeliatnya Pariwisata Musik

Kesuksesan Liverpool juga merupakan kesuksesan Britania Raya dalam mengemas musik sebagai ikon pariwisata baru.  Britania Raya (yang beranggotakan  Inggris, Irlandia Utara, Skotlandia dan Wales) bahkan punya lembaga resmi bernama UK Music yang didirikan untuk mencatat segala angka yang berkaitan dengan musik dan pariwisata.

Dari data yang dikeluarkan lembaga itu pada tahun 2011, Britania Raya dikunjungi oleh 7,7 juta orang dari konser-konser  besar yang dihelat di seluruh penjuru Britania. Jumlah wisatawan sebesar itu berasal dari wisatawan yang datang ke pertunjukan musik saja. UK Music menyebutnya sebagai turis musik, yang berasal baik dari domestik maupun mancanegara. Turis domestik mendominasi jumlah turis musik di Britania Raya, yakni sekitar 7,4 juta orang. Sisanya adalah turis mancanegara. 

Industri pariwisata musik memang sedang menggeliat sejak dua dekade terakhir. Salah satu ujung tombak pariwisata musik adalah festival musik. Hughes (2000) dalam buku Arts, Entertainment, and Tourism mengungkapkan kalau  tiap tahunnya ada sekitar 4000 festival musik di Amerika, kurang lebih 520 festival di Inggris, dan 800 festival di Perancis. Genre festival-nya pun beragam. Mulai dari rock, jazz, blues, folk, hingga musik etnis. Festival-festival itu memberi pemasukan dan perluasan lapangan kerja yang tak sedikit.

Di Britania Raya misalnya, 7,7 juta turis musik itu membelanjakan uang sebanyak 1,4 milyar poundsterling, dimana sebanyak 864 juta poundsterling masuk ke kas negara. Festival-festival musik ini juga memberikan pekerjaan penuh waktu bagi 19.700 orang. Itu baru dari festival saja.

Bagaimana dengan di Indonesia? Indonesia pun ikut serta dalam menikmati manisnya kue pariwisata musik ini. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Marie Elka Pangestu, menyebutkan bahwa ada peningkatan sebanyak 30% kunjungan wisatawan mancanegara jika ada konser ataupun festival musik di Indonesia.

Di Indonesia juga terjadi peningkatan jumlah festival musik lintas genre secara signifikan sejak satu dekade lalu. Mulai dari Java Jazz, Rock in Celebes, Bandung Berisik, Hammersonic, Jazz Gunung, hingga yang baru-baru dan sedang berkembang seperti Kutai Rock Festival dan Banyuwangi Jazz Festival.

Aneka ria festival ini juga mendatangkan penonton dalam jumlah yang banyak dan semakin meningkat tiap tahunnya. Festival Java Jazz misalnya. Pada saat pertama kali diadakan, festival ini dikunjungi oleh kurang lebih 48.000 penonton. Jumlahnya terus meningkat hingga mencapai puncaknya pada tahun 2011, yakni dikunjungi oleh 150.000 penonton. Tak heran, Java Jazz kini dianggap sebagai salah satu festival jazz terbesar di dunia.

Mengemas Banyuwangi Sebagai Kota Festival Musik

Banyuwangi sudah sejak dulu dikenal sebagai kota yang punya akar budaya yang kuat. Hal ini juga ditambah dengan indah bentang alamnya. Dari gunung, pantai, hutan, Banyuwangi punya semua. Hal ini tentu mempermudah pengemasan Banyuwangi sebagai kota wisata alam, budaya, dan kota festival musik.

Langkah itu sudah mulai diwujudkan sejak tahun 2012. Banyuwangi Jazz Festival menjadi gong penabuh dan langkah awal menuju Banyuwangi kota festival musik. Pemerintah Banyuwangi jelas sudah mengetahui pentingnya festival musik bagi sektor pariwisata di sebuah kota.

Salah satu langkah yang patut diapresiasi dari gelaran Banyuwangi Jazz Festival ini adalah adanya usaha mengkolaborasikan seni tradisional Osing dengan musik jazz. Ini adalah salah satu poin unggul dalam Banyuwangi Jazz Festival. Kolaborasi antara seniman tradisional Using dan musisi kontemporer adalah diferensiasi yang penting.

Kenapa diferensiasi ini penting? Karena saat ini ada banyak festival jazz --sekitar 50-an-- di Indonesia. Diferensiasi alias faktor pembeda tentu menjadi poin penting agar Banyuwangi Jazz Festival bisa berbeda dari festival jazz lain. 

Menampilan seniman-seniman tradisional juga sangat penting dalam kaitan akar sejarah. Meski tema utama festival adalah jazz, tak harus serta merta melupakan akar budaya Banyuwangi yang kuat. Seperti yang kita ketahui, di Indonesia ada banyak sekali seniman tradisional yang seakan terpinggirkan dan terlupakan. Dengan menampilkan seniman-seniman tradisional di panggung Banyuwangi Jazz Festival, itu artinya penyelenggara tak melupakan seniman tradisional, sekaligus mengenalkan seniman-seniman itu ke khalayak yang lebih muda.

Banyuwangi Jazz Festival juga unggul dalam kontribusi terhadap masyarakat lokal. Festival musik yang baik memang seyogyanya memberikan kontribusi terhadap masyarakat lokal. Pada banyak festival musik di luar negeri, penyelenggara memberikan keuntungan acara kepada sekolah-sekolah, panti sosial, hingga yayasan sosial. Tak hanya itu, ada diskon khusus bagi penduduk lokal yang ingin menonton festival, juga membagikan banyak tiket gratis melalui kuis interaktif.

Banyuwangi Jazz Festival juga melakukannya. Menurut penuturan bupati Banyuwangi, Azwar Anas, keuntungan dari Banyuwangi Jazz Festival pada tahun 2013 dialokasikan untuk merehab rumah miskin. Ini adalah salah satu bukti bahwa festival musik bisa membawa dampak langsung dan memberikan kontribusi terhadap masyarakat lokal.

Selain Banyuwangi Jazz Festival, pemerintah Banyuwangi seharusnya sudah mulai memikirkan festival musik lain. Seperti membuat festival musik dunia alias world music. Banyuwangi punya musik dan tari Gandrung yang sudah mendunia. Bayangkan kesenian Osing seperti Gandrung, Janger, Mocopatan Pacul Goang, Angklung Caruk, hingga orkestra kluncing, kethuk, dan kempul menyatu dalam satu panggung besar festival world music. Pasti akan sangat megah. Kesenian ini bisa dikemas dalam sebuah festival musik berkelas dunia, tentu hal ini akan semakin mengangkat nama Banyuwangi sebagai kota festival musik di Indonesia. Bahkan dunia.

Lalu Apa?

Namun puja-puji melenakan saja tentu tak akan membangun. Ibarat bayi,  Banyuwangi Jazz Festival masih perlu banyak belajar cara berjalan sebelum bisa berlari. Masih banyak yang harus dipelajari dan dibenahi. Festival musik yang baik adalah festival musik yang berkesinambungan, tak hanya sekali lalu mati. Untuk itu diperlukan kerja sama yang lebih baik antara pemerintah Banyuwangi dengan media, sponsor, festival lain, supplier, perusahaan swasta, dan komunitas lokal. Saat proses ini bisa dikerjakan dengan baik, maka festival musik bisa jadi identitas sebuah kota (Gibson dan Connel, 2003).

Pemerintah Banyuwangi juga harus memperhatikan faktor seperti aksesibilitas (bandara, terminal, akses jalan, dan kendaraan umum) dan amenitas (rumah makan, penginapan, tempat menjual merchandise), yang seringkali diabaikan. Padahal aksesibilitas dan amenitas ini merupakan faktor penting dalam pariwisata.

Selain itu perlu ditilik hal-hal kecil seperti official website yang juga masih perlu banyak dibenahi. Situs resmi ini vital karena situs ini adalah sumber informasi yang akan diakses oleh calon penonton. Seharusnya situs resmi ini bisa memberikan info terbaru dan terlengkap tentang pagelaran Banyuwangi Jazz Festival. Saat ini situs resmi Banyuwangi Jazz Festival (http://banyuwangijazz.com/) belum optimal, hanya berisi sedikit informasi, dan belum ada fitur dwi bahasa.

Yang juga wajib diperhatikan adalah kualitas lineup alias pengisi acara. Pengisi acara adalah salah satu faktor penting dalam festival musik. Dapat dikatakan bahwa sukses dari sebuah festival tergantung pada kehadiran bintang tamunya (Wallace, Seigerman, Holbrook, 1993). Diharapkan, penyelenggara Banyuwangi Jazz Festival bisa memahami pentingnya faktor pengisi acara agar acara ini bisa terus berkembang dan semakin besar. []

Post-scriptum: Tulisan ini dibuat untuk mengikuti lomba menulis yang diadakan oleh Pemkab Banyuwangi. Saya mengambil tema Potensi Wisata Banyuwangi.

Minggu, 24 November 2013

House of Broken Love

Jack Russel sedang berada di puncak ketenaran pada medio 1987. Ia adalah frontman Great White, band hard rock yang tenar pada era 80-an. Lagu-lagu mereka bersliweran di tangga lagu radio. Video klip mereka jadi heavy rotation di MTV. Ini berkat album ketiga mereka, Once Bitten... (1986) yang melejitkan single "Rock Me". Dua album Great White sebelumnya, S/T (1984) dan Shot in the Dark (1986) belum mampu mengangkat nama Great White. Namun sejak album Once Bitten..., Russel menjelma jadi idola baru banyak fans, terutama wanita.

Tak heran, ia gagah. Russel berbadan tegap dengan suara serak basah yang sangat jelas dipengaruhi oleh Robert Plant. Auranya sangat maskulin, berbeda dengan beberapa frontman hair metal yang kebanyakan beraura manis dan 'ayu'. 

Tapi Russel adalah salah satu contoh adagium terkenal: rocker juga manusia. Meski punya banyak fans wanita dan bisa tidur dengan wanita manapun, Russel bisa juga patah hati. 

Semua berawal dari perceraian pertamanya. Russel menjadi kacau. Ia limbung. Jangankan melakukan konser, menggarap album baru pun ia malas.

Saat itu tolan setianya adalah Mark Kendall. Ia adalah gitaris sekaligus pendiri Great White bersama Russel. Gitaris yang identik dengan topi koboi berwarna hitam ini juga sedang berusaha bertahan dari cintanya yang kandas dilamun badai.

Mereka sering duduk berdua dan tidak melakukan apapun.

Suatu hari, Alan Niven, manajer mereka, sedikit gemas melihat mereka Russel dan Kendal hanya duduk dan bermalas-malasan. Sedikit menyindir dan berkelakar ia berkata, "what is this, the house of broken love?"

Dari candaan itu, Kendall mendapat ilham. Akhirnya bersama Michae Lardie --gitaris sekaligus keyboardis Great White-- dan Niven, mereka menulis lagu yang kelak diberi judul "House of Broken Love".

Lagu ini masuk dalam album keempat Great White, ...Twice Shy (1987), yang sekaligus merupakan album terlaris mereka. Lagu bernuansa blues nan sendu ini berhasil menduduki peringkat 7 dalam tangga lagu Billboard Mainstream Rock Tracks.

Dalam sebuh wawancara dengan The Friday Rock Show milik BBC, Russel mengatakan bahwa lagu ini adalah, "...tentang kesendirianku saat melewati perceraian." Tak heran liriknya pun liris.

When the night falls, and she's leaving, 
Ooo the moon shines so cold and grey. 
Hear my heart beat ,yeah,yeah, hear me weeping 
Pain and sorrow's here to stay, 

But I begged you baby help me, but you turned your back on me, you didn't even listen.
You should have set me free. 
Now I'm leaving with the devil, gonna leave this search for love, 
I'm leaving with the devil, leave this house of broken love. 

***

Sejatinya, tema patah hati adalah tema yang umum dalam band hair metal. Saat itu kondisinya pas dengan permintaan industri musik yang mensyaratkan adanya --paling tidak-- satu buah single ballad dalam sebuah album. Maka ada banyak sekali band yang menuliskan lagu tentang patah hati. 

Kebanyakan dari mereka menuliskan pengalaman patah hati orang-orang terdekatnya. Entah itu kawan, roadie, atau sanak saudara. Namun tak sedikit yang menuliskan berdasarkan pengalamannya sendiri. Karena itu acapkali lagu-lagu mereka mempunyai lirik yang sangat personal sekaligus reflektif. 

Seperti misalnya lagu "I Saw Red" milik band Warrant. Lagu ini muncul dalam album mereka yang paling sukses, Cherry Pie (1991). 

See red sendiri adalah sebuah istilah dalam bahasa Inggris untuk menyatakan amarah yang teramat sangat. Jani Lane, sang vokalis sekaligus penulis lirik Warrant, memakai frasa itu kala memergoki sang pacar --yang sudah berpacaran dengan Lane selama tiga tahun-- tidur dengan karib Lane sendiri. Kejadian ini membuat Lane sangat shock.

Lane menelan kemarahan sekaligus kegetirannya itu dengan menulis lirik. Namun uniknya, Lane menulis "I Saw Red" dengan nuansa yang teramat kontras. Pada bagian sebelum reff, Lane menuliskan larik-larik indah tentang kekasihnya.

Oo it must be magic
How inside your eyes
I see my destiny
Every time we kiss
I feel you breathe your love so deep inside of me

Juga larik ini:

And if the sun should ever fail to send its light
We would burn a thousand candles
And make everything alright

Namun pada bagian reff, Lane menumpahkan rasa getirnya:

Then I saw red
When I opened up the door
I saw red
My heart just spilled onto the floor
And I didn't need to see his face
I saw yours
I saw red and then I closed the door
I don't think I'm gonna love you anymore

Ironisnya, lagu personal nan pilu ini justru sukses di pasaran. "I Saw Red" menjadi salah satu lagu Warrant yang paling sukses, menembus 10 besar dalam tangga lagu Billboard. Jadi bukti bahwa kepedihan bisa jadi dagangan yang laris manis.

Lane sendiri memilih untuk bersenang-senang selepas patah hatinya.

"Aku baru saja putus dengan pacar yang sudah menjalin hubungan denganku selama tiga tahun. Jadi sekarang aku bisa menulis lagu dengan tema seks liar --dan melakukannya!-- yang selama ini tak bisa ku lakukan sebelumnya --karena menjaga perasaan pacarku," kata Lane dalam suatu wawancara.

Lane tak sendiri. Kroninya, Bret Michaels dari band Poison juga mengalami patah hati yang sama hebat. Padahal Michaels frontman band terkenal. 

Pada tahun 1986, Poison merilis album pertama mereka Look What the Cat Dragged In. Album perdana ini melambungkan mereka dalam senarai band populer. Album ini berhasil menduduki nomer 3 dalam tangga album Billboard 200 pada tahun 1987. Album ini juga menjadi cetak biru bagaimana sebuah band hair metal bersikap, baik dalam lagu dan penampilan.

Meski sudah jadi rock star papan atas, Michaels juga bisa patah hati. Kejadiannya bermula pada suatu malam saat Michaels dan Poison usai manggung di Dallas. Michaels kala itu sedang berada di laundromat dan menunggu pakaiannya dikeringkan.

Kala menunggu itu ia menelpon Tracy Lewis, sang kekasih yang berada nun jauh di sana. Namun saat Lewis mengangkat teleponnya, tanpa sengaja terdengar suara desahan lelaki. Michael muntab sekaligus gulana. Ia langsung memutuskan Lewis saat itu juga.

Dan di laundromat bersejarah  itu pula, Michael menuliskan lagu yang kelak menjadi legendaris, "Every Rose Has Its Thorn".

"Aku menulis lagu itu hanya dengan gitar akustik. Lalu aku langsung merekamnya di studio. When I wrote it, it came from my heart and soul," kata Michaels dalam sebuah wawancara.

Lagu itu awalnya tak akan dirilis oleh label rekaman yang menaungi Poison. Mereka tak percaya kalau lagu itu bisa jadi hits. Tapi perkiraan para eksekutif label itu salah besar. 

Lagu yang lantas masuk dalam album kedua Poison, Open Up and Say... Ahh! (1988), berhasil menjadi nomer 1 dalam nyaris semua tangga lagu di Amerika. Bahkan VH1 memasukkan lagu ini dalam "100 Greatest Songs of the 80'S".

"Label kami awalnya enggan memasukkan lagu ini dalam album. Mereka tak percaya pada lagu ini. Dan lagu ini berakhir menjadi lagu nomer satu," kenang Michaels.

Michaels menuliskan lirik patah hati ini dengan sangat indah dan puitis. Ia memakai metafora yang sangat bagus. Michaels, pria kelahiran Pennsylvania, mengibaratkan patah hatinya sebagai luka akibat sayatan pisau, "...the wound heals, but the scar, that scar remains."

Lukanya sembuh, namun bekasnya akan tetap ada.

***

Namun seperti biasa, para dedengkot hair metal ini terlalu akrab dengan sex, drugs, rock n roll. Patah hati hanya mereka mampir sekejap saja. Hanya berucap halo kemudian ditendang. Dan mereka kembali larut dengan kegilaan mereka. Pesta! Pesta! Pesta!

Beda dengan Russel, Lane, dan Michaels, beberapa hair rocker lainnya menuliskan lirik patah hati dengan semangat misoginis. Mereka tak sudi menundukkan kepala, melainkan mendongakkan dagu dan mencari perempuan lain. Entah untuk sekedar ditiduri, atau untuk dicintai.

Mulai dari L.A Guns yang menuliskan ballad patah hati dengan sedikit riang berjudul "It's Over Now", hingga keoptimisan Bon Jovi pada lagu "You Give Love a Bad Name", dan kearoganan Mike Tramp dkk dari White Lion dengan lagu anthem sepanjang masa mereka, "Broken Heart".

Tadi sore saat saya sedikit lelah membaca dan revisi tesis, saya iseng mengumpulkan lagu-lagu patah hati dari banyak band hair metal. Tak ada kesulitan yang berarti, karena nyaris semua hair band punya lagu tentang patah hati. Maka saya menyusunnya dalam sebuah mixtape yang saya beri judul sesuai lagu Great White, House of Broken Love

Selain nama-nama yang disebutkan di atas, ada pula lagu dari Vinnie Vincent Invasion, Vixen, Steelheart, London Quireboys hingga band asal Jepang Loudness --yang sebenarnya kurang tepat juga bila dibilang hair metal, namun tak sepenuhnya salah juga.

Saya anggap mixtape ini adalah sebuah ode untuk para hair rocker yang menyikapi patah hati dengan sangat gagah. Mengakuinya, menghadapinya, lalu kembali menatap ke depan. Kudos![]

Post-scriptum: Lagu-lagu itu bisa didengarkan di sini.

Selasa, 19 November 2013

Menjadi Tua dan Menyedihkan

Apakah menjadi tua selalu identik dengan keburukan? Apakah waktu sedemikian kejam hingga bisa membuat berubah menjadi sangat buruk hingga tak ada lagi jejak dan sisa kejayaan masa lampaunya?

Setidaknya itu yang terjadi pada Schlomo Slaughterowitz. Orang mengenalnya dengan nama panggung Mark Slaughter.

Slaughter, pria berparas rupawan, dengan hidung mancung dan dagu yang simetris sempurna, lahir di Las Vegas, Nevada. Ia lahir dari keluarga yang menggemari musik. Tak heran kalau ia bercita-cita menjadi musisi profesional.

Salah satu band pertama Slaughter adalah Xcursion. Pemain bass band ini adalah Kelly Garni, yang merupakan pendiri Quiet Riot bersama Randy Rhoads dan Kevin DuBrow. Setelah Rhoads bergabung dengan Ozzy Osbourne, Garni pindah dari Hollywood menuju Las Vegas. Di sana Garni bertemu dengan Slaughter.

Umur Xcursion tak panjang. Meski demikian, Xcursion sempat merekam album yang pada akhirnya tak pernah dirilis. 

"Kami merekamnya di studio Automatt, San Fransisco. Itu studio tempat Journey dan Y&T merekam album," kata Slaughter.

Karir Slaughter beranjak naik saat ia pindah ke Los Angeles, pusat orbit scene hard rock dan hair metal pada era 80-an. Banyak band terbentuk dari sini. Iklan lowongan mencari rekan band banyak ditempel di tembok bar-bar seputaran Sunset Strip. Bongkar pasang personel jamak terjadi sebelum mendapat personel yang permanen.

Salah satu musisi yang mencari rekan band kala itu adalah Vinnie Vincent. Vincent, lahir dengan nama Vincent John Cusano, adalah mantan gitaris band legendaris Kiss. Ia menggantikan Ace Frehley yang didepak gara-gara berselisih paham dengan Gene Simmons.

Vincent merekam album pertamanya dengan Kiss pada tahun 1982. Album itu diberi judul Creatures of the Night. Sebenarnya album itu masih digarap bersama Frehley. Nama Vinnie disebut sebagai uncredited musicians. Baru pada album Lick it Up (1983), Vincent diperkenalkan resmi sebagai anggota Kiss.

Namun Vincent tak seberapa cocok dengan para personel Kiss. Selain masalah finansial, salah satu penyebabnya adalah kegemaran Vincent memainkan solo gitar yang panjang. Kala momen itu terjadi, para personel Kiss yang lain biasanya hanya terdiam di atas panggung, tak tahu harus berbuat apa. Pada sebuah konser Kiss medio Januari 1984, Vincent dengan berapi-api memainkan solo gitar yang panjang. Paul Stanley, vokalis Kiss, menyuruhnya untuk berhenti. Namun Vincent cuek bebek dan terus menarikan jari di atas fret berlama-lama. 

Saat konser berakhir, mereka nyaris baku hantam. 

Setelah rangkaian tur Lick It Up selesai pada bulan Maret 1984, Vincent langsung dipecat dari Kiss. Pasca keluar dari band yang identik dengan make up itu, Vincent rutin melanglang di seputaran Los Angeles untuk mencari partner band. 

Pencariannya berakhir saat ia bertemu dengan Dana Strum, seorang pencari bakat di Los Angeles. Strum , pria dengan rambut pirang yang cemerlang, adalah orang yang merekomendasikan Randy Rhoads pada Ozzy Osbourne. Awalnya Strum bahkan tak tahu siapa itu Vincent. Strum sama sekali tak pernah mendengarkan Kiss. Wajar kalau ia tak tahu siapa itu Vincent.

"Saat itu ada seseorang yang berkata pada Dana bahwa Vincent mencari anggota band, dan reaksi Dana adalah, 'siapa itu Vincent?' Saat dijelaskan kalau Vincent adalah mantan gitaris Kiss, ia hanya bilang, 'oh'," kata Mark.

Dana akhirnya bergabung dengan Vincent dalam band yang dinamakan Vinnie Vincent Invation (VVI). Rekan band lain adalah drummer Bobby Rock dan mantan vokalis Journey, Robert Fleischman yang mengisi departemen vokal.

Bongkar pasang personel pun terjadi. Hingga akhirnya Slaughter mengisi posisi Fleischman. Saat Slaughter masuk, sebenarnya VVI sudah merekam satu album bersama Fleischman. Namun ia lebih memilih untuk keluar. Karena itu beberapa video klip awal VVI menampilkan Slaughter yang lip synch suara Fleischman.

"Saat itu Robert (Fleischman) tak ingin melakukan tur. Dia hanya ingin merekam album, berfoto untuk album dan majalah, lalu selesai. Ia tak ingin melakukan hal yang lebih jauh bersama VVI," terang Slaughter.

Hidup Slaughter berubah drastis semenjak itu.

"Hidupku langsung berbeda. Aku pernah menjadi vokalis dalam band SMA, namun sama sekali tak pernah melakukannya secara profesional," kata Slaughter.

Konser pertama Slaughter bersama VVI saat mereka membuka legenda hidup shock rock, Alice Cooper.

"...Dulu aku adalah guru gitar, lalu sebulan kemudian aku menaruh gitarku, dan bernyanyi di atas panggung besar. Menjadi front man di hadapan 20.000 orang!" kata Slaughter yang pernah menekuni karir sebagai guru les gitar ini.

Nama VVI sebenarnya lebih melejit berkat album kedua mereka, All System Go (1988). Pasalnya ada lagu balada "Love Kills" yang menjadi OST A Nightmare on Elm Street 4: The Dream Master. Lagu ini juga berhasil mengangkat Slaughter sebagai vokalis yang bisa dengan mudah menyanyikan nada-nada tinggi.

Namun sama seperti band yang mulai membesar, banyak tekanan yang menerpa. Seperti bisa diduga, VII pecah. Saat itu Vincent berkonflik dengan Strum dan berujung pemecatan Strum. Saat itu Vincent sempat menawarkan pada Slaughter untuk memilih ia atau Strum.

"Saat itu aku memilih Dana (Strum). Ini sebenarnya karena murni persahabatan. Kami jadi sangat dekat satu sama lain saat berada di VVI," kata Slaughter.

Akhirnya Slaughter dan Strum membentuk band baru yang dinamakan sesuai nama belakang Mark Slaughter: Slaughter. 

Saat itu almanak menunjukkan akhir tahun 1988.

***

Mark Slaughter dan Dana Strum mencari rekan band lain. Pada tahun 1989 mereka bertemu dengan gitaris Tim Kelly dan drummer Blas Elias. 

Slaughter merilis album perdananya Stick it To Ya pada tahun 1990 di bawah bendera Chrysalis Records. Album ini terjual 2 juta kopi di seluruh dunia dan menjadi salah satu album terlaris pada tahun 1990. Album ini punya semua prasyarat agar sebuah album laris. Lagu bertempo cepat yang gampang lekat di kuping ("Up All Night" dan "Mad About You"), serta lagu balada yang diwakili oleh lagu terlaris mereka, "Fly to the Angels". Lagu ini ditulis oleh Mark Slaughter untuk mengenang kekasihnya yang sudah meninggal.

Salah satu karakter Slaughter adalah corak vokal Mark Slaughter yang serak namun mudah mencapai not tinggi. Itu tampak pada nyaris semua lagu Slaughter. Bahkan dalam salah satu pertunjukan MTV Unplugged, Mark Slaughter bernyanyi nada tinggi dengan mudah saja, macam menghancurkan kerupuk dengan kepalan tangan.

Karakter itu tetap diusung pada album kedua, The Wild Life (1992). Album ini mengandalkan single "The Wild Life" dan "Days Gone By" yang lagi-lagi memamerkan kemampuan vokal Mark Slaughter yang aduhai.

Namun sayang, karena perubahan selera pasar, band hard rock dan hair metal seperti Slaughter tak lagi laku. Album ketiga berjudul Fear No Evil baru bisa dirilis pada tahun 1995. Itupun  dianggap sebagai album yang gagal, baik secara pencapaian artistik maupun angka penjualan.

Album ini juga menjadi gong berakhirnya band bernama Slaughter. Memang Slaughter masih merilis dua album lagi, Revolution (1997) dan Back to Reality (1999). Namun selain dua album itu dianggap gagal, album Fear No Evil adalah semacam nubuat awal bahwa Slaughter sudah tamat.

Saat penggarapan album, gitaris Tim Kelly ditahan karena penjualan drugs, bassist Dana Strum mengalami patah tangan hingga tak bisa bermain bass. Yang paling parah adalah yang terjadi pada Mark Slaughter. 

Pada tahun 1992 seusai beberapa tur The Wild Life, Mark Slaughter harus menjalani operasi vocal cord nodule.

Vocal cord nodule adalah suatu kondisi dimana bertumbuhnya jaringan otot yang menumpuk pada pita suara. Penyakit ini biasanya disebabkan oleh pemaksaan suara, seperti berteriak, dalam jangka waktu yang lama. Penyakit ini bisa menyebabkan rasa sakit saat berbicara, bahkan bisa mempengaruhi kualitas suara seseorang. 

Penyakit ini berdampak sangat besar pada beberapa profesi, dan penyanyi jelas adalah salah satunya. Dalam beberapa literatur kedokteran, dijelaskan bahwa operasi vocal cord nodule ini dapat mempengaruhi kemampuan penyanyi dalam mencapai not-not tertentu, dengan kata lain: sangat berpengaruh terhadap kemampuan bernyanyi.

Mark Slaughter adalah salah satu buktinya. Ia saat muda dan berjaya sepertinya terlalu mengeksploitasi pita suaranya. Akibatnya pita suaranya menjadi rusak dan harus menjalani operasi. Akibatnya fatal: suaranya tak bisa pulih sepenuhnya. Ini untuk tak menyebut Mark Slaughter sudah tak bisa lagi bernyanyi.

Jangankan untuk mencapai nada-nada tinggi semasa muda dulu, sekadar bernyanyi sesuai nada pun ia kesusahan. Suaranya jadi mengerikan. Ia bagai menelan gumpalan kain berisi paku.

"Saya memang tak berharap mendengar suara Mark seperti ia di era 90-an. Tapi bahkan kenyataannya, ia lebih parah dari yang saya bayangkan. Ia bukan saja tak bisa mencapai nada tinggi, suaranya bahkan tak cocok dengan nada musiknya," keluh Rob Rockitt, seorang penonton yang menyaksikan Slaughter pada pagelaran M3 Music Festival tahun 2011 silam.

Namun Mark Slaughter masih terus bernyanyi walau tak lagi merdu. Banyak orang yang terkaget-kaget mengetahui betapa berubahnya suara Mark. Kekecewaan jelas muncul. Beberapa menyarankan agar Mark kembali melakukan operasi demi memulihkan pita suaranya. Yang radikal, bahkan menyuruh agar Mark pensiun dan cukup mengenang masa lalunya saja.

Pedih.

***

Mark Slaughter bukan satu-satunya vokalis yang kehilangan kemampuan bernyanyinya. Tom Keiffer dari grup hair metal 80-an Cinderella juga kehilangan suara emasnya. Penyebabnya nyaris sama: operasi pada pita suara. 

Sebelumnya, Keifer menjadi salah satu vokalis dengan karakter suara serak basah ala blues rock. Sesuatu yang sedikit langka diantara banyak corak vokal melengking ala hair metal.

Majalah Rolling Stone menyebut Keifer sebagai, "a gritty, bluesy, rocker with enough genuine swagger to draw comparisons to Mick Jagger."

Suatu hari, tiba-tiba, iya, dengan begitu saja, suara Keifer hilang. Ia tak bisa berbicara dengan jelas, apalagi bernyanyi. Dokter kala itu tak tahu apa penyebabnya. Namun akhirnya  Keifer menjalani operasi pita suara yang sama dengan yang dilakukan Mark Slaughter. Selepas itu, ia masih harus menjalani terapi agar bisa kembali bernyanyi.

Sama seperti Mark Slaughter yang masih bisa merekam album, Keifer juga masih merilis album bersama Cinderella. Ia bahkan merilis album solo bertajuk The Way Life Goes pada bulan April 2013.

Nasib Keifer lebih baik ketimbang Mark Slaughter. Ia masih bisa bernyanyi, walau tak seprima dulu. Dalam beberapa penampilan, Keifer sudah tak mampu lagi menyanyikan lagu-lagu upbeat dari Cinderella. Namun ia masih bisa menyanyikan dengan baik lagu-lagu di album The Way Life Goes yang kebanyakan bertempo sedang dan pelan. Bahkan situs Metal Forces memuji suara Keifer, "...belum pernah sebagus ini!"

Hilangnya kualitas suara Mark Slaughter dan Tom Keifer karena operasi pita suara masih lebih tinggi derajatnya ketimbang apa yang terjadi pada Vince Neil.

Sang vokalis Motley Crue ini sama sekali kesusahan bernyanyi karena badannya makin tambun. Ia yang dituntut untuk atraktif di atas panggung, susah bergerak dengan perutnya yang membuncit itu. Hal itu berdampak pada nafas dan olah vokalnya. Salah satu penampilan Motley Crue yang paling menyedihkan adalah saat mereka tampil pada sebuah acara menyanyikan "Dr. Feelgood". 

Neil bahkan tak bisa sekadar bernyanyi mengikuti nada. He's absolutely out of tune. Neil tampak seperti orang yang ditinggal berlari oleh para rekannya di Motley Crue. Saat mereka semua masih memainkan instrumen dengan baik, Neil sama sekali tak bisa mengikutinya.

Suara Neil tak lagi prima bukan karena penyakit pada pita suara. Melainkan karena gaya hidup yang tak sehat. Hal ini jelas berdampak pada kualitas fisik tubuhnya yang sangat mempengaruhi kualitas suaranya. Mungkin Neil harus mencontoh beberapa koleganya yang masih cakap untuk bernyanyi walau umur tak lagi muda.

Salah satunya adalah Kip Winger.

Kip Winger adalah bassist sekaligus vokalis dari Winger, band hair metal yang populer di era 80-an. Mereka tenar dengan lagu-lagu seperti "Seventeen", "Headed for a Heartbreak", dan balada "Miles Away".

Saat Winger vakum akibat merajanya musik alternatif, Kip Winger masih tetap aktif bernyanyi dari satu panggung ke panggung lain. Ia rajin olahraga dan menjaga bentuk tubuhnya. Hal ini tampak dari kondisi fisiknya yang tak banyak berubah. Masih tinggi semampai. Tak tampak timbunan lemak. Satu-satunya perubahan padanya adalah tak ada lagi rambut keriting gondrong yang dulu sempat jadi identitasnya.

Yang terpenting adalah suara Kip Winger juga masih dalam kondisi prima. Dalam banyak video yang diunggah di Youtube, tampak Kip bernyanyi dengan sangat baik. Ia masih bisa mencapai nada-nada tinggi, walau sesekali meleset. Pelesetan yang merdu. Tak jauh berbeda dengan masa jayanya dulu.

Kip tak sendirian dalam rombongan penyanyi hair metal yang masih bersuara prima. Kolega lainnya adalah Jon Bon Jovi dari grup band fenomenal Bon Jovi.

Jon --sekarang berumur 51 tahun-- bersama bandnya masih rutin mengadakan tur tiap tahun. Dan nyaris semua show-nya selalu sold out. Ia masih dapat  bernyanyi dengan baik. Suaranya masih bisa dalam koridor nada. Tak seperti Neil yang terkadang suaranya berada di Timur Laut sedang suara musik ada di Barat Daya.

***

Menjadi tua ternyata tak selalu identik dengan menyedihkan. Dalam kasus vokalis band hair metal, beberapa memang menjadi menyedihkan. Ada yang kehilangan rambut (cari bacaan tentang Kevin DuBrow yang konon memakai wig saat manggung), jatuh miskin, dan yang lebih menyedihkan lagi: kehilangan suara.

Mark Slaughter dan Tom Keifer adalah dua orang yang harus menelan pil pahit itu akibat penyakit pada pita suara. Namun sama seperti para gerombolan hair metal yang tangguh dan ulet, mereka masih tetap bernyanyi. Vince Neil juga begitu. 

Mungkin tidak adil jika mengharapkan mereka bisa kembali prima seperti masa muda dulu. Namun, semua fans pasti mengharapkan mereka masih bisa --setidaknya-- bernyanyi. Tak perlu mencapai nada-nada tinggi. Asal tak fals pun cukup. Kip Winger dan Jon Bon Jovi mungkin bisa jadi contoh yang bagus dari slogan hair metal yang tak pernah lekang: years gone by they still kicking ass!

Rabu, 30 Oktober 2013

Menjadi Kanak-kanak

Sally, take my hand
We'll travel south cross land
Put out the fire
And don't look past my shoulder

Perempuanku...

Aku seringkali berbicara dan menulis tentang sepasang sahabat karib: masa lalu dan kenangan. Tentang masa kecilku. Tentang ayahku. Tentang teman-temanku. Dan peristiwa-peristiwa lampau yang masih tersimpan rapi dalam pojok ingatan.

Namun itu bukan berarti aku akan selamanya hidup dalam masa lalu dan kenangan. Bagiku, dua hal itu cukuplah dikenang sembari ditertawakan. Aku tentu suka kenangan. Siapa manusia yang tak akan terikat oleh kenangan. 

"Kenangan," kata Haruki Murakami, "menghangatkanmu dari dalam. Namun mereka juga bisa mencabik-cabikmu."

Aku tak kenal dengan Murakami, tentu. Bagiku, ia mungkin tak sadar akan konsep 'tuan bagi hatimu sendiri'. Atau bisa saja ia sadar, namun ia terus menjual konsep kenangan yang akan merobek-robekmu. Sebab sekarang sedang zamannya manusia yang gemar mengenang kenangan pahit.

Namun, menurutku, kita bisa memilah mana kenangan yang patut diambil dan ditaruh dalam sudut-sudut hati. Dan kita jelas juga bisa memilih mana kenangan yang harusnya dimasukkan dalam kotak, kita kunci, lalu dibuang ke Palung Mariana. Biar ia hilang dalam celah-celah tergelap di sana. Kita sama-sama tahu, kenangan yang pedih lah yang harus kita masukkan dalam kotak itu.

Sebab, bagiku, apa guna kenangan jika ia hanya menakik luka.

Perempuanku yang manis...

Mari bersikap seperti anak-anak lagi.  Betapa menyenangkannya kalau jadi anak-anak. Mereka adalah mahluk yang tidak tendensius. Mereka gemar bermimpi dan berfantasi. Mereka hanya ingin bermain dan bahagia. Tak ada emosi, apalagi angkara. Mereka bertengkar sebentar, lalu berbaikan lagi. Kembali bermain dan berbahagia. Mari kita juga seperti mereka. Ya ya ya, aku tahu ini bagai utopia belaka.

Tapi biar saja, toh kita masih anak-anak bukan?

The exodus is here
The happy ones are near
Let's get together
Before we get much older. []

Post scriptum: yang dicetak miring adalah nukilan lirik lagu "Baba O' Riley" dari The Who.

Senin, 21 Oktober 2013

Kabar-kabar Menjelang Akhir Bulan

Halo handai taulan, apa kabar semua? Semoga selalu dilimpahi kebahagiaan dan kesehatan selalu.

Ini ceritanya saya sedang selo. Proposal tesis sudah selesai ditulis. Nunggu dibantai dan direvisi habis-habisan saja, baru saya bisa beranjak mengerjakan tesis ini. Oh ya, tesis saya akan membahas festival musik sebagai potensi wisata di Indonesia. Ini adalah buah ketertarikan saya terhadap music tourism. Bagi yang belum tahu banyak mengenai music tourism, bisa membaca buku Music Tourism: On the Road Again karya Chris Gibson dan John Connel. Bagi yang belum punya, monggo kirimi saya email kalian. Nanti saya kirim pdf-nya. Buku ini sangat menarik dan komprehensif dalam membahas mengenai pariwisata berbasis musik

Tema yang dibahas mulai soal festival musik, musik dari sudut pandang ekonomi, hingga budaya. Meskipun buku ini banyak menulis data, tapi sama sekali tak membosankan. Malah menyenangkan untuk dibaca. Karena jadi salah satu buku penting untuk tesis, saya selalu membawa buku ini kemana-mana. Mulai dari makan, nongkrong, hingga ke toilet, sekiranya saya menunggu, buku ini selalu saya baca. Buku ini seperti jadi pacar saya sejak beberapa bulan belakangan. Maklum, si pacar jauh dan tidak bisa menemani setiap saat. Haiyah, malah curhat. 

Ngomong-omong soal Rani, bulan kemarin saya dan Rani menaikkan status hubungan. Akhirnya kedua keluarga kami bertemu di Jakarta. Senang sekali rasanya saat acara itu diadakan. Dua keluarga saling bersilaturahmi dan berbicara mengenai hubungan yang lebih serius. Bonus yang paling menyenangkan: tentu makan rendang buatan mama Rani yang sangat mak nyuss itu. Hahaha.

Ada yang tahu kenapa perut Rani keliatan kempes? :p

Tapi sebelum itu, kami berdua sama-sama pusing dan cukup tertekan dalam menyiapkan acara pertemuan ini. Maklum, keluarga kami berjauhan. Bahkan beda pulau. Keluarga Rani dari Sumatera, dan keluarga saya dari jazirah Jawa. Belum lagi mencocokkan waktu karena keluarga inti kami adalah kelas pekerja yang waktunya tidak lentur. Sebagai bocoran, kalau sedang tak tahan terhadap tekanan, Rani sering menangis. Hihihi. Saya sih cuma garuk-garuk kepala dan sesekali menjambak rambut. Bisa jadi itu penyebab rambut saya menipis belakangan ini.

Jangan sampai saya menjadi botak sebelum waktunya! 

Syukurlah akhirnya acara ini berakhir dengan sukses, walau ada beberapa pembicaraan tambahan selepas acara resmi. Selain itu, saya dan Rani sama-sama sadar kalau ini baru permulaan dari segalanya. Saya dan Rani kadang-kadang suka tersenyum kecut waktu memikirkan bagaimana tertekannya saat menyiapkan pernikahan. Wong tunangan saja sudah sedemikian menyita waktu dan pikiran, apalagi pernikahan. Tapi kami tetap saja semangat menyiapkan segalanya. Segala persiapan ini juga menyadarkan kalau jalan masih panjang dan berkabut di depan. Semoga kami masih bisa bertahan berjalan bersama sampai kapanpun. Amin.

Oh ya, awal bulan Oktober ini saya dihibur dua konser yang sangat keren.

Konser pertama berlangsung di acara "Macanista for Sangkakala" (2/10). Ini adalah acara penggalangan dana untuk album HeavyMetalithicum yang akan dirilis akhir bulan Oktober ini. Ada banyak agenda di acara ini: sablonase kaos, penjualan merchandise, pasar klithikan (Blankon menjual beberapa koleksi boots, hingga bemper mobil, hihihi), hingga potong rambut gondhes ala Sangkakala. Saya berpartisipasi di semuanya. Termasuk memangkas rambut. Kebetulan yang memotong adalah Atjeh, sang pemain bass Sangkakala.

Saya adalah korban pertamanya. Waktu saya duduk di kursi, banyak tatapan kasihan pada saya. Mungkin pikir mereka, mau saja saya dipotong sama Atjeh. Hihihi. Tapi hasilnya cukup bagus walau guntingnya tidak tajam. Saya disoraki oleh beberapa kawan waktu mengetahui genteng kepala saya baru. 

Di acara ini, datang juga mas Jati. Beliau adalah kawan baru saya dari Bogor yang berkenalan melalui blog ini. Kami akkhirnya kopi darat di Jakarta beberapa bulan silam. Penggemar musik heavy metal ini dengan sangat baik membawakan saya kue talas yang sedang tren di Bogor. Waktu acara Macanista for Sangkakala, kebetulan pegawai BUMN ini sedang ada agenda workshop di Yogyakarta selama beberapa hari. Karena saya tahu dia suka musik heavy metal, saya mengajakya. Tebakan saya benar, Mas Jati sangat terhibur dengan penampilan Sangkakala.

Mas Jati dan saya yang baru potong rambut

"Wuih, musiknya keren. Iron Maiden banget!" katanya sembari tersenyum puas. Mas Jati juga turut membeli kaos Sangkakala. Siapa tahu dia bisa mendirikan Macanista untuk area Bogor dan sekitarnya. Hihihi.

Konser kedua awal bulan Oktober adalah konser Skid Row di stadion Kridosono (8/10). Saya menonton band asal New Jersey ini untuk kedua kalinya. Kali ini saya menonton tanpa tiga orang sahabat saya: Alfien, Budi, dan Taufik. Kami sudah terpencar. Alfien yang sudah jadi PNS di Probolinggo tak bisa datang ke konser terkait kewajiban kerjanya. Budi juga tak bisa menonton karena terlalu mepet dengan jam kerjanya. Sedang Taufik di Brebes waktu itu harus memperkuat tim sepak bola daerahnya di sebuah kompetisi. Jadinya tak ada lagi cerita kami beramai-ramai menonton Skid Row seperti tahun 2008 silam.

Tapi kali ini saya mendapat kawan menonton yang tak kalah mengasyikkan. Siapa lagi kalau bukan Andrey Gromico, alias Miko. Hahaha.

Pria asal Malang itu datang ke Yogyakarta dengan membawa gelar baru: sarjana. Untuk merayakannya, ia rela datang dari Jember untuk menonton Skid Row. Ia naik bis dari Jember dan sampai Yogyakarta pagi hari.

Mengetahui ada orang asing datang berkunjung, Ozzy (anjing kesayangan penghuni kontrakan) langsung ingin bermain dengan Miko. Maka ia mengejar Miko untuk bermain. Gelagatnya jelas, ekornya digoyang-goyangkan. Celakanya, Miko yang takut anjing mengira Ozzy akan menggigitnya. Ozzy yang melihat Miko lari, menganggap ia mengajaknya bermain. Maka dikejarlah si Miko. Sedangkan Miko yang mengetahui Ozzy mengejarnya, berlari makin kencang hingga ke jalan besar.

Saya hanya bisa tertawa kencang (waktu itu saya belum tahu kalau Miko takut anjing) hingga akhirnya saya mendengar klakson mobil membelah udara. Saya kaget. Saya mengira Mico ditabrak mobil atau Ozzy dilindas mobil. Saya sontak berlari. Ternyata Miko jatuh karena terpleset pasir dan nyaris dicium bemper depan mobil. Untung rem mobilnya pakem. Ozzy? Ia hanya terkekeh iseng sembari menjulurkan lidah, menunggu Mico mengajaknya bermain kembali. Hihihi.

Berkat adegan bodoh itu, Miko cedera. Kaki dan tangannya lecet lumayan parah dan berdarah cukup banyak. Untung  itu tak menghalanginya bernyanyi dan meloncat-loncat saat menonton Skid Row. Kami berdua seperti jadi remaja kembali, bernyanyi dengan bahagia di lagu-lagu-menolak-tua macam "Slave to the Grind", "In the Darkness Room", dan "Monkey Business". Miko bahkan memamerkan suara melengkingnya, lengkap dengan gestur tangan diangkat ke udara. Hahaha. Dan seperti bisa ditebak, kami paling keras bernyanyi di lagu "I Remember You", "18&Life", dan "Youth Gone Wild".  Yeah!



Setelah kabar-kabar baik diatas, kabar buruk belakangan datang menyusul. 

Ini terkait proyek buku biografi Slank yang sedang saya dan kawan-kawan kerjakan. Kemungkinan besar, sebut saja 90%, buku ini akan gagal dibuat. Mas Puthut yang menyampaikan pada saya. Ini terkait kontrak yang sebetulnya saya sedikit malas membahasnya. Padahal saya dan Panjul sudah selesai mewawancarai banyak narasumber --sekitar 30-40 orang. Mas Puthut juga sudah menyiapkan waktu luang untuk menulis buku ini.

Kecewa? Jelas. Panjul jelas kecewa karena ia sudah berkeliling, dari Jawa Barat hingga Jawa Timur untuk mewawancarai narasumber. Mas Puthut juga pasti sangat kecewa, karena ini adalah proyek A baginya. Bagi yang belum tahu, dalam jagat penulis lepas, proyek A adalah proyek yang sangat penting, sarat idealisme dan kesenangan personal penulis. Bagi penulis lepas, mendapat proyek A ini tak dibayar pun tak apa. Saya juga kecewa karena turut pula menghabiskan waktu lumayan lama untuk mewawancarai narasumber.

Namun di balik itu semua, saya sadar kalau saya banyak bersenang-senang dalam proyek ini. Saya bertemu orang-orang hebat yang dulu hanya bisa saya baca namanya di majalah, koran, atau liner notes. Mendengar cerita-cerita mereka membuat saya belajar banyak. Apapun itu, pengalaman bekerja di proyek biografi Slank ini tetap berharga. Ya semoga kelak buku ini bisa diterbitkan. Sementara itu, saya kepikiran untuk mengunggah beberapa tulisan hasil wawancara saya itu di blog. Tapi nanti dulu, saya minta izin dulu ke mas Puthut. Semoga dibolehkan.

Sial, saya sudah meracau panjang sekali. Rasanya menyenangkan bisa leluasa menulis lagi di blog. Jadi, sampai jumpa di tulisan lain! :)

Minggu, 13 Oktober 2013

Selamat Menikah, Ade!

Selain kematian dan kelahiran, salah satu peristiwa yang nyalar membuat saya sentimentil adalah pernikahan. Apalagi kalau yang menikah adalah orang-orang terdekat saya. Momen itu tak pernah gagal membuat bulu kuduk saya merinding haru.

Dulu waktu kawan saya Nova menikah, saya juga sempat sedikit berkaca-kaca melihatnya yang berdiri di depan kwade sembari tersenyum lebar. Kenal dia sejak tahun 2003 dan melewati lacak masa susah senang sama-sama, membuat saya gagal untuk tak melankolis melihat dia akhirnya menikah. 

Dan tadi malam, saya kembali tersedak haru. Kawan baik saya semenjak SMA, Ade Defrizal, menikah. Perjuangannya untuk menuju pernikahan memang sangat berat. Andai hal itu tak dialami oleh Ade, mungkin yang mengalami akan roboh di tengah jalan. Namun Ade akan selalu jadi Ade, pria yang tetap tegar dan suka cengengas-cengeges dalam kondisi seberat apapun.

Meski kami dekat, momen personal diantara kami hanya bisa dihitung dengan jari. Saya dulu memang sempat beberapa kali kesal dengan pria kurus kering ini. Penyebabnya ada beberapa, tak perlu lah disebutkan di sini. Namun bukankah memang itu arti kawan? Berkawan, bertengkar gara-gara hal sepele atau serius, lalu berbaikan lagi dan mengenyahkan ganjalan-ganjalan tak penting. Dan saya merasa beruntung bisa berbagi cerita di saat-saat terberatnya beberapa waktu lalu menjelang pernikahannya.

Saat Ade ke Jogja sendirian, 17 November 2012

Waktu Ade mengalami masa-masa terberatnya sekitar dua-tiga bulan silam, saya sempat ngobrol banyak dengannya. Bisa dibilang itu wawancara, dan saya pun sempat bilang ke Ade kalau hasil obrolan itu akan saya jadikan tulisannya. 

Reaksinya singkat, "pokok ojo ngisin-ngisino aku cuk." Hihihi. 

Padahal saya tak ada maksud buat bikin malu dia. Keinginan membuat tulisan itu muncul karena kekaguman saya pada kekuatan Ade kala itu. Hasil wawancara itu sudah saya jadikan tulisan. Sayang ada beberapa pertanyaan yang belum sempat saya tanyakan. Mungkin nanti akan saya tanyakan lagi ke Ade.

Tadi malam Ade akhirnya resmi menikah dengan Azizah, perempuan idamannya yang ia perjuangkan cukup lama. Azizah, meski saya belum sempat bertemu dengannya, membuat saya yakin kalau ia adalah pendamping yang tepat bagi Ade. Apalagi saat Ade dengan bersemangat dan berbinar-binar menceritakan mengenainya, saya semakin yakin kalau Azizah adalah perempuan baik yang juga akan jadi pendamping hidup yang baik bagi Ade.

Sebenarnya waktu dikabari Ade akan menikah tanggal 12 bulan ini, saya sudah merencanakan datang bersama Fahmi. Tapi Ade melarang, karena ini cuma akad nikah saja. Resepsinya sendiri masih ditunda hingga waktu yang belum saya tahu. Akhirnya saya dan Fahmi pun tak jadi datang. 

Pagi ini Jogja sedang dingin. Dingin ini sepertinya terjadi nyaris di seluruh Indonesia, termasuk Mojokerto, kota di Jawa Timur tempat Ade dan Azizah mengikat ijab. Pasti Ade dengan senyum berbinar tak merasakan dingin sialan ini. Maklum sudah ada yang memeluk. Halal pula. Hihihi.

Sedari tadi malam saya terus-terusan memutar lagu dari Begundal Lowokwaru, band hardcore asal Malang. Meski tampang dan musik mereka sangar (saya pernah melihat mereka langsung di Jember saat mereka tampil bareng Superman is Dead), tapi mereka juga gagal untuk tak melankolis saat salah satu kawan mereka menikah. Akhirnya band asal Malang ini menuliskan sebuah lagu yang manis, "Selamat Menikah Teman". Liriknya pun manis, tapi tidak terkesan menye-menye. Sama sekali tidak. Justru sangat maskulin dan membesarkan hati.

Lelahkah kau teman berlari bersama kami,
Kuyakin itu takkan pernah terjadi
Pagi ini kau kan jelang fajar baru, bersanding dengan belahan jiwa yang mengertimu
Hanya hari yang berganti tetap dengan senyummu, ketika menggandeng mempelaimu.
Bersinarlah kami yakin kau tak akan pernah berubah.

Aaaaaaahhh,
Selamat menikah teman,
Sapalah sang mentari diufuk baru.
Aaaaaaaaaahhhhh,
Kepal keras tangan, kini kau telah punya pendamping, selamat menikah teman

Dan esok, kau pasti tetap tuangkan rindumu pada kami dengan rasa bangga di jiwamu.
Pastikan tetap temani hari-hari kita, dengan istri disampingmu, dan dengan bayi dipelukmu
Sebuah tanggung jawab, tlah temukan arti bagimu
Teruskan nafas hidupmu, walaupun kau harus berbagi.

Mungkin saya belum bisa memberikan apa-apa buat Ade dan Azizah. Hanya tulisan pendek  tak berguna ini. Namun apa yang tertulis akan abadi, ketimbang satu pak viagra atau sekotak tissue magic yang mungkin bisa habis dalam waktu dua tiga hari saja. Maklum pengantin baru.

Ade dan Azizah, semoga tulisan sumir ini menjadi tapal ingatan daim, bahwa aku turut berbahagia untuk kalian berdua.

Peluk hangat dari Yogyakarta
04.47 wib

post-scriptum: De, kalau ada fotomu resepsi, mbok anak-anak di-tag. Biar kami tahu, kamu pas foto itu mesem sambil mangap apa mesem malu-malu :p