Tito sepertinya memang sudah akrab dengan paradoks sedari lahir. Ia lahir dari bapak dan ibu yang beda kasta. Sang bapak dari kasta biasa, sedang ibu dari kasta bangsawan. Tapi nyatanya cinta tidak pernah bisa disekat, bahkan oleh tingkatan kelas sosial sekalipun. Tito lahir ke dunia dengan mata yang masih terpejam. Baru setelah beberapa hari ia berhasil membuka matanya, dan menangis ribut.
Ia tidak lahir sendirian. Ada 3 saudara lain yang turut lahir bersamaan. Mereka kembar 4. Tito adalah anak bungsu. Dalam dongeng-dongeng tentang anak kembar, anak yang lahir terakhir justru adalah anak yang paling tua. Kalau begitu adanya, Tito adalah kakak bagi ketiga adiknya.
Adik-adiknya lahir mengikuti trah sang ibu. Mereka anggun. Matanya biru. Sedang Tito, sendirian saja, mengikuti darah sang ayah. Dari wajah Tito, terpancar aura proletar yang tak bisa, dan tak akan pernah bisa disangkal. Wajahnya tirus. Seakan sudah ditakdirkan untuk tampak seperti sosok kaum kelaparan.
Kala sudah cukup umur, adik-adik Tito sudah dipinang orang lain. Sementara tak ada orang yang menggamit tangan Tito. Alasannya klasik: Tito tidak sekeren adik-adiknya. Tito tercenung. Sedih sepertinya. Hingga pada akhirnya ada yang mengambil Tito dari pojok rumahnya yang gelap dan dingin.
Sejak saat itu Tito memutuskan untuk setia pada orang yang mengambilnya: ibuku.
***
Entah kenapa ibuku memberi nama Tito pada kucing kecil berbulu tipis itu. Asal saja sepertinya. Kucing berwarna putih gading itu tampak kurus dan menimbulkan iba. "Ini kucing buangan" kata ibuku berkelakar.
Tito memang lahir dari trah yang berseberangan. Ibu Tito adalah kucing Persia berbulu lebat yang anggun bukan buatan. Sedang sang ayah adalah tipikal kucing garong yang suka sekali menyusup ke dalam rumah untuk mencuri sepotong cakalang atau mengobrak-abrik meja makan. Namun toh akhirnya sang putri kucing itu mau saja digombali oleh si garong. Bisa jadi di sela-sela sang empu putri kucing sedang sibuk, sang garong masuk menemui sang putri, bercinta sesaat, lalu mengucap perpisahan. Begitu berulang kali.
Hingga hasilnya tampak: 4 orang anak kucing sekaligus. Adik-adik Tito beruntung mengikuti trah ibunya. Mereka anggun, berbulu lebat, dengan ekor yang menantang gravitasi. Sedang Tito cukuplah bersyukur dengan warna putih gading, namun berbulu pendek.
Tapi ibu saya, entah kenapa, mau saja membelinya dari seorang dokter hewan. Kalau ada jatuh cinta pada pandangan pertama, ibu saya sepertinya mengalami itu ketika jatuh cinta pada Tito.
Dibawalah pulang si kucing yang dianggap malang itu. Ibu saya merawatnya seperti anaknya sendiri. Seringkali perlakuan ibu saya menerbitkan cemburu dari anak-anak kandungnya sendiri. Kadang kalau saya iseng, saya suka sekali memukuli kepala Tito. Atau menyentil penis dan biji pelirnya. Ibu saya marah lalu mengomeli saya. Seakan saya adalah kakak yang iseng pada adik lelakinya.
Saya lupa kapan Tito datang di rumah dan jadi penghuni. Seingat saya, ketika saya SMA, Tito sudah jadi penghuni rumah. Tahu-tahu ia sudah jadi anak kesayangan ibu saya. Saking dimanjakan oleh ibu, Tito jadi songong dan arogan. Ia tak pernah mau dielus oleh orang lain. Insting kucing liar turunan dari ayahnya membuat ia selalu waspada terhadap uluran tangan orang asing. Apalagi pada saya yang mungkin selalu dianggap berbahaya.
Tito juga hanya mau menurut pada ibu saya. Ia selalu ikut kemana ibu saya pergi. Macam Hachiko, tapi versi kucing. Tiap ibu ke pasar, Tito selalu menunggu di depan rumah. Dan ia selalu melonjak bahagia ketika ibu datang. Itu artinya ada sepotong cakalang segar untuknya. Ini uniknya Tito. Ia tak suka makanan kucing seperti Whiskas atau makanan kering untuk kucing Persia pada umumnya. Ia suka sekali cakalang dan nasi. Warisan dari sang ayah sepertinya. Bulu-bulunya tak pernah rontok walau makan nasi campur cakalang. Ibu saya pun senang karena tak perlu merogoh kocek dalam-dalam.
Hal itu membuat Ibu saya makin tak tergoyahkan cintanya pada Tito. Pernah pada suatu masa ibu saya berternak kucing Persia dan Anggora. Pada titik paling ekstrim, ada sekitar 20-an kucing dengan kadar lucu yang yaris maksimal di rumah saya. Namun ibu tak pernah sekalipun memalingkan muka dari Tito. Apalagi mengalihkan rasa sayang. Hanya Tito yang bisa tidur di kamar ibu, hanya Tito yang setia menunggu ibu sepulang dari pasar. Meski Tito seringkali bandel, tetap ia adalah anak kesayangan ibu.
Salah satu hobi Tito adalah berkelahi dengan kucing jalanan. Sepulang dari petualangan fisik itu, Tito acap berdarah. Ibu saya lazim mengobati luka-luka itu sembari mengomel. Omelannya macam omelan ibu ke anak lelakinya yang badung. Kalau sudah diomeli, entah percaya atau tidak, Tito melengos. Macam anak lelaki yang gerah karena dicerewetin ibunya.
Pernah suatu ketika ibu saya mengomel karena Tito kembali berdarah-darah hasil berkelahi. Setelah diobat, Tito bangkit dari pangkuan ibu, lalu mengarahkan pantatnya ke ibu, lalu, duuuttt. Tito mengentut! Ibu saya tambah mengomel macam murka ke anak durhaka. Sembari tertawa tentunya. Karena tak percaya ada kucing yang bisa mengentut sebagai bentuk protes.
Tito sekarang sudah tua. Anggap saja ia lahir 8 tahun lalu. Itu sudah angka yang uzur untuk ukuran kucing. Satu tahun umur kucing, konon, sama dengan 10 tahun umur manusia. Andaikan Tito adalah manusia, ia sudah berusia 8 dekade. Umur segitu, artinya ia sudah pernah menonton Woodstock 1969, berteriak histeris karena album baru The Doors dan The Beatles keluar, atau tergetar oleh Appetite for Destruction.
Tito belakangan suka sekali berulah. Ia semakin sering keluar malam. Berkelahi dengan kucing-kucing liar. Ia juga sering tidur di tumpukan baju yang baru saja disetrika oleh Mbak Yus. Akibatnya banyak bulu-bulu yang lengket di baju. Ia juga --ini hal yang jarang terjadi-- buang air sembarangan. Kalau sekedar buang air kecil, ia sering melakukannya di sudut-sudut rumah, penandaan daerah kekuasaan. Namun ia nyaris tak pernah buang air besar sembarangan. Hingga beberapa hari terakhir ini.
Ia sudah tampak seperti manusia lanjut umur yang malas-malasan menunggu kapan nyawa dicabut. Tak ada lagi yang bisa ia lakukan untuk membunuh kebosanan, selain beradu cakar dengan kucing liar atau mengotori tumpukan baju bersih. Atau membuat Mbak Yus sibuk membersihkan kotorannya di pojok rumah.
Saya membayangkan kalau Tito meninggal karena umur yang sudah mengizinkan. Ibu saya pasti akan menangis, lalu jatuh sakit. Dulu ketika kucing Persia pertamanya, yang saya namai Axl, meninggal, ibu jatuh sakit selama beberapa hari. Tentu dengan diiringi menangis yang tersedu sedan.
Tito sekarang sedang menyaksikan dunia dari sudut pandang seorang kucing yang sudah bosan menyaksikan dunia berputar. Ia sudah menyaksikan segalanya. Ia sudah menyaksikan keajaiban, kemustahilan, juga hal-hal remeh lainnya. Ia sendiri adalah bukti dari keajaiban kisah cinta ala dongeng. Baginya, hidup sekarang tinggal menunggu ajal datang menggamit.
Malam ini Tito kembali buang air besar di ruang komputer, setelah sebelumnya di perpustakaan. Gara-gara itu, saya menutup hidung sembari menulis memoar tentangnya. Sedang Tito, entah dimana, hanya akan menganggap itu keisengan rutin sebelum nanti ia mati. []
post-scriptum: Dulu saya punya beberapa foto Tito, tapi saya lupa menaruhnya dimana. Kalau sudah ketemu, nanti akan saya unggah sebagai bagian dari tulisan ini.
iya bang. penasaran sama muka kucing kesayangan mamak abang. ditunggu poto si tito ya bang :D
BalasHapusHehehe, iya. Tapi si Titonya gak mau difoto, sombong dia, ngerasa mirip Ariel Peter Pan kali yak :))
Hapuskisah kehidupan sederhana antara manusia dan piarannya kucing jadi kisah luar biasa karena disajikan dengan apik.
BalasHapusIbuku juga menyukai kucing, tiap kucingnya saya kerjain ibu saya juga ikut marah-marah dan ngomel. Salam senasib.
Hehehe, matur nuwun mas. Salam buat ibu sampean yang sama kayak ibu saya, hehehe.
Hapusbagus mas tulisanya
BalasHapusajarin poo