Jumat, 10 Februari 2012

Menjelang Keberangkatan


Kuhamburkan lara ke udara.
Biar ia hilang.
Biar tempias, angin menghempas.
Maka kularung duka di buih lautan
Biar mampus digulung ombak.
Jika waktu dan jalanan bersekutu
Maka tak ada luka yang tak bisa sembuh!

***

Sekarang pukul 3 pagi. Mata saya tak bisa terpejam.

Padahal nanti pagi saya resmi lari sejenak ke timur dengan mengendarai motor. Seharusnya rencana ini sudah dijalankan hari Selasa lalu. Tapi jadi terhambat ketika saya menyadari bahwa saya tidak punya KTP. Dan tanpa kartu itu saya tidak bisa bebas kemana-mana. Selagi menunggu KTP selesai dibuat, saya meminjam beberapa peralatan untuk kemping. Tenda dome, kompor, misting, gas, matras, hingga peralatan fotografi macam tripod. Anak-anak Hega's Wana seperti Zainul, Rufo, dan Yoga membantu saya mencarikan peralatan dan mengajari saya memasang tenda. Maklum, sudah lama sekali saya tidak kemping atau naik gunung, sampai saya lupa cara memasang tenda. Lalu Romdhi meminjami saya tripod. Terima kasih untuk mereka.

Mamak tadi pagi berangkat ke Lumajang karena ada pertemuan keluarga besar. Tapi sebelum berangkat, beliau berpesan agar saya membawa jas hujannya. Saya mengiyakan saja. Tapi saya tak akan membawanya. Di Jember sekarang sedang musim penghujan, nyaris tiap sore hujan deras. Bagaimana mungkin saya tega membiarkan perempuan yang melahirkan saya harus kehujanan setiap pulang kerja? Lagipula saya tak pernah mengenakan jas hujan kalau tidak dalam keadaan darurat. Bagi saya, hujan itu karunia, tak perlu dihindari, apalagi dimaki. Toh perjalanan saya ini bukan perjalanan terburu-buru. Kalau hujan turun dan sedang tidak ingin basah, tinggal menepi lalu mencari warung kopi. Apa yang lebih baik ketimbang secangkir kopi hangat di kala hujan? Jadi saya mengiyakan pesan mamak supaya ia tak mengomel dan khawatir. Itu saja.

Oh ya, ada lagi.

Tadi, di sore yang hangat, di sebuah warung kopi langganan kami, Arys meminjamkan saya sebuah buku. Setiap pergi kemana saja, saya selalu membawa buku bacaan. Untuk perjalanan kali ini saya sudah menyiapkan "Catcher in the Rye" yang belum jua tuntas saya baca. Tapi Arys bersikeras meminjamkan sebuah buku filsafat. Saya menolak keras. Dalam kondisi waras pun saya enggan menyentuh buku filsafat, apalagi ketika dalam keadaan suntuk dan butuh hiburan seperti ini. 

"Udahlah fuk, bacaen buku ini. Pasti kamu betah" ujar pria berkacamata ini setengah ngotot.

Akhirnya buku mengenai pemikiran Kierkegard ini jadi saya bawa, mengalahkan "Cathcer in the Rye". Awalnya saya pikir pilihan saya salah. Tapi, membaca beberapa lembar awal, saya jadi mengamini perkataan Arys. Sepertinya buku ini bakal menjadi teman traveling yang baik..

Jadi disinilah saya. Tidak bisa tidur menjelang keberangkatan. Nanti jam 8 pagi perempuanku ujian proposal thesis. Seharusnya saya menemaninya. Tapi demi kebaikan bersama, juga dari hasil urun rembug bersama, maka ia membiarkan saya pergi sejenak. Meskipun jauh, saya selalu menebar doa untuknya. Semoga sukses ya :)

Sampai jumpa lagi. Nanti saya akan berkabar dari jalanan :)

Senin, 06 Februari 2012

Bob Marley: Perempuanku, Jangan Menangis


Vincent Ford, adalah seorang penjual sup di daerah kumuh di Trenchtown. Selain menjadi penjual sup, Vincent juga punya keahlian menulis lagu. Ia berteman dengan banyak musisi. Salah satunya adalah Robert Nesta Marley.

Robert biasa dipanggil Bob oleh kawan-kawan sepergaulannya. Ia mempunyai band reggae bernama Bob Marley & The Wailers. Bob menjadi vokalis sekaligus gitaris rhytm. Pria kelahiran 6 Februari 1945 ini banyak menuliskan lagu soal ketidakadilan dan masalah sosial yang banyak terjadi di lingkungan sekitarnya.

Selain menulis musik dengan tema diatas, Bob juga sering menulis beberapa lagu cinta dewasa, yang romantis tapi tidak cengeng. Begitu pula Vincent.

Suatu hari mereka menciptakan lagu berjudul "No Woman, No Cry". Banyak orang salah persepsi dengan kalimat ini. Kalimat tersebut diartikan dengan "Tak ada perempuan, tidak perlu menangis". Padahal maksud sebenarnya adalah no woman, nuh cry. Dalam bahasa Jamaika, nuh itu berarti don't alias jangan. Jadi intinya, sang lelaki mengajak perempuan untuk jangan menangis dalam menghadapi kesusahan hidup, serta berharap semua akan baik-baik saja.

Lagu "No Woman No Cry" ini masuk dalam album Natty Dread yang dirilis pada tahun 1974. Tapi baru meledak ketika versi live-nya muncul pada album Live! Legend yang dirilis setahun berikutnya. Lagu ini menjadi salah satu lagu Bob Marley yang paling terkenal dan jadi lagu yang wajib dimainkan band reggae manapun ketika manggung.

Kredit lagu ini ditujukan pada Vincent seorang. Kontroversi lalu terjadi. Bob Marley dianggap ikut andil dalam menulis lagu ini, tapi tak mau namanya ikut disebut dalam kredit lagu. Royalti dari lagu ini lantas diputar sebagai modal untuk melanjutkan usaha restoran milik Vincent. That's also kind of love .

Waktu berjalan, Vincent tetap bertahan dengan usaha restoran, sedang Bob Marley bertahan di dunia musik dan jadi legenda. Bob Marley meninggal pada 11 Mei 1981. Tapi lagu-lagunya masih bertahan hingga sekarang.

Hari ini 6 Februari 2012. Seandainya Bob masih hidup, ia akan berulang tahun dan jadi lelaki baya berumur 67 tahun. Untuk mengenangnya, saya memutar lagu "No Woman No Cry" malam ini, yang juga saya tujukan untuk perempuanku yang hobi menangis. In this bright future you can't forget your past, so dry your tears I say. Everything's gonna be alright.


Love you dear, salam hangat dari Jember yang dingin karena diguyur hujan :)

Hal Yang Harus Belajar Kau Hadapi


Ada beberapa hal yang harus belajar kau hadapi.

Yang pertama adalah rasa malas. Entah ini perkara umur atau saya sudah terbiasa dengan zona nyaman, saya seringkali merasa malas duluan ketika mau pergi traveling. Contohnya: besok saya memutuskan untuk pergi ke Timur dengan menggunakan motor. Tapi ketika packing, saya memikirkan perjalanan panjang yang harus saya tempuh. Lalu bagaimana lamanya waktu penyebrangan feri antar pulau yang bisa memakan waktu hingga 6 jam. Kalau ombak sedang besar malah bisa 8 jam. 

Tapi itu bukan berarti saya harus berhenti jalan-jalan.

Karena saya rasa, berdasarkan pengalaman saya belakangan ini, rasa malas ini harus dihadapi. Bayangkan kalau saya lari ketika dihadapkan dengan gambaran rasa jenuh ketika duduk di kapal selama 6 hingga 8 jam, bisa-bisa selamanya saya tidak kemana-mana. Bayangkan juga kalau saya malas naik kereta ekonomi, atau naik truk, atau naik colt pick up, yang menawarkan ketidaknyamanan, bisa jadi saya hanya mendekam di rumah saja. Alamak.

Selain rasa malas, rasa takut juga hal yang patut dihadapi. 

Mamak saya begitu takut ketika saya pergi naik gunung untuk pertama kalinya. Ia berpikir gunung itu penuh dengan marabahaya. Tanah yang licin dan menanjak, hawa dingin yang menusuk dan mencakar, serta berbagai macam kelebatan hal menakutkan lain. Tapi bayangkan, kalau saya menuruti rasa takut itu, saya tidak akan pernah merasakan magisnya pengalaman berdiri di puncak tertinggi dan menyaksikan gumpalan awan sejauh mata memandang. Atau menyenangkannya duduk melingkari api unggun ketika malam datang dan kabut perlahan turun dari puncak menuju lembah.

Hal yang ketiga yang harus belajar kita hadapi adalah rasa bersalah.

Kemarin salah seorang perempuan terkasih berkata pada saya bahwa ia ingin mengalihkan rasa bersalah pada seseorang dengan cara berkonsentrasi pada tugas kuliahnya. Ia berharap bahwa rasa bersalah itu akan teralihkan kalau ia sibuk menggarap tugasnya.

Saya hanya bilang "Kamu dan aku menghadapi masalah yang sama. Tapi kamu tahu beda antara aku dan kamu? Aku belajar berani menghadapi masalah, sedang kamu memilih lari. Percayalah, kamu tidak akan bisa konsentrasi menyelesaikan tugasmu, karena rasa bersalah itu akan menghantui dan memburumu hingga kau menyelesaikannya".

Ya, belajarlah berani menghadapi rasa malas. Termasuk juga rasa takut. Termasuk juga masalah.

Minggu, 05 Februari 2012

Beban dan Jalan-jalan

Bisa jadi saat ini adalah salah satu saat terberat dalam hidup saya.

Saya mengalami kekecewaan, sakit hati, dan segala macam pedih perih lainnya dalam satu kesempatan sekaligus. Saya sempat linglung. Tidak enak makan, bahkan hingga hari ini. Tidak mandi hingga beberapa hari, walaupun itu sering saya lakukan. Tapi sisi baiknya, saya lebih sering membaca dan menulis untuk membunuh kekesalan. Dan yang paling saya senang: berat badan saya turun 5 kg dalam 2 hari saja. Olala, what a miracle. Ini menjadi lucu ketika saya pergi ke Flores dan menggelandang selama nyaris 3 minggu, berat badan saya hanya turun 7 kg. Sekarang, dalam dua hari saja berat badan saya sudah turun 5 kg.

Mengenai saat berat ini, saya biasanya enggan berbagi. Karena saya berpikir tak perlu menjadi kuat, yang penting adalah merasa kuat. Nah, itu yang salah. Seringkali saya memendam kekecewaan yang bertumpuk dan tak membaginya dengan orang lain karena saya merasa kuat. Tapi kali ini tembok pertahanan saya runtuh. Saya terpaksa membaginya dengan segelintir orang. Termasuk tante Syemim. Dan tentu saja mamak.

Tante Syemim adalah sahabat ayah dan mamak saya semenjak mereka baru masuk kuliah. Mereka sepantaran. Ayah dan tante Syemim lantas jadi dosen di Universitas yang sama. Tante Syemim perempuan keturunan Pakistan. Badannya besar, subur, dan berkulit keling. Kalau tertawa ia tampak begitu tulus, tertawa bahagia. Tapi kalau sedih, ia bisa dengan mudah menangis, seakan ia yang tersakiti. Saya pernah diasuh oleh tante Syemim ketika masih berumur 1 hingga 2 tahun. Hingga SD bahkan saya rutin menginap di rumahnya tiap malam Minggu. Saya sudah dianggap sebagai anak sendiri.

Ketika masalah berat ini datang menghantam, saya langsung menuju kamar mamak. Perempuanku tercinta ini sedang melihat tv sembari tiduran. Lantas saya menumpahkan uneg-uneg. Mengalir lancar seperti air bah yang sudah lama tertahan. Dan saya menangis. Iya, saya menangis. Setelah sekian lama tidak menangis. Seumur hidup saya pernah berjanji tidak akan menangis untuk jenis masalah yang menimpa saya seperti saat ini. Tapi saya termakan sumpah saya sendiri. Saya menangis. Merasa rapuh. Di pelukan mamak yang tabah dan menenangkan saya sembari ikut menangis.

Tadi pagi saya ke rumah tante Syemim. Awalnya saya bercerita biasa. Dengan mimik tegar dan intonasi yang tenang. Tapi ketika saya dipeluk, saya tak tahan untuk tak menangis lagi. Sialan. Saya menangis dalam dua hari berturut-turut, dengan masalah yang sama. Setelah puas berkeluh kesah, saya yang sudah dua hari tidak tidur dan tiga hari tidak mandi, langsung menuju kasur. Lelap hingga pukul 2 siang. Setelah itu saya mandi, makan, dan kembali bercerita.

Kenapa saya hanya membaginya pada sedikit orang? Jadi begini. Cobaan ini saya rasa cukup berat untuk saya tanggung sendiri. Dan saya perlu menemui orang yang pernah mengalami perasaan tersakiti yang jauh lebih parah ketimbang saya. Mamak dan tante Syemim adalah dua perempuan yang punya sejarah panjang mengenai kesabaran, kekuatan, dan juga ketabahan. Ketika saya bercerita, mereka menceritakan masalah mereka di masa lampau, yang lantas membuat saya merasa bahwa masalah saya ini bukanlah apa-apa ketimbang masalah mereka. Kalau mereka tegar dan bisa bertahan, kenapa saya yang memiliki masalah  lebih kecil tidak bisa bertahan? Tak ada alasan untuk tidak menjadi kuat. Karena itu, saya merasa datang ke orang yang tepat. Saya jadi lebih lega.

"Sekarang, yang kamu perlukan adalah pengalihan. Kamu perlu ngelakuin hobimu, biar gak memikirkan masalah ini terus" kata tante Syemim sembari menatap saya.

Saya seakan tersadarkan. Kenapa saya tidak traveling lagi saja? Mumpung liburan masih agak lama.

Sesuai kebiasaan saya yang pergi dengan mendadak dan sekehendaknya saja, saya tiba-tiba memutuskan untuk pergi ke timur dengan mengendarai motor. Tak lama, mungkin hanya 1 minggu saja. Mamak kaget mengetahui rencana perjalanan ini. Terkesan mendadak dan mengendarai motor pula, sementara sekarang sedang musim hujan. Tapi saya meyakinkan mamak, bahwa perjalanan kali ini bukanlah keinginan semata, ini sudah berupa kebutuhan.

Lombok Pada Suatu Masa

Saya butuh dibelai angin jalan, saya butuh tidur beratap langit dan bintang, saya butuh pantai, saya butuh air laut, saya butuh kebebasan. Saya rindu desau angin malam, saya rindu menggoda perempuan-perempuan eksotis di jalanan, saya rindu bau tanah basah sehabis hujan, saya rindu debu-debu jalan yang menempel di wajah. Rindu yang menyadarkan saya bahwa saya sudah lama tidak pergi kemana-mana.

Oke, saatnya packing dan menyiapkan segala sesuatunya. Sampai jumpa lagi. Nanti saya akan bercerita dari jalan :)

Sabtu, 04 Februari 2012

Tidak Akan Ada Siapa Yang Kehilangan Siapa


Perempuanku terlalu gampang menangis. Bahkan mendengar lagu yang sekiranya cocok dengan isi hatinya, ia bisa saja menangis. Tidak tersedu memang, hanya air mata yang mengalir. Tapi tetap saja, itu menangis dan tidak menghapus fakta bahwa perempuanku gampang sekali menangis.

Ketika membuatkannya mixtape untuk pertama kali, nyaris semua lagunya bernada rayuan. Karena itu ia tak pernah menangis ketika mendengarkan lagu-lagu itu.

Tapi ketika perjalanan kami perlahan sudah mulai terhempas ombak, kecil atau besar, maka saya beberapa kali memberikannya lagu yang bertema keep fighting till the end, cause it ain't over till it's over.

Saya ingat, di suatu sore yang basah oleh rinai hujan, saya dan perempuanku mendengarkan lagu "Tak Kan Ada Cinta Yang Lain" dari Dewa 19. Awalnya kami bernyanyi bersama, dengan kekompakan untuk urusan fals. Suara kami memang sama-sama tidak merdu. Bahkan suara nyanyian perempuanku nyaris masuk taraf mengganggu, hehehe. Kemudian ada sesuatu yang menetes di lengan saya. Air mata. Saya melihat perempuanku, ia sudah menangis. Lalu ia memeluk saya dengan erat. Di sore yang dingin itu, mendadak semua menjadi hangat.

"Aku takut kehilangan kamu" ujarnya dengan parau. Saya hanya bisa memeluknya lebih erat, mengelus rambutnya dan berkata "tidak akan ada siapa yang kehilangan siapa". Ia memeluk saya lebih erat.

Entah kenapa, malam ini saya teringat oleh lagu pertama yang membuat perempuanku menangis. Saya lantas memutarnya, menuliskan tulisan ini sembari membiarkan pikiran mengembara ke belakang. Mengingat sore basah yang hangat. Mengingat pelukan yang tanpa tendensi apapun kecuali penanda takut akan kehilangan.

"Kamu tidak akan kehilangan aku. Dan aku juga tidak akan kehilangan kamu. Kita akan menghadapi semua bersama" kataku pelan, sembari mengusap rambutnya berkali-kali.

Perempuanku memelukku lebih erat. Dengan air mata yang masih menetes pelan.