Lelaki berambut pirang itu tiba-tiba meradang. Ia berdiri dari kasur, menghempaskan uluran tangan sang perempuan yang duduk di bawahnya, sang kekasih. Wajahnya memelas. Sang lelaki tak mau tahu. Ia mengemasi gitarnya, melempar uang, lalu pergi keluar dari kamar hotel yang mereka tempati. Muntab sang lelaki tak hanya sampai disana. Ia melempar koper-koper milik perempuan dari mobilnya. Lalu ia pergi begitu saja. Sang perempuan menangis. Hatinya berantakan, lalu pergi. Malam harinya, sang lelaki tergopoh mencarinya. Penyesalan merona dari tatapnya.*
***
Pada dasarnya, manusia adalah mahluk yang belajar dari kesalahan. Pada suatu hari semasa SD, saya tahu kalau 1+1 adalah dua, bukan sebelas. Itu saya tahu setelah saya melakukan kesalahan. Dari sana, saya belajar.
Blow a kiss from your hand
I'll catch it before it hits the ground
Cry a little for our fears baby, baby
I'm so scared there's something wrong
I hid you in the corner of my empty room
Kemarin penyair Saut Situmorang menuliskan nukilan puisi yang begitu menyayat, "...maukah kamu menerima cintaku yang pernah kecewa?" Cinta yang pernah kecewa adalah cinta yang begitu defensif. Cinta yang siaga memasang barikade pertahanan. Selalu ada pertanyaan, juga dari Saut, masihkah cinta yang pernah kecewa adalah cinta yang murni?
Dan ketika keadaan memburuk, ketakutan meruyak kuat. Meruap dari titik-titik pori kulit. Aku hanya bertahan dan melakukan sesuatu: menyembunyikanmu di sudut ruangan. Berharap agar tak ada siapapun yang mampu mencurinya.
Namun ternyata itu bukanlah permasalahnnya. Ternyata ketakutan lah yang membunuhku. Tak ada pencuri. Tak ada yang akan dicuri. Bahkan menguasai ketakutan pun aku masih sering gagal.
Namun api sudah terlanjur tersulut bukan? Maka sekalian kita siram saja dengan bensin. Agar malam pekat semakin hangat. Agar tak ada dingin yang tersisa di sudut-sudut hati yang penuh dengan sarang laba-laba.
Dengan dingin itu, kita saling menghunus belati. Menusukannya pelan-pelan ke tubuh dari kita. Agar tak ada yang tahu, namun sakitnya perlahan datang. Kita saling menyakiti. Sesekali terkadang memang kita menjadi masokis, suka sekali dengan rasa sakit. Setelah itu, rasa sakit yang kita dambakan pelan-pelan mencapai puncaknya. Kita menyiram bensin ke tubuh kita sendiri, lalu menyulut dengan sadar:
I know I caused you so much pain
I promise that I'll never hurt you again
Even though the scars remain
With a little time i know we can win
Can't stop this fire
Lost control over my desire
Still it burns for you like it always used to do
Namun orang bijak berkata, biar waktu yang menyembuhkan. Apa iya waktu sedemikian hebat? Entahlah. Sejauh pengalamanku, waktu memang menyembuhkan. Walau itu juga tak berarti kita tak berdarah-darah lagi. Sang orang bijak sepertinya lupa menambahkan: waktu menyembuhkan, namun prosesnya panjang dan berdarah-darah. Mungkin.
Perang kita mungkin sudah usai. Belati sudah disarungkan. Luka sudah mengering. Senyum sudah tersungging. Aku sekarang letih sekali. Ingin merebahkan diri sekali lagi di haribaanmu. Dekap yang sudah lama begitu aku rindukan. Bolehkah aku pulang kepadamu? Masih bolehkah aku menitipkan rindu untukmu?
And after the war is over
And all the fighting's through
Can I make my peace with you
I wanna come home to you
post scriptum: nukilan berbahasa Inggris adalah lirik lagu grup MSG (McAuley Schenker Group) yang berjudul Anytime. Tulisan ini untuk perempuanku, Rani Basyir, have a great Friday :) * Adegan ini adalah potongan dari video klip lagu tersebut.
apakah si Rani yg beruntung ini tadi ada deket2 sampeyan ? jd pengen berkenalan jg sayanya, penasaran :D
BalasHapusWould you pack your bag and hit the sky with me?
BalasHapuswahhh apa semalam tanganmu berdarah-darah?
BalasHapussaya kesasar di sini dan lumayan menikmati sajian tulisannya yg lumayan enak dibaca..
BalasHapus