Selasa, 22 Mei 2012

Sudah 25 Tahun Dhan?

Saya ingat, hari itu siang sedang terik. Saya dan Dhani terlibat perdebatan sengit di sekretariat Tegalboto. Temanya bodoh sekali. Tentang siapa yang lebih hebat antara The Beatles dan Rage Against the Machine. Jadi bodoh karena Dhani bilang kalau RATM lebih hebat ketimbang The Beatles, kuartet asal Liverpool yang konon lebih terkenal ketimbang Yesus Kristus.

"RATM pernah bikin jalanan depan Wall Street macet karena mereka bikin konser disana" dengus Dhani dengan pongah. Padahal sehari-harinya ia rajin mendengarkan Kerispatih.

Dhani sudah merasa diatas angin karena argumennya itu. Suasana makin panas. Ada Inu dan Romdhi yang ikut tertawa melihat perdebatan tolol ini.

Saya dengan gerak yang tenang, memandang Dhani, pria subur yang saat itu baru duduk di semester 5, dan bertanya pelan padanya.

"Kau tahu kenapa The Beatles tak pernah konser lagi?"

Dhani menggeleng. Tetap dengan gaya yang sengak dan senyuman yang sinis.

"Karena The Beatles tak tahan, setiap konser, teriakan penonton lebih keras ketimbang suara musiknya. Eat that!" kata saya sembari tertawa.

Dhani terpaku. Ia kena skak mat. 

Saya tak membual. Kalau saja Dhani mau meluangkan waktunya untuk membaca beberapa literatur tentang The Beatles, ia pasti tahu. Setelah wawancara dengan Maureen Cleave tahun 1966, kontroversi menderas seiring pernyataan Lennon tentang betapa Beatles lebih tenar ketimbang Yesus. Ditambah dengan semakin kerasnya histeria penonton kala The Beatles manggung, membuat 4 orang santo ini memutuskan untuk berhenti manggung selama-lamanya.

Siang itu, siang yang terik di sekretariat Tegalboto, Dhani bertekuk lutut. Menyadari kepongahannya karena  dengan gegabah membandingkan The Beatles dan RATM.

                                                                               ***



Saya mengenal pria bernama lengkap Arman Dhani Bustomi ini pada tahun 2006. Saat itu saya memutuskan untuk gabung di UKM Pers Mahasiswa, Tegalboto. Di hari pertama diklat saja ia sudah menampakkan sifatnya: pemberang, suka menyulut perdebatan, senang berdebat, dan meledak-ledak. Juga masih melekat di ingatan tentang tema debat Dhani dengan seorang anak UKM  karate yang ikut diklat yang sama: tentang apakah Infotainment itu masuk jurnalisme atau tidak. Untung saja Dhani tidak diberi Ichigeki Hissatsu oleh si bocah karate itu.

Beberapa hari setelahnya, di malam yang hangat, Dhani bercerita dengan kemlinthi. "Aku pernah manggung bawain lagunya Korn yang Another Brick in the Wall". 

"Bukannya itu lagunya Pink Floyd?" sergahku. Dhani bingung. Sepertinya saat itu ia belum tahu siapa itu Pink Floyd. 

"Gak tahu, pokoknya aku sempat stage diving" tambahnya. Wow, pria ini keren sekali, pikir saya waktu itu. Sembari berpikir nakal betapa mengenaskannya nasib penonton yang terpaksa menerima dan mengangkat tubuh Dhani yang subur dan bergelimang lemak ini.

Tanpa dinyana, hubungan perkawanan saya dengan Dhani bertahan lama. Bahkan setelah 6 tahun berderap, kami masih saja berkawan dan saling menghina.

                                                                                 ***

Saya dan Dhani menghuni ruangan berlantai merah selama nyaris 5 tahun. Sejak tahun 2006 hingga tahun 2011, ketika kami berdua sudah purna sebagai pengurus. Kami pernah berbagi kasur, berbagi selimut, hingga --menurut pengakuan sepihak dari Dhani-- berbagi celana dalam. 

Kami saling mengintip folder masing-masing. Bertukar lagu, berdebat tentang siapa band yang paling keren, atau bercerita mengenai perempuan yang kami kencani. Saya sampai hafal kebiasaan Dhani sebelum tidur. Setelah menyempatkan diri sholat Isya di ujung ruang redaksi yang penuh sesak dengan buku dan alat tulis, setelah melipat sajadah, ia membungkus dirinya dengan sarung bermotif kotak berbau apak, lalu melumuri perutnya dengan minyak kayu putih. Tak lama kemudian, ia pasti tertidur dengan pulas. Mendengkur. Bagai bayi yang baru saja dioles minyak kayu putih oleh sang ibunda.

Hidup dengan pria ini selama 5 tahun, membuat saya kurang lebih hafal perangainya.

Dhani adalah paradoks. Ia bagai kutub utara dan selatan yang tarik menarik. Ia seringkali sangat emosional, over-reaktif, dan juga temperamental. Tak jarang ia menendang lemari besi di Tegalboto ketika marah. Bisa karena hasil tulisan anak-anak jelek, atau kesal karena tak ada yang datang rapat, atau karena karpet merah sekretariat kotor oleh abu rokok.

Tapi tak jarang saya memergokinya memasang mata yang teduh. Senyum yang tulus. Juga cerita-cerita betapa ia sebenarnya seorang pemalu dan rapuh. Ia lebih memilih untuk memelihara marah, mendiamkannya, hingga kemarahan itu menjadi dendam amuk yang membatu. 

Ia sering disakiti. Luka itu lantas bernanah. Sengaja dibiarkan dan dipelihara. Luka yang tak hanya disebabkan oleh satu dua orang saja. Melainkan banyak orang. Orang yang kemudian diberinya pancang bendera dendam. "Tak akan aku lupakan mereka sampe aku mati kelak. Dendamku akan terus hidup untuk mereka yang telah membuat hidupku sengsara dan penuh amarah!".

Tapi ia juga pernah dengan hati yang selembut sutra bawaan Marcopolo, menasehatiku agar tak memelihara dendam. Agar saya belajar melapangkan hati. Agar saya mau meluruhkan dendam yang, konon, dapat membuat hidup tak pernah tenang dan berbahagia.

Dhani adalah paradoks. Dhani adalah perpaduan dua kutub yang bertolak belakang. Dan saya menyayangi pria yang hidup dalam dua kutub itu. Dalam api marah yang terus ia pelihara. Juga dalam kesejukan padang prairie yang melenakan dan menenangkan.

                                                                                    ***



Tanggal 21 Mei 2012 Dhani berulang tahun. Ia resmi berumur 25 tahun sekarang. Memasuki fase yang genting. Sedang keadaan juga membuatnya seringkali bergeming, tak bergerak. Ia harus menuntaskan peperangan di medan akademis. Menyelesaikan kewajiban terhadap orang-orang yang selalu mendukungnya. Tanggung jawab itu membuatnya tertahan sejenak di Jember. Kota kecil di timur pulau Jawa yang mempertemukan kami.

Dhani masih saja sama seperti pria yang saya kenal 6 tahun silam. Ia masih meledak-ledak, seringkali sinis, tetap teguh memelihara bara dendam, tapi masih seringkali pasrah ketika digojloki kawan-kawannya perihal skripsi dan perempuan. Ia juga masih rela berhutang demi membeli buku, benda yang menurutnya "tak pernah mengkhianatiku".

Ia masih saja mempunyai skill menulis yang aduhai. Ia juga sudah mengurangi drastis kebiasaannya name dropping kutipan para filsuf dan pemikir dalam tulisannya, yang membuatnya sering saya ledek sebagai penulis kumpulan kutipan. Ia juga dengan telak membuat saya iri karena berhasil mendapatkan beasiswa Pantau, sementara saya tak pernah berani untuk mencoba.

Dhani juga sudah tidak sendirian sekarang. Di antara lantunan Payung Teduh dan rimbun danau UI, ia mengikat janji dengan seorang perempuan cantik nun sabar. Perempuan yang tak pernah lelah mendampingi Dhani ketika ia mengalami masa-masa sulit. Perempuan yang menendang Dhani, menyuruhnya agar tak jadi pria yang hanya bisa melarikan diri dan berenang dalam hanyut amuk dendam. 

Saat ini saya sedang memutar lagu The Beatles. Band yang menyulut perdebatan denga Dhani beberapa tahun silam. Perdebatan yang selalu saya kenang dengan terkekeh. Untuk mengenangnya, saya juga memasang foto saya bareng Dhani di Facebook. Foto itu menampakkan kala kami masih bocah gondrong yang pongah dan ingin menantang dunia dengan dada terkembang dan tangan terkepal. Kami beranggapan bahwa kami adalah duo terkeren dan karena itu adalah wajar untuk bersikap snob terhadap orang lain. Tapi seirinf berjalannya umur, kami menyadari bahwa dunia tidak sesempit ruang redaksi Tegalboto. Tidak pula sesempit Jember dan Bondowoso, kota kelahirannya.

Karena itu, mari mengepakkan sayap dan pergi melihat dunia Dhan! 

Kudos!

Rabu, 16 Mei 2012

New Day Rising*

Ketika sedang berada dalam middle age, masa remaja yang labil, ada beberapa hal yang akan membuat langitmu serasa runtuh. Misalnya: kamu diselingkuhi? Atau pacarmu tiba-tiba meninggalkanmu untuk menikah dengan pria yang jauh lebih mapan? Atau diputus secara sepihak? Itu kemungkinan yang bisa terjadi kapan saja kalau kamu memilih untuk berpacaran. 

Lalu apa selanjutnya? Kalian bisa menangis merengek sembari berharap sang pacar tidak meninggalkan kalian. Bisa juga bunuh diri mumpung obat nyamuk murah harganya. Atau menulis racauan galau di socmed dan memelihara dendam tetap menyalang. Tapi untuk para pejalan, jika galau cinta melanda, wajib hukumnya untuk mengenyahkan galau via traveling.

Bermula dari perbincangan absurd di twitter, akhirnya tercetus ide mengenai destinasi yang pas untuk dijadikan tempat untuk move on. Tempat itu bisa kota, ataupun obyek daya tarik wisata. Ada 5 orang yang akan menulis destinasi favorit mereka untuk melarung duka dan galau. Tiap penulis mendapat jatah 2 tempat. Jadi total ada 10 tempat yang bisa jadi referensi ketika kamu terserang gundah karena cinta.

1. Gili Meno




Almanak 2012 baru saja berjalan 2 bulan, saya sudah mengalami salah satu periode berat dalam hidup. Ada beberapa pilihan bagi saya dalam menghadapi masalah ini. Tapi saya memilih yang membuat saya paling tenang: traveling. Dengan memanggul ransel berisi tenda, misting, kompor, dan sleeping bag, saya mengarahkan motor ke arah timur, pergi ke pulau Lombok.

Lombok dikenal punya banyak pantai bagus. Dan sekarang 3 Gili (Air, Meno, dan Trawangan) menjadi salah satu primadona destinasi wisata di Lombok. Bagi yang suka keramaian, hilangkan duka lara kalian di Gili Trawangan, pulau kecil yang mirip Ibiza. Ada bar, cafe, restoran, dan segala macam tempat yang menawarkan kenikmatan surgawi. Keramaian tak pernah lindap. Selalu ada, 24 jam sehari, 7 hari seminggu.

Tapi saya enggan membuang galau di tempat ramai. Membuang galau di tempat ramai itu hanya bersifat tentatif, sementara. Maka saya mengalihkan tujuan ke Gili Meno, pulau terkecil sekaligus yang tersepi diantara 3 gili itu. Saya mendirikan tenda di bibir pantai. Bermain bola dengan anak-anak lokal. Mengobrol dengan penduduk setempat. 

Ketika malam tiba, pantai gelap sekali. Tidak ada penerangan. Tapi untung saat itu sedang bulan purnama. Saya buka pintu tenda, dan jadi sedikit terang. Saat-saat sepi seperti itu , saya seketika langsung berpikir "asu, laopo aku nang kene cuuuk? Dewean maneh". Tapi sumpah, itu saat-saat paling menenangkan dalam hidup saya. Tak ada suara manusia, tak ada suara apapun. Di depan ombak berkejaran.  Di saat seperti itu lah, saya mulai berkontemplasi mengenai banyak hal tentang hidup. Juga tentu saja apa yang akan saya lakukan selepas pulang dari Gili Meno.

Ketika pagi datang, saya buka tenda: air laut yang biru menghampar. Tinggal buka baju, langsung nyemplung. Mandi sepuasnya. Kalau sudah capai, tinggal menyeduh air untuk kopi. Setelah kopi habis, hamparkan matras untuk tiduran di bawah pohon cemara udang. Siang, bangun, diajak makan di restoran yang dikelola oleh seorang penduduk lokal yang berkenalan dengan saya. Gratis. Setelahnya, snorkeling menjadi pilihan yang menyenangkan.

Total saya menghabiskan 3 hari 2 malam disana. Di malam terakhir, saya dan kawan-kawan baru disana minum bir sembari bermain gitar. Saya tidur nyenyak, dan bangun dengan hati yang jauuuh lebih lega. Galau sudah saya larung di lautan. Yeah.

2. Yogyakarta



Salah satu lagu pop terbaik tentang Indonesia adalah "Yogyakarta" milik Kla Project. Tentu sebelum lagu magis ini dirusak oleh band warna janda yang memainkan lagu ini tanpa penjiwaan sama sekali. Fakk yuu.

Yogyakarta selalu jadi tempat yang menyenangkan untuk saya. Selalu ada sudut dan lorong untuk melepas penat. Termasuk galau. Menghabiskan waktu di Kaliurang sembari melihat Merapi, menelusuri pantai-pantai di Gunung Kidul, menyelusup di Pasar Beringharjo, berburu kaset bekas di pojokan, berbelanja di Malioboro, menyantap gudeg tengah malam, ngopi di angkringan, berburu buku dan majalah bekas di Shopping, atau mencoba peruntungan di beringin kembar. Ada banyak hal yang bisa dilakukan untuk meleburkan galau di udara. Saya sendiri bersyukur sejak September tahun lalu, berkesempatan tinggal di kota berhati nyaman ini. Dan menjelajah Yogya adalah suatu kenikmatan tersendiri bagi saya.

Lagu "Yogyakarta" sendiri tidak hanya bercerita mengenai keindahan Yogya. Tapi juga tentang rasa kehilangan. Katon bernyanyi dengan lirih, getir, tapi sekaligus tak menangisi kehilangan. Sedang Lilo dan Adi meramu musik dengan bersahaja tapi tetap begitu nyaman di dengar. Mereka menunjukkan bahwa kehilangan tak harus disikapi dengan sedu sedan. Ada banyak cara untuk terus melangkah.

Percayalah...

Pulang ke kotamu, ada setangkup haru dalam rindu
Masih seperti dulu
Tiap sudut menyapaku bersahabat penuh selaksa makna
Terhanyut aku akan nostalgi saat kita sering luangkan waktu
Nikmati bersama suasana Jogja

Di persimpangan, langkahku terhenti
Ramai kaki lima menjajakan sajian khas berselera
Orang duduk bersila
Musisi jalanan mulai beraksi seiring laraku kehilanganmu
Merintih sendiri, di tengah deru kotamu

(Walau kini kau t’lah tiada tak kembali) Oh…
(Namun kotamu hadirkan senyummu abadi)
(Izinkanlah aku untuk s’lalu pulang lagi)
(Bila hati mulai sepi tanpa terobati) Oh… Tak terobati

Musisi jalanan mulai beraksi, oh…
Merintih sendiri, di tengah deru, hey…

Walau kini kau t’lah tiada tak kembali
Namun kotamu hadirkan senyummu abadi
Izinkanlah aku untuk s’lalu pulang lagi
(untuk s’lalu pulang lagi)
Bila hati mulai sepi tanpa terobati, oh…

Walau kini engkau telah tiada (tak kembali) tak kembali
Namun kotamu hadirkan senyummu (abadi)
Senyummu abadi, abadi…

post-scriptum: Dua destinasi ini ditujukan untuk tulisan kolaborasi antara saya, Dhani, Awe, Kinkin, dan juga Farchan. Kami sepakat untuk masing-masing menulis dua destinasi yang pas untuk dijadikan tempat untuk move on. Melangkah dari masa lalu dan beranjak ke masa depan. Tulisan lengkapnya nanti bisa dilihat di situs Hifatlobrain.net.

*Baidewai, "New Day Rising" adalah judul lagu dari Husker Du, yang seakan memberi semangat bagi kita untuk memulai hari yang baru.

Selasa, 15 Mei 2012

Belanda: Dari Total Footbal Hingga Brownies Ganja

Utrecht sedang cerah sore itu. Kereta yang saya tumpangi dari Hamburg baru saja berhenti di Stasiun Utrecht Central. Rencananya saya akan bertemu dengan dua orang teman yang sedang melanjutkan studi Universitas Utrecht.

Langit musim panas Utrecht masih terang walau jam sudah menujukkan pukul 8 malam. Dua orang teman saya datang. Kami lantas menaiki kereta menuju Amsterdam. Belanda memang lekat dengan Indonesia. Sejarah mengatakan bahwa Belanda menjajah Indonesia selama 350 tahun. Banyak darah dan air mata tertumpah. Tapi Belanda juga membawa banyak hal baru: hukum tata negara, sistem tata kota, hingga sistem kanalisasi.

"Orang Belanda itu mengatur segalanya dengan sistematis" ujar salah seorang kawan. Ia menunjuk pohon yang berjejer rapi di samping kanal. Pohon itu tingginya nyaris sama. Seperti sengaja diatur.

Kanal merupakan salah satu bentuk kreativitas bangsa Belanda. Dengan tinggi daratan lebih rendah ketimbang tinggi perairan, Belanda dituntut untuk menguasai tekhnik merancang “pertahanan” agar daratannya tak terendam oleh air. Belanda berhasil melakukannya selama ratusan tahun. Tak heran, Belanda termahsyur dengan jurusan tekhnik konstruksi bangunan. Hingga sekarang kanal menjadi urat nadi bagi masyarakat Belanda. Selain menjadi jalur lalu litas air, kanal juga telah menjadi obyek wisata.

Stasiun Amsterdam Central sudah di depan mata. Kami bertiga turun. Berjalan kaki sejenak, kami sudah sampai di depan stadion Amsterdam Arena, markas kebanggaan salah satu tim sepak bola terbaik Eropa: Ajax Amsterdam. Tim ini merajai Eropa pada era 1970-an. Banyak pemain legendaris dunia lahir dari tim ini. Sebut saja  Marco van Basten, Johan Cruijff, hingga Dennis Bergkamp.

Dalam dunia sepak bola, Belanda dikenal dengan teknik total footbal. Dalam penjelasan sederhana, total football adalah strategi bola yang tidak mengenal posisi baku. Ia bisa berubah-ubah sesuai kebutuhan tim. Bek kiri bisa menjadi sayap kiri, sedang penyerang bisa menjadi gelandang bertahan. Strategi ini dipopulerkan oleh Rinus Michels, pelatih Belanda tahun 1950 hingga 1954. Strategi ini berhasil membuat Belanda menjadi tim yang sangat ditakuti di kancah persepakbolaan. Strategi ini menunjukkan kreativitas orang Belanda. Ia mengobrak-abrik pakem strategi bola konservatif. Karena itu Belanda susah dibendung. Hasilnya adalah gelar juara Piala Eropa tahun 1988 ketika ditangani oleh Johan Cruijff, mantan anak asuh Rinus Michaels.

Sore sudah menjelang ranum. Gelap sudah mulai tandang. Kami melangkahkan kaki menuju kawasan red light district. Kawasan lampu merah ini begitu termahsyur di Eropa. Selain menjadi kawasan hiburan dan seks, ada satu tempat yang wajib dikunjungi oleh banyak wisatawan: coffee shop. 

Coffee shop bukanlah kafe tempat ngopi biasa. Mereka menjual menu yang sudah menjadi legenda: brownies ganja: campuran antara brownies dan ganja. Ini juga merupakan salah satu bentuk kreativitas warga Belanda. Mencampurkan ganja dalam makanan. Ganja sendiri sudah lama dikenal sebagai daun yang dijadikan bahan campuran masakan, seperti di Aceh. Tapi karena ada UU NAPZA, ganja dianggap ilegal di Indonesia. Di Belanda sendiri, ganja adalah barang legal, walau tetap ada aturan penggunaannya. 

Malam semakin menua. Saya melirik jarum jam. Sudah jam 1 pagi. Kami segera bergegas mengejar kereta terakhir menuju Utrecht. Dalam hati saya berjanji, kelak saya akan kembali. Menelusuri Belanda yang kreatif. Dari kanal, sepak bola, hingga yang sedikit nakal: brownies ganja.

Rabu, 09 Mei 2012

Alkantana dan Manji

Apa hubungannya antara Cahyo Alkantana dan Irshad Manji?

Cahyo Alkantana adalah pegiat alam bebas yang belakangan ini kerap diperbincangkan. Ia mengelola sebuah usaha ecotourism di Gua Jomblang, gua yang dikenal sebagai satu dari sangat sedikit gua yang memiliki ray of light alias sinar dari surga. Selain itu, pria petualang ini juga akrab dengan dunia bawah laut. Beberapa kali ia membuat tayangan dokumenter tentang alam bawah laut yang lantas dibeli oleh beberapa stasiun televisi luar negeri seperti National Geographic ataupun Animal Planet. Sekarang ia punya acara tv sendiri: Teroka, yang diputar di salah satu televisi swasta.

Sedang Irshad Manji adalah seorang penulis yang namanya baru saya kenal beberapa hari lalu. Namanya mendadak dikenal ketika diskusi bukunya, Allah, Liberty and Love, Suatu Keberanian Mendamaikan Iman dan Kebebasan, dicekal; dilarang; bahkan dibubarkan secara paksa oleh ormas yang mengatasnamakan Islam. Irshad dianggap "melecehkan" Islam karena satu dan beberapa hal; termasuk karena preferensi seksualnya.

Lalu apa hubungan di antara mereka berdua? Cahyo dan Irshad mungkin tak saling kenal. Pekerjaan mereka pun jauh berbeda. Tapi ternyata mereka saling berkaitan. Setidaknya untuk saya.

Kemarin siang saya di sms oleh pegawai akademik dari kampus saya. Intinya adalah, Cahyo Alkantana akan memberikan kuliah umum di jurusan saya. Aih, saya senang bukan kepalang. Jarang-jarang bisa mendapat ilmu dan bertukar pikiran dari orang keren macam Cahyo. Rencananya, kuliah itu akan digelar hari ini, pukul 1 siang di gedung Pasca Sarjana ruang 408.

Tapi alangkah kagetnya saya ketika bangun selepas siang. Di beberapa media sosial, juga situs berita, ramai bersiuran kabar mengenai pelarangan diskusi Irshad Manji di UGM. Saya lantas membaca berita-berita terkait.

Ternyata seharusnya ada diskusi pemikiran Irshad di gedung Pascasarjana, pada pukul 9 pagi. Tapi karena alasan "keamanan", pihak UGM secara semena-mena membatalkan diskusi ini.

"Kami tidak melarang diselenggarakan. Tapi itu tidak diizinkan kalau di UGM," ujar Direktur Pascasarjana UGM, Prof Dr Hartono, dari berita yang saya cuplik dari detik.com (http://news.detik.com/read/2012/05/09/113922/1912829/10/ugm-tak-larang-irshad-manji-gelar-diskusi-asal-tidak-di-ugm)

Seketika saya malu kuliah di UGM.

Saya malu karena institusi pendidikan yang seharusnya menjadi tempat yang nyaman dan aman untuk menjadi tempat bertukar pikiran, mendadak menjadi fasis. Saya ingat percakapan dengan Gde Dwitya di kantin beberapa waktu lalu, bahwa institusi pendidikan itu WAJIB lepas dari setidaknya dua hal: politik praktis dan dogma. Dalam kasus ini, UGM telah gagal menjadi institusi pendidikan yang baik. Dan sejak kapan diskusi itu harus dibubarkan dan dilarang hanya karena temanya kontroversial? Saya pikir negara ini sudah melewati fase kegelapan macam itu. Ternyata belum. Menyedihkan.

Sesaat setelah membaca berita pelarangan diskusi itu, saya memutuskan untuk tidak ikut kuliah Cahyo Alkantana itu. Bukan karena apa. Saya sadar bahwa saya tak bisa berbuat banyak terhadap pelarangan diskusi itu. Saya hanya bisa protes melalui cara saya sendiri: merelakan diri untuk tidak ikut kuliah yang begitu ingin saya ikuti.

Ah UGM, kau #*@!^$ sekali!

Untuk Wido

Senin pagi itu, almanak 2004 mendekati saat dilepas dari dinding. Saya sudah duduk di kelas 3 SMA. Masuk di kelas 3 IPS 2. Para murid sudah bergerombol di lapangan, bersiap upacara bendera. Yang tak punya topi ribut bagaimana cara menghindar dari upacara bendera. Yang sepatunya tidak hitam sudah memikirkan cara bagaimana melesat meninggalkan gelanggang upacara.

Tepat jam 7 pagi, upacara bendera dimulai. Saya duduk-duduk di bagian belakang bersama beberapa orang kawan. Malas mendengarkan pidato guru. Setelah beberapa menit melakukan pidato, tiba-tiba ocehan retoris sang kepala sekolah terhenti.

"Itu siapa yang di kelas IPA 3?" tanya beliau sembari menunjuk kelas yang terletak dibelakang barisan murid. Sontak, para murid menoleh ke belakang.

"Ayo keluar kesini" kata bapak itu lagi. Suasana hening mulai terpecah oleh desusan ratusan murid peserta upacara.

Tak ada jawaban, dan tak ada yang keluar.

"Itu ada yang tengak-tenguk (celingukan) di jendela. Coba wali kelas IPA 3, jemput yang tengak-tenguk itu" perintah kepala sekolah pada pak Sandy, wali kelas IPA 3.

Suasana lalu tambah riuh oleh tawa yang tertahan.

Setelah Pak Sandy masuk kelas, beberapa saat kemudian keluarlah dua orang bromocorah kelas 3 IPA 3: Wido dan Bendol.

Tawa yang ditahan meledak sudah. Pak kepala sekolah tak bisa menahan tawa juga. Ia cuma geleng-geleng kepala melihat dua orang berbadan subur yang keluar dari kelas dengan cengengesan.

Wido dan Bendol ini sering dianggap sebagai saudara kembar. Badannya sama-sama tambun, suka bercanda dan memancing tawa. Mereka berniat tak ikut upacara karena tak punya topi dan malas. Jadi mereka ngumpet di kelas.

"Dadi ceritane ngene Ran (jadi begini ceritanya Ran)" kata Wido memberitahu saya jejak historis cerita tolol itu.

Awalnya mereka berdua santai di dalam kelas. Ternyata upacara berjalan lebih lama ketimbang biasanya. Mereka bosan. Lalu mulai mondar-mandir. Bendol lantas menengok ke jendela, mencari tahu apa yang membuat upacara berjalan lebih lama ketimbang biasa.

Nah, saat kepala Bendol terjulur, saat itulah Pak Kamil, kepala sekolah kami (Rest In Peace, sir), melihat kepala Bendol.

Ketika Pak Kamil menyebut ada orang yang tengak-tenguk, Bendol dan Wido panik. Mereka disuruh keluar, tapi mereka mengacuhkan perintah Pak Kamil. Karena takut dan malu tentu saja. Akhirnya mereka keluar setelah dijemput oleh Pak Sandy.

"Jet Bendol iki, tengak tenguk barang! (Bendol itu sih, pakai celingukan segala)" kata Wido sembari tertawa keras ketika bercerita kejadian beberapa tahun silam itu.

Saya lupa bagaimana akhirnya, yang pasti suasana upacara jadi lebih meriah dengan tawa pagi itu.

                                                                         ***



Arif Sandi nama lengkapnya. Bendol adalah nama panggilannya. Bendol ini bahasa Jawa yang berarti bengkak. Mungkin Arif dinamakan Bendol karena badannya yang besar dan tambun. Kulitnya legam, cara bicaranya sering diimbuhi dengan tawa pelan. Kalau ia bicara serius, ia selalu menambahkan kalimat "Iyo kan? Iyo ta gak?" seakan mencari persetujuan.  Saya dua kali sekelas dengannya, kelas 1 dan 2.

Wido Arisandi adalah murid pindahan tahun 2003, waktu itu saya baru masuk kelas 1. Semester 2 baru saja dimulai. Di kelas 1.6 ada murid pindahan dari Bondowoso. Dia Wido. Badannya lebih besar ketimbang Bendol. Dan dia lebih kocak ketimbang Bendol.

Menginjak kelas 3 akhirnya mereka bareng, dan menjadi sahabat akrab. Partner in crime. Karena saya masuk kelas IPS, saya jarang nongkrong bareng mereka. Hanya sesekali saja membolos bareng. Tak banyak kisah kocak nan absurd yang bisa saya ceritakan. Yang saya ingat hanya beberapa, termasuk kisah paling lucu yang saya ceritakan diatas, dan kisah ini:

Kalau kalian masih ingat pelajaran olahraga, ada praktek lompat jauh. Dimana kalian berlari dari start, lalu di titik tolak kalian harus melompat sejauh mungkin.

Nah, Wido seringkali dijadikan bahan lelucon kalau praktek lompat jauh tiba. Kawan-kawan satu kelasnya biasanya berdiri di samping arena pasir tempat mendarat. Nah, ketika Wido mulai berlari (tentu dengan tawa, karena ia tahu apa yang bakal terjadi), kawan-kawannya sudah mulai menggoyangkan badan: pertanda bahwa gempa kecil mulai terjadi. Ketika Wido melompat, hupp, lantas mendarat, bruuukk, anak-anak itu merobohkan diri, bergelimpang kesana kemari, seakan-akan gempa besar terjadi. Lalu meledaklah tawa kawan-kawan sekelasnya.

Hahaha.
                                                                           ***

2005 adalah tahun kelulusan kami. Sudah 7 tahun berlalu semenjak kami memegang ijazah dan mulai menempuh jalan hidup masing-masing. Sesekali kami masih berkumpul bersama, mengenang masa muda yang begitu penuh semangat dan tak punya beban.

Bendol sekarang sudah sukses. Dia jadi pemilik warung makan yang cukup terkenal di daerah kampus Universitas Jember. Ia merintis dari awal warungnya. Sejak tahun 2006 warung itu dibuka. Sekarang makin laris dan makin beragam menunya. Ketika kapan hari berkunjung kesana bersama seorang kawan, saya tak dibolehkannya membayar.

"Sing penting kan iso ketemu karo awakmu Ran, iso ngobrol-ngobrol, suwi gak ketemu (yang penting kan bisa ketemu kamu Ran, bisa ngobrol, lama gak ketemu)" ujarnya dengan senyum manis. Asoy.

Sedang Wido menikmati hidup dengan bekerja sebagai tenaga keamanan di sebuah perusahaan gas. Ia hidup tenang dengan 1 orang istri dan 2 orang anak. Itu yang saya tahu sih. Soalnya Wido suka mencari calon istri muda, hahaha.

Beberapa malam lalu saya ditandai dalam sebuah foto oleh Wido. Ternyata itu foto Wido dan Bendol yang menghabiskan malam Minggu di Alun-alun Jember setelah bermain bilyard. Senyum mereka tersungging. Sedikit bisa dibilang cengengesan.

Cengenges yang masih saya ingat ketika mereka digiring keluar dari kelas, 8 tahun lalu :)

                                                                       ***

Hari ini Wido mengulang hari lahir. Dari kalender di facebook, umur Wido konon baru 26 tahun. Saya tidak percaya. Wajahnya jelas menunjukkan kalau ia lahir --paling tidak-- 29 tahun yang lalu.

Tapi berapapun umurnya, saya senantiasa mendoakan yang terbaik untuk kawan baik saya itu. Semoga sehat selalu, rejeki mengalir lancar, jadi bapak yang  baik dan sabar bagi anak-anakmu, suami yang setia bagi istrimu, dan kawan yang solider terhadap karibmu.

Proficiat!

Sabtu, 05 Mei 2012

Tentang Dua Orang Asing Di Batas Waktu

"Kamu Carpicorn?" tanyanya padaku. Matanya menatap mataku. Tajam.

"Iya, ada masalah?" tanyaku balik. Aku balas menatap matanya. Teduh.

"Gak ada sama sekali. Pantas. Kau melankolis, sifat dasar seorang pemilik zodiak Carpicorn" ledeknya. Lalu tawanya memecah sunyi malam. Bahananya menyayat kepulan asap rokok dari bibirnya yang merah dan menggemaskan. Basah. Ingin rasanya aku menggigit bibir ranum yang kurang ajar itu.

Setelah berbatang-batang rokok terbakar, baru terbongkar satu rahasia: ternyata perempuan di depanku ini pemilik zodiak yang sama denganku. Perempuan yang membuatku jatuh hati dengan mudah. Memang gampang untuk menitipkan hati pada perempuan ini: perempuan dengan rambut ikal panjang terurai, bola mata yang bulat jernih dan sering suka membelalak, kulit yang kecoklatan, tawa yang menggemaskan, kuluman senyum yang menggumpal indah, dan yang paling penting: ia suka The Doors, band favoritku sepanjang masa nomer dua setelah Guns N Roses. Pula, juga tak enggan mendengarkan Motley Crue, salah satu band favoritku lainnya. Sesekali ketika sedang gulana, ia menyanyikan "Crazy" dari Aerosmith dengan meratap, seakan ia Steve Tyler versi perempuan.

Selalu mudah bagiku untuk tertarik dengan perempuan seperti itu.

Sama seperti yang ia bilang, Carpicorn memiliki sifat dasar melankolis. Ternyata ia malah jauh lebih melankolis ketimbang aku.

Suatu hari aku mencari segala sesuatu tentang dia. Bukan stalking, lebih tepatnya mengintai, yang diperhalus dengan bahasa: penasaran. Maka setelah nyasar ke situs kampusnya, mengetahui mata kuliah apa yang sudah ia ambil, akun jejaring sosialnya, akhirnya aku menemukan buku diary dunia maya miliknya. Dari warna dasarnya yang hitam, sudah terlihat kalau ia adalah perempuan gelap. Perempuan kelabu. Perempuan yang menyimpan luka. Itu yang membuatku meringis.

Ia riang, ia bersemangat, berjingkrakan dengan lagu AC/DC, tapi menabung luka yang laten, lengkap dengan laba yang makin bertambah seiring masa yang terus berjalan, berjejaring. Luka itu, menurutnya, adalah luka kambuhan. Luka yang ia tahu betul: begitu perih, tapi terus ia pelihara.

Masokis tanpa ia pernah sadari. Atau sadar, tapi berusaha ia ingkari.

Selalu mudah bagiku untuk tertarik dengan perempuan seperti itu. Dan biasanya memang sekedar tertarik. Tapi entah kenapa, perempuan ini berbeda. Ia seperti dengan mudah menelusuk, menalu pintu yang selama ini nyaris tertutup rapat. Ditambah, ia perempuan kelabu. Aku selalu suka warna kelabu. Dan apakah aku sudah bilang kalau ia suka The Doors?

"Kenapa kau tetap jatuh cinta dengan lelaki itu? Padahal kau tahu bahwa dia penyebab lukamu" tanyaku memecah lantunan‘the Girl from Ipanema’ yang diminta oleh seorang pengunjung pria paruh baya yang menekuri gadgetnya. Suara saxophone Stan Getz meliuk lincah diantara jejeran toples berisi kopi Toraja, Bali, dan Flores.

Ia tak menjawab. Hanya menatapku dengan bola matanya yang bulat, mengangkat dagunya perlahan, menjajarkan matanya dengan mataku. Bola mata itu, sendu bukan buatan. Tapi dengan lekas ia membuang muka, menghisap rokok putihnya dalam-dalam, lalu menghembuskannya ke malam yang sudah nyaris rubuh. Mungkin sudah bosan ditanyakan pertanyaan yang sama ribuan kali oleh ribuan orang pula. Aku paham, dan tak mau bertanya lagi. Lalu aku menatap matanya. Mata yang sayu. Mata yang menggetarkan.

Ia melankolis. Tipikal manusia Carpicorn. Plus, ia perempuan. Bukannya aku patriarkis atau seksis. Tapi berdasarkan pengalamanku, perempuan lebih sering menggunakan perasaan ketika menyikapi segala sesuatu. Termasuk dalam menyikapi kenangan.

Di depanku, kopi Bali yang dihidangkan dalam cangkir keramik putih sudah mulai larut. Aku masih berpikir: Ia melankolis, ditambah ia adalah perempuan. Ia pasti akan terjebak kenangan, entah itu pahit atau legit. Bagi perempuan sepertinya, kenangan patut dipelihara. Dan ia sepertinya enggan beranjak untuk membuat kenangan baru. Tanpa ia sadar kalau kenangan adalah ilusi. Sesuatu yang bisa dibuat. Dengan orang baru pula. Biasanya, aku paling sinis dengan orang-orang semacam ini. Bolehlah kau terjebak dengan kenangan, tapi jangan terlalu lama. Biasanya aku selalu menyindir orang macam ini dengan tohokan "kau cocok jadi sejarawan saja". Tapi tak bisa kulakukan padanya. Ia melankolis, ia perempuan, ia suka The Doors.

Dan, ia sudah mencuri sekerat hatiku dengan elegan.

"Kau tak berniat membuat kenangan baru dengan orang yang baru?" tanyaku dengan pandangan mata menggodanya. Bibirku menyinggungkan senyum jahil.

Ia melemparku dengan segumpal kertas yang sudah ia remas. Ia tersenyum. Manis sekali. Seperti martabak luka: manis spesial dengan luka, atau manis biasa tanpa luka. Tak penting. Yang jadi hal pokok adalah ia manis sekali. Dengan atau tanpa luka.

"Aku sedang ber-evolusi. Dan evolusi bukan revolusi. Ia butuh waktu yang lama. Tak sejenak. Aku harap setelah evolusi ini selesai, aku akan lebih tegap dalam berjalan. Akan susah berjalan dengan benar ketika hanya satu kaki kita yang bebas bergerak" jawabnya serius.

Kami lantas larut dalam diam. ‘the Girl from Ipanema’ menyusut dengan perlahan, sebelum kemudian hilang tuntas...

                                                                              ***

Kita adalah orang asing sebelumnya. Orang yang bahkan tak pernah bertatap mata. Kita hanya beranjak dari menggemari orang yang sama. Memujanya bagai umat pagan memuja pohon, api, dan matahari. Lalu tiba-tiba waktu terlipat, dan akhirnya kita bertemu. Di tengah remang mentari yang menua dan nyaris lindap dibalik pencakar langit yang angkuh.

Kita berdiri berhadapan di Jakarta yang buas. Aku dengan rambut gondrongku yang berkibar, wajah berminyak, kaos Jim Morrison berwarna hitam lusuh, dan celana jeans sobek di bagian lutut. Kau yang mencuri waktu kerja, berdiri anggun dengan celana khaki berwarna hitam, kaos Jim Morrison berwarna abu-abu cemerlang, blazer coklat muda, dan seutas senyum yang kau lempar. Senyum yang mengerat hati pelan-pelan. Sebelum kelak kau ambil nyaris semua.

Aku mengulurkan tangan, tanganmu menyua. Kita bersalaman. Menaik turunkannya dua kali. Mengenalkan nama. Aku ingat, aku memanggilmu dengan sebutan Hujan: anagram dari nama panggilanmu.

Lantas aku jadi mengenang secarik kertas yang kau berikan di hari pertama kita bertemu itu:

kala kita bersua nanti,
aku menginginkan kau mengulurkan tanganmu
lalu berkata:

"hello, stranger.."


dan kita berjabat tangan selayaknya dua orang asing bertemu tanpa sengaja disuatu senja disebuah kota...*

                                                                             ***

Dan disini kita sekarang. Dua orang asing yang sama-sama memendam luka. Dua orang mahluk berbintang kambing dengan tanduk melingkar. Dua orang sesama melankolis. Dua orang pecandu kafein. Dua orang yang sedang bersindikasi membunuh malam. Dua orang yang saling berhadapan. Dua orang yang...

Dua orang yang sama-sama berusaha mengenyahkan luka.

Lalu terdengar suara Bono di speaker:

You say you want
Diamonds on a ring of gold
You say you want
Your story to remain untold

But all the promises we make
From the cradle to the grave
When all I want is you


Kita berpandangan, lalu sama-sama berujar ke pelayan,”Mas, punya lagu The Doors gak?”[]

post-scriptum: * diambil dari kutipan puisi milik teman dunia maya, kepadanya tulisan ini dibuat.

Kamis, 03 Mei 2012

Tentang Morrison Hotel

Januari 1970. Amerika sedang panas meradang. Ribuan tentara yang kebanyakan adalah anak muda dikirim ke Vietnam. Nyaris sebagian besar dari mereka tumpas. Tewas sia-sia untuk perang yang mereka bahkan tidak tahu untuk apa.

James Douglas Morrison, seorang penulis puisi asal Amerika, menuliskan kudos untuk para anak-anak muda dari tanah kelahirannya itu. Lebih mirip sebuah doa miris: American boy, american girl/ most beautiful people, in the world.

James, baru saja merilis buku kumpulan puisinya secara rahasia. Antologi bertajuk An American Prayer itu seringkali dianggap sebagai puisi-puisi anti militer. Sedikit ironis. Sebab ayah James adalah seorang petinggi di Angkatan Laut. Tapi jadi masuk akal ketika James membenci sosok ayahnya yang keras dan otoriter.

Selain itu James juga sedang menuliskan puisi panjang yang akan diberi judul "Anatomy of Rock". Puisi yang dalam buku Life, Death, Legend karangan Stephen Davis disebut sebagai 'a surreal, misogynistic meditation on a psychotic high school featuring images of crashed school buses and raped cherleaders'.

James sedang dalam kondisi lembut ketika buku puisinya dirilis. Ia sedang dalam bentuk seorang penyair. Bukan Jim Morrison sang vokalis The Doors yang flamboyan. Bukan pula Jimbo yang destruktif dan gemar membuat onar. Tidak pula Lizard King yang magis dan seolah terasuki arwah Indian tua. James adalah James, seorang penulis puisi dengan cambang yang tumbuh dan badan yang subur, dengan tatapan mata yang seringkali menunduk ke bawah: ia pemalu.

Tapi siang itu, masih tetap di bulan Januari tahun yang sama, James bosan dengan cambangnya yang lebat. Ia memangkas habis semuanya. Ia tampak lebih bersih, klimis. Sang pria pemalu ini sedang akan memasuki sesi foto bersama sang pasangan kosmiknya: Pamela Courson, seorang perempuan riang dengan rambut merah yang terang menyala.

Para kru manajemen The Doors senang dengan keputusan James memotong cambang dan brewok. James dengan tampilan bak seniman itu tak bisa dijual pada massa. Kumpulan penggemar The Doors butuh Jim Morrison, pria rupawan nun flamboyan yang cocok sekali menjadi simbol seks. Dengan segera, para kru menjadwalkan sesi pemotretan untuk album baru The Doors. Album kelima mereka.

"Jim tidak banyak bicara" kenang Henry Diltz, musisi yang juga merangkap sebagai fotografer yang bertugas memotret The Doors sore itu. "Dia hanya duduk dengan santai, mengangguk pada orang yang mengenalinya, mengamati orang yang lalu lalang" lanjutnya.

Ray Manzarek, sang keyboardist The Doors, menemukan spot foto yag menarik. Di South Hope Street 1246, teronggok sebuah bangunan kumuh bernama Morrison Hotel, sebuah penginapan kecil bertarif 2,5$ per malam.

Tapi alih-alih menyambut mereka dengan senang, sang manajer tak perduli dengan The Doors, salah satu band terbesar Amerika saat itu. Ia melarang pengambilan foto di lobi hotel. Semua bingung. Ketika manajer hotel dipanggil oleh seseorang, para anggota band segera menghambur dengan lekas ke dalam lobi hotel. Diltz memotret mereka dari luar.


Bagi para pecinta semiotika, foto yang kelak menjadi kover album Morrison Hotel ini menandakan sesuatu: The Doors pernah mencapai puncak ketenaran. Lalu terjatuh hingga titik paling bawah akibat semua keonaran yang ditimbulkan oleh sang vokalis mereka. Juga album keempat mereka; Soft Parade, gagal secara penjualan maupun kualitas. Hotel Morrison adalah lambang dari titik terendah mereka. Tak ada lagi titik terendah bagi sebuah band besar selain hotel murahan yang hampir ambruk . Maka jalan satu-satunya bagi mereka adalah: segera kembali naik ke atas.

Hal itu benar terjadi.

                                                                                  ***

Bill Siddons, sang manajer The Doors, menganggap Morrison Hotel adalah album yang membunuh The Doors. Tapi penjelasannya nyaris tidak dapat diterima secara logis. Secara penjualan, album ini memang tak bisa melampaui mahakarya album pertama s/t. Namun secara musikalitas, 4 orang pria asal Los Angeles ini berhasil kembali pada trek yang benar. Berakar pada blues dan R&B, musik yang menemani kuartet ini tumbuh bermusik. Selain itu, angka penjualannya sebenarnya cukup lumayan, terjual 500 ribu keping dalam waktu hanya dua hari saja.

Dalam majalah Jazz & Pop, Jim menyebut album ini sebagai "album tentang Amerika". Selain itu, ia berseloroh bahwa album ini adalah Doors yang baru. Album ini dibagi jadi 2 sisi. Sisi A diberi tajuk "Hard Rock Cafe" dan Sisi B diberi tajuk "Morrison Hotel".

Ada banyak lagu yang kelak jadi klasik. Di sisi A, ada "Roadhouse Blues" yang didedikasikan terhadap para manusia jalanan: para supir truk, biker, hitchiker, dan manusia-manusia yang seluruh hidupnya di jalan. Lagu ini benar-benar magis. Dengan riff rockabilly dan bluesy harmonica, Jim meliuk-liuk dengan liar. Ia bernyanyi dengan energi yang meletup-letup. Dengan kalimat yang akrab bagi para orang-orang jalanan "I woke up in the morning and get my self a beer". Ode untuk para eksistensialis "The future is uncertain and the end is always near". Juga seruan bacchanalian "You gotta beep a gunk a chucha. Honk konk konk. You gotta each you puna. Each ya bop a luba. Each yall bump a kechonk. Ease sum konk" yang tak jelas maksudnya. Dan dipungkasi dengan "let it roll baby!".

Ganas!

Di sisi B, ada "The Spy" yang judulnya diambil dari judul novel Anais Nin, A Spy in the House of Love. Lagu ini adalah lagu blues bertempo lambat dan bernuansa misterius, lengkap dengan honky-tonk piano, paranoia, juga ketakutan-ketakutan yang tersembunyi.

Juga ada "Queen of the Highway", lagu yang komplit: lirik elegiac yang dibuat oleh Jim (take us to Madre), permainan piano elekrik Ray yang menggunakan Fender Rhodes --perangkat yang sama dengan yang digunakan band Miles Davis saat itu--, dan melodi gitar nan indah dari Robbie. Lengkap dengan ketukan drum yang pelan tapi eksplosif ala John Densmore.

Meski secara penjualan tidak mampu mencapai angka yang sangat memuaskan, album ini sering dianggap sebagai salah satu album terbaik The Doors, selain album pertama mereka tentu saja. Para kritikus mencintai musik mereka di album ini. Bahkan beberapa dari mereka menganggap Morrison Hotel adalah album terbaik dari The Doors, bukan album pertama mereka.

Dave Marsh, seorang kritikus musik sekaligus editor Creem mengatakan bahwa album ini "Album rock n roll paling mengerikan yang pernah aku dengar. Ketika The Doors dalam performa terbaiknya, tak ada yang bisa mengalahkan mereka. Aku yakin, ini adalah album terbaik yang pernah aku dengar di hidupku hingga saat ini..."

                                                                            ***

The Doors memang tidak berumur panjang. Terhitung sejak merilis album pertama mereka pada tahun 1967, Band ini bubar seiring meninggalnya sang vokalis, Jim Morrison pada tahun 1971. Selama kurun 4 tahun, The Doors mengeluarkan 6 album. L.A Woman menjadi album terakhir mereka sebelum Jim terbang ke Paris bersama Pamela, untuk kemudian hidup dan meninggal disana.

Mengingat album ini, seperti mengingat seorang James Douglas Morrison: seorang penyair pemalu yang kebetulan menjadi vokalis di sebuah band rock. Ketika menjalani tur Roadhouse Blues, sosok James muncul pada tanggal 7 Februari 1970. Saat itu mereka bermain di sebuah konser yang tiketnya terjual habis di Long Beach Arena.

Jim, eh maksud saya James, bermain dengan sadar. Ia sanggup bernyanyi belasan lagu. Sesuatu yang jarang, karena biasanya konser The Doors selalu terhenti di tengah karena ricuh. Ketika lagu ke 18, "Soul Kitchen" memasuki bagian akhir lagu, para penonton sudah berdiri. Bersiap untuk pulang.

Tapi James mencegah mereka, dengan sopan ia berkata "Hey, dengar. Apakah kalian harus pulang cepat malam ini? Jangan pulang dulu. Kalian ingin dengar lebih banyak lagu lagi, iya kan?". Para gerombolan penonton yang nyaris bubar kembali bersemangat dan menyemangati The Doors untuk terus bermain. Konser lantas berjalan 1 jam lagi. Salah satu konser terpanjang The Doors. Dan selama konser berjalan, tak satupun kata "fuck" yang terlontar dari mulut sang vokalis.

Malam itu Jim Morrison berlaku sebagai penyair yang kebetulan menjadi vokalis The Doors. Bukan lagi vokalis The Doors yang kebetulan menjadi penyair.

Malam itu ia adalah James Douglas Morrison, the American Poet...

Menyusuri Lorong Dunia: Joyce, Bir, dan Lumpia Babi

"Nuran, jam berapa kira-kira kamu sampe Bonn?" tanya suara dalam telpon.

Itu mas Andy Budiman, seorang kawan dunia maya yang sekiranya akan menampung saya di Bonn. Saya bilang mungkin sekitar 20 menit lagi. Kereta saya akan berangkat dari Koln. Saya baru saja sampai Koln beberapa menit lalu, dan akan segera naik kereta menuju Bonn. Koln- Bonn tak begitu jauh. Bisa ditempuh dengan kereta selama 15-20 menit saja.

Waktu sudah menunjukkan pukul 8 malam. Tapi langit musim panas di Bonn masih benderang. baru saja gerimis usai. Saya turun dari kereta dengan carrier yang tampak makin menggembung. Udara dingin. Saya merapatkan jaket jeans. Di saat seperti ini saya mengutuk kecerobohan diri. Mengira musim panas di Eropa adalah nihil hujan dan dingin.

Mas Andy gampang dikenali. Badannya tinggi, tegap, dan sedikit tambun di bagian perut. Wajahnya ceria. Senyumnya selalu terkembang. Matanya sedikit sipit, dan ia memakai kacamata. Saya kenal dia dari jejaring pertemanan antar kontributor di Jakartabeat. Mas Andy adalah kawan dekat mas Yus Ariyanto dan mas Philips Vermonte, yang juga dekat dengan saya. Begitu tahu saya sedang ada di Jerman, ia menawarkan mampir. Selain itu, sebagai pecinta makanan enak, ia juga memberi beberapa saran bertahan hidup di Jerman yang makanannya --konon-- merupakan makanan paling tidak enak sedunia.

"Hoiii Nuran" teriak mas Andy dari kejauhan. Ah, rupanya saya juga gampang dikenali.

Mas Andy tak sendiri. Ia membawa kawannya, dua orang perempuan yang sepertinya seumuran. Saya berkenalan dengan mereka. Yang berambut pendek dan memakai topi bernama Mbak Ayu. Ia suka sekali tertawa. Lalu yang gopoh ingin membeli tiket pulang ke Munich bernama Mbak Dina. Ia berambut panjang keriting. Malam itu ia kangen suaminya.

"Duh, pokoknya gue harus pulang besok. Gue udah kangen laki gue" katanya sembari sibuk membeli tiket pulang di mesin penjual tiket.

Saya hanya tersenyum. Apalagi setelah mendengar guyonan mas Andy dan Mbak Ayu yang memprovokasi Mbak Dina agar jangan buru-buru pulang.

"Mau kemana ini enaknya? Ngebir di Joyce?" tanya mas Andy. Mbak Ayu mengiyakan. Saya dan Mbak Dina yang tamu jelas ikut apa kata tuan rumah.

Lalu kami melangkahkan kaki menuju tempat minum bir yang disetujui. Bonn kota kecil. Penduduknya hanya sekitar 324 ribuan. Meski begitu, kota yang dibelah oleh sungai Rhine ini sempat menjadi ibu kota Jerman Barat mulai tahun 1949 hingga 1990.

Bonn memiliki beberapa objek wisata yang banyak dikunjungi turis. Yang paling banyak dikunjungi tentu rumah kelahiran musisi klasik besar, Ludwig van Beethoven. Rumah itu sekarang dijadikan museum.

"Eh, kayaknya penuh deh" celetuk mbak Ayu sembari celingukan di pintu Joyce yang tadi disebut.



Joyce yang dimaksud ternyata sebuah bar Irlandia. Irish Pub. Nama lengkapnya: James Joyce Irish Pub. Gambar di plangnya adalah seorang lelaki dengan kacamata bundar, memakai jas berkancing dua, bertopi, memakai sepatu pantofel, menyilangkan kaki, dan memegang tongkat di tangan kanannya. Sepertinya itu potret dari James Joyce, sastrawan yang masyhur dengan Ullyses.

Saya ikut melongok ke dalam. Benar, penuh. Orang-orang duduk sembari bercengkrama. Pelayan berseliweran membawa baki berisi gelas-gelas besar bir. Setelah memastikan bahwa tak ada tempat lagi, kami beranjak pergi ke pusat kota. Ada bir yang enak disana, kata mas Andy. Selaku tamu, lagi-lagi saya cukup mengiyakan.

Mas Andy tidak berdusta. Birnya enak. Rasa pahitnya tak begitu kentara. Dan yang paling penting: baru dua tiga teguk, kepala saya langsung sedikit pening. Saya merasa seperti terangkat-angkat. Kepala berasa goyang.

Sepertinya saya bakal tidur nyenyak malam ini...

                                                                                    ***

Dunia, atau mari bilang takdir, punya cara khusus untuk mengembalikan kenangan yang mungkin sudah lama minggat dari benak.

Beberapa jam lalu saya bertemu dengan Wana dan Kinkin, dua orang traveler dari Jogja. Wana adalah penggagas majalah Travelist, media traveling dua bulanan yang di share gratis di dunia maya. Sedang Kinkin adalah sahabatnya yang kebetulan suka traveling. Mereka sedikit banyak mengingatkan saya pada Ayos dan Putri, dua orang sahabat saya yang juga sama-sama pecandu jejalan.

Kinkin memberi saya buku "Menyusuri Lorong-lorong Dunia 2" karya Sigit Susanto. Buku ini menceritakan traveling dari sudut pandang yang berbeda. Sang penulis selain traveler, adalah pecinta sastra. Tujuan perjalanannya kebanyakan ke tempat yang berkaitan dengan dunia sastra.

Dalam buku jilid 2 itu, di bab pertama, ia bercerita kalau ia tanpa sengaja "tersasar" ke sebuah gedung di Zurich, Swiss, yang ternyata merupakan sekretariat Yayasan James Joyce.

Sang sastrawan legendaris itu ternyata meningalkan banyak kesan dan jejak. Bahkan ada sebuah pub di Zurich yang diberi nama sama dengan sang sastrawan asal Dublin, Irlandia itu. Dalam pub itu biasanya diadakan diskusi membahas karya-karya Joyce. Mungkin sama dengan James Joyce Pub di Bonn. Atau malah mereka adalah satu jaringan waralaba? Entahlah.

Membaca cerita petualangan Sigit ke gedung Yayasan James Joyce itu melanglangkan ingatan ke Bonn. Padahal sudah nyaris setahun saya meninggalkan Bonn. Di kota kecil itu pun saya tak tinggal lama. Hanya 3 hari 2 malam saja. Selain ingat Joyce Irish Pub, keramahan kawan-kawan baru: mbak Dina, Mbak Ayu, dan seorang kawan perempuannya (asal Indonesia juga) yang saya lupa namanya, saya tentu teringat dengan kebaikan mas Andy.

Dan juga keisengannya...

                                                                                        ***

Suatu sore yang hangat di beranda apartemen mas Andy, pria lulusan Unpad itu menyodorkan sepiring lumpia hangat berukuran kecil. Uap masih mengepul. Warna lumpianya sempurna, emas kecoklatan.

"Baru beli kemarin dari bazaar" katanya singkat.

Tanpa babibu, saya sikat lumpia itu. Dengan cocolan saus berwarna coklat, lumpia itu makin menjadi rasa lezatnya. Kulitnya garing. Isi dalamnya berupa cacahan daging dengan rasa gurih. Daging sapi sepertinya. Seingat saya, 4 potong lumpia masuk dalam perut dengan tenang dan nyaman.

Beberapa menit setelahnya, sembari mengaso, mas Andy bertanya, "Nuran, kamu gak masalah kan makan lumpia tadi?".

"Ha? Maksudnya?" saya balik bertanya. Tidak paham dengan maksud pertanyaan mas Andy.

"Iya, lumpia tadi itu isinya daging babi" kata mas Andy tenang.

Saya terperanjat kaget! Tapi lumpia sudah tergilas oleh usus, masuk dalam lambung. Saya hanya bisa mengumpat sembari tertawa-tawa. Sialan. Hahaha.

"Aku pikir kamu gak ada masalah sama halal haram" sambung mas Andy, lebih tenang dari sebelumnya. Mukanya jahil sekali. Saya hanya bisa tertawa lebih keras.

Ah, lumpia babi dan bir? Dosa saya di Bonn tampaknya jauh lebih banyak ketimbang dosa saya selama 10 tahun di Indonesia. Hahaha. Kelak tragedi lumpia babi ini akan diceritakan ulang pada mas Yus dan mas Philips. Dengan segera, kisah ini menjadi klasik.

Sama klasiknya seperti Ullyses atau A Potrait of The Artist as a Young Man mungkin?

Rabu, 02 Mei 2012

Tentang Perempuan dan Bis Kota

To men, women are just city buses. There's another one every five minutes  
(Payton Smith)

Malam baru saja bermula. Saya baru saja akan menyeduh kopi. Sembari menanti air dalam dispenser mendidih, saya memasak makan malam: seporsi nasi goreng telur. Ketika semua sudah selesai dan siap disantap, telpon genggam saya berbunyi. Sebuah pesan pendek masuk.

Nomer asing. Dia memanggil nama saya. "Ini siapa?" tanya saya. 

Lalu dia menyebutkan nama seorang perempuan. Teman dekat di masa lalu.

Isinya biasa. Sekedar menyapa dan bertanya kabar. Lalu entah siapa yang memulai --seingatku dia--, obrolan menjadi sedikit erotis. Mengarah ke mesum yang tersamarkan oleh pertanda. Tapi itu tak lama. Obrolan kembali kami arahkan ke rel yang benar.

"Aku sekarang tinggal di Jogja" ujarku menjawab pertanyaannya mengenai dimana saya tinggal sekarang.

Perempuan itu juga berasal dari kota yang sama. Dan masih tinggal di kota yang sama, hingga sekarang. Ia menjerit setengah kaget. Tak menyangka kalau saya sudah hidup dalam kota yang sama dengannya nyaris setahun.

Lalu kami kembali berbasa-basi. Ia bercerita mengenai kuliah barunya. Rupanya ia kuliah di dua jurusan dan di dua tempat yang berbeda. Ah, pemikir pejuang? Atau pejuang pemikir?

"Sebentar, kuliahmu yang pertama dulu dimana?" tanyaku kagok. Saya sama sekali lupa banyak hal tentangnya.

"Duh! Bahkan ingatan soal aku aja gak ada yang nyangkut seranting pun di ingatan kamu" keluhnya.

Saya hanya bilang maaf, sembari mengeluarkan beberapa cerita tentang betapa pelupanya saya yang bahkan seringkali melupakan umurku sendiri. Tahun lalu saya berusia 24 tahun. Tapi ketika merayakan hari lahir, saya  berpikir kalau usiaku 23 tahun. Dan aku baru sadar beberapa hari setelahnya. Parah.

Dia mahfum.

Saya lalu teringat petikan kalimat dari Payton Smith. Kalimat yang pertama kali saya baca di sebuah status facebook milik seorang teman.

Bagi beberapa pria, perempuan memang cepat datang dan pergi. Walau tak secepat bis kota, tentu. Dengan kedatangan dan kepergian banyak perempuan, seringkali tak banyak remah ingatan yang tersisa tentang perempuan-perempuan itu.

Sekelebat setelah sms keluhan perempuan itu masuk, saya merasa bahwa saya seperti pria yang digambarkan oleh tuan Payton: seorang pria yang sedang berdiri di sebuah halte. Menyaksikan bis datang dan pergi.

Aduh...