Sebut saja dia Budi (karena satu dan lain hal, ia minta namanya disamarkan). Dia berteman dengan saya semenjak SMP. SMA pun kami satu sekolah. Begitu pula ketika kuliah. Bahkan kami juga sering mengambil kelas Grammar yang sama, mengulang berkali-kali dan hanya berhasil mendapat nilai C. Menyedihkan.
Sejak dulu, Budi selalu jadi partner saya dalam petualangan rasa. Badannya yang besar nan tinggi, seakan membuktikan pada saya kalau lambungnya bisa diandalkan untuk menerima asupan makanan dalam jumlah yang cukup banyak.
Namun betapa kecewanya saya ketika mengajaknya wisata kuliner ke Gang Gloria, dan ia hanya mendegut ludah sembari berkata, "jangan wisata kuliner lah. Wisata alam saja."
Aduh, apa benar ini Budi kawan saya yang suka sekali makan itu? Jangan-jangan Jakarta dan korporasi tempatnya bekerja sudah sedemikian hebat mencuci otaknya dan menguras fisiknya. Hingga sekadar wisata kuliner pun ia enggan.
Namun penolakan itu rupanya hanya basa-basi. Ketika kemarin lusa saya mengajaknya untuk menelusuri Gang Gloria demi segelas es Kopi Tak Kie dan seporsi Kari Lam Medan, ia mengangguk dengan cepat. Sudah lupa dengan keluhan dan penolakannya beberapa hari lalu.
Maka jam 10 pagi tadi, Budi sudah nangkring di tempat saya menumpang selama di Jakarta. Tak perlu waktu lama, kami langsung membelah jalanan Jakarta yang sedang tobat: sepi. Maklum, akhir pekan. Para pengisi jalan reguler sedang memuaskan diri beristirahat seharian di rumah. Dari Harmoni kami meluncur ke Glodok. Di sebuah daerah padat itu, Gang Gloria berada.
Gang ini kecil saja. Cenderung sangat padat dengan penjual beraneka ria makanan dan camilan di kanan kirinya. Di masa kini, orang menyebutnya dengan Jalan Pintu Besar Selatan III. Namun Gloria masih nama yang terlalu seksi untuk diganti dan dilupakan. Jadilah hingga sekarang gang ini masih lebih dikenal dengan nama lamanya.
Di kanan kiri gang ini, para penjaja makanan akan menyambut anda dengan ajakan makan yang khas.
"Mau apa? Nasi campur? Nasi tim?"
"Berapa? Dua porsi ya?"
"Mie pangsit? Langsung dibuatin?"
"Ayo makan di sini saja kak"
Semua pekerja warung-warung kecil di kiri kanan gang itu begitu cekatan. Bahkan ada yang saking cekatannya, begitu saya sejenak menatap papan menu yang ditempel di kaca, sang penjual langsung menyiapkan dua piring sembari berujar, "makan di sini dua kan?"
Namun perut masih terlalu dini untuk diisi makanan berat. Kami melangkahkan kaki menuju kedai kopi Tak Kie. Bagi banyak pengunjung Gang Gloria, kedai kopi Tak Kie adalah pusat perhatian dari semua jenis kuliner yang ada di gang legendaris itu.
Tempatnya tak terlalu besar. Tak ada papan nama besar. Bagian depannya malah tertutupi oleh gerobak penjual nasi campur. Sangat sederhana untuk sebuah kedai kopi yang sudah berdiri sejak tahun 1927.
Segelas es kopi susu kami pesan. Tak perlu waktu lama bagi saya untuk menandaskan isi gelas hingga tersisa es batu saja. Panas terik sekali di luar.
"Ada camilan gak?" tanya Budi sembari berharap. Ia sudah mulai beraksi rupanya.
Saya bertanya pada pelayan. Namun sayang, camilan hanya tinggal Bakcang. Namun tawaran untuk mencoba seporsi pangsit rebus dan bakso sapi susah sekali ditampik. Jadilah kami memesan satu porsi pangsit dan bakso untuk disantap berdua. Isinya: 5 pangsit rebus dan 5 bakso sapi.
Dan aduhai, saya bersumpah demi Toutatis, itu pangsit rebus terenak yang pernah saya makan. Budi pun setuju. "9 dari 10 Ran," katanya pendek sembari menyeruput kuah pangsit terus-terusan.
Selagi matahari belum terlalu meninggi, kami meninggalkan sejenak Tak Kie.
Baru saja melangkah beberapa depa, kami sudah bingung. Pasalnya terlalu banyak makanan yang layak coba di Gang Gloria. Pilihan kali ini berujung di dua kubu: Gado-gado Direksi atau Karilam Medan.
Nama pertama yang disebut adalah merk gado-gado legendaris. Namanya sudah jaminan mutu. Namun tempatnya, alamak sempit sekali. Hanya cukup memuat 4 atau 5 orang saja. Sematan nama tambahan "direksi" karena gado-gado ini adalah langganan para jajaran direktur perusahaan yang berada di sekitar daerah ini.
"Gado-gado sih bisa ditemui dimana saja, kalau Kari Medan kan gak semudah itu" ujar saya memberi usul. Budi menimbang dengan singkat, lalu setuju dengan saya.
Maka tujuan kami berikutnya: Karilam Medan. Ini kari khas Medan. Sedikit berbeda dengan kari ala Aceh yang kuat sekali tendangan bumbunya. Kari Medan ini juga favorit Bondan Winarno, sang penikmat kuliner mahsyur itu. Seporsi Karilam (tinggal pilih, mau kari ayam atau kari sapi) biasanya disantap dengan nasi putih atau bihun. Tinggal pilih saja. Namun karena saya bersepakat dengan Budi untuk tidak terlalu memforsir kerja lambung, kami hanya memesan seporsi untuk berdua. Tanpa nasi ataupun bihun.
Budi juga mendecak kagum dengan sayatan rasa yang ditinggalkan oleh kari ini. Dengan kuah yang keruh, tak dinyana bumbunyaringan saja. Justru ini menarik bagi Budi. Karena ia terbiasa memakan kari dengan jejak bumbu yang kuat. Budi merem melek menyendok kuah kari ini, sementara saya menyuap sedikit saja.
Kami lalu sepakat untuk mengistirahatkan kerja usus dan lambung barang sejenak. Kami kabur sebentar ke lapak penjual majalah dan buku bekas tak jauh dari Gang Gloria. Saya mencomot beberapa majalah bekas dengan harga yang murah meriah: 10.000/3 eksemplar.
Matahari makin tak tahu sopan santun. Panasnya meneriki kepala tanpa ampun. Kami yang bagai mahluk nokturnal, berlarian kembali menuju Gang Gloria. Karena petualangan ini belum selesai.
Bondan Winarno pernah merekomendasikan satu sajian favoritnya di Gang Gloria: Nasi tim A Ngo.
"Nasi tim-nya harum dan sangat lembut. Mungkin yang terbaik di seluruh Indonesia" puji Bondan.
Siapa yang tak tergiur dengan rekomendasi seperti itu? Maka kami berulang kali menyusuri Gang Gloria. Dari depan hingga ke belakang, lalu kembali ke depan lagi. Tapi tak kunjung kami temukan nasi tim A Ngo. Saking seringnya kami mondar-mandir, para penjual makanan di bibir gang sudah malas untuk sekedar menawarkan dagangannya pada kami. Toh kalian tak beli juga, mungkin begitu pikir mereka.
Akhirnya karena menyerah, kami memutuskan untuk makan nasi tim di salah satu warung yang menyediakan menu ini. Kami berpikir mungkin ini yang dimaksud oleh Pak Bondan --sapaan akrab Bondan Winarno. Karena di sepanjang Gang Gloria tak jua kami temukan penjual nasi tim dengan papan nama A Ngo.
Namun dugaan kami salah. Setelah nasi tim ini ludes --dan tak lembut seperti rekomendasi Bondan. Jelas saja, karena bukan ini rekomendasi Bondan-- kami baru tahu kalau A Ngo berjualan di belakang restoran tempat kami makan ini. Namun lapaknya sudah tutup sedari tadi. Ini kami ketahui dari penjual cakue yang berjualan di restoran nasi tim tempat kami bersantap.
A Ngo memang sudah berusia lanjut. Bondan mengatakan kalau sang maestro nasi tim itu hanya berjualan pada akhir pekan saja, dan dengan durasi yang tak terlampau panjang. Saya menengok jam. Sudah lebih dari jam 1. A Ngo mungkin sekarang sudah beristirahat di kamarnya sembari mengibaskan kertas koran di depan wajahnya untuk mengusir peluh akibat terik yang kurang ajar.
Akhirnya kami memutuskan untuk mengakhiri petualangan kuliner ini di... Tak Kie lagi. Pesona es kopinya memang agak susah ditolak di hari yang teramat gerah ini. Namun kali ini kami memesan es kopi saja, tanpa susu. Harganya murah untuk ukuran kedai kopi legendaris: hanya 10.000 rupiah saja. Tambah 1.000 rupiah jika memakai susu.
Siang ini saya pungkasi dengan mengobrol banyak dengan Latif, pengelola Tak Kie sekarang. Darinya saya mendapat banyak cerita menarik tentang Tak Kie. Tulisan tentang kedai kopi bersejarah ini akan saya tulis khusus nanti.
Suara klakson kembali menggedor gendang telinga. Dingin dari es kopi sudah mereda. Saatnya menerabas panas kembali.
Pulang.
post-scriptum: karena koneksi internet sedang jahanam, maka foto-foto akan saya unggah belakangan. Sementara tulisan dulu saja. Sekedar agar tak hilang dikhianati ingatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar