Senin, 26 Mei 2014

Paralel

Kenangan adalah sesuatu yang rangup. Betapa mudah ia terberai ketika dihantam waktu...

Saya dulu pernah menghabiskan waktu nyaris setahun dengan menjadi penduduk Raden Patah. Itu nama ruas jalan tempat SD saya. Saat itu saya kelas 6  SD. Orang tua saat itu menitipkan saya dan Kiki ke rumah saudara jauh.  Ngekos. Tujuannya? Agar kami les di rumah guru setiap hari.

Jadwalnya begini.

Subuh, sekitar jam 4.30, saya dan Kiki bangun. Lalu, dengan mengantuk, kami akan berjalan kaki ke rumah Bu Aisyah, kepala sekolah kami. Di sana kami belajar, diawasi langsung oleh Bu Aisyah yang setia membawa tasbih dan berdzikir. Teman kami waktu itu ada tiga orang: Hendra, Arif Adiwena, dan Distia, satu-satunya perempuan yang ikut les.

Mereka bertiga kos di rumah Bu Aisyah. Saya dan  Kiki awalnya juga akan ngekos di rumah Bu Aisyah. Tapi saat itu kosannya penuh. Jadilah kami tinggal di rumah saudara kami. Kamar kami lantas kedatangan satu kawan lagi:  Fauzi. Saya ingat sekali wajahnya. Jidatnya lebar. Bibirnya agak mancung. Kawan-kawan kami menjulukinya Suneo. Jahat benar.

Fauzi punya dua kebiasaan sewaktu tidur: mangap, dan tidur dengan separuh matanya terbuka.  Aneh benar, batin saya. Bertiga, kami hidup bersama dalam satu kamar sempit ukuran 3x4.

Kami les subuh hingga jam 6.30. Lalu kami pulang ke kos, mandi, sarapan --biasanya mie rebus dan telur--, baru sekolah hingga sore.

Selepas sore hingga Maghrib adalah jam bebas, sebelum kami harus les selepas Maghrib hingga pukul 8 malam. Di masa senggang,  kami biasanya bermain sepak bola dengan anak-anak di dekat kosan kami. Saya masih ingat dengan baik beberapa di antara mereka.

Iping, dia satu tahun di atas saya. Jago main bola. Paling pintar di antara kawan-kawan satu kelompok. Setidaknya dilihat dari sekolahnya.  Ia murid SMP2,  sekolah paling favorit di Jember.

Ada pula Mat. Kulitnya hitam. Paling bengal. Tapi sering menangis kalau digampar ibunya. Sobat kentalnya adalah Wiwit. Beda dengan Mamat yang dari wajahnya saja bisa dilihat kalau ia anak tengil,  Wiwit berwajah cool. Kulitnya bersih. Matanya sedikit sipit. Rumahnya pas di samping rumah Bu Aisyah. Wiwit suka berkelahi. Ia kidal, karenanya  hobi shadow boxing memukul dengan tangan kiri.

Terakhir saya berjumpa Wiwit pas kelas 2 SMP. Ia masih ingat saya. Sore itu saya baru pulang les di kawasan Pertokoan Mutiara. Selagi menunggu angkot, saya disapa olehnya. Waktu itu Wiwit bekerja sebagai pedagang buah  di Jl Gajah Mada. Setelah perjumpaan itu saya tak pernah bertemu dengan Wiwit lagi.

Ada lagi yang namanya Agok,  badannya kekar.  Kulitnya legam. Paling lihai main bola diantara kami. Umurnya setahun di atas saya. Kalau tidak salah ia bersekolah di MTS. Ia bahkan bergabung dengan klub bola lokal dan sering ikut pertandingan antar kampung. Namanya lumayan terkenal sebagai gelandang bertahan. Satu lagi yang saya ingat dari dia, betisnya kekar bukan main. Ia sangat membanggakan betis yang membuatnya sanggup bermain bola selama 90 menit tanpa kram sedikitpun.

Kawan saya yang lain adalah Holis. Meski usianya sepantaran dengan saya, badannya bongsor. Tinggi besar. Namun ia kurang begitu pandai dalam pelajaran. Saya sering mengajarinya membuat PR.  Kami lumayan dekat. Pasalnya, rumahnya pas di sebelah kosan saya. Kadang saya ke rumahnya untuk menumpang nonton tv. Orang tua Holis membuka toko kecil di samping rumah. Holis sering sekali mencuri permen dan jajanan, dan ia bagi dengan saya. Meski bongsor, raut muka Holis lucu. Polos. Ia juga sering ingusan. Entah kenapa. 

Kami bertemu lagi sewaktu SMA. Ia masih mengenal saya dengan baik. Badannya jadi lebih besar. Saya pernah melihat ia berkelahi dalam sebuah tawuran epik dengan gerombolan kakak kelas di lapangan sepak bola, di sore yang ditingkahi hujan deras. Holis meluncurkan upper cut ke pelipis lawan. Crot! Darah mengucur deras dari pelipisnya. Tinju Holis maut juga. Kadang saya tertawa membayangkan ia meninju dengan ingus bergelantungan. Hehe. Sayang, karena bengal, menjelang kenaikan kelas ia dikeluarkan dari sekolah. Sejak itu saya tak pernah mendengar kabarnya lagi.

Diantara semua kawan-kawan baik itu, saya paling akrab dengan Dona. Saking akrabnya, saya ingat banyak hal tentang dia. Namanya sedikit aneh untuk anak lelaki. Kulitnya putih. Rambutnya berponi.  Dan berkacamata.  Tampang nerd.  Tapi ia jago main gitar.  Saya masih ingat gitarnya: Yamaha dengan senar nilon. Dan ada stiker Sex Pistols di badan gitar. Dulu saya pikir Sex  Pistol itu adalah perempuan yang bermain seks dengan pistol. Aneh sekali, pikir saya sembari bergidik ngeri.

Hingga Dona berbaik hati menjelaskan kalau Sex Pistols itu nama band punk. Hehe. 

Saya kagum dengan Dona. Ia pandai. Selera humornya juga baik. Seingat saya kami sering tertawa bareng, walau lupa menertawakan apa. Yang paling membuat saya terpukau adalah permainan gitarnya. Ia lancar memainkan lagu "Dongeng" dari band Wayang yang sedang ngetren kala itu. Kalau dipikir-pikir sekarang, ketertarikan saya untuk belajar bermain gitar mungkin karena mengenal Dona dan melihatnya bermain gitar.

Selepas SD, saya kembali ke rumah dan tak pernah menginjakkan kaki ke Raden Patah lagi. Saya pun putus kontak dengan kawan-kawan di sana.

Hingga akhirnya saya menemukan kontak Dona dari Nova, sahabat saya semenjak SMA. Rupanya dulu ia satu SMP dengan Dona. Nova memberikan alamat Facebook Dona. Tanpa menunggu lama, saya add. Tak lama berselang, permintaan berteman saya disetujui. Langsung saya mengirimkan wall.

"Dona, ini Nuran. Sik eling gak?"

Kemudian dibalas.

"Wah lali, sopo yo? Hehe."


Apakah saya kecewa? Sedikit. Ini rasanya macam dilupakan oleh kawan yang pernah mengalami susah senang bareng. Sayup terdengar suara Iwan Fals di telinga.

Pernah kita sama-sama rasakan panasnya mentari hanguskan hati.  
Sahabat, masih ingatkah,  kau?

Ya walaupun tak sedramatis itu. Waktu itu kami bukan orangyang sedang menantang dunia. Hanya bocah SD dan SMP yang culun.

Saat itulah saya sadar,  memang kenangan adalah hal yang rapuh dan rawan berkhianat terhadap ingatan. Jangankan kenangan, ingatan saja begitu mudah terselip. Kenangan pula, bukanlah hal yang paralel. Bukan hal yang bersifat kembar. Apa yang kamu ingat,  belum tentu diingat juga oleh orang lain. Meskipun momen yang kalian alami  sama.

Meski kenangan saya akan Dona dan kawan-kawan lain begitu kuat, belum tentu mereka merasakan kenangan dan ikatan yang sama. Walau mereka juga ada di sana. Di momen yang sama.

Saya menceritakan hal ini pada Rani, sekitar dua jam selepas pukul 12 malam. Ia sudah terkantuk, namun masih mau mendengar celotehan saya yang lagi kumat melankolisnya.

Di tengah kantuknya, ia masih sempat-sempatnya meledek saya.

"Kamu melankolis bener deh, udah, jangan dipikirin," katanya sembari mempukpuk kepala saya.  Sialan.

Tapi iya juga, malam itu saya sedang mengalami melankolia kambuhan.Beberapa hal kecil macam ini kerap membuat saya kepikiran. Gara-gara kepikiran itu, saya jadi tak bisa tidur. Dan menulis note ini.

Besok pasti kesiangan ke kantor. []

Post scriptum: tulisan ini selesai saya tulis jam 2.56 dini hari. Menjelang subuh. Saya masih saja kepikiran hal bodoh ini sampai adzan Subuh menggema memecah udara.

Selasa, 20 Mei 2014

Ride the Wind, Forever Free



Entah kenapa, motor besar, terutama Harley Davidson, seringkali lekat dengan citra jantan. Hair metal, musiknya kaum  pemuja kebebasan dan bersenang-senang, juga punya banyak video klip yang menampilkan Harley.

Siang ini karena lagi selo di kantor, saya iseng-iseng membuat lima daftar video klip hair metal yang memunculkan motor besar. Tak semua lagunya begajulan. Beberapa malah lagu balada yang lembut sekali di kuping. Oh ya, senarai ini hanya berdasar pengetahuan saya. Yang punya daftar lain, monggo dibuat.

1. Cinderella: Coming Home

Cinderella adalah band hair metal asal Penssylvania yang ngetop dengan lagu-lagu balada bernuansa blues macam "Don't Know What You've Got Till Its Gone" atau "Heartbreak Station". "Coming Home" sendiri adalah salah satu hits lain yang lumayan ngetop. 

Kisah dari cerita ini adalah seorang pria yang rela berhenti dari pekerjaannya demi bisa hidup bareng sang pacar. Klise. Tapi yang keren, sang lelaki, dengan jaket kulit dan sepatu boots, mengendarai Harley Davidson menuju rumah. Walau di tengah perjalanan Harley-nya rusak dan terpaksa ia tinggal.

Oh ya, Cinderella termasuk band yang lumayan sering memasukkan Harley dalam klipnya. Selain di lagu "Coming Home", Harley bisa dilihat di video klip "Gypsy Road".

Videonya bisa dilihat di sini.

2. Jon Bon Jovi - Miracle

Ini adalah lagu single kedua dari album solao Jon, Blaze of Glory. Adegan pembukanya keren sekali. Seorang polisi uzur dengan perut tambun yang mengendarai mobil dinas, melihat spion: tampak rombongan pengendara Harley di belakang. Kemudian mereka dengan perlahan menyalip sembari menggoda si polisi berkumis komikal itu.

Rombongan pengemudi Harley itu keren-keren. Mereka tipikal pengendara yang tidur di pinggir jalan, beratap langit. Tampak dari selimut yang ditaruh di bagian depan atau belakang motor. 

Rombongan itu lantas beristirahat di sebuah desa kecil yang sedang bersiap melakukan sebuah perayaan. Para pengendara itu kemudian menyebar, bersosialisasi dengan para penduduk lokal. Ada yang nongkrong di bar, minum tequila dengan ulat, bermain dengan anak-anak kecil, hingga si Matt LeBlanc yang flirting dengan seorang perempuan lokal. Si Jon sendiri bermain gitar di sebuah kios musik kecil. 

Oh ya, selain menampilkan cameo Matt --terkenal dengan peran di serial Friends-- video klip ini juga menampilkan sang legenda gitar, Jeff Beck, yang bermain solo gitar.

Video klipnya bisa dilihat di sini.

3. Motley Crue - Girls Girls Girls

Dari opening lagu, sudah terdengar bunyi deru mesin Harley Davidson. Garang. 

Bunyi itu sekaligus menjadi pembuka lagu dengan riff maut dari empat berandal paling begajulan dalam sejarah rock n roll. Lagu ini juga menjadi single andalan dari album berjudul sama. Sampul album Girls Girls Girls bahkan turut menampilkan dua motor Harley.

Motley Crue berperan sebagai empat pengendara Harley yang mampir di sebuah strip bar. Selain dalam video klip, rasa-rasanya bermotor dan pergi ke strip bar adalah benar-benar ritus keseharian mereka. Selain jejeran empat motor Harley, ada pula banyak perempuan-perempuan bertubuh sintal yang memamerkan lekuk tubuhnya. Liar!

Video klipnya bisa dilihat di sini.

4. W.A.S.P - Forever Free

Sepasang kekasih menaiki Harley Davidson. Tanpa pengaman kepala. Hanya jeans, boots, dan jaket kulit. Mereka dengan tenang melintas di jalanan Amerika yang mulus. Sesekali berhenti di daerah dengan pemandangan yang bagus. Untuk kemudian terus mengemudi.

Di tengah jalan, gara-gara asyik bercakap, sang lelaki tak melihat ada truk menghalangi jalan. Mereka bertabrakan. Sang perempuan meninggal, dan sang lelaki tetap hidup dengan menanggung perasaan bersalah. 

And there she fell, deep in the night
One breath away from heavens light
And she said - don't cry for me I'm leaving you
The wind cries her name in the breeze
But I can't hold her anymore

Untuk menebus rasa bersalah itu, ia terus mengemudi.

Ini adalah lagu keren dari W.A.S.P, band dari gerombolan hair metal namun dengan gagah menguarkan nuansa gelap dan menyeramkan. Apalagi melihat wajah Blackie Lawless sang vokalis, yang nyaris mirip Alice Cooper.

Lagu ini asyik. Diiringi oleh gitar akustik di awal lagu, dan di tengah lagu tempo perlahan naik, dengan solo gitar yang dahsyat. Hal itu masih ditambah dengan reff yang mudah sekali menempel di kuping dan dinyanyikan ulang.

I ride the wind forever free...

Video klipnya bisa dilihat di sini.

5. L.A Guns - Electric Gypsy

Band embrio Guns N Roses ini termasuk band hair metal veteran. Mereka juga sama seperti kolega lainnya, suka sekali mengendarai Harley tanpa helm.

I need the Harley wind
Blowing in my hair

Kelima orang personel mengendarai Harley, lalu melaju di jalanan Amerika nan luas. Berhenti di motel atau bar pinggir jalan. "Electric Gypsy" mungkin perwujudan para gipsi di dunia modern. Para kaum nomaden yang mengendarai kuda besi. Video klipnya sebenarnya biasa saja. Ya tipikal video pengendara motor. Tapi langit lazuardinya keren.

Video klipnya bisa dilihat di sini.

Senin, 19 Mei 2014

Radar Love dan Golden Earring

Tahu band Golden Earring? 

Saya baru tahu band ini sewaktu SMA karena karena White Lion pernah mengkover salah satu lagu mereka, "Radar Love". Terima kasih kepada internet. Di tangan White Lion, lagu ini lebih begajulan, binal, lengkap dengan keliaran two handed typing ala Vito Bratta.

Golden Earring adalah band rock asal Belanda yang aktif sejak awal dekade 60. Namun nama mereka mulai terkenal di dunia berkat lagu "Radar Love" yang dirilis tahun 1973. Lagu ini, hingga sekarang, pernah dikover oleh kurang lebih 500 musisi. Bahkan sampai ada situs khusus yang menampilkan senarai artis yang pernah mengkover lagu legendaris ini. Daftar pengkovernya tak main-main. Mulai dari Santana, U2, R.E.M, Def Leppard, Bryan Adams, hingga yang paling brengsek: White Lion.

Nah, tahun 2011 kemarin, Golden Earring sempat reuni untuk sebuah acara di televisi Belgia. Mereka membawakan "Radar Love" sepanjang 10 menit lebih dengan sangat baik. Meski sudah opa-opa berumur 60 tahun, musik yang dimainkan sama sekali tak kedodoran. 

Barry Hay, sang vokalis, masih mampu mencapai nada tinggi dan sangat powerfull. Vince Neil harus malu pada Barry, karena diumur yang baru 40-an vokalis Motley Crue itu sudah lembek dan tak bisa bernyanyi. Solo gitar di video ini? Bakal menggerus kerak kotoran kuping anda. Bass-nya? Tetap bakal bisa membuat kaki berdansa otomatis, meski sudah lebih dari 40 tahun dimainkan.




Yang paling keren, menurut saya, adalah drummer Cesar Zuiderwijk, yang tampak paling tua dengan rambut yang menipis dan beruban. Ia masih mampu menggebuk drum Inggris dengan gagah. Di masa mudanya ia bahkan lebih gila. Selain kemampuan bermain drum yang teramat lihai, faktor lain yang membuatnya terkenal adalah atraksi melemparkan diri pakai ketapel di ujung pertunjukan solo drumnya. Edan. Pada video penampilan reuni, Cesar tentu sudah tak bisa lagi melemparkan diri dengan ketapel. Tapi keahlian akrobatnya masih ada. Lihatlah menit ke 1:17,  bagaimana ia dengan percaya diri melempar stik drum ke udara dan menangkapnya kembali. Kakek yang keren.

Jumat, 16 Mei 2014

Soto Ambengan ala Cikini

Apa syarat soto ala Jawa Timur yang baik? 

Memang tak ada peraturan baku. Cuma saya berpendapat, soto gagrak Jawa Timuran yang baik tentu berkuah keruh dan menyertakan serbuk koya. Di Jakarta lumayan susah mencari soto ayam berkoya yang lumayan enak. Beberapa waktu lalu sempat mencoba soto bangkong di Mampang bareng Budi, kawan baik saya yang juga seorang food hunter. Rasanya lumayan sih, dengan tendangan kemiri yang intens.

Kebetulan sejak awal memulai hidup di Jakarta tiga bulan lalu, saya sering melihat gerobak soto Ambengan yang mangkal di Cikini Raya, tepat di depan restoran Bumbu Desa. Ambengan sendiri adalah nama sebuah ruas jalan yang lantas menjadi terkenal berkat Soto Ayam Ambengan Pak Sadi.

Ciri khas soto Pak Sadi ini kuahnya yang kuning pekat, berkat pengaruh kunir. Sejak mencuatnya Soto Pak Sadi ini, banyak soto yang melabeli diri dengan embel-embel Ambengan. Soto Pak Sadi, setelah semakin mahsyur, lantas membuka banyak cabang. Di Jakarta pun ada. Sayang, di beberapa cabang kualitas rasanya merosot drastis. Resiko rumah makan dengan sistem waralaba: susah mengontrol kualitas rasa.

Saya belum sempat mencoba soto ayam Ambengan ala Cikini, hingga malam ini. Sekitar satu jam selepas adzan maghrib berkumandang, saya membulatkan tekad makan di sana.

Namanya juga warung gerobak, tempatnya ya diatas trotoar. Namun kurang puitis apa, kita makan soto dengan tenang sementara di sebelah kita orang-orang lain berjibaku dengan kemacetan. Hehe. Oh ya, jangan khawatir, tempatnya bersih kok. Yang juga asyik, tak ada lampu terang di sana. Hanya ada satu buah petromaks yang berpendar ragu, menyuluhi sekitar 4 buah meja yang bisa menampung sekiranya 15-17 orang.

Ada banyak pilihan sotonya. Mau soto ayam biasa, ada. Bisa juga pesan soto ayam plus kulit. Tambah rempela hati juga boleh. Kalau suka telur muda, alias uritan, juga dipersilahkan. Mau komplit, monggo. Harganya berkisar antara 12 ribu untuk soto ayam biasa, sampai yang paling mahal, yakni soto komplit, 17 ribu rupiah. 

Karena saya sudah menasbihkan diri sebagai penggemar uritan garis keras, maka tak afdol kalau tak memesan uritan sebagai pelengkap soto ayam.

Ada kejadian lucu di sini. Saya menunggu cukup lama hingga pesanan saya datang. Ini kok lama benar ya, pikir saya. Hingga saya gak sabar. Saya datangi penjualnya, orang Surabaya asli.

"Cak, sotoku wis gurung?" 

"Astagfirullah, lali aku cak!" katanya agak panik. 

Saya tertawa melihat ia meracik soto dengan tergesa. Saya sudah menduga. Jika menunggu lebih dari 15 menit untuk semangkok soto yang tinggal diracik, pasti sang penjual lupa membuatkan.

Rasa soto ayam Ambengan ala Cikini ini ternyata melebihi ekspektasi saya. Waktu soto datang dengan asap mengepul, saya melihat kuah kuning yang keruh, lengkap dengan potongan daging ayam dalam jumlah yang banyak; uritan yang generous; dan ini yang penting: koya yang melimpah, hingga membentuk gumpalan di pinggir mangkok. 

Wah, ini pasti yahud, tebak saya. Benar saja, rasanya sip markusip! Eco! Karena koya yang melimpah itu pula, kuahnya jadi kental. Menambah gurihnya jadi dobel. Mantap tenan!

Mungkin ini soto ala Jawa Timuran terenak yang pernah saya makan di Jakarta hingga saat ini. Ada rekomendasi lain yang patut dicoba?

Rabu, 14 Mei 2014

Awal Baru Bagi Sebuah Cinta yang Biasa

Lelaki berkacamata itu menaruh sejenak ransel berat yang membebat punggungnya sedari tadi. Di depan, ombak lautan berdebur menampar-nampar dermaga kayu.

"Sik, nulis kartu pos gawe Winda sik," ujar Ayos, lelaki berkacamata yang sudah membagi sekitar 10 hari waktunya bersama saya.

Kami sedang berada di Pulau Moyo, pulau kecil yang terletak di atas pulau Sumbawa. Kami sudah tinggal di pulau ini semenjak tiga hari lalu. Tinggal di pulau ini memang semacam tetirah yang menyenangkan, setelah kami dipanggang debu jalanan antara Lombok-Sumbawa dan tak sempat mandi. Kebo, motor Astrea Grand 96 yang kami tunggangi, sudah dititipkan di kantor polisi pelabuhan Poto Tano, Sumbawa Barat.

Di ujung masa tinggal, kami menanti kapal yang akan datang dan membawa kami serta beberapa orang lainnya kembali ke pulau Sumbawa. Di dermaga kayu kecil dengan kayu yang sudah tampak lapuk itu lah, Ayos dan saya mengeluarkan kartu pos yang belum sempat kami tulisi.

Kartu pos itu kami beli di Lombok beberapa hari silam. Kami berencana mengirimkan kartu itu untuk orang-orang terkasih kami.

Ayos mengirimkan kartu pos itu untuk Winda, pacarnya yang selalu sabar menghadapi Ayos yang seringkali pergi tanpa pamit.

Ia, seingat saya, menuliskan larik dari lagu "Free Bird" milik Lynyrd Skynyrd dan "Soldier of Fortune" milik Deep Purple.

Sayang, karena tabiat Ayos yang pelupa, kartu pos itu tak sempat dikirimkan. Bahkan sempat diduga hilang entah kemana, sebelum akhirnya saya temukan di sebuah buku yang kami bawa. Beberapa bulan setelah kami kembali ke pulau Jawa.


Perjalanan menuju Flores itu yang membuat saya sedikit banyak memahami Ayos. Bagaimana sifatnya. Bagaimana perilakunya. Kami memang teman sedari sekolah dasar. Namun kami tak pernah benar-benar dekat. Sampai perjalanan menuju timur itu, yang boleh dibilang sedikit banyak mengubah hidup kami berdua.

Ayos adalah orang yang cuek. Terutama dalam romansa lelaki perempuan. Seingat saya Ayos tak pernah berpacaran.

Sebelum malam itu, tahun 2008, atau 2007, ah saya pelupa sekali, ia mengabari saya. Kami sedang duduk di bangku kayu panjang di warung Cak Ipul, di pinggir ruas Jalan Jawa.

Malam itu, dengan wajah serius, wajah dan mimik yang jarang saya temui selama berkawan dengan Ayos, ia menceritakan kalau sudah punya pacar.

Namanya Winda Savitri. Saya sebenarnya lupa detail cerita Ayos pada saya malam itu. Hanya lamat-lamat yang saya ingat. Seperti binar mata Ayos yang sepertinya sangat berbahagia.

Rupanya Winda adalah pacar pertama Ayos. Walau tidak sebaliknya. Winda pernah punya pacar sebelum Ayos. Memang Winda yang punya senyum menyenangkan ini mudah untuk dijatuhi hati lelaki manapun. Ia ramah. Pintar. Ayu. Dan sabar. Walau kata beberapa orang kawan, ia tegas. Itu bagus. Ketegasan memang diperlukan untuk mengatur bocah bengal macam Ayos.

Benar saja, Ayos tampak betah berkasih-kasihan dengan Winda. Saya tak tahu apa Winda betah dengan Ayos, mengingat Ayos seringkali abai --atau tak paham-- tentang bagaimana memperlakukan kekasih sebagaimana mestinya. Hihihi. Untunglah Winda selalu sabar menghadapi ketengilan Ayos yang kadang melampaui batas.

Namun Ayos tak sekali dua kali bersikap manis. Saya ingat, di masa senjakala petualangan kami itu, di masjid Labuan Bajo tempat kami menginap, Ayos mengajak menyudahi perjalanan kami. Uang kami memang sudah menipis.

"Aku yo kangen ambek Winda," katanya pelan. 

Saya tersenyum kecil. Menatap bola mata yang terlindung oleh kacamata tebal milik Ayos. Saya tahu ia tak berbohong.

Dulu juga Ayos pernah memberikan saya beberapa puisi yang ia buat untuk Winda. Ada dua puisi yang membekas bagi saya. Yang pertama, saya lupa judulnya, Ayos tulis saat menghadiri Java Jazz, kalau tak salah. Yang kedua, saya juga lupa judulnya, ia tulis saat wakuncar ke rumah Winda dan disuguhi segelas sirup Marjan rasa Cocopandan.

Saya sendiri percaya, ada cinta yang biasa. 
Cinta yang bisa diraih oleh siapaapun. 
Cinta yang cuman butuh dipan kecil untuk bercerita. 
Cinta yang cuman butuh sepeda motor butut. 
Cinta yang cuman butuh kelokan jalan sepi. 
Cinta yang hinggap di sweater gelap. 
Cinta yang menclok di celana pendek coklat khaki. 
Cinta yang terikat bersama gelungan kecil rambut. 
Cinta yang mengkristal di antara desingan CPU. 
Cinta yang terjadi di kabel-kabel elektronik. 
Cinta yang hanyut dalam rasa nasi uduk. 
Cinta yang legit seperti sirup Marjan merah manis. 
Cinta yang cuman butuh sebuah pengakuan tulus. 
Cinta yang cuman butuh kepercayaan.

Yang saya suka dari pasangan ini adalah bagaimana mereka tak pernah saling mengekang. Mereka saling membebaskan. Ayos seringkali traveling sampai lupa waktu. Begitu pula Winda, yang tak jarang traveling tanpa Ayos. Namun mereka macam diikat tali bernama rasa percaya.

Tali itu rupanya teramat kuat. Sehingga walau mereka berjauhan, tali itu sama sekali tak kendor, apalagi renggang untuk kemudian putus.

Tentu dibalik itu semua, ada kisah-kisah penuh tangis nan sendu yang saya tak tahu. Namun usaha untuk terus menguatkan tali itu, sangat sangat layak diberi tepuk tangan sembari berdiri, diiringi lagu megah "We Are the Champion" dan ditaburi oleh confetti yang berjatuhan dari udara.





Surabaya tampak menyenangkan pagi itu. Masjid Al Akbar riuh oleh banyak sekali keluarga yang datang berekreasi. Ada balita-balita yang lari di pelataran masjid. Orang tuanya membaca buku. Di luar masjid, para pedagang baju muslim, kerudung, buku agama, dengan senyum menjajakan dagangannya. Penjual makanan juga banyak ditemui.

Saya datang terlalu cepat. Saya memang tak mendapatkan undangan pernikahan Ayos dan Winda. Undangan itu dititipkan ke seorang kawan, dan hingga hari pernikahan undangan itu tak jua saya terima. Hihihi.

Jam delapan pagi, kata Ayos. Saya datang jam delapan lebih sedikit. Ternyata ada dua acara akad nikah di hari yang sama.

Saat saya datang, saya melihat acara akad yang ramai. Seorang pria berbaju serba putih duduk dengan tenang dan khidmat, mendengarkan ceramah dari orang Kantor Urusan Agama. Saya sedikit berlari tergopoh. Saya kira itu Ayos. Ternyata bukan. Pantas, kok dia tampak kurus.

Ternyata Ayos dan keluarga sedang menanti di luar masjid. 

Ayos, dengan dandanan rambut yang klimis dan dibelah pinggir tampak dandy dengan setelan jas berwarna gelap, kemeja berwarna biru muda, dan dasi berwarna biru tua. Ia mengenakan kalungan melati di lehernya. 

Amboi!

Saya sempat mengirimkan foto Ayos dengan pakaian nyetil itu ke Putri, kawan baik kami berdua. 

"RambuteAyos kudu ngono ya?" tanyanya sembari terbahak.

Saya ikut tertawa. "Old skul," kata saya.

Winda tampak cantik dan anggun dengan kebaya berwarna putih. Ia mengenakan hiasan kepala, duh saya tak tahu namanya, berwarna keemasan. Sepertinya berat. Tapi itu tak menghalanginya tersenyum terus-terusan.

Menjelang pukul setengah 10, akad itu diucapkan juga. Dengan lancar. Saya tersenyum lega. Semua orang yang hadir di sana pun ikut lega. Ayos resmi menjadi suami dari Winda. Namun, dasar bocah sableng, ia kadang lupa kalau sudah punya istri.

Seperti misalnya saat ia berjalan santai, lenggang kangkung sendirian, meninggalkan Winda.

"Woyyy, dituntun bojone, ojo lali lek wis nduwe bojo!" kata seorang perempuan setengah baya pada Ayos.

"Oh iyo, aku lali," kata Ayos sembari menggamit tangan Winda.

Oh, pancene arek jancuk.

Dari belakang saya melihat Ayos dan Winda berjalan dengan tenang dan dikerubungi oleh sanak saudara, handai taulan. Mendadak, saya teringat oleh janji saya dan Ayos dulu.

Kami berencana jalan-jalan menggunakan motor lagi. Entah kapan. Bisa satu tahun lagi. Bisa lima tahun lagi. Bisa saja saat kami sudah mencapai kepala empat dan sudah menjadi pelanggan tetap rematik dan encok. Kami belum tahu kapan. Semoga janji itu masih bisa kami laksanakan.

Mungkin menyenangkan ya, berjalan-jalan dan melihat dunia saat masing-masing dari kami sudah menjadi suami, atau malah jadi bapak. Menyaksikan dunia tak sesederhana dan tak senaif pikiran kami sewaktu bujang dulu. 

Rani dan Winda, bolehkah kami, dua lelaki paruh baya berperut tambun ini, suatu saat pergi berjalan berdua lagi. Menyusuri kembali jalan sembari berlaku seperti bujang, hihihi.

Ayo, Yos! []

post-scriptum: Ayos pernah menuliskan satu postingan khusus untuk Winda, judulnya Sebuah Cinta Yang Biasa. Bisa dibaca di sini.

Jumat, 09 Mei 2014

Jenis Golongan Orang di Dunia

Untuk Dumadi

Selain menjadi pahlawan dunia karena lirik lagunya yang menceritakan tentang perjuangan dan kebebasan, Bob Marley toh hanya orang biasa dalam kehidupan di luar musik.

Ia bahkan bisa menderita karena hal remeh temeh macam cinta, misalkan. Kurang manusiawi apa seorang mahabintang, yang dipuja bagai dewa, yang pernah merasakan patah hati? Ada banyak lagu pria gimbal itu yang bercerita tentang kisah asmara sendu.

Salah satunya adalah "Waiting in Vain". Ini lagu yang bisa merobek-robek hatimu hingga menjadi serpihan kecil, walau dituturkan dengan nada dan cara berdendang yang santai. Menunggu, bagi Bob, adalah hal yang menyebalkan.

"I don't wanna wait in vain for your love..."

Breeetttt. Terdengarlah suara hati yang terobek.

///

Menunggu bisa sangat melelahkan. 

"For a while," kata Haruku Murakami, sang pengarang yang senang sekali mengagungkan sakit hati dan kenangan, "is a phrase whose lenght can't be measured. At leastby the person who's waiting.

Kata 'sesaat' itu tak bisa diukur. Setidaknya oleh orang yang menunggu.

Bob Marley, yang menulis "Waiting in Vain" saat jatuh cinta dengan Cindy Breakspeare pada pertengahan dekade 70, bahkan menulis ...cause if summer is here, I'm still waiting there. Winter is here, and I'm still waiting there, untuk menggambarkan lama penantiannya.

Bagi yang belum tahu, para penghuni bumi ini terbagi dalam dua golongan. Jenis pertama adalah orang yang bukan penyabar, atau setidaknya tak suka bersabar. Sedangkan golongan kedua berisi jenis orang yang membuat saya sadar bahwa sabar dan pandir itu tipis bedanya.

Saya punya seorang kawan. Tak lama saya mengenalnya. Baru dalam hitungan satu dua tahun. Namun ia tahan dengan aneka gojlokan kurang ajar saya, bahkan ketagihan. Orang macam ini berpotensi jadi kawan saya hingga tua kelak.

Kawan saya ini adalah orang jenis kedua, yang membuat saya bingung: apakah ia sabar? Atau terlalu bodoh?

Pria dengan kulit legam dan senyum menyebalkan ini begitu setia menunggu seorang perempuan yang bahkan tak menganggapnya ada. Atau, kalaupun dianggap ada, ia pasti sudah dianggap sebagai orang yang mengganggu.

"Aku di block di twitter sama dia," kata pria itu suatu saat.

Nah kan...

Sebenarnya kisah cinta tolol macam ini, lelaki punguk yang merindukan bulan, bukan satu dua kali saya temui. Kisah cinta macam ini berjejer di rak toko buku. Dari yang gedongan hingga di tumpukan buku loakan yang tak kunjung laku lantas dikilokan. 

Kisah cintanya bukan kisah cinta menggugah yang membuatnya layak diganjar status best seller.

Tapi tetap saja, melihat kawan ini begitu teguh dan gigih menunggu dan mengejar cinta, saya mau tak mau tetap tergugah. Lebih tepatnya kasihan sih. Pasalnya, menunggu terlalu lama bisa membuat seseorang berhalusinasi.

Bayangkan, dalam blognya, ia selalu menulis seraya membayangkan ia menceritakan sesuatu pada orang yang dikasihi dan mengasihinya. Padahal orang semacam itu tak ada, atau setidaknya belum ada. Saya sempat berpikir ia sedang menderita penyakit waham kedua puluh: berkhayal mempunyai kekasih, padahal tidak. Tapi saya mahfum, itu sindrom majenun yang sering muncul pada orang yang terlampau lama menunggu cinta tak bersambut.

Beberapa malam silam, sang kawan ini mengirimkan surel pada saya dan beberapa kawan lainnya. Intinya, ia membuat blog rahasia untuk sang pujaan hati. Lalu kelak, entah kapan, ia akan membukukan senarai tulisan itu, untuk kemudian diberikan kepada sang pujaan hati.

Jancuk. Merusak hutan saja. Bayangkan pohon-pohon muda yang ditebang hanya untuk ditulisi kalimat cinta picisan yang tak jelas juntrungannya itu. Dih!

Tapi ya sudahlah, namanya juga usaha. Saya lantas punya teori lagi gara-gara usaha sang kawan yang putus asa ini. Bahwa golongan orang di dunia bertambah satu lagi: orang yang membuat bingung apakah ia pantas dikasihani atau dimaki sepenuh hati.

Kawan saya ini, selain pasti masuk dalam golongan kedua, pastilah masuk juga ke golongan ketiga.

Kemudian, sang kawan meminta saya dan kawan-kawannya yang lain untuk bersedia menuliskan komentar mengenai "kisah cinta" dua sejoli itu. Najis, pikir saya. Dianggap saja tidak, kok mau minta dituliskan kisah cintanya. 

"Khusus untuk mas, harus nulis tulisan khusus buat saya," pintanya.

Astaga. Ini macam pepatah Jawa slang: wis dikei ati nggrogoh taek. Sudah dikasih hati, masih saja meminta tainya.

Akhirnya saya bikin tulisan ini. Pedas, tentu saja. Agar ia tahu, tak selamanya menunggu itu baik. Apalagi menunggu yang tak ada juntrungannya. Bukankah hidup terlalu singkat hanya untuk dihabiskan dengan menunggu dan menunggu? 

Tapi rupanya kawan saya ini mungkin terasuki dongeng cinta ala Hollywood. Bahwa menunggu akan membawa kebahagiaan. Mungkin ia harus belajar sesuatu, bahwa seringkali menunggu hanya akan membawamu pada kesia-siaan. Bahwa perempuan tak hanya satu. Bahwa cinta nan suci tak lekang waktu itu hanya omong kosong romantika anak sekolah menengah pertama yang baru saja mengalami datang bulan pertama kali dan baru tamat membaca teenlit murahan. 

Menunggu karena cinta? Bagi saya itu terdengar seperti omong kosong terbesar abad ini. Menunggu dan berusaha karena terobsesi, itu baru mungkin.

Tak usah terlalu banyak membaca kisah cinta mendayu-dayu. Che Guevara yang ganteng, gagah, pintar, dokter, saja ditinggalkan atas nama 'tak sabar menunggu'. Itu juga yang membuat saya yakin, bahwa penantian itu juga ada batasnya.

Mungkin kamu belum tahu kapan harus berhenti menunggu. Silahkan saja menunggu sepuas dan selama yang kamu mau. Tapi lupakan dongeng cinta penuh gula, happily ever after.

Ada banyak menunggu yang lebih menyenangkan. Menunggu jam pulang kerja misalkan. Setidaknya jelas kapan penantiannya berakhir. Atau menunggu gajian, karena sudah pasti tanggalnya. Juga menanti kelahiran anak pertama, karena itu adalah penantian yang berbuah semanis tebu yang ranum.

Tapi toh tulisan pedas ini tetap harus saya pungkasi dengan menyuapkan hal yang manis. Karena biasanya kawan baik itu tak sekedar menghina, tapi ada semacam petuah dibalik hinaan.

Perempuan saya, yang kebetulan juga tahu kisah cinta sang lelaki hitam dengan muka melas ini, berpesan pada saya agar menuliskan kalimat ini sebagai penutup: setiap orang pernah melakukan setidaknya satu hal bodoh dalam hidupnya.

Semoga kelak, ketika kawan saya sudah pintar, ia membaca tulisan ini sembari tertawa. Bahwa ia pernah menjadi bodoh, dan jatah kebodohan itu sudah ia ambil. Jadi jangan pernah berlaku bodoh lagi ya.

Kamis, 01 Mei 2014

Rujak Sang Maestro

Beberapa hari lalu, saya mendengar kabar nestapa. Mbah Minah, maestro rujak di Jember, berpulang ke rumah abadi. Ia sudah berjualan rujak selama lebih dari 50 tahun. Hingga sekarang, rujak Mbah Minah adalah rujak tersedap yang pernah saya makan.

Kebetulan, beberapa tahun silam, saya pernah menulis tentang rujak Mbah Minah untuk majalah Tegalboto. Sayang, saya tak punya soft copy-nya. Untung saya masih punya majalahnya. Jadi tulisan lawas itu saya ketik ulang, dengan sedikit perubahan sana sini. Dan untung pula, Mico masih punya foto Mbah Minah. Meski hanya satu yang tersisa. Itupun dipajang di Facebook. 

Jadi tulisan ini saya unggah untuk mengingat semangat hidup Mbah Minah yang nyaris tak pernah padam. Selamat jalan Mbah Minah, sampai bertemu lagi kelak...


***

Sang Maestro


"Mbah ini orang goblok le. Mbah gak bisa baca tulis," kata Mbah Minah suatu ketika.

Mbah Minah adalah pendiri rujak Mbah Minah, rujak yang lantas dikenal seantero Jember. Beliau adalah contoh orang-orang yang lahir pada zaman penjajahan. Mereka tak tahu tanggal lahir, tahun lahir, apalagi baca tulis. Mbah Minah sudah berusia senja, dengan kerutan yang menghiasi seluruh jengkal kulit. Macam rajah yang menghiasi tubuh Tommy Lee, sang drummer Motley Crue yang nyaris tak punya sejengkal sisa kulit tanpa tato.

"Mbok Minah punya empat anak. Yang pertama sekarang kerja di Perumka," kata Ratmini, anak kedua Mbah Minah.

Ratmini yang berusia 51 tahun* adalah anak sekaligus asisten Mbah Minah. Ia terkadang membantu Mbah Minah mengulek bumbu rujak.

Perempuan yang suka sekali tersenyum ini punya kebiasaan unik. Ia selalu memanggil tamu laki-lakinya dengan sebutan Gus, sebuah panggilan kehormatan untuk para lelaki. Ini sekaligus pertanda bahwa ia selalu menaruh tamu dalam posisi yang terhormat, meskipun berusia muda.

Ratmini seringkali disebut sebagai penerus Mbah Minah. Walau sebenarnya istilah penerus itu tidak tepat. Karena Mbah Minah masih mengontrol semua produksi rujaknya.

Mulai dari belanja ke pasar, memilih bahan baku seperti petis; kedondong; mangga; hingga cingur. Ratmini sampai sekarang diberi tugas untuk mengulek, kegiatan yang menguras tenaga, sesuatu yang agak sulit dilakukan Mbah Minah di usia yang sudah senja.

"Tapi untuk ke pasar, saya sendiri Gus yang belanja. Kalau saya gak ke pasar,, saya tidak bbisa bertemu pacar-pacar saya," kata Mbah Minah sembari tertawa keras. Menampakkan gigi yang tinggal satu dua.

Pacar yang ia maksud adalah tukang becak dan para penjual bahan baku rujak. Saya tertawa kecil sembari membandingkan Mbah Minah dengan Rodiyah, nenek Si Doel dalam serial Si Doel Anak Sekolahan. Rodiyah yang sudah berusia senja juga acapkali genit. Tentu dalam konteks bercanda. Dan tentu saja tak ada yang menganggap kegenitan seorang nenek sebagai sebuah keseriusan.

Selain semangatnya untuk pergi ke pasar, Mbah Minah selalu membanggakan giginya yang sudah tinggal 5 biji itu. Ia menganggap gigi yang berjumlah sedikit itu sebagai penanda bahwa ia masih bayi.

"Orang-orang selalu bilang kalau saya kerok (tua), tapi saya masih bayi!" katanya sembari menunjuk giginya. Tawanya berderai.

Sejarah rujak Mbah Minah sudah dimulai sejak lebih dari 50 tahun. Hal yang membuat sulit untuk mengidentifikasi awal mula rujak ini adalah ketidaktahuan Mbah Minah akan tahun.

"Dulu waktu saya awal jualan, masih pakai uang ketengan (l0gam) dan uang kertas yang bergambar pohon kelapa," kata Mbah Minah mengingat periode awal ia berjualan.

Yang pasti, Mbah Minah sudah mulai berjualan sebelum ia punya anak. Sedangkan anak pertamanya sekarang sudah lebih dari 60 tahun. Jadi bisa dikira sendiri sudah berapa lama Mbah Minah berjualan rujak.



Mbah Minah adalah penduduk asli pulau Madura. Ayahnya adalah pedagang tembakau di Jember. "Setiap sebulan sekali dia pulang ke Madura. Kalau gak sempet ya dua bulan sekali pulang," kata Mbah Minah.

Karena intensitas bertemu yang jarang, Mbah Minah akhirnya diajak pindah ke Jember oleh sang ayah. Hal ini juga didorong oleh meninggalnya ibunda Mbah Minah. Saat itu Mbah Minah baru saja belajar berjalan.

Mbah Minah sedikit menerawang saat menceritakan masa kecilnya. Meski samar, ia ingat beberapa penggalannya. Seperti kemiskinan yang mendera. "Mbah dulu hanya makan nasi jagung, sayur daun singkong, dan ikan asin," katanya sembari tersenyum.

Selepas pindah ke Jember, hidup baru Mbah Minah pun dimulai. Keluarga kecil itu berpindah-pindah. Rumah pertamanya di daerah Patrang. Kemudian pindah ke daerah Sawahan. Hingga ke W.R Supratman, tempat tinggal Mbah Minah sekarang, yang sekaligus menjadi tempat berjualan.

Tempat berjualan ini sederhana saja. Namun hangat. Sebelum konsep open kitchen menjadi tren, Mbah Minah mungkin sudah mendahuluinya. Pembeli bisa melihat dengan jelas Mbah Minah dari balik lemari kaca tempat ia menaruh bahan-bahan rujak. Di sana hanya ada dua buah meja panjang dan beberapa kursi.

Wadah menaruh bahan rujak juga sederhana. Kotak kayu dua tingkat berwarna biru yang catnya sudah mulai memudar. Cobeknya pun tak kalah tua dengan umur Mbah Minah. Ia membeli cobek batu berat luar biasa itu dari seorang pedagang keliling, hampir 60 tahun yang lalu. Untuk penerangan sekaligus pengusir lalat, Mbah Minah menaruh sebuah lampu teplok kecil yang cahayanya berpendar lemah.

Semua kesederhanaan warung Mbah Minah ini adalah anomali dari semua teori pemasaran yang mengatakan tempat strategis adalah kunci larisnya sebuah produk. Bagaimana tidak, untuk menuju ke warung ini harus melewati gang sempit yang hanya cukup dilewati satu motor saja. Itu pun harus dituntun. Tapi itulah, dengan reputasinya sebagai rujak terlezat, pembeli pun rela datang. 

Selain itu, satu kunci untuk bisa menikmati rujak Mbah Minah adalah: sabar.

"Kalau beli di sini harus sabar antri Gus, harus bisa menahan lapar," kata Mbah Minah sembari terkekeh kocak.

Puncak arus pembeli Mbah Minah adalah jam makan siang. Biasanya pembeli harus menunggu satu jam. Lapar biasanya keburu minggat kalau sudah begini.

Menginjak remaja, Mbah Minah mulai ikut membantu sang ayah mencari uang. Ia menjual buah-buahan untuk para buruh di sebuah pabrik Sabun di daerah Sawahan. Entah bagaimana ceritanya, para buruh pabrik itu merayu Minah muda untuk berjualan rujak.

Ia pun terbujuk rayu. Akhirnya ia mulai mencoba berjualan rujak. Ia membuat resepnya sendiri. Trial and error. Hingga akhirnya mendapatkan signature taste, seperti sekarang ini. Nyaris tak berubah sejak lebih dari setengah abad lalu.

"Mbah bersyukur Gus, meski Mbah Minah gak bisa baca tulis, tapi pengeran (tuhan) ngasih saya bakat bikin rujak, anak saya juga bisa sukses. Alhamdulillah," kata beliau sembari menyilakan saya meminum es blewah yang sudah disajikan sedari tadi.

Berkat ketrampilan tangan Mbah Minah, anak-anaknya memang sudah sukses. Anak pertamanya sekarang bekerja di PT KAI. Anak kedua, Bu Ratmini, setia menjadi rujak apprentice membantu sang ibu. Anak ktiga menjadi pegawai di PTPN Banjarsari, Jember. Sedangkan sang bungsu menjadi guru di sebuah SMA swasta terkenal di Jember.



Apa yang melatari sebuah usaha makanan bisa bertahan puluhan tahun? Konsistensi rasa, itu jelas. Namun itu saja sebenarnya tak cukup. Setidaknya bagi Mbah Minah. 

"Saya bisa bertahan jualan lama karena saya suka uang!" kata Mbah Minah tergelak.

Mbah Minah sangat menyayangi cucu-cucunya. Ia memberikan kasih sayang, selain dalam bentuk perhatian, juga dalam bentuk paling purba: memberi uang jajan.

"Kan kasihan kalau mereka mau jajan, tapi saya gak bisa ngasih uang jajan," timpal Mbah Minah lagi.

Saat ini cucu tertua Mbah Minah adalah Fitria, yang sudah punya satu anak berusia 8 tahun. Fitria kadang membantu Mbah Minah. Mengiris buah atau membuatkan minuman.

Selain itu, dedikasi yang luar biasa adalah salah satu kunci rujak Mbah Minah bisa bertahan. Bagimana tidak, setiap pagi, Mbah Minah rutin ke pasar. Ia juga dengan senang hati berinteraksi dengan banyak orang. "Untuk melawan kepikunan," tuturnya.

Sedangkan untuk rasa, Mbah Minah punya standar mutu yang tinggi. Karena itu ia mengontrol semua produksi rujaknya.

"Rahasia rujak enak itu ada di petis," kata Mbah Minah.

Ia lalu beranjak sebentar dari dapur, lalu mengambil satu toples besar berisi pasta kental berwarna hitam. Itulah petis.

Bagi yang belum tahu, petis adalah pasta kental yang terbuat dari udang. Ini adalah komponen utama dalam banyak makanan di Jawa Timur. Mulai dari rujak, tahu campur, hingga kupang.

Untuk rujaknya, Mbah Minah menggabungkan dua jenis petis: petis hitam dan petis madura. Sesuai namanya, petis hitam berwarna hitam pekat, dan petis Madura berwarna cokelat tua dengan rasa lebih asin. Memadukan petis ini juga tricky. Mbah Minah tak pernah memakai petis dengan kualitas terbaik. Ia mencampurkan antara petis kualitas terbaik dengan kualitas semenjana. Bukan untuk mendapatkan untung besar, tapi agar rasanya pas.

"Kalau pakai petis yang bagus semua, rasanya malah gak enak," kata Mbah Minah.

Harga petis kualitas terbaik ukuran toples besar, atau setara dengan timba kecil, berkisar antara 300 ribu rupiah. Mbah Minah biasanya membeli petis di Pasar Tanjung, pasar terbesar di Jember. 

Selain petis, kunci lain dari rujak enak Mbah Minah adalah cuka. Andalan Mbah Minah adalah merk Kura-kura. Ia menuturkan kalau tidak memakai merk itu, maka rasa juga akan berubah drastis.

"Perbandingannya, satu botol cuka dibagi sama rata dalam  3 botol berukuran sama. Lalu ditambahi air sampai botol penuh," ujar Mbah Minah membuka rahasia.

Pada dasarnya, rujak Mbah Minah adalah rujak khas Madura yang menyertakan buah-buahan seperti kedondong atau mangga. Pernah satu kali saya beli rujak di Madura, yang bahkan menyertakan buah jambu monyet dalam rujak.

Selain itu, cingur merupakan elemen vital dalam rujak khas Jawa Timur, sama seperti rujak Mbah Minah. Sayangnya, cingur merupakan makanan yang termasuk acquired taste. Alias makanan yang tak serta merta cocok bagi lidah semua orang. 

Banyak orang keburu jijik membayangkan mulut sapi dijadikan bahan makanan. Padahal jika diolah dengan benar, congor sapi ini bisa lembut luar biasa. Walau masih menyisakan tekstur kenyal yang memberikan sensasi menyenangkan di mulut.

Rujak Mbah Minah unggul di cingur. Lembut dan tak ada bau amis. Apalagi bulu-bulu halus yang biasanya menempel, hilang sama sekali. Nihil.

Mbah Minah punya penjual cingur langganan. Ia selalu memesan setiap hari. Jadi cingurnya selalu segar. Harga sekilo cingur mentahan (belum dibersihkan) adalah 25 ribu rupiah. Kalau yang sudah matang, alias sudah bersih dan sudah dikukus, harganya 30-35 ribu rupiah.

Mbah Minah biasanya membeli yang masih mentah. Cingur itu lalu dibersihkan dengan cara disikat. Nah, disini proses yang membutuhkan ketelatenan dan kesabaran. Mbah Minah juga teliti dalam membersihkan, sehingga tak ada sisa bulu-bulu halus yang menempel. Setelah itu cingur baru direbus hingga empuk.

"Cinur sapi jantan dan cingur sapi betina itu beda lho, Gus," kata Mbah Minah, "kalau sapi jantan proses masaknya jauh lebih mudah. Cukup kukus selama 2-3 jam saja. Kalau cingur betina, 7 jam ngukus belum tentu empuk."

Saya tertawa mendengar cerita itu. Saya lalu berpikir mbeling Dimana-mana perempuan/ betina itu sama saja. Sama-sama keras, cerewet, dan susah dibikin senang. Karena itu mengukusnya pun lebih lama.

"Mungkin ini ada kaitannya sama perempuan yang lebih cerewet ketimbang laki-laki ya?" tanya Ratmini tiba-tiba.

Saya ngakak.



Melihat proses Mbah Minah membuat rujak adalah sebuah kesenangan tersendiri. Ia melakukan semuanya secara perlahan dan penuh perhitungan. Tak ada kecekatan yang berlebihan. Sabar lebih dipentingkan di sini.

Sebagai proses awal, Mbah Minah mengambil setangkup kacang tanah yang sudah disangrai dari dalam toples seng. Kemudian dengan tenang ia  mengiris pisang kluthuk. Secara perlahan, perempuan anggun ini mengoleskan petis hitam atau madura pada ulekan. Arkian, ia menaburkan sejumput garam. Lantas meneteskan cuka. Setelahnya, sedikit air diguyurkan.

Ratmini lantas menguleknya dengan penuh tenaga. Lengannya besar. Lengan yang sudah terlatih tahunan mengulek rujak. Kontras dengan lengan Mbah Minah yang sudah mengecil dan hanya tersisa gelambir kulit membungkus tulang.

Bahan isinya macam Nusantara: berbeda namun tetap satu jua. Mulai dari lontong, kecambah, kedondong, tempe, tahu, ketimun, cingur, mangga, dan sayuran hijau. Itu semua diikat oleh bumbu rujak yang nutty dan gurih.

Ada dua pilihan rujak. Rujak hitam, yang berwarna gelap; atau rujak Madura, yang berwarna lebih terang dengan rasa asin yang lebih menonjol. Saya pribadi lebih suka rujak Madura yang menonjolkan rasa asin.

Rasa rujak Mbah Minah = out of this world. Mungkin salah satu rujak terbaik dan terenak yang pernah saya makan. Mengetahui proses dibalik tersajinya satu porsi rujak ini, membuat rasa eco berlipat ganda. 

Lontongnya empuk dan pulen. Kedondong dan mangga memberikan rasa asam yang merangsang kelenjar sativa memproduksi liur dan merangsang nafsu makan. Dan cingurnya, subhanallah ya rasulullah... Empuk sekali, sonder bulu halus. Menunggu lama pun terbayar sudah.

Kalau boleh menganalogikan rujak dengan orkestra, rujak Mbah Minah adalah orkestra terbaik dengan musisi terbaik, yang akan menjamin kepuasan lahir batin bagi sang penikmat.

Dan bagi saya, Mbah Minah, adalah maestro dirijen terbaik yang pernah ada. []

Post scriptum:

* Saya pertama kali menuliskan artikel ini pada tahun 2009. Saat itu usia Ratmini masih 51. Sekarang berarti usianya sudah 56 tahun.