Rabu, 25 Desember 2013

Gita Wiryawan Yang Serupa Sisifus

"[...] manusia terlalu sering bertepuk sebelah tangan."

Pramoedya Ananta Toer dalam Bumi Manusia

***

Saya pikir kutipan Pram itu tak akan pernah dikutip sampai kapanpun. Terutama karena ia kalah dengan kutipan-kutipan Pram yang lain. Yang jauh lebih mahsyur. Juga yang lebih menggugah semangat.

Tapi ternyata akhirnya saya kutip juga. Itu karena saya ingat tentang Gita Wiryawan. Sebelum anda membaca lebih lanjut, perlu diketahui ini bukan Gita Wirjawan yang menteri dan berparas rupawan itu. Ini adalah Gita lain, yang beda nasib. Juga beda tampang, tentu saja. Jadi kalau anda mengira ini tulisan tentang si tampan, anda salah. Ini tulisan tentang si Gita yang tak tampan --karena buruk rupa terlalu kasar.

Tak tampan kan?

Saya tak pernah menyangka bisa berkawan dengan pria keling asal Purwokerto ini. Sebelumnya saya hanya mengenalnya sebagai kawan dari Prima. Prima Sulistya, perempuan yang saya kenal dari Ekspresi, Unit Kegiatan Mahasiswa asal Universitas Negeri Yogyakarta.

Namun ternyata saya bisa juga bertemu dengan Gita. Saat itu Yogyakarta baru saja diguyur hujan deras hingga sore. Saya menjemput Gita di depan Universitas Pembangunan Nasional. Ia bilang ingin menginap di kontrakan saya sehabis kemping bersama kawan-kawannya di sebuah pantai.

"Halo mas, akhire ketemu pisan," ujar Gita sembari cengengesan. Quite impressive. Karena ia sedikit membuyarkan pandangan saya tentangnya.

Di blognya, ia sering menulis hal-hal yang serius dan reflektif. Seakan ia adalah pria yang bijak bestari. Mungkin karena itu pengaruh dari buku-buku yang ia baca. Ia suka Pram. Sering mengutip Nietzsche. Tak jarang berkisah tentang Albert Camus. Sesekali menyitir Pablo Neruda. Juga mengkoleksi buku Catatan Pinggir-nya Goenawan Mohamad. Tak heran, beberapa tulisannya sedikit bernafas GM. Reflektif, mengajak merenung, walau sebenarnya tak jelas juga apa yang harus direnungkan.

Saya dan Gita cukup dekat. Parameter yang saya gunakan adalah bisa gojlok-gojlokan hingga sangat parah. Ia bahkan dengan kurang ajar menuliskan wawancara fiktif dengan saya. Untungnya, sampai saat ini, kami belum pernah tersinggung satu sama lain. Ini adalah salah satu parameter lain yang saya gunakan untuk menggambarkan kedekatan hubungan.

Blognya pula yang membuat saya sedikit salah sangka terhadap Gita.

Saya adalah salah satu orang yang percaya bahwa orang yang pandai menulis pasti punya banyak fans. Baik laki atau perempuan. Dalam bayangan saya, Gita adalah salah satu orang yang termasuk golongan itu. 

Itu karena blog Gita begitu memukau. Alamatnya saja gagah: redemptionsoldier. Tentara penebus? Atau tentara penyelamat? Terdengar gagah, revolusioner, sekaligus heroik. Tagline blognya pun sangat filosofis: Dumadi, karena hidup adalah sebuah proses menuju jadi. Wow! 

Karena blognya itu, saya selalu membayangkan Gita adalah orang yang kalau berjalan selalu mendongakkan dagu dengan angkuh; lengkap dengan pelayan yang melempar flower confetti dari belakang; sibuk menanda tangani ini dan itu; dan yang pasti: ripuh menolak para perempuan yang menangis-nangis minta diterima cintanya.

Ternyata saya salah besar. Sangat teramat besar.

Gita ternyata sering ditolak!

Awalnya saya tak pernah tahu kisah cintanya. Tapi Gita adalah tipikal orang yang suka bercerita tanpa harus diminta. Andreas Rossi, kawan baiknya, juga menceritakan tabiat Gita itu.

Tak jarang, tanpa aba-aba atau pertanda, Gita sering bercerita tentang kisah cintanya yang pedih. Dari perempuan yang ditaksirnya tapi masih cinta sama mantan; hingga kolega satu kampus yang akhirnya menerima cinta orang lain, padahal Gita sudah menunjukkan tanda-tanda.

Gita tak tahu, atau belum tahu, bahwa perempuan tak butuh pertanda. Perempuan hanya butuh kepastian. Bersikap manis belaka tak akan membuatmu cintamu otomatis bersambut. Apalagi kalau kamu tak setampan Brad Pitt, sekaya Bill Gates, atau seromantis Don Juan.

Boleh saja kamu pintar setinggi langit, tapi tanpa bisa memperlakukan perempuan dengan baik dan pantas, kamu tetap akan sendiri dan menggigit jari.

Awalnya tentu saya tak ada keinginan untuk menggojloki Gita tentang kisah cintanya. Tapi toh itu terjadi juga. Salahkan wajah dan tingkah laku Gita yang dengan kuat menguarkan aura minta digojloki. Saya tak sendiri dalam merasakan hal ini.

Panjul, kawan saya yang sering ditulis di blog ini juga, turut merasakan aura yang sama. Ia termasuk salah satu dalam rombongan kereta penggojlok Gita.

Bagaimana tidak ingin menggojlok. Seperti misalnya, tanpa gelagat, suatu malam Gita tiba-tiba mengirimkan capture gambar perempuan yang menolak cintanya. Bahkan orang yang pemalu sekalipun akan menertawainya keras-keras. 

Pernah pula, suatu hari Gita mengirimkan kabar kalau ia akan ke Jakarta. Karena kebetulan saya sedang berada di Jakarta waktu itu, kami mengadakan janji ketemu.

Saya berpikir Gita ada urusan yang genting sampai rela datang ke Jakarta. Bagi yang belum tahu, Gita, lulusan Sekolah Tinggi Akutansi Negara, ini dinas di Bangko, Jambi. 

Ternyata Gita datang hanya untuk menagih kepastian kepada seorang perempuan yang ia taksir. Juancuk!

"Aku gak nembak mas, dia sudah balikan sama mantannya," kata Gita melas sembari menenggak sebotol bir yang sepertinya juga eneg mendengar cerita cinta pahit ala Gita.

Ingin rasanya saya memasukkan Gita ke tong sampah dan membuangnya jauh-jauh ke Kali Ciliwung. Biar ia mati dimakan ikan mutan hasil evolusi genetik dari limbah pabrik.

Bagaimana mungkin, seorang pria datang, membelah lautan, melintas pulau, hanya untuk menerima kenyataan bahwa gadis idamannya telah balikan dengan mantan.

Oke, balikan dengan mantan adalah satu perkara yang lain. Yang bikin saya kesal adalah Gita sama sekali tak menyatakan perasaannya. Sama sekali!

Mungkin Gita menganggap semua perempuan bisa membaca isi hatinya. Atau tepatnya, harus bisa membaca isi hatinya. 

Malam itu Gita menghabiskan botol dua bir. Juga kenyang oleh makian dan gojlokan dari saya dan Andre --ia menyebut Gita sebagai fosil-- yang menemaninya patah hati di pojokan sebuah minimarket di Jakarta Selatan. Menjelang subuh, Gita tertidur. Saya melihat ada setetes air mata di ujung pelupuk. Komikal sekali.

Tapi berkat itu, akhirnya saya tahu bahwa Gita adalah tipe-tipe pria masokis. Pria yang suka sekali tersiksa dan tersakiti. Tandanya jelas, ia suka sekali mengulang hal yang sama --menyukai perempuan tanpa harus memberi kepastian-- hanya untuk berakhir dengan ratapan saat perempuan yang ia sukai berlabuh pada pria lain.

Gita juga tipikal pria yang susah dipegang janjinya kalau menyangkut soal perempuan. Ia pernah, dengan gagah, berkata pada saya kalau ia tak akan lagi berhubungan dengan perempuan-perempuan yang menyakitinya. 

Awalnya ia membuktikan dengan menulis tulisan-tulisan reflektif dan GM-esque (ini, ini, dan ini), tentang rasa cinta yang bertepuk sebelah tangan. Juga tentang rasa pedih yang ia rasa. Lengkap dengan keinginan untuk mengucap selamat tinggal dan berpisah jalan.

Namun tak berapa lama kemudian, ya sudah bisa ditebak, Gita berkomunikasi lagi dengan perempuan-perempuan itu. Dasar masokis!

Tapi masalahnya adalah: Gita sepertinya menyukai tokoh Sisifus. Tokoh ini adalah tokoh yang dikutuk untuk mendorong batu menuju puncak bukit, hanya untuk menyaksikan batunya meluncur ke bawah. Lalu ia dengan santai mendorong lagi batunya. Begitu terus hingga akhirnya dunia kiamat.

Gita sepertinya terkesan dengan absurdisme macam itu. Karena itu Gita terus melakukan hal yang sama. Hanya untuk apa? Disakiti lagi, dan lagi. Toh Gita menganggapnya sebagai hal yang menyenangkan.

Menukil Pram kembali, manusia memang terlampau sering bertepuk sebelah tangan. Gita adalah salah satu perwujudan yang paling hakiki dari manusia jenis itu.  Tak bisa dibantah. Absolut.

Namun toh Gita menganggap dirinya adalah Sisifus. Bisa apa kita kalau ia menyukai rasa sakitnya yang --saya pikir-- sia-sia belaka. 

Namun semoga ia tak menganggap hidup dan kisah percintaannya adalah perulangan basi dari sesuatu bernama kegagalan. Karena ia pernah menulis, "...Sisifus merupakan pengingat bahwa hidup sejatinya adalah repetisi atas sebuah kegagalan." Gelap dan kelam sekali.

Semoga saja tak selamanya begitu, Git. []

Post-scriptum: note pendek ini saya buat karena ternyata Gita membagi tanggal lahir yang sama dengan ibu saya. Gita juga sering merengek minta ditulis. Ya sudah saya tuliskan ini saja. Semoga berkenan Git. Ayo ditolak lagi! Eh salah, maksud saya, ayo berusaha lagi mencari cinta! Ya meskipun nanti akhirnya ditolak juga sih...

Minggu, 15 Desember 2013

Endang

Menjelang ulang tahunnya yang ke 55, Endang Hidayati Masdar memutuskan untuk kembali ke cinta lamanya: memasak.

Nyaris lebih dari 40 tahun hidupnya diisi dengan memasak. Semasa kecil Endang turut membantu orang tuanya menjalankan bisnis pabrik limun. Tugasnya sederhana, menempelkan cap pada botol. Saat memasuki masa gadis, perempuan kelahiran Tanjung Redeb ini mulai memasuki dapur. Belajar memasak.

Endang diwarisi ilmu memasak yang mumpuni. Ibunya, Siti Zubaidah, perempuan berdarah Sulawesi - Banjar, lihai memasak Soto Banjar. Masakan perpaduan antara kaldu dari ayam kampung, taburan kentang goreng, lumatan perkedel, dan irisan ayam kampung ini lantas menjadi salah satu signature dish Endang di kemudian hari. 

Endang menemukan cinta berikutnya pada seorang pria bernama Akbar Pradopo. Hubungan mereka sempat tak direstui. Akbar, anak seorang guru bahasa Inggris cum peternak ayam potong, terkenal sebagai berandal remaja. Rambutnya gondrong. Suka musik rock. Naik gunung. Jarang sholat. Dan sesekali nongkrong bersama kawan-kawannya untuk main domino di sungai belakang rumah.

Namun mereka tetap berjalan. Mereka berdua kuliah di Universitas Jember. Endang masuk Fakultas Hukum. Cocok, karena ia suka sekali berbicara. Terkesan cerewet. Akbar masuk Fakultas Pertanian. Ia sempat melarikan diri ke Yogyakarta, jadi tenaga cuci piring di restoran. Penyebabnya? Ia kecewa karena tak diterima di Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada gara-gara buta warna. Ia lebih kecewa lagi karena satu hal: ia baru sadar kalau selama ini ia buta warna.

Endang kembali menekuni cinta lamanya, memasak. Kali ini Endang melakukannya juga demi mencari upajiwa.

"Aku yang memasak, dan Akbar yang mengantar makanannya kalau aku sedang latihan basket," kata Endang suatu ketika.

"Pakai motor pinjaman, ya karena aku belum punya motor," tambah Akbar, tertawa.

Endang juga hobi main basket. Bahkan ia sempat memperkuat tim basket Universitas Jember. Endang banyak dikenal gara-gara kidal. Saat itu jarang ada pemain basket perempuan yang mendrible bola dengan tangan kiri.

Kateringnya laris. Pelanggannya ya berasal dari kawan-kawan Endang dan Akbar. Mereka berdua supel. Tak heran, kawannya pun berasal dari aneka ria jurusan. Mereka juga sering menggoda Endang kalau ia sedang latihan basket.

"Ndang, Ndang, cepetan latihane, aku gurung mangan (Ndang, Ndang, cepatlah latihannya, aku belum makan," goda kawan-kawan Endang.

Tahun 1987, Akbar dan Endang menikah. Namun jalannya tak mulus. 

Masdar Damang, ayah Endang, adalah pensiunan Angkatan Laut. Ia adalah pria yang sayang keluarga. Juga keras. Masdar pindah ke Lumajang saat pensiun. Menekuni dunia agama dan menjadi salah satu tokoh Muhammadiyah di Lumajang. Ia tak rela kalau Endang, satu dari lima anak perempuannya, menikah dengan Akbar, pria gondrong yang sepertinya tak tahu adat.

Keluarga geger. Endang patah hati. Sebab saudara-saudara Endang tahu kalau hubungan Endang dan Akbar sudah dimulai sejak SMA. 

Akbar mengajak Endang untuk kabur. Kawin lari. Endang menampik keras.

"Lek koen ngajak aku mblayu, aku mangan opo? Wong koen gurung kerjo (Kalau kamu mengajak aku kawin lari, aku makan apa? Kamu kan belum kerja)," ketus Endang kala itu.

Akbar tersenyum pahit.

"Ya harus gitu, cinta ya cinta. Tapi tetap harus realistis dan gak buta karena cinta," imbuh Endang.

Akhirnya jalan tengah diambil. Sjahrazad Masdar, anak tertua keluarga, akhirnya menyuruh Endang untuk berlibur dulu di Bali.

Di Bali, Endang ditampung di rumah Tutik Masdar, anak ketiga sekaligus anak perempuan tertua di keluarga. Di Bali Endang berkeluh kesah pada kakak perempuannya itu. Ia menangis. Tutik menghiburnya. Endang diajaknya berkeliling Bali. Melihat Kuta dan Sanur yang masih sepi. 

Sedangkan di Lumajang, rapat keluarga Masdar digelar. Masdar masih bersikeras tak merestui hubungan anaknya dengan Akbar. Melihat hati sang ayah bagai batu, Sjahrazad berlaku tak kalah keras.

"Kalau abah masih tak setuju, biar ulun1 yang menikahkan Endang sama Akbar," kata Sjahrazad.

Masdar akhirnya melunak. Ia setuju Endang menikah dengan Akbar dengan satu syarat: Akbar sudah bekerja.

Saat pertemuan keluarga digelar, Masdar bertanya pada Akbar tentang pekerjaan. Akbar dengan hati mantap berkata bahwa ia sudah diterima jadi dosen PNS di Universitas Muhammadiyah Jember. 

Padahal saat itu Akbar baru sekadar mengikuti tes ujian PNS.

"Ya gak papa lah, berbohong demi cinta dan restu," tukas Akbar sambil terkikik.

Tapi semua berakhir bahagia. Mereka akhirnya menikah pada awal bulan, saat almanak menunjukkan tahun 1987.

Lumajang sedang hangat saat itu.

***

Akbar dan Endang mempunyai empat orang anak dari hasil pernikahan mereka. Anak pertama Ahmad Zacky Akbar; Aunurrahman Wibisono; Nurina Izzati Pramesi; dan si bungsu yang manja dan keras kepala, Sachnaz Apsari Magfirah.

Keluarga ini hidup sederhana. Tak kaya. Sekadar cukup, asal bahagia. 

Akbar meninggal pada bulan Desember 2010. Endang kehilangan separuh atmanya. Hari itu, Jember hujan deras. Malam hari, Endang menangis terisak berkalang bantal. Kehilangan ini begitu memukul Endang.

"Aku seperti kehilangan semangat hidup saat itu," katanya lirih. Pelupuknya sedikit tergenang oleh air.

Hingga kini, tiga tahun semenjak kematian Akbar, Endang masih menggantung baju terakhir yang dipakai Akbar, kaos berkerah berwarna biru tua, dibalik pintu kamar.

"Kalau aku kangen, aku ciumin kaos ini, kadang masih muncul baunya Akbar," katanya sembari tersenyum.

Akbar dikubur berdampingan dengan Yamin Soewarso dan Siti Karnati, orang tua Akbar, di sebuah areal pekuburan yang terletak di atas bukit yang dikelilingi sawah dan di bawahnya mengalir sungai. Asri.

Sampai sekarang, Endang belum sanggup datang ke kuburan Akbar. Padahal jarak rumah Endang dengan kuburan Akbar hanya sepeminuman teh belaka. 

"Aku takut gak kuat kalau melihat kuburan Akbar," tukasnya pendek. 

Namun Endang tak pernah putus doa. Saat ayam masih terlelap, Endang bangun dan melakukan tahajud. Hening malam dan doa melebur jadi satu.

Sesekali terdengar isak tangis dari mushola rumahnya.

***

Burit baru saja usai. Warung Endang di bilangan Mastrip tampak ramai dikunjungi pembeli.

Mastrip adalah sebuah daerah yang terletak di wilayah emas kampus Universitas Jember. Di daerah Mastrip berdiri Fakultas Kedokteran dan Fakultas Kedokteran Gigi.

Mastrip ramai. Banyak warung kopi. Juga warnet. Ada pula minimarket 24 jam. Namun di daerah tempat Endang berjualan, nyaris tak ada warung. Padahal jaraknya hanya sepelemparan batu dari Fakultas Kedokteran. Padahal ada banyak kos-kosan di dekat warung Endang. Tak heran, warungnya kini laris manis.

Endang mendirikan warung sederhana di depan rumah adik iparnya, Agus Wahju Tjahjono. Agus menikahi adik bungsu Endang, Indah Amperawati.

Agus punya rumah yang sekaligus dijadikan kosan perempuan. Ada sekitar 47 kamar di kosan ini. Endang melihat peluang, karena tak ada warung di sekitar sana. Sedangkan banyak anak kos yang kadangkala malas mencari makan terlalu jauh.

Akhirnya bermodal beberapa ratus ribu untuk membeli lemari kaca dan bahan masakan, Endang pun kembali ke cinta lamanya: memasak.

Meski Endang lebih sering melayani katering, membuka warung di Mastrip bukan pengalaman pertamanya. Di penghujung tahun 1980, setelah menikah dengan Akbar, Endang membuka warung kecil di dekat kampus Universitas Muhammadiyah.

Tempat sederhana itu milik rektor kampus dimana Akbar mengajar. Daripada tak terpakai, Akbar menyewanya. Dan Moelyono, sang rektor, meminjamkan dengan senang hati.

"Itu lumayan untuk menyambung hidup, soalnya dulu gaji Akbar cuma 69 ribu," kata Endang sembari tertawa kecil.

Endang berjualan aneka masakan. Mulai rawon, soto, nasi pecel, rujak, hingga comfort food macam mie goreng dan nasi goreng. Dagangannya laris manis tanjung kimpul.

Masakan itu juga yang dijual Endang di warung barunya di Mastrip. Salah seorang anaknya pernah mengusulkan untuk memasukkan masakan seperti sayur asam. Tapi masakan seperti kurang disukai pelanggannya.

"Mereka tetap suka pecel, rawon, soto, nasi goreng, dan mie," kata Endang sembari mengambil margarin dari wadahnya.

Ia menumis margarin hingga meleleh. Lalu dengan sigap memasukkan sambal bajak, diberi sediki kecap, lalu diaduk. Nasi lantas dimasukkan dan dicampur hingga warna nasi menjadi merah kecoklatan. Endang tak memakai saos untuk menampilkan warna merah yang menggoda. Warna itu ia dapat dari sambal bajak.

"Telurnya mau dadar atau ceplok?" tanya Endang pada salah seorang pelanggannya.

"Diceplok aja bu."

Lalu Endang menggoreng telur ceplok. Tak sampai 2 menit, selesai sudah. Endang membungkus nasi goreng dengan telur ceplok. Satu porsi nasi goreng dengan telur ceplok dihargai murah, 6 ribu rupiah saja.

Endang lalu membuka kaleng wafer berwarna hitam dengan gambar perempuan memakai gaun era Victorian. Ternyata itu wadah uangnya.

Tak hanya berisi uang, kaleng itu berisi dua siung bawang putih dan dua butir cabai. Mereka sudah layu, tanda sudah lama disimpan dalam kaleng kedap udara itu.

"Itu titipannya Mak Ri, biar uangnya gak dicuri tuyul," kata Endang sambil terkekah.

"Biar lah, orang tua omongannya harus didengar. Kalau gak didengar nanti ngambul."

Mak Ri adalah pembantu rumah tangga Endang. Perempuan asal Nguling, Jawa Timur, ini sudah ikut Endang selama lebih dari seperempat abad. Bagi Endang dan keluarga, Mak Ri bukan sekedar pembantu biasa. Ia adalah bagian dari keluarga.

Malam itu pendapatan Endang lumayan. Hingga selepas Isya, ia sudah mengumpulkan 400 ribu. Lumayan untuk ditabung. Endang memang tekun menabung. Sangat kontras dengan Akbar yang boros, terutama menyangkut hobi: buku dan musik.

Warung Endang nyaris tak pernah libur. 7 hari dalam seminggu selalu buka. Warung ini buka mulai jam 9 pagi, hingga jam 8 malam. Salah seorang anaknya pernah khawatir akan kesehatan Endang, dan menyuruhnya untuk menutup warung pada hari Sabtu dan Minggu.

"Sayang, Sabtu dan Minggu itu hari yang paling ramai pengunjung. Soalnya warung lain biasanya nutup," tutur Endang rebahan di kasur di belakang warung.

***

Menjelang ulang tahunnya yang ke 55, Endang sudah kembali ke cinta lamanya: memasak. Tak sekedar sebagai hobi, Endang kembali melakukannya untuk bertahan hidup.

Semenjak Akbar meninggal, gaji pensiunan tentu tak cukup untuk membiayai kebutuhan rumah tangganya. Memang dua anak laki-lakinya sudah mentas dan mulai mencari nafkah. Namun mereka masih belum banyak membantu. Mereka hanya sesekali mengirimi uang kalau sedang ada rejeki.

Endang sempat mencari penghidupan di berbagai bidang. Asal halal, katanya suatu saat. Endang pernah membuka dealer motor kecil-kecilan di Arjasa, desa yang sudah menjadi tempat tinggalnya selama 26 tahun. Juga sempat menekuni usaha batu piring. Namun ibarat kekasih, mereka hanya sekedar cinta monyet belaka. Datang sejenak, lalu pergi hanya untuk dikenang.

Namun memasak, bagai Musashi bagi Otsu, untuk Endang. Maka saat usianya mulai menapak 55 tahun, Endang kembali pada cinta lamanya. Juga cinta pertamanya.

"Warung hari ini libur. Ada orderan untuk nasi kotak, 300 kotak. Lumayan buat nambah tabungan," ujar Endang sembari tersenyum.

Hari ini, 15 Desember, Endang akhirnya menapak 55 tahun. Beberapa helai uban mulai tampak di rambutnya yang selalu dipotong pendek itu. Kerut mulai banyak tampak di bawah mata dan di pipi. Kadangkala capai bisa menghasilkan tulang yang kaku. Keahlian dribel bola dengan tangan kiri sudah tentu jadi kenangan sahaja.

Endang memang sudah tak muda lagi. Namun ia menolak untuk dikalahkan umur dan pesimisme hidup yang berat. Asal ia masih bisa merasakan rasa masakan, masih bisa menggerakkan wajan, juga meracik bumbu, rasa-rasanya Endang masih akan terus berdiri tegak. 

Karena memasak, cinta pertamanya, akan selalu membuatnya hidup. []

End-note:

1. Ulun: Bahasa Banjar halus untuk kata "saya".

post-scriptum: Ini sebenarnya tulisan yang bahkan belum selesai ditulis. Tapi saya unggah dulu sementara sebagai hadiah ultah Mamak yang ke 55. Saya janji akan terus memperbaiki tulisan ini. Menambahi apa yang sekiranya diperlukan. Karena saat ini, baru tulisan yang bisa saya persembahkan untuk mamak. Selamat ulang tahun Mak, di sepanjang usiaku kini dan kelak, tak akan pernah bisa aku mengganti jasa-jasamu.