Selasa, 29 Januari 2013

Kami Penulis, Bukan Peneliti: Tanggapan Untuk Arman Dhani Perihal Travel Writer

Beberapa hari lalu, kawan baik saya, penulis hebat alumnus Pantau, Arman Dhani, menuliskan sebuah artikel berjudul "Responsible Travel Writer." Tulisan itu bernas sekali. Lebih berisi dan layak dibaca ketimbang tulisan "5 Buku Tidak Layak Terbit" yang menghebohkan itu.

Dalam "Responsible Travel Writer," Dhani mengkritik para penulis perjalanan. Baginya, mereka ikut andil dalam memberikan ekses negatif pada sebuah destinasi. Ia lantas memberikan beberapa contoh hal-hal yang tak sepatutnya dilakukan, tapi ditulis dengan bangga oleh para penulis perjalanan. Misalnya, berwisata ke Sempu, padahal itu daerah Cagar Alam dimana kawasan itu seharusnya tak boleh dimasuki manusia. Atau menuliskan kegiatan yang melanggar hukum seperti mengganja di sebuah daerah wisata.

Dalam tulisan panjangnya itu, Dhani menuliskan banyak keluhan. Saya sendiri agak bingung apa saja inti kritik dari Dhani. Kebingungan ini muncul karena beberapa sebab. Yang pertama, Dhani tampak terlalu emosi dalam menuliskan keluhannya. Tulisannya terkesan berapi-api sehingga melebar kesana kemari, lupa pada inti permasalahan. Lalu kedua, Dhani terlalu sibuk mengutip sana-sini ucapan para pemikir maupun para pejalan, tanpa terlebih dahulu menyatakan dimana sebenarnya posisi Dhani atau apa yang ingin Dhani sampaikan. Karena terlalu banyak mengutip itu lah, saya jadi merasa kutipan itu bukan sebagai penguat argumen Dhani. Melainkan argumen Dhani yang didasarkan pada ucapan para pesohor itu.

Terlepas dari dua faktor itu, Dhani memang memulai tanpa tedeng aling-aling. Ibarat sebuah pertandingan bela diri, Dhani tak memberikan salam hormat dulu. Ia langsung melepaskan jurus dengan cepat pada awal mula tulisan: kritik terhadap acara "Hidden Paradise" di Kompas TV. Sembari mengkritik, Dhani juga bertanya, "...Para traveler tanah ini sedang sibuk berburu mencari tempat eksotis dan perawan untuk ditampilkan. Sampai kapan tindakan ini akan terus terjadi? Apakah mereka tidak akan berhenti sampai surga terakhir dieksploitasi?"

Kalau Dhani bertanya pada saya, saya dengan tegas akan menjawab: pencarian tempat-tempat yang tersembunyi dan eksotis itu TIDAK AKAN pernah berhenti sampai kapan pun. Manusia adalah mahluk yang diberkahi otak. Dengan otak pula, muncul imajinasi. Bukankah Ibn Battuta, Marcopolo, atau Colombus mengelilingi dunia karena berimajinasi? Mereka berimajinasi bahwa dunia ini tidaklah datar. Mereka juga berimajinasi tentang tanah surga, tempat dimana kamu melempar kayu akan jadi tanaman.

Bayangkan kalau manusia hidup tanpa imajinasi, atau hidup tanpa ada keinginan untuk mencari sesuatu yang baru (dalam hal ini, destinasi perjalanan). Hidup akan monoton. Bahkan hingga sekarang, ratusan tahun sejak era pejalan itu, orang masih saja ingin mencari tempat yang mereka beri label eksotis, tersembunyi, atau tanah surga. Tentu motivasinya berbeda-beda. Ada yang melakukan untuk kepuasan pribadi, ada pula yang melakukan itu untuk tujuan ilmu pengetahuan.

Selain itu, pada dasarnya, melakukan perjalanan itu adalah hal pertama yang dilakukan oleh manusia pertama. Iya, nabi Adam adalah pencetus perjalanan. Ia yang --mengutip Duo Kribo dalam lagu "Neraka Jahanam"—dihukum dengan cara diturunkan dari surga ke dunia, harus mencari Hawa yang terpisah darinya. Maka ia melakukan perjalanan, mencari tulang rusuknya yang terpisah, menuju tempat yang sama sekali asing baginya. Adam memang tidak menuliskan catatan perjalanannya. Namun kisahnya itu termaktub pada kitab suci.

Selepas Adam dan Hawa, para manusia purba juga melakukan perjalanan. Mereka bermigrasi. Mencari makanan. Mencari daerah yang subur. Mencari daerah yang hangat. Ini semakin menegaskan bahwa melakukan perjalanan adalah sebuah keharusan.

Pada masa posmodern (saya memakai istilah ini biar terdengar intelek, he-he-he), perjalanan menjadi semakin vital. Perjalanan menjadi sebuah bentuk pelarian paling ideal dari rutinitas dan segala macam kesibukan dunia modern lainnya. Perjalanan menjaga manusia modern agar tetap waras.

Dengan adanya internet dan jejaring sosial, para pejalan itu bisa dengan mudah mengabarkan perjalanannya pada dunia. Internet dan social media menjadi sarana ideal untuk memuaskan naluri dasar manusia: narsis. Foto dipajang, kisah dituliskan.

Dhani mengkritik mereka. Ujarnya, "...Di Indonesia para pegiatnya sibuk pamer eksotisme dan promosi daerah-daerah terpencil. Saya pikir ada yang salah di sini. Banyak pelancong negeri ini lebih sibuk mengunggah foto panorama via Instagram daripada memotret realitas kemiskinan di daerah destinasi wisatanya."

Pada poin ini, Dhani melakukan kesalahan fatal. Dengan menuliskan, "...Di Indonesia para pegiatnya sibuk pamer eksotisme dan promosi daerah-daerah terpencil," ia sudah terjebak pada generalisasi. Ia berpikir semua pelancong atau pejalan seperti itu. Sebuah bentuk kesesatan berpikir? Bisa jadi. Dari argumennya itu, saya yakin kalau Dhani kekurangan referensi para penulis perjalanan yang menuliskan sisi lain dari sebuah perjalanan.

Di Indonesia, ada banyak penulis perjalanan yang tak sekedar bergenit-genit ria memaparkan keindahan sebuah destinasi. Norman Edwin misalnya. Dia bercerita tentang asyiknya naik gunung, tapi ia juga tetap memberikan edukasi tentang pentingnya unsur safety dalam kegiatan alam bebas. Atau Don Hasman yang sangat peduli terhadap kehidupan Suku Baduy di Banten. Baru-baru ini, Wiwik Mahandayani bahkan menuliskan buku berjudul "The Green Traveler," sebuah buku tentang ekowisata dan juga pentingnya menjadi pejalan yang bertanggung jawab.

Namun seakan tak belajar dari kesalahannya itu, Dhani kembali melakukan kesalahan fatal ketika menuliskan "...Banyak pelancong negeri ini lebih sibuk mengunggah foto panorama via Instagram daripada memotret realitas kemiskinan di daerah destinasi wisatanya." Kenapa saya sebut fatal? Karena penulis perjalanan itu harusnya memang menuliskan tentang perjalanan, bukan tentang kemiskinan.

Ketika seorang penulis perjalanan berbusa-busa menuliskan tentang kemiskinan, saya takut ia bukan lagi seorang penulis perjalanan. Ia lebih pantas disebut sebagai peneliti ekonomi. Kalau kamu lebih sibuk menuliskan kemiskinan ketika melakukan perjalanan, saya rasa kamu lebih cocok menjadi peneliti ekonomi yang lantas menuliskan proposal pada bank dunia untuk mengentaskan kemiskinan.

Dalam pikiran saya, perjalanan adalah sebuah perjalanan. Ia tidak melulu berisi tentang kemiskinan, sama halnya perjalanan tak terdiri dari hedonisme belaka. Tulisan perjalanan bisa berisi banyak hal. Seni, budaya, atau kuliner, misalnya.

Jika ada kemiskinan yang dilihat mata ketika melakukan perjalanan, memang hal itu sebaiknya dituliskan. Tapi tak perlu dalam setiap tulisan perjalanan harus ada tentang kemiskinan. Tak perlu juga perihal kemiskinan mengambil porsi banyak dalam tulisan. Bayangkan jika seorang penulis perjalanan sedang melancong di negara dunia ketiga macam Indonesia, Ethiopia, atau India, dan terpaku pada konsep penulis pejalan ideal ala Dhani. Bisa-bisa yang dituliskan adalah tentang kelaparan, anak putus sekolah, anak jalanan, angka harapan hidup, atau orang yang hidup di bantaran sungai, bukan lagi tentang perjalanannya.

Para penulis perjalanan memang seharusnya lepas dari beban moral nan mulia tentang menuliskan kemiskinan dalam setiap perjalanan. Karena penulis perjalanan bukanlah seorang peneliti. Apalagi peneliti kemiskinan.

Tentang Perdebatan Nan Tak Kunjung Usai

Ada beberapa hal dalam dunia pariwisata yang memang memicu debat tak berkesudahan. Salah satunya tentang efek dari pariwisata itu sendiri. Saya pernah beberapa kali menanyakan pada beberapa pakar pariwisata: bagaimana cara menanggulangi dampak negatif yang diakibatkan oleh pariwisata? Saya melihat, dampak negatif pariwisata ini paling kentara dalam kerangka sosial budaya.

Tak pernah ada jawaban yang memuaskan bagi pertanyaan itu. Hanya ada jawaban-jawaban yang normatif. Namun saya paham, berbicara mengenai manusia dan perubahannya itu teramat pelik. Perubahan, entah itu disebabkan pariwisata atau hal lainnya, adalah hal yang nisbi. Mungkin itu sebabnya, belum ada solusi konkrit untuk mengatasi perubahan sosial budaya yang diakibatkan oleh pariwisata. Saya malah berpikir, sedikit mustahil untuk mencegah dampak negatif pariwisata. Pariwisata, sama seperti uang koin, selalu mempunyai dua sisi yang berbeda. Yang bisa kita lakukan bukan menihilkan dampak negatif pariwisata, melainkan berusaha mencegah agar dampak negatif itu tak teramat buruk atau tak berkembang menjadi lebih buruk.

Salah satu poin penting dalam dalam tulisan Dhani adalah kritik tentang perubahan ekologis yang terjadi di Sempu. Bagi yang belum tahu, Sempu adalah cagar alam di daerah Malang. Untuk menuju kesana, para pengunjung harus menyewa perahu untuk menyeberang dari Sendang Biru. Setelah itu mereka masih harus berjalan kaki sekitar 2-3 jam dengan medan yang amat berat.

Di Sempu ada sebuah danau alam yang indah dan sepi. Namanya Segara Anakan, sebuah danau yang langsung terhubung dengan Samudera Hindia. Banyak orang menyebut Sempu sebagai surga tersembunyi. Entah dimulai sejak kapan, Sempu lebih dikenal sebagai destinasi wisata, bukan cagar alam. Akibatnya jelas, Sempu berubah. Ia tak lagi sunyi, tak lagi bersih seperti dulu.

Dhani menulis, "...kerusakan Cagar Alam Pulau Sempu dan menjamurnya tiket pesawat murah adalah bukti terkini dan paling nyata akibat travel writer yang kurang riset dan tak mau tahu."

Dhani bisa jadi benar dalam hal ini. Namun pernyataan itu masih bisa diperdebatkan.

Pengertian mengenai cagar alam yang disebutkan oleh Kementerian Kehutanan adalah, "...suatu daerah hutan suaka alam yang di terapkan sebagai daerah perlindungan bagi keadaan alamnya yang khas, termaksud flora, fauna, dan factor abiotik yang perlu di lingdungi untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan kebudayaan."

Saya sengaja menebalkan kalimat "dilindungi untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan kebudayaan." Dalam hemat saya, kalimat itu berarti manusia boleh masuk asal untuk tujuan ilmu pengetahuan dan  kebudayaan.

Di negara maju seperti Amerika Serikat, cagar alam dan taman nasional sudah dijadikan kawasan wisata. Tentu dengan batasan-batasan yang teramat tegas. Nah, disini harusnya pemerintah bekerja. Mereka harus mengatur dengan jelas --atau lebih tegas-- tentang keberadaan, fungsi, dan juga ketentuan cagar alam atau taman nasional. Namun saya tidak akan berbicara banyak tentang hal ini karena saya tak punya kapasitas untuk membicarakan hal ini.

Mengenai sampah? Itu bukan hal yang tidak bisa ditanggulangi kok. Mungkin ini terdengar normatif, tapi Departemen Kehutanan harusnya sudah mulai mengatur perjalanan ke pulau Sempu. Misal: Wisatawan boleh datang, namun harus ditemani oleh pemandu lokal atau petugas dari Kementerian Kehutanan.

Guna pemandu lokal, selain mencegah kemungkinan tersesat, adalah untuk memberikan ilmu pengetahuan tentang flora dan fauna kepada para wisatawan. Bukankah itu tujuan utama cagar alam? Para pemandu maupun petugas itu juga bisa mencegah para wisatawan berbuat sesuatu yang dapat membahayakan ekosistem cagar alam Sempu.

Selain itu bisa dibuat aturan tambahan semisal para wisatawan tidak boleh menginap di Segara Anakan. Jika demikian, biasanya para wisatawan akan menginap di masjid atau rumah penduduk di sekitar Sendang Biru. Hal ini jelas bisa bermanfaat bagi penduduk lokal. Selain tenaga diserap untuk jadi pemandu, penduduk juga bisa dapat tambahan penghasilan dari penginapan, warung makan, atau fasilitas amenitas lain. Ini jelas lebih bermanfaat ketimbang menutup total Sempu untuk para wisatawan bukan?

Selain itu Dhani mungkin juga lupa kalau kita hidup di negeri sulap. Saking ajaibnya, bahkan beberapa perusahaan tambang mendapatkan izin usaha di kawasan cagar alam. Kawasan Cagar Alam Seluma, Bengkulu, sudah lama jadi kawasan penambangan pasir besi. Begitu pula cagar alam Morowali, Sulawesi Tengah, yang dijadikan sebagai lokasi penambangan nikel.

Kalau ini jelas-jelas salah, karena pemanfaatannya bukan untuk ilmu pengetahuan maupun kebudayaan.

Namun Demikian...

Seperti yang saya tulis diatas, kelemahan fatal dalam tulisan Dhani adalah ia terlalu terburu-buru dalam mengambil kesimpulan. Ia terlalu sering melakukan gebyah uyah (menggeneralisir). Mungkin itu disebabkan oleh emosinya yang meledak-ledak ketika menulis kritik. Dalam tulisannya itu, Dhani seakan-akan merasa bahwa perjalanan maupun pariwisata itu adalah monster yang bisa melahapmu ketika kamu lengah. Padahal tidak demikian adanya.

Di Indonesia sendiri, belakangan marak gerakan wisata hijau, green tourism. Atau sering juga disebut eco tourism. Pemerintah juga sadar akan pentingnya eco tourism ini. Karena itu mereka membuat konsep besar pariwisata Indonesia sebagai pro poor (bisa membantu rakyat miskin), pro job (memberikan lapangan kerja), pro growth (bermanfaat bagi perkembangan suatu daerah), dan pro environment (menjaga lingkungan).

Lebih lanjut lagi, empat konsep ini adalah purwarupa dari konsep sustainable tourism development, alias pembangunan pariwisata yang berkelanjutan. Dimana pariwisata tak lagi sekedar melancong, berfoto ria, atau bersenang-senang. Melainkan pariwisata seharunya bisa memberikan edukasi atau manfaat, baik untuk wisatawan maupun masyarakat lokal. Karena itu dikenal pula yang namanya community based tourism (CBT), alias pariwisata berbasis masyarakat. CBT ini turut melibatkan penduduk lokal dalam mengelola pariwisata, jadi mereka bisa turut merasakan langsung efek positif pariwisata.

Meski saya tidak setuju beberapa hal pada tulisan Dhani, tapi saya juga menganggukkan kepala kepada beberapa kritiknya. Antara lain tentang penulis perjalan yang harusnya lebih dewasa dalam menulis.

Penulis perjalanan harusnya tidak lagi sekedar mengedukasi pembaca, melainkan juga harus bisa mengedukasi dirinya sendiri. Dengan cara apa? Ya membaca dan mencari tahu.

Penulis perjalanan adalah turis, terlepas dari cara mereka melakukan perjalanan. Mau backpacking kek, flashpacking kek, numpang truk kek, naik pesawat kek, ngesot kek, tetap saja mereka harus sadar satu hal: mereka adalah turis! Jangan sampai, mentang-mentang kamu adalah backpacker atau travel blogger terkenal, lalu bersikap seenak udel seperti merokok ganja atau mabuk di tempat yang tak seharusnya.

Mereka, para turis itu,  haruslah membekali diri dengan informasi. Mereka harus sadar dan mawas diri. Harus tahu apa yang boleh dilakukan, dan apa yang tidak boleh dilakukan. Bersikap seenaknya sendiri dan tak tahu aturan itu bukan cerminan wisatawan yang dewasa dan bertanggung jawab. Kritik Dhani adalah sebuah tamparan yang bagus  dan diperlukan bagi para penulis perjalanan.[]

Rabu, 23 Januari 2013

Tambahan Tentang Jurnalisme Musik


Hari Minggu (20/01) menjadi hari yang menyenangkan bagi saya. Meski hujan seharian mengguyur kota Jember, banyak orang yang hadir dalam diskusi tentang jurnalisme musik di warung kopi Cak Wang.

Diskusi berjalan hangat dan menyenangkan. Saya terbantu oleh hadirnya Bayu dan Ivan sebagai MC, jadi membuat saya gak mati kutu, hehehe. Ada banyak pertanyaan yang muncul di diskusi itu. Beberapa ada yang bisa saya jawab. Beberapa lagi membuat saya kebingungan. Salah satunya adalah pertanyaan dari Halim Bahriz tentang hal-hal di luar musik yang masuk dalam penulisan musik.

Pertanyaan itu membuat saya bingung. Bukan pertanyaannya yang bikin bingung, tapi lebih tepatnya karena saya yang tidak bisa menjawab, hehehe. Untunglah ada pembantu saya, Arman Dhani yang membantu menjawab pertanyaan itu. Terima kasih Dhan, besok gajimu saya naikkan lima ratus rupiah. 

Beberapa hari menjelang diskusi, saya mendadak merasa kurang kompeten untuk berbicara mengenai jurnalisme musik. Sebabnya tentu saja karena pengalaman saya tidak begitu banyak. Karena itu, saya butuh penguat opini. Akhirnya saya menanyakan beberapa hal kepada mas Wendi Putranto  Saya menganggap beliau sangat berkompeten untuk berbicara mengenai jurnalisme musik.

Tapi dasar saya yang bebal, saya mengirimkan daftar pertanyaan terlalu mepet. Saya mengirimkannya hari Sabtu malam. "Itu sudah masuk waktu ngapel Ran" kelakarnya. Pertanyaan itu akhirnya dijawab hari Senin.   Jawaban-jawabannya lumayan memberikan pencerahan. Nah, daripada nganggur di email, lebih baik saya unggah di sini saja. Siapa tahu berguna. Kebetulan pula, beberapa orang yang tidak hadir di acara diskusi, beberapa kali menanyakan perihal jurnalisme musik ini.

Nah, semoga jawaban dari mas Wendi bisa menambah apa yang kemarin sudah didiskusikan.

Tabik!
***

1. Apa sih perbedaan mendasar antara jurnalisme musik dengan penulisan musik seperti di blog atau zine?

Jurnalisme Musik itu kalo menurut gue mengikuti kaidah jurnalisme itu sendiri yang selalu bersandarkan pada fakta atau peristiwa yang terjadi secara obyektif, bukan fiksi, kalau zine atau blog itu sifatnya personal dan sangat subyektif karena cenderung menjadi corong opini editornya pribadi. Kalau dalam jurnalisme politik bahkan pers jadi pilar keempat demokrasi, watchdog, mungkin kalo di musik, jurnalisme musik bisa menjauhkan para pembeli dan pendengar musik dari bahaya musik-musik jelek hahaha.

2. Apa yang dibutuhkan seorang penulis untuk bisa masuk ke dalam dunia jurnalisme musik?

Modal dasar yang dibutuhkan cuma kemampuan menulis dengan baik beserta minat dan referensi musik yang luas. Pemahaman tata bahasa pada tahap berikutnya menjadi sebuah keharusan juga nantinya.

3. Sebenarnya, bagaimana sih dunia jurnalisme musik itu? Apakah menyenangkan seperti yang dialami William Miller di Almost Famous, atau getir seperti kata Lester Bangs?

Dunia jurnalisme musik sejauh yang gue tekuni sejak 1996 itu sangat menyenangkan kok. Mungkin tidak sedramatis Miller di Almost Famous, tapi lebih kurangnya mirip seperti itu. Di antaranya sering dapat CD gratis, nonton konser gratis, mewawancara artis musik idola, travelling ke berbagai negara di luar negeri gratis untuk meliput konser musik, selain itu sering kali juga menjadi side job tersendiri, kayak diundang menjadi pembicara, menjadi juri dengan honor tersendiri juga hehe.  

4. Di Indonesia, apakah Aktuil yang pertama kali mempelopori jurnalisme musik? 

Bukan, setahu gue yang pertama kali memelopori itu sebuah majalah gaya hidup dari Yogyakarta, namanya Diskorina, pertama terbit pertengahan 50an. Selain meliput musik juga ada tentang film dan berita gaya hidup lainnya. Denny Sabri dulu pernah juga menjadi staf redaksi di sana sebelum join dengan Aktuil.

5. Apa ada perbedaan antara jurnalisme musik masa lampau dengan masa sekarang? Kalau ada, perbedaannya seperti apa mas?

Fluktuatif sih, ada era jurnalismenya sangat lugas, lantang, kritis dan obyektif, ada juga eranya jurnalismenya melempem, dan hanya cenderung menjadi corong label rekaman dan mengutamakan jurnalisme jaga hubungan baik. Jurnalisme Musik jaman dulu, era awal 70an itu keren-keren, tulisan-tulisan yang pernah gue baca di Aktuil itu sangat lugas dan kritis sama artisnya sendiri, tapi di dekade 80an, 90an cenderung biasa aja, kurang kritis, mungkin karena terpengaruh otoriternya orde baru.

6. Sebenarnya tulisan seperti apa sih yang bisa dianggap tulisan jurnalisme musik?

Pada dasarnya semua reportase musik termasuk jurnalisme musik, tapi kadarnya tergantung artikel apa yang ditulis, kalo itu berbentuk berita ya mesti faktual, obyektif dan cover both-sides, kalo termasuk review pastinya subyektif dan opiniated, kalo berbentuk feature bisa jadi gabungan antara semua itu.

7. Jika berbicara mengenai media musik di Indonesia , RSI masih nomer 1. Sebenarnya, bagaimana cara agar bisa menulis untuk media mapan seperti RSI?

Terima kasih kalo anggapannya begitu. Cara menulis di RSI gampang aja sebenernya. Cuma untuk di majalah sekarang ini memang sifat kontribusinya tertutup, kami akan menghubungi kontributornya kalau memerlukan berita/feature tertentu. Untuk menulis di website, kontributor cukup mengirimkan sample tulisan yang pernah di published dan memberikan usulan sebelumnya ke editor tentang topik/peristiwa/artis apa yang ingin dia cover, kalo disetujui bisa dilanjutkan dengan reportase dan laporannya kemudian, sesimple itu.

8. Tips untuk bisa masuk ke dunia jurnalisme musik?

Tipsnya? Kalau memang punya passion di jurnalisme musik pasti akan melakukan apa saja untuk itu, misalnya bikin zine, webzine, blog. Intinya selalu membuka telinga, menulis dan melaporkan apapun yang terjadi di dunia musik (tentunya musik-musik yang kalian suka, jangan membuang waktu menulis musik yang tidak kita suka) Gak perlu bergabung dengan media besar juga sebenarnya, kalau memang bisa dipertanggung jawabkan isinya dan bermutu, pasti blog, webzine itu nantinya akan berpengaruh juga dan disukai orang banyak. Contohnya kayak Pitchfork, Stereogum, Blabbermouth dan sebagainya.

Jumat, 18 Januari 2013

Menulis Musik: Sebuah Catatan Personal

1. New Musical Express (NME) journalist, 1976-1979
2. Producer, Atlantic Records, 1964-1971 (approx.)
3. Any kind of musician (apart from classical or rap)
4. Film director
5. Architect

(5 Pekerjaan Impian Versi Rob Fleming)

Rob Fleming adalah sebuah tokoh fiksi dalam novel –yang kelak difilmkan-- berjudul "High Fidelity." Dikisahkan, Rob adalah orang yang menyukai musik. Bahkan tergolong sebagai snob. Nyaris terobsesi. Pengetahuan musiknya luas, lintas genre. Mulai dari The Clash. Captain Beefheart. Bruce Springsteen. Nirvana. Marvin Gaye. Hingga Kraftwerk.

Selain musik, Ia punya hobi lain: membuat  daftar tentang apapun. Mulai dari 5 album musik terbaik sepanjang masa, 5 lagu pengirim pemakaman, sampai 5 daftar pekerjaan impian.

Bukan tanpa alasan Rob memasukkan jurnalis musik dalam peringkat pertama pekerjaan impian. Bagi orang yang mencintai dunia musik, bekerja sebagai penulis musik adalah mimpi basah. Bayangkan, kamu bisa mendapatkan akses penuh untuk bertemu para musisi idolamu. Kamu bisa menonton konser gratis. Kamu bisa mendapatkan CD atau merchandise gratis. 

Tapi namanya juga mimpi basah, ketika terbangun setelah merasakan nikmat, kamu akan berdecak kesal. Celana dalammu basah dan lengket. Dan kamu harus mandi besar. 

Intinya: tak ada yang namanya pekerjaan impian itu. Wake the fukking up!

Itu pula yang menimpa William Miller. Seorang tokoh fiksi dari film "Almost Famous." Film ini berkisah tentang perjuangan William, remaja yang berkeinginan untuk menjadi wartawan musik pada era kejayaan heavy metal, 1970-an. Ia rutin menuliskan review musik yang ia suka. The Who. Led Zeppelin. Jimi Hendrix. David Bowie. Macam-macam. Beberapa review musik itu ia kirimkan ke Lester Bang, seorang wartawan musik terkenal yang bahkan berani mencerca --dengan logis dan beralasan-- MC5 dan The Doors.

Lester --ini tokoh nyata-- terkesan dengan tulisan William. Maka ia meminta William untuk menuliskan review tentang Black Sabbath. 1000 kata, dan dibayar. Ia girang sebab itu pertama kalinya William mendapatkan honor untuk tulisannya. Maka menulislah ia. Tulisannya bagus seperti biasa. Dimuat di majalah Creem, majalah tempat Lester bekerja sebagai editor.

Tulisan itu lantas dibaca oleh Ben Fong Torres, editor majalah Rolling Stone. Ben --juga tokoh nyata-- lantas meminta William menulis untuk Rolling Stone. Akhirnya William memtusukan untuk menulis tentang Stillwater, salah satu band favoritnya. Ia mengikuti band itu tur. Menyimak segala riuh bingar  dunia rock n roll. Ia juga berkesempatan menjalani mimpi basahnya. Tapi dari sana pula ia terbangun dan mendecak kesal. Jadi jurnalis musik itu ternyata tak seenak bayangannya.

Di sela kegundahannya, Ia lantas ingat petuah Lester:

You CANNOT make friends with the rock stars. That's what's important. If you're a rock journalist - first, you will never get paid much. But you will get free records from the record company. And they'll buy you drinks, you'll meet girls, they'll try to fly you places for free, offer you drugs... I know. It sounds great. But they are not your friends. These are people who want you to write sanctimonious stories about the genius of the rock stars, and they will ruin rock and roll and strangle everything we love about it.”

“Kamu TIDAK BISA berteman dengan para rockstar. Itu yang paling penting. Jika kamu menjadi seorang jurnalis musik rock, hal pertama yang harus kamu tahu: bayaranmu tak besar. Tapi kamu bisa mendapat album rekaman gratis dari perusahaan rekaman. Dan para rockstar itu akan mentraktirmu minum, kamu akan bertemu dengan para gadis, mereka akan mengajakmu tur dengan gratis, menawarimu drugs... Aku tahu, itu terdengar keren. Tapi mereka bukan temanmu. Mereka adalah jenis orang yang menginginkanmu untuk menuliskan kisah fantastis mengenai rockstar yang jenius, padahal mereka hanya akan merusak rock n roll dan menghancurkan rock n roll yang kita cintai.”

Tapi meski mimpi basah itu menyebalkan, tak pernah ada orang yang benar-benar kapok dan sebal jika mimpi basah datang. Selain itu, jika terus berusaha lebih keras: kamu akan benar-benar bisa bercinta, bukan sekedar mimpi basah…

***

Menulis musik adalah pekerjaan yang susah-susah gampang. Menurut hemat saya, music writing adalah pintu gerbang menuju music journalism. 

Saya sendiri bukan seorang jurnalis musik. Saya hanya seorang yang suka menulis tentang musik. Saya --sama seperti penghobi lain-- hanya menuliskan tentang musik yang disuka saja. Hanya berkisar antara musik psychedelic, glam rock, dan hair metal. Saya jelas akan tergagap ketika harus menuliskan tentang musik elektronik, misalnya. Karena itu sepertinya saya tidak akan pernah bisa menjadi jurnalis musik.

Tapi saya belajar untuk menjadi penulis yang baik. Seorang penulis yang baik bisa menulis tentang apa saja. Bondan Winarno, ia bisa menuliskan investigasi skandal emas, perihal ekonomi dan periklanan, hingga yang terbaru: kuliner. Ia tidak memiliki dasar pendidikan di bidang kuliner. Tapi ia bisa menuliskan tentang kuliner dengan sangat baik. Karena jelas, Bondan –selain pembaca yang tekun-- adalah penulis yang baik. 

Intinya mungkin begini. Saya adalah penyuka hair metal dan akan kebingungan jika harus menuliskan tentang Ayu Tingting. Tapi jika saya bisa menulis feature, maka saya tidak lagi sekedar menulis tentang musik Ayu. Saya juga akan berusaha menggali sisi lainnya. Misal: bagaimana efek popularitasnya. Berapa banyak pejabat yang menawarinya kawin siri. Atau pada umur berapa ia dicium lelaki. Itu akan jadi tulisan yang lebih menarik ketimbang berapa juta RBT “Alamat Palsu” yang terjual, bukan?

Lantas Gonzo! Lalu Feature!

Maka saya mulai belajar untuk menulis feature dan juga jurnalisme sastrawi. Feature memang penting jika kita berbicara mengenai penulisan musik yang mendalam. Bahkan UCA –University of Creative Art, sebuah kampus kreatif yang berada di Inggris—memasukkan mata kuliah “Feature Writing” untuk jurusan Music Journalism.

Dalam hemat saya, jurnalisme sastrawi adalah salah satu bentuk jurnalisme terkeren. Sebelumnya saya lebih dulu kenal istilah Gonzo Journalism. Jurnalisme Gonzo. Dan saya jatuh cinta padanya.

Jika berbicara definisi singkat, jurnalisme Gonzo adalah "...gaya menulis yang lepas dari beban obyektifitas, sering memasukkan reporter ke dalam bagian tulisa sebagai orang pertama." Gonzo juga cenderung memasukkan pengalaman personal penulis, juga emosi sang penulis, untuk mendapatkan sebuah gambaran mengenai apa yang ditulisnya.

Menurut babad sejarah, Hunter S. Thompson adalah orang pertama yang mengenalkan dan mempopulerkan istilah gonzo itu. Hunther adalah jurnalis legendaris. Ia pernah bekerja pada Rolling Stone. Tapi lalu dipecat karena lebih suka mabuk-mabukan ketimbang menulis. Namun bagaimanapun, ia adalah penulis yang hebat.

Salah satu karyanya yang terkenal adalah Hell's Angels: The Strange and Terrible Saga of the Outlaw Motorcycle Gangs. Buku pertamanya itu bercerita mengenai geng motor gede terbesar di Amerika. Untuk kebutuhan penulisan itu, ia sampai rela menyamar sebagai anggota geng dan hidup bersama anggota geng itu selama satu tahun. Sebelum akhirnya ia terpergok menyamar dan dihajar hingga setengah mampus. Buku ini sempat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Tapi kualitas terjemahannya sangat buruk sekali. Saya tidak merekomendasikan buku terjemahan ini untuk dibaca.

Gaya Gonzo ini lantas diadopsi oleh banyak penulis lain, termasuk Lester Bangs. Gaya jurnalisme Gonzo yang cenderung liar, tak kenal aturan, dan seenaknya sendiri ini pula yang menyebabkan Lester dipecat pula sebagai kontributor tetap di Rolling Stone --selain fakta kalau ia sering ribut dengan pendiri Rolling Stone, Jan Wenner. Ia lantas menulis sekaligus jadi editor untuk majalah Creem. Setelah berhenti dari Creem, ia menulis untuk pelbagai media.

Tapi cinta saya pada Gonzo bertepuk sebelah tangan. Susah sekali rupanya menerapkan style ini. Kalaupun bisa, akan sangat sulit dan hasilnya tak akan sebaik karya era Hunther maupun Lester. Salah satu penyebabnya, sekarang tak banyak lagi penulis yang rela menghabiskan hidupnya untuk benar-benar masuk ke dalam objek tulisan.

Karena patah hati itu saya beralih ke jurnalisme sastrawi. Genre ini dikenalkan pada tahun 1960. Tom Wolfe, seorang wartawan legendaris, mengenalkan istilah ini dengan nama new journalism. Pada dasarnya, ini adalah laporan jurnalistik. Tapi laporan jurnalistik ini ditulis dengan panjang dan memukau. Bahasa yang digunakan bukan bahasa yang kaku. Ada karakter yang dibahas dalam. Ada drama. Ada plot cerita. Ibarat membaca sebuah novel. 

Sebenarnya plot perkenalan saya terbalik. Sebab gonzo journalism yang saya kenal lebih dulu adalah bentuk turunan dari jurnalisme baru ini.

Jurnalisme sastrawi ini lantas digunakan oleh banyak penulis jempolan. Sebut saja Truman Capote, Joan Didion, Gay Talese, Hunther S. Thompson, hingga John Hersey. Semua karya tulis mereka panjang dan menakjubkan.

Jika berbicara mengenai penulisan musik, bisa jadi salah satu feature paling terkenal adalah Frank Sinatra Has a Cold karya Gay Talese. Karya ini berkisah tentang Frank Sinatra. Tidak sekedar tentang musiknya. Tapi juga tentang hidupnya. Hebatnya, Gay menuliskan feature ini tanpa sekalipun mewawancarai Frank. Karena Frank termasuk orang yang sedikit anti media, Gay hanya membuntutinya, mengamati, dan mewawancara banyak orang dekat Frank.

Di Indonesia, genre jurnalisme sastrawi ini mulai populer pada tahun 2000. Kala itu, ada majalah Pantau yang menyebarkan genre ini. Salah satu penyuntingnya adalah Andreas Harsono. Ia juga salah satu penulis jurnalisme sastrawi terbaik di Indonesia. *

Saya suka sekali esainya yang berjudul "Dewa dari Leuwinanggung." Berkisah tentang Iwan Fals. Tapi tidak sekedar membahas bagaimana musik Iwan dibuat. Andreas mewawancarai Iwan dan banyak lagi narasumber. Ada kisah mengenai Swami, Kantata Takwa, politik Orde Baru, Galang Rambu Anarki. Iwan dijadikan manusia seutuhnya. Hitam, putih, dan abu-abu. Bukan lagi menjadi dewa. Saya terpesona.

Lalu ada lagi Wendi Putranto. Ia adalah penulis di Rolling Stone Indonesia. Sebelumnya, ketika masih remaja, ia membuat zine bernama Brainwashed. Zine ini adalah zine pertama di Jakarta, dan ketiga di Indonesia. Wendi sempat menulis di banyak media. Tapi karya-karya terbaiknya muncul di Rolling Stone Indonesia.

Salah satu feature terbaiknya --bahkan hingga saat ini-- adalah kisah mengenai Ari Lasso yang ia maktubkan dalam tulisan berjudul "Perjalanan Panjang." Wenz menceritakan sisi lain dari seorang Ari. Wenz jeli menangkap sisi lain seorang Ari. Tulisan itu panjang. Namun tidak membosankan. Saya terkesima.

Dua orang itu membuat saya semakin tertarik mempelajari jurnalisme sastrawi yang nantinya akan saya terapkan untuk menulis musik. Karena saya sadar, saya bukan dan sepertinya tidak akan pernah menjadi jurnalis musik. Saya tak cakap untuk bisa menulis musik selain The Doors atau hair metal. Suruh saya menulis tentang musik Sigur Ros, maka saya lebih memilih untuk mendengarkan musik Kangen Band menggunakan headset dengan volume maksimal. 

Tabik![]

Jember, 17 Januari 2013,
 03.47 Waktu Indonesia Bagian Arjasa
Sembari mendengarkan Cinderella dan Ratt
Yeah, hair metal lagi.

---------------
Post-scriptum:

Tulisan pendek ini dibuat sebagai pemantik diskusi pada kelas Akademi Berbagi Jember dengan tema "Music Journalism." Untuk pemantik lebih lanjut, akan ada slide presentasi. Oh ya, kelas ini akan dihelat pada hari Minggu, 20 Januari 2013 di Warung Kopi Cak Wang Mastrip pukul 2 siang. Sampai jumpa disana!

* Untuk belajar lebih banyak mengenai jurnalisme sastrawi ini, sila berdiskusi dengan Oryza Ardyansah atau Arman Dhani Bustomi. Dua orang alumnus Universitas Jember ini pernah belajar jurnalisme sastrawi di Pantau dan diampu langsung oleh Andreas Harsono.

Kamis, 17 Januari 2013

Oryza

Namanya Oryza Ardyansah. Nama depannya sedikit tidak biasa dalam khazanah penamaan bahasa Indonesia. Orang tuanya menamai Oryza dari oryza sativa, nama latin tanaman padi. 

Saya pertama kali bertemu pria ini sekitar tahun 2006 silam. Di ruang berkarpet merah, Tegalboto, Oryza memberikan materi mengenai jurnalisme sastrawi. Saat itu saya terperangah. Ternyata ada juga bentuk jurnalisme yang tidak kaku 5W 1H.

Oryza gampang dikenali. Badannya tambun. Pipinya penuh berisi. Kumis melintang di bawah hidung. Ia juga memelihara jenggot, walau saya tak pernah melihat ada tanda hitam di dahinya.

Ketika pertama bertemu, kesan menyenangkan langsung memancar dari pria ini. Ia ramah, murah senyum, dan yang paling penting: pengetahuannya tentang jurnalisme begitu banyak. Ia tak pernah pelit membagi ilmu. Orang tua Oryza tepat menamainya Oryza. Ia menjadi penganut falsafah padi, semakin berisi semakin merunduk. Dengan segera, pria penggemar Persebaya ini lantas jadi sumber ilmu pengetahuan bagi saya.

Pengetahuannya tentang jurnalisme sastrawi ia dapat dari Pantau, sebuah lembaga yang mengkhususkan diri di bidang jurnalisme sastrawi. 

Dalam buku Jurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan Mendalam dan Memikat, dijelaskan bahwa "Jurnalisme sastrawi (literary journalism) adalah nama sebuah genre dalam dunia penulisan yang memadukan liputan/reportase dan penulisan dengan gaya sastrawi sehingga enak dibaca." 

Pada tahun 2000, majalah Pantau terbit. Majalah bulanan terbitan Institut Arus Informasi ini menyajikan kesegaran. Banyak orang yang senang dengan adanya Pantau. Laporan jurnalistik yang disajikan secara renyah dan bercerita, membuat Pantau menjadi salah satu majalah wajib baca bagi banyak orang yang menekuni dunia jurnalistik. 

Selain itu, keberhasilan Pantau tampak dari banyaknya organisasi Pers Mahasiswa yang mulai memasukkan jurnalisme sastrawi ke dalam materi pendidikan dasar jurnalistik mereka.

Tapi setelah 3 tahun terbit, Pantau tumbang. Tiap bulan, Pantau dicetak sebanyak 3.000 eksemplar. Sekitar 2.000-2.500 eksemplar ludes. Bahkan ada beberapa edisi yang tak bersisa. Tapi itu rupanya tak cukup.

Pantau sempat hidup lagi, namun hanya setarikan nafas. Pantau lalu mati lagi tanpa tahu kapan hidup lagi. Meski tak lagi mengeluarkan majalah, Pantau yang kini sudah menjadi yayasan, masih rutin mengadakan kursus menulis jurnalisme sastrawi.

Pantau mengetahui Oryza dari resensi buku "Bre -X" karya Bondan Winarno. Awalnya Oryza menuliskan resensi itu untuk dikirim ke Kompas atau Jawa Pos. Saat itu tahun 2007. Buku Bre X mencapai umur 10 tahun penerbitan. Tapi rencana tinggallah rencana. Oryza terlalu asyik menulis hingga melar menjadi 15 halaman. 5.000 kata. Jumlah yang tidak akan bisa dimuat di Kompas atau Jawa Pos.

"Lalu, saya teringat Pantau. Lagipula saya kirim artikel beberapa kali ke Kompas tidak pernah dimuat. Mungkin karena nama saya tidak terkenal. Saya bukan selebritis penulis yang biasa mejeng di Kompas meski tulisannya sangat biasa-biasa saja." kata Oryza.

Maka ia mengirimkan naskah itu ke Pantau.

Beberapa hari kemudian, ketika pagi baru saja dimulai, ia mendapat telepon dari Linda Christanty, awak majalah Pantau. Linda bilang pada Oryza kalau tulisan tentang Bre-X akan dimuat Pantau, "...tapi saya edit ya?" 

Oryza yang nyawanya belum genap terkumpul, langsung kaget. Ia terjaga sepenuhnya. Ia bingung harus bilang apa. Akhirnya ia bilang pendek, "Ya udah deh mbak, edit saja." Meski begitu, Oryza senang bukan kepalang.

Dari tulisan itu, Oryza mendapat salah satu honor terbesar yang ia terima. Rp. 1,8 juta. Ia senang bukan kepalang. 

"Satu kali honor melebihi gaji satu bulan" ujarnya gembira.

Lalu tak lama kemudian, tulisan Oryza kembali dimuat oleh Pantau. Kali ini tulisan feature panjang mengenai Prosalina. 

Prosalina adalah nama sebuah radio besar di Jember. Pada tahun 2007, radio itu menyiarkan on air jalannya persidangan Samsul Hadi Siswoyo, bupati Jember yang tersangkut kasus korupsi kas daerah senilai Rp. 18 miliar. Oryza lantas menuliskan kisah tentang radio dan persidangan itu dalam sebuah esai panjang nan bernas yang berjudul pendek saja: "Prosalina."

Adalah Linda yang juga mengusulkan nama Oryza untuk mendapat beasiswa Pantau. Pantau setuju. 

"Linda menyebut anda berbakat dan perlu diberi kesempatan (ikut kursus jurnalisme sastrawi)," kata Andreas Harsono pada Oryza.

Andreas mantan wartawan The Jakarta Post dan harian The Nation Bangkok. Ia juga pernah menerima Nieman Fellowship on Journalism dari Universitas Harvard. Sejak tahun 2000, ia menjadi salah satu tim penyunting majalah Pantau. Ia juga menjadi salah satu mentor Oryza di kelas Pantau. 

Bagi Oryza, mengikuti kelas menulis Pantau membutuhkan banyak pengorbanan.

"Saya mecah celengan untuk biaya ke Jakarta dan tinggal di Jakarta selama dua minggu." katanya.

Tapi pengorbanannya tak sia-sia. Ia menjadi salah satu peserta terbaik di kelas itu. Bahkan sampai Janet Steele menuliskan kalimat pujian untuk Oryza di buku "Mars Within" : Bagi Mas Oryza, salah satu ‘wartawan terbaik’ di Suara Indonesia, dan salah satu peserta terbaik di kursus jurnalisme sastrawi.

Janet adalah Associate Professor of Journalism pada School of Media and Public Affairs di Universitas George Washington. Ia meraih Ph.D di bidang sejarah pada Universitas Johns Hopkins. Salah satu bukunya yang terkenal berjudul Wars Within: The Story of Tempo, an Independent Magazine in Soeharto’s Indonesia, yang bercerita mengenai kisah majalah Tempo dan hubungannya dengan rezim politi Orde Baru. Ia juga turut menjadi mentor Oryza di kelas penulisan Pantau.

Selain itu, Oryza merasa jadi bisa menemukan diri sendiri setelah mengikuti kelas Pantau. "Kursus jurnalisme sastrawi menjadi salah satu bagian terpenting dalam hidup saya." kata Oryza.

Ia tidak sedang membual. Bagi seorang reporter, bisa mendapat beasiswa Pantau adalah sebuah kesempatan yang berharga. 

"...Pantau telah memberikan saya semua peralatan untuk berburu, menemukan kekuatan saya sendiri: teknik wawancara, teknik pembuatan struktur tulisan, sembilan elemen jurnalisme, immersion reporting, engine, semuanya adalah senjata saya kelak sebagai reporter dan penulis." ujarnya.

***

Oryza suka sekali tiga hal: buku, bola, dan musik.

Saya pernah ke rumah Oryza. Banyak sekali buku. Ratusan. Atau bisa jadi ribuan. Tapi Oryza bukan tipe orang yang senang pamer jumlah buku yang ia punya. Maka saya tak tahu jumlah pasti koleksinya. Ia tekun sekali membaca. Karena itu pengetahuannya luas. Mulai politik, sejarah, budaya, hingga yang belakangan ia tekuni: ekonomi.

"Oryza memang kuat membaca" kata Sigit Edi Maryanto suatu ketika.

Sigit adalah senior saya di Organisasi Pecinta Alam semasa SMA. Kebetulan pula Sigit juga bekerja sebagai reporter. Ia sering bertemu dengan Oryza. Lantas berkawan baik. 

Jika berbicara bola, tim sepak bola kesayangannya adalah Persebaya dan Liverpool. Meski lahir di Situbondo, ia tumbuh dan besar di Surabaya. Karena itu, darahnya barangkali berwarna hijau, warna kebesaran Persebaya. Oryza seringkali menuliskan tentang Persebaya di blog pribadinya.

Sedang Liverpool adalah tim yang dulu pernah besar di era 80-an, era dimana Oryza tumbuh menjadi remaja. Wajar kalau Oryza mengidolakan tim dari kota asal The Beatles itu. Kesukaannya bertahan hingga sekarang.

Oryza dan saya seringkali bertukar gojlokan. Saya menyukai Manchester United, musuh bebuyutan Liverpool.

Untuk musik, Oryza menggemari musik-musik hard rock. Jika dipersempit, ia menyukai hair metal. Genre itu memang tumbuh subur di era 80-an. Oryza menggemari Motley Crue. Guns N Roses. Skid Row. Warrant. Hingga Poison. Tapi ia juga suka Jimi Hendrix. Led Zeppelin. Hingga Dream Theater.

Kesukaannya pada musik membuat ia tertarik mempelajarinya. Ia lantas mencoba belajar bermain gitar. Ia tidak sekedar bisa. Bahkan ia menjadi virtuoso pada jamannya 

Ketika masuk kuliah di Jember pada awal 90-an, Oryza dan bandnya sempat tampil pada sebuah festival. Oryza mendapat predikat gitaris terbaik.

Lantaran musik juga Oryza lantas jadi lebih akrab dengan saya.

Suatu sore, saya yang sedang berada di sekretariat Tegalboto memutar lagu "Little Wing" versi Skid Row. Lagu itu aslinya milik Jimi Hendrix. Terkenal, lantas dinyanyikan ulang oleh banyak musisi. Versi Skid Row adalah favorit saya.

Tanpa saya tahu, ternyata ada Oryza di ruang utama. Ia tiba-tiba saja menghambur ke ruang redaksi.

"Wuih, 'Little Wing' versi Skid Row! Iki yo favoritku pisan! (Ini juga favoritku!)" ujarnya sembari setengah histeris.

Dari situ obrolan kami berlangsung. Ternyata kami suka musik yang sama. Oryza merasa menemukan kesamaan dengan saya. Klop sudah. Saya belajar banyak mengenai jurnalisme sastrawi dari Oryza, dan Oryza mendapat partner seimbang jika berbicara mengenai hair metal, genre yang ditinggalkan oleh banyak generasi 90-an seperti saya.

***

Selama beberapa minggu terakhir Oryza dan saya selalu bertukar sapa "Salam Anggun."

Ini bukan Anggun C. Sasmi. Atau Anggun dalam bahasa Indonesia yang berarti indah dan berkelas. Melainkan Anggun adik kelas saya di Fakultas Sastra. Perempuan manis ini bergabung di Ideas, UKM Pers Fakultas Sastra. 

Oryza kaget ketika mengetahui ada perempuan manis yang bergabung dengan UKM Pers.

"Jamanku ndisek, arek pers iki biasane gondrong, rombuh, jarang adus (Jamanku dulu, anak pers itu biasanya gondrong, jorok, jarang mandi)" kata Oryza.

Oryza benar. Bahkan hingga era saya, jarang sekali ada perempuan manis yang bergabung di UKM Pers. Itu mungkin hanya kebetulan saya. Atau faktor geografis. Sebab di Balairung, saya pernah bertemu dengan anggota mereka yang jelita dan sedap dipandang mata.

Tapi di Jember, entah kenapa, jarang sekali ada perempuan manis yang bergabung dengan UKM Pers. Tak heran, Oryza sedikit heran dengan keberadaan Anggun. Sejak saat itu, ia selalu menyapa saya dengan "salam Anggun!" dan saya pun membalas salamnya dengan kalimat yang sama.

Tapi saya tahu Oryza tak berniat genit. "Salam Anggun" hanyalah bentuk kekagumannya pada Anggun. Oryza sendiri adalah pria yang setia. Seumur hidupnya ia hanya pernah berpacaran satu kali dengan perempuan bernama Heni Agustini. Itu semasa kuliah. 

Sang pacar itu yang lantas menjadi istrinya. Mereka dikaruniai dua orang bocah lelaki lucu: Muhammad Neo Ardyansah Guerin dan Muhammad Marvel Ardyansah Hersey. 

Ada jejak kecintaan Oryza pada jurnalisme di nama kedua anaknya. Guerin diambil dari nama Veronica Guerin, wartawati asal Irlandia Utara yang dibunuh pada tahun 1996 oleh gembong narkoba. Sedang Hersey ia ambil dari John Hersey, penulis feature berjudul "Hiroshima," yang memenangkan hadiah Pultizer. Hersey juga termasuk praktisi awal jurnalisme sastrawi.

Saya tidak percaya kalau Oryza hanya pernah berpacaran satu kali. Bagi saya, tak ada gitaris yang tak dikelilingi oleh banyak cewek. Bagi saya, meski muka tak setampan Christian Sugiono, asal bisa memainkan gitar dengan baik, maka perempuan secantik apapun bisa didapat.

"Bender! Aku iki ndisek cuma mikiri munggah gunung, bal-balan, karo gitaran (Bener! Dari dulu aku ini cuma berpikir naik gunung, main sepak bola, dan main gitar)" kata Oryza sembari tertawa karena saya menyangsikan fakta kalau ia tidak pernah berpacaran.

Tapi Oryza memang tak berbohong. Ia sayang sekali dengan istri dan anak-anaknya. Ketika ada acara, ia nyaris selalu membawa mereka. Sebagai penulis, seringkali ia menuliskan tentang keluarganya di blog pribadinya. Semuanya manis-manis. Walau kadang sedikit tercecap rasa getir.

Dalam esai pendek berjudul "Ultah Perkawinan," rasanya sulit untuk tak berkaca-kaca jika membacanya. Bagaimana tidak. Esainya dibuka macam begini:

"...Kemarin, tanggal 27 Desember, hari ultah perkawinanku yang kedua. Tak terasa sudah dua tahun aku menikah. Semestinya, perayaan pernikahan itu dilakukan berdua dengan istriku di kedai kaki lima seafood di dekat alun-alun. Istriku ingin banget makan kepiting. Tapi, aku tak punya duit banyak. Akhirnya, kami merayakan dengan sederhana, makan bakso solo di dekat Matahari. Cuma habis Rp 15 ribu."

Lantas ia menarik kisah ke belakang. Saat itu tahun 2004. Ia dipecat dari sebuah harian jaringan salah satu media terbesar di Indonesia. Sebabnya? Oryza dianggap menulis berita "ngawur" alias menyinggung perasaan atau kepentingan pejabat.

Sebelumnya, ia sempat 'dibuang' ke Bondowoso, sebuah daerah di selatan Jember. Bondowoso daerah pegunungan. Jauh lebih sepi dan terpencil ketimbang Jember. 

Entah kebetulan atau tidak, saya menangkap pola yang sama dari harian itu: membuang wartawan yang dianggap 'membahayakan' ke Bondowoso.

Sahabat saya Arman Dhani mengalami hal yang sama. Ia bekerja pada harian yang sama dengan Oryza. Setelah memberikan begitu banyak pada tempatnya bekerja, Dhani dibuang ke Bondowoso sebelum akhirnya ia dipecat dengan alasan membolos selama 10 hari. Padahal ia pergi ke Jakarta karena mengikuti sebuah kursus penulisan seni rupa.

Itu pula yang terjadi pada Oryza. Setelah rela dibuang ke Bondowoso, akhirnya ia dipecat. Yang kurang ajar, sang bos memberikan surat pemecatan itu melalui office boy. Alasan dipecat? Oryza dianggap sudah membolos selama lima hari. Padahal Oryza sudah izin cuti untuk menikah.

Ketika Oryza dipecat, sang istri menangis. Bayangkan, biduk baru harus mengalami gelombang sedemikian besar. Oryza lantas menulis.

"Aku terharu melihat istriku menangis...Ya, ia menangis...Tapi itu bukan tangis ketakutan...Tapi tangis keberanian...Ia menangis, karena sedih aku harus kehilangan pekerjaan yang sangat aku cintai...Ia menangis...Tapi bukan tangis cengeng..."

Untunglah tak seberapa lama kemudian, Oryza mendapat pekerjaan di harian Suara Indonesia. Gajinya lebih besar dari perusahaan sebelumnya. 

Tapi pada tahun 2006, Suara Indonesia kolaps. Gaji Oryza telat dibayar selama berbulan-bulan. Cobaan ini tepat menghampiri ketika sang istri sedang hamil 3 bulan anak pertama.

Tapi badai segera berlalu. Suluh kembali menyala walau sebelumnya doyong terkena angin. Oryza dan istri kembali angkat sauh. Lanjut berlayar.

***

Tahun 2008, grup band Andra and the Backbone mampir ke Jember. Grup yang dimotori oleh gitaris  grup band Dewa, Andra Ramadhan, itu sedang tenar berkat lagu "Sempurna." Lagu ini romantis tanpa terdengar cengeng.

Oryza kebetulan mendapat tugas meliput jalannya konser ini. Ia senang. Karena lagu "Sempurna" merupakan lagu favorit dia dan istri. Bahkan Neo sang anak turut menyukai lagu ini. Walau Neo baru bisa menyanyikannya dengan nggremeng.

Lewat beberapa lagu, akhirnya lagu yang ditunggu datang juga: Sempurna.

Ketika intro itu dimainkan, Oryza menelpon istrinya yang saat itu berada di luar kota bersama sang anak.

"Halo, ada apa, Yanda?" tanya sang istri. Yanda adalah panggilan sayang sang istri untuk Oryza.

"Sayang, lagu ini untuk kamu. Dengerin..." ujar Oryza sembari mendekatkan telepon genggam ke penonton. Lalu Oryza kembali menempelkan telepon genggam ke telinga. Lalu ia menyanyikan bait pertama lagu "Sempurna."

Kau begitu sempurna. Di mataku kau begitu indah. Kau membuat diriku akan selalu memujamu. Di setiap langkahku, ku kan selalu memikirkan dirimu. Tak bisa kubayangkan hidupku tanpa cintamu.

Oryza tak tahu bagaimana reaksi sang istri. Kemungkinan besar ia tersipu malu di balik telepon. Tak banyak pria yang masih berlaku romantis setelah beberapa tahun pernikahan.

Oryza adalah salah satu dari yang sedikit itu.

***

Hari ini Jember sudah diguyur hujan semenjak siang. Sempat reda beberapa saat. Namun sore hari, hujan turun lagi. Menjelang pukul 3 sore, saya bertemu dengan Oryza. Bukan pertemuan tanpa rencana. Sejak beberapa hari sebelumnya ia selalu menanyakan kapan saya pulang ke Jember. Kami lantas membuat janji untuk bertemu.

Oryza ingin menduplikasi buku "Neraka di Laut Jawa" karya Bondan Winarno yang sudah ia cari sejak lama, dan kebetulan saya punya. 

Selain itu, dia juga titip dibelikan majalah News Week edisi cetak terakhir, dan juga TIME edisi Person of the Year. Di Periplus, saya berhasil mendapatkan majalah TIME dengan sampul muka bergambar wajah presiden Amerika Barrack Obama. Tapi tidak dengan News Week. Edisi langka itu cepat sekali dibeli, macam kacang goreng di pasar malam.

Akhirnya tadi sore di Warung Kopi Cak Wang, warung kopi yang kecil, hangat, dan menyenangkan di bilangan Mastrip, kami bertemu.

Majalah saya serahkan. Begitu pula buku "Neraka di Laut Jawa." Juga "Bang Your Head," sebuah buku mengenai musik heavy metal di Amerika. Oryza mendadak tertarik ketika saya bilang punya buku tentang heavy metal. Ia meminta saya membawa buku itu turut serta.

"Aku ngopi video-videone pisan" kata Oryza.

Saya lantas menghidupkan laptop. Oryza memberikan sebuah flash disk. Ia lalu kaget mengetahui koleksi video-video hair metal saya. Ia mendadak terserang euforia.

"Coba setel Warrant sing 'Heaven' (coba putar Warrang yang Heaven)" pinta Oryza.

Heaven adalahh salah satu lagu favorit Oryza. Saya pernah melihatnya menuliskan lirik lagu itu untuk sang istri: I don't need to be the king of the world As long as i'm the hero of this little girl. Juga untuk dua orang anak lelakinya: I dont need to be a superman as long as you will always be my biggest fan.

Oryza tampak kalap. Ia mengkopi banyak sekali video. Mulai dari Poison. KIX. Warrant. Skid Row. Def Leppard. 

"Kalau dengerin lagu-lagu ini, selalu ada kenangan. Ada ikatan emosional antara aku dan lagu-lagu ini" kenang Oryza.

Saya melihat matanya. Ia tampak mengenang masa muda dengan khusyuk. Main gitar, naik gunung, dan main sepak bola. Itu saja kegiatan favoritnya. Kala itu ia masih muda... dan kurus.

Tak berapa lama, saya teringat sebuah diskusi panjang nan riuh antara saya dan Oryza beberapa waktu lalu. Perihal Guns N Roses (GNR).

Band asal Los Angeles ini favorit Oryza. Tapi itu dulu, saat personelnya masih Axl, Slash, Izzy, Duff, dan Steven Adler.

Tapi sekarang band itu hanya tinggal menyisakan Axl sebagai personel asli. Oryza sudah berhenti mendengarkan GNR sejak album Spaghetti Incident. Setelah album itu, Slash, dan Duff  keluar mengikuti jejak Izzy dan Steven.

"Itu bukan GNR, tapi Axl Rose and frieds"  kata Oryza pedas.

Dulu saya setuju dengan pendapat Oryza. Tapi seusai menonton konser GNR dan kembali menekuri album baru GNR, Chinese Democracy, saya baru sadar kedahsyatan GNR era baru ini.

Maka kami berdebat panjang. Lebih sering tak ada juntrungannya. Debat warung kopi. Kami sama-sama mencintai GNR, tapi dengan cara yang berbeda.

Saya lantas bertanya pada Oryza, "sudah pernah dengerin album Chinese Democracy belum?"

"Cuma satu lagu, Love love, apa lah itu" kata Oryza. Yang ia maksud adalah "This I Love," salah satu lagu ballad pada album Chinese Democracy.

"Cih! Itu namanya gak adil sejak dalam pikiran. Sudahlah, berhenti saja baca Pramoedya!" kataku sembari mencibir. Pramoedya Ananta Toer adalah salah satu pengarang favorit Oryza. Salah satu kalimat Pram yang terkenal adalah "jadi manusia itu harus adil sejak dalam pikiran."

Oryza tertawa.

Sore ini saya mendengarkan "Better" pada Oryza. Menurut saya, ini lagu terbaik dalam album Chinese Democracy. 

Awalnya Oryza tak acuh. Ia hanya mendengar lamat-lamat saja. Tapi ketika  Axl mulai bernyanyi, Oryza sedikit menaruh konsentrasi. Puncaknya, saya memberikan headset agar Oryza bisa mendengar lebih jelas.

Oryza tersenyum. Bukan senyum bahagia. Melainkan senyum malu. Malu karena ia tahu kalau lagu "Better" itu sangat paten.

"Hehehe, enak pancen lagu iki (lagu ini memang enak)" tutur Oryza sembari tersipu.

Tapi ia masih belum mau mendengar lagu-lagu lain. Mungkin lain kali saya akan mencekokinya.

"Sing laine gak kiro enak, tapi 'Better' iki pancen enak (Yang lainnya gak mungkin enak, tapi 'Better' ini memang lagu enak)" kata Oryza.

Hujan sudah sedikit hilang. Tinggal sisa-sisa yang berjatuhan. Oryza pamit. Mau pulang. Kangen istri dan anak mungkin. Seharian Oryza melakukan reportase, menulis, lalu mengirimkannya via warnet di daerah kampus Universitas Jember. Ia ingin menghabiskan hari di rumahnya.

Saya segera mendegut tetes terakhir kopi saya. Memasang helm. Juga jas hujan. Hujan kembali turun. Jember basah... []

---------------
Post-scriptum: Mendadak malam ini saya ingin menulis tentang Mas Oryza. Saya berhutang banyak sekali padanya. Berkatnya, saya mengenal jurnalisme sastrawi. Sepengamatan saya, Oryza juga lah yang memperkenalkan genre jurnalisme sastrawi ke pers mahasiswa di Jember. Tolong koreksi saya jika salah.

Hingga sekarang saya masih terus mempelajari genre itu. Agar bisa menulis dengan panjang dan memikat seperti mas Oryza. Anggap saja ini bentuk pelunasan hutang budi, juga pertanggung jawaban moral pada beliau. Mungkin jauh sekali mutunya jika dibandingkan dengan tulisan-tulisan mas Oryza. Tapi saya janji, saya akan terus belajar. Agar setidaknya bisa menyamainya. Selain itu, tulisan ini kurang begitu dalam. Sebab hanya berdasarkan remah ingatan dan tulisan-tulisannya. Lain kali saya akan mewawancara Mas Oryza secara khusus dan menggali lebih banyak hal tentangnya.

 Oh ya, blog pribadi Mas Oryza bisa dibaca di sini.

Selasa, 15 Januari 2013

Molen


Ada yang tahu asal mula molen? 

Saya punya beberapa kenangan personal dengan molen. Dulu sekali, sepulang saya les bahasa Inggris dan menanti angkot untuk pulang, saya selalu menyempatkan diri untuk membeli molen. Penjualnya adalah seorang bapak tua asal tanah Pasundan. Molennya masih murah. Kalau tidak salah 100 rupiah per butir. Isinya macam-macam. Ada yang paling konvensional: pisang. Ada pula rasa coklat, kacang hijau, strawberry, atau nanas.

Saat itu di Jember sedang demam molen. Kalau ingatan belum jua berkarat, ada banyak penjual molen bertebaran di pojok-pojok kota Jember. Semua terkena demam molen. Itu saat saya masih SD. Sekarang penjual molen sudah tak sebanyak dahulu.

Molen memang menyenangkan dan mengenyangkan. Saya suka dua jenis: molen pisang dan molen nanas. Saya suka molen pisang karena memang dasarnya suka pisang. Ketika kelembutan pisang berpadu dengan balutan adonan tepung yang digoreng hingga kecoklatan, hmmm, itu nikmat sekali. Kalau yang nanas, itu selera pribadi saja. Saya suka rasa yang sedikit asam. Kelak saya mengetahui, di daerah Jawa Tengah hingga ke arah barat, molen nanas ala daerah itu menggunakan nanas asli. Bukan selai nanas.

Dulu saya pernah bertanya pada ayah tentang muasal molen. Kata ayah, molen itu asalnya dari Bandung. Dulu saya mengiyakan saja. Hipotesa ayah cukup masuk akal. Menurutnya ada banyak sekali jenis gorengan yang berasal dari tanah Sunda.  Bandung sebagai kota besar di tanah Sunda dianggap berandil besar dalam mempopulerkan beraneka ria gorengan itu. Mulai dari batagor, cireng, cimol, bala-bala, hingga molen. Tak heran kalau Bandung dikenal dengan pisang bolen ala Kartika Sari yang harganya mahal itu.

Saya suka molen Kartika Sari. Tapi saya lebih suka  molen rakyat. Seratus rupiah dapat satu butir molen. Paling enak dimakan ketika hangat. Kerenyahan adonan tepung masih kuat terasa.

Tapi  harga kebutuhan pokok yang berlari kencang, tak mungkin membuat harga molen diam di tempat. Namun penjual selalu punya kiat untuk tidak menaikkan harga. Atau kalaupun naik ya tak banyak-banyak amat. Ukuran molen dibuat lebih kecil. Di warung penjual molen yang sering mangkal di depan warung kikil SMP 2 Jember, ukuran molennya sangat kecil. Harganya memang murah, hanya dua ratus rupiah saja. 

Ukuran kecil dengan harga dua ratus rupiah itu sepertinya jadi SOP penjual molen sekarang. SOP itu juga dituruti dengan taat oleh penjual molen di dekat kosan saya di daerah Condong Catur.

Saya --sekali lagi-- punya kenangan personal terhadap molen ala Condong Catur ini.

Sekitar 9 bulan lalu saya sedang mengerjakan sebuah proyek penulisan yang membuat saya begadang. Setiap hari, saya selalu tidur selepas jam 8 atau jam 9 pagi. Itu berulang rutin selama sekitar 1 minggu.

Pada suatu hari, sembari mencari sarapan, saya melewati Aa' penjual molen itu. Ia masih muda. Mungkin belum sampai kepala dua. Ia tampak tekun membalutkan adonan tepung ke pisang dan ubi. Kalau adonan tepung sudah habis, ia kembali menggulung adonan, membuatnya jadi lebih tipis. Lalu kembali menggulungnya ke potongan pisang dan ubi.

Ketekunannya menarik minat saya.

Saya berhenti ke Aa' itu dan membeli beberapa butir molen. Harganya sesuai SOP, dua ratus rupiah per butir. Sejak saat itu, setiap pagi ketika suntuk melanda dan perut keroncongan, saya berjalan kaki menuju Aa itu untuk membeli beberapa butir molen. Aa penjual itu sangat pemalu. Setiap saya ajak dia ngobrol, dia selalu menjawab dengan suara pelan. Ketika saya tanya asalnya, ia menjawab kalau dari Tasikmalaya --yang semakin menabalkan kebenaran hipotesa ayah saya tadi.

Nah, saat itu saya sedang dekat dengan perempuan bernama Rani Basyir. Ia selalu bertanya kenapa saya suka sekali molen. Tak ada alasan khusus. Rani sekarang sudah jadi pacar saya. Dan sampai sekarang pun saya masih suka makan molen.

Seperti malam ini misalnya. Saya membungkus sekitar sepuluh butir molen untuk menemani saya menulis hingga pagi nanti. Oh ya, penjual molen langganan saya sekarang adalah burjo di dekat kosan. Harganya memang lebih mahal sedikit ketimbang Aa' penjual molen. Di burjo ini harga molennya lima ratus rupiah per butir. Tapi ukurannya lebih besar dan mantap. Rasa adonan tepungnya pun manis. 

Post-scriptum: Ini kenapa saya tiba-tiba jadi nulis tentang molen ya? Padahal saya ada kerjaan yang harus selesai malam ini. Saya sepertinya memang penderita ADD. Oh ya, tadi saya Googling tentang asal muasal molen. Tapi tidak ada satupun entry yang menjelaskan tentang sejarah molen. Kalau ada yang tahu, bolehlah dibagi disini :)

Sabtu, 12 Januari 2013

5 Band Yang (Se)harus(nya) Merilis Album di 2013

1. Sangkakala

Gambar: press release Sangkakala

Bahkan kiamat pun sampai ditunda karena tuhan penasaran dengan album band heavy metal asal Yogyakarta ini. 

Terhitung sejak dirilisnya album Macanista (2009), sudah 4 tahun band ini tak jua mengeluarkan album penuh. Angin segar berhembus ketika pada akhir tahun 2012 single "Kansas (Kami Anak Nakal Suatu Saat Akan Sadar)" dirilis. Pada saat konfrensi pers, kuartet ini mengatakan akan merilis album yang diberi tajuk Heavy Metalitichum pada bulan Desember 2012.

Namun janji tinggallah janji, karena hanya merpati yang tak pernah ingkar janji. Hingga lewat batas kiamat pun, album tak jua dirilis. Tapi kembali angin harapan berhembus. Kemarin malam saya sowan ke Kandang Macan (basecamp Sangkakala). Blangkon memutar beberapa track yang sudah siap kemas dalam album. Menjanjikan! Suara gitar yang meraung-raung, vokal yang berat, bass yang liar, dan drum yang simpel namun bertenaga. This is what I called heavy metal! Selain itu harap waspada dengan reff-reff super catchy yang pasti akan memancing sing a long di setiap konser Sangkakala yang selalu ramai dan liar itu. Selain karena kesibukan pribadi para personel, kerumitan pembuatan kemasan CD dan kaset Heavy Metalitichum membuat saya 'memaafkan' telatnya album mereka dan rela menunggu lebih lama.

Ketika ditanya kapan album siap dirilis, Blangkon menjawab, "Sik enteni, cover-e sik dijahit."

2. GRIBS

Gambar: fanpage GRIBS

Band glam rock asal Jakarta ini mendapat cobaan berat bertubi-tubi sepanjang tahun 2012. Mulai dari keluarnya Dion Blues sang gitaris (yang bisa digantikan dengan sangat baik oleh Eben Andreas), hingga keluarnya Arief Snik dan Rashta sang bassist dan drummer. Meski begitu, GRIBS sempat mengeluarkan single "Remi Mengkaji", sebuah lagu yang liriknya berasal dari puisi almarhum Remy Soetansyah.

Hingga saat ini belum ada kabar kapan album kedua GRIBS akan dirilis. Tapi dari kabar dunia maya, GRIBS akan mengeluarkan single "Gir dan Belati" dalam waktu dekat ini. Dengan pasukan baru, semoga album baru GRIBS masih tetap mencakar seperti album pertama mereka. Oh yeah!

3. Melancholic Bitch

Gambar (sumber)

Band ini sempat masuk masa hiatus yang lama. Menolak disebut sebagai band, melainkan kelompok seni, nyatanya band ini cukup kesusahan berjalan tanpa sang vokalis Ugoran Prasad. Kebetulan, pria berkacamata itu sedang melanjutkan studi di negeri orang (Amerika?). Di sela masa vakum band yang menyebut diri sebagai a collective of cacophonous pantura private detectives ini, para personel lain memang tetap sibuk dengan side projectnya. Namun, penggemar Melbi tetap saja rindu adanya album baru semenjak album Balada Joni dan Susi yang dirilis tahun 2009 silam.

Melalui fan page Melbi, dikabarkan bahwa Ugo sudah berada di Indonesia dan akan tinggal selama 1 tahun. Sepertinya selain gigs, mereka juga harus memikirkan untuk membuat album baru.

4. Taman Nada

Gambar (Sumber)

Selalu menyenangkan mendengar musik folk dari Surabaya. Sebagai kota yang identik dengan musik rock --ingat AKA, Boomerang, atau Padi--, rasanya menyejukkan tiap dengar ada kelompok musik folk datang dari Surabaya. Setelah harapan saya terhadap Silampukau dan Greats harus tumpas, maka saya mengalihkan harapan kepada Taman Nada, sebuah kolektif anak-anak muda yang mengusung musik ala Bob Dylan, Beatles, dan gerombolan folk pecinta psikotropika era flower generation lainnya.

Lagu mereka sederhana, hanya berbekal gitar akustik dan bibir untuk bernyanyi. Tapi lirik-lirik mereka sungguh aduhai indah. Album mereka patut ditunggu, dan memang mereka (se)harus(nya) mengeluarkan album tahun ini. Buat tahu mereka lebih lanjut, simak ini, ini, dan ini

5. Bangkutaman

Gambar (sumber)

Di awal tahun, Bangkutaman merilis kejutan berupa single berjudul "Langkah Baru". Benang merahnya masih sama: masalah urban yang disajikan dengan musik dengan pengaruh Stone Roses dan Bob Dylan. Lagu "Langkah Baru" terdengar segar dengan alunan synth (Hammond?) dan harmonika di akhir lagu. Saya sebenarnya agak waswas. Album Ode Buat Kota sangat bagus, bisa jadi merupakan pencapaian terbaik Bangkutaman hingga saat ini. Kalau tak hati-hati, Bangkutaman akan terjebak bayang-bayang Ode Buat Kota. Semoga itu tak terjadi. Jadi, mari menunggu album baru mereka. Yeah!