Selasa, 28 Desember 2010

Akbar (Bagian 1)

26Desember 2010. Terdengar lantunan ayat suci dari ruangan bawah. Beberapa orang berpeci dan mengenakan sarung tampak duduk bersila. Tiap mereka memegang alquran.

Ba'da maghrib itu ada acara khatamman alquran dirumah. Sekedar mendoakan ayah saya yang kemaren pagi meninggalkan dunia ini dengan tenang dan senyum kemenangan. Selain mendoakan, acara khattaman ini juga untuk mengenang ayah saya.

Tapi saya mengenang beliau dengan cara saya sendiri. Membuka kembali album-album foto lama ayah saya. Melihat kembali kenangan masa muda ayah. Memilih beberapa dan merepro foto-foto itu.








***

22 Desember 2010. Rumah saya riuh rendah dengan berbagai celoteh riang. Hari itu saya dan adik saya berulang tahun. Ada acara makan-makan yang dihadiri oleh beberapa orang kerabat.

Kiki datang dari Surabaya bareng pacarnya yang karateka sabuk hitam itu. Saya jadi paham kenapa Kiki yang dulu sering gonta ganti pacar sekarang sudah menghentikan kebiasaan buruknya itu.

Sasha si bungsu juga datang. Ia libur karena ada class meeting di sekolahnya. Saya sendiri mengajak Rina datang kerumah. Meski awalnya deg-degan, ia berhasil melewatkan pertemuan pertama dengan keluarga saya dengan gemilang. Keluarga saya ribut. Tetangga saya juga ribut. Mereka semua membingungkan satu hal: kenapa Rina mau sama saya :D

Kiki lah yang punya inisiatif mengumpulkan kami semua. Dia pula yang minta pada mamak agar masak Sop Buntut. Saya sendiri minta sambal goreng hati sapi, makanan kesukaan saya sepanjang masa.

Ayah sendiri bahagia hari itu. Meski ia berkali-kali nangis ketika melihat para anaknya bercanda. Ayah sudah 5 kali kena serangan stroke. 4 kali diantaranya berakhir di RS. Yang paling parah adalah serangan ke 3, yang mengharuskan dia pindah rumah sakit sebanyak dua kali, dan menghabiskan waktu sekitar 2 bulan di atas kasur rumah sakit.

Karena serangan stroke itu pula, saraf ayah terganggu. Kalau ada tayangan humor, meski garing, ia akan tertawa terbahak-bahak. Kalau melihat tayangan yang sedih, maka ia akan menangis, tak jarang tergugu, meski yang ditontonnya hanya acara sedih polesan yang banyak bertebaran di TV.

Pernah pula saya merasa bingung. Sebabnya adalah ayah menangis tersedan ketika rokaat pertama sholat Jumat di Masjid Universitas Jember. Katanya, suara amin yang serempak itu mengingatkan dia ketika sholat di masjid Nabawi. Dan ia terharu. Maka menangislah ia sampai rokaat terakhir.

Karena itu pula ayah berkali-kali menangis terharu melihat keempat orang anaknya sudah tumbuh besar. Kami berempat sering menggodanya dengan gojlokan "udah besar kok cengeng", lalu tertawalah ayah.

***

Suatu hari saya dan ayah menghadiri pernikahan anak sahabatnya. Seingat saya, pertama kali itulah saya memakai batik. Itupun karena dipaksa oleh mamak. Ayah cuma tertawa kecil melihat muka saya yang ditekuk karena kesal.

Dasar pernikahan anak orang penting, untuk masuk ke dalam gedung saja harus antri. Padahal ayah sering tak kuat kalau harus berdiri terlalu lama. Untunglah hari itu ayah kuat berdiri cukup lama dan berjalan cukup jauh.

Ketika sudah masuk ke dalam gedung, tampak di pojokan ada segerombolan biduanita yang bernyanyi diiringi oleh seorang pemain keyboard. Mereka memainkan lagu-lagu mesra yang sepertinya wajib dimainkan di resepsi pernikahan.

"Yah, ntar kalo aku nikah, aku mau ngundang full band. Harus ada lagu Smoke on the Water sama I Will" kataku songong.

Smoke on the Water adalah lagu dari super band Deep Purple favorit ayah yang pertama kali didengarkannya pada saya ketika saya masih duduk di kelas 2 SD.



"Iyo wis. Yang penting kamu mau nikah" kata ayah sambil terkekeh.

Ayah bilang gitu karena dulu semasa masih jadi remaja galau berseragam putih abu-abu, saya pernah bilang ke ayah dan mamak kalau saya tidak akan pernah mau menikah sampai kapan pun. Alasannya apa lagi kalau bukan ingin bebas sampai ajal menjemput nanti.

Ayah bilang kalau pikiran saya itu adalah pikiran orang bodoh. Lantas beliau bilang --dan kalimat itu masih saya ingat dengan jelas hingga sekarang-- kalau pernikahan itu bukan melulu soal seks. Selain ibadah, pernikahan itu menyenangkan karena ketika kita bangun, kita tahu ada orang disamping kita.

Iya ayah.

***

24 Desember 2010. Jam setengah 9 malam, saya sedang duduk lesehan dengan Rina di sebuah kedai jagung bakar. Malam itu Rina merengek, pengen makan jagung manis rasa keju. Aduh kakak, mana ada makanan begituan di Jember. Kalaupun ada, pasti tak akan dijual di daerah kampus. Akhirnya saja ajak dia lesehan di kedai jagung bakar di bundaran jalan Bangka. Kami makan jagung bakar serut.

Rina memesan jagung bakar keju manis coklat, dan saya pesan jagung bakar ekstra asin pedas. Rina ternyata lebih suka jagung bakar pesanan saya, dan dia menghabiskan pesanan saya.

Lalu tiba-tiba ada handphone saya berbunyi. Adik bungsu yang telepon. Tumben, pikir saya. Sebenarnya saya sedikit enggan mengangkatnya, karena saya pikir si bungsu yang rewel itu pasti minta oleh-oleh. Tapi saya berubah pikiran, dan saya angkat telepon itu.

Bukannya suara, yang terdengar malah pecahnya tangis histeris di seberang sana.

Saya bingung. Adik saya menangis dan meracau secara bersamaan. Setelah saya tenangkan, barulah ia bisa ngomong dengan jelas.

"Ayah, ayah!" katanya terbata-bata sambil tetap tersedu.

Pasti ada yang gak beres di rumah. Saat itu juga saya panggil Rina dan segera berkemas. Setelah mengantar Rina pulang, saya pun segera mengebut menuju rumah dengan Supra tua yang hanya mampu berlari maksimal 80 km/jam. Lebih dari itu bisa mrotol dia, dan langsung akan ditawar ditempat oleh juragan besi asal Sumenep.

Pas saya sampai di gapura perumahan, dari kejauhan sudah terlihat gerombolan orang yang menyemut di depan rumah saya. Sesampai di depan rumah, terlihat Orin sedang terduduk di teras.

Gayanya persis gadis emo yang baru saja diputus pacarnya lalu merasa dunia ini adalah tempat yang kejam dan tak ada orang yang mau mengerti dia. Dagunya ditopangkan ke lutut. Matanya sembab. Habis keluar air mata banyak sepertinya.

Orin sekarang sudah besar. Sudah jadi gadis cantik. Dulu siapa yang sangka kalau dia lahir prematur dan nyaris saja meninggal setelah dilahirkan. Orin kecil tubuhnya rapuh, gampang jatuh sakit. Setelah besar, selain tambah sehat, Orin pintar matematika. Seingat saya, dia mendapatkan nilai sempurna di ujian nasional matematika semasa SMP. Gabungan dari faktor prematur dan pintar matematika itulah yang membuat Orin jadi gadis kecil kesayangan ayah.

Pas ngeliat saya datang, Orin tambah nangis. Seperti anak kecil yang melihat genderuwo saja. Sialan. Setelah saya tenangkan, saya suruh dia cuci muka. Beberapa menit kemudian dia ikut mobil tetangga yang juga turut pergi ke RS.

Lalu saya masuk ke dalam rumah. Melihat kamar ayah dan mamak. Lampunya masih hidup. Pintu kamar mandi masih terbuka. Tapi tidak ada ceceran air, yang menandakan belum ada orang yang sempat masuk kamar mandi. Lalu ada ceceran muntah di sprei yang sudah berantakan.

***
Beberapa jam sebelumnya. Mamak, Sasha, Orin dan Mak Ri sedang liat TV di ruang tengah. Seperti biasa, mereka menonton sinetron yang terkutuk. Ayah sendiri setelah sholat isya, lantas masuk ke dalam kamar. Biasanya nonton tv, acara komedi kesukaannya.

Di luar terdengar suara kentongan dari tukang jual sate ayam. Sasha yang belum makan, memesan 10 tusuk sate.

"Sha, ayah coba ditawari, siapa tau mau" kata mamak.

Tapi Sasha bilang gak usah, "Palingan sudah tidur" katanya. Sekitar pukul 20.30, Mamak masuk ke dalam kamar, mau wudhu, sholat isya, dan bergegas tidur.

Tapi ketika membuka pintu kamar mandi, alangkah kagetnya Mamak melihat ayah sudah tengkurap. Begitu dibalikkan, mulut ayah sudah berbusa dan ada ceceran muntah. Mamak panik dan memanggil Orin, juga Sasha. Mereka lalu tergopoh-gopoh masuk ke dalam kamar. Melihat Mamak memeluk ayah yang tidak sadar, mereka berdua ikutan histeris dan memanggil Mak Ri.

Mak Ri ini pembantu keluarga kami yang sudah ikut keluarga sejak tahun 1987, sudah 23 tahun lalu.

Mak Ri yang sudah "senior" bisa berpikir lebih tenang, lantas berlari memanggil tetangga sebelah, Pak Kamdi. Setelah mengetahui ceritanya, Pak Kamdi bersama menantu lelakinya berlari menuju rumah. Ayah lantas digotong berempat oleh Pak Kamdi, menantunya, Mamak, dan juga Orin. Ayah yang berbadan besar memang sepertinya berat jika digendong. Akhirnya setelah bersusah payah, ayah berhasil digendong dan masuk ke dalam sedan milik Pak Kamdi. Lantas mobil kecil berisi 5 orang itu ngebut menuju RSUD Soebandi.

***

Dulu ketika saya masih duduk di kelas 1 SMP, ayah mengirimkan 4 lembar kartu pos dari benua suku aborigin untuk 4 orang anaknya. Tiap orang mendapat jatah 1 kartu.

Punya Kiki dikirim ke SMP 12, punya saya dikirim ke SMP 7, dan untuk dua orang adik saya, dikirimkan ke SD Al Furqan.

Lucunya, hanya punya saya yang sampai dengan selamat. 3 kartu pos lain entah nyasar kemana. Di kartu pos hitam bergambar koala, kanguru, dan Sydney Opera House itu ayah menuliskan pesan.

Belajarlah yang rajin lalu lihatlah dunia. World is beautiful my son.

Entah mau percaya atau tidak, kartu pos yang hanya sampai ke tangan saya itulah yang membuat saya menggemari jalan-jalan. Tuhan seperti menulis skenario takdir yang harus saya mainkan. Hal itu seperti menyibak takdir, bahwa saya dilahirkan untuk jalan-jalan. Memang diantara 4 orang anaknya, hanya saya yang suka jalan-jalan. Saya seperti mewarisi kegemaran ayah yang suka jalan-jalan dan menggelandang. Mengenai menggelandang, saya ingat satu cerita.

Ayah dulu pernah minggat dari rumah dan bekerja sebagai pelayan restoran di Yogya. Sebabnya adalah ayah gagal masuk Fakultas Kedokteran UGM. Ayah yang sudah lolos ujian tulis, harus menerima kenyataan pahit bahwa ia buta warna. Gagallah ia masuk Fakultas idamannya. Untuk melampiaskan rasa frustasinya, ayah pergi dari rumah dan memilih untuk hidup di kota orang. Setelah satu tahun, ayah lalu masuk Fakultas Pertanian Universitas Jember.

Kembali ke masalah kartu pos tadi. Di kalimat yang dituliskan ayah, jelas tersirat bahwa aku harus terus berjalan, mengetahui tempat baru, berkenalan dengan orang baru, dan mendapatkan pengalaman baru.

Sampai sekarang aku masih suka berjalan. Setapak demi setapak. Untuk menagih janji indahnya dunia yang dijanjikan ayah dalam kartu pos dari Australia itu.

***

24 Desember 2010, pukul 23.00. Saya sampai di IGD RSUD Dr. Soebandi. Di ruang tunggu ada beberapa kerabat dan tetangga. Orin dan Sasha duduk sembari membawa bantal dan guling. Mata mereka berdua masih sembab. Mamak tidak ada, ternyata masuk ke dalam bangsal perawatan. Saya menyusul masuk.

Ayah terbaring tanpa daya di brankar. Ada beberapa selang yang terhubung dengan infus dan mesin yang saya tidak tahu apa kegunaannya. Hati saya tiba-tiba tersergap perasaan getir. Melihat sosok yang saya idolakan, sekarang terbaring lemas dan tidak sadarkan diri. Saya memang mengidolakan ayah saya, meski tak pernah mengungkapkan hal itu langsung padanya. Kami berdua sepertinya menderita alergi penyakit melankolia antara ayah dan anak. Ayah tak pernah sekalipun bilang kalau dia sayang sama saya. Saya pun tak pernah bilang betapa saya sayang ayah. Meski kami tak pernah mengungkapkannya, kami tahu bahwa kami saling mengagumi.

Nafas ayah masih ngorok. Kata mamak, kalau ayah sudah ngorok, berarti ada yang salah dengan jantung dan paru-parunya. Malam itu ayah ngorok dengan kerasnya. Lalu terdengar pula suara dahak yang mengumpul di tenggorokan. Sang dokter muda yang berjaga lantas memasukkan selang panjang ke dalam tenggorokan ayah. Selang itu fungsinya menyedot dahak yang menggumpal di tenggorokan. Setiap si dokter muda itu memasukkan selang ke dalam tenggorokan ayah, rasa sakit tiba-tiba terasa di tenggorokan saya. Lantas saya seperti ingin muntah.

Dokter muda yang berjenis kelamin laki-laki itu sepertinya dulu adalah tipikal mahasiswa yang rada bloon. Saya sempat memergokinya bertanya pada temannya tentang bagaimana caramengoperasikan selang penyedot dahak itu. Sialan. Lantas saya berpikir, kok bisa ya dokter magang ditaruh di IGD? Bukannya IGD itu kepanjangan dari Instalasi Gawat Darurat, yang artinya pasien yang masuk kesini adalah pasien dengan kondisi yang gawat serta darurat. Kalau sedang dalam kondisi gawat dan darurat itu, tapi dokternya bahkan kebingungan untuk masalah kecil, kan kasihan pasiennya? Sepengamatan saya, hanya ada satu dokter senior --dan dia juga masih termasuk muda-- serta 2 orang perawat senior yang mendampingi para dokter magang itu. Kemana para dokter senior yang lain ya?



Sekitar jam 00.00 ayah dipindah ke Unit Saraf. Ayah masih tidak sadar. Setelah dokter memasang beberapa selang ke tubuh ayah, mamak kembali ngaji di sebelah ayah. Saya duduk diluar ruangan, bukan lagi diluar kamar. Karena gak boleh ada terlalu banyak yang menunggui ayah. Jadinya saya ditemani oleh sekaleng kopi instan, dan nyamuk-nyamuk yang membuat saya tetap terjaga. Rina berkali-kali sms menanyakan kabar ayah. Tapi sayang jawaban saya tak jua berubah: masih belum sadar.

Sekitar jam 1.30 saya masuk ke dalam kamar tempat ayah dirawat. Nafas ayah sudah tak ngorok lagi. Sudah tenang seperti biasa.

"Tekanan darah, atas dan bawah sudah mulai normal" kata mamak. "Tubuhnya sudah mulai hangat, tidak dingin seperti tadi" lanjutnya. Mamak dan saya berkali-kali memegang lengan ayah yang hangat. Mencari penghiburan diri, bahwa sebentar lagi ayah akan sadar dan setelahnya meminta makan pecel Lumintu atau pecel Bu Darum kesukaannya.

Hari ini tanggal 25 Desember 2010, hari natal. Beberapa hari lalu saya sempat berencana mengirimi ucapan natal buat Pak Heru, seorang pak tua asal Kediri yang banyak membantu saya dan Ayos di Bima dulu. Tapi hari itu saya lupa mengirimkan ucapan natal buat beliau.

Saya kasihan melihat mamak. Beliau tampak letih, matanya juga sembab. Berkali-kali saya menyuruhnya untuk tidur, tapi berkali-kali pula ia menampik tawaran saya. Beliau tak bisa tidur.

Pagi terasa cepat datang. Subuh, mamak pergi meninggalkan ayah sebentar untuk sholat subuh. Beberapa jam lalu saya mengantarnya untuk sholat isya. Dan tangisan mamak dalam doa selepas sholat begitu membuat dada saya sesak.

Bersambung...

Sabtu, 18 Desember 2010

Kicking Wikipedia Ass :D



Karena tak bisa tidur, sambil makan mie goreng, saya iseng mengetikkan keyword "Hair Metal" di mesin pencari. Sekedar ingin mencari tahu mengenai genre musik favorit saya.

Ternyata muncul hal yang mengejutkan. Nama blog saya terpampang sebagai entry paling atas di mesin pencari, mengalahkan Wikipedia yang biasanya menempati situs paling atas. Tulisan saya yang muncul adalah Hair Metal How Are You Today.

Rasanya lucu melihat nama blog saya mengalahkan kepopuleran wikipedia dalam hal hair metal, hehehe :D

Jumat, 17 Desember 2010

Bakso Eddy Depan Eratex


Kalau sedang berada di Probolinggo, atau sekedar lewat Probolinggo, tak ada salahnya mampir di warung bakso Eddy. Warung bakso ini terletak di depan pabrik Eratex, sebuah pabrik tekstil yang terkenal. Dulu warung ini namanya Bakso Eratex. Namun setelah pabriknya protes, maka nama warungnya diganti dengan Warung Bakso Depan Eratex. Lalu ditambahi dengan nama pemiliknya, jadilah Warung Bakso Eddy Depan Eratex. Nama yang tidak efisien sebenarnya. Kalau ingin mampir kesini, cukup bertanya dimana pabrik Eratex, maka kalian bisa dengan mudah menemukan warung bakso ini.

Bakso Eddy ini sudah terkenal sampai mana-mana. Di dinding warungnya, terpampang belasan pigura foto artis yang pernah makan bakso disini. Mulai Adjie Massaid sampai band aneh dan gak penting bernama Chips (sepertinya mereka penggemar film Warkop DKI).

Seporsi bakso harganya 7500 saja. Isinya ada enam: bakso telur puyuh, bakso halus isi hati, bakso kasar, bakso goreng, tahu isi bakso, dan bakso berbentuk segitiga.


Rasa kuahnya gurih. Tanpa dikasih saos atau kecap pun rasanya sudah enak. Paling pas jika dimakan saat hujan, uh rasanya nyamleng. Kalau ingin lebih kenyang, silahkan tambah lontong atau nasi.

Mari makan! :D

Perjalanan Singkat Nan Konyol


Beberapa hari lalu, om saya menghubungi. Intinya mengajak saya pergi ke Probolinggo. Awalnya saya gak tahu mau ngapain ke Probolinggo. Tapi sepertinya saya memang susah menolak ajakan jalan-jalan, apalagi yang gratisan seperti ini, hehehe.

Setelah menitipkan motor di terminal, saya dan om pergi naik bis. Setelah berada di bis itulah saya baru tahu tujuan kami: melihat hiu yang terdampar.

Konyol bukan? Padahal saya harus menghemat tenaga karena keesokan paginya harus berangkat ke Malang dengan motor. Tapi itulah, kadang kala melakukan hal kecil yang terdengar konyol itu rasanya menyenangkan.

Setelah berganti bis dua kali dan satu kali naik ojek dengan cenglu (gonceng telu, alias satu motor bertiga), sampailah kami di pantai Klaseman. Pantai ini kotor, tipikal pantai di perkampungan nelayan.

Yang menarik justru suasananya. Riuh rendah seperti pasar malam. Ada karcis masuk untuk melihat hiu, ada kotak amal jariyah, ada penjual cilok, ada penjual mainan dan balon, dan tak lupa penjual minuman. Setelah jalan 20 meter dari parkiran, sampailah saya di pinggir pantai. Hiu tutul itu sudah jadi almarhum. Baunya amis menyengat. Tubuh hiu berukuran kecil ini ditaburi bunga. Beberapa meter disampingnya, sudah disiapkan liang lahat untuk penguburannya. Yang menonton rame, walaupun hujan turun rintik-rintik. Bahkan ada satu rombongan yang datang dengan naik pick up. Ada-ada saja :)

Setelah beberapa menit melihat hiu dan om saya selesai berfoto-foto, maka kami pulang menuju Jember. Tapi sebelumnya kami mampir makan di Bakso Eddy yang terkenal itu.

Konyol bukan, menghabiskan waktu seharian keluar kota hanya untuk melihat almarhum hiu?

Tapi tak bisa dipungkiri bahwa perjalanan kony0l terkadang memang menyenangkan :)

Sabtu, 04 Desember 2010

Oleh-oleh Dari Bogor: Macaroni Panggang

Selain pizza dan sphagetti, para Italiano punya satu makanan kebanggaan lain, macaroni. Sama dengan pizza dan sphagetti yang mendunia, macaroni juga sangat terkenal dan sepertinya sudah menjadi makanan global. Sejenis pasta kering dengan lubang yang terdapat di tengah ini mengandung protein tinggi. Biasanya makanan ini terbuat dari "durum wheat", sejenis gandum yang mengandung kadar gluten yang tinggi.

Layaknya sejarah peradaban dan kebudayaan lain, macaroni pun memiliki sejarah dan asal-usul yang banyak versinya. Ada yang mengatakan kalau pencipta macaroni itu adalah orang Cina yang memang terkenal dengan mie-nya itu. Lantas macaroni itu dibawa oleh Marcopollo ke Italia pada tahun 1292. Namun ada juga yang bilang kalau macaroni asli di Italia itu sudah dikenal sejak jaman Romawi kuno sebagai sesembahan untuk para dewa.

Arti kata macaroni pun memiliki banyak versi. Ada yang bilang kalau macaroni itu berasal dari kata "maccheroni", bahasa Sisilia yang berarti adonan yang dibuat dengan tenaga. Namun orang-orang Inggris mengartikan macaroni sebagai sesuatu yang sempurna dan juga anggun.

Di Indonesia sendiri, macaroni telah dikenal sejak jaman penjajahan, sebagai makanan para noni Belanda.

Ketimbang saya bingung mikirin sejarah dan fakta dari Macaroni, saya memilih untuk langsung makan saja, hahaha.

Di Bogor ada satu restoran/ cafe yang menyediakan menu berbahahan dasar macaroni. Restoran berplang nama Macaroni Panggang (MP) ini ada di Jalan Salak 24 Bogor. Bangunan berasitektur klasik ini juga menyediakan menu lain seperti Cinnamon Cake, steak tempe, dan juga Apple Pie. Tapi tetap, yang juara adalah macaroni panggangnya. Dekorasi dan tata ruang MP ini juga menyenangkan, plus rimbun karena banyak pohon. Suasananya temaram dengan nuansa romantis. Pas saya kesana banyak orang pacaran sambil suap-suapan macaroni. Haiyah!





Saya datang ke Bogor setelah acara di Jakarta selesai. Waktu itu saya menemui seorang narasumber di bilangan Ampera Raya untuk keperluan majalah Tegalboto. Setelah menginap semalam, esok paginya saya langsung meluncur ke Bogor dengan kereta Pakuan.

Di Bogor, saya dijemput Tante Arie, saudara saya yang gaul dan sudah punya 3 orang buntut. Reputasinya sebagai penjelajah kota dan penikmat kuliner membuat saya yakin kalau saya akan diajak mencicipi makanan khas Bogor.

Benar saja, saya diajak beli macaroni panggang. Sepertinya Bogor tak lagi menjadi kota asinan, dan akan segera berubah jadi kota macaroni. Setelah menunggu reda hujan yang turun seharian, saya dan Tante Arie pergi ke MP. Tante Arie lalu membungkus dua buah macaroni panggang spesial ukuran medium. Yeah! Karena Tante dan anak-anaknya tak ada yang suka macaroni (atau sudah bosan?), jadinya dua buah macaroni itu saya habiskan sendiri, hehehe.

Macaroni panggang ala Bogor ini tampak menggoda dengan topping taburan keju cheddar yang berwarna kuning kecoklatan karena sudah dipanggang. Ketika dipotong, melumerlah macaroni yang bercampur dengan cacahan daging, keju,dan jamur. Macaroninya lembut, memberikan aksen lumer di lidah dan dinding tenggorokan. Paling enak dimakan hangat dengan campuran saus pedas, bisa bikin hangat di tengah Bogor yang dingin dan hujan terus menerus.


Tante Arie, ayo traktir aku macaroni panggang lagi! :)


N.B: Saya makan macaroni panggang di Bogor ini sudah lama banget kejadiannya, tanggal 29 Januari 2008. Hanya saja, macaroni panggang dan Bogor ini belum pernah saya tulis sebelumnya. Beberapa hari lalu seorang saudara baru datang dari Bogor dan membawakan saya satu buah macaroni panggang. Sembari makan dengan lahap, saya jadi ingat Bogor dan keluarga Tante Arie, jadilah saya menulis tulisan ini. Makasih ya tante Arie buat jamuan hangat yang menyenangkan :)

Jumat, 03 Desember 2010

Launching Majalah Tegalboto XV: Abnormalitas


Puji Jim Morrison dan segala jamaah agama bernama Rock N Roll. Akhirnya majalah Tegalboto edisi XV yang bertema Abnormalitas selesai. Setelah berbagai kejadian yang menguras air mata, majalah ini hadir juga diantara ruang baca kita. Yeah!

Bagi yang sudah punya pacar, belum punya pacar, lagi ngegebet, lagi ngerayu (kayak si Arman Dhani, ngerayu mulu kagak dapet-dapet), atau lagi baru putus cinta, daripada malam minggu dihabiskan dengan kegiatan gak jelas, mending datang aja ke acara launching majalah Tegalboto.

Acaranya diadakan hari Sabtu, tanggal 4 Desember 2010. Tempatnya di cafe Gubug yang ada di jalan Rotawu. Ancer-ancernya, jalan kecil di depan Gereja Karimata Jember. Gratis. Yang bayar cuma makanan sama minuman yang kalian pesan, hehehe.

Wanna (or should I say, Dare) to play?

Kamis, 02 Desember 2010

Happy Psychedelic Birthday, John!




Suatu sore di sebuah ruang tamu rumah pinggir pantai di Venice. 4 orang pria dan 2 orang perempuan berada disana. Para pria itu memainkan musik yang terdengar aneh. Tak ada pemain bass dalam band mereka. Musiknya terdengar liar, dengan suara vokalis yang berat.

Sang drummer matanya tampak nyalang, dengan rambut yang berombak, dia memukul drum dengan penuh penjiwaan. Tiba-tiba dia berhenti memainkan drumnya.

"Ada apa?" tanya pemain synth yang memakai kacamata itu.

"Kedengarannya jelek" keluh sang pemain drum itu.

"Tak apa, tetap mainkan musik seperti itu. Kita mainkan bossanova" lanjut sang pemain synth.

Melihat suasana yang tidak enak itu, dua perempuan yang ada di ruangan itu segera keluar, diikuti dengan tatapan dan helaan nafas para pemain band.

"Aku punya ide, dari nada a minor dan f " kata sang pemain gitar memecah keheningan dan lantas mengeluarkan sobekan kertas dari sakunya. Dia memainkan gitar sembari bersenandung pelan.

"You know that it would be untrue..." gumamnya sembari terus memainkan gitar Gibson SG berwarna merah itu.

"Hei, itu bagus" kata pemain synth.

"Aku kasih judul Light My Fire" sahut pemain gitar yang tak pernah memakai pick gitar ketika bermain.

"Seperti musiknya Byrds, tapi aku suka, mungkin perlu sedikit sentuhan latin" kata sang drummer tampak senang.

"Ada lanjutan liriknya?" tanya sang vokalis sembari menatap si gitaris. Yang ditatap menggeleng pelan.

"The time to hesitate is through. No time to wallow in the mire..." nyanyi sang vokalis berimprovisasi.

"Oke, kasih aku waktu buat memikirkan intro lagunya" kata sang pemain synth lagi. Dia sepertinya otak dari band ini. Lantas dia kembali menekuni jejeran tuts synthesizer-nya.

"John, hitung sampai empat" pemain synth itu memberikan perintah pada si drummer.

John yang dimaksud adalah John Densmore. Mereka berempat adalah The Doors.

***

Lahir di Maine pada tanggal 1 Desember 1944, John menghabiskan masa kecilnya di California Selatan.

John belajar musik sedari kecil. Awalnya ia memainkan piano ketika berumur 8 tahun. Setelah bisa memainkan piano, ia mencoba untuk memainkan alat musik lain. Pilihannya jatuh pada clarinet. Tapi seorang dokter gigi melarang John untuk memaikan alat musik tiup, karena itu akan mempengaruhi pertumbuhan giginya yang sedang diberi kawat gigi.

Dunia musik seharusnya berterimakasih pada sang dokter gigi tersebut. Karena sejak itu, John meneguhkan niat untuk belajar drum.

John remaja menggemari jazz. Dia menggemari permainan drum Elvin Jones, yang terkenal sebagai pemain drum John Coltrane. Hal itu menjelaskan kenapa permainan John sangat powerful, menyentak, sekaligus mengejutkan, penuh improvisasi, seperti sang idolanya.

Lantas dia bertemu dengan Robby Krieger, seorang gitaris bergaya flamengo yang juga ahli bermain bottle-neck slide guitar. Keduanya mulai menulis lagu bareng dan membuat band dengan nama Psychedelic Rangers. Saat itu lah John bertemu dengan pemain keyboard yang berasal dari Chicago, Ray Manzarek. John dan Ray saat itu bermain dalam sebuah band bernama Rick and the Ravens. Anggota band itu terdiri dari John, Ray dan para saudaranya, serta seorang pemalu berwajah rupawan bernama Jim Morrison, yang dikenal Ray dari sekolah film UCLA.

Suatu ketika, saat saudara Ray meninggalkan band, John mengajak Robby untuk mengisi posisi gitaris. Empat orang formasi The Doors terbentuk sudah. Sayangnya, mereka masih belum menemukan pemain bass.

"Saat itu kami tidak bisa mendapatkan pemain bass. Kita sudah mencoba satu atau dua kali, tapi kita malah terdengar seperti Rolling Stones. Band blues kulit putih. Ah, perduli setan dengan pemain bass. Kita ingin jadi berbeda" kenang John dalam suatu wawancara.

Maka selanjutnya terjadilah apa yang disebut dengan sejarah. The Doors terbentuk, dan mereka tercetak dengan tinta emas dalam sebuah buku besar bernama Rock N Roll.

Aksen permainan John membuat The Doors lebih berwarna. Permainan jazz dan bossanova yang diperagakannya membuat nuansa musik Doors menjadi lebih kaya, tidak melulu blues dan psikedelik.

"Saat kita memainkan Break on Through, aku memasukkan beat dari Girl from Ipanema. Hasilnya adalah beat bossanova dengan rasa rock n roll. Terdengar sangat rileks, tapi aksennya rapat. Sensual sekaligus membebaskan" kata John mengenai lagu yang dimainkan di awal terbentuknya The Doors. Sebuah lagu yang awalnya dia bilang tidak bagus.

Kekuatan John terletak pada kedinamisan permainan drumnya. Dia bukanlah tipikal pemain drum yang bermain dengan kecepatan dan double pedal yang menghentak. Baginya itu semua tidak penting. Dia adalah tipikal pemain drum yang tidak kagok dengan improvisasi.

Seperti yang kita tahu, improvisasi itu sangat diperlukan untuk bisa bermain dengan Jim Morrison yang liar dan tak dapat ditebak.

John juga meneguhkan peran drummer sebagai bagian penting dalam musik, sangat penting malah.

"The drum was the first fucking instrument. The reason people move and dance is that they're trying tho get back to that hearbeat." katanya tegas.

Dalam film The Doors yang disutradarai Oliver Stone, diperlihatkan bagaimana dinamisnya John. Ketika bermain di Whisky A Go Go dan membawakan The End, tiba-tiba saja Jim merepet, meracau. John tampak bingung, berusaha menoleh ke Ray, tapi ia sedang asyik bercinta dengan syntesizernya sembari memejam mata dan menggelengkan kepala. Akhirnya John bermain mengikuti arus, mengikuti gejolak Jim yang menggeliat kesana kemari.

"Yang paling penting itu adalah dinamik. Hal itu berasal dari penggabungan antara fortissimo (beat yang sangat keras) dan pianissimo (beat yang sangat pelan), dan semua yang ada diantara dua beat itu. Itulah musik. Seperti di The End, ketukan drum bisa sangat pelan, lantas bam-bam! Aku menghantam tom-toms" kenang John ketika memainkan drum di lagu The End, sebuah lagu kematian bernuansa purba nun fantastis yang berdurasi hampir 12 menit. Di lagu ini, tampak sekali permainan drum John yang mengalir mengikuti arus yang dibawa oleh Jim dan menghantam semua tembok tebal bernama metode bermain drum yang baik dan benar.

Sayang, persona magis Jim Morrison rupanya terlalu kuat dan mengubur semua kejeniusan 3 pemain Doors yang lain. Ketika Jim meninggal, maka Doors pun ibarat kapal yang ditinggal nahkodanya. Oleng, dan lantas karam pada tahun 1973.

Bubarnya Doors tidak menghalangi John untuk tetap bermain musik. Pada tahun 1973, setelah bubarnya Doors, John membentuk band beraliran reggae bernama The Butts Band bersama Robby Krieger. Mereka bermain reggae sebelum genre musik itu membawa dampak kultural pun sosial di Amerika.

"Saat itu kita sedang berada di Jamaika sebelum Reggae datang kesini (Amerika)" kata John.

"Para jenius reggae seperti Marley dan Jimmy Cliff membawa reggae ke Amerika setelah kita, barulah setelah itu mereka menciptakan dampak besar. Kita bahkan sudah memainkan musik reggae di Amerika sebelum Clapton memainkan ulang "I Shot the Sherrif" dan The Police (juga bermain reggae)" kenangnya.


Sayang, setelah dua album, band "pantat" ini bubar pada tahun 1975.

Tahun 1978, tujuh tahun setelah kematian Jim dan lima tahun setelah bubarnya The Doors, tiga anggota Doors yang tersisa bereuni untuk album An American Prayer, album yang berisikan pembacaan puisi oleh Jim. Aslinya pembacaan puisi itu direkam pada tahun 1969 dan 1970. Musik di album ini diisi oleh Ray, John, dan juga Robby.

Setelah itu selamat tinggal pada Rock N Roll, karena setelah itu John beralih pada dunia dansa dan teater. Dia bergabung dengan Bess Snyder and Co, lalu berkeliling Amerika Serikat selama dua tahun.

Dunia barunya ini ternyata menyenangkan. Pada tahun 1985, dia memenangkan penghargaan LA Weekly Theater Award saat bermain di Methusalem yang disutradarai oleh Tim Robbins.

"Hal itu sungguh menyenangkan. Ada aura teater jalanan. Aku merasa kembali ke era 60-an" ujarnya bersemangat.

Setelah perpindahan dunia yang dramatis itu, John kembali ke dunia yang membesarkan namanya, rock n roll. Dia mengerjakan biografi berjudul Riders on the Storm: My Life With Jim Morrison and The Doors, yang lantas diterbitkan pada tahun 1990. Buku itu mendapatkan apresiasi yang bagus dari berbagai media, termasuk The New York Times Book Review dan USA Today.

John dan Robby lalu menjadi penasihat tekhnis untuk film The Doors. Mereka berdua terkesan dengan akting Val Kilmer yang memainkan Jim. Tapi mereka tidak suka filmnya secara keseluruhan.

Tahun 2006, John kembali ke akar musik jazz yang ia tekuni semenjak muda. Ia dan band barunya, Tribaljazz, merilis album pertama mereka.

Tahun 2010, tanggal 1 Desember, John Densmore berusia 66. Usia yang sudah cukup tua untuk menggebuk drum. Tapi sepertinya ia tak pernah lelah. Kerut di mukanya bertambah banyak, begitu pula ubannya. Tapi John tetap saja man of the heartbeat.

Beberapa waktu lalu, saya menonton film dokumenter mengenai The Doors yang berjudul When You're Strange yang disutradarai oleh Tom Di Cillio. Saya menyukai gaya John ketika keluar dari pintu bandara untuk menuju pesawat.

Seorang bertanya padanya. Name, age, dan occupation.

"John Densmore, 23, percussion" katanya tersenyum. Sebuah angka yang disebutnya 43 tahun lalu. Siapa yang menyangka ia masih bisa menghantam tom-tom dengan keras hingga sekarang.

Selamat ulang tahun John Densmore!


Sembari mendengarkan semua album The Doors
Saya resmi mabuk The Doors (lagi) sore ini

Rabu, 01 Desember 2010

Ranca Buaya

Saya dan Ayos pergi jalan-jalan mengelilingi Jawa Barat pada medio Januari. Dengan tema Wild Wild West, kami berharap akan mendapatkan petualangan liar yang sesekali disertai dengan pantai-pantai bagus.

Ternyata petualangan kami tak seliar yang dibayangkan. Pun, pantai yang kami kunjungi tak ada yang bagus. Tapi traveling itu tak melulu mengenai pantai bagus, melainkan momen dan proses yang terjadi ketika traveling itu lah yang paling penting.

Kami berdua mendapatkan banyak cerita di perjalanan yang berlangsung selama hampir 2 minggu ini. Berangkat dari Surabaya, menuju Bandung, lalu ke Garut, Tasikmalaya, Sukabumi, balik ke Bandung lagi, lantas berakhir di Jakarta. Sebenarnya kami ingin pergi ke Cirebon, apa daya waktu kami tak cukup. Ya sudahlah, Cirebon disimpan buat lain kali saja.

Banyak tempat yang kami kunjungi di tanah Parahyangan ini. Ada hulu sungai Citarum yang kami kunjungi dengan beberapa kawan Wanadri. Lantas Curug Malela, dimana kami mendapat teman berpetualang yang baru: Maya, Fanny, dan Aruna. Di Garut kami pergi menuju Ranca Buaya naik angkot neraka seharga 35 ribu (apa 50 ribu ya? saya lupa, hehehe). Disebut angkot neraka karena jalan yang kami lewati itu berkelok-kelok, tipikal jalanan pegunungan, dan supirnya mengebut ugal-ugalan seperti baru saja ditalak tiga oleh sang istri muda.

Ranca Buaya adalah sebuah pantai yang terletak di daerah Garut Selatan, tepatnya di Kecamatan Caringin, sekitar 100 km dari pusat kota Garut.

Nah di Ranca Buaya ini ada banyak cerita seru. Kami numpang nginap gratis di rumah pak Kades yang ternyata mantan supir pribadi seorang menteri di jaman Orde Baru. Orang-orang sana sungkan sama pak Kades ini karena konon dia dulu adalah preman desa. Kami menginap 3 hari 2 malam dengan gratis. Fasilitas itu masih ditambahi dengan makan gratis, hehehe. Pak Kades, semoga anda sekeluarga sehat disana :)

Oh ya, berbicara mengenai Ranca Buaya, ada sebuah spot menarik yang ditunjukkan oleh anak pak Kades yang masih berumur 9 tahun. Spot ini berupa padang rumput yang terletak di sebuah tebing. Jika kamu berdiri di spot ini, maka terlihatlah Samudra Hindia yang luas membentang. Ombak di bawah kita berkejaran dan menimbulkan buih serta suara yang magis. Belum lagi kalau kamu duduk dan menyaksikan matahari terbenam yang mempesona. Uh, rasanya tak ingin pulang.



Sayang tak ada penerangan di spot ini, hanya ada sebuah gazebo tempat bersantai. Kata Pak Kades, nanti tempat itu akan dipercantik lagi. Semoga ketika saya kesana lagi (entah kapan) tempat itu tambah bagus dan tetap terawat.

Ranca Buaya sendiri bukan tipikal pantai berpasir putih dan air laut yang biru nan bening. Ia adalah tipikal pantai selatan yang berombak besar dan berpasir coklat kehitaman. Tapi itu tak mengurangi keindahannya. Ranca Buaya mempunyai keeksotisannya sendiri.

Pantai ini sempat disebut Dewi Lestari di Perahu Kertas. Saya sendiri baru tahu ketika baca novel ini beberapa bulan setelah berkunjung ke Ranca Buaya. Di novel itu dia menyebutkan spot bagus yang bisa memandang ke lautan lepas. Tapi entah, apa spot yang ia maksud adalah spot yang sama dengan spot tempat kami berdiri.

Ah, saya jadi kangen Ranca Buaya. Kesana lagi yuk.


Mastrip
Sembari mendengarkan Shake Your Money Maker
dan The Southern Harmony and Musical Corporation
The Black Crowes rule!