Rabu, 27 Agustus 2014

Jadi Pertapa?

Kemarin adik bungsu saya cerita dengan semangat, sekaligus kesal, soal antrian pembeli bensin di Jember. Katanya, antrian mencapai ratusan meter. Ia tak sedang melebih-lebihkan. Menurut berita yang saya baca di berbagai surat kabar, antrian kendaraan pembeli bensin premium di Jember ini mencapai 500 meter. Adik bungsu saya sampai rela tidur di Mastrip, di rumah saudara, demi menghemat pengeluaran bensin. Maklum, rumah kami jauh dari daerah kampus.

BBM memang direncakan akan naik. Tentu ada banyak pro kontra. Semua dengan teori ilmiah dan perhitungan masing-masing.

Yang pro, mengatakan kalau subsidi BBM sudah mengambil banyak jatah APBN. Konon angka subsidi itu mencapai 330 triliun rupiah. Demi penghematan, agar APBN tak jebol, maka harga BBM harus naik. Penghematan itu bisa dilakukan untuk membangun infrastruktur. Jalan, pelabuhan, jembatan, sekolah, dsb.

Sedang yang kontra mengatakan, kenaikan harga BBM bukanlah sesuatu yang patut didahulukan. Yang harus dibenahi lebih dulu adalah sektor hulu. Memberantas mafia migas, misalkan. Para kaum kontra kenaikan harga BBM juga mengatakan ada banyak opsi lain yang bisa diambil selain menaikkan harga BBM.

Salah satunya adalah menaikkan pajak kendaraan bermotor.

Saat ini, Indonesia termasuk negara dengan pajak kendaraan bermotor yang rendah. Hanya 1,5 % dari harga kendaraan. Dan tiap tahun pasti turun, mengikuti harga kendaraan yang juga akan turun. Ditambah dengan kemudahan memiliki kendaraan bermotor, maka melonjaklah jumlah kepemilikan kendaraan bermotor tiap tahunnya.

Berdasarkan data yang dirilis oleh Korps Lalu Lintas Kepolisian Negara Republik Indonesia, ada 86 juta unit motor pribadi dan 10,54 juta unit mobil pribadi pada tahun 2013. Masing-masing meningkat 11 persen dari tahun sebelumnya. 

Tahun ini diprediksi ada kenaikan masing-masing 1 juta kendaraan.

Perdebatan pro kontra kenaikan BBM ini panjang, akan selalu panjang, dan nyaris tanpa ujung. Saya sendiri, secara pribadi, menolak kenaikan harga BBM. Ada beberapa alasan. Alasan yang sok heroik: kenaikan harga BBM selalu diikuti oleh kenaikan harga barang pokok. Itu artinya, pengeluaran semakin bertambah, sedangkan pemasukan jalan di tempat.

Tahun lalu, kenaikan harga BBM menambah 1 juta penduduk miskin baru. Mereka yang sebelumnya masih berada tipis di atas garis kemiskinan, rawan terperosok ke bawah garis kemiskinan. Sedangkan mereka yang sudah miskin, akan semakin miskin.

Alasan yang lebih sederhana dan personal, dan ini alasan yang juga sangat penting buat saya: kenaikan ini akan menambah beban para pekerja seperti saya dan para pekerja yang tadinya berada tipis di atas garis kemiskinan.

Tadi sore Poetra, office boy di kantor, menawarkan beli bakso. Menggiurkan bukan, menyantap bakso kala sore datang. Sayang, dompet bikin meringis. 10 hari sebelum gajian memang masa pertapaan. Masa nelangsa. Masa prihatin. Masa yang jika berlangsung terus-terusan bisa membuatmu jadi sufi dan pertapa.

Saya akhirnya menolak ajakan Poetra beli bakso. Mending duitnya saya simpan buat beli bensin saja, batin saya. Namun ternyata Tito, seorang kawan reporter, berbaik hati membayari saya dan beberapa orang kawan makan bakso. Semoga itu bukan uang jale. Hihihi.

Mico, kawan karib saya yang lain, juga ingin makan bakso. Tapi dasar lelet, ia terlambat bilang iya. Sehingga Poetra sudah membeli berdasar pesanan. Saat Poetra menawarkan diri untuk pergi beli bakso lagi, Mico menggeleng. Ia sama seperti saya. Tak punya uang berlebih untuk jajan di sore hari.

Kejadian menggiriskan ini terjadi sebelum harga BBM naik. Bayangkan kalau harga BBM sudah naik. Berapa puluh atau ratus ribu uang jajan, uang rokok bagi para perokok, atau uang beli buku yang harus hilang? Harus dialihkan ke uang beli bensin.

Saya sendiri kepikiran alokasi dana untuk jajan rock --istilah saya dan kawan-kawan untuk menyebut alokasi dana untuk beli CD musik, kaos band, atau beli buku. Sementara beli CD dan kaos bisa ditunda, karena tak selamanya ada CD atau kaos yang layak dibeli, tak demikian halnya dengan buku.

Meski saya tak segila beberapa kawan saya yang lain dalam hal membeli buku, bagi saya beli buku adalah kewajiban tiap bulan. Ia bukan lagi kebutuhan tersier. Sudah masuk dalam tahapan kebutuhan primer. Tiap bulan saya selalu mengalokasikan dana sekitar 200 hingga 300 ribu untuk beli buku.

Mungkin ini tampak sekedar sepele belaka. Namun ditambah dengan beban aneka cicilan dan pengeluaran bulanan yang lain, para pekerja seperti saya atau Mico rawan jatuh dalam golongan, yang oleh pemerintah disebut sebagai: orang miskin.

Atau mungkin sebaiknya saya berlatih jadi pertapa sejak hari ini? []

Senin, 25 Agustus 2014

Untuk Mereka yang Ketakutan

Ingat adegan dalam film Dead Poet Society? Ketika itu, John Keating, sang guru yang diperankan dengan baik oleh Robin Williams, menyuruh seorang murid untuk membacakan definisi puisi. Sang murid menurutinya.

Lalu apa yang dilakukan Keating?

"Robek halaman itu."

Si murid kaget. Tapi Keating bersikeras. "Iya, robek saja. Go on!"

Adegan itu, selain bersejarah, juga merupakan sebuah simbol yang sangat dahsyat. Bahwa puisi tak seharusnya dibatasi oleh ini itu. Puisi bukan matematika. Bukan ilmu pasti. Dari sorot mata Keating, memperlakukan puisi seperti memperlakukan matematika adalah sebuah penghinaan.

Saya merasa simbol itu bisa diterapkan pada hal lain. Apapun itu. Menulis misalkan. 

Dulu di UKM saya, hampir semua penulis jago analisis. Mau analisis bahasa, pendedahan dengan teori cultural studies, hingga filsafat. Tulisan mereka canggih. Saya sedikit keder. Tapi saya selalu diajari bahwa menulis lah lebih dulu. Tak usah terbebani dengan ini itu. Free your mind and start to write, kata para senior saya di UKM Tegalboto dulu.

Menulis, bagi saya, adalah usaha pembebasan. Paling tidak membebaskan pikiran di kepala. Karena itu agak sedikit merepotkan kalau seorang penulis merasa terbebani dengan hal-hal lain di luar tulis menulis.

Maka saya menulis apa saja yang saya suka. Curahan hati. Menulis musik. Menulis perjalanan. Terus menulis dan menulis. Betapa sangat menyenangkannya hal itu. Menulis tanpa pretensi apapun. Tak berharap dibaca orang. Tak berharap tulisan ini akan membantu umat manusia. Apalagi mengubah nasib mereka.

Sebut saya naif. Tapi kesukaan saya menulis karena berawal dari hal itu. Betapa menyenangkannya melakukan sesuatu hal tanpa keinginan macam-macam. Ini juga berlaku pada hobi saya yang lain. Pada awal saya suka jalan-jalan lintas kota, saya hanya berangkat dari keinginan melihat kota, bertemu manusia, dan merasakan betapa gagahnya rambut gondrong yang tertiup angin saat berdiri di pintu kereta. Saya terinspirasi oleh Roy! 

Waktu itu saya berpikir, jalan-jalan ya jalan saja. Sama sekali tak ada keinginan muluk-muluk. Mengubah nasib kaum miskin kota, misalkan. Hanya ingin berjalan-jalan. Titik. Ada yang salah dengan itu? Kalaupun iya, apa saya peduli pendapatmu? Tentu tidak. Hehehe.

Dan betapa merepotkannya melakukan sesuau sekarang. Mau berjalan-jalan tanpa visi misi, dibilang hanya melakukan kegiatan yang hedon dan narsis. Mau menulis apa adanya, dibilang bisa merusak suatu destinasi. Aduh. Merepotkan benar ya?

Padahal waktu Ernesto Guevara berkelana bareng Alberto Granado, mereka sama sekali tak punya keinginan heroik. Mereka hanya ingin merasakan romantika lelaki. Walau kelak perjalanan itu mengubah banyak hal dalam hidup mereka, toh mereka tak dengan pongah menuntut para pejalan untuk mengikuti jejaknya; tak juga menyuruh ini dan itu; bahwa pejalan harus ini dan itu. Mungkin mereka sadar, bahwa perjalanan itu adalah kegiatan yang sangat personal dan tak perlu dipaksakan. Tak perlu diseragamkan. Apalagi diberi definisi.

Beberapa orang terpenjara ketakutan-ketakutan macam itu. Dalam menulis, acap orang takut bahwa tulisannya akan jelek, tak layak baca. Lalu muncul pertanyaan-pertanyaan lanjutan: Apakah tulisan saya akan dibaca banyak orang? Apakah tulisan saya akan menyelamatkan dunia? Apakah tulisan saya akan merusak sebuah tempat? Biasanya ketakutan dan beban macam itu yang akan membuat kertasmu polos. Tak tertulisi apa-apa.

Ketakutan itu malah jadi penjara. Ra sido nulis malahan.

Dan orang yang berangkat menulis dengan pretensi muluk-muluk menyelamatkan dunia itu biasanya adalah orang yang snobbish sekaligus naif. Mereka merasa dunia bisa diselamatkan hanya dengan tulisan. 

Yes, idea and writing can change the world. Tapi hanya sekedar tulisan bisa menyelamatkan dunia? Itu sama dengan berpikir bahwa dunia akan jadi lebih baik dengan rock n roll. Never happen. Will never happen

Lennon menuliskan "Imagine", Jim Morrison menuliskan "Unknown Soldier" berpuluh tahun lampau. Lihatlah dunia sekarang, berpuluh tahun kemudian: orang masih berperang dan saling bunuh dengan aneka ria alasan sepele.

Kalau kelak ada orang yang menyalahkan tulisanmu, tenanglah: langit tak akan runtuh. Dan yang jelas, kau tak akan bisa menyenangkan semua orang. Itulah mungkin pentingnya menulis tanpa beban.

Saya tak ingin jadi seperti Mario Teguh: tulisanmu pada masa lalu, tulisan dengan mutu yang paling buruk, adalah proses belajar yang sangat baik. Tak ada tulisan baik tanpa tulisan buruk. Sampai sekarang saya masih menyimpan blog lama saya. Tak menghapusnya. Agar kalau kelak saya ingin menengok lagi ke belakang, saya tinggal membaca ulang. Sedikit banyak hal itu bisa memberi semangat. Bahwa kemajuan itu pasti terjadi kalau terus belajar.

Mungkin saya hanya akan mengulang apa yang diajarkan pada saya: Just write!

Tebet, 25 Agustus 2014
02.13 WIB

Post-scriptum: sebenarnya aku ingin sekali menyitir nama Jack Kerouac atau Hunther S Thompson: sifu yang mengajarkan pada dunia betapa pentingnya menulis bebas dan tanpa pusing dengan aturan ini itu. Tapi apa daya, internet saya ngadat dan tak bisa Googling "Jack Kerouac quotes". []

Kamis, 14 Agustus 2014

Sementara Menunggu



Beberapa band memang ditakdirkan untuk punya pesona tersendiri. Kau bisa menyebut banyak nama. Mulai dari The Doors, The Beatles, The Rolling Stones, Led Zeppelin, Guns N Roses, Motley Crue, Slank, hingga nama band bawah tanah macam Pure Saturday atau Mocca.

Waktu mendengar band-band tersebut untuk pertama kali, ada rasa tergetar. Lalu sekujur bulu kuduk meremang. Ini adalah band-band terpilih. Mereka punya pesona. Tak semua band punya pesona macam itu.

Perasaan itu juga saya alami waktu menonton Silampukau untuk pertama kali. Kala itu Surabaya sedang hangat seperti biasa. Kedai kopi Blackbird menjadi saksi bisu pertemuan saya dengan Silampukau untuk pertama kalinya. Saat menonton penampilan live Kharis Junandaru dan Eki Trisnowening, saya langsung merasa bahwa band ini spesial.

Ayos Purwoaji jadi orang pertama yang berjasa mengenalkan indahnya musik Silampukau pada saya. Saat itu, di pertengahan tahun 2010, Ayos memberitahu tentang band ini. Silampukau? Nama yang aneh. Syahdan, Silampukau sendiri adalah kosakata Melayu kuno yang diambil dari sebuah manuskrip tua mengenai Laksamana Cheng Ho, artinya Kepodang, spesies burung yang suaranya merdu.

Ia pun menunjukkan laman Myspace Silampukau. Ah, hanya ada satu lagu disana. Band tidak niat, pikir saya waktu itu. Tapi ketika didengar, alamak, mendingan Bob Dylan saya suruh cuci piring saja daripada menyanyi. Lagu berjudul “Berbenah” saat itu begitu membius. Menghipnotis. Dengan lirik yang halus tapi metaforis, renyah sekaligus sendu. Musiknya sederhana, hanya berbaju gitar akustik, dengan sedikit aksen akordeon. Tapi, dibalik kesederhanaan musiknya, terkandung kekuatan besar. Hal yang sama terjadi pada lagu-lagu Bob Dylan atau Iwan Fals saat mereka muda.

Seketika, saya merasa yakin bahwa Silampukau bukan sekedar band biasa. Liriknya mudah dicerna tapi berhasil menguak banyak kisah. Musiknya pun tak kalah bersahaja, tapi tetap bernuansa elegan.

Ada banyak alasan untuk jatuh cinta dengan Silampukau. Kesederhanaan menjadi salah satunya. Kau bisa bercanggih-canggih bermain alat musik; menarikan jemari secepat mungkin di atas fret gitar; atau melengkingkan suara hingga memecah gendang telinga. Namun, seringkali kesederhanaan juga lah yang akan memukaumu. Kurang sederhana apa lagu “Imagine” atau “Blowing in the Wind”?

Ya, sesederhana itu musik mereka. Hanya berbekal gitar akustik, Eki dan Kharis berdendang dan membuat orang terpana.

Musik mereka banyak dipengaruhi oleh The Dubliners, band veteran berisi opa-opa Irlandia pecinta bir. Sedangkan lirik lagu Silampukau banyak terinspirasi dari kisah hidup sehari-hari kaum urban. Saya jadi ingat kata-kata teman saya, Oo Zaky yang pernah mengatakan, “Kaum urban adalah kaum yang selalu gelisah.” Mungkin itu sebabnya, lirik-lirik Silampukau banyak bercerita mengenai problematika dan kegamangan hidup masyarakat kota.

Secara jujur, melalui liner note ini saya harus membuat pengakuan: saya merupakan penggemar berat lirik-lirik berbahasa Indonesia buatan Kharis Junandaru. Saya mulai memperhatikan beberapa lirik karyanya sejak ia tergabung dalam band Greats. Menurut saya, Kharis merupakan salah satu penulis lirik terbaik yang pernah dimiliki oleh Indonesia. Ia bisa menulis lirik lagu dalam dua bahasa dengan sama baiknya.

Ini serius. Bukan sekedar jilatan seorang fans pada musisi idolanya. Kau bisa mencari siapa orang Indonesia yang bisa menulis lirik Indonesia dengan bagus. Mungkin bisa dihitung oleh kesepuluh jari. Apalagi kecenderungan band-band bawah tanah masa kini adalah menulis dalam lirik bahasa Inggris.

Menulis lirik berbahasa Inggris dianggap lebih keren. Namun, sebetulnya ada sebuah kesusahan yang tak terperi untuk menghindari jebakan-jebakan klise saat harus menulis lirik dalam bahasa Indonesia. Menulis lirik bagus dan tak biasa dalam bahasa Indonesia adalah tantangan yang sangat berat. Hasilnya hanya ada dua: bagus atau norak. Dan Kharis masuk golongan bagus, tentu saja. Yang norak? Coba simak lirik lagu bahasa Indonesia dari Gugun and Blues Shelter.

Ehm. Tapi otak di balik dalam album Sementara Ini bukan hanya Kharis seorang. Eki pun merupakan penggubah lirik jagoan. Bila Kharis banyak menggunakan frasa baru, majas yang elok, dan kosakata yang nyaris tak pernah dipakai, maka Eki lebih banyak menggunakan metafor kehidupan sehari-hari untuk bercerita. Dalam lirik buatannya, Eki banyak mengangkat problem kehidupan masyarakat kota namun disikapi dengan kepala tegak dan tidak menye-menye.

Cinta memang tak perlu berbalas
Tak usah mengemis dan memelas
Biarlah yang terbaik jadi manis
Dan pahit takkan jadi tangis

Lirik balada tersebut lantas digenapi oleh timbre suara Eki yang sangat khas. Kombinasi ini adalah perpaduan yang nyaris sempurna.

Saya pikir, dalam hal mengolah lirik, mereka berdua pantas disejajarkan dengan Arian Arifin, Otong Koil, Eka Annash, Jimmy Multhazam, dan Ahmad Dhani sewaktu masih di Dewa 19 dan belum jadi sampah peradaban non daur ulang.

Tapi setiap apapun pasti punya dua sisi. Band dengan musikalitas bagus, bisa mempesona banyak orang, toh bisa dengan mudah mematahkan hati para penggemarnya. Beatles pecah karena masalah-masalah sepele. Axl Rose kembali jadi brengsek, membuat kompatriotnya minggat satu persatu dan menyisakan ia yang sudah berbotox sendirian.

Begitu pula Silampukau. Saya patah hati sewaktu mereka menyatakan diri buyar pada tahun 2011. Menyedihkan betul ketika menyadari bahwa Silampukau adalah band hebat dengan umur pendek. Padahal, saat itu mereka baru sempat mengeluarkan satu EP Sementara Ini sebelum akhirnya bubar jalan. Perpisahan ini sepertinya mudah saja dinubuatkan. Eki dan Kharis adalah dua orang dengan kemampuan yang sama hebatnya, namun dengan karakter yang sama sekali berbeda. Duo macam ini memang rawan sekali menghadirkan konflik hebat yang berujung pada bubarnya band. Seperti Lennon dan Mc Cartney; Jagger dan Richards; Axl dan Slash; hingga Dhani dan Ari Lasso.

Sementara para penggemar mencoba berbesar hati, Surabaya terus mengeluarkan musisi folk generasi berikutnya. Salah satunya Taman Nada, yang dengan terang-terangan mengaku terbentuk karena inspirasi dari Silampukau. 

Tapi nothing last forever, even cold November rain.

Bubarnya Silampukau pun tak abadi. Kabar baik berhembus. Sejak awal 2014, Silampukau manggung lagi. Kepodang kembali bernyanyi. Sepertinya, Eki dan Kharis sudah berhasil menuntaskan semua aral. Mereka pun kembali menguarkan energi dan pesona yang sama seperti saat pertama kali mereka terbentuk dulu. Masih sederhana namun tetap memukau.

Waktu-waktu senggang pascabubar pun memberikan ruang yang lebih lapang bagi Kharis dan Eki untuk menulis beberapa komposisi baru. Ingatan penggemar pun kembali segar. Lagipula mereka memang butuh dopamin berupa lagu-lagu anyar setelah ditinggal cukup lama oleh Silampukau. Bahkan, menurut kabar angin dari sumber A1 yang saya dapatkan, beberapa materi baru akan dipersiapkan untuk LP yang sedang mereka garap.

Sementara ini, dengarkan dulu EP versi remastered yang ada, sembari menanti kado yang layak ditunggu dalam waktu yang tak lama lagi: album baru Silampukau! []

Post-scriptum: tulisan ini saya buat sebagai liner notes album remaster Silampukau, Sementara Ini. Album bagus itu bisa diunduh sonder bayar di situs Ayorek.

Rabu, 13 Agustus 2014

Cinta yang Sederhana

Foreigner, band tuwir beranggotakan opa-opa rock n roll, dulu pernah menulis lagu "I Want to Know What Love Is". Saya kira, ini lagu paling mahsyur dari Foreigner. Sampai sekarang lagu itu masih acap berkumandang. Mulai di sekat-sekat ruang karaoke, hingga di kafe dan bar.

Gerombolan rocker yang menjalani laku kehidupan rock n roll itu ternyata masih sempat-sempatnya mempertanyakan apa itu cinta. Saya kira benar kiranya adagium: rocker juga manusia. Mereka juga pasti bertanya apa itu cinta? Apa cinta sejati itu ada? Apalagi mereka, para rock star itu, hidup dalam dunia yang artifisial. Batasan tulus dan muslihat sangatlah tipis. Nyaris tiada.

Orang mungkin terlanjur memandang cinta adalah sesuatu yang agung. Kudus. Luhur. Cinta dianggap sebagai sesuatu yang sakral. Banyak orang pula yang menganggap cinta haruslah romantis. Bunga bertebaran tiap hari. Kalimat cinta diucapkan tiap saat. Karena itu, buku-buku Kahlil Gibran atau novelet cinta ala remaja selalu laris dan dicetak ulang.

Saya, dan mungkin juga anda, pasti pernah berada dalam fase itu.

Tapi setelah menikah, saya sadar bahwa cinta itu sederhana. Iya, sangat sederhana. Seperti saling pengertian siapa yang harus cuci piring, sementara yang lainnya memasak. Atau tentang siapa yang harus mengencangkan otot dan memeras peluh untuk mengangkat galon air, sementara pasangannya membersihkan rumah dan mencuci baju. Walau kadang ada repetan omelan. Walau muka sering tertekuk.

Iya, cinta ternyata hanya sesederhana itu.

Malam ini saya sepertinya pulang malam. Kerjaan menumpuk. Cukup membikin kening berkedut. Istri saya pulang lebih dulu. Ia belakangan masuk pagi, jam 8. Biasanya ia masuk kantor siang, atau bahkan sore. Karena itu, sekarang ia sering pulang lebih dulu.Sedang saya, masuk lebih siang. Saya sendiri termasuk orang yang paling malas bersih-bersih. Kabel charger laptop dan ponsel menjulur dimana-mana. Buku berserakan. Baju kotor di sembarang tempat.

Karena itu, kala berangkat kantor, kamar selalu saya biarkan seperti apa adanya. Berantakan. Dan biasanya istri saya yang dengan santai merapihkan. Untuk kemudian saya berantakin lagi. Hehehe.

Barusan, istri saya mengabari kalau sudah sampai rumah, saya kirim pesan pendek: maaf ya kamarnya berantakan. Dengan imbuhan "he-he-he" yang mungkin tampak sangat menyebalkan.

"Wis biasaaaa," balas istri saya.

Saya tersenyum membaca balasan istri saya. Saya membayangkan ia dengan perasaan yang biasa saja, tidak kesal sama sekali, mengambil celana kotor saya dan menaruhnya di keranjang cucian. Merapikan kembali buku-buku yang saya taruh serampangan. Hingga mencuci sisa piring --ia melarang saya untuk mencuci karena tiap pagi saya bangun lebih dulu untuk membuatkan sarapan, semacam pembagian tugas-- di wastafel.

Cinta, ternyata memang sesederhana itu...

Jumat, 08 Agustus 2014

Rock Your Face Off: Setelah Menunggu 19 Tahun



Sejak awal kemunculannya, KIX memang membuat orang menengok. Band hard rock asal Maryland ini tak seperti tipikal band hair metal pada zaman itu. KIX bukanlah band cantik. Mereka tak mengacuhkan make up, membuang semua aqua net, dan menghibahkan semua gincu merah menyala pada jejeran wanita malam di pinggir jalan. 

KIX cuma peduli pada rock n roll. Lain tidak. Oke, mereka masih peduli pada jaket kulit, celana jeans robek, dan sepatu boots. Namun hal sepele macam itu datang setelah musiknya.

Setidaknya itu tampak pada album-album mereka yang straight to the point, riff gitar kasar, dan suara parau yang membuat kuping mengalami orgasmik suara. Album macam Midnite Dynamite (1985) dan Blow My Fuse (1988) membuktikan karakter itu. Dengan album itu pula mereka menangguk kesuksesan dan mendapatkan tempat khusus diantara para pecinta rock.

Selepas hair metal gulung tikar, KIX pun macam beruang grizzly tidur pada musim salju yang nyaris tak berujung. Tak terdengar kabarnya, kecuali bagi para penggemar garis keras mereka. KIX hanya tampil dalam panggung-panggung kecil dalam bar berbau amis. 

Namun tahun 2003 menjadi awal kebangkitan KIX. Steve Whiteman (vokal), duo gitaris Ronnie Younkins dan Brian Forsythe, serta penggebuk drum Jimmy Chalfant, kembali reuni. Sayang, bassist dan pendiri band ini, Donny Purnell tak turut serta. Gantinya adalah Mark Schenker yang pernah bermain dalam band Funny Money bersama Steve. 

Tahun 2008 juga menjadi penanda kembalinya KIX dalam jalur yang benar. Mereka bermain di depan 20 ribu penonton dalam festival Rocklahoma. Mereka juga didaulat sebagai penampil terbaik dalam festival tahun itu.

KIX juga mulai menggarap materi-materi baru. Tahun 2012  mereka merilis DVD Live in Baltimore. Namun album baru tak kunjung dirilis.

April 2014, KIX mengatakan bahwa mereka sudah meneken kontrak dengan label Loud & Proud. Akhirnya, 5 Agustus 2014 mereka merilis album studio ketujuh mereka, Rock Your Face Off. Album pertama mereka sejak 19 tahun lalu.

Reuni dan album baru sebenarnya bukan hal baru bagi banyak band era 80-an. Namun tak banyak yang bisa berhasil menghadirkan musik yang sama seperti awal mereka berkarir. Namun KIX tentu berbeda.

Mari putar track pertama dari album ini: "Wheels in Motion". Nuansanya akan sama dengan lagu di album Blow My Fuse yang dirilis 26 tahun silam. Gitar yang kasar, dan ketukan drum yang danceable. Cocok untuk pesta sampai teler. Sayang, suara Steve Whiteman yang parau nun seksi itu sudah sedikit lebih melunak. Walau tentu saja masih cukup bertenaga kalau hanya untuk menyodok gendang telinga.

"Rolling Honey" juga merupakan lagu yang akan menghapus imej band hair metal yang menye dan cengeng. Lagu ini tipikal lagu hard rock tanpa basa basi. Intro gitarnya mengingatkan pada jurus andalan KIX: hookish dan mudah sekali menempel di ingatan. Jurus macam ini memang lazim bagi band yang terpengaruh oleh AC/DC. KIX memang lebih terpengaruh oleh band asal Australia itu ketimbang band lain yang menjadi panutan bagi gerombolan hair rocker lain, Aerosmith misalnya.

Formula yang sama juga muncul dalam "Rock Your Face Off" yang menampilkan gemuruh gitar bluesy, kemudian langsung diikuti oleh dentum-dentum drum yang berisik dan macam dimainkan dalam pentas perpisahan SMA: bertenaga dan tanpa pretensi apapun kecuali bersenang-senang. 

Bukan band rock kalau tak menyertakan ballad dalam albumnya. "Inside Out Inn" adalah satu-satunya ballad dalam album ini. Namun cukup segar untuk rehat sejenak dari gempuran dentum gitar dan drum sejak awal. Walau tak akan sebesar "Don't Close Your Eyes", tapi lagu ini cukup menyenangkan.

Lagu penutup yang akan tetap membuat mata terus melek adalah "Rock & Roll Showdown". Oke, judulnya sedikit norak. Tapi musiknya rancak. Apalagi di bagian tengah lagu ada duel gitar antara Ronnie dan Bryan. Oh ya, sudahkah anda tahu kalau dua orang gitaris ini adalah dua gitaris dengan chemistry yang kuat dan pesona yang menggetarkan? Tak kalah dengan duet Slash-Izzy; atau Scotti-Snake.

Satu yang patut dihargai dari album ini adalah mereka berhasil melakukannya tanpa sumbangsih Donny Purnell, sang pendiri yang sekaligus banyak menulis lagu hits KIX. Sebelumnya, album ini hanya akan dianggap sebagai album reuni belaka, yang memunculkan nama KIX kembali, sebelum akhirnya kembali dalam tumpukan CD retur.

Namun ternyata album ini berhasil melampaui ekspektasi banyak orang. KIX masih berhasil menghadirkan suasana yang membuat orang jatuh cinta pada mereka puluhan tahun silam. Terutama bagaimana mereka tetap berhasil membuat reff yang catchy. Oh ya, sekedar peringatan, banyak lagu di album ini ada suara latar yang akan menempel di kepala terus-terusan.

KIX memang bukan band hair metal papan atas. Mereka jelas kalah mentereng jika harus dibandingkan dengan Guns N Roses, Poison, Motley Crue, Skid Row, bahkan Cinderella. Lagu mereka yang paling terkenal adalah ballad "Don't Close Your Eyes", yang mungkin tak terlalu mendapat tempat dalam rongga ingatan. Kalah bersaing dengan "I Remember You" dari Skid Row, atau "Every Rose Has Its Thorn" dari Poison. Kecuali kalau anda memenuhi ciri macam berikut: anda adalah orang berusia lebih dari 30-40 tahun; anda pernah punya keinginan bunuh diri namun gagal karena dimotivasi  oleh lagu ini. Dan satu lagi: kalau anda adalah pria masih berusia 26 tahun tapi mencintai hair metal dengan keras kepala dan sedikit norak. Iya, itu saya membicarakan diri sendiri.

Namun KIX tetap punya tempat tersendiri bagi para penggemar hair metal. Mereka bukanlah band industri. Maryland, tempat mereka berasal, adalah daerah kelas pekerja dengan banyak bar semenjana tempat para pemabuk mencari perkelahian. Dari sana pula, KIX mendapatkan karakter yang raw, edgy, dan tak peduli pada polesan industri.

Dan album Rock Your Face Off ini adalah bukti bahwa KIX, sekali lagi, masih bertaji hingga sekarang. Album ini masih sangat mampu merobek-robek wajahmu! []