Kamis, 30 Juni 2011

Blessing in Disguise

Awalnya adalah kesalahan. Lebih tepatnya kesalahan yang membawa berkah. Jadi ketika saya baru sampai Hamburg, saya langsung menuju kantor Goethe Institute. Disana saya mendaftar, dapat sisa jatah stipendium, mengisi beberapa formulir, dan dapat dua lembar kertas.

Satu adalah lembar asuransi yang bakal menjamin kesehatan saya selama di Jerman. Lalu lembar kedua adalah lembar yang berisi jadwal kursus saya. Disana dengan jelas tertulis kalau hari pertama saya kursus adalah tanggal 7 Juni. Sedang hari terakhir kursus adalah tanggal 20 Juni. Kok cuma 2 minggu ya? Bukannya saya terdaftar kursus 4 minggu? Karena heran itulah saya menanyakan hal ini pada salah seorang staff GI yang mengurusi tetek bengek kursus saya.


"Yap, kamu terdaftar di kursus intensif 2 minggu" katanya.

Wah, berarti dari tanggal 21 saya bisa traveling. Itu pikir saya.

Tanggal 7 Juni itu hari Selasa, dan itu hari pertama kursus saya. Kursus berlangsung tiap hari dari hari Senin sampai Jumat. Hari Sabtu libur, dan minggu pertama saya pergi ke Belanda. Saya disana sampai Senin siang, karena hari itu sedang libur. Entah libur apa. Senin sore saya balik ke Hamburg.

Hari Selasa minggu kedua saya seharusnya ikut kursus. Tapi saya tergeletak, tak bisa bergerak banyak. Gigi tiba-tiba sakit dan berakibat kepala pusing dan badan sedikit demam. Kondisi itu berlangsung sampai hari Kamis. Hari Jumat tanggal 17 Juni saya kembali masuk kursus. Kembali saya tanyakan perihal kursus saya pada staff GI. Dia kembali berkata kalau kursus saya memang hanya 2 minggu. Lalu saya bertanya apakah ada ujian untuk kursus 2 minggu itu. Jawabannya adalah tidak ada. Yeah! Itu berarti ada 10 hari luang sebelum saya kembali ke Indonesia.

Mulailah saya jalan-jalan. Dari Italia saya pergi ke Perancis, tepatnya Paris. Tapi di kota metropolitan itu lah saya mendapatkan email yang mengejutkan.

Sang pengirim email adalah orang yang bertugas mengurus administrasi di GI Hamburg. Dia menuduh saya kabur dari kursus dan berlibur di Italia. Dia memaksa dan sedikit mengancam agar saya cepat kembali ke Hamburg dan menyelesaikan sisa kursus saya. Kalau tidak, maka saya harus mengembalikan uang stipendium yang saya terima.

Walah!

Akhirnya saya jelaskan semua kesalahpahaman ini. Dari kertas bertanggal 20 sebagai hari terakhir kursus itu, sampai ucapan sang staff GI. Tapi saya membalas email itu pas di akhir pekan, ketika semua kantor sedang libur. Jadi belum ada balasan dari si boss GI itu.

Saya sih sebenarnya deg-degan. Bagaimana kalau saya harus mengembalikan uang stipendium? Padahal uangnya sudah saya pakai buat beli tiket jalan-jalan, hahaha. Tapi kenyataan kalau saya masih memegang dokumen yang diberikan oleh staff GI sedikit menenangkan saya.

Selepas dari Paris saya tak langsung pulang. Saya melipir dulu ke Bonn. Menemui mas Andy dan bersenang-senang disana. Selepas dari Bonn rencananya saya mau ke Belgia sebentar, lalu ke Bremen, baru balik ke Hamburg.

Tapi sebuah email di hari Senin sore membuat rencana saya berantakan. Email dari sang boss GI itu lagi. Dia gak mau tahu. Pokoknya kamu harus kembali ke GI dan mengikuti sisa kursus saya, titik! Kurang lebih itu lah isi emailnya. Oh, that's ruined my day.

Akhirnya Selasa pagi saya dengan terpaksa pulang ke Hamburg. Sore saya sampai, menaruh tas, mengambil dokumen dari GI, dan langsung pergi ke GI dengan hati dongkol.

Setelah sampai di kantor GI, saya langsung mencari si boss yang kirim email. Ternyata dia pergi ke Munich dan baru balik hari Kamis. Akhirnya saya menemui staff yang memberikan saya dokumen itu.

Dia terkejut ketika saya menjelaskan semua hal itu. Dia dengan wajah tempias, berusaha meminta maaf dan menjelaskan semuanya. Ia mengakui kalau ini adalah kesalahpahaman dan dia yang salah memberikan dokumen.

Oke, satu masalah sudah selesai. Tapi ada lagi yang menanti. Saya disuruh menghadap satu boss lagi. Awalnya dia menatap saya dengan pandangan sinis. "Oh ini anak yang seenaknya saja kabur dan berlibur di Italia itu?", kurang lebih itu arti pandangannya yang menusuk dari balik kacamatanya.

Lalu saya masuk ke kantornya dan memulai percakapan. Ketika saya mengeluarkan dokumen mengenai jadwal les saya, hilanglah semua kesinisan yang angkuh itu. Dia agak bingung karena mengetahui kalau itu semua salah pihak GI. Ia berusaha bermanis-manis, sedikit merayu agar saya mau melanjutkan kelas. Ketika saya menolak karena sudah tertinggal terlalu jauh, dia hanya bisa tersenyum pahit sembari berkata "oh, it's too hard ya?".

Lalu dia keluar. Entah melakukan apa. Saya duduk manis di ruangannya.

Tak seberapa lama dia kembali sambil membawa beberapa kertas . Antara lain ada jadwal les saya yang seharusnya 4 minggu itu. Akhirnya adu argumentasi dimulai, dan dia kalah. Kembali dia keluar ruangan. Sepertinya menghubungi boss yang mengirimi saya email.

Lalu dia masuk ruangannya lagi. Dengan nada tegas ia berkata "keputusan kami adalah kamu harus kembali ikut les dan membayar denda 150 euro karena kamu kabur". Singkat, padat, dan menyebalkan.

Langsung saja saya sambar dengan bacot saya yang sudah panas sedari tadi. Tapi karena dia tahu akan kalah kalau berdebat, dia memotong dengan ucapan "no argumentation!"

Hahahaha.

Saya sih ngotot gak mau ngelanjutin kursus dan tak mau bayar. Bodohnya pula dia kemudian bertanya "kamu bisa bayar uang denda itu gak?". Saya sambar aja "ya jelas gak bisa!". Setelah itu saya berpamitan dan langsung keluar dari ruangan.

Selesai?

Belum. Sebenarnya sikap saya ini adalah sikap kebanyakan orang Indonesia. Orang Indonesia kadang terlalu pemurah dan baik. Dulu Portugis dan Belanda berhasil menanamkan pengaruh dan menjajah kita karena tangan kita yang selalu terbuka dengan kedatangan orang asing. Tapi mereka dikasih hati malah minta ampela. Akhirnya keenakan, dan berakhir dengan bangsa kita dijajah selama 350 tahun oleh Belanda.

Sikap saya juga seperti itu. Seharusnya ketika tahu bahwa ini bukan kesalahan saya, saya bisa saja dengan marah meminta jatah uang stipendium saya yang dipakai untuk membayar kursus selama 4 minggu tapi hanya saya ikuti selama 2 minggu. Tapi itu tak saya lakukan. Lalu saya bisa saja menuding muka staff Goethe yang salah memberikan dokumen, seketika menimpakan kesalahan padanya. Tapi saya tak melakukan itu. Saya malah minta maaf karena merepotkan dia. Saya kasihan melihat muka pucatnya ketika tahu dia bersalah.

Entah saya bodoh atau baik. Inlander mungkin?

Tapi saya pikir semua sudah selesai. Tinggal tugas saya untuk menjelaskan duduk permasalahan ini pada orang Goethe Jakarta. Saya merasa tak enak pada Mbak Elia, staff GI Jakarta yang mengurusi keberangkatan saya. Ketika menerima email dari boss GI Hamburg, mbak Elia juga ikutan bingung. Nanti sesampai di Jakarta pasti akan saya jelaskan semuanya.

Saya juga sebenarnya dongkol pada semua masalah ini. Gara-gara kesalahpahaman ini saya batal mengunjungi Brussel. Juga gagal mengunjungi orang Jember yang tinggal di Bremen. Padahal saya sudah membawa satu pak besar suwar suwir. Gara-gara tak jadi ke Belgia dan Bremen itu, jatah Eurail saya masih ada 2 hari. Sayang sekali sebenarnya.

Tapi di satu sisi saya bersyukur. Sangat bersyukur malah. Coba saja kalau dokumen yang saya terima itu dokumen yang benar dan saya harus kursus 4 minggu. Bisa jadi saya tak sempat jalan-jalan ke Italia dan Perancis. Yang paling menyakitkan adalah: saya tak bisa mengunjungi makam Jim Morrison.

Tapi tuhan memang selalu melindungi para traveler. Seperti ada "tangan ghaib" yang membuat saya menerima dokumen yang salah , sehingga saya bisa berpergian. Saya percaya ini bukanlah kebetulan. Saya pun tak percaya pada yang namanya kebetulan.

God save the traveler!

Flohmarkt

Mas Akhmad Sahal dulu juga pernah ikut summer course yang sama di Goethe. Hanya ia ditempatkan di Goettingen, saya di Hamburg. Selama kursus singkat yang ia ikuti, hanya ada 3 kata yang ia bisa: einsgang (pintu masuk), ausgang (pintu keluar), dan danke (terima kasih). Karena kalau tidak bisa 3 kosakata itu, mas Sahal gak akan bisa keluar dari stasiun.

Saya juga sama. Selama kursus yang cuma 5 hari (nanti saya ceritakan detailnya), saya cuma bisa danke schoen sama bitte schoen. Tapi karena tak mau kalah dengan mas Sahal, saya belajar satu kata lagi dalam bahasa Jerman, jadi sama-sama cuma 3 kata yang kami kuasai.

Kata ketiga itu adalah Flohmarkt. Apakah itu? Bahasa Inggrisnya adalah flea market. Bahasa Indonesianya adalah pasar loak.

Yap, di Indonesia saya suka sekali berburu barang bekas. Entah itu kaos, jaket, atau bahkan buku. Dulu mamak saya seringkali marah-marah, karena hampir semua koleksi kaos atau jaket saya adalah barang loakan, hahaha.

Saya tahu info mengenai pasar loak ini dari mas Andy, seorang teman yang tinggal di Bonn. Ia memberikan link website kota Hamburg. Disana ada laman yang khusus memajang pasar loak dan jadwal. Jadwal?

Yap, pasar loak di Jerman selalu ada jadwalnya. Contoh, tanggal 1 tempatnya ada di Barmbek, dan menjual barang-barang antik. Nanti tanggal 2 pindah ke pusat kota, dan barang yang dijual pun bisa berbeda. Jadwal tiap bulan pasti berubah. Tapi ada juga yang jadwalnya harian, seperti hari Sabtu, Minggu, Rabu, atau Jumat. Pasar harian itu mengingatkan saya pada pasar Sabtuan, atau Rabuan di Jember. Cuma disini tempatnya lebih menyebar. Contohnya: hari Sabtu ada pasar loak barang-barang antik di pusat kota. Lalu ada pasar buku di Eirnsbuttel. Ada juga pasar di St. Pauli, Wandsbek, dll.

Berbekal hobi mengumpulkan barang loakan, hari itu saya mengunjungi situs kota Hamburg. Mencari jadwal dimana ada pasar loak hari itu. Aha, ada satu pasar di Altona. Akhirnya dengan menaiki U-Bahn dari tempat tinggal saya, pergilah saya menuju Altona.

Ternyata pasar loak Altona itu terletak pas di depan stasiun Altona. Baguslah, jadi saya tak perlu kesasar mencarinya.

Suasana pasar loak ini begitu riuh. Ada banyak barang dagangan. Tak jauh beda dengan di Indonesia. Ada beberapa lapak yang menjual barang bagus dan bermanfaat. Ada pula lapak yang menjual barang remeh temeh seperti sirkuit komputer, CPU bekas, atau kaset jadul dalam bahasa Jerman. Entah apa ada yang beli atau tidak.














Rata-rata para penjual ini menjual barang mereka sendiri yang sudah tidak terpakai. Termasuk baju. Kalau di Jember, kita mengenal yang namanya babebo, alias baju bekas bos, yang biasa mangkal di depan perumahan Mangli Permai tiap hari Jumat-Minggu. Para pedagang itu kulakan dulu, baru dijual lagi. Beda dengan para penjual baju disini. Rata-rata para penjual ini menjual baju yang pernah mereka pakai. Garage sell istilahnya.

Saya sih kurang tertarik dengan baju-baju itu. Soalnya disini para penjualnya seperti tak niat menjual. Sebagian besar baju hanya ditaruh apa adanya, kusut masai. Beda dengan di Jember yang dipajang dengan rapi.

Saya lalu mengalihkan perburuan pada buku bekas. Mencari buku bekas berbahasa Inggris di Jerman rupanya rada susah. Saya berkali-kali mendapat gelengan kepala ketika menanyakan stok buku bahasa Inggris pada sang penjual. Untunglah saya dapat beberapa buku bekas dengan kualitas baik dan harga murah meriah.

"Pak, yang ini berapa harganya" tanya saya pada seorang penjual sembari mengacungkan Cigar Cool, sebuah buku mengenai kultur rokok dan juga penanaman tembakau. Buku itu full colour, hard cover pula. Selain itu saya juga mengacungkan The Asia Collection, buku hard cover fulll colour yang berisi resep-resep serta sejarah masakan Asia.








Penjual mematok harga 8 euro untuk 2 buku itu. Tapi saya menawarnya jadi 5 euro. Penjual tertawa sembari menimbang apakah buku akan dilepas atau tidak. Banyak orang melirik saya sembari tertawa simpul. Rupanya kultur tawar menawar agak jarang dilakukan disini.

"Oke, 5 euro. Itu buku bagus lho" kata sang penjual. Kesalahan saya adalah mengeluarkan uang pecahan 50 euro karena ternyata uang pecahan kecil saya sudah terpakai untuk membeli beberapa buku lain.

"Aha, lot of money ha?" ledek sang penjual. Saya cuma bisa tertawa garing.

Di pasar loak ini biasanya juga terdapat stan makanan. Mulai pomme fries alias kentang goreng, sandwich, hingga bratwurst yang bersinonim dengan Jerman. Saya mencoba membeli bratwurst. Harganya 2,5 euro. Bratwurst yang saya beli ini adalah sosis panggang yang ditemani oleh sebiji kue kecil bertekstur keras. Rasanya eneg. Karena saya biasa memakan sosis dengan saus sambal. Sedang disini saus sambal rasanya seperti saus tomat. Tapi karena lapar, ya akhirnya habis juga.



Selepas makan saya melanjutkan jalan-jalan lagi. Banyak buku menarik yang merampas perhatian saya. Sayang, lagi-lagi terbentur oleh bahasa.

Akhirnya selepas membungkus sebuah jaket bekas seharga 5 euro, saya pun memutuskan untuk pulang.

Langit tampak kelabu. Mendung. Sepertinya akan hujan. Saya berlari menuju stasiun. Meninggalkan keriuhan yang masih saja kekal di belakang sana...

Rabu, 29 Juni 2011

Na cesti!

Saat itu kaki saya baru menapak di stasiun Munich. Selepas dari Passau, saya langsung menuju salah satu kota besar di Jerman ini untuk lalu pergi ke Italia. Tepatnya ke Venezia. Saat itu hujan. Diluar dingin. Saya duduk di lantai stasiun, di depan sebuah kios koran yang sudah tutup. Menyeruput segelas kopi susu yang kopinya ternyata diimpor dari Jawa, tanah kelahiran saya.

Kereta menuju Venezia masih nanti, pukul 11 malam. Sedang sekarang jam masih berdetak di angka 9 saja. Sembari duduk, saya membaca Braveheart, novel yang diadaptasi dari film berjudul sama yang berkisah mengenai para pemberontak Skotlandia yang membangkang pada Inggris. Itu salah satu film terbaik sepanjang masa.

Adegan terbaik tentu ada pada akhir film. Ketika William Wallace --tokoh utama yang diperankan dengan sangat gagah oleh Mel Gibson-- disuruh untuk meminta pengampunan pada Longshanks, sang raja Inggris. Kalau William bersedia meminta maaf, maka hukuman mati akan dipercepat, tanpa siksaan. Tapi William tak berkata sepatah pun. Siksaan pun menderanya sampai sekarat menghampiri.

Ketika nyawa sudah diujung ubun, William seperti mau berbicara. Susah sekali mengusir sang malaikat pencabut nyawa untuk mengucap sepatah kata itu. Sang pimpinan eksekusi mendekat, berharap mendengar sepatah kata "ampun bos" dari William. Ternyata kata "ampun bos" tidak keluar.

"Freeeedoooommmmmm!!!!!" teriak William dengan sekuat tenaga. Menghimpun kekuatan yang bercampur dengan nyawa yang tinggal seujung kuku.

Semua penonton terdiam. Terhenyak. Begitu pula sang pemimpin eksekusi dan algojonya. Longshanks yang saat itu juga sedang sekarat, mendadak seperti mendengar teriakan sang pencabut nyawa. Dan matilah ia, mendahului William Wallace, sang musuh bebuyutan yang kepalanya lantas dipenggal sekali tebas oleh sang algojo.

Itu adegan yang sangat heroik. Sangat macho dan menggugah. Saya tak pernah bisa menahan mata untuk tidak berkaca-kaca ketika menonton adegan puncak itu.

Suara dari speaker memanggil. Kereta malam menuju Venezia sudah datang. Saya lantas bergegas memanggul ransel dan sedikit berlari menuju kereta. Kereta ini tidak langsung menuju Venezia. Nanti saya harus turun di Villach, sebuah kota yang terletak di selatan Austria. Kota dengan penduduk berjumlah 58.000 ini indah sekali. Konon para manusia purba sudah mendiami daerah ini sejak 3500 SM.

Saya memasuki kereta. Di kereta malam ini terdapat kompartemen yang setiapnya berisi 6 tempat duduk. Ada beberapa kompartemen yang kosong. Saya mencari salah satu. Saya melihat ada satu kompartemen yang berisi 1 orang berkacamata dan berambut gondrong serta 2 orang perempuan remaja memakai hot pants dan memanggul ransel berukuran 35 liter.

Saya berusaha mencari kompartemen di sebelahnya. Terkunci. Lalu tampak 2 orang perempuan remaja itu keluar dari kompartemen yang tadi saya lihat. Ah, mending saya ke kompartemen tadi. Pria gondrong berkacamata itu sendirian saja. Lantas setelah memastikan bahwa tempat itu kosong, saya menaruh ransel berat saya ke atas, lalu duduk tenang di depan pria berwajah mirip Chris Robinson itu.

"Man, your face reminds me of Chris Robinson" kata saya spontan. Membuka percakapan.

"Hahaha, thank you. He's a good man. But I'm not that flamboyant" ujarnya sembari mengibaskan tangan ke atas dan kebawah, seperti gaya Chris Robinson kalau sedang bernyanyi bersama bandnya, The Black Crowes.




Layaknya konser yang pintunya baru saja dibuka oleh pak polisi, obrolan kami pun lantas mengalir dengan lancar, selancar para penonton gratisan yang masuk menyerbu pintu itu.

Dugaan saya benar adanya. Dia adalah seorang hippy. Miran Kodric von Chufta itu namanya. Pria dari Ljublana, Slovenia, ini sedang pulang kampung. Menemui seorang teman lamanya.

Ia lalu mengubek tas dari kain yang tadi ditentengnya. Terdengar suara kaca beradu. Lalu ia mengeluarkan sesuatu dari sana. Sebotol bir.

"You want some?" ujarnya. Saya menggeleng. Tidak sedang dalam mood meminum bir.

Pria berambut emas ini lantas menaruh buku yang dari tadi dipeluknya bagai kitab suci, berganti memegang sebotol bir yang tampaknya segar. Saya melempar pandangan ke buku berjudul Na cesti itu. Alamak, ternyata buku bersampul tangan yang sedang mengacungkan jempol alias hitchiking itu adalah buku Jack Kerouac!


"Wah, kamu suka Jack Kerouac ya?" tanya saya antusias.

"Man, this is my bible. Buku ini adalah kitab suciku" jawabnya dengan mata berbinar.

Bagi para pejalan, Jack Kerouac bisa dibilang sebagai pencerah. Penulis novel dan puisi ini bersama dengan William S. Burroughs dan Allen Ginsberg mempelopori gerakan Beat Generation di Amerika pada era perang Vietnam.

Pada tahun 1945, Jack menuliskan dua buah draft dengan judul tentatif "The Beat Generation" dan "Gone on the Road". Lantas dua karya itu dilebur dan ditulis ulang selama 6 tahun. Pada April 1951, jadilah gabungan dua draft itu dalam bentuk satu buah novel yang lantas jadi kitab suci bagi para pejalan: On The Road.

Buku ini menceritakan mengenai petualangan Dean Moriarty dan Carlo Marx. Dua tokoh ini berkeliling Amerika, dengan bumbu musik jazz, puisi, dan juga drugs. Buku ini seperti penuangan kisah pribadi Jack yang pernah berkeliling Amerika bersama Neal Cassidy pada akhir 1940-an.

Saya memang hanya pernah membaca On The Road. Buku Jack Kerouac lainnya belum pernah saya baca. Tapi sekalipun saya tak pernah menjumpai buku Jack berjudul Na cesti seperti yang dibawa oleh si Chufta ini.

Akhirnya saya pun penasaran dan membuka buku itu. Isinya ditulis dalam bahasa Slovenia. Bahasa Jerman yang populer itu saja selalu membuat saya pusing jika melihatnya, apalagi Bahasa Slovenia yang tampak seperti bahasa para alien di mata saya.

Lalu saya melihat halaman keterangan yang biasanya terdapat judul asli, tahun berapa diterbitkan, siapa penerbitnya, dll. Tampaklah judul asli dalam bahasa Inggrisnya: On the Road!

Hahahaha. Saya tertawa keras waktu itu. Na cesti rupanya bahasa Slovenia untuk On the Road.

Entah kenapa, obrolan dengan Chufta ini mengingatkan saya pada sosok William Wallace yang menyerukan pentingnya kebebasan, bahkan di saat menjelang nyawanya tercerabut. Hippy tentu identik dengan kebebasan. Bagaimana dengan sang hippy Slovenia kita ini? Kenapa dia tidak menikah? Apa takut menikah akan menghalangi kebebasannya sebagai seorang pengelana? Apa dia tidak akan menikah selamanya?

"Hahaha, never say never man. Aku juga punya cinta sejati. Dan cinta itu sudah kami perjuangkan selama 6 tahun. I fight everything. Tapi sekarang cinta itu sepertinya sedang tidak cocok dengan saya. Jadi inilah saya" ujarnya sambil terbahak.

Kalau tertawa ia selalu mencondongkan mukanya ke depan. Mulutnya pun membuka lebar. Terbahak, dan menunjukkan gigi depan yang tanggal. Mengingatkan saya pada seorang kawan SMA yang giginya tanggal karena menabrak truk yang sedang parkir.

"Karena sekarang saya tak punya cinta lagi, I have nothing to lose" lanjutnya pelan.

Obrolan kami kembali meluncur cepat. Sama seperti kereta ICE yang kami tumpangi. Diluar sedang gelap gulita. Chufta membuka botol birnya yang kedua. Bir seperti pemicu banjir kata-kata dari mulut pria yang pernah menyelenggarakan konser The White Stripes di Ljublana ini. Mulai dari Chomsky, Sartre, kapitalisme, sosialisme, hidup bohemian, pengalamannya hidup di Italia selama 6 tahun, juga pengalaman hidup berpindah tempat di 23 negara lainnya, lalu koleksi ribuan bukunya yang dititipkan di rumah seorang kawan, anekdot mengenai orang Albania yang katanya ada dimana-mana karena beranak pinak seperti tikus, hingga masa depannya.

"You know man, the whole planet is my home... I am the member of the planet. Bumi ini adalah rumahku, tidak dibatasi oleh batas geografis" ujarnya santai sembari membuka botol bir ketiganya malam itu.

Lalu datang dua orang polisi memerika paspor kami. Sembari memeriksa paspor, salah seorang polisi bertanya pada saya, "sudah coba bir Jerman belum?" Saya jawab belum. Polisi muda itu pun tertawa sembari menyuruh saya mencoba bir Jerman.

"Germany's beer is the greates beer in the world dude, you have to try it" ujarnya bangga sembari tertawa.

"I told you" sahut Chufta sembari menunjuk muka saya yang diikuti oleh suara tawa yang membahana.

Obrolan masih terus berlangsung. Sedang lampu kompartemen sudah kami padamkan. Malam masih panjang, sedang kami sepertinya sudah mengantuk.

"Kau gak ngantuk kalau minum bir?" tanya saya polos. Kebiasaan saya adalah selalu mengantuk dan tidur pulas setelah meminum bir.

"Hahaha, kalau ngantuk ya ngantuk aja. Mau minum bir berapapun kalau gak ngantuk ya gak akan ngantuk" jawab dia kocak lalu tertawa lagi. Oke, saya yang bodoh. Dan itu tadi pertanyaan bodoh.

"Jadi, sekarang eksistensi manusia bukanlah 'to be or not to be', tapi 'to beer and not to beer' " ujarnya sembari menyitir kata William Shakespeare dalam soliloquy Hamlet. Ia lantas tertawa keras setelah melontarkan guyonan orisinil itu.

Ia merebahkan badan. Kompartemen itu hanya terisi oleh kami berdua. Jadi kami bisa merebahkan badan. Mata Chufta sedikit menutup. Lalu ia berceracau sebentar. Lantas diam. Ia tertidur sudah.

Rupanya ia minum bir ketika mengantuk...

***

Untuk yang tertarik berteman dengan sang bohemian flamboyan ini, silahkan kunjungi facebooknya disini

Minggu, 26 Juni 2011

Makam Tuhan Dan Hal Lainnya


Akhirnya saya berhasil mencentang salah satu dari banyak daftar mimpi saya: mengunjungi makam Jim Morrison.

Ketika sampai di depan makamnya, melihat nisan sang rock star dengan mata kepala saya sendiri, saya merasakan perasaan yang aneh. Saya tak pernah lupa perasaan itu. Saya datang, duduk, mengelus nisan, mengeluarkan pemutar musik, memutar lagu Riders on the Storm sembari duduk di makam entah punya siapa yang terletak pas di depan makam Jim. Ketika itu hari sedang cerah. Angin pun ramah disana. Seperti mendukung suasana syahdu yang temaram.

Saya duduk dan mendengarkan lagu-lagu The Doors maupun lagu-lagu dari album An American Prayer selama hampir 1,5 jam. Pas di depan makam pria bernama asli James Douglas Morrison itu. Makam Jim sendiri berbeda dengan makam yang selama ini ada di gambaran saya. Total 3 jam lebihsaya berada di kompleks permakaman Pere La Chaise. Termasuk kesasar ketika berusaha mencari makam Chopin dan Wilde.

Kisah perjalanan menuju makam ini akan sangat panjang. Nanti saya cicil pelan-pelan. Saya punya hutang banyak sekali tulisan untuk blog ini. Mulai dari suasana pasar loak di Altona, Hamburg; dunia malam yang gempita di Repperbahn, perjalanan ke Venezia, Roma, hingga Torino; sampai perjalanan ke Paris yang menyenangkan.

Nanti dulu ya. Tadi saya baru sampai di Bonn sekitar jam 9 malam. Langsung diajak nongkrong oleh tuan rumah, Mas Andy Budiman. Nanti semua akan saya tulis dan aplot kalau saya sudah sampai di Hamburg. Sementara ini saya mau istirahat dulu. Ngantuk.

Selamat pagi semua...

Selasa, 21 Juni 2011

Mas Bro dan Si Nona

Perjalanan memang bisa dilakukan dengan apa saja. Kereta, bis, mobil, sepeda motor, atau bahkan sepeda. Seorang senior di kampus yang saya hormati, beberapa waktu lalu melakukan sebuah perjalanan yang menginspirasi. Saya selalu mengikuti ceritanya via blog.

Mas Bro --nama senior itu-- melakukan perjalanan bersama sang Nona (nama sepeda BMX-nya) melintas daerah dan pulau. Dari Jember hingga Madura. Sungguh sangat luar biasa. Saya membayangkan betapa capek sekaligus menyenangkan perjalanan itu. Saya beberapa kali naik motor dari Surabaya ke Madura. Itu saja rasanya pantat seperti diceples berkali-kali oleh para sadomasokis. Bagaimana rasanya ya pergi ke Madura dengan menggunakan sepeda dari Jember?

Perjalanan sang vokalis band Tamasya ini benar-benar membuat saya kagum. Lain kali saya akan melakukan hal yang sama. Entah kapan.

Makasih Mas Bro buat inspirasinya.

Untuk cerita petualangan mas Bro, silahkan masuk kesini :)

Passau, 21 Juni 2011

Senin, 20 Juni 2011

Marianne dan Wine Yang Tiba-tiba Manis


Saya beruntung punya induk semang yang baik dan perhatian. Saya sudah cerita kan kalau namanya Marianne? Beliau sudah baya, umurnya lebih dari 60 tahun. Tapi dia masih energik. Perempuan seniman ini membuat saya seperti tinggal di rumah sendiri. Dia membebaskan saya memakai dapurnya, membuatnya berantakan (walau ujung-ujungnya saya bersihkan sih), bebas memakai mesin cuci, setrika, hingga kebebasan untuk membawa serep kunci rumah.

Saya sempat terharu ketika beberapa hari lalu saya menderita sakit gigi hebat. Pagi-pagi saya terbangun dengan rasa linu yang teramat sangat pada gigi geraham atas bagian kiri. Kepala saya langsung pusing. Lalu saya bertanya pada Marianne apakah dia punya obat sakit gigi? Dengan tanggap dia langsung mengeluarkan satu kotak besar yang berisi obat dengan berbagai macam jenis. Kalau sedang memilah obat-obatan beliau jadi lebih mirip seorang apoteker ketimbang seniman.

Lalu dia memberikan satu pak obat berbentuk elips. Raut mukanya khawatir. Yang membuat terharu adalah perkataannya pada saya.

"Duh kasihan sekali anakku. Ayo diminum obatnya biar cepat sembuh. Apa mau ke dokter aja? Ayo aku antar, tempatnya dekat sini" ujarnya masih dengan mimik muka khawatir.

Saya menolak. Sepertinya saat ini memang obat saja sudah cukup. Dan obat itu sungguh manjur. Hanya sekitar 3 menit setelah diminum, obatnya langsung bereaksi dan gigi tak lagi cenat cenut seperti lagunya SM*SH.

Ada lagi kebaikannya yang membuat saya terharu sekaligus senang.

Tiap akhir pekan, biasanya Marianne berkunjung dan menginap di rumah seorang anak perempuannya. Ketika itu saya baru beberapa hari datang. Masih canggung.

"Nuran, aku masakkan nasi tuh. Ada di panci di atas meja. Semoga kamu suka dan merasa di rumah ya" ujarnya ketika berpamitan seraya menunjuk sebuah panci aluminium yang di dalamnya berisi nasi. Hiks, baik banget sih orang ini. Sempat-sempatnya menanak nasi dan berharap saya merasa makan di rumah sendiri.

***

Beberapa menit lalu Marianne datang dari menonton bioskop bersama salah seorang cucunya. Lalu kami ngobrol sejenak. Obrolan ringan tentang rencana saya berpergian selama beberapa hari.

"Nuran, mau red wine" ujarnya menawari.

"Rasanya gimana? Lebih manis ketimbang yang kemarin kan?" kata saya cengo. Karena kemarin ibunya Marianne memberi saya segelas white wine dari New Zealand. Dan rasanya masam seperti cuka. Saya hanya mencicipnya sedikit. Sampai sekarang gelas berisi wine itu masih ada di kamar, tak saya teguk barang sedikit pun.

"Hahaha, yang ini lebih manis kok. Mau?" tuturnya sembari tertawa melihat kecengoan saya. Setelah saya mengangguk, barulah ia mengambil gelas kecil dan dengan segera menuang red wine itu.

Anggur itu bermerk Fortin Plaisance, tertanda tahun 1995. Anggur ini sudah berumur 15 tahun. Orang bilang kalau semakin tua anggur, semakin yahud rasanya.

Maka gelas langsung saya sorongkan ke bibir. Rasanya asam! Tapi sedikit lebih manis ketimbang anggur putih New Zealand kemarin. Marianne lantas bercerita kalau merk ini adalah favoritnya. Seraya bercerita ia menawari dark chocolate dengan kandungan kakao 85%. Rasanya sedikit pahit. Pas untuk teman minum wine. Yak, sekarang saya berlagak jadi wine tester jempolan.

Maka kami ngobrol ngalor ngidul di dapurnya yang kecil tapi cozy itu. Mulai dari flat yang ternyata sudah disewa selama 27 tahun; anak cucunya yang begitu membuat dia bahagia; ibunya yang sudah berumur 90 tahun lebih tapi ngotot tinggal sendiri; pekerjaannya sebagai family advisor yang memberikan saran mengenai kontrasepsi, masalah seksual, dll; keluarga saya; apa yang ingin saya kerjakan setelah wisuda; dan mengenai Indonesia.

"Bagaimana soal Baasyir?" tanyanya dengan mata menatap tajam ke mata saya. "Apa orang semacam dia banyak di negaramu?" tambahnya.

Lalu saya menjelaskan bahwa di negara manapun pasti ada kelompok radikal yang tak punya otak. Bahkan di Amerika pun sekarang masih ada WASP atau KKK.

Lalu saya menjelaskan mengenai Pegayaman, desa Islam yang ada di Bali. Saya terangkan kalau di Indonesia semua agama berdampingan. Indonesia negara yang indah. Banyak buah tropis. Lalu saja jelaskan mengenai rambutan yang tak pernah ia lihat bentuknya maupun rasanya.

"Indonesia sepertinya negara yang indah ya" ujarnya sembari tersenyum.

***

Mungkin saya masih bisa menjawab mengenai Baasyir atau kerukunan umat beragama di Indonesia. Tapi saya pasti kebingungan kalau ditanya mengenai Ruyati. Untung Marianne masih belum tahu mengenai kasus ini. Semoga saja dia tak akan tahu. Walaupun kecil kemungkinan Marianne tak tahu, karena sekarang berita menyebar secepat bau kentut menyebar di ruangan kecil.

Ruyati adalah TKW yang dihukum pancung di Arab Saudi. Dakwaannya adalah membunuh. Hukum di Arab Saudi adalah nyawa dibayar nyawa. Tapi hukuman pancung di jaman modern kok rasa-rasanya merendahkan manusia ya? Seperti menyamakan manusia dengan hewan yang disembelih pas kurban.

Apapun itu, saya tak akan menyalahkan siapapun kecuali pemerintah kita. Kasus Ruyati ini adalah entah kasus keberapa ribu yang menimpa tenaga kerja kita. Pemerintah kita jelas gagal melindungi warganya. Titik.

Saya bisa membayangkan kalau Marianne tahu kasus ini.

"Kenapa pemerintah negaramu gak melindungi warganya? Kok bisa sampai dipancung di negara orang? Apa kerja pemerintahmu?" Itu mungkin pertanyaan yang terlontar dari bibirnya.

Tadi saya ngobrol dengan Panjul masalah ini. Panjul dengan ketus memberikan saran jawaban: "my country doesn't have government, madam". Saya sepertinya akan memperhalus sedikit. "Negaraku punya pemerintahan. Tapi yang mengisinya adalah gerombolan orang idiot." Sepertinya itu jawaban saya kalau Marianne bertanya mengenai Ruyati.

Negara saya tercinta dipimpin oleh orang tolol?

Tiba-tiba anggur masam ini berubah jadi sangat manis jika dibandingkan dengan kenyataan itu...

Minggu, 19 Juni 2011

Mari Mendayung Sampan Di Hamburg

Sudah banyak orang yang tahu mengenai Venezia. Banyak pula yang paham tentang sejarah panjang yang mengiringi Venezia. Sebagai kota terapung dengan pemandangan yang indah dan gondola yang populer, tak sulit mencari info mengenai kota ini. Setelah mencari tahu info tentang Venezia, tentu ada tahu kalau harga naik gondola untuk menyusuri kanal-kanal disana adalah tergolong mahal. Dari info terakhir yang saya dapat, tarifnya berkisar antara €80-90 per 50 menit. Mahal beuuddd kalo kata anak gaul.

Saya memang merencanakan pergi ke Venezia hari Senin nati. Tapi hanya untuk melihat rupa kanal dan suasana kota yang dijadikan syuting film Merchant of Venice yang dibintangi Al Pacino itu. Tidak untuk menaiki gondola. Lagipula naik gondola sendirian dan di depan saya ada pasangan yang ciuman itu bikin senewen. Nanti saya malah dosa dan ditangkap polisi karena menceburkan pasangan yang sedang dimabuk asmara itu.

Tapi bukan berarti saya tak bisa menikmati kota dari atas perahu.

Beruntung saya tinggal di Issestr, dan beruntung pula saya punya induk semang bernama Marianne yang begitu baik. Issestr ini terletak diantara Klosterstern dan Eppendorfer Baum, dua daerah yang dipisah oleh lekuk sungai yang cantik. Dan sungai itu terletak pas di belakang rumah Marianne. Pasnya lagi, Marianne punya perahu. Cihuy!

"Kamu mau naik perahu? Lihat kota Hamburg dari perahu itu sangat menyenangkan lho. Kecantikannya bisa berbeda" ujar perempuan baya itu dengan senyum khasnya yang ramah.

Maka seusai kelas bahasa Jerman saya yang terakhir saya langsung pulang, ganti baju, memakai syal di kepala biar rada gaya, lalu langsung lompat ke perahu berwarna merah kepunyaan Marianne.

Perahu ini besar. Bisa dipakai untuk 4 orang. Makanya sedikit susah mengendalikan perahu ini. Harus mendayung gantian kiri dan kanan kalau mau seimbang. Saat itu cuaca cerah tapi angin berhembus kencang.

Tak menunggu lama, setelah dipotret oleh Marianne, saya pun berangkat. Saya melihat peta secara seksama. Rencana berperahu kali ini adalah menelusuri kanal kecil yang membelah Klosterstern dan Eppendorfer Baum, lalu terus hingga pelabuhan wisata Streekbrucke. Dari situ saya akan terus mendayung hingga pelabuhan wisata kedua, Krugkoppelbrucke. Dari sana rencananya saya akan terus mendayung hingga ke danau besar Ausenalster. Mantap betul. Sok kuat sekali saya. Padahal angkat beras 25 kg aja saya sudah ngos-ngosan. Ah, kalau saya tak ada, siapa ya yang mengangkat beras kalau mamak lagi belanja? Semoga ada yang menggantikan.

Akhirnya saya pun memulai dayungan pertama. Menuju arah timur. Angin sangat kencang bertiup ke arah barat. Sesekali saya diputarnya hingga perahu melanting berputar. Tapi karena tenaga masih kuat, saya masih bisa mendayung balik.

Saya beruntung dulu pernah diajak rafting oleh Om Subur. Jadi saya masih ingat dasar-dasar mendayung. Suasana sangat cerah pagi itu. Banyak burung terbang, entah jenis apa saja. Lalu sesekali saya berpapasan dengan bebek dan angsa. Seringpula saya menyapa halo pada orang-orang yang hari itu juga berniat sama dengan saya: menikmati Hamburg dari atas perahu.





Tak disangka, perjalananan ini lumayan berat. Tentu karena angin yang seringkali harus dilabrak, dan berakhir dengan saya ngos-ngosan dan tangan linu. Meski cuaca cerah, anginnya sungguh tak tahu diadat.

Setelah hampir 30 menit mendayung yang disambi dengan potrat potret, akhirnya saya melewati pelabuhan wisata pertama Streekbrucke. Dayuh saya taruh pelan, lalu saya membiarkan angin yang kali ini berhembus sopan. Mengikuti kemana arah saya pergi, mendorong. Tapi kadang suka jahil. Ketika saya memotret, tiba-tiba angin keras menghantam, membuat perahu saya seperti gasing.





Lalu saya terus mendayung. Tak terasa sudah sampai ke pelabuhan kedua, Krugkoppelbrucke. Setelah ini saya memasuki perairan besar. Alias sudah masuk bagian dari danau Ausenalster yang besar itu. Anginnya pasti tambah tak tahu tata krama nih.

Benar saja. Baru beberapa menit lepas dari Krugkoppelbrucke, perahu saya dihantam angin. Oleng ke kiri. Menuju jejeran perahu layar yang bersandar di pelabuhan! Cepat cepat saya ambil dayung, mendayung ke arah kanan. Sekuat tenaga. Tapi angin terlampau keras. Saya tak mau kalah, saya ayun dayung sekuat tenaga. Beruntung angin kembali jinak. Tangan saya tiba-tiba kesemutan. Sialan.




Saya lantas mencoba mendayung lagi ke arah danau setelah melewati jejeran perahu layar yang hampir saya tabrak itu. Tapi anginnya benar-benar tak tahu unggah ungguh. Kurang ajar sekali, saya dihantamnya. Perahu berputar balik. Saya kayuh ke arah danau lagi, dihantamnya lagi saya. Kali ini hantamannya keras sekali, hingga perahu saya terserok ke tepian. Braaak! Ujung perahu menabrak tembok kanal. Brengsek. Berkali-kali saya mencoba, saya dilantingkan kembali oleh angin.

Akhirnya saya putus asa. Alam memang tak bisa dilawan. Maka saya mencoba berkompromi. Saya membuka peta yang sudah robek disana-sini karena terlalu sering dibuka. Aha, ada sebuah kanal kecil, Bellevuebrucke, yang bakalan mengalir terus ke kanal Goldbek.

Kalau melihat peta, kanal kecil ini tampaknya teduh dan anginnya pasti punya adat. Maka saya mengalihkan tujuan kesana.

Perkiraan saya benar. Kanal Bellevuebrucke ini teduh dan tenang sekali. Anginnya sepoi. Saya sesekali menaruh dayung, membiarkan angin yang mendorong perahu saya. Di sekeliling saya tak ada daerah yang lepas dari pohon besar. Sesekali ada angsa lewat dengan tenang di samping perahu saya. Di taman ada anak-anak kecil yang melambaikan tangan pada saya. Awan tampak cantik, meningkahi langit yang siang itu birunya mengingatkan saya pada kampung halaman.







Kalau menyusuri kanal di Hamburg begini menyenangkan, siapa yang butuh naik gondola menyusuri Venezia?

Saya tak tahu sudah berapa lama perahu saya melaju. Tiba-tiba saja saya sudah masuk kanal Goldbek yang besar itu. Angin mendorong saya dari belakang. Sesekali melempar perahu ke kiri atau ke kanan. Membuat saya menaruh sejenak kamera dan berkonsentrasi pada dayung kayu berwarna coklat yang saya pegang.

Kanal Goldbek juga menyenangkan. Di kiri kanan ada pabrik pembuat perahu dari fiber. Kadang ada bapak tua sedang duduk di bangku, membaca buku. Dia tampak damai sekali.


Tapi angin yang tiba-tiba menampar saya dari belakang membuat saya tersadar: bagaimana saya pulang kalau melawan angin? Sepertinya saya sudah terlampau jauh dari kanal kecil yang sedikit berangin itu. Gawat.

Akhirnya saya putar balik perahu dan melajukan kembali ke kanal Bellevuebrucke. Benar dugaan saya. Saya terlalu terlena dengan angin yang mendorong saya dari belakang hingga saya terlalu jauh. Angin yang tadinya keras namun bersahabat itu sekarang terpaksa harus saya hantam. Duel. Saya tahu saya akan terpontang-panting.

Berkali-kali perahu kecil saya itu tersuruk hingga menabrak semak-semak. Atau membubarkan kawanan bebek yang sedang bersantai. Tapi saya tetap memaksa mendayung. Kadang kala kalau tangan sudah terlalu letih maka saya membiarkan kemana angin membawa perahu saya. Lalu saya diam sejenak. Minum air putih sembari melihat pemandangan. Kalau tangan sudah tak capek, maka kembali saya bertempur.

Entah berapa lama saya berduel dengan angin, akhirnya saya kembali masuk kanal Bellevuebrucke. Angin kembali sepoi. Saya kembali bersantai sambi sesekali berselonjor kaki. Menikmati Hamburg musim panas yang tak lama lagi akan saya tinggalkan.

Di depan ada anak muda yang berpacaran. Ada pula yang bermain dengan anjingnya, melempar bola ke sungai lalu anjingnya akan melompat ke sungai, mengambil bola itu untuk sang tuan.



Tapi santai itu tidak lama. Karena saya masih harus melawan angin lagi untuk kembali ke Klosterstern.

Ampun bos!

Sabtu, 18 Juni 2011

Dalam Kemarahan Terselip Kerinduan Yang Teramat Sangat

Biarkan aku berkisah mengenai rindu. Rasa yang terselip dari semua kemarahan yang kita sesumbarkan. Apa mau dikata, kita berdua adalah anak kecil yang terperangkap dalam tubuh orang dewasa. Senyatanya dunia kita adalah dunia bermain. Tapi kita sudah sepakat kalau kita akan belajar menghadapi dunia orang dewasa. Dunia yang akan kita hadapi bersama-sama.

Jadi wajar kalau terkadang kita saling berteriak. Karena orang yang saling marah, telinga tak lagi bisa mendengar. Dengan berteriak, kita sama-sama berharap agar apa yang kita inginkan dari omongan bisa tersampaikan. Sayang kadang telinga kita tersumbat oleh marah yang durjana.

Jadi mari bermarahan. Karena aku yakin, dalam kemarahan kita terselip kerinduan yang teramat sangat.

Karena kita berdua adalah anak kecil yang terperangkap di dalam tubuh orang dewasa. Selepas bermarahan, kita akan kembali berbagi permen. Lalu berkisah riang tentang semua rindu yang kita pendam selama ini...

Isestr 91, 18 Juni 2011

Dari Kapal Pinisi Hingga Malino: Manisfestasi Ide?

Agustus 1991. Saat itu cuaca sedang mendung. Sebuah perahu pinisi bernama Ammana Gappa yang berisi 8 orang suku Konjo, dua orang pemilik kapal, dan satu wartawan, baru saja lepas sauh. Meninggalkan Benoa, Bali, untuk kemudian pergi menuju Madagaskar, Afrika. Pelayaran yang direncanakan berlangsung selama 35 hari itu dimaksudkan untuk menapaktilasi perjalanan nenek moyang suku Konjo, yang pernah berlayar menggunakan perahu pinisi tradisional dari Indonesia menuju Madagaskar.

Kapal ini dipesan oleh sepasang suami istri bernama Michael dan Anne Carr. Michael sendiri adalah lulusan sekolah maritim di Inggris. Mantan perwira ini melakukan riset panjang tentang pinisi sebelum akhirnya menjual hampir seluruh asetnya untuk memesan perahu pinisi.

Norman Edwin, yang saat itu belum menjadi almarhum dan masih menjadi wartawan andalan Kompas, turut serta dalam pelayaran gila itu. Kenapa disebut gila? Adrian Horridge, salah seorang pakar mengenai perahu Indonesia, pernah memperingatkan Michael untuk membatalkan pelayaran musykil ini. Sang penulis buku The Prahu: Traditional Sailing Boat of Indonesia dan Sailing Craft of Indonesia berkata bahwa pinisi tak bisa mengarungi samudera. Lebih lanjut dia mengatakan bahwa kapal ini akan patah terhantam gelombang.

Perahu ini dinahkodai oleh Muhammad Yunus yang membawa serta 7 awak kapal; Appong, Makatutu Abba, Saparing, Araudin, Uddin, Muhammad dan Jumadi. Mereka semua adalah orang-orang Konjo, yang sering juga disebut dengan suku Kajang. Suku ini banyak mendiami Bulukumba, daerah yang dikenal sebagai daerah pembuat kapal pinisi tradisional.

Appong, yang namanya mengingatkan saya pada salah satu warung mie terkenal di Jember favorit Dwi Putri Ratnasari, berkisah bahwa orang-orang suku Konjo adalah pelaut yang handal. The great pirates, tambah Michael.

"Cuma karena mereka ini low profile, sehingga kehebatan mereka tenggelam oleh pelaut Bugis dan Makassar" ujar Michael lagi.

"Kami juga orang Bugis dan Makassar, hanya memang kami tinggal di Bira dan bahasa kami berbeda sedikit" sanggah Appong yang saat itu sedang memegang kemudi.

Michael sendiri tertarik untuk berlayar ke Madagaskar setelah membaca sebuah artikel yang menyebutkan bahwa di Madagaskar ada sebuah kampung yang para penduduknya berbicara dengan bahasa yang mirip dengan bahasa Konjo. Suku itu dikenal dengan nama suku Meira, dan dalam banyak buku sejarah, mereka diakui sebagai keturunan orang Indonesia.

Norman sendiri menurunkan artikel panjang mengenai pelayaran ini dalam Kompas tertanggal 7 Oktober 1991, lalu 26 hingga 29 Desember 1991. Artikel ini sungguh sangat menarik. Panjang namun tak bertele-tele. Deskriptif. Tajam, terutama dalam mendedah perbedaan pendapat antara Michael yang berpikiran logis serta mempunyai dasar akademis ilmu pelayaran, dan orang-orang Konjo yang dalam membuat kapal serta berlayar masih mengikuti tradisi nenek moyang mereka.

***

Kalau sebuah band membuat film, apa yang anda harapkan? Sebagai fans hair metal, tentu saya mengharapkan ada kegilaan besar, madness, chaos, sex drugs booze rock n roll, juga semua histeria massa. Atau bisa juga perjalanan eksistensialis macam When You're Strange-nya The Doors. Oh, coba tengok film dokumenter band Indonesia pertama: Generasi Menolak Tua punya band high octane rock, Seringai. Disana digambarkan bagaimana para om-om yang sudah tak lagi muda itu benar-benar menolak tua, bersenang-senang dengan cara mereka sendiri, memainkan musik mereka, ada histeria massa, hingga menceritakan sejarah band. Begitu juga film-film tentang musisi lain, sebut saja Risky Summerbee and the Honeythief, hingga para punggawa Jogja Hip Hop Foundation.

Rata-rata bercerita mengenai band, proses bermusik mereka, hingga apa yang mereka inginkan untuk band ke depan.

Makanya saya terhenyak ketika seorang teman bercerita bahwa The Trees and the Wild membuat film dokumenter berjudul Dua Tiang Tujuh Layar. Berasa aneh dengan judulnya karena sama sekali tidak berkaitan dengan musik? Tentu saja, karena film ini bercerita mengenai kehidupan para pembuat kapal pinisi di Bulukumba.

Lah, apa hubungannya The Trees and The Wild dengan pinisi dan masyarakat Bulukumba?

Dalam press release, trio ini menjelaskan bahwa:

Dua Tiang Tujuh Layar is a manifesto of ideas and a concrete step from The Trees and The Wild onto many things. For the band, audio-visual works are usually poured into the form of video clips, with promotional background activities and publications of the respective bands. That definition and understanding is fully understood by the Trees and The Wild, but there are different concepts that dwell in their mind which are viewed with broad perspective's.

Film yang disutradarai oleh Swargaloka ini sungguh sangat cantik. Penuh dengan taburan senja, anak pantai yang tertawa, dan perkataan penuh makna dari para pembuat kapal disana.

Tapi setelah melihat film ini, saya lantas bertanya-tanya? Lah, para trio ini kemana ya? Kenapa gak ada di film sama sekali? Hanya lagu Malino, single dari album pertama; Rasuk, yang mengiringi film ini. Keseluruhan filmnya sama sekali tak menampilkan punggawa band ini. Malino sendiri adalah nama sebuah daerah di pegunungan di Gowa, Sulawesi Selatan.

Saya kok jadi malah merasa film ini adalah proyek dari sang sutradara. Juga semacam "proyek" dari Telkom Indonesia, karena brand ini muncul pas di awal film.

Jadi sampai sekarang saya masih penasaran, dimana peran The Trees and The Wild dalam film ini? Apa sebatas sampai produser? Seharusnya jika memang film Dua Layar Tujuh Tiang ini adalah manifesto ide dan penerapan konkrit dari The Trees and The Wild terhadap banyak hal, mereka harusnya menjabarkan apa hubungannya ide mereka terhadap kapal pinisi dan kebudayaan masyarakat Bugis.

Tapi terlepas dari pertanyaan itu (yang mungkin diakibatkan oleh otak saya yang memang kurang encer), film ini menarik jika kita menilik berbagai aspek.

Salah satunya mengenai desain kapal.

Dalam pembuatan kapal, pembuat pinisi sangat berpegang teguh pada tradisi yang diturunkan oleh nenek moyang mereka.

"sekalipun kita tidak punya gambar, untuk bikin kapal, tapi karena kita sudah banyak pengalaman dari dulu hingga sekarang, kita gak bisa lagi lupakan, begitu." ujar salah seorang pembuat kapal yang diwawancarai.

Kapal pinisi sekarang memang masih dibuat berdasarkan tradisi yang diwariskan nenek moyang mereka. Tapi karena tuntutan jaman, mereka memadukan dengan peralatan modern.

"Mudah-mudahan kapal ini selamat dalam pekerjaan, cantik kelihatan, selamat dari pembuatan, nilainya tinggi. Setinggi dengan emas" ujar seorang bapak baya dengan kopyah yang tampaknya pembuat kapal senior. Semacam doa minta ampun pada sang nenek moyang karena telah memodifikasi perahu warisan mereka.

Hal yang sama juga pernah diungkapkan Yunus, kalau ternyata pembuatan kapal pinisi sekarang sudah tidak sama dengan pembuatan kapal pinisi tradisional.

"Kalau sekarang mesin ada, lagipula barang yang harus dibawa banyak, jadi perlu pinisi badan besar" ujar Yunus menanggapi banyaknya kapal pinisi yang sekarang bisa mencapai 400 ton.

"Pinisi yang asli memang sebesar ini, beratnya biasanya kurang dari 50 ton" lanjut Yunus sembari memandang Ammana Gappa yang jumawa dengan tujuh layar.

Dua tiang tujuh layar adalah ciri khas kapal pinisi, yang juga lantas dijadikan judul film dokumenter The Trees and The Wild ini. Dari dulu sampai sekarang, kearifan ini masih terus dijaga, walau beberapa hal sudah berubah. Itu termasuk layar dan tali untuk menahan tiang.

Dulu layar yang mereka gunakan terbuat dari jalinan daun lontar yang disebut karoro. Tapi sekarang sudah jarang digunakan. Lalu tali yang digunakan oleh para pelaut pinisi dahulu terbuat dari sabut kelapa. Sedangkan untuk menahan tiang digunakan rotan, tidak kawat seperti kapal pinisi modern.

Tapi Michael bilang kalau kapal pinisi sekarang masih bisa disebut kapal pinisi tradisional. Dia menambahkan bahwa layar terpal dan kawat penunjang layar telah dipakai sejak lawa, kira-kira sejak abad 19-an. Lagipula tali kawat yang dipakai kapal Ammana Gappa adalah buatan awak kapal sendiri yag dibuat dengan cara dijalin dengan tangan.

Pria brewok ini lantas menyebutkan bahwa pinisi ini baru ada sekitar 400 tahun lalu, ketika orang Barat datang ke Indonesia.

Para ahli maritim sendiri sepakat kalau bentuk asli para pelaut Sulawesi Selatan adalah padewakang. Kapal ini diasosiasikan sebagai "perahu bercadik atau perahu kecil" oleh Adrian Horridge dalam buku The Prahu: Traditional Sailing Boat of Indonesia, yang ditulis pada tahun 1985.

Baru setelah itu orang Sulawesi Selatan meniru bentuk kapal layar dan membuat pinisi. Konon, pinisi itu berasal dari kata "pinnace", sebuah kata dalam bahasa Inggris yang berarti "sejenis perahu layar". Tapi para pembuat kapal Sulawesi Selatan itu tidak serta merta mencontek begitu saja kapal buatan Portugis yang menginspirasi pembuatan pinisi.

"Saya kira mereka melihat perahu layar Portugis dari kejauhan, jadi tidak bisa memperhatikan dengan seksama bentuk sesungguhnya" ujar Michael sembari memperlihatkan satu blok kayu untuk mengerek tali, berbeda dengan kapal layar Barat yang mempunyai roda katrol.

***

"Kalau kita kerja, orang bule mungkin punya gambar juga ada" ujar salah seorang pembuat kapal. "Kita ikuti apa kata pemesan, tapi ciri khasnya tak boleh terlepas dari pinisi. Yang sangat melambangkan bahwa pinisi adalah yakni dua tiang tujuh layar" sambung seorang pembuat kapal lain.

Kearifan tradisional ini mungkin susah dimengerti oleh kebanyakan orang Barat (yang mereka sebut sebagai orang bule) yang tidak percaya hal metafisik juga takhayul serta menjunjung tinggi logika.

"Tiap kali saya mengusulkan sesuatu dan dia menyetujui, tapi kenyataannya dia tetap membuat pinisi itu seperti menganggap kemauannya saja" keluh Michael pada Norman suatu ketika.

Michael menganggap beberapa bagian dari pinisi itu tak penting. Salah satunya adalah balass, alias batu pemberat. Mantan perwira kapal modern itu menjelaskan hitungan dengan fisika dan matematika modern. Sembari bilang kalau pada desain asli pinisi tak diperlukan balas untuk menyeimbangkan, ia berkata kalau para awak kapal memasukkan batu sebanyak dua truk ke badan pinisi. Setelah perdebatan seru dengan para awak kapal, para awak kapal mengalah dan akhirnya sekitar 1/3 batu itu dikeluarkan dari kapal.

Michael sendiri beranggapan bahwa jika batu itu dibuang semua, maka kecepatan kapal akan bertambah laju karena kapal bertambah ringan. Tapi para awak tak setuju. Menurut mereka itu sudah tradisi nenek moyang. Karena memang tak semuanya bisa dijelaskan dengan logika dan perhitungan matematis.

Tapi akhirnya Michael sadar bahwa semua hitungan matematis itu tak berlaku dihadapan alam. Semua tradisi dan kepercayaan, serta pengalaman dari para pelaut Konjo itu berhasil membuat kapal Ammanna Gappa berhasil berlabuh di Antsiranana (Madagaskar) dengan selamat, walau sempat dihantam gelombang besar yang hampir mengkaramkan perahu.

"Karena kebudayaan tak bisa dibuang begitu saja" ujar salah seorang tetua pembuat kapal pinisi dalam film Dua Tiang Tujuh Layar, berbelas tahun kemudian setelah perjalanan yang dilakukan Ammana Gappa.

***

Sekali lagi, terlepas dari semua pertanyaan mengenai peran The Trees and The Wild dalam film ini, dan apa kaitan manifestasi ide mereka terhadap pembuat kapal pinisi dan kebudayaan mereka, film ini sangatlah segar. Keluar dari pakem film yang biasa dibuat oleh anak band.

Dengan apik film ini menceritakan bagaimana para pembuat kapal tangguh ini begitu mencintai pekerjaan mereka. "Saya cinta sekali pekerjaan ini" tutur salah seorang pembuat kapal.

"Dan ini untuk anak saya mempelajari kalau dia sudah besar. Harapannya nanti kalau kita tua, mereka bisa gantikan kita" sambungnya.

Untuk menonton film ini, sila kunjungi: www.thetreesandthewild.com

Jumat, 17 Juni 2011

Jadi Anak Hilang Di Utrecht

Lanjutan Dari Welkom Bij Nederland

***

Jadi dengan keyakinan penuh akan melimpahnya akses internet di stasiun Utrecht Central, maka saya pun berangkat. Kereta yang saya naiki berangkat dari stasiun Hauptbanhof Hamburg. Lalu transit di Osnabruck, lantas ke Ammersfoort, baru ke Utrecht Central. Total perjalanan Hamburg- Utrecht sekitar 4,5 jam.

Sore itu hujan. Bikin galau aja ih. Ditambah pula suasana kereta yang sepi. Kurang ajarnya adalah pemutar musik saya tiba-tiba memainkan Melankolia-nya Efek Rumah Kaca. Seakan pemutar musik itu bersekongkol sama hujan biar bikin suasana makin syahdu.

Setelah menempuh perjalanan panjang itu, saya pun sampai di Utrecht Central. Saat itu jam sudah menunjukkan pukul 6.30. Tapi hari masih terang. Sudah sedikit panas, tak hujan lagi.

Dengan PD saya lantas nongkrong di depan kantor informasi stasiun. Berharap ada sinyal wi-fi. Ada! Tapi kok ndilalah susah sekali konek dengan jaringan itu. Berkali-kali mencoba, tetap saja gak bisa. Sampai,

"Bla bla bla" seorang perempuan setengah baya datang pada saya sembari ngoceh bahasa Belanda.

"I'm sorry, I can't speak Dutch" kata saya dengan pandangan bingung.

"I'm homeless, can you give me some money? I am not eating for 3 days" katanya seraya tiba-tiba merubah bahasa dengan cepat seperti Google Translate. Oalaah, pengemis toh. Segera saya memberikan beberapa keping sen. Tapi canggih ya pengemis bisa bilingual gitu, hehehe.

Oke, balik lagi ke jaringan internet.

Saya mencari jaringan sampai putus asa. Semua tak bisa. Ada jaringan yang terbuka tanpa kunci, tapi jaringan itu ujung-ujungnya meminta kita untuk beli voucher. Ketika saya tanya ke bagian informasi dimana harus membeli voucher internet itu, mereka menggelengkan kepala.

Saya hampir putus asa. PBB beberapa hari lalu mengeluarkan sebuah notifikasi. Bahwa akses internet adalah hak asasi manusia. "Given that the Internet has become an indispensable tool for realizing a range of human rights, combating inequality, and accelerating development and human progress, ensuring universal access to the Internet should be a priority for all states," ujar Frank La Rue, salah seorang reporter yang menulis tentang pemberitahuan dari PBB itu.

Dan seharusnya stasiun Utrecht dilaporkan ke PBB karena melanggar hak asasi manusia dengan membatasi akses internet, huehehe.

Saya lantas memutar akal. Dimana saya bisa dapat internet gratis dan membaca pesan yang berisikan alamat serta nomer telepon mas Taufiq? Kampus! Karena di rata-rata kampus Indonesia, selalu ada hot spot di berbagai titik.

Cerdas sekali saya!

Dengan langkah mantap saya pergi ke terminal bis yang terletak di bawah stasiun. Dengan bertanya-tanya akhirnya saya bisa naik bis yang menuju Universitas Utrecht. Bravo!

Oh ya, supir bis yang saya naiki itu baik sekali. Dia tidak membolehkan saya membayar ongkos bis. Mungkin karena melihat saya yang bertampang menyedihkan, dia jadi iba. Atau bisa juga karena melihat muka saya yang sangat Indonesia, dia jadi ingat kalau bangsanya punya hutang besar terhadap bangsa saya. Ah sudahlah, memang orang baik ada dimana-mana.

Sampailah saya di Utrecht. Saat itu sudah jam 7.30. Thanks god it's summer, jadi jam segitu hari masih benderang. Tapi apa yang terjadi? Kampus begitu sepi bagai kota mati.

Saya bengong. Angin berhembus dan satu buah kantong plastik terbang berputar di depan saya, lalu semakin menjauh. Suasana sangat sepi. Tapi banyak sepeda yang diparkir. Apa-apaan ini? Ini kampus atau kota mati?



Saya keliling kampus dengan banyak arsitektur modern itu. Sebenarnya kampus ini menyenangkan. Dengan mata kepala saya sendiri, saya melihat gerombolan kelinci kecil memamah rumput di depan kampus. Bersyukurlah kalian tak hidup di Indonesia dik. Kalau hidup di Indonesia, bisa-bisa kalian sudah dijadikan sate oleh para mahasiswa yang kelaparan sedang uang kiriman belum juga sampai.

Tapi dibalik rasa senang itu, ada rasa takut. Gimana kalau ternyata semua mahasiswa di kampus ini jadi zombie akibat tertular virus? Saya jadi merasakan ngeri yang pernah dirasakan Jim dalam film 28 Days Later. Hiii.

Untunglah ada beberapa orang di halte bis depan kampus. Setelah memastikan bahwa mereka bukan zombie, saya bertanya dimana saya bisa mengakses internet dan mengapa kampus ini begitu sepi.

Rupanya saya datang di saat yang salah. Hari itu hari Sabtu, pun sudah jam 8 malam. Hari Sabtu semua pada libur. Hanya perpustakaan yang buka, itupun hanya sampai jam 6 sore.

Alamakjang!

Akhirnya setelah berpikir, saya memutuskan untuk kembali ke stasiun Utrecht Central. Entah kenapa intuisi saya menyuruh agar pergi ke stasiun lagi.

Akhirnya saya naik bis, kembali ke stasiun. Dan kali ini tidak gratis lagi. Sialan.

Sampai di stasiun saya kembali berkeliling mencari akses internet. Badan sudah capek. Ingin sekali rebah dan bersandar di hammock sembari minum es kelapa muda dan makan nasi padang gulai otak plus sambal hijau. Tapi ini bukan di pantai, apalagi di Padang.

Saya hampir putus asa. Lalu saya pergi ke Kiosk, kios yang menjual berbagai panganan dan minuman. Setelah saya tanya, ternyata sang pramuniaga tahu dimana tempat membeli voucher internet.

"Right that way, to the next kiosk. They sell the internet voucher" kata sang penjaga yang kalau dilihat dari logatnya berasal dari India.

Saya pergi ke kiosk berikut yang berjarak beberapa meter di depan. Ternyata setelah bertanya ke penjaganya, mereka tak menjual voucher itu. Bedebah. Lalu kemana saya harus mencari voucher internet? Wah, sepertinya seseorang memang harus melaporkan stasiun Utrecht Central ini ke PBB deh. Segera!

Saya akhirnya mencapai titik 90% putus asa. Apa yang harus saya lakukan? Pergi ke pusat kota? Oke lah. Tapi biar saya istirahat dulu. Saya lantas berjalan lunglai ke depan papan jadwal elektronik yang besarnya segaban itu.

Ketika gontai melangkah itulah, mata saya menumbuk seseorang. Orang itu melihat saya juga.

"MAS TAUFIQ!" kata saya histeris!

"NAH INI DIA!" balas mas Taufiq tak kalah histeris.

Semudah itu lah kami bertemu. Bagai kebetulan yang biasa ada di sinetron garapan Punjabitch. Tiba-tiba saja kami bertemu pas di depan papan jadwal besar itu. Selesai. Tak ada lagi ceritanya ribet mencari internet akses, atau harus melanglang ke pusat kota.

Saat itu jam 8.30. Berarti sudah 2 jam saya jadi anak hilang di Utrecht. 2 jam yang paling lama dan menyebalkan dalam hidup saya. Selain berada di kelas Introduction to Syntax tentunya.

Tuhan rupa-rupanya sedang menyutradarai film drama komedi. Dan tadi adalah klimaksnya. Setelahnya alur cerita jadi menurun, tak lagi dramatis ataupun menegangkan.

Selepas ngopi di salah satu gerai kopi waralaba, kami pergi ke gedung bioskop di Amsterdam. Lalu menonton film "Pirates Of The Carribean 4: On The Stranger Tides". Itulah pertama kalinya saya menonton bioskop 3D. Norak sekali saya.

Oh ya, saya juga dikenalkan dengan mas Novrizal Bahar, mantan penyiar TVRI era 80-an yang juga merupakan dosen di FH UI. Mas Isal, panggilan akrabnya, sekarang sedang menempuh S3 di Universitas Utrecht. Orangnya gokil, tak seperti dosen kebanyakan.

Selepas nonton bioskop, kami pergi ke Amsterdam Arena, kandang kebanggaan Ajax Amsterdam. Di stadion yang berkapasitas 51, 600 kursi ini kami benar-benar berlagak seperti turis. Jeprat sana jepret sini.





Saya jadi ingat kaos Ajax titipan Nyen. Sayang harganya mahal bung, tak mampu saya membelinya. Sebenarnya sih mampu beli kalau Nyen tega membiarkan saya tidak makan selama sebulan. Tapi syukur Nyen begitu pengertian.

Malam sudah larut. Sepertinya jam 1 pagi. Kami pun bergegas pulang menuju apartemen mas Isal.

Apartemen mas Isal terletak di daerah Overvecht. Karena bis dan kereta sudah berhenti beroperasi, maka kami naik taksi. Keputusan ini hampir berujung tiga lembar nyawa melayang karena sang supir nyetir ngebut dan ugal-ugalan dibarengi menelpon. Sangat lubang pantat sekali kawan.

Di apartemen mas Isal saya bertemu dengan mas Bambang, perawat yang sudah 10 tahun kerja di Utrecht. Apartemen dengan 2 kamar itu hanya diisi 2 orang. Mas Bambang dan Mas Isal sekamar. Satu kamar lagi kosong, saya disuruh menempati kamar nganggur itu. Lalu saya disuruh makan.

Di meja makan terhampar semangkok bumbu pecel dan semangkuk besar kari ayam. Masyaallah! Ini makanan mewah! Mewah!

Tanpa pikir panjang saya pun makan nasi pecel plus kari dengan potongan ayam yang besar-besar itu. Saya berasa hidup kembali. Saya tak ingat kapan pernah makan selahap ini.

Dari jendela apartemen di Overvecht, lampu berkedip genit. Sesekali ditimpali desau angin yang ganjen dan menggigit. Perut sudah terisi. Badan sudah hangat. Sudah kasih kabar pula kepada orang-orang terkasih di kampung halaman.

Tidur sepertinya pekerjaan yang paling pantas saat ini.

Karena besok Amsterdam sudah menanti.

(Bersambung)