Hupp! Saya dan Ayos melompat turun dari truk yang membawa kami dari Sumbawa Besar. Kami baru sampai di Bima. Truk yang kami tumpangi sedang bongkar muat. Bang Lorentz, si supir truk, tampak repot membereskan barang-barang di bak truk. Musedu, si kenek belia, turut cekatan membantunya.
"Kalian makan dulu saja di warung depan itu," kata Bang Lorentz. Kami mengiyakan sarannya. Warung sepelemparan batu dari gudang bongkar muat itu bernama warung "Kediri."
Pemiliknya adalah sepasang suami istri berusia lanjut. Mereka ramah sekali, terutama si suami: Pak Heru.
Sosoknya gampang dikenali. Berbadan tambun dan suka sekali tertawa. Rambut di kepalanya sudah nyaris tertumpas oleh usia. Hampir tak ada supir truk lintas Nusa Tenggara yang tak mengenalnya. Sebab warungnya memang sering dijadikan tempat persinggahan truk. Pak Heru juga kocak bukan buatan.
"Kamu anak muda, berani gak minum brotowali?" tantang Pak Heru dengan wajah yang usil. Saya yang sudah pernah mencicipi pahitnya ramuan itu jelas menggeleng kepala. Ayos yang lugu mengiyakan. Lalu pak Heru meminta sang istri membuat segelas ramuan brotowali. Dari warnanya yang gelap saja sudah tertebak kalau itu ramuan iblis.
Ayos malah menenggak habis semuanya! Ugh, entah kapan pahitnya bisa hilang dari lidah. Muka Ayos langsung berubah pucat setelah meminum ramuan keparat itu. Pak Heru tertawa keras sekali. Tubuh tambunnya sampai terguncang-guncang. Masih dengan tertawa, ia meminta istrinya mengambil madu, untuk menghilangkan rasa pahit dari brotowali.
Mengetahui kami adalah musafir, Pak Heru bersemangat sekali.
"Truknya Lorentz masih lama, ayo kita jalan-jalan," ajak beliau. Kami jelas tak menolak. Maka dibawalah kami keliling kota Bima dengan mobil carry tua berwarna merah, mobil kesayangannya. Dari melihat Kesultanan Bima yang pernah berjaya pada masa lampau, ke pelabuhan Bima, hingga ke bekas galangan kapalnya.
Pak Heru memang pernah berprofesi sebagai pembuat kapal. Ia juga sempat berprofesi sebagai pendulang emas. Pernah juga ia berbisnis bibit ikan dengan skala masif. Segala macam pekerjaan sepertinya pernah beliau lakukan. Sekarang ia membuka warung dan sangat menikmati masa tuanya. Anak-anaknya sudah sukses dan berpencar. Namun setahun sekali mereka pulang dan berkumpul.
Selepas Isya, saya dan Ayos melanjutkan perjalanan dengan truk bang Lorentz. Kami berjanji akan mampir lagi sepulang dari Flores.
Janji itu kami tepati.
Dari Labuan Bajo, saya dan Ayos menaiki kapal Tilong menuju Bima. Dari pelabuhan kami naik ojek menuju RM Kediri. Pak ojek ternyata kenal dengan pak Heru. Dia bilang nyaris tak ada orang pelabuhan yang tak kenal pak Heru. "Dulu pak Heru kan juragan kapal," kata si tukang ojek.
Kami numpang mandi dan makan kenyang di RM Kediri. Tetap bayar untuk makan, namun dengan harga anak sendiri. Murah meriah. Selain itu, rasa masakan Jawa yang kami rindukan seakan menemukan jawabannya di RM Kediri. Kami meninggalkan RM Kediri dengan diantar Pak Heru ke pinggir jalan untuk mencegat bis Langsung Indah. Kami bayar separuh harga, karena salah satu anak Pak Heru kerja jadi petinggi di PO bis ini.
Itu cerita tahun 2009. Itu adalah kala terakhir saya bertemu dengan Pak Heru.
Tahun 2011 akhir, seorang kawan asli Jember yang bekerja di Bima, sedang mudik ke Jember. Ketika dia mau balik ke Bima, saya menitipkan buku hasil perjalanan saya dengan Ayos untuk pak Heru. Kebetulan, kawan saya ini bertetangga dengan Pak Heru.
Beberapa hari kemudian, satu nomer asing menelpon saya. Ternyata pak Heru! Beliau menanyakan kabar saya dan Ayos. Menanyakan kapan kami datang ke Bima lagi. Ia kangen dengan kami berdua. Kami bilang kalau ada waktu pasti mampir Bima lagi. Percakapan kami diakhiri dengan harap pak Heru, "Semoga kalian sehat selalu dan dilindungi oleh Tuhan."
Ternyata itu saat terakhir saya bercakap dengan pak Heru.
Tadi pagi saya kaget. Kawan saya mengabarkan kalau pak Heru meninggal dunia minggu lalu. Saya yang baru saja bangun tidur langsung terjaga sepenuhnya, lalu tercenung. Mendadak mengingat pak Heru dengan segala kebaikan yang pernah terlimpah pada kami dan para musafir lainnya.
Selamat jalan Pak Heru. Kenangan tentangmu akan selalu lekat pada orang-orang yang pernah merasakan kebaikanmu. Kapan-kapan racuni Ayos dengan brotowali lagi ya! :)
Sad news about nice people :)
BalasHapusAh, Pak Heru dari Bima! Sampai jumpa lagi pak tua!
BalasHapusperjalanan sampeyan sdh sedemikian jauh.
BalasHapusdan ada bukunya pula ? :o mana ?
Orang baik menangis saat lahir, ditangisi saat mati.
BalasHapusnice article :)
BalasHapusSatu cerita perjalanan kalian berdua yang melecut semangat saya untuk kembali ke jalan. pak heru adalah sosok orang baik yang dikirm tuhan untuk Para pejalan. Selamat jalan pak, semoga ada tempat terindah di sisi-Nya buat Beliau.
BalasHapus