Selasa, 30 September 2014

Kisah Manusia dari Tabula Rasa



Kemarin malam akhirnya saya bisa menonton Tabula Rasa. Film ini sudah menarik rasa penasaran saya kala trailernya berseliweran di linimasa Twitter beberapa waktu lalu. Jarang ada film Indonesia yang berkisah tentang kuliner. Seingat saya baru Brownies yang melakukannya. Itu pun lebih banyak berkisah tentang drama cinta.

Tapi Tabula Rasa berbeda. Dalam trailernya, jelas kalau film ini berkisah tentang kuliner Minang. Dan kala sebuah film mengangkat kuliner sebagai tema sentral, maka mustahil untuk abai terhadap kisah manusianya. Karena film tentang makanan pasti berkisah tentang manusia. Makanan, gastronomi, adalah karya adiluhung manusia.

Di belahan dunia lain, ada banyak film luar biasa bagus mengenai kuliner. Mulai Big Night, Tampopo, Eat Man Drink Woman, Soul Kitchen, The God of Cookery, Tonight's Special, Mostly Martha, hingga Jadoo King of Curry. Semua selalu berkisah soal manusia. Kisah makanan ini juga menerabas genre film. Komedi ada. Drama ada. Thriller juga ada.

Makanya sangat disayangkan kalau di Indonesia belum ada film bagus soal makanan. Padahal siapa yang bisa menyangkal keberagaman kuliner di Indonesia? 

Keberagaman juga menjadi benang merah yang menjalin cerita Tabula Rasa. Film besutan Adriyanto Dewo ini mengisahkan tentang Hans, seorang pemuda asal Serui, Papua, yang punya bakat dalam sepak bola. Suatu hari ia diundang untuk bermain di sebuah klub bola asal Jakarta. Ia pun memutuskan untuk berangkat ke ibu kota. Tapi di sana semua mimpi Hans hancur lebur. Kakinya patah. Klub tak mau bertanggung jawab. 

"Mereka membuang saya seperti sampah," katanya.

Hans pun jadi gelandangan. Mengumpulkan ceceran beras untuk ditukar dengan uang receh. Hanya cukup untuk beli tempe goreng. Hans kumel. Jarang mandi. Bajunya sobek-sobek. Suatu hari Hans berniat bunuh diri. Tapi ia terpeleset dan jatuh pingsan. Lantas ia ditemukan oleh Mak, seorang pemilik lapau Padang bernama Takana Juo.

Sejak itu jalan hidup Hans berubah. Ia bertemu dengan Uda Parmanto, juru masak Takana Juo; dan Natsir, pelayan Takana Juo. Di pertengahan kisah, Hans mulai belajar memasak masakan Padang. Mak dengan senang hati mengajari resep andalannya. Mulai dendeng batokok hingga gulai kepala ikan.

"Masak gulai kepala ikan ini seperti ziarah bagi Mak. Hans janji ya, kalau masak gulai kepala ikan juga harus menganggap ini sebagai ziarah," kata Mak pada Hans yang berdiri dan menyimak dengan takzim.

Menyaksikan Tabula Rasa juga menyaksikan kisah manusia. Betapa rasa itu universal. Makanan bisa menyatukan manusia. Tak peduli rasmu. Tak peduli apa agamamu. Makanan enak yang dimasak dengan cinta, bisa membuatmu tergugah. Seperti misalkan kala Hans pertama kali mencicipi gulai kepala ikan yang sama sekali asing baginya. 

Saya puas menonton film ini, terlepas dari beberapa kekurangan teknis yang wajar belaka. Saya seperti diajak masuk ke dalam pasar oleh Mak. Diajari cara mengulek bumbu. Bagaimana memasak dan memperlakukan makanan. Mak seperti guru yang sangat baik, yang mengajari para penonton betapa pentingnya perhatian kecil pada makanan.

"Mahal sedikit tak apa lah, asal lamak (enak)."

"Lidah orang Minang itu nomer satu."

"Masak rendang itu harus sabar."

"Bisa pakai kompor gas, tapi hasilnya tak akan seenak kalau memakai kayu bakar."

"Bawang impor ini lebih murah, tapi rasanya hambar. Bawang lokal ini lebih mahal, dan rasanya lebih tajam."

"Kamu bingung kenapa bawang lokal lebih mahal ketimbang impor? Sama, Mak juga bingung."

Penampilan Jimmy Kobogau juga sangat menghibur. Ia polos. Lucu. Celetukannya berulang kali membuat saya tertawa keras. Ramdan Setia yang berperan sebagai Natsir juga tampil lugas, jadi partner yang seimbang bagi Jimmy. Mereka berdua acap terlibat percakapan yang memancing gelak.

Belum lagi adegan memasak yang sukses membuat cacing di perut memainkan orkestra keroncong. Adegan paling sadis ya kala Mak membakar daging dendeng batokok. Dendeng yang berwarna cokelat pucat dengan aksen hitam hasil panggangan itu lantas diguyur lado hijau, alias sambal cabai hijau.

Biadaaaaabbbb!

Malangnya, film ini sepertinya kurang ramai penonton. Bisa jadi karena nyaris nihil bintang film terkenal. Tak ada nama yang familiar bagi penonton, terutama yang berusia muda. Jelas kalah jauh jika dibandingkan dengan film yang dirilis dalam waktu berdekatan dan bertabur nama bintang terkenal, seperti Haji Backpacker misalnya. Padahal dari segi tema dan cerita, Tabula Rasa jauh lebih unggul.

Kemarin malam, pemutaran hari keempat, film ini hanya ditonton oleh 13 orang saja, termasuk saya dan Rani. Saya sengaja menghitungnya. Sayang sekali. Padahal film ini bagus.

Jadi saran saya: kalau film ini masih ada di bioskop terdekat dari tempat kalian, segeralah menonton. Sebelum film ini turun layar karena sepi penonton. []

Senin, 29 September 2014

Nonton Ari dan Reda



Akhirnya bisa melihat Ari dan Reda manggung. Ada masa-masa dimana lagu mereka, musikalisasi puisi Sapardi Djoko Damono, mengalun terus-terusan di ruang redaksi Tegalboto.

Duo yang dibentuk di kampus UI ini sudah berubah banyak sepertinya. Saya selalu membayangkan Reda adalah perempuan berambut panjang. Entah kenapa. Ini bayangan ngawur saya saja. Ternyata rambut Reda pendek. Dengan kacamata dan pakaian kasual yang membuatnya tampak santai. 

Sedang Ari, saya sudah pernah lihat fotonya. Rambutnya agak panjang dan berombak. Ternyata Sabtu malam itu, rambutnya sudah pendek. Ia tampak lebih rapi dengan kemeja denim.

Selain anak-anak muda yang memadati Coffeewar malam itu, ada beberapa lelaki perempuan paruh baya. Dari percakapan mereka, tampaknya Ari dan Reda adalah kawan mereka sedari kuliah dulu. Nostalgia jadinya. Hehehe.

Sayang Coffeewar tak sanggup menampung luberan penonton. Banyak yang akhirnya berdiri di luar. Termasuk saya dan Rani. Tapi kami lumayan menikmati pertunjukan syahdu itu. Lampu remang. Suara musik mengalun lembut. Asoy bener. Sayang beberapa kali motor dengan knalpot berisik lewat dan memecah kesyahduan malam itu.

Oh ya, parkir malam itu Rp 5.000. Edan ya? Padahal beberapa kali saya nonton acara musik di Coffeewar tak pernah semahal itu. 

Ah, semoga saya dan Rani bisa menonton Ari dan Reda lagi di tempat yang lebih besar, lapang, dan tenang. []

Jumat, 26 September 2014

Pergilah dengan Tenang

Foto terakhir saya di Kansas. Waktu yudisium, 2011.


Di pojokan kampus, ada sebuah ruangan kecil yang nyaris tak pernah sepi. Kami, para mahasiswa Fakultas Sastra, menyebutnya sebagai Kansas. Kantin Sastra. Sepertinya julukan ini melekat hampir di semua kantin Fakultas Sastra, di seluruh Indonesia. 

Kansas kami kecil saja. Cuma ada beberapa bangku saja. Karena itu ada meja dan bangku di halaman luar. Saya biasanya lebih suka di luar. Adem. Banyak pohon. Hanya ada satu orang yang berjualan. Kami semua memanggilnya Ibuk. Dia berjualan makanan rumahan. Juga aneka kopi. Kadang ada gorengan dan kue.

Kalau ada kuliah pagi, saya selalu mampir ke Kansas. Beli secangkir Energen. Menunggu jam kuliah datang.

Sebenarnya tak ada yang spesial dari Kansas kami. Tak ada kursi yang cozy. Tiada sambungan internet nirkabel. Apalagi pendingin udara. Yang berjualan pun hanya satu orang saja. Jelas kalah dibandingkan dengan kantin fakultas lain.

Tapi yang membedakan Kansas dengan kantin lain adalah: hanya di Kansas dosen dan mahasiswa ngopi bareng. Tanpa sekat. Tanpa perbedaan status. Tak ada kantin kampus yang bisa begini. Tak heran, banyak kawan-kawan saya dari fakultas lain kaget begitu mengetahui Pak Ayu Sutarto, Guru Besar Universitas, ngopi dan gojekan dengan para mahasiswa atau dosen lain. Pak Ikhwan, dosen muda kebanggaan kampus pun hampir tiap hari nongkrong dengan para mahasiswa di Kansas.

Ini yang selalu kami banggakan. Banyak mahasiswa dari kampus lain ikut ngopi di Kansas. Ya untuk sekedar merasakan atmosfer sonder sekat antara dosen dan mahasiswa. Karena dosen dan mahasiswa ini acap berdiskusi serius, malah kadang berdebat. Semacam kuliah informal.

Sayang, kabar buruk datang beberapa waktu lalu: Kansas ditutup. Ini kabar sedih kedua setelah Panggung Terbuka dibongkar waktu saya kuliah dulu.

Banyak yang heran kenapa Kansas ditutup. Saddam, kawan saya yang juga punggawa Pers Kampus Sastra, Ideas, sampai menulis surat terbuka kepada Pembantu Dekan II. Menanyakan kenapa Kansas harus ditutup.

Tak ketinggalan, para dosen pun juga menulis kritik. Tapi tak ada tanggapan sama sekali. Hingga akhirnya beberapa hari lalu situs Ideas menuliskan tanggapan Pembantu Dekan II.

Alasannya pun ultra klise dan bisa ditebak: harga terlalu mahal.

Prett!

Ini aneh sekali. Pertama, andaikan benar harga mahal, apa urusan Pembantu Dekan II? Yang bayar makanan ya para mahasiswa sendiri. Kedua, Kansas sudah ada sejak lama. Kalau memang alasannyanya adalah harga yang mahal, kenapa tak ditutup dari dulu?

Alasan lain: tempatnya terlalu kecil.

Prett lagi!

Lah, kalau misal si Pembantu Dekan II merasa Kansas terlalu kecil, kenapa tak diperbesar? Sungguh sebuah solusi bodoh jika ada ruangan yang terlalu kecil malah ditutup. Dari dulu, sejak orang mengenal peradaban dan bisa membangun sesuatu, hukum bangunan selalu tetap: kalau kecil ya diperbesar. 

Tentang alasan yang terkesan sangat mengada-ada ini, dosen yang saya kenal memberikan sedikit bocoran. Para penguasa kampus kami, merasa terganggu dengan dekatnya dosen dan mahasiswa yang sering berkumpul di Kansas. Insecure. Takut didemo. Takut didongkel dari tampuk kekuasaan. Penyakit penguasa memang selalu sama dimana-mana: paranoid!

Banyak orang yang kecewa dan marah dengan ditutupnya Kansas. Apalagi para alumnus. Kansas menyimpan banyak kenangan untuk mereka. Sangat banyak kenangan. 

Tapi ya mau gimana lagi. Kami sudah lulus. Sudah tak ada kuasa untuk protes. Paling ya cuma ngomel di tulisan, seperti ini. Atau mengenangnya dengan obrolan-obrolan nostalgia. Entah apa yang akan dilakukan para Mahasiswa Sastra terkait ditutupnya Kansas ini.

"Lha jangankan soal Kansas, soal akreditasi kampus yang tertunda para mahasiswa diem aja kok," kata Pak Ikhwan, dosen idola para mahasiswa.

Padahal Kansas tempat yang sangat penting sebagai tempat bertemunya mahasiswa dan dosen. Terkadang ada banyak yang bisa dipelajari di sini yang tak bisa didapat di kelas. Kapan lagi mahasiswa bisa ngobrol santai, tanpa jarak, dengan para dosen?

Ya semoga saja Kansas akan ada lagi. Entah kapan. Semoga saja...[]

Kamis, 25 September 2014

Dalam Bis

Saya pertama kali dengar nama Reda Gaudiamo kala ia melantunkan musikalisasi puisi Sapardi Djoko Damono. Ia bersama seorang penyanyi lain, Tatyana, mengajak rombongan maestro: Jubing dan Umar pada gitar; Budjel Dipuro meniup flute; Mark Willianto memainkan bass; dan Henri Lamiri menggesek biola. Album berjudul Gadis Kecil itu dirilis pada tahun 2005.

Mereka menggubah puisi Sapardi. Ditambahi musik. Jadi keren sekali. Puisi-puisi seperti "Hujan Bulan Juni", "Aku Ingin", "Sajak Kecil Tentang Cinta", hingga "Dalam Bis" jadi punya nuansa yang baru. Terbebas dari puisi. Menjelma jadi lagu yang indah.

Gadis Kecil diputar teramat sering di komputer sekretariat Tegalboto selama berminggu-minggu. Saat menulis. Membaca. Mengedit. Hingga menyelesaikan skripsi. Lagu Reda dan Tatyana mengalun sendu. Sejenak, Tegalboto jadi kalem. Lepas dari playlist brandalan.

Lagu favorit saya adalah "Dalam Bis". Permainan Jubing dan Umar begitu indah dan padu. Permainan gitar mereka seperti mengajak kita ngobrol. Belum lagi ditimpali suara Reda dan Tatyana yang memang empuk itu. Dan gesekan Henri, mantan pemain biola grup Arwana, mengalun dengan cantik dan elegan. Kalau mendengar lagu ini, juga membaca dan menirukan lariknya, kita bakal berasa jadi orang paling romantis sedunia.

Sebermula adalah kata
Baru perjalan dari kota ke kota
Demikian cepat, kita pun terperanjat
Waktu henti, ia tiada








Rabu, 24 September 2014

Setelah Yogyakarta...

Sejak Februari, saya terpaksa melambaikan tangan perpisahan dengan Yogyakarta. Kota yang saya tinggali selama kurang lebih 3 tahun itu memberikan banyak kenangan pahit dan manis. Saya bakal rindu kota yang selalu menyenangkan kala malam sudah menjemput itu. Angkringan. Konser keren gratis. Warung kopinya. Bakmi Jawa plus uritan. Hingga kawan-kawan baik yang masih banyak di sana.

Perpindahan saya jadi terasa lebih pahit karena yang menunggu adalah kota yang pernah saya benci. Teramat sangat. Jakarta.

Saya masih ingat kenangan tahun 2007 ketika pertama kali datang ke Jakarta. Naik kopaja yang masuk dalam gang sempit. Memencet klakson keras-keras supaya orang tak tergencet. Demi Toutatis!

Kota Jakarta, bagi saya, tak menjanjikan apapun kecuali kesengsaraan. Kota sonder romantisme. Menihilkan kemanusiaan. Macet panjang. Banjir. Kriminalitas. Semua yang kau butuhkan untuk latar cerita dystopian, bumi menjelang kiamat, ada di Jakarta.

Kenapa saya harus meninggalkan kota Yogyakarta yang gemah ripah loh jinawi, untuk pergi ke Jakarta yang bengis dan mengerikan?

Ceritanya saya diterima kerja di sebuah majalah baru, The Geo Times. Dua orang punggawanya adalah jurnalis senior yang saya kagumi: Farid Gaban dan Rusdi Mathari.

Mas Farid, saya mengenal namanya waktu ia berkeliling Indonesia dengan menggunakan sepeda motor. Setelahnya, saya asyik membaca banyak artikel dan esai buatannya. Buku Dor! Sarajevo yang ia tulis saat mengunjungi Sarajevo kala perang saudara, adalah karya jurnalistik yang mengagumkan. Masih relevan, penting, dan enak dibaca hingga sekarang.

Sedangkan Cak Rusdi, adalah wartawan senior yang sangat dikagumi karena keteguhannya memegang prinsip jurnalimse. "Jurnalistik, wartawan, itu bukan sekedar pekerjaan, Nuran. Itu seharusnya sudah mengalir dalam nadi," katanya pada saya suatu ketika. Akan sangat panjang kalau saya bercerita tentang pria gondrong asal Situbondo ini.

The Geo Times menjanjikan pada saya sebuah kesempatan belajar. Setahun terakhir saya di Yogyakarta, saya nyantri pada mas Puthut EA. Mendapatkan banyak pelajaran darinya. Itu mungkin salah satu fase hidup paling berharga dalam hidup saya. Dan saat ada kesempatan belajar yang lain, Mas Puthut menyilahkan saya untuk mengejarnya. Ia bahkan memberikan referensi soal saya pada Cak Rusdi.

"Tapi aku minta satu hal, Ran. Selesaikan kuliahmu, jangan ditinggal," kata Mas Puthut di malam saya pamitan untuk pergi ke Jakarta.

Saya mengangguk yakin.

***

Setelah menikah dengan Rani di bulan April, kami berdua tinggal di rusun Berlian Tebet. Ini pilihan yang masuk akal. Baik dari jarak tempuh ke tempat kerja, hingga harga.

Rani kerja di daerah Kuningan. Sedang kantor saya di Menteng. Secara geografis, Tebet adalah daerah yang paling dekat dengan kantor kami. Kalau ke Kuningan, Rani hanya perlu jalan sebentar lalu naik angkot 44. Cuma butuh 5 menit perjalanan saja. Sedangkan saya naik motor ke kantor cuma butuh waktu 10 hingga 15 menit.

Sayangnya, Tebet adalah daerah ramai. Termasuk daerah berkumpulnya anak muda. Ada banyak distro. Restoran. Kafe. Karena itu harga sewa bangunan mahal. Kami berdua sempat mendegut ludah kala melihat sebuah rumah petak kecil, suram, dan sedikit menyeramkan, disewakan dengan harga 29 juta/ tahun. Edan.

Kos juga bukan pilihan yang bijak. Kami ingin punya dapur. Jadi bisa masak sendiri agar lebih hemat. Setelah mencari-cari, akhirnya pilihan kami jatuh di rusun. Harganya hampir separuh kontrakan rumah petakan. 

Kami betah di rusun ini. Apalagi satu komplek dengan masjid. Jadi saya bisa lebih rajin beribadah. Prettt! Siksaannya cuma waktu air galon habis dan kami belum tahu jasa antar galon. Jadi saya harus naik tiga lantai sambil bawa galon yang beratnya biadab itu. Tapi sekarang sudah ada tukang antar galon. Jadi saya terhindar dari siksaan maha berat itu.

Tikus sih pasti ada. Besar-besar pula. Ukuran yang bisa membuat kucing pontang panting ketakutan. Satu dua kali ada tikus masuk ke rumah. Entah dari mana mereka masuk. Padahal semua pintu sudah ditutup rapat.

"Aku kemarin nangkap tikus. Gede banget. Seukuran telapak tangan," kata Rani suatu ketika, waktu saya sedang ada di Riau.

Karena sudah biasa lihat tikus, kami sering iseng memberi nama untuk hewan imut ini. Mulai Joni, Miki, sampai Eksel (versi Betawi dari Axl). Selo tenan cuk.

Dan sampai sekarang kami betah-betah saja tinggal di rusun Tebet. Banyak orang menyarankan kami untuk beli rumah di daerah Depok atau Bogor. Kami menggelengkan kepala dulu. Kami punya pertimbangan sendiri soal tempat tinggal.

Alasan pertama: beli rumah itu tak gampang. Kami masih harus mengumpulkan uang dulu untuk uang muka. Padahal sebagai pasangan baru, kami masih tertatih soal finansial. Membeli rumah jelas ada dalam bayangan kami. Itu wajib. Tapi tak sekarang.

Selain alasan itu, alasan utama kami menolak tinggal di Depok atau Bogor adalah: kami tak mau tua di jalan.

Depok ke Jakarta Selatan, ke kantor kami, bisa makan waktu 1 hingga 3 jam. Itu kalau naik bis di jam kantor. Kalau naik motor 1 jam. Naik kereta bisa lebih singkat, tapi dengan resiko tergencet dan jadi sarden dalam kaleng tua bernama KRL.

Belum lagi faktor kami masih suka nongkrong dengan kawan sepulang kantor. Kebetulan kawan-kawan kami kebanyakan berdomisili di Jakarta Selatan. Jadi kami sering janjian. Kadang kami ngopi sampai pagi. Seperti waktu saya ngopi bareng alumnus UKPKM Tegalboto sampai jam 1 pagi kapan hari. Kalau tinggal di Depok mana bisa janjian seperti itu?

Berdasarkan pertimbangan itu, kami akhirnya memutuskan tinggal dulu di Tebet sementara waktu. Ini tempat yang ideal.

***

Kantor kami berdua adalah kantor anomali. Apalagi kantor Rani.

Semua klien perusahaan teknologi informasi itu berasal dari Amerika Serikat. Saban hari mereka confrence call. Itu artinya, sebagai perusahaan penyedia jasa, kantor itu harus tunduk pada jam klien mereka yang selisih 11 jam.

Jadi Rani masuknya siang, malah sore. Pulangnya malam. Kalau sedang sibuk dan lembur, pulangnya kadang dini hari. Rekor Rani pulang adalah kala adzan Subuh memecah sunyi langit Tebet.

Saya sih tak keberatan sama sekali dengan jam kerja Rani. Santai saja. Malah kadang saya yang jemput dia di kantornya. Soalnya kantor saya juga selo. Saya biasa masuk siang, sekitar jam 11 atau jam 12. Walau mas Farid bertitah agar pekerjanya masuk kantor jam 10 pagi. Tapi bangun pagi rasanya sulit benar. Jadi saya masih masuk jam 11, atau malah jam 12 siang. Kantor saya juga tak ada masalah dengan jam kerja yang fleksibel itu. Asal pekerjaan selesai lah.

Tapi sejak sebulan ini, kantor Rani berubah. Semua karyawan, tanpa terkecuali, diwajibkan masuk pagi. Jam 9 harus ada di kantor. Pulangnya pun normal. Jam 7 malam sudah bisa pulang. Wah itu bencana. Sebab Rani harus melintasi jalan Jakarta yang sedang kejam-kejamnya. Itu siksa neraka dunia.

Sedang saya? Masih santai. Saat saya berangkat jam 11 siang, jalanan sudah sepi. Kala pulang, sekitar jam 9 atau 10 malam, jalan juga sudah lengang. Walau kadang masih ramai karena ada tawuran di sekitar Pasar Rumput atau Manggarai. Hehehe.

Tawuran di dua daerah itu sudah seperti hobi saja. Minggu lalu, tiga hari berturut-turut pecah tawuran. Sekali tawuran bisa tiga jam.

"Sampai bawa pick up segala Bang, kayak mau nonton bola aja," kata seorang tukang ojek di sekitar Pasar Rumput.

***

Orang zaman dulu selalu bilang: jangan berlebihan dalam membenci sesuatu. 

Saya terkena tulah akibat kebencian saya pada Jakarta. Saya 'dipaksa' untuk tinggal di kota yang pernah saya benci penuh seluruh. Dan ya, setelah tinggal di sini, saya belajar untuk mencari sisi romantis Jakarta.

Di kota besar macam Jakarta, yang romantis justru bisa didapatkan dari hal-hal kecil. Seperti menemukan buku langka di sebuah toko buku bekas. Atau makan masakan kampung halaman yang enak dan murah. Juga menghargai ulang pertemuan dengan kawan-kawan. Maklum, kota yang kencang berlari ini membuat bertemu dengan kawan itu susahnya minta ampun. Alasannya beragam. Mulai lembur kantor, jadwal yang bertumbukan, hingga gentar menembus macet.

Setelah tahu sela-sela manisnya kota Jakarta, kota ini jadi mirip kehidupan di komik-komik Mitsuru Adachi. 

Jadi, di sini lah saya sekarang. Mungkin saya dan Rani akan lama tinggal di kota terkutuk-namun-dicintai. Bisa juga cuma satu dua tahun saja. Lalu kemana lagi?

Entahlah... []

Jumat, 19 September 2014

Cerita Ajaib Dari Burhan

"Siap-siap lah bang. Bentar lagi kita off road," kata Burhan Lahai menyeringai.

Saya tersenyum kecut. Dua orang kawan perjalanan lain, Deni dan Iwan, cuma bisa diam. Tapi saya yakin mereka juga pasti deg-degan. 

Benar saja. Beberapa menit selepas jalan aspal terakhir, mobil Taft rongsok-namun-tangguh yang kami naiki sudah mulai bergoyang. Saya dan Iwan yang duduk di bangku tengah mulai tergoncang hebat. Tangan kiri Deni, yang duduk di samping Burhan, erat memegangi hand holder di atas jendela mobil. Burhan sendiri dengan tenang merokok sembari menyetir. Sambil sesekali berkisah ini dan itu. Medan di depan benar-benar tanah merah. 

"Kalau udah hujan, wah beraaaat," kata Burhan.

Untung sudah beberapa hari ini tak hujan sama sekali. Tanah kering. Di beberapa tempat sudah macam berkerak. Tapi tetap saja bukan jalan yang mudah dilalui.

"Berapa lama jalannya kayak gini?" tanya Iwan.

"Ya kira-kira 13 kilo lah bang," jawab Burhan santai.

Kami sama-sama tersenyum kecut. 13 kilometer kalau jalan beraspal, bisa ditempuh dengan singkat saja. Tapi kalau medan buruk macam ini, bisa-bisa 2 jam. Satu dua kali, mobil sudah miring. Macam mau terguling ke samping. Tapi untung tragedi komikal macam itu tak pernah terjadi.

Meski medan cukup menggiriskan, sebenarnya kami tak khawatir sama sekali. Burhan supir yang handal. Ia tipikal supir yang dibesarkan oleh kultur jalanan lintas Sumatera. Ingat: jangan pernah meragukan kemampuan supir yang ditempa di jalanan lintas Sumatera.

Burhan lihai ngebut. Seakan-akan kaki hanya menekan pedal gas. Ia juga mahir bermanuver. Truk-truk besar pengangkut sawit, juga truk yang membawa jeruk dari Medan, ia lewati dengan mudah. Tapi ia tak asal menyalip. Burhan selalu menyalip dengan penuh perhitungan.

Malam sebelumnya, mobil Taft yang kami tumpangi melaju kencang sekali di ruas lintas timur Sumatera. Jalannya naik turun. Tikungannya tajam. Burhan menyetir dengan tenang sembari merokok. Rokok kesukannya adalah Djarum Super. Kadang  A Mild. 

"Saya dulu pernah lewat sini, bawa truk sawit. Eh, truknya kebalik," kata Burhan sembari tertawa.

Jancuk. Maki saya dalam hati. Tapi saya tertawa juga.  Bayangkan, ia mengebut di jalanan yang gelap, dengan kontur jalan yang cukup ekstrim, malah ia bercerita pernah terbalik. Dengan nuansa bangga pula. Hahaha.

Tapi toh kami selamat juga.

Petang terakhir kami di Pematang Reba, mobil kami melaju lagi di medan yang ekstrim. Dan seperti biasa, Burhan bukan Burhan kalau tak mengebut. Tapi yang bikin saya lega, ia termasuk supir yang berhati-hati. Bukan mengebut yang serampangan. Ya paling tidak, saya berusaha meyakini itu.

"Di sini sering ada kecelakaan bang, banyak yang mati," celetuk Burhan tiba-tiba memecah sunyi.

Saya yang sudah terkantuk-kantuk di belakang mendadak terjaga. Mata saya langsung melek menatap jalanan yang mulai gelap.

"Pernah ada truk besar ngelindas motor, bang. Pas helm dibuka, eh tengkoraknya lepas," tambahnya.

Tak ada yang bereaksi. Cuma ada suara tape mobil yang memutarkan lagu "Kereta Malam" lagu favorit Burhan yang diputar terus-terusan. Seisi mobil cuma bisa terdiam sembari berharap hal mengerikan nan surealis macam itu tak terjadi pada kami.

Lagi-lagi kami selamat hari itu. 

Selain jago mengendarai mobil, Burhan juga punya banyak stok cerita ajaib. Yang membuat kita yakin kalau dunia nyata seringkali lebih ajaib ketimbang novel manapun. Selain pernah terbalik waktu mengebut dengan truk sawit; atau kisah tengkorak lepas dan tersangkut di helm; Burhan punya stok banyak cerita absurd nan eksentrik lain. 

Misalkan cerita saat kami berangkat ke dusun Sadan. Kami melewati desa kecil bernama Rantau Langsat. Ada banyak polisi siang itu. Juga ada police line yang tampak terang meski dilihat dari kejauhan. Ini tentu bukan hal lazim di sebuah desa terpencil. Kami semua bertanya-tanya. Tapi tak ada jawaban yang memuaskan. Dua hari kemudian, jawaban itu kami dapatkan. Dari siapa lagi kalau bukan dari Burhan.

"Jadi polisi kemarin itu bongkar kuburan bang," kata Burhan memulai cerita.

Saya terkesiap. Begitu juga Iwan dan Deni. Ini bakal jadi cerita ajaib, pikir saya. Burhan mendapatkan cerita ini dari keterangan polisi dan warga sekitar.

Jenazah itu seorang perempuan. Sebut saja ia Mawar. Masih muda. Katanya meninggal dibunuh kekasihnya, sebut saja Kumbang. Sekilas seperti kisah cinta biasa berujung kekerasan, yang biasa kita temukan di koran kriminal kota. Masalahnya adalah: sang kekasih itu adalah suami tante Mawar.

"Jadi si Kumbang itu, udah kawin sama si tante. Eh keponakannya diembat juga," kata Burhan sembari tertawa.

Mawar dikatakan mati bunuh diri. Tapi sang dokter yang memeriksa jenazahnya tak percaya. Ia menemukan tanda-tanda kekerasan pada jenazah Mawar. Tapi Mawar keburu dikubur oleh keluarganya. Setelah sang dokter menyampaikan kesaksian pada polisi, akhirnya kuburan dibongkar. Benar saja, Mawar memang mati dibunuh.

"Dan tau gak bang, ada dua botol kratingdaeng di dalam perut Mawar," kata Burhan.

Kami semua terkaget. Jancuk, benar-benar kematian yang aneh. Bagaimana caranya memasukkan botol kratingdaeng dalam perut? Ilmu hitam? Bisa jadi. Saya menggeleng heran. Cerita ini tak berhenti sampai di sana. Anak si Kumbang dan istrinya, alias tante Mawar, meninggal setelah kasus ini terbongkar. Padahal anak itu tak menderita sakit apapun. Tahu-tahu meninggal begitu saja. Tanpa tanda. Tanpa isyarat.

"Kayaknya sih ada balas dendam bang," lanjut Burhan lagi.

Kami semua terdiam. Heran. Betapa kadang nyawa manusia bisa begitu murah. Juga heran dengan kematian yang bisa datang dengan berbagai cara. Bahkan cara yang terkesan ajaib. Tentu tak ada orang yang membayangkan akan mati dengan dua botol kratingdaeng dalam perut.

Life is, indeed, stranger than fiction.

Mobil Taft kami terus melaju di jalan yang bergeronjal. Saya dan Iwan masih tergoncang-goncang di bangku tengah. Deni masih memegang hand holder dengan tangan kiri. Sementara Burhan masih terus menghisap rokok dan menyetir dengan tenang. Lagu "Kereta Malam" juga masih berkumandang dalam mobil kami.

Jug gijag gijug gijag gijug...[]

Rabu, 17 September 2014

Penjaga Harimau-harimau Terakhir




"Namanya Mul," kata Rahmad Wahyudi memulai ceritanya di sebuah sore yang damai di Pematang Reba, Riau.

Berdasarkan cerita masyarakat di sekitar Taman Nasional Bukit Tigapuluh, Mul berasal dari Palembang. Kerjanya masuk dan keluar hutan mencari burung langka. Terutama Murai. Karena itu, ia diburu oleh para polisi kehutanan. Sekali masuk, Mul bisa berminggu-minggu tinggal dalam hutan. Kalau perbekalan habis, atau butuh sesuatu, Mul akan turun di desa terdekat untuk belanja. 

"Nah saya dapat laporan dari warga sekitar, suatu hari Mul keluar dari hutan dan berhenti di desa. Pas saya ke sana, dia sudah hilang," kata Rahmad yang merupakan pimpinan Yayasan Penyelamatan dan Konservasi Harimau Sumatera (PKHS).

Mul memang licin macam belut. Mampu hilang dengan cepat macam angin. Yang bikin Rahmad dkk gregetan, Mul selalu meninggalkan jejak yang jadi macam ejekan kepada para awak PKHS maupun polisi hutan: coretan namanya di pohon. Mul sudah lama dianggap sebagai residivis rimba.

Menurut Rahmad, Mul punya reputasi mentereng sebagai pemburu murai hutan. Tiap ekor yang ditangkap, Mul mendapat Rp 1 juta. Biasanya, saat keluar hutan, Mul membawa hingga 10 ekor murai hutan. Dulu, banyak penangkap murai tak mau menangkap murai betina. Alasannya: murai betina akan bertelur dan menghasilkan murai baru. Sekarang, karena semakin banyaknya permintaan, murai betina pun turut ditangkap.

"Gara-gara itu, sekarang tiap saya masuk hutan, sudah jarang ada suara Murai. Dulu kan nyaring banget," kata Rahmad gemas.

Kelicinan Mul dan hilangnya berbagai satwa di Taman Nasional Bukit Tigapuluh hanya beberapa cerita saja yang dialami oleh para anggota PKHS.

Ini adalah lembaga nirlaba yang berfokus pada perlindungan dan konservasi harimau Sumatera. Lembaga ini resmi dibentuk pada tahun 2007. Sebenarnya lembaga ini adalah terusan dari lembaga Sumateran Tiger Project yang lantas berubah nama.

Penyandang dananya adalah Sumateran Tiger Trust yang bermarkas di Inggris. Namun sejak tahun 2012, PKHS mendapat hibah dari Tropical Forest Conservation Action Sumatera (TFCA Sumatera). Ini adalah skema pengalihan hutang untuk lingkungan antara Pemerintah Amerika Serikat dan Indonesia. Hibah ini adalah mekanisme untuk mengurangi hutang luar negeri bagi negara-negara yang punya kekayaan hutan tropis, termasuk Indonesia. PKHS dianggap sebagai salah satu lembaga yang secara konsisten melakukan restorasi dan perlindungan spesies.

Sejak mendapat tambahan dana hibah dari TFCA Sumatera, PKHS pun berlari semakin kencang. Salah satu kegiatan rutin mereka adalah pemantauan harimau Sumatera dalam jangka panjang. Cara yang selama ini dipakai adalah memasang camera trap, alias kamera jebakan, di pohon untuk memantau harimau Sumatera.

Memasang kamera ini bukan pekerjaan mudah. Terlbih dulu, para awak PKHS harus mengetahui lebih dulu jalur yang dilewati oleh harimau.

"Tahunya ya dari tanda sekunder. Mulai jejak kaki, sampai kotoran. Lalu menentukan kordinat. Dari sana kita bisa memperkirakan jalur yang dilewati harimau," kata Rahmad.

Setelah kamera dipasang, bukan berarti masalah selesai. Kamera yang dipasang oleh PKHS adalah kamera dengan tingkat sensitivitas gerak yang tinggi. Bahkan daun yang bergerak kena angin pun bisa otomatis terekam. Karena dianggap benda aneh, banyak orang lokal yang memandangi kamera ini lama-lama.

"Mereka merokok di depan kamera. Seharian. Dan itu kamera terus merekam," kata Rachmad sembari terbahak.

"Tapi yang paling lucu ya anak-anak dari Talang Mamak atau Anak Dalam. Mereka joget-joget di depan kamera. Tapi mereka gak pernah merusak kamera. Mereka hanya penasaran. Yang berusaha merusak itu biasanya pemburu ilegal."

Masalah klise lain adalah beratnya medan yang harus dilalui. Punggungan buki di Taman Nasional Bukit Tigapuluh memang kejam luar biasa. Ada yang menanjak nyaris 90 derajat. Lalu turun dengan tajam. Medan berat seperti ini rawan bikin rontok fisik maupun mental.

Burhan Lahai adalah salah satu awak PKHS yang pernah jalan dengan empat kaki. Alias merangkak, saking tak kuat menahan lelah.

"Dulu pas awal tes, saya sangat percaya diri," kata Burhan.

Lelaki berusia 24 tahun ini memang pantas percaya diri. Ia atletis. Maklum, pemain futsal antar kecamatan. Betisnya keras dan penuh otot. Fisiknya jelas bisa diandalkan. Apalagi waktu tes fisik untuk masuk PKHS, Burhan berhasil lolos dengan gemilang. Rasa percaya diri itu bertahan. Hingga akhirnya tiba misi pertama Burhan melakukan pemeriksaan kamera.

"Aduuuh, ampun mak. Gak mau lagi mak," kata Burhan menirukan erangannya waktu pertama kali naik bukit.

"Rasanya mau berhenti langsung waktu itu."

Tapi akhirnya Burhan bisa bertahan. Sekarang mantan supir truk pengangkut sawit ini sudah terbiasa dengan medan yang kejam. Ibaratnya, jalan dua-tiga bukit belum membuatnya berkeringat.

Pemeriksaan kamera adalah kegiatan rutin awak PKHS. Dalam pemeriksaan itu, mereka mengganti memori kamera, hingga mengecek pelindung kamera yang terbuat dari besi. Kamera ini tersebar di berbagai titik.

Sekali tim PKHS masuk hutan, mereka bisa bertahan seminggu, atau lebih. Mereka membawa perbekalan sendiri. Memasak sendiri. "Digigit lintah sudah biasa bang," kata Burhan.

Yang membuat mereka tersiksa adalah kehabisan air. Kalau masa sulit itu datang dan sungai tak kunjung ditemukan, mereka memotong akar pohon yang mengandung air. Kalau lebih apes tak dapat akar pohon, mereka terpaksa minum air dari kubangan.

"Air itu sebenarnya bersih di permukaannya. Ada seninya. Harus pelan-pelan ngambilnya. Kalau buru-buru, wah lumpurnya kecampur sama air," kata Burhan.

Yang paling ditunggu oleh tim patroli ini adalah penghujung hari. Waktunya mereka beristirahat. Memasak, makan, lalu tidur. Tempat tidur mereka beralas tanah dan beratap terpal. Mereka memang membuat tenda sederhana berbahan terpal. Tenda ini terbuka di bagian sampingnya. Kalau kena hujan air bisa tempias ke dalam.

"Yang paling gak enak ya kalau hujan ditambah angin. Enak-enak tidur, hujan. Eh dikasih angin kencang pula. Bubar semua," kata Burhan cengar-cengir. (Bersambung)

Selasa, 16 September 2014

Poetra dan Mak Ri


Mungkin tak banyak kantor yang mempunyai office boy (OB) dengan kemampuan komplit seperti OB di kantor saya. Namanya Poetra Siregar. Badannya tinggi. Gempal. Dari namanya, kelihatan kalau ia orang Batak. 

Poetra masuk di kantor saya pada pertengahan bulan Maret. Ia adalah mantan sous chef di sebuah restoran terbesar di Sarawak, Malaysia. Jabatan sous chef ini sangat vital di dapur. Ia adalah asisten chef yang bertugas menangani segala pesanan. Mulai memasak. Menata hidangan. Hingga memastikan semua rasa sesuai standar restoran.

Karena pengalaman kerja mentereng itu, Poetra diterima senang hati. Keputusan itu tak salah.

Poetra memang lihai di dapur. Cekatan menggoyang wajan. Resep masakan, ia hafal di luar kepala. Kalau membuat mie instan, ia tak mau mengikuti cara standar. Ia akan mengolahnya lagi. Ditambah dengan aneka bawang-bawangan, cabai, ditambah ini dan itu.

"Ini mie goreng terenak yang pernah gue makan," kata salah satu staff redaksi di kantor saya saat pertama kali mencicipi mie goreng buatan Poetra.

Tapi puncak popularitas Poetra adalah saat pemimpin redaksi kami berulang tahun. Dengan modal minimalis, ia bisa memasak mewah ala restoran untuk perayaan ulang tahun sang pemimpin redaksi. Mulai dari gulai kambing, aneka masakan sea food, sampai gurami asam manis. Luar biasa.

Selain punya kemampuan memasak, Poetra memang pekerja keras nan rajin. Ia, yang tinggal di kantor, selalu bangun pada subuh. Saat matahari bahkan belum muncul. Ia menyapu. Mengepel. Setelahnya, baru ia merokok dengan tenang sembari menunggu para karyawan datang. 

Siang menjelang, Poetra rajin menanyakan orang-orang kantor: mau minum apa? Kalau ada keperluan kantor, ia bisa dengan cepat pergi dengan mobil. Maklum, selain pernah jadi asisten chef, Poetra juga pernah jadi supir di sebuah perusahaan.

Poetra juga rajin cuci piring. Nyaris tak pernah tumpukan piring atau gelas kotor.

"Bedanya pas aku jadi asisten chef, aku selepas masak langsung naruh aja cucian. Ada yang nyuci. Kalau di sini, aku masak, ya aku juga yang nyuci," katanya cengengesan suatu ketika.

Singkat kata, Poetra adalah asisten rumah tangga serba bisa. Dan tak semua kantor atau orang bisa seberuntung kantor kami.

Kantor istri saya, sebuah perusahaan IT di bilangan Kuningan, punya OB yang bisa dibilang pemalas. Kalau disuruh biasanya mukanya tertekuk. Tak ada inisiatif menanyakan mau minum apa. Selain itu, orang-orang di kantor istri saya juga agak was-was menaruh barang di kantor.

Pasalnya, sudah beberapa kali kejadian ada barang hilang. Waktu bertanya pada OB, mereka dengan enteng menjawab, "Oh iya, itu saya bawa ke rumah. Besok deh saya bawakan." Gawat benar kan?

Berbicara mengenai OB dan asisten rumah tangga, sebenarnya berbicara tentang hubungan yang saling membutuhkan. Siapa bilang hanya asisten rumah tangga yang membutuhkan majikan? Para keluarga itu juga membutuhkan asisten rumah tangga. Bahkan nyaris mengidap ketergantungan.

Tak percaya?

Silahkan tengok kala musim mudik lebaran. Para keluarga yang punya asisten rumah tangga pasti kelimpungan karena asistennya pada pulang kampung. Aktivitas menguras tenaga macam cuci baju, piring dan gelas kotor; hingga menyapu dan mengepel, jadi harus dikerjakan sendiri.

Para keluarga dengan kemampuan ekonomi yang berlebih, bahkan lebih memilih untuk tinggal di hotel ketimbang hidup di rumah tanpa asisten rumah tangga.

Soal asisten rumah tangga, saya punya cerita. Keluarga kami punya seorang asisten rumah tangga abadi. Namanya Mak Ri. Sudah bekerja di keluarga kami sejak tahun 1987. Nyaris 27 tahun. 

Dua orang adik saya suka menyuruh Mak Ri berpose seperti ini


Mak Ri bisa apa saja. Memasak. Mengepel. Cuci piring. Hingga memarahi saya dan abang waktu kami nakal berlebih. Waktu itu, di perumahan kami, tak ada asisten rumah tangga yang berani memukul anak majikan. Kecuali Mak Ri. 

Perempuan asal Pasuruan ini tak segan memukul saya dan abang dengan penebah alias sapu lidi. Apalagi sewaktu kami pulang ke rumah dengan rambut merah terpanggang matahari selepas berenang di sungai. Dengan Bahasa Madura, Mak Ri akan mengomel sembari mencubit betis saya dan abang. Kami hanya bisa mengaduh-aduh sembari cengengesan.

Ayah dan ibu saya memang memberikan privilese pada Mak Ri untuk ikut mengasuh saya dan abang. Termasuk all stage back pass untuk memarahi dan menjewer kalau kami nakal. Selepas saya dan abang beranjak remaja, Mak Ri, lebih memberi perhatian kepada kedua adik perempuan saya. Sampai sekarang, adik perempuan saya yang ketiga, umurnya 24 tahun dan sudah bekerja, tak mau punya kamar sendiri dan memilih untuk tidur dengan Mak Ri.

Meski seringkali marah, Mak Ri menyayangi kami semua seperti cucunya sendiri. Ia tak segan membela kami kalau ayah dan ibu marah. Atau mengelus kepala adik perempuan saya kala ia sedang sedih.

Sudah nyaris satu dekade Mak Ri tak mau menerima gaji. Pasalnya, ia menganggap kalau ia tak bekerja di rumah kami. Melainkan jadi bagian dari keluarga. Karena itu ia merasa tak perlu gaji. Mak Ri sekarang sudah tua. Ia sudah sakit-sakitan. Karena itu, ibu saya tak membolehkan Mak Ri untuk bekerja. Tapi dasar keras kepala, tetap saja ia ngotot cuci piring atau menyapu.

Lebih dari seperempat abad ia tinggal di rumah keluarga kami, membuat ia tak mau pulang ke kampung halamannya. Lagipula, ia beralasan, kalau ia tak punya keluarga lagi di sana. Mak Ri memang pernah menikah, kemudian cerai, tanpa anak.

"Kalau aku mati, aku mau mati di sini saja," katanya suatu ketika.

Mengenal Mak Ri selama puluhan tahun, saya belajar banyak darinya mengenai kesetiaan. Mak Ri memang tipikal asisten rumah tangga idaman semua orang. Tak berbilang orang yang merayunya, mengiminginya dengan gaji berlipat ganda untuk pindah dari rumah kami. 

Tapi Mak Ri bergeming. Ia tak mau pindah dari rumah saya. Baginya, keluarga kami adalah keluarganya juga. Dan sebuah keluarga tak selayaknya saling membalikkan punggung. 

Karena itu pula, saya membayangkan akan tersedu-sedan saat Mak Ri menghembuskan nafas terakhirnya kelak. Sembari membayangkan betapa nakalnya saya semasa kanak-kanak, dan tersenyum kala mengingat Mak Ri mengomel dengan bahasa Madura karena saya dan abang mencuri pisaunya untuk mencuri tebu.

Ah saya jadi rindu Mak Ri. Sehat terus ya…[]