Selasa, 30 Agustus 2011

Lebaran Yang Tak Akan Pernah Sama Lagi


Hingga beberapa tahun lalu, lebaran masih menyenangkan.

Semua saudara berkumpul. Ayah sehat. Nenek pun sehat. Biasanya H-3 semua sudah berkumpul di rumah nenek. Meski ada beberapa kamar kosong, saya dan beberapa saudara yang seumuran macam Kiki, Hendra, Hendri, Kak Rizal, juga Ilham, lebih memilih untuk menggelar kasur lipat. Tidur di depan televisi setelah memindahkan meja. Setelah bercanda beberapa patah kata, kami pun tertidur.

Setelah sahur, kami teruskan tidur. Setelah sholat subuh, kami begitu enggan untuk tidur. Alih-alih membungkus diri dengan selimut, kami biasanya pergi berjalan kaki ke Alun-alun. Disana biasanya kami bermain judi poster. Kenapa disebut judi poster? Karena permainan ini memang adu kuat antara malaikat keberuntungan kami melawan malaikat keberuntungan sang penjual.

Ada kartu domino dijejer. Ada 10 kartu. Lalu kita disuruh memilih satu kartu, dan menyebutnya kecil atau besar. Kalau kita memilih kecil, dan jumlah lingkaran di kartu yang kita pilih memang kecil dan yang lain lebih besar, maka kami yang menang. Kalau bukan, maka sang penjual yang menang. Tak ada permainan otak, tak ada taktik. Semua memang permainan keberuntungan. Hadiahnya adalah poster. Biasanya poster pemain sepak bola yang tersohor pada waktu itu. Ada Beckham, Batistuta, Boksic, Nesta, hingga Del Piero.

Pernah suatu hari kami menang besar, dan sepertinya bapak bandar itu akan alih profesi.

Kala siang datang, kami semua bergelimpangan. Membuka baju, tengkurap dan meletakkan perut di ubin. Biar dingin dan haus minggat. Tak terhitung pula kami menengok jam.

Kalau panas sedang tak sopan, biasanya ayah mengajak saya dan para saudara sepupu untuk pergi ke Selokambang. Ini adalah pemandian alami yang terletak sepenanakan nasi dari rumah nenek. Airnya dingin. Hawanya sejuk karena banyak pohon. Kami tak pernah menolak ajakan itu. Biasanya kami pulang selepas Ashar. Sampai rumah tinggal menunggu waktu berbuka.

***

Hari idul fitri tiba. Semua bersuka cita. Setelah sholat ied dan sungkem, ritual utama tentu makan soto banjar.

Soto banjar adalah satu dari banyak varian soto di Indonesia. Biasa dimakan dengan lontong atau nasi. Isinya ada bihun, suwiran ayam, irisan telur, perkedel, kentang goreng, daun seledri, dan bawang goreng. Kuahnya sedap sekali. Gurih dengan rasa kaldu ayam yang kental. Setelah semua tersaji, tinggal menambahkan perasan jeruk nipis dan sambal bajak sesuai selera. Biasanya soto ini selalu gagal menghalangi kami menambah porsi.

Biasanya yang memasak soto banjar adalah nenek. Tapi semenjak kesehatan beliau memburuk, mamak yang mengambil alih tugas ini. Kadang juga tante Yun.

Setelah makan, yang ditunggu pun tiba. Pembagian angpau. Sudah hal yang wajar, bahwa kami yang belum bekerja pasti mendapat angpau yang cukup banyak. Biasanya setelah semua sanak saudara memberi angpau, kami hitung jumlah angpau, lalu saling memamerkan, dan berakhir dengan semangkuk bakso plus es jeruk di kedai bakso sebelah rumah.

Lebaran memang selalu menyenangkan bukan?

***

Tapi memang semua tadi adalah kenangan masa kecil. Dimana kami masih jadi anak ingusan yang tak tahu bahwa dunia ini tak sekedar terdiri dari kesenangan. Pada akhirnya kami tersadar bahwa ada kepahitan dari setiap kesenangan yang kita tangguk. Memang kadang tak langsung. Tapi pasti terjadi.

Kesenangan dan kesedihan bagaikan yin dan yang. Atau dua sisi mata uang yang berdampingan.

Lantas, lebaran tak lagi menyenangkan. Karena ada satu dan beberapa masalah. Kami tak lagi berkumpul. Ada beberapa yang terpisah. Walau kadang beberapa dari kami masih tetap berkumpul dan melakukan ritual makan soto banjar.

Tapi sudah tak ada menggotong meja di depan televisi, menggelar kasur, tidur bareng, jalan-jalan pagi ke Alun-alun, atau bermain judi poster dan memamerkan jumlah uang angpau sembari memakan bakso.

Tapi hidup adalah kemauan untuk terus berjalan. Maka hidup pun harus terus berjalan.

***

Ayah terserang stroke pada tahun 2001. Sempat sembuh dan kambuh beberapa kali, hingga akhirnya beliau tak bisa sembuh secara penuh. Beliau tak bisa lagi mengajak saya dan para saudara pergi ke Selokambang. Bahkan beliau tak lagi ikut sholat ied.

Hingga akhirnya kehilangan ayah dalam beberapa kegiatan itu memuncak, kehilangan ayah untuk selamanya. Itu terjadi pada tahun 2010 yang penuh warna. Belum sampai satu tahun lalu.

Lalu nenek menyusul ayah, beberapa waktu lalu. Dua kehilangan besar bagi saya, dalam waktu tak sampai satu tahun. Tak bisa dipungkiri, kehilangan itu membuat luka yang menganga. Seperti bom dalam game Plant vs Zombie, yang menggelegar dan membuat lubang besar pada tanah. Dan jelas membutuhkan waktu lama untuk kembali seperti keadaan biasa. Dan sepertinya itu musykil.

Karena memang tak pernah ada kehilangan yang mudah untuk dihadapi.

***

Ada satu dan banyak hal yang memang tak akan pernah bisa kembali. Guns N Roses pernah membuat mahakarya berjudul Appetite for Destruction, dan jelas tak akan bisa membuat mahakarya sedahysat itu lagi. The Doors kehilangan Jim Morrison, dan jelas tak akan pernah bisa menemukan penggantinya. Begitu pula dengan kenangan lebaran saya yang sepertinya akan mustahil untuk bisa diulang.

Ada sesuatu yang lebih baik dibiarkan sebagai kenangan. Hal yang membuat kita menjadi sentimentil, melankolis, atau merenung. Malam ini saya membiarkan kenangan lebaran itu menari liar. Diantara bunyi petasan yang bersahutan, juga bunyi takbir yang berpacaran dengan riuh klakson.

Saya rindu kalian semua...

Lumajang, 30 Agustus 2011

Sabtu, 27 Agustus 2011

Ayah Mewariskan Dunia Ini Pada Kita

gambar dari google


Dalam jilid ke 7, pada bab berjudul "Petualangan", Tomo'o bertanya pada Yuji, sang kakak penjaga toko 24 jam, mengenai keluarga yang dipunyainya. Yuji punya 2 orang saudara laki-laki. Mereka sudah yatim piatu.

"Aku punya kakak dan adik, tapi mereka sedang jalan-jalan keliling dunia" kata Yuji.

"Gimana caranya?" tanya si Tomo'o dengan tampang bloonnya.

"Kakakku naik balon dan adikku naik kapal" jawab Yuji dengan tersenyum. Jawaban itu ditertawakan oleh Tomo'o, "Guyonan kakak nggak seru ah" cibirnya.

Suatu hari Yuji mendapat kartu pos dari Hachiro, sang adik yang berkeliling dunia menggunakan kapal laut. Hachiro menulis kalau ia sedang berada di Sri Lanka dan akan pergi ke Singapura.

Keesokannya, ada balon udara yang mendarat di lapangan kota itu. Ternyata itu adalah balon udara sang kakak yang ingin mengunjungi Yuji. Sang kakak ini brewok, dengan tampang dan penampilan seperti gipsi. Yuji tentu saja terkejut dengan kedatangan sang kakak yang tiba-tiba.

"Aku pikir kakak sudah mati" ujar Yuji dengan getun.

"Hahahaha, jangan bohong. Imajinasi manusia punya kekuatan yang sangat luar biasa. Kalau kau benar-benar berpikir begitu, aku pasti sudah mati. balas sang kakak dengan tertawa lebar.

Lalu mulailah kehidupan Yuji bersama sang kakak. Sang kakak memutuskan untuk mencukur brewok dan bekerja sambilan di tempat Yuji. Nantinya uang itu dimaksudkan untuk bekal petualangannya lagi.

Dalam sebuah percakapan, Yuji pernah bertanya kenapa sang kakak tak berhenti berpetualang dan tinggal bersama Yuji. Jawaban sang kakak adalah "Apa kau serius dengan pertanyaanmu? Kalau iya, maka aku akan serius memikirkannya. Apa kau yakin dengan ucapanmu itu, meski melihat wajah puasku?"

Lalu mengalirlah cerita flashback mengenai Yuji dan keluarganya.

Ketika meninggal, sang ayah tak meninggalkan harta warisan pada tiga orang anak lelakinya. Bukan tak ada. Karena di hari terakhir sebelum meninggal, sang ayah membelanjakan uang pesangonnya untuk membeli tiga barang: balon udara, kapal, serta satu kamar di perumahan.

Hachiro bingung dengan pilihan sang ayah. "Wasiat? Jadi kita disuruh berpetualang?"

"Tapi, meki guyonan, sebagai anak tugas kita adalah menerimanya dengan sungguh-sungguh. Siapa yang mengambil apa? Pilihan itu akan mengubah kehidupan kita selanjutnya" kata sang kakak pertama dengan tenang.

Akhirnya diputuskanlah siapa yang mendapat apa.

Suatu malam Yuji berbincang dengan sang kakak mengenai bagaimana cara memutuskan siapa mendapat apa itu. Kakak pertama dan Hachiro sepakat memberikan rumah pada si Yuji. Itu dilakukan karena Yuji baru saja masuk kuliah dan jelas tak bisa meninggalkan kuliahnya itu. Kadang Yuji sering berpikir kenapa ia yang harus tinggal di darat, bukan kakaknya atau Hachiro.

"Hidup di daratan pun juga seperti sebuah petualangan. Apa yang kita bertiga jalani pada dasarnya sama. Perbedaan antara balon udara dan perumahan hanyalah kepastian soal bisa sampai di tempat tujuan atau nggak. Sebagai anak tertua aku hanya menerima hal yang paling tak pasti saja" ujar sang kakak.

Setelah beberapa masa tinggal bersama, akhirnya sampai juga pada hari keberangkatan sang kakak. Ia akan melanjutkan petualangannya lagi. Kembali ke kehidupan bohemiannya. Menghadapi semua yang ia katakan sebagai "hal yang paling tak pasti".

Sebelum menaiki balon udaranya, sang kakak berkata pada Yuji.

"Jujur saja aku bimbang. Mungkin tak ada salahnya juga kalau aku tinggal disini. Tapi aku sadar kalau kebimbangan itu karena rasa takut menaiki kendaraan yang nggak realistis. Aku akan tetap melangkah maju dengan menjadikan ketakutan sebagai alasan. Aku hanya akan berhenti kalau sudah tak ada lagi yang aku tuju."

Yuji hanya diam sembari memandang kakaknya yang menyalakan burners dan perlahan terbang menuju angkasa. Hari sedang cerah dan semua anak-anak, termasuk Tomo'o berkerumun menyaksikan balon angkasa itu membumbung.

"Yuji! Ayah mewariskan dunia ini pada kita. Dan itu tak akan ada habisnya."

Tomo'o


Belakangan ini saya begitu suntuk untuk menulis dan membaca buku. Buku apapun terlihat mengerikan. Cuma ada satu buku yang sudah menemani saya semenjak beberapa waktu lalu: Fargo Rock City. Perhatian saya banyak tersedot oleh rencana masa depan yang sedang saya lakukan perlahan. Ternyata itu benar-benar membuat konsentrasi saya tersedot. Semoga semua lancar dan hasilnya baik.

Kala sedang suntuk itu saya kembali rajin membaca komik, sesuatu yang sudah lumayan lama tak saya lakukan. Saya biasanya menyewa komik ketimbang membeli. Biasanya komik yang saya sewa tak luput dari tema petualangan, persahabatan, perkelahian, atau komik humor. Komik langganan saya adalah "One Piece", semua komik Mitsuru Adachi, hingga yang komik-komik baru macam "Crows" atau "Rainbow". Rata-rata semua adalah komik dewasa yang melibatkan banyak baku hantam, pengkhianatan, atau bahkan darah.

Tapi sekarang saya punya komik favorit lain. Judulnya "Tomo'o". Pengarangnya bernama Oda Tobira.

Cerita di komik ini sederhana. Mengenai seorang anak laki-laki bernama Tomo'o dan kehidupannya. Ada ibu dan kakaknya. Lalu ayah yang kerja di luar kota dan tak pernah ditampakkan wajahnya. Juga ada banyak teman-teman SD. Lalu para tetangga yang terdiri dari berbagai profesi: ada mantan hakim yang mengalami post power syndrome, kakak penjaga toko 24 jam yang polos dan bijak, juga ada seorang pemain American Footbal di tim kota tempat Tomo'o tinggal, hingga duo perempuan SMA yang bertolak belakang sifatnya.

Ada juga tokoh absurd macam gagak yang suka mengamati manusia, kakek yang begitu ingin mati dan sering mengelabuhi malaikat kematian, kolonel olahraga (yang merupakan manusia cyborg), hingga hantu mantan siswa yang bunuh diri gara-gara gagal lolos tes masuk perguruan tinggi.

Tomo'o sendiri adalah anak lelaki yang polos, terkadang terlihat begitu bodoh (yang diperparah dengan karakter muka Tomo'o), dan cenderung cuek akan anggapan orang lain. Contohnya: ketika teman-temannya bingung akan kemampuan apa yang mereka miliki, malu akan kekurangan mereka, Tomo'o malah cengar-cengir melihat kegalauan ala anak SD itu. Meskipun ia dihina teman-temannya sebagai anak yang tak bisa apa-apa.

Kepolosannya juga tampak dari berbagai kalimat yang ia ucapkan. Ketika ditanya sang guru mengenai cita-cita, Tomo'o menjawab "Ingin menjadi Kolonel Olahraga!". Tipikal jawaban anak kecil yang polos dan tanpa dosa.

Meski begitu, saya merasa belajar banyak pada karakter Tomo'o. Sikapnya yang acuh mengajarkan bahwa acuh terkadang adalah hal yang harus kita lakukan untuk bisa terus "berjalan". Saya sepertinya sudah terlalu sering melihat orang yang enggan "berjalan" karena terlalu memikirkan pendapat orang lain.Untuk bisa terus bahagia. Tomo'o tak pernah perduli mengenai anggapan orang lain. Selama dia bahagia dan tak mengganggu orang lain, dia akan terus bersikap seperti itu.

Selain terkesan akan sikap Tomo'o, saya juga terkesan pada jalinan cerita yang disulam di komik ini. Semua padu, bahkan untuk hal yang kecil sekalipun. Contohnya: jaket. Ceritanya, Tomo'o tak pernah punya jaket, hingga sang ibu membelikannya. Sebuah jaket berwarna hitam bergambar naga.

Dalam beberapa episode (komik ini bukan cerita bersambung), jaket itu masih tetap sama. Suatu hari ada seekor anjing yang mati tertabrak mobil. Tomo'o lantas menyelimutkan jaket itu pada sang anjing. Hingga beberapa episode, Tomo'o tetap tak memakai jaket, dan bahkan berkata: dingin banget hari ini. Lalu seorang tetangga memberikan ia jaket bergambar beruang yang sedang berselancar. Dan jaket itu tetap ada hingga jilid terbaru.

Meskipun tokoh utamanya adalah anak-anak, ceritanya terlalu berat untuk bisa memasukkan "Tomo'o" ke dalam kategori komik anak-anak. Bahkan ada beberapa dialog yang sepertinya tak akan dipahami oleh anak-anak.

Beberapa cerita yang berkesan akan saya ceritakan kembali di tulisan berikutnya :)

Minggu, 14 Agustus 2011

Banyak Jalan Menuju Roma (2)

Villach Hauptbanhof, Dari sini saya naik kereta menuju Venezia

Hawa semakin menyengat. Saya merapatkan jaket berwarna coklat yang saya beli di pasar loak Altona. Kereta menuju Venezia sudah datang. Orang berkerumun, menyemut menuju kereta. Sebenarnya kereta ini bukan kereta yang langsung menuju Venezia, melainkan menuju Austria dan Slovenia. Saya akan turun di stasiun Villach, Austria. Dari sana saya baru naik kereta menuju Venezia.

Setelah mencari kompartemen yang kosong, dan tak ada, saya akhirnya duduk satu kompartemen dengan Chufta, seorang hippy asal Ljublana, Slovenia; yang kisahnya sudah pernah saya tulis disini.

Yang belum saya ceritakan adalah Sulaiman. Seorang pria keling yang baru saja kecopetan. Ia naik di tengah perjalanan, tepatnya di Salzburg. Ia datang dengan satu koper berukuran raksasa. Katanya ia baru saja dari Turki, pergi ke Munchen, lalu kecopetan. Semua dokumen penting dan uang hilang semua. Pria gundul ini akan turun di Villach, tempat tinggalnya.

Begitu mengetahui saya dari Indonesia, Sulaiman kegirangan. "Kakak saya pernah bekerja di Jakarta", ujarnya, "Dan rencananya saya akan kerja di Jakarta bulan depan".

Sulaiman ini begitu ceriwis. Saya dan Chufta yang sudah sama-sama teler karena ngantuk (dan Chufta teler karena menenggak banyak bir), harus mendengarkan cerita tentang kecopetannya. Tapi Sulaiman ini mukanya ceria. Bahkan dalam kesusahan pun ia masih bisa memasang tampang yang berbinar.

Sekitar jam 4 pagi, kereta sampai di Villach Hauptbanhof. Saya berpamitan dengan Chufta, mengambil tas, dan beranjak turun. Begitu juga Sulaiman.

"Kamu tinggal di Indonesia mana? Boleh saya minta kontakmu?" tanyanya sembari mengambil kertas dan bolpoin di tasnya. Saya ngobrol dengannya sembari mencari toilet. Kelenjar kemih sudah penuh, menyebabkan rasa nyeri di selangkangan.

Ternyata toilet di stasiun ini rusak. Sial. Masa saya harus menunggu kereta menuju Venezia yang masih 45 menit lagi datangnya? Mengetahui saya yang gelisah menahan kencing, Sulaiman menggandeng saya.

"Ayo, saya tahu toilet terdekat" katanya sembari memegang pundak saya. Saya ikut saja. Ternyata ia menuju bar yang terletak di bawah stasiun. Lampunya gemerlap, meriah. Ada pria mabuk yang menelungkupkan kepala di meja bar. Di sebelahnya ada satu gelas panjang berisi bir yang sudah nyaris tak bersisa, hanya buih. Saya sedikit segan kencing di bar. Bukan apa, setahu saya bar itu tempat untuk nongkrong atau minum bir. Bukan tempat untuk numpang pipis. Tapi Sulaiman bilang tak apa. Ya sudah saya masuk dan melaksanakan hajat.

Selepas saya pipis, saya melihat Sulaiman tampak kebingungan. Ia mengeluarkan serenteng kunci yang isinya begitu banyak. Benar-benar banyak.

"Kenapa man?" tanya saya.

"Ini lagi nyari kunci rumah saya, hehehe" jawabnya sembari cengengesan.

"Aha, untung kunci rumah saya cuma ada satu" jawab pria mabuk yang tadi saya lihat sembari menunjukan satu buah kunci. Lalu dengan tolol, ia menggoyang-goyangkan kunci itu, seakan meyakinkan saya dan dirinya kalau kuncinya benar-benar cuma satu. Mukanya sudah merah. Ia cengar-cengir macam orang bego. Mabuk berat. Berdiri saja sudah seperti berdiri di kapal, oleng tak karuan.

Akhirnya kunci rumah Sulaiman ketemu. Saya pun memutuskan pamit. Tiba-tiba si pria mabuk berwajah tolol itu memeluk saya, erat.

"Katanya kamu mau jalan-jalan jauh. Jaga diri ya saudaraku. Semoga selamat sampai tujuan, hiks" ujarnya sendu sembari ditingkahi cegukan. Saya tak kenal pria ini. Tapi ia memeluk saya erat, seolah saya adalah saudaranya yang akan pergi jauh. Entah karena dia ramah atau karena dia sedang mabuk. Saya yang pertama kali dipeluk oleh orang mabuk hanya bisa ketawa-ketiwi sendiri.

Pria mabuk itu melambaikan tangan. Saya membalasnya. "Hoyyy, tunggu aku" ujar pria mabuk itu sembari mengejar Sulaiman yang berjalan ke pintu keluar. Sulaiman juga tak kenal pria itu. Tapi ia juga cengengesan melihat polah si pria mabuk aneh ini.

Setelah menunggu tak begitu lama, terlihat kereta yang datang dari kejauhan. Dari cepat, lalu melambat, hingga berhenti penuh seluruh.

"Kereta menuju Venezia?" tanya saya pada petugas. Ia mengangguk pelan. Saya langsung melompat menuju kereta. Hup!

Bersambung...

Banyak Jalan Menuju Roma (1)

Depan Munchen Hauptbanhof Yang Ditingkahi Gerimis


Munchen Hauptbanhof ramai sekali malam itu. Banyak orang berseliweran di stasiun salah satu kota terbesar di Jerman ini. Tampak juga beberapa kelompok pemuda yang memanggul backpack berukuran besar. Setelah turun dari kereta IC yang membawa saya dari Passau, saya mencari toko yang menjual kopi. Hawa dingin sekali, dan segelas kopi panas pasti bisa sedikit meredam hawa tak sopan itu.

Selesai membeli kopi, saya ingin keluar stasiun. Sejenak berkeliling Munchen sepertinya menyenangkan. Tapi begitu sampai di pintu stasiun, olala, ternyata sedang gerimis. Pantas saja hawa begitu dingin. Akhirnya saya bergabung dengan beberapa orang traveler, duduk di tangga pintu stasiun sembari menyeruput cappucino yang asapnya masih mengebul.

Kereta menuju Venezia masih sekitar 1 jam lagi. Saya berencana menghabiskan 3 hari di Italia. Kota tujuan utama saya adalah Roma. Roma yang tua dan klasik itu tak pernah terlihat dan terdengar biasa. Roma adalah sinonim untuk kata luar biasa. Lalu saya juga akan ke Milan. Mungkin berfoto di stadion Giuseppe Meazza atau San Siro dan mengimingi foto itu ke Miko dan Niko yang Internisti atau ke Panjul dan Yandri yang Milanisti. Rencananya juga saya akan melanglang ke Sicilia, tanah suci para mafia.

Mafia juga selalu menarik perhatian saya. Ayah mengoleksi banyak film tentang mafia. Mulai Godfather, Scar Face, Carlito's Way, hingga Good Fellas. Lalu saya juga baru tahu kalau ada penggolongan mafia, klasik dan modern. Kata beberapa sumber, mafia klasik tak pernah menjual obat bius. Mereka hanya menjadi tenaga keamanan, mengambil iuran dari para pedagang, dan menekankan hidup mereka pada kehormatan. Sedang mafia modern lebih ke kebalikannya. Saya sendiri tahu awal kata Mafia dari komik Master Keaton. Keaton suatu ketika menjelaskan bahwa ketika ada perang antara Perancis dan Italia, seorang wanita terbunuh oleh tentara Perancis. Sang calon suami yang mengetahui hal itu, menangis menggerung dan menyumpahi tentara Perancis, "Morte Alla Francia, Italia Anela", yang kalau diterjemahkan menjadi "Death to France, Italy cries!". Kata Mafia diambil dari huruf depan sumpah serapah itu.

Tapi semua rencana itu berubah ketika saya menelpon seorang teman. Katanya, 3 hari di Italia itu terlalu lama. "Apalagi", lanjutnya, "kamu bakal menempuh perjalanan jauh dan lama. Mending 3 hari di Paris aja ketimbang 3 hari di Italia."

Segera setelah telpon ditutup, saya langsung mengambil peta, juga kalender, beserta notes. Saya mencorat-coret, mengotak-atik lagi itenerary saya. Sret sret sret! Akhirnya saya mendapatkan itenerary yang pas. Sepertinya bakalan cocok.

Jadi malam ini saya pergi ke Venezia. Hanya untuk transit saja. Entah kenapa, kanal-kanal Venezia yang tersohor itu tak menggoda saya sama sekali. Mungkin karena saya sudah tahu bentuk rupa wisata air di Venezia. Juga karena saya sudah mengalami wisata air yang menakjubkan di Hamburg.

Nah, dari Venezia, saya akan mengambil kereta menuju Roma. Di Roma saya akan berjalan-jalan hingga malam. Malamnya saya akan mengambil kereta menuju Milan. Dari Milan saya akan menuju Turin. Dari Turin saya langsung naik kereta menuju Paris.

Sepertinya rencana itu akan sempurna :)

Bersambung...

Sabtu, 13 Agustus 2011

4 Buku Dari Surga

Biarkan saya bercerita sejenak mengenai proyek saya saat ini. Sejak beberapa waktu lalu, saya mencetuskan ide untuk membuat e-book mengenai hair metal. Judul buku sudah ada. Tulisan juga sudah ada. Rencananya buku ini akan bercerita mengenai awal mula scene hair metal di Amerika. Juga band-band hair metal. Hingga titik kemunduran hair metal. Disana, saya juga akan memasukkan beberapa tulisan mengenai skena hair metal di Indonesia. Dua band Indonesia yang wajib masuk jelas GRIBS dan Sangkakala. Lainnya menyusul.

Untuk keperluan proyek saya itu, saya jelas memerlukan referensi lengkap mengenai hair metal. Sayang, referensi mengenai hair metal sangat jarang ada di Indonesia. Ketika berkunjung ke Jogja, Jakarta, atau Bandung, saya selalu mencari buku mengenai hair metal. Nihil. Ketika di Jerman kapan hari, saya juga sempatkan mencari buku mengenai hair metal. Tak ada hasilnya. Jadi saya mencoba berburu buku di Amazon. Berhasil. Ada banyak buku mengenai hair metal. Saya tergiur. Liur menetes. Setelah melakukan proses seleksi, saya memutuskan untuk membeli 4 buah buku, yakni:

1. Hollywood Rock oleh banyak penulis:


Ini adalah buku esensial mengenai skena musik rock di Hollywood circa 80-an. Buku hard cover ini menyertakan banyak band yang ditulis dan dipajang fotonya. Mulai Guns N Roses, Poison, Motley Crue, Warrant, L.A Guns, Bang Tango, hingga Faster Pussycat. Selain banyak foto dan tulisan, buku ini juga memuat banyak, sangat banyak, flyer gigs para band hair metal. Flyer-flyer ini membuat saya menyesal kenapa tumbuh besar di tahun 2000-an. I wanna get back to 80's!

2. American Hair Metal oleh Steven Blush:


Buku yang diterbitkan tahun 2006 ini begitu menawan. Dari segi packaging yang tidak biasa, cover yang mencolok mata, hingga isi yang amboi seksi sekali. Ada banyak tulisan, foto, juga sejarah band-band hair metal. Yang paling keren tentu bertebarannya kutipan-kutipan sakral oleh para hair rocker yang seakan menegaskan filosofi mereka. Seperti yang dikatakan oleh Steven Sweet, drummer Warrant: "Our philosophy? Have fun, get laid, get drunk..."

3. Motley Crue, The Dirt oleh Neil Strauss


Buku yang sempat menjadi New York Times Bestseller ini berisi tentang sejarah dari salah satu band paling ugal-ugalan sepanjang masa. Neil dengan gamblang menceritakan bagaimana kehidupan 4 orang berandalan di Motley Crue. Mulai dari keluarga mereka, sisi rapuh para rock star, hingga bab bertajuk Hollywood Ending, yang menceritakan tentang titik terendah mereka. Wajib baca!

4. Fargo Rock City oleh Chuck Klosterman.


Dengan sisi humor, Chuck berhasil membuat semua orang yang membaca buku ini ingin merasakan bagaimana hidup di pedesaan dan hanya mendengar Bon Jovi, Motley Crue, atau Ratt. Chuck yang juga merupakan penulis idola mas Taufiq, menghabiskan masa kecilnya di Wyndmere, North Dakota yang hanya berpenduduk 498 jiwa. Dia mengungkap sejarah bahwa dari album Motley Crue yang berjudul Shout at the Devil, ia ingin menjadi rocker. Chuck berhasil membuat para pembacanya tersenyum simpul, atau bahkan tertawa terbahak.

***

Oke, sudah 4 buku yang masuk daftar belanjaan saya. Tapi bagaimana saya bisa membelinya? Belanja di Amazon membutuhkan kartu kredit. Sedang saya, jangankan kartu kredit, saldo ATM tak pernah lebih dari 100 ribu. Setelah mencari cara, akhirnya saya memutuskan untuk titip pesan.

Saya lantas menghubungi Mas Ciptadi, pegawai swasta yang tulisan-tulisannya begitu yahud dan kaya metafor, yang saya kenal di Jakartabeat. Beliau sering berbelanja di Amazon. Voila. Mas Cip tidak keberatan kalau saya titip pesan melalui beliau. 4 buku dipesan, dibayar menggunakan kartu kredit mas Cip, dan nanti saya mengganti uang buku beserta ongkir Amerika-Jakarta-Jember.

Sore ini, beberapa menit lalu, kiriman datang. Yeah! Saya membuka kardus berwarna coklat yang dilapisi oleh selotip transparan. Yeah lagi! 4 buku yang membuat saya ngiler terpampang mulus di hadapan saya. Saya membuka Hollywood Rocks terlebih dahulu. Yeah untuk ketiga kalinya! Kertasnya luks, hard cover, dan foto-fotonya mantap. Lalu saya buka 3 buku lain. Dan tiba-tiba saya ingin berambut gondrong lagi.

You got to know that I'm wild young and crazy! (Herricane Alice)


post-scriptum: Terima kasih tak terhingga untuk Mas Ciptadi Sukono yang rela menyempatkan memesan buku ini, mengepak dalam kardus, hingga mengirimkannya ke Jember. You rock!

Passau: Dangerously Beautiful

Perjalanan panjang saya bermula dari Hamburg menuju Ingolstadt. Di Ingolstadt itu saya ada janji dengan Afni, pacar karib saya Yandri. Saya janji membawakan sale pisang dan sandal jepit untuk Afni yang sudah hampir 1 tahun tinggal di Ingolstadt. Saya di Ingolstadt tak sampai 1 jam, karena harus mengejar kereta menuju Passau.

Di Passau saya akan menemui Fathun Karib. Pria ini adalah salah seorang kontributor Jakartabeat. Saya mengenalnya ketika ia menulis tentang sejarah punk Jakarta dengan tajam dan rinci. Ia benar-benar penulis punk yang tangguh. Kecintaannya pada punk juga berwujud dalam musik. Semenjak SMP ia menjadi vokalis Cryptical Death, yang hebatnya band itu masih bertahan hingga sekarang dengan personil yang nyaris tak berubah. Saat ini ia sedang bersekolah lagi di Universitas Passau, mengambil jurusan Southeast Asian Studies.

Maka berangkatlah saya dari Ingolstadt menuju Passau. Sempat transit di Regensburg, lalu kereta langsung melaju. Sesampai di Passau, cuaca sedang dingin. Masih tampak sisa hujan yang baru saja usai. Di luar awan terlihat kelabu. Lengkap dengan embun-embun yang masih menempel di kaca stasiun Passau Hauptbanhof.

Beberapa menit setelah saya sampai, mas Fathun datang. Ia tak jauh berbeda dengan foto yang pernah saya lihat. Orangnya tampan. Dengan brewok dan jenggot yang tipis serta rambut pendek yang rapi. Ia tinggi dan tegap. Senyumnya selalu mengembang apik. Tipikal orang-orang yang ramah.


Selesai ngobrol sebentar, kami langsung pergi menuju apartemen mas Fathun. Setelah menaruh tas, kami pun memutuskan untuk berkeliling kota Passau yang kecil saja.

Passau memang tak seberapa besar. Penduduknya hanya sekitar 50.000. Dan 10.000 diantaranya adalah mahasiswa di Universitas Passau. Kota yang berbatasan dengan Austria ini dikenal dengan julukan Dreiflüssestadt, alias kota tiga sungai, karena ada tiga sungai yang membelah Passau. Ada Danube dan Inn dari selatan, dan Ilz dari utara. Kalau dilihat dari udara, akan tampak tiga warna sungai yang berbeda. Cantik sekali. Karena letaknya yang berbatasan dengan tiga sungai besar itu, banjir menjadi kejadian yang tak jarang lagi. Walau tak tahunan seperti di Jakarta. Karena itu, di balai kota, ada selarik garis memanjang yang mengukur tinggi banjir. Banjir paling parah terjadi pada tanggal 15 Agustus 1501. Tinggi air mencapai setengah dari tinggi balai kota. Sekarang Passau sudah nyaris tak pernah mengalami banjir lagi.






Walau menyimpan kecantikan yang tiada tara, Passau juga menyimpan bahaya yang nyaris laten. Kota ini sudah terkenal sebagai kota suci para Neo Nazi. Pasalnya, Hitler yang kelahiran Austria itu, masuk ke Jerman melalui Passau. Pemimpin besar Nazi ini lantas tinggal di Passau selama 2 tahun. Sudah bukan rahasia kalau kaum Neo Nazi yang xenophobic ini benci pendatang atau imigran. Kadang ada kasus imigran yang dipukuli oleh para Neo Nazi ini.

Sepertinya Passau adalah kota yang tepat untuk idiom dangerously beautiful :)

***

Passau adalah sebuah kota tua yang sangat cantik. Banyak bunga beraneka warna yang tumbuh di taman-taman yang tersebar di sepanjang jalan. Sayang saya datang pada musim panas. Kalau musim semi, Passau akan jadi lebih indah. Tujuan utama para pelancong tentu saja adalah Katedral St. Stephan. Gereja yang dibangun pada tahun 1668 ini memiliki organ katedral terbesar di dunia. Organ yang ukurannya memang gila-gilaan ini menjadi yang terbesar di dunia hingga tahun 1994, sebelum akhirnya dikalahkan oleh organ di First Congregational Church di Los Angeles. Biasanya ada konser organ yang diadakan pada bulan Mei dan September. Gereja bergaya baroque ini dibangun oleh arsitek asal Italia, Carlo Lurago.

Organ terbesar di dunia hingga 1994



Cuaca hari itu tak menentu. Kadang mendung. Tak sampai selemparan batu, mendung hilang, berganti matahari yang kembali berarak. Panas. Karena panas itulah, banyak orang Passau yang berbahagia. Mereka keluar rumah. Sekedar bercengkrama di taman, menyulam, jogging, atau bersepeda. Juga banyak turis yang datang dengan biro wisata. Rata-rata mereka sudah baya. Sebagian besar mereka pergi ke St. Stephen. Ziarah agama, tak jauh beda dengan ziarah para wali di Indonesia. Sedang yang muda lebih memilih pergi ke toko suvenir atau minum bir di kafe-kafe kecil di Steinweg Gr. Messergrasse atau di Fritz-Schaffer-Promenade. Sedang kami lebih menyusuri lorong-lorong kecil yang bagai labirin.








Karena terlalu asyik melanglang Passau, kami tak sadar kalau sore menjelang. Saya harus buru-buru mengejar kereta ke Munich. Setelah mengambil tas di apartemen, kami langsung berlari ke halte untuk mengejar bus menuju stasiun. Ketika sampai di halte bis, mas Fathun baru sadar kalau bis sudah tidak beroperasi. Hari itu akhir pekan, sudah terlalu sore pula. Jadi kami memutuskan untuk berjalan kaki saja. Saya kepayahan. Memanggul carrier dan perut yang lebih berat ketimbang carrier. Tapi karena takut ketinggalan kereta, tenaga saya seperti tak berbatas. Terus berjalan. Sepertinya tinggal cari tukang pijat saja nanti.

Akhirnya setelah berjalan hampir 5 km, sampai juga di stasiun. Kaki pegal. Kereta sudah stand by. Perut keroncongan. Karena saya rasa tak cukup waktu untuk membeli makanan, saya pun langsung menuju kereta. Padahal saya pengen sekali lagi makan kari bebek nomer wahid di restoran Jepang yang terletak di belakang stasiun Passau. Tapi ya sudahlah, lain kali semoga bisa berkunjung ke Passau lagi dan mencicipi kari bebek yang aduhai lezatnya itu.

Selesai berpamitan dengan mas Fathun, saya pun duduk di kursi. Aih, perut kelaparan tampaknya. Ditambah hawa dingin jadi tambah lapar. Passau- Munich masih sekitar 2 jam. Tampaknya saya akan menahan lapar barang sejenak. Tapi lamunan saya buyar karena suara ketukan di jendela. Ternyata mas Fathun yang mengetuk.

Saya langsung keluar lagi dari kereta. Ternyata mas Fathun membawa sebungkus kotak berwarna coklat yang berisi dua buah roti. "Ini dibuat bekal, kamu kan belum makan tadi", ujarnya sembari tersenyum.

Ah, ternyata orang baik memang ada dimana-mana. Tak berapa lama kemudian kereta pun berangkat. Senja sedang bersiap menjelang. Di sebelah kiri jendela tampak sungai Inn yang berwarna kecoklatan. Gegana memerah. Di sebelah saya ada dua orang yang dimabuk asmara, berceloteh riang sembari meminum bir. Lain kali saya harus ke Passau lagi. Kota yang benar-benar pantas menyandang gelar dangerously beautiful.

Jumat, 12 Agustus 2011

Kisah Seorang Pramuniaga. Eh?


Tadi pagi saya ke Surabaya. Tidak menginap, hanya mengambil beberapa surat di Kopertis lalu pulang. Selesai berbuka dan jalan-jalan, saya langsung pergi ke stasiun Gubeng untuk menunggu kereta menuju Jember. Jadwalnya jam 22.30. Yang saya sukai ketika menunggu kereta malam ialah adanya musisi yang membawakan komposisi klasik.

Saya ingat, dulu ketika gaji ayah belum lewat transfer dan harus diambil di Surabaya, tiap awal bulan saya selalu pergi ke kota pahlawan itu bareng ayah. Setelah ambil gaji, kami biasanya nonton bioskop dan makan-makan. Malamnya baru pulang ke Jember. Setiap menunggu kereta datang itulah, saya melemparkan lembaran rupiah pada para musisi stasiun sembari request lagu. Kadang Bee Gees. The Beatles. Atau The Eagles.

Tapi tadi malam saya tidak request lagu. Cukup mendengarkan sembari bercengkrama dengan Rina.

"Yak, lagu berikutnya adalah Kisah Seorang Pramuria" kata sang vokalis band stasiun itu. Setelah memainkan intro dan vokal mengalun lembut, Rina bertanya dengan lugu, "Ini lagu Kisah Seorang Pramuniaga kan?"

Saya hanya bisa menatap Rina dengan pandangan kasihan. Miris sekali pendidikan musiknya, hahaha. Entah dapat inspirasi dari mana ia hingga bisa menganti pramuria dengan pramuniaga. "Ngawur wae, lagu ini judulnya Kisah Seorang Pramugari" ujar saya bersemangat. Seperti guru yang mengajari muridnya hal baru.

Sedetik kemudian, kami berpandangan. Lalu saling tertawa terbahak. Mungkin kami sudah sama-sama mengantuk. Jadi otak tak lagi sinkron dengan mulut.

Ah, maafkan kami The Mercy's :)

Rabu, 10 Agustus 2011

Explore Europe

Teks: Yusuf
Foto: Yusuf & Taufiq


Kami benar-benar memulai perjalanan panjang selama 15 hari pada hari Rabu tanggal 20 Juli 2011 dari Kota Utrecht, Belanda dan mengakhiri pula disana sebelum terbang pulang ke Indonesia tercinta. Jadwal sudah ditangan meski belum final. Setelah lembur semalaman mencoba menyelesaikan itinerary, kami masih buntu apakah akan lanjut ke Barcelona, Spanyol setelah perjalanan Explore Roma, Italia atau langsung melanjutkan perjalanan ke Utara ke arah Brussel, Belgia via Swiss.

Kami pun belum menentukan kota mana di Swiss yang akan kami eksplorasi saat itu. Zurich menjadi prioritas utama kami. Jenewa merupakan alternatif ke dua, meski akhirnya justru Lucerne yang menjadi tempat eksplorasi kami di Swiss. Itu pun kami tentukan ketika kami berada di Wina. Alasannya sederhana: bujet. Namun setelah kami bandingkan dua kota tersebut melalui berbagai informasi di internet dan kamus para traveler, Lonely Planet, kami justru semakin sepakat bahwa Lucerne mempunyai keunggulan lain, yaitu pemandangan alamnya yang sangat mewakili pegunungan Alpen, pun puncak Eiger bakal menjadi latar eksplorasi kami... Go Lucerne go!!!!

Kami yakin jadwal bakal berubah setiap saat, sehingga kami pun sepakat menerapkan sistem running itinerary, tentu saja plot utama sudah kami tentukan. Kami mencoba realistis dengan terus berkompromi dengan kondisi fisik, bujet, dan jalur kereta. Second plan selalu kami sediakan ketika kami terpaksa harus mengubah jadwal ataupun jalur perjalanan.

Dari Utrecht, kami menuju Hamburg via Bremen, Jerman. Kami mengeksplorasi dua kota tersebut dan menginap di Hamburg. Hari kedua kami melanjutkan eksplorasi di kawasan Skandinavia. Tujuan pertama kami adalah dua kota metropolitan di Skandinavia Selatan: Kopenhagen, Denmark; dan Malmo, Swedia.

Kami menginap di Malmo dan mengeksplorasi kota tersebut pagi harinya. Sedangkan Kopenhagen siang hingga sore harinya dan kami langsung menggunakan kereta malam menuju Stockholm, Swedia. Kereta yang mogok 6 jam di Linkoping, Swedia cukup mengganggu jadwal perjalanan kami. Kota indah Stockholm hanya mendapatkan porsi eksplorasi selama 3 jam saja, sayang, karena kami sudah book hostel di Karlstad (The city of sunshine), sebuah kota di pinggir danau di pedalaman Swedia. Pagi harinya kami lanjutkan perjalanan menuju Oslo, Norwegia tentunya setelah kami melihat Karlstad dengan lebih dekat.






Kami tiba di Oslo hari Minggu, dua hari setelah tragedi dobel-teror di kota termahal di dunia tersebut. Kami menginap dua malam di kota tersebut karena kebetulan ada saudara. Jam 7 pagi kami lanjutkan perjalanan ke Goteborg, di pantai Barat Swedia, dan belanjut ke Malmo yang merupakan stasiun transit bagi kami di mana kereta malam kami menuju Berlin diberangkatkan.

Setelah eksplorasi Berlin selama sehari, sorenya kami kembali masuk kereta menuju Praha, Republik Ceko dan menginap disana. Tak salah kami memberikan porsi full-day di Praha sehingga keindahan kota tuanya bisa puas kami jelajahi. Kami mengunakan kereta malam dari Hlafni Nadrazi menuju Budapest, Hungaria via Wina, Austria. Kami harus mengubah rute yang sedianya via Slovakia karena pass kami tidak berlaku di Slovakia. Enam jam mengeksplor Budapest, kami pun kembali ke Wina dimana kami sudah reservasi sebuah kamar hotel untuk kembali mengistirahatkan tubuh.

Wina mendapatkan porsi full-day seperti halnya Praha, sehingga waktu istirahat dan eksplorasi kami pun cukup. Setelahnya kami kembali bersiap untuk bermalam di kereta menuju Venesia, Italia. Venesia yang menawan dan unik dengan kota airnya sangatlah mahal bagi kami para budget traveler. Kami habiskan waktu 6 jam di kota tersebut dan sorenya kembali melanjutkan perjalanan ke kota tua penuh sejarah, Roma. Pagi hingga siang hari berikutnya kami habiskan menjelajah Roma sebelum kembali melanjutkan perjalanan kami menuju Lucerne, Swiss.

Tujuan kami berikutnya adalah Brussel, Belgia menginap di kota tersebut, menjelajah dan tak lupa kami mampir dan mengeksplorasi dua kota cantik lainnya di Belgia: Gent dan Antwerpen. Belgia merupakan tujuan akhir dari perjalanan kami sebelum kembali ke basecamp kami selama di Eropa yaitu di Utrecht, Belanda.

Rute perjalanan 15 hari Eurail kami:
Utrecht (Belanda) Bremen (Jerman) Hamburg (Jerman) Malmo (Swedia) Kopenhagen (Denmark) Stockholm (Swedia) Karlstad (Swedia) Oslo (Norwegia) Goteborg (Swedia) Berlin (Jerman) Praha (Czeko) Budapest (Hungaria) Wina (Austria) Venesia (Italia) Roma (Italia) Lucerne (Swiss) Brussel (Belgia) Antwerpen (Belgia) Utrecht (Belanda)

Dan semoga perjalan kami ini nanti nya akan terbitkan dalam bentuk buku perjalanan "Explore Europe" akhir tahun nanti.



Traveling adalah nama tengah seorang Yusuf Solo. Dia adalah founder Explore Solo Community, sebuah komunitas pecinta traveling yang berusaha mengenalkan sisi lain Solo. Komunitas eksplorer ini lalu berkembang menjadi explore many places. Mulai Karimun, Belitung, hingga yang terbaru: explore Europe. Temui mahasiswa Magister Kajian Pariwisata UNS ini disini



Taufiq Almakmun adalah pecinta kembara. Selain menjadi co- founder Explore Solo Community, pria bujang ini juga begitu menikmati berkelana dari kota ke kota. Kesibukannya sebagai mahasiswa pasca sarjana American Studies di Utrecht University membuatnya leluasa menjelajahi kota-kota di jazirah Eropa. Temui alumnus Unit Kegiatan Pers Mahasiswa Kentingan ini disini

Senin, 08 Agustus 2011

"It's The Vinyl Countdown 1"


Friends

Jakartabeat.net akan menyelenggarakan acara offline yang diberi nama: "It's The Vinyl Countdown 1". Sebuah event mendengarkan vinyl bareng dilanjut dengan diskusi mengenai vinyl yang diputar. Acara ini akan menjadi acara rutin Jakartabeat.net, mungkin bulanan.

Untuk It's the Vinyl Countdown 1, diselenggarakan bersama Majalah Cobra dengan detil dibawah ini:

Tempat: Tebet Timur Dalam Raya No.6 Jakarta Selatan 12820

Hari/tanggal: Sabtu 13 Agustus 2011

Waktu: mulai pukul 15.00 WIB.

Vinyl: Those Shocking, Shaking Days.

Acara ini akan mendiskusikan bagaimana kondisi scene musik Indonesia di tahun 1970 dan pelajaran yang bisa dipetik oleh musisi muda ke depan. Kami terinspirasi oleh rilis Those Shocking, Shaking Days yang memuat musik-musik penting rock dari dekade 1970an. Acara akan dimulai dengan pemutaran musik-musik dari album itu.

Pembicara adalah Benny Pandjaitan dari Panbers, Herry Sutanto dari Christmas Camel, dan mewakili generasi muda ada Wahyu "Acum" Nugroho dari band Bangkutaman. Diskusi akan dipandu oleh Harlan Bin.

Beberapa pertanyaan yang hendak diskusikan adalah seperti apa scene musik Indonesia tahun 1970-an, apakah musik di album ini mewaikili mainstream, apakah di dengarkan oleh khalayak ramai, bagaimana proses kreatif waktu itu, pengaruh band-band dari luar negeri dan bagaimana mengapropriasi produk-produk fisik mereka waktu itu, seperti vinyl dan kaset juga bagaimana suasana radio pada saat itu.

So, see you all there! Everyone's invited. Please circulate this notes.

Tulisan terkait album Those Shocking, Shaking Days di Jakartabeat.net bisa dibaca ulang di:

Minggu, 07 Agustus 2011

Notre Dame dan Before Sunset


Jesse:
I heard this story once about when the Germans were occupying Paris and they had to retreat back. They wired Notre Dame to blow, but they had to leave one guy in charge of hitting the switch. And the guy, the soldier, he couldn't do it. You know, he just sat there, knocked out by how beautiful the place was. And then when the allied troops came in, they found all the explosives just lying there and the switch unturned, and they found the same thing at Sacre Couer, Eiffel Tower. Couple other places I think...

Celine:
Is that true?

Jesse:
I don't know. I always liked the story, though.

Indomie dan Janji Yang Belum Terpenuhi


Saya gak bermaksud menyaingi kawan saya, si Viera Ratu Boker, dengan bercerita soal Indomie. Apalagi berharap jadi bintang iklan Indomie. Saya cuma mau cerita sedikit kalau indomie pernah mengenyahkan kegalauan saya. Makanya saya bersyukur di Hamburg ada sebuah toko Asia yang menjual indomie.

Saya ingat ketika minggu kedua berada di Hamburg. Saat itu saya sedang dilanda galau. Entah kenapa. Sore itu hujan. Berangin pula. Hawa dingin makin menjadi. Tiba-tiba saya rindu masakan pedas. Bisa masakan padang, atau tempe penyet buatan Mak Ri. Masakan pedas di kala hujan itu tak pernah salah. Tapi apa daya, mana bisa saya menemukan masakan pedas di Hamburg?

Akhirnya saya menuju dapur. Membuka kulkas, mengambil satu buah indomie kuah rasa kari ayam. Sembari menjerang air, saya mengiris cabe, bawang putih, bawang merah, dan bawang bombay. Setelah air mendidih, saya masukkan mie ke dalam air. Lalu memasukkan irisan cabe, bawang putih, merah, bombay, juga telur. Selagi menunggu matang, saya menuangkan bumbu mie kuah ke dalam mangkok keramik.

Selepas 3 menit, mienya sudah matang. Begitu pula telurnya, matang dengan cantik. Saya menuangkan mie beserta kuah dan telur ke dalam mangkuk. Mengaduknya perlahan. Menaburi bubuk merica banyak-banyak biar pedas dan bikin hangat.

Lalu saya membawanya ke kamar.

Di luar, hujan makin deras tampak dari jendela besar di kamar saya. Angin kencang, mengibas-ibas pohon cemara muda di halaman belakang rumah. Setelah kuah panas menghangat, saya menyeruput pelan kuah rasa kaldu ayam itu.

Slurrppp.

Tiba-tiba saya jadi ingat Yogya. Rasa kuah yang pedas dan menghangatkan itu membawa ingatan saya ke beberapa teman di Yogya. Ada Yandri, Panjul, Cahyo, Yoga, Rusli, Prima, Islah, Rhea, dan banyak lagi. Kawan-kawan yang biasanya selalu menjamu saya ketika berada di Yogya. Kami seringkali menghancurkan makna waktu di burjo yang banyak bertebaran di pelosok Yogya. Berlama-lama sembari berceloteh tentang banyak hal. Mulai musik, film, buku, perempuan cantik, lelaki brengsek, hingga sok-sokan berfilsafat akan masa depan.

Bergosip itu tentu ditemani oleh semangkuk mie kuah atau sepiring mie goreng. Entah kenapa, di burjo selalu indomie yang dijadikan ambassador untuk produk mie. Lain tidak. Saya sering memesan mie kuah telur. Lalu menambahi sendiri merica sesuai selera.Persis seperti yang saya makan sore itu. Di Hamburg yang sedang kuyup. Matahari terseruk. Dan angin berteriak-teriak. Berisik.

Seruputan terakhir lantas membawa kembali mood saya yang melanglang ke Yogya tanpa pamit. Juga pada Rina yang padanya saya berjanji mengajaknya ke Yogya. Tapi belum sempat hingga sekarang. Suatu saat nanti, pasti.

Sabtu, 06 Agustus 2011

Bananenweizen

nitestar.de

Ketika sedang berada di Bonn, saya dijamu oleh seorang sahabat, Andy Budiman. Mas Andy --begitu saya memanggilnya-- mengajak saya berkeliling kota Bonn yang kecil dan tenang. Pria humoris ini juga mencekoki saya dengan berbagai jenis bir tradisional Jerman.

Suatu hari ketika kami ke Koln, beberapa kilometer ke selatan Bonn, saya diajak ngafe. Mas Andy bercerita ada bir Koln yang sangat enak. Namanya Bananenweizen, alias bir pisang. Bir pisang? Seperti apa rasanya? Karena penasaran, saya seperti kerbau yang dicucuk hidungnya, memesan bir ini atas rekomendasi mas Andy.

Ketika pesanan keluar, alamak! Gelas birnya panjang dan besar. Masih ada titik-titik embun di gelas yang terbuat dari kaca itu. Dingin dan tampak menyegarkan. Ada endapan berwarna kuning di bagian bawah gelas. Itu adalah jus pisangnya. Ada buih busa diatas.

Apa saya sanggup menghabiskannya? Selama ini saya jarang sekali minum alkohol. Paling banter minum bir, lain tidak. Itupun hanya satu botol kecil, maksimal. Makanya saya sedikit shock melihat porsi bir ala orang Jerman ini.

Tegukan pertama. Glek. Segar! Ada kombinasi rasa pahit ala bir dan rasa manis unik dari jus pisang. Tegukan pertama yang kecil dan pendek jelas tidak memuaskan. Langsung saya menuju tenggakan kedua yang panjang. Gleeekkk. Ah, rasanya memang nikmat! Dingin dan menyejukkan di tengah hawa yang gerah dan sinar srengenge yang terik. Saat itu ada piala dunia wanita yang kebetulan diadakan di Jerman. Suasana kafe sangat riuh. Saya, mas Andy, dan seorang temannya juga ikut terpengaruh. Mendukung Jerman yang saat itu melawan Kanada. Tentu kami tak ingin ditimpuki pengunjung kafe.

Belum usai babak pertama, licin tandas sudah gelas panjang berisi bir pisang itu...

Da Genova La Focacceria Pizza Al Taglio


Saya tak tahu apa arti kalimat yang saya pakai untuk judul tulisan ini. Kalimat itu terpampang di sebuah tempat kecil di ruas jalan Segusina Gate, Turin. Setelah saya berkeliling Turin sejenak, saya meneruskan berjalan di ruas Segusina Gate, yang menjadi awal dari Via Garibaldi, jalur pedestrian terpanjang di Eropa. Di Segusina inilah saya bertemu dengan Da Genova La Focacceria Pizza Al Taglio.

Tak susah untuk tahu bahwa tempat ini adalah sebuah pizzeria. Pizza ala Genoa tepatnya, karena ada Genova tercantum. Genova adalah bahasa Italia untuk Genoa. Sama seperti Torino untuk menyebut Turin.

Karena perut yang keroncongan, saya memutuskan masuk dan memesan seiris pizza. Pizza di pizzeria ini ditaruh dalam loyang berbentuk persegi, dan dipanggang dalam oven. Lalu pizza akan diiris persegi panjang, dan disajikan di sebuah piring kertas. Sederhana. Ada banyak pilihan pizza. Mulai pizza bertopping plain keju mozzarella, lalu ada topping buah zaitun dan daun basil, hingga pizza salami pilihan saya.

Pizza salami kadang disebut juga dengan pizza capricciosa. Pizza ini toppingnya terdiri dari keju mozzarella, tomat, jamur, salami, dan juga olive oil. Ada juga taburan daun basil kering.

Setelah dihangatkan, saya membawa pizza itu ke meja makan di depan pizzeria. Pas di pinggir arus pejalan kaki yang deras di Via Garibaldi. Jadi saya bisa menikmati Turin dari dekat dan intim. Juga melihat betapa ekspresifnya orang Italia jika berbicara.

Pizza ini sungguh begitu enak. Dough-nya tipis, tak tebal seperti dough ala American pizza. Beberapa bagian yang over-cooked malah memberikan aksen renyah yang unik. Lalu olive oil memberi aksen basah dan lengket yang menyenangkan. Keju mozzarella yang cair begitu lumer di lidah dan dinding tenggorokan. Rasa asinnya begitu pas. Daging salaminya juga renyah dan gurih. Superb!

Saya lalu percaya satu hal. Carilah pizzeria manapun di Italia. Pizza yang mereka jual pasti sama enaknya. Tak ada pizza tak enak di Italia. Saya telah membuktikannya siang ini.

Kari Bebek Ala Passau


Sebelum memulai perjalanan panjang menuju Italia dan Perancis, saya terlebih dulu mampir ke Passau. Passau adalah sebuah kota kecil nan nyaman yang berbatasan dengan Austria. Kota ini dianggap sebagai kota suci bagi para Neo Nazi karena Hitler kecil bermigrasi dari Austria ke Jerman masuk melalui kota ini. Passau tersohor dengan sebutan "City of Three Rivers" karena ada perpaduan dari tiga sungai: Inn, Ilz, dan Danube.

Tujuan saya ke Passau adalah untuk sowan ke Fathun Karib, salah seorang penulis subkultur Punk yang begitu gigih. Saat ini ia sedang mengambil gelar master di Universitas Passau. Saya mengenal mas Fathun --begitu saya memanggilnya-- dari situs Jakartabeat. Kami berdua sama-sama sering menulis disana.

Saya dijemput di Passau Hauptbanhof pada sore menjelang senja. Saat itu hawa dingin menusuk. Hujan turun rintik. Mas Fathun lalu mengajak saya ke apartemennya. Setelah menaruh tas dan membersihkan diri sejenak, saya lantas diajak makan di sebuah restoran Jepang.

Ide bagus. Karena saya begitu rindu makan nasi. Di restoran kecil berkonsep open-kitchen ini, saya begitu menikmati aroma wangi masakan berempah. Saya memesan duck curry, sedang mas Fathun memesan sapi lada hitam.

duck curry alias kari bebek ala Passau ini begitu berbeda dengan kari Jepang yang pernah saya makan. Kari bebek ala Passau ini memakai santan dan irisan rebung. Mengingatkan saya pada masakan lodeh yang sering dimasak mamak di rumah.

Ketika mencicipi, saya bersorak kegirangan. Memang rasanya sangat sangat sangat mirip lodeh. Kulit bebek di luaran begitu renyah. Krenyes. Sedang daging bebeknya terasa begitu lembut ketika digigit dan ditarik. Irisan rebung yang segar sontak melunaskan kerinduan akan masakan pribumi. Kuah karinya yang berwarna campuran kuning dan oranya mirip lodeh tak henti-hentinya membuat saya menyeruput dengan sendok. Tak butuh waktu lama bagi saya untuk menandaskan kari bebek yang saya lupa apa istilah bahasa Jermannya.

Sore itu, rasa rindu saya terhadap nasi lunas terbayar. Juga rasa rindu saya akan lodeh rebung. Mission accomplished! Setelah makan saya dan mas Fathun keluar restoran. Cuaca sudah sedikit cerah. Mari jalan-jalan keliling Passau.

Ciabatta dan Setangkup Sandwich Keju



Paris adalah kota yang sangat cantik. Saking cantiknya, ia berhasil membuat saya terbius, terus berjalan kaki, walau nyeri sudah terasa di bagian betis dan dengkul. Bahkan gedung perkantoran pun dibuat begitu elok. Membuat saya betah berlama-lama melangkahkan kaki.

Dari kastil Notre Dame, saya ingin berjalan kaki menuju Musee du Louvre alias museum Louvre. Di tengah perjalanan, saya kelaparan. Tak terisi sejak pagi, membuat para cacing dalam perut memainkan musik keroncong.

Saya tak perlu khawatir. Ada banyak jejeran penjual makanan di Paris. Tinggal memilih saja mana yang sesuai selera.

Akhirnya saya memilih satu toko roti yang terletak hanya beberapa meter di sebelah selatan Notre Dame. Banyak jenis roti disana. Termasuk Ciabatta. Roti ini adalah roti khas Italia yang bertekstur sedikit keras dan dalamnya berongga. Roti panjang ini lantas diisi berbagai topping. Mulai daging ayam, daging sapi, hingga ham. Ada juga Ciabatta sayuran untuk para vegetarian. Tapi harga yang terlalu mahal untuk sepotong roti (4 euro) membuat saya memilih roti lain.

Saya memilih cheese sandwich biasa. Dua lembar roti tawar dengan daging asap dan keju mozzarella di tengahnya. Ketika dihangatkan, keju mozzarella kembali meleleh, lumer di hard palate alias dinding atas tenggorokan. Begitu lezat dan menimbulkan liur. Tekstur roti tawar ini begitu lembut dan empuk, tapi tetap krispi karena dipanggang.

Ah, hari di Paris menjadi tambah renyah.

Bratwurst Altona


Bratwurst adalah makanan kebanggaan orang Jerman. Tingkat keimanan orang Jerman pada bratwurst nyaris sama dengan tingkat keimanan mereka terhadap bir. Karena memiliki mata rantai sejarah yang panjang, tak heran kalau asal usul mengenai bratwurst begitu susah dicari ujung pangkalnya. Selain itu, tiap daerah memiliki varian wurst yang berbeda.

Saya tak tahu apa jenis wurst yang saya temui di taman Altona. Karena perut keroncongan, tak perlu berpikir dari manakah asal wurst yang saya makan. Aroma wangi yang menguar dari wurst yang dibakar diatas arang seperti menarik saya menuju stall penjual wurst. Si penjual tampak sibuk membolak-balik wurst yang dibakar. Ada wurst yang berwarna merah, pink, dan coklat muda. Saya tak tahu yang mana yang enak. Saya asal pesan aja, yang penting wurst.

Wurst yang panjang ini disajikan dengan sebuah roti bertekstur keras. Lalu ada pilihan saus mayo atau saus sambal. Tapi sayang, kedua saus itu sama-sama aneh rasanya untuk lidah saya. Yang saus mayo cenderung hambar, yang saus sambal malah rasanya asam. Itu berakibat wurst hanya enak pada gigitan pertama hingga ketiga. Selanjutnya sudah bikin eneg. Sepertinya orang Jerman harus dikenalkan pada saus sambal ala Indonesia.

Setelah menghabiskan sisa wurst dan bir, saya pun melangkah menuju stasiun Altona. Hari sudah siang. Saatnya belanja kebutuhan sehari-hari...

Backfisch Baguette

Backfisch Baguette adalah jajanan yang gampang di temui di pelabuhan Landungsbrücken. Baguette dengan tekstur yang keras, berpadu dengan daging ikan yang crispy namun lembut di dalam. Masih ditambah dengan rasa asam dari saus mayonaise dan tomat, juga kesegaran selada.

Saya pergi ke Landungsbrücken pada suatu siang yang terik. Ditemani sebotol bir dingin dan sepotong backfisch baguette, rasanya hari akan terus menyenangkan...